Referat Asfiksia
Referat Asfiksia
PENDAHULUAN
2.1. Asfiksia
2.1.1. Definisi
2.1.2. Etiologi
2.1.2.1. Alamiah
Misalnya penyakit yang menyumbat saluran pernafasan seperti laringitis
difteri, atau menimbulkan gangguan pergerakan paru seperti fibrosis paru.
2.1.2.2. Mekanik
Kerusakan akibat asfiksia (asphyxial injuries) yang dapat disebabkan oleh
kegagalan sel-sel untuk menerima atau menggunakan oksigen. Kehilangan
oksigen dapat terjadi parsial (hipoksia) atau total (anoksia). Asphyxial injuries
dapat dibagi menjadi empat kategori umum, yaitu:
a. Penutupan saluran pernafasan bagian atas:
Suffocation
Peristiwa suffokasi dapat terjadi jika oksigen yang ada di udara
lokal kurang memadai, seperti misalnya di dalam satu ruang kecil
tanpa ventilasi cukup berdesak-desakan dengan banyak orang,
pertambangan yang mengalami keruntuhan, ataupun terjebak di dalam
ruang yang tertutup rapat. Kematian dalat terjadi dalam beberapa jam,
tergantung dari luasnya ruangan serta kebutuhan oksigen bagi orang
yang berada di dalamnya. Sebab kematian pada peristiwa sufokasi,
biasanya merupakan kombinasi dari hipoksia, keracunan CO2, hawa
panas dan kemungkinan juga cedera yang terjadi, misalnya pada saat
peristiwa kebakaran gedung.
Smothering
Smothering (pembekapan) adalah bentuk safiksia yang
disebabkan oleh penutupan lubang hidung dan mulut. Penutupan dpat
dilakukan dengan mengguankan tangan atau suatu benda yang lunak,
misalnya bantal atau selimut yang dilipat. Peristiwa pembekapan
dapat terjadi karena pembunuhan, kecelakaan atau bunuh diri.
Kecelakaan dapat terjadi ketika anak-anak bermain dengan
memasukkan kepala ke dalam kantong plastik dan mengikatnya di
leher, meskipun cara ini juga dapat digunakan oleh orang dewasa
untuk melakan pembunuhan atau bunuh diri.
Gangging & choking
Keduanya merupakan jenis asfiksia yang disebabkan blokade
jalan nafas oleh benda asing yang datangnya dari luar ataupun dari
dalam tubuh, misalnya seperti inhalasi mutahan (aspirasi), tersedak
makanan, tumor, jatuhnya lidah ke belakang ketika dalam keadaan
tidak sadar, bekuan darah atau lepasnya gigi palsu. Gejalanya sangat
khas, yakni dimulai dengan batuk-batuk yang terjadi secara tiba-tiba,
kemudian disusul sianosis dan akhirnya meninggal.
Peristiwa ini dapat karena bunuh diri (meskipun sulit untuk
memasukkan benda asing ke dalam mulutnya sendiri, karena akan ada
reflek batuk atau muntah), pembunuhan (umumnya korban adalah
bayi, orang dengan fisik lemah atau tak berdaya) dan kecelakaan
(misalnya tersedak makanan hingga menyumbat saluran nafas).
Mekanisme kematian yang mungkin terjadi adalah asfiksia atau
refleks vagal akibat rangsangan pada reseptor nervus vagus di arkus
faring yang menimbulkan inhibisi kerja jantung dengan akibat cardiac
arrest dan kematian. Pada gangging, sumbatan terdapat dalam
orofaring, sedangkan pada choking sumbatan terdapat lebih dalam,
yakni pada laringofaring.
b. Penekanan dinding saluran pernafasan
Strangulation
Penjeratan, adalah penekanan benda asing yang permukaannya
relatif sempit dan panjang, dapat berupa tali, ikat pinggang, rantai,
stagen, dan sebagainya, melingkari atau mengikat leher yang makin
lama makin kuat di mana kekauatan jeratan berasal dari tarikan keua
ujungnya, sehingga secara berturutan pembuluh darah balik, arteri
superfisial dan saluran nafas tertutup. Biasanya arteri vertebralis tetap
paten, hal ini disebabkan karena kekuatan atau beban yang menekan
pada penjeratan biasanya tidak besar. Mekanisme matinya bisa karena
tertutupnya jalan nafas hingga terjadi asfikisa, atau tertutupnya vena
hingga anoksia otak, atau refleks vagal atau karena tertutupnya arteri
karotis sehingga otak kekurangan darah.
Penjeratan biasanya merupakan peristiwa pembunuhan, meskipun
dapat karena bunuh diri maupun kecelakaan (misalnya selendang yang
dililitkan di leher tertarik roda saat mengendari motor).
Manual strangulation/throttling
Pencekikkan adalah penekanan leher dengan tangan yang
menyebabkan dinding saluran nafas bagian atas tertekan dan terjadi
penyempitan saluran nafas, sehingga udara pernafasan tidak dapat
lewat. Mekanisme matinya adalah karena asfiksia ataupun refleks
vagal yang terjadi akibat rangsang pada reseptor nervus vagus pada
corpus caroticus di percabangan arteri karotis interna dan eksterna.
Cekikan merupakan jenis strangulasi yang hampir selalu disebabkan
oleh pembunuhan. Dapat disebabkan kecelakaan, misal pada saat
latihan bela diri atau pembuatan film, meskipun sangat jarang dan
tidak mungkin digunakan untuk bunuh diri, sebab cekikkan akan lepas
begitu orang yang melakukan bunuh diri itu muali kehilangan
kesadaran.
Hanging
Penggantungan / peristiwa gantung adalah peristiwa di mana
seluruh atau sebagian dari berat tubuh seseorang ditahan di bagian
lehernya oleh sesuatu benda dengan permukaan yang relatif sempit
dan panjang (biasanya tali) sehingga daerah tersebut mengalami
tekanan. Kasus ini hampir sama dengan penjeratan, bedanya adalah
asal tenaga yang dibutuhkan untuk memperkecil jeratan. Pada
penjeratan, tenaga datang dari luar, sedangkan pada penggantungan,
tenaga bersal dari berat badan korban sendiri, meskipun tidak perlu
seluruh berat badan digunakan.
Pada penggantungan tidak harus seluruh tubuh berada di atas
lantai, sebab dengan tekanan berkekuatan 10 pon pada leher sudah
cukup menghentikan aliran darah di daerah itu. Sehingga tindakan
gantung diri dapat saja dilakukan dengan sebagian tubuh tetap
berada/menempel lantai.
Peristiwa penggantungan tidak identik dengan bunuh diri, karena
bisa saja karena pembunuhan maupun kecelakaan. Mekanisme
kematian pada peristiwa penggantungan bisa karena asfiksia,
gangguan sirkulasi darah ke otak (akibat terhambatnya aliran arteri-
arteri leher), refleks vagal ataupun karena kerusakan medulla spinalis
akibat dislokasi/fraktur vertebra cervicalis (bisa pada sendi
atlantoaxial).
c. Penekanan dinding dada dari luar (asfiksia traumatik)
Terjadi akibat penekanan dari luar pada dinding dada yang
menyebabkan dada terfiksasi, kadang hingga perut, hingga menimbulkan
gangguan gerak pernafasan, misalnya saat dada atau seluruh badan
tertimbun pasir, tanah, runtuhan tembok, tergencet saat saling berdesakan,
ataupun tergencet stir mobil. Akibatnya gerakan pernafasan tidak mungkin
terjadi sehingga tubuh mengalami asfiksia. Istilah lain untuk asfiksia jenis
ini adalah crush asphyxia.
d. Saluran pernafasan terisi air (tenggelam/drowning)
Kematian karena tenggelam biasanya didefinisikan sebagai kematian
akibat mati lemas disebabkan masuknya cairan ke dalam saluran pernafasan.
Istilah tenggelam sebenarnya harus pula mencakup proses yang terjadi
akibat terbenamnya korban dalam air yang menyebabkan kehilangan
kesadaran dan mengancam jiwa, meskipun pada peristiwa tenggelam tidak
seluruh tubuh harus masuk dalam air. Asalkan lubang hidung dan mulut
berada di bawah permukaan air, maka hal itu sudah cukup memenuhi
kriteria peristiwa tenggelam. Berdasarkan pengertian tersebut, maka
peristiwa tenggelam tidak hanya terjadi di laut atau sungai tetapi juga dapat
terjadi di dalam wastafel atau ember berisi air.
2.1.2.3. Keracunan
Asfiksia
2.1.4.2.Sekunder
Jantung berusaha mengkompensasi keadaan tekanan oksigen yang rendah
dengan mempertinggi outputnya, akibatnya tekanan arteri dan vena meninggi.
Karena oksigen dalam darah berkurang terus dan tidak cukup untuk kerja
jantung maka terjadi gagal jantung dan kematian berlangsung dengan cepat.
Keadaan ini didapati pada:
a. Penutupan mulut dan hidung ( pembekapan )
b. Obstruksi jalan nafas seperti pada mati gantung, penjeratan,
pencekikan dan korpus alienum dalam saluran nafas atau pada
tenggelam karena cairan menghalangi udara masuk ke paru – paru
c. Gangguan gerakan pernafasan karena terhimpit atau berdesakan
(traumatic asphyxia)
d. Penghentian primer dari pernafasan akibat kegagalan pada pusat
pernafasan, misalnya pada keracunan.
Darah Fibrinolisis ASFIKSIA Relaksasi Urin, feses
menjadi sfingter dan cairan
encer sperma keluar
Tidak sadar
Stasis kapiler
Sianosis Peningkatan permeabilitas
Bendungan kapiler kapiler
Pada orang yang mengalami asfiksia akan timbul gejala yang dapat
dibedakan dalam 4 stadium (Amir, 2008), yaitu:
a. Stadium Dispnea
b. Stadium Kejang
Berupa gerakan klonik yang kuat pada hampir seluruh otot tubuh, kesadaran
hilang dengan cepat, dan akhirnya timbul spasme opistotonik. Pupil mengalami
dilatasi, denyut jantung menurun, tekanan darah juga menurun. Efek ini
berkaitan dengan paralisis pusat yang lebih tinggi dalam otak akobat kekurangan
O2.. Denyut nadi dan tekanan darah masih tinggi, sianosis makin jelas. Bila
kekurangan O2 ini terus berlanjut, maka penderita akan masuk ke stadium
apnoe.
c. Stadium Apnea
Korban kehabisan nafas karena depresi pusat pernafasan, otot menjadi lemah,
hilangnya refleks, dilatasi pupil, tekanan darah menurun, pernafasan dangkal dan
semakin memanjang, akhirnya berhenti bersamaan dengan lumpuhnya pusat-
pusat kehidupan dan akibat dari relaksasi sfingter dapat terjadi pengeluaran
cairan sperma, urine, dan tinja. Walaupun nafas telah berhenti dan denyut nadi
hampir tidak teraba, pada stadium ini bisa dijumpai jantung masih berdenyut
beberapa saat lagi.
d. Fase Akhir
a. Organ dalam tubuh lebih gelap & lebih berat dan ejakulasi pada mayat
laki-laki akibat kongesti / bendungan alat tubuh & sianotik.
b. Darah termasuk dalam jantung berwarna gelap dan lebih cair.
c. Tardieu’s spot pada pielum ginjal, pleura, perikard, galea apponeurotika,
laring, kelenjar timus dan kelenjar tiroid.
d. Busa halus di saluran pernapasan.
e. Edema paru.
f. Kelainan lain yang berhubungan dengan kekerasan seperti fraktur laring,
fraktur tulang lidah dan resapan darah pada luka.
c. Sianosis
Merupakan warna kebiru-biruan yang terdapat pada kulit dan selaput lendir
yang terjadi akibat peningkatan jumlah absolut Hb tereduksi (Hb yangtidak
berikatan dengan O2). Ini tidak dapat dinyatakan sebagai anemia, harus ada
minimal 5 gram hemoglobin per 100 ml darah yang berkurang sebelum
sianosis menjadi bukti, terlepas dari jumlah total hemoglobin. Pada
kebanyakan kasus forensik dengan konstriksi leher, sianosis hampir selalu
diikuti dengan kongesti pada wajah, seperti darah vena yang kandungan
hemoglobinnya berkurang setelah perfusi kepala dan leher dibendung
kembali dan menjadi lebih biru karena akumulasi darah.
a. Pembekapan
b. Mati tergantung
Kematian terjadi akibat tekanan di leher oleh pengaruh berat badan sendiri.
Kesannya leher sedikit memanjang, dengan bekas jeratan di leher. Ada garis
ludah di pinggir salah satu sudut mulut. Bila korban cukup lama tergantung,
maka lebam mayat didapati di kedua kaki dan tangan. Namun bila segera
diturunkan, maka lebam mayat akan didapati pada bagian terendah tubuh.
Muka korban lebih sering pucat. Pada kebanyakan kasus forensik dengan
konstriksi leher, sianosis hampir selalu diikuti dengan kongesti pada wajah,
seperti darah vena yang kandungan hemoglobinnya berkurang setelah
perfusi kepala dan leher dibendung kembali dan menjadi lebih biru karena
akumulasi darah. Resapan darah pada jaringan bawah kulit dan otot. Tanda
ini merupakan salah satu tanda intravital, yakni adanya proses reaksi
inflamasi / ekstravasasi sel-sel darah pada jaringan yang menunjukkan
bahwa trauma / jeratan terjadi sebelum korban meninggal.
d. Penjeratan
Jejas jerat biasanya mendatar, melingkari leher dan umumnya terdapat lebih
rendah daripada jejas jerat pada gantung. Jejas jerat biasanya terletak
setinggi atau di bawah rawan gondok. Bila jerat kasar seperti tali dan
tekanan kuat, maka dapat meninggalkan luka lecet yang tampak jelas berupa
kulit yang mencekung berwarna coklat yang dengan perabaan teraba kaku
seperti kertas perkamen. Pada peristiwa pembunuhan sering ditemukan
adanya lecet-lecet atau memar di sekitar jejas jerat, biasanya terjadi karena
korban berusaha membuka jeratan. Pada pemeriksaan dalam leher di sekitar
jeratan, bisa tampak resapan darah pada otot dan jaringan ikat, fraktur dari
tulang rawan reutama rawan gondok, dan kongesti jaringan ikat, kelenjar
limnfe dan pangkal lidah. Sering ditemukan adanya buih halus kemerahan
pada jalan nafas.
e. Pencekikan
PENUTUP
Leonardo. Asfiksia Forensik. Bagian Ilmu Forensik RSU Dr. Pirngadi Medan.
[cited July 2008][online April 2008]. Available at:www.kabarindonesia.com
Knight B. Asphyxia and pressure on the neck and chest. In: Simpson’s forensic
medicine, eleventh ed. London, Oxford University Press,Inc. 2001. p:87-90
Chadha PV. Catatan Kuliah Ilmu Forensik dan Toksikologi. Jakarta: Widya
Medika. 1995.p: 47-8