Anda di halaman 1dari 14

Banyak penyakit sistemik telah terlibat sebagai indikator resiko atau faktor resiko yang

merugikan kondisi periodontal. Klinis dan ilmu dasar meneliti lebih dari beberapa dekade
yang lalu telah membuka lebih banyak pengertian tentang kompleksitas dan patogenesis dari
penyakit periodontal.

Secara nyata, terdapat peranan penting dari bakteri, dan ada beberapa bakteri spesifik
(periodontal pathogens) yang berhubungan dengan kerusakan pada penyakit periodontal.
Bakteri-bakteri patogen ini tidak menyebabkan penyakit hanya karena keberadaannya sendiri,
tetapi kesehatan jaringan periodontal bisa dilihat dari tidak adanya bakteri-bakteri tersebut.

Mungkin salah satu penemuan terbaru tentang periodontitis mengatakan bahwa respon host
bervariasi pada tiap individu dan baik respon imun host yang tidak adekuat maupun respon
imun host yang berlebihan dapat memperparah keadaan penyakit. Dengan kata lain respon
host terhadap periodontal patogen sangat penting dan dapat membedakan tingkat keparahan
penyakit pada satu individu dengan individu yang lain. Fakta-fakta terbaru juga mulai
menunjukkan adanya peran penyakit periodontal pada masalah kesehatan sistemik, misalnya
penyakit jantung koroner, stroke, diabetes, dan penyakit pernapasan. Disamping adanya
hubungan timbal balik antara infeksi periodontal dan respon imun host, lingkungan, fisik, dan
faktor stress psikososial juga bisa mempengaruhi jaringan periodontal dan merubah
penampakan penyakit. Pada umumnya, kelainan-kelainan pada beberapa hal di atas tidak
memicu terjadinya periodontitis kronis, tetapi bisa memperparah, mempercepat, atau bahkan
meningkatkan progresitas hingga menjadi pengrusakan jaringan periodontal.

1. Kelainan endokrin
Kelainan kelenjar endokrin, misalnya diabetes, dan perubahan hormonal yang
berhubungan dengan pubertas dan kehamilan adalah contoh umum dari kondisi
sistemik yang berefek kurang baik terhadap kesehatan periodontium. Gangguan
endokrin dan perubahan hormon mempengaruhi jaringan periodontal secara langsung,
merubah respon jaringan terhadap factor local, dan menghasilkan perubahan anatomis
pada gingiva yaitu meningkatkan akumulasi plak dan progress penyakit.
Bacterial pathogens
Pada penderita diabetes, kandungan glukosa pada cairan gingiva dan darahnya lebih
tinggi daripada orang normal dengan skor Plaque and Gingival Index yang sama.
Peningkatan kadar glukosa di cairan gingiva dan darah pada penderita diabetes dapat
mengubah lingkungan mikroflora, mempengaruhi perubahan kualitatif dari bakteri
sehingga bisa memperparah penyakit periodontal pada penderita diabetes yang tidak
terkontrol.
Pasien dengan diabetes tipe 1 yang menderita periodontitis dilaporkan mempunyai
flora subgingival yang terdiri dari Capnocytophaga, anaerobic vibrios, dan
Actinomycetes sp. Porphyromonas gingivalis, Prevotella intermedia, dan
Actinobacillus actinomycetemcomitans, yang biasanya terjadi pada lesi
periodontal individu tanpa diabetes, terdapat sejumlah kecil pada pasien dengan
penyakit ini. Pada studi lain mengatakan, sangat jarang ditemukan Chapnocytophaga
dan banyak sekali A. actinomycescomitans dan black-pigmented Bacteroides,
sebanyak dengan ditemukannya P.intermedia, P. melaninogenica, dan Campylobacter
rectus. Spesies Black-pigmented, khususnya P. gingivalis, P.intermedia dan C. rectus,
sangat banyak jumlahnya pada lesi periodontal yang parah pada orang Indians Pima
dengan diabetes tipe 2. Peranan yang sangat pasti dari mikroorganisme tidak bisa
ditentukan.
Polymorphonuclear Leukocyte Function
Peningkatan kerentanan pasien diabetes terhadap infeksi telah di hipotesa
berhubungan dengan defisiensi polymorphonuclear leukocytes yang menghasilkan
kemotaksis yang lemah, phagocytosis yang tidak sempurna, atau adherence yang juga
lemah. Tidak ada perubahan immunoglobulin A,G, atau M yang ditemukan pada
pasien diabetes.
Altered Collagen Metabolism
Peningkatan aktivitas kolagenase dan penurunan sintesia kolagen ditemukan pada
pasien diabetes dengan hiperglikemia kronis. Menurunnya sintesis kolagen,
osteoporosis, dan penurunan tinggi tulang alveolar yang terjadi pada hewan yang
diabetes, dengan osteoporosis sebanding di tulang-tulang yang lain. Ligament
periodontal dan sementum tampak seperti tidak terpengaruh, tetapi glikogen di deplesi
pada gingival. Hasil penelitian lain melaporkan bahwa inflamasi gingival dan
kerusakan tulang yang berhubungan dengan factor local lebih parah pada hewan
diabetes daripada non-diabetes. Generalized osteoporosis, resorpsi dari puncak
alveolar, formasi poket periodontal dan inflamasi gingival yang berhubungan dengan
kalkulus telah diujicobakan pada hamster china yang menderita diabetes herediter dan
dibawah perawatan terapi replacement insulin.
Hiperglikemia kronis mempengaruhi sintesis, maturasi, dan pemeliharaan kolagen dan
matriks ekstraseluler. Pada tahap hiperglikemic, sejumlah banyak protein dan molekul
matriks mengalami sebuah glycosylation nonenzymatic yang
menghasilkan Advanced Glycation End Products (AGEs). AGEs dapat terbentuk
pada level glukosa yang normal, tetapi dalam suasana yang hiperglikemic,AGE dapat
bertambah banyak.. AGE formation cross-link dengan kolagen, membuatnya kurang
soluble dan sedikit bisa diperbaiki. Hasilnya. Kolagen jaringan pada pasien diabetes
yang kurang terkontrol lebih rentan terhadap kerusakan. AGE memainkan peran yang
penting dalam komplikasi klasik diabetes.Mereka juga memainkan peran yang sangat
penting dalam kelanjutan penyakit periodontal. Kontrol glikemik yang buruk serta
peningkatan AGE membuat jaringan periodontal rentan kerusakan. Migrasi selular
melalui kolagen cross-linked terhambat dan yang paling penting, integritas jaringan
menjadi lemah sebagai akibat dari kolagen rusak yang tersisa pada jaringan dalam
waktu yang lama.
Efek kumulatif dari perubahan respon selular terhadap faktor local, melemahnya
integritas jaringan, dan perubahan metabolisme kolagen, tidak diragukan lagi
memainkan peran yang sangat penting dengan kerentanan individu berpenyakit
diabetes terhadap infeksi dan dectructive periodontal disease.
Studi tentang indicator resiko terhadap 1426 pasien, usia 25 sampai 74, menunjukkan
bahwa individu yang berusia 45 tahun ke atas, memiliki penyakit diabetes, dan
merokok beresiko 20 kali lebih besar mengalami penyakit periodontal daripada pasien
tanpa indikator-indikator di atas. Apabila terinfeksi Bacteroides forsythus atau
P.Gingivalis pada daerah subgingival, maka resikonya meningkat hingga 30 sampai
50 kali.
a. Hyperparathyroidism
Hipersekresi parathyroid menghasilkan demineralisasi menyeluruh pada tulang,
meningkatkan osteoklas dengan proliferasi jaringan ikat dalam ruang sumsum yang
membesar, dan formasi kista tulang serta sel tumor raksasa. Penyakit ini disebut
osteitis fibrosa cystic atau Recklinghausen’s bone disease.
Perubahan rongga mulut termasuk maloklusi dan mobilitas gigi,bukti radiografis dari
osteoporosis tulang alveolar dengan trabekula yang tersambung, pelebaran ruang
ligament periodontal, ketiadaan lamina dura, dan gambaran ruang radiolusen seperti
kista ( Gambar 12-2 dan 12-3). Kista tulang menjadi terisi jaringan fibrosa dengan
makrofag hemosiderin-laden yang berlebihan dan giant cell.Ini disebut brown tumors
, walaupun bukan tumor yang sesungguhnya namun merupakan reparative giant cell
granuloma.
Kehilangan lamina dura dan giant cell tumor dalam rahang adalah tanda dari penyakit
tulang hyperparathyroid, yang mana bukanlah suatu hal yang biasa. Kehilangan
seluruh lamina dura jarang terjadi, dan adalah berbahaya memberikan terlalu banyak
arti diagnostic.
Penyakit lain dimana kemungkinan terjadi hal-hal diatas adalah Paget’s disease,
fibrous dysplasia, dan osteomalasia.
Penelusuran yang berbeda melaporkan bahwa 25%, 45% dan 50% pasien dengan
hyperparathyroidism telah mengalami perubahan pada rongga mulutnya. Hubungan
yang telah diketahui antara penyakit periodontal pada anjing dan hyperparathyroidism
sekunder terhadap defisiensi kalsium dalam diet. Hal ini belum pernah dibuktikan
oleh studi yang lain.
b. Hormon Seks
Ada beberapa tipe penyakit gingival dimana perubahan hormone seks dianggap
sebagai factor pemicunya; tipe-tipe perubahan gingival dihubungkan dengan
perubahan hormon fisiologis dan digolongkan oleh perubahan inflamasi nonspesifik
dengan komponen vascular predominan yang mengawali kecenderungan
hemorrhagic/perdarahan.
Studi eksperimen.
Pemberian progesteron terhadap anjing betina mengakibatkan pembesaran dan
peningkatan permeabilitas microvascular gingiva, dimana juga meningkatkan
kerentanan terhadap luka dan eksudasi, tapi tidak mempengaruhi morfologi epitel
gingiva.
Injeksi estrogen yang berulang pada tikus betina menyebabkan peningkatan
pembentukan tulang endosteal pada rahang dan penurunan
polimerisasi mucopolisakarida protein komplek pada substansi dasar tulang. Injeksi
estrogen juga menetralkan kecendrungan hiperkeratosis epitel gingiva dan fibrosis
dinding pembuluh darah ovariektomi pada hewan betina. Mereka juga menstimulasi
formasi tulang dan fibroplasia, dan berkompensasi terhadap periodontium yang
dirangsang oleh cortison. Penggunaan progesteron, estrogen dan gonadotropin secara
lokal tampak mengurangi respon inflamasi akut terhadap iritasi kimia.
Kadar estrogen dan progesteron yang tinggi meningkatkan eksudasi gingiva pada
anjing betina dengan atau tanpa gingivitis, kebanyakan karena induksi hormon
meningkatkan permeabilitas pada pembuluh darah gingiva.
Ovariektomi mengakibatkan osteoporosis pada tulang alveolar, menurunkan formasi
sementum dan menurunkan densitas jaringan dan aktivitas selular dari ligamen
periodontal pada tikus dewasa muda, tetapi tidak pada hewan yang lebih tua.
Epitelium gingiva atropi pada hewan yang kekurangan estrogen.
Kondisi sistemik dari testosteron memperlambat pertumbuhan ke bawah dari sulkular
epithelium yang mengelilingi sementum,merangsang aktivitas osteoblas pada tulang
alveolar, meningkatkan aktivitas selular dari ligamen periodontal, dan mengembalikan
aktivitas osteoblas, yang ditekan oleh hipophysectomi.
c. Gingiva Pada Pubertas
Pubertas sering disertai dengan meningkatnya respon gingival terhadap iritasi local.
Gejala inflamasi yaitu warna merah kebiruan, odema, dan pembesaran dihasilkan dari
factor local yang merupakan respon ringan gingival.
Sebagai pendekatan terhadap orang dewasa, keparahan rekasi gingival berkurang,
pengembalian menuju ke normal membutuhkan penghilangan factor tersebut.
Meskipun prevalensi dan keparahan penyakit gingival meningkat seiring dengan
pubertas, gingivitis bukan merupakan kejadian yang universal selama periode ini,
dengan oral hygiene yang baik, maka hal tersebut dapat dicegah.
d. Perubahan Gingiva yang berhubungan dengan siklus menstruasi
Seperti gejala yang umum, siklus mentruasi tidak disertai dengan perubahan gingival,
tetapi pada keadaan tertentu hal tersebut dapat terjadi. Perubahan gingival sehubungan
dengan menstruasi karena ketidak seimbangan hormonal dan kadang-kadang disertai
dengan riwayat disfungsi ovarian.
Selama masa menstruasi, prevalensi gingivitis meningkat. beberapa pasien
mengeluhkan perdarahan pada gingival. Eksudat dari inflamasi gingival meningkat
selama menstruasi, tetapi cairan gingival tidak terpengaruh. Mobilitas gigi tidak
berubah secara signifikan selama siklus menstruasi. Jumlah bakteri saliva meningkat
selama menstruasi dan pada ovulasi sampai hari ke-14 sebelumnya.
e. Penyakit Gingiva Selama Kehamilan
Perubahan gingival selama kehamilan telah dijelaskan sejak tahun 1898, bahkan
sebelumnya beberapa ilmu pengetahuan tentang perubahan hormonal pada kehamilan
telah ada.
Kehamilan itu sendiri tidak menyebabkan gingivitis. Gingivitis pada kehamilan
disebabkan oleh bakteri plak. Kehamilan merangsang respon gingival terhadap plak
dan memodifikasi resultan klinis. tidak ada perubahan yang terjadi pada gingival
selama kehamilan tanpa adanya factor local.
Keparahan gingivitis meningkat selama kehamilan dimulai pada bulan kedua atau
ketiga. pasien dengan gingivitis kronis sebelum kehamilan menjadi sadar terhadap
gingival karena sebelumnya area yang terinflamasi menjadi membesar, odematus dan
mengalami perubahan warna. Pasien dengan perdarahan gingival sebelum kehamilan
menjadi perhatian terhadap meningkatnya tendensi perdarahan.
Gingivitis menjadi lebih berat pada bulan kedelapan dan menurun pada bulan ke-9,
akumulasi plak mengikuti pola yang lama. Beberapa peneliti melaporkan terdapat
keparahan antara trimester kedua dan ketiga. Hubungan antara gingivitis dan kuantitas
plak lebih besar setelah melahirkan daripada selama kehamilan, dimana disimpulkan
bahwa kehamilan membutuhkan factor lain yang merangsang respon gingiva terhadap
factor local.
Insiden gingivitis selama kehamilan pada penelitian bervariasi dari 50%-100%.
Kehamilan mempengaruhi keparahan dari area yang terinflamasi, tidak merubah
gingival yang sehat. Mobilitas gigi, kedalaman poket, dan cairan gingival juga
meningkat selama kehamilan.
Reduksi parsial pada keparahan gingivitis terjadi pada dua bulan setelah melahirkan,
dan setelah satu tahun kondisi gingival dibandingkan dengan pasien yang tidak hamil.
Tetapi gingival tidak kembali normal selama terdapat factor local. Pengurangan
setelah kehamilan juga mobilitas gigi, kedalaman poket, dan cairan gingival. Pada
pengamatan longitudinal perubahan periodontal selama kehamilan dan untuk 15 bulan
setelah melahirkan, tidak ada loss of attachment signifikan yang terlihat.
Tendensi bleeding terlihat pada sebagian besar gejala klinis. Gingival terinflamasi dan
bervariasi warnanya dari merah terang hingga merah kebiruan. Margin gingival dan
interdental tampak odematus, pit pada fisur, terlihat halus dan mengkilat, lunak dan
nampak seperti raspberry. Kemerahan yang ekstrim merupakan akibat dari
vaskularisasi, dan terdapat peningkatan tendensi bleeding . perubahan gingival
biasanya tanpa gejala kecuali terdapat komplikasi pada inflamasi akut. Pada beberapa
kasus inflamasi gingival membentuk massa menyerupai tumor sebagai tumor
pregnancy.
Gambaran mikroskopik penyakit gingival selama kehamilan merupakan inflamasi
yang non spesifik, tervaskularisasi, dan inflamasi yang proloferatif. Terdapat infiltrasi
sel inflamasi dengan odema disertai degenerasi epitel gingival dan jaringan ikat.
Epithelium hiperplastik dengan adanya retepeg, mengurangi permukaan yang
berkeratin, dan bermacam derajat intraselular dan odema ekstraselular dan infiltrasi
oleh leukosit.
Kemungkinan interaksi antara bakteri-hormin dapat merubah komposisi plak dan
menyebabkan inflamasi gingival belum diamati secara luas. Kornmen dan loesehe
melaporkan bahwa flora subgingiva berubah menjadi anaerob selama kehamilan.
Satu-satunya mikro organisme yang meningkat secara signifikan adalah P.
Intermedia.
Peningkatan ini berhubungan dengan peningkatan kadar estradiol secara sistemik dan
progesterone bersamaan dengan tendensi bleeding yang tinggi.Disimpulkan juga
bahwa selama kehamilan, penurunan respon limfosit – T maternal mungkin
merupakan factor yang dapat merubah respon jaringan terhadap plak.
Adanya gingivitis selama kehamilan dihubungkan dengan peningkatan kadar
progesterone dimana menyebabkan pelebaran mikrovaskularisasi gingival, sirkulatori
stasis dan meningkatnya kerentanan terhadap iritasi mekanis, semuanya menyebabkan
cairan masuk ke dalam jaringan perivaskuler. Peningkatan progesterone dan estrogen
terjadi selama kehamilan, dan berkurang setelah persalinan. Keparahan gingivitis
bervariasi sesuai kadar hormonal selama kehamilan.
Gingiva merupakan organ target bagi hormon seks wanita. Formicola dkk,
menunjukkan bahwa injeksi estradiol radioaktif terhadap tikus betina terlihat tidak
hanya pada saluran genital tetapi juga pada gingival.
Disimpulkan juga bahwa terjadinya gingivitis selama kehamilan terjadi dalam dua
periode : yaitu selama trimester pertama, ketika terjadi produksi gonadotropin yang
berlebihan, dan selama trimester ketiga, dimana estrogen dan progesterone berada
pada level tertinggi. Kerusakan sel mast pada gingival terjadi karena meningkatnya
hormone seks dan resultan yang dikeluarkan oleh histamine dan enzim proteolitik
yang berperan pada respon inflamasi terhadap factor local.
f. Kontrasepsi Hormonal dan Gingiva
Kontrasepsi Hormonal membuat respon gingival terhadap factor local sama dengan
yang terlihat selama kehamilan, ketika digunakan lebih dari 1,5 tahun dapat
meningkatkan kerusakan periodontal.
Meskipun beberapa merk kontrasepsi oral memproduksi perubahan dramatis daripada
yang lain, tidak ada hubungan yang ditemukan pada perbedaan progesterone atau
estrogen pada bermacam-macam merk tersebut. Kontrasepsi oral tidak mempengaruhi
inflamasi gingival atau skor debris indeks.
g. Menopausal Gingivostomatitis (senile atrophic gingivitis)
Kondisi ini terjadi selama menopause atau selama periode postmenopause. Gejala
yang ringan kadang-kadang terlihat, berhubungan dengan perubahan awal menopause.
Menopausal Gingivostomatitis bukan merupakan kondisi yang umum. Pola tersebut
digunakan untuk memperbaiki anggapan yang keliru yang bervariasi sehubungan
dengan menopause. Gangguan pada rongga mulut bukan merupakan gejala yang
umum dari menopause.
Gingiva dan mukosa oral tampak kering dan mengkilat, bervariasi warnanya dari
pucat hingga kemerahan, dan mudah berdarah. Terdapat fisur pada mucobucal fold
pada beberapa kasus dan perubahan dapat terjadi pada mukosa vagina. Pasien
mengeluhkan burning sensation dan mulut kering, sehubungan dengan sensitivitas
yang ekstrim terhadap perubahan termis, sensasi rasa yang abnormal yang disebut
salty, peppery atau sour dan sulit memakai gigi tiruan sebagian lepasan. Secara
mikroskopis gingival menunjukkan atropi pada germinal dan prickle cell layers dari
epitel dan pada beberapa kasus daerah tersebut terdapat ulserasi.
Gejala dari Menopausal Gingivostomatitis memiliki beberapa derajat perbandingan
terhadap kronik desquamative gingivitis . Gejala tersebut sama dengan Menopausal
Gingivostomatitis kadang-kadang terjadi setelah ovariektomi atau sterilisasi oleh
radiasi pada saat terapi neoplasma ganas.
h. Hormon Kortikosteroid
Pada manusia, pemberian sistemik kortison dan ACTH tidak mempunyai efek
terhadap insiden dan keparahan terhadap penyakit gingival dan periodontal. Tetapi
transplantasi ginjal pada pasien yang menerima terapi immunosupresive (prednisone
dan metilprednison dan azatioprin atau siklofosfamid) secara signifikan mengurangi
inflamasi gingival daripada kelompok control dengan jumlah plak yang sama.
Pemberian kortison secara sistemik pada eksperimen binatang menyebabkan
osteoporosis tulang alveolar, dilatasi kapiler dan penelanan, dengan perdarahan pada
ligament periodontal dan jaringan ikat gingival, degenerasi dan reduksi serabut
kolagen pada ligament periodontal dan meningkatnya destruksi jaringan periodontal
sehubungan dengan inflamasi yang disebabkan oleh iritasi local.
2. Kelainan hematologi dan defisiensi imun
a. Leukimia
Penyakit leukemia merupakan neoplasia ganas dari prekursor sel darah putih yang
disebabkan oleh difusi penempatan ulang dari sumsum tulang dengan proliferasi sel
leukemia, jumlah yang abnormal, dan bentuk sel darah putih yang belum dewasa di
dalam sirkulasi darah, dan infiltrasi secara luas pada hati, limpa, nodus limfe, dan
bagian tubuh lainnya.
Manifestasi periodontal dari leukemia terdiri infiltrasi leukemia, perdarahan, ulser di
mulut dan infeksi. Ekspresi dari tanda-tanda tersebut adalah biasa pada akut dan
bentuk subakut dari leukemia dari pada bentuk kronik. Sel-sel leukemia dapat
menyusup pada gingiva dan sedikit tulang alveolar. Infiltrasi gingiva sering
mengakibatkan pembesaran gingiva leukemia (Anonim, 2012).
b. Anemia
Anemia secara fungsional didefinisikan sebagai penurunan jumlah massa eritrosit (red
cell mass) sehingga tidak dapat memenuhi fungsinya untuk membawa oksigen dalam
jumlah yang cukup ke jaringan perifer (penurunan oxygen carrying capacity). Secara
praktis anemia ditunjukkan oleh penurunan kadar hemoglobin, hematokrit atau hitung
eritrosit (red cell count) (Bakta, 2009). Anemia berat ditandai dengan mobilitas gigi
dan umumnya kehilangan tulang alveolar yang parah dilihat dari pemeriksaan
radiografi (Hatipoglu et al, 2012).
c. Thrombocytopenia
Trombositopenia imun primer adalah gangguan perdarahan yang diperoleh dengan
tidak ada penyebab klinis jelas trombositopenia. Indikator klinis dari ITP termasuk
mudah memar pada kulit, perdarahan berkepanjangan pada cedera, lesi mukokutan
seperti petechiae dan ekimosis, epistaksis, perdarahan gastrointestinal, hematuria dan
perdarahan dari gusi (Sangwan et al, 2013).
d. Kelainan leukosit
Gangguan yang mempengaruhi produksi atau fungsi leukosit dapat mengakibatkan
kerusakan periodontal yang parah. Leukosit polymorphonuclear memainkan peran
penting dalam infeksi bakteri karena PMN adalah garis pertahanan pertama. Banyak
kondisi sistemik terkait dengan atau predisposisi untuk kerusakan periodontal
termasuk gangguan genetik yang mengakibatkan jumlah yang memadai fungsi
sirkulasi neutrofil. Pentingnya neutrofil dalam perlindungan periodonsium terhadap
infeksi.
Periodontitis parah telah diamati pada individu dengan gangguan neutrofil primer
seperti neutropenia, agranulositosis, sindrom Chediak-higashi, dan Lazy leukocyte
syndrome. Disamping itu, periodontitis parah pada individu menunjukkan penurunan
neutrofil sekunder, seperti yang terlihat dalam sindrom Down, sindrom Papillon
Lefevre, dan penyakit inflamasi usus (Newmann et al, 2006).

3. Kelainan Genetik
a. Down syndrome
Sindroma Down merupakan penyakit genetik yang terkait dengan ekstra kromosom
21 pada manusia. Sindroma Down merupakan gangguan kromosom yang paling
umum terjadi dengan prevalensi 9,2 kasus per 10.000 kelahiran di AS. Penderita
sindroma Down memiliki beberapa kelainan secara mental dan fisik yang dapat
mempengaruhi kesehatan rongga mulut. Permasalahan pada rongga mulut yang sering
terjadi adalah penyakit periodontal seperti gingivitis dan periodontitis mulai terjadi
semenjak usia dini dan tingkat keparahannya sejalan dengan pertambahan usia. Dari
hasil penelitian diperoleh bahwa keadaaan oral higiene pada sindroma Down
cenderung buruk (Lubis, 2015).
Manifestasi dari Sindroma Down pada rongga mulut yaitu penyakit periodontal yang
parah (masalah kesehatan mulut yang paling signifikan), prevalensi lebih rendah dari
karies gigi, erupsi gigi permanen tertunda, maloklusi, kongenital gigi yang hilang dan
cacat yang umum; hipoplasia pada pertengahan wajah; hypodontia,
mikrodonsia; macroglossia, pecah-pecah dan menonjol pada lidah; dan tongue thrust,
bruxium, clenching, dan pernapasan melalui mulut.
Pasien dengan Sindroma Down sering kehilangan gigi mereka di awal remaja mereka
karena penyakit periodontal serta faktor lainnya yaitu defisiensi imun, kontrol yang
tidak memadai plak bakteri, kurangnya fungsi pengunyahan, penuaan dini, perubahan
dalam anatomi gigi (akar pendek) (Burzynski SP, 2015).

4. Kelainan stress dan psikomatik


a. Stres psikososial, depresi, dan coping
Individu dengan keterampilan berfokus pada masalah bernasib lebih baik daripada
individu dengan berfokus pada emosi yang berhubungan dengan penyakit periodontal.
Sebagai bagian dari analisis, para peneliti juga menemukan bahwa stress kronis dan
tidak dapat mengatasi perubahan kebiasaan sehari-hari, seperti kebersihan mulut yang
lebih buruk, clenching dan grinding, menurunnya aliran saliva, dan menekan imun.
Metode mengatasi emosi untuk membuat host lebih rentan terhadap efek kerusakan
penyakit periodontal daripada metode penanggulangan praktis (Newmann et al, 2006).
b. Stres yang disebabkan imunosupresi
Individu yang stres memiliki kebersihan mulut yang lebih buruk, mulai atau
meningkatnya clenching dan grinding pada gigi, mungkin merokok akan lebih sering
(Newmann et al, 2006).
c. Pengaruh stress pada hasil terapi periodontal
Individu dengan depresi memiliki hasil terapi pasca yang kurang
menguntungkan dibandingkan dengan mereka yang tidak depresi . penulis
menyimpulkan bahwa depresi mungkin memiliki efek negatif pada hasil perawatan
periodontal (Newmann et al, 2006).
d. Kejiwaan yang berpengaruh pada cedera diri
Gangguan psikosomatik dapat mengakibatkan efek berbahaya bagi kesehatan jaringan
periodonsium di rongga mulut melalui kebiasaan yang merugikan. Kebiasaan
neurotik, seperti grinding atau clenching gigi, menggigit benda asing, menggigit kuku,
dan penggunaan berlebihan dari tembakau, semua berpotensi merugikan gigi dan
periodonsium. Cedera gingiva ditimbulkan seperti resesi gingiva pada anak-anak dan
orang dewasa (Newmann et al, 2006).

5. Pengaruh nutrisi
a. Obesitas
Obesitas atau kegemukan berperan menjadi faktor resiko yang besar dari penyakit
kronis, termasuk hipertensi dan stroke, penyakit-penyakit kronis mulut dan berbagai
bentuk kanker. Para peneliti menemukan bahwa prevalensi penyakit periodontal pada
individu dengan obesitas yang berumur 18-34 tahun adalah 76% lebih tinggi daripada
individu dengan berat normal pada kelompok umur yang sama.
Obesitas berperan sebagai faktor resiko periodontitis melalui TNF- α. Terjadinya
obesitas berkaitan dengan adanya penimbunan asam lemak bebas, yang juga dapat
menimbulkan diabetes mellitus. Hal ini menunjukkan adanya saling keterkaitan antara
obesitas, diabetes mellitus, dan penyakit periodontal.
Beberapa hal yang terjadi pada pasien diabetes sehingga cenderung memperparah
penyakit periodontal adalah : Kandungan glukosa yang terdapat di dalam cairan
gingiva dan darah pada pasien diabetes dapat mengubah lingkungan mikroflora,
meliputi perubahan kualitatif bakteri yang berpengaruh terhadap keparahan penyakit
periodontal, penderita diabetes rentan terhadap terjadinya infeksi, pada pasien
diabetes yang tidak terkontrol yang megalami hiperglikemi kronis terjadi pula
perubahan metabolism kolagen, dimana terjadi peningkatan aktivitas collagenase dan
penurunan collagen synthesis. Kolagen yang terdapat di dalam jaringan cenderung
lebih mudah mengalami kerusakan akibat infeksi periodontal yang mempengaruhi
integritas jaringan tersebut (Amalia, 2010).
b. Kekurangan vitamin larut lemak
Vitamin A, D, E, dan K termasuk vitamin yang larut dalam lemak. Vitamin larut
lemak yang diserap melalui saluran usus dengan bantuan lipid (lemak). Kemungkinan
besar menumpuk di dalam tubuh, vitamin yang larut dalam lemak lebih cenderung
menyebabkan hypervitaminosis daripada vitamin yang larut dalam air. Tanda-tanda
pertama dari kekurangan beberapa mikronutrien terlihat pertama dalam mulut, seperti
glositis, cheilitis, dan radang gusi (Saini, 2011).
Pada defisiensi vitamin A terjadi hyperkeratosis dan hyperplasia pada gingiva dengan
kecenderungan pembentukan poket periodontal yang meningkat. Pada defisiensi
vitamin D terjadi osteoporosis pada tulang alveolar, osteoid yang membentuk pada
tingkat normal, tetapi tetap tidak terkalsifikasi, kegagalan osteoid untuk menyerap,
yang mengarah ke akumulasi yang berlebihan, pengurangan lebar ligamen
periodontal, tingkat normal pembentukan sementum, tetapi kalsifikasi rusak dan
beberapa resorpsi, dan distorsi pola pertumbuhan tulang alveolar. Pada vitamin E
mempercepat penyembuhan luka pada gingiva (Newmann et al, 2006).
c. Kekurangan vitamin larut air
Vitamin B dan C termasuk vitamin larut dalam air. Vitamin yang larut dalam air larut
dalam air dan secara umum dapat segera dikeluarkan dari tubuh, asupan harian begitu
konsisten penting (Saini, 2011). Pada defisiensi vitamin B terjadi gingivitis, glositis,
glossodynia, angular cheilitis, dan inflamasi seluruh mukosa rongga mulut. Pada
defisiensi vitamin C terjadi gingivitis dengan pembesaran, hemoragik, gingiva merah
kebiruan (Newmann et al, 2006).
d. Kekurangan protein
Hasil deplesi protein di hypoproteinemia dengan banyak perubahan patologis.
Kekurangan protein telah terbukti menyebabkan perubahan pada periodonsium,
seperti degenerasi jaringan ikat gingiva dan ligamen periodontal, osteoporosis tulang
alveolar, deposisi gangguan sementum, tertundanya penyembuhan luka dan atrofi dari
epitel lidah (Newmann et al, 2006).
6. Kondisi sistemik lainnya
a. Hipopospatasia
Hypophosphatasia adalah penyakit keturunan yang jarang terjadi, gejala klinis satu
yang sering yaitu kehilangan dini gigi sulung (Plagmann et al, 1994). Deposisi
mineral seperti kalsium dan fosfat juga terpengaruh. Akibatnya ada tulang yang rusak
dan mineralisasi sementum. Hal ini diyakini sebagai sumber perubahan gigi yang
terlihat di hypophosphatasia. Perubahan gigi terutama mempengaruhi gigi
primer. Perubahan ini mungkin termasuk hipoplasia sementum, kalsifikasi tidak
teratur pada dentin, ruang pulpa membesar dan penurunan ketinggian tulang
alveolar. Sebuah teori yang lebih baru menunjukkan bahwa meskipun sementum
adalah hipoplasia resorpsi sebenarnya sementum yang terjadi karena serangan bakteri.
Tanda-tanda klinis oral Hypophosphatasia adalah hilangnya dini gigi primer dengan
atau tanpa riwayat trauma ringan. Pada radiografi terlihat ruang pulpa membesar dan
penurunan ketinggian tulang alveolar. Histologi gigi yang ditandai dengan kurangnya
sementum (Cohn, 2011).
b. Penyakit jantung bawaan
Salah satu penyakit jantung bawaan yaitu tetralogy of fallot (TOF). Tetralogy of
Fallot merupakan kerusakan jantung yang terjadi secara kongenital dimana secara
khusus mempunyai empat kelainan anatomi pada jantungnya. Evaluasi dental yang
dilakukan meliputi jaringan lunak intraoral, pemeriksaan oklusal, karies, periodontal,
dan radiografi terbaru seluruh rongga mulut. Pemeriksaan ini harus dilakukan secara
spesifik untuk mendeteksi adanya infeksi akut atau subakut yang dapat mempengaruhi
status atau kondisi pasien sesudah prosedur bedah jantung. Abses aktif, fistula,
penyakit periapikal, dan penyakit periodontal yang aktif mempunyai potensi yang
besar untuk terjadinya bacteremia dan dapat menyebabkan bacterial endocarditis pada
pasien yang mempunyai pertahanan tubuh yang rendah. Bakteri rongga mulut,
khususnya dari sulkus periodontal, merupakan factor penyebab tersebar terjadinya
endocarditis bacterial subakut. Penyebab lain adalah kondisi rongga mulut yang jelek,
oral hygiene yang buruk yang menyebabkan perdarahan gingiva dan cara menyikat
gigi yang salah sehingga menyebabkan bakteremia (Johari, 2009). Perubahan rongga
mulut lainnya yaitu perubahan warna merah keunguan pada bibir dan gingiva
(Newmann et al, 2006).
c. Keracunan logam
Konsumsi logam seperti merkuri, timbal, dan bismuth dalam senyawa obat dan
melalui kontak dapat mengakibatkan manifestasi oral yang disebabkan oleh salah satu
keracunan atau penyerapan tanpa bukti toksisitas.
 Keracunan bismuth
Keracunan bismuth kronis ditandai dengan gangguan pencernaan, mual,
muntah, dan sakit kuning, serta oleh ulseratif gingivostomatitis, umumnya
dengan pigmentasi dan disertai dengan rasa logam dan sensasi terbakar dari
mukosa mulut. Pigmentasi bismut dalam rongga mulut biasanya muncul sempit,
warna hitam kebiruan dari margin gingiva di daerah yang sudah ada inflamasi
gingiva sebelumnya (Newmann et al, 2006).
 Keracunan timbal
Timbal secara perlahan diserap, dan gejala toksik tidak terlalu pasti bila terjadi.
Tanda-tanda oral termasuk air liur, coated tongue, rasa manis yang khas,
pigmentasi gingiva, dan ulserasi. Pigmentasi gingiva adalah linier (garis
burtonian), abu-abu baja, dan berhubungan dengan peradangan lokal. Tanda-
tanda oral dapat terjadi tanpa gejala toksik (Newmann et al, 2006).
 Keracunan merkuri
Keracunan merkuri dikarakteristikan dengan sakit kepala, insomnia, gejala
kardiovaskular, saliva jelas (ptyalism), dan rasa logam. Pigmentasi gingiva
dalam bentuk garis hasil dari deposisi merkuri sulfida. Kimiawi juga bertindak
sebagai iritan, yang menonjolkan peradangan yang sudah ada sebelumnya dan
sering menyebabkan ulserasi penting dari gingiva dan mukosa yang berdekatan
dan kerusakan tulang yang mendasarinya (Newmann et al, 2006).

Anda mungkin juga menyukai