Anda di halaman 1dari 4

Beramal Islami di Dalam dan Melalui Jama'ah

Oleh: Anis Matta,Lc

Walaupun satu keluarga kami tak saling mengenal


Himpunlah daun-daun yang berhamburan ini
Hidupkan lagi ajaran saling mencinta
Ajari lagi kami berkhidmat seperti dulu

Itulah beberapa bait dari sajak doa Iqbal. Mungkin batinnya menjerit pada setiap
kesaksiannya atas zamannya; ummat ini seperti daun-daun yang berhamburan. Seperti daun-
daun yang gugur diterpa angin, tak ada lagi kekuatan yang dapat menghimpunnya kembali,
menatanya seperti ketika ia masih menggayut pada pohonnya.

Begitulah kenyataan ummat ini; mungkin banyak orang saleh diantara mereka, tapi
semuanya seperti daun-daun yang berhamburan, tidak terhimpun dalam sebuah wadah yang
bernama jama'ah. Mungkin banyak orang hebat diantara mereka, tapi kehebatan mereka
hilang diterpa angin zaman. Mungkin banyak potensi yang tersimpan pada individu- individu
diantara mereka, tapi semuanya berserakan di sana sini, tak terhimpun.

Maka jama'ah adalah alat yang diberikan Islam bagi umatnya untuk menghimpun daun-daun
yang berhamburan itu; supaya kekuatan setiap satu orang saleh, atau orang hebat, atau satu
potensi, bertemu padu dengan kekuatan saudaranya yang lain, yang sama salehnya, yang
sama hebatnya, yang sama potensialnya.

Jama'ah juga merupakan cara yang paling tepat untuk menyederhanakan perbedaan-
perbedaan pada individu. Di dalam satu jama'ah, individu- individu yang memiliki kemiripan
disatukan dalam sebuah simpul. Maka meskipun ada banyak jama'ah, itu tetap jauh lebih
baik daripada tidak ada sama sekali. Sebab jauh lebih mudah memetakan orang banyak
melalui pengelompokan atau simpul-simpulnya, ketimbang harus memetakan mereka
sebagai individu.

Maka jalan panjang menuju kebangkitan kembali ummat ini, harus dimulai dari
menghimpun daun-daun yang berhamburan itu, merajut kembali jalinan cinta diantara
mereka, menyatukan potensi dan kekuatan mereka, kemudian `meledakkannya' pada
momentum sejarahnya, menjadi pohon peradaban yang teduh, yang menaungi kemanusiaan.

Tapi itulah masalahnya. Ternyata itu bukan pekerjaan yang mudah. Ternyata cinta tidak
mudah ditumbuhkan diantara mereka. Ternyata orang saleh tidak mudah disatukan. Ternyata
orang hebat tidak selalu bersedia menyatu dengan orang hebat yang lain. Mungkin itu
sebabnya, ada ungkapan di kalangan gangster mafia; seorang prajurit yang bodoh, kadang-
kadang lebih berguna dari pada dua orang jenderal yang hebat. Tapi tidak ada jalan lain; nabi
umat ini tidak akan pernah memaafkan setiap orang diantara kita untuk meninggalkan
jama'ah semata-mata karena ia tidak menemukan kecocokan bersama orang lain dalam
jama'ahnya. Sebab, kekeruhan jama'ah, kata Imam Ali Bin Abi Thalib Ra, jauh lebih baik
daripada kejernihan individu.

Dari Individu ke Jama'ah

Orang-orang saleh diantara kita harus menyadari, bahwa tidak banyak yang dapat ia berikan
atau sumbangkan untuk Islam kecuali kalau ia bekerja di dalam dan melalui jama'ah. Mereka
tidak dapat menolak fakta bahwa tidak ada orang yang dapat mempertahankan hidupnya
tanpa bantuan orang lain, bahwa tidak pernah ada orang yang dapat melakukan segalanya
atau menjadi segalanya, bahwa kecerdasan individual tidak pernah dapat mengalahkan
kecerdasan kolektif. Bekerja di dalam dan melalui jama'ah tidak hanya terkait dengan fitrah
sosial kita, tapi terutama terkait dengan kebutuhan kita untuk menjadi lebih efisien, efektif
dan produktif.

Ada juga alasan lain. Kita hidup dalam sebuah zaman yang oleh ahli- ahlinya dicirikan
sebagai masyarakat jaringan, masyarakat organisasi. Semua aktivitas manusia dilakukan di
dalam dan melalui organisasi; pemerintahan, politik, militer, bisnis, kegiatan sosial
kemanusiaan, rumah tangga, hiburan dan lainnya. Itu merupakan kata kunci yang
menjelaskan, mengapa masyarakat moderen menjadi sangat efektif dan efisien serta
produktif.

Masyarakat modern bekerja dengan kesadaran bahwa keterbatasan- keterbatasan yang ada
pada setiap individu sesungguhnya dapat dihilangkan dengan mengisi keterbatasan mereka
itu dengan kekuatan- kekuatan yang ada pada individu-individu yang lain.

Jadi kebutuhan setiap individu Muslim untuk bekerja, atau beramal Islami di dalam dan
melalui jama'ah, bukan saja lahir dari kebutuhan untuk meningkatkan efektivitas, efesiensi
dan produktivitasnya, tapi juga lahir dari kebutuhan untuk bekerja dan beramal Islami pada
level yang setara dengan tantangan zaman kita.

Musuh-musuh kita mengelola dan mengorganisasi pekerjaan-pekerjaan mereka dengan rapi,


sementara kita bekerja sendiri-sendiri, tanpa organisasi, dan kalau ada, biasanya tanpa
manajemen.

Pilihan untuk bekerja dan beramal Islami di dalam dan melalui jama'ah hanya lahir dari
kesadaran mendalam seperti ini. Tapi kesadaran ini saja tidak cukup. Ada persyaratan
psikologis lain yang harus kita miliki untuk dapat bekerja lebih efektif, efisien dan produktif
dalam kehidupan berjama'ah.

Pertama, kesadaran bahwa kita hanyalah bagian dari fungsi pencapaian tujuan. Jama'ah
didirikan untuk mencapai tujuan-tujuan besar. Untuk jama'ah bekerja dengan sebuah
perencanaan dan strategi yang komprehensif dan integral. Di dalam strategi besar itu,
individu harus ditempatkan sebagai bagian dari keseluruhan elemen yang diperlukan untuk
mencapainya.

Jadi sehebat apa pun seorang individu, bahkan sebesar apa pun kontribusinya, dia tidak boleh
merasa lebih besar daripada strategi dimana ia merupakan salah satu bagiannya. Begitu ada
individu yang merasa lebih besar dari strategi jama'ah, maka strategi itu akan berantakan.
Untuk itu setiap indvidu harus memiliki kerendahan hati yang tulus.

Kedua, semangat memberi yang mengalahkan semangat menerima. Dalam kehidupan


berjama'ah terjadi proses memberi dan menerima. Tapi jika pada sebagian besar proses kita
selalu berada pada posisi menerima, maka secara perlahan kita `mengkonsumsi' kebaikan-
kebaikan orang lain hingga habis. Itu tidak akan pernah mampu melanggengkan hubungan
individu dalam sebuah jama'ah. Betapa bijak nasihat KH Ahmad Dahlan kepada warga
Muhammadiyah; "Hidup-hidupkanlah Muhammadiyah, dan jangan mencari hidup dalam
Muhammadiyah".

Ketiga, kesiapan untuk menjadi tentara yang kreatif. Pusat stabilitas dalam jama'ah adalah
kepemimpinan yang kuat. Tapi seorang pemimpin hanya akan menjadi efektif apabila ia
memiliki prajurit-prajurit yang taat dan setia. Ketaatan dan kesetiaan adalah inti keprajuritan.
Begitu kita bergabung dalam sebuah jama'ah, kita harus bersiap untuk menjadi taat dan setia.
Tapi ruang lingkup amal Islami yang sangat luas membutuhkan manusia-manusia kreatif.
Dan kreativitas tidak bertentangan dengan ketaatan dan kesetiaan. Jadi kita harus
menggabungkan antara ketaatan dan kreativitas; ketaatan lahir dari kedisiplinan dan
komitmen, sementara kreativitas lahir dari kecerdasan dan kelincahan. Dan itu merupakan
perpaduan yang indah.
Keempat, berorientasi pada karya, bukan pada posisi. Jebakan terbesar yang dapat
menjerumuskan kita dalam kehidupan berjama'ah adalah posisi struktural. Jama'ah hanyalah
wadah bagi kita untuk beramal. Maka kita harus selalu berorientasi pada amal dan karya
yang menjadi tujuan utama kita berjama'ah, dan memandang posisi structural sebagai
perkara sampingan saja. Dengan begitu kita akan selalu bekerja dan berkarya ada atau tanpa
posisi struktural.

Kelima, bekerjasama walaupun berbeda. Perbedaan adalah tabiat kehidupan yang tidak dapat
dimatikan oleh jama'ah. Maka adalah salah jika berharap untuk hidup dalam sebuah jama'ah
yang bebas dari perbedaan. Yang harus kita tumbuhkan adalah kemampuan jiwa dan
kelapangan dada untuk tetap bekerjasama di tengah berbagai perbedaan. Perbedaan tidaklah
sama dengan perpecahan, dan karena itu kita tetap dapat bersatu walaupun kita berbeda.

Jama'ah yang Efektif

Mungkin jauh lebih realistis untuk mencari jama'ah yang efektif ketimbang mencari jama'ah
yang ideal. Kita adalah ummat yang sakit. Setiap kita mewarisi kadar tertentu dari penyakit
tersebut. Jika orang-orang sakit itu saling bertemu dalam sebuah jama'ah, pada dasarnya
jama'ah itu juga merupakan jama'ah yang sakit. Itulah faktanya. Tapi tugas kita menyalakan
lilin, bukan mencela kegelapan.

Jama'ah yang efektif adalah jama'ah yang dapat mengeksekusi atau merealisasikan rencana-
rencananya. Kemampuan eksekusi itu lahir dari integrasi antara berbagai elemen; ada
sasaran dan target yang jelas, strategi yang tepat, sarana pendukung yang memadai, pelaku
yang bekerja dengan penuh semangat, lingkungan strategi yang kondusif. Jama'ah yang
didirikan untuk kepentingan menegakkan syariat Allah Swt di muka bumi, akan menjadi
efektif apabila ia memiliki syarat-syarat berikut ini;

Pertama, ikatannya aqidah, bukan kepentingan. Orang-orang yang bergabung dalam jama'ah
itu disatukan oleh ikatan aqidah, dipersaudarakan oleh iman, dan bekerja untuk kepentingan
Islam. Mereka tidak disatukan oleh kepentingan duniawi yang biasanya lahir dari dua
kekuatan syahwat; keserakahan (hubbud dunya) dan ketakutan (karahiatul maut).

Kedua, jama'ah itu sarana, bukan tujuan. Jama'ah itu tetap diposisikan sebagai sarana, bukan
tujuan. Sehingga tidak ada alasan untuk memupuk dan memelihara fanatisme sekadar untuk
menunjukkan kesetiaan pada grup. Hilangnya fanatisme juga memungkinkan jama'ah-
jama'ah itu saling bekerja sama diantara mereka, membangun jaringan yang kuat, dan tidak
terjebak dalam pertarungan yang saling mematikan.

Ketiga, sistem, bukan tokoh. Jama'ah itu akan menjadi efektif jika orang-orang yang ada di
dalamnya bekerja dengan sebuah sistem yang jelas, bukan bekerja dengan seseorang yang
berfungsi sebagai sistem. Pemimpin dan prajurit hanyalah bagian dari strategi, sistem adalah
sesuatu yang terpisah. Dengan cara ini kita mencegah munculnya diktatorisme dimana selera
sang Pemimpin menjelma menjadi sistem.

Keempat, penumbuhan, bukan pemanfaatan. Sebuah jama'ah akan menjadi efektif jika ia
memandang dan menempatkan orang-orang yang bergabung ke dalamnya sebagai pelaku-
pelaku, yang karenanya perlu ditumbuh- kembangkan secara terus menerus, untuk fungsi
pencapaian tujuan jama'ah itu. Jama'ah itu akan menempatkan dirinya sebagai fasilitator bagi
perkembangan kreativitas individunya, dan tidak memandang mereka sebagai pembantu-
pembantu yang harus dipaksa bekerja keras, atau sapi- sapi yang dungu yang harus diperah
setiap saat.

Kelima, mengelola perbedaan, bukan mematikannya. Jama'ah yang efektif selalu mampu
mengubah keragaman menjadi sumber kreativitas kolektifnya. Dan itu dilakukan melalui
mekanisme syuro yang dapat memfasilitasi setiap perbedaan untuk diubah menjadi
konsensus..

Anda mungkin juga menyukai