Anda di halaman 1dari 8

BAB I

PENDAHULUAN

DNR (Do Not Resuscitate) merupakan suatu keadaan dimana tidak


dilakukannya tindakan Resusitasi Jantung Paru (RJP) bagi pasien atau masyarakat
jika terjadi suatu permasalahan darurat pada jantung atau berhentinya pernafasan
pasien. Dalam hal ini berarti DNR secara umum pasien tidak akan menerima atau
mendapatkan tindakan RJP untuk memepertahankan kehidupan atau mengembalikan
penderita dari kematian klinis.
DNR sudah ada lebih dari 40 tahun tetapi sampai saat ini masih menjadi
perdebatan dan kontroversi diberbagai Negara. Dimana mereka menemukan
kebingungan bagaimana menerapkan konteks DNR pada kasus-kasus yang ditemui
dimana pada beberapa Negara perintah DNR diberikan pada orang-orang yang dalam
keadaan terminal, namun definisi terminal ini bervariasi harapan hidupnya antara
kurang dari 2 minggu sampai 6 bulan dan pada beberapa Negara lain tidka
memberikan batas jangka waktu tetapi menggunakan bagaimana penilaian dari dokter
tersebut. (SUICIDAL PATIENTS WITH A DO-NOT-RESUSCITATE ORDER)
Saat ini akan ditemui sesuatu dimana dokter dihadapkan oleh suatu pilihan
yang sulit apakah harus melakukan atau tidak melakukan dan apakah itu beresiko
atau tidak terhadap keselamatan pasien. Salah satu kasus yang sering ditemukan
adalah DNR. Misalnya jika tiba-tiba pasien mengalami henti jantung dan sebagai
dokter, membiarkan pasien mati karena permintaan DNR dari pasien maupun
keluarga. Tetapi apabila dilakukan RJP, dokter akan dianggap tidak menghormati
keputusan pasien/keluarga dan dapat dituntut. Di satu pihak dokter tidak berhak untuk
mengakhiri kehidupan, tugas utama ialah untuk menyembuhkan dan
memperjuangkan kehidupan. Di lain pihak dokter memiliki kewajiban untuk
menolong pasien yang menderita dan karena itu tidak boleh mengabaikan permintaan
pasien atau keluarga. (Do-Not-Resuscitate Orders and Medical Futility &
Sebagian pasien dengan penyakit terminal seperti kanker biasanya lebih
memilih untuk meninggal dirumah mereka sendiri. Tetapi banyak yang memilih
untuk tidak dilakukan resusitasi saat di rumah sakit atau yang kita kenal dengan
DNR, hal ini biasanya akan didiskusikan oleh pasien dan keluarga yang kemudian
akan menyampaikan keputusan mereka kepada dokter yang merawat.( SUICIDAL
PATIENTS WITH A DO-NOT-RESUSCITATE ORDER)
Pada awal dan akhir resusitasi, perbedaan etik dan norma-norma budaya juga
harus dipertimbangkan. Meskipun prinsip-prinsip etik tentang beneficence,
nonmaleficence, autonomy dan justice dapat diterima diseluruh budaya, tetapi
prioritas prinsip-prinsip tersebut dapat bervariasi antara kebudayaan yang berbeda.
Untuk itu pada referat ini akan dibahas DNR atau Do Not Resuscitate itu
sendiri pada masyarakat.
BAB II
ISI

I. Definisi
DNR atau do-not-resuscitate adalah suatu perintah yang memberitahukan
tenaga medis untuk tidak melakukan RJP. Hal ini berarti bahwa dokter, perawat, dan
tenaga emergensi medis tidak akan melakukan usaha RJP emergensi bila pernapasan
maupun jantung pasien berhenti.
Seperti kita ketahui DNR adalah dimana kita tidak melakukan tindakan RJP,
tindakan Resusitasi jantung paru (RJP) adalah upaya mengembalikan fungsi nafas
dan atau sirkulasi yang berhenti oleh berbagai sebab dan boleh membantu
memulihkan kembali kedua-dua fungsi jantung dan paru ke keadaan normal. (AHA
Guidelines 2015 in Indonesia)
II. Hubungan Resusitasi dengan ADRT
III. Aspek Medikolegal DNR
1. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 29 Tahun 2004 Tentang
Praktik Kedokteran
 Pasal 52 UU RI Nomor 29 Tahun 2004
Pasien, dalam menerima pelayanan pada praktik kedokteran, mempunyai hak:
a. mendapatkan penjelasan secara lengkap tentang tindakan medis
sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 45 ayat (3);
b. meminta pendapat dokter atau dokter gigi lain;
c. mendapatkan pelayanan sesuai dengan kebutuhan medis;
d. menolak tindakan medis; dan
e. mendapatkan isi rekam medis.
 Pasal 45 ayat (3) UU RI Nomor 29 Tahun 2004
Penjelasan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) sekurang-kurangnya
mencakup :
a. diagnosis dan tata cara tindakan medis;
b. tujuan tindakan medis yang dilakukan;
c. alternatif tindakan lain dan risikonya;
d. risiko dan komplikasi yang mungkin terjadi; dan
e. prognosis terhadap tindakan yang dilakukan.
 Pasal 53 UU RI Nomor 29 Tahun 2004
Pasien, dalam menerima pelayanan pada praktik kedokteran, mempunyai
kewajiban :
a. memberikan informasi yang lengkap dan jujur tentang masalah
kesehatannya;
b. mematuhi nasihat dan petunjuk dokter atau dokter gigi;
c. mematuhi ketentuan yang berlaku di sarana pelayanan kesehatan; dan
d. memberikan imbalan jasa atas pelayanan yang diterima.
 Pasal 50 UU RI Nomor 29 Tahun 2004
Dokter atau dokter gigi dalam melaksanakan praktik kedokteran mempunyai
hak :
a. memperoleh perlindungan hukum sepanjang melaksanakan tugas sesuai
dengan standar profesi dan standar prosedur operasional;
b. memberikan pelayanan medis menurut standar profesi dan standar
prosedur operasional;
c. memperoleh informasi yang lengkap dan jujur dari pasien atau
keluarganya;
danmenerima imbalan jasa.
 Pasal 51 UU RI Nomor 29 Tahun 2004
Dokter atau dokter gigi dalam melaksanakan praktik kedokteran mempunyai
kewajiban:
a. memberikan pelayanan medis sesuai dengan standar profesi dan standar
prosedur operasional serta kebutuhan medis pasien;
b. merujuk pasien ke dokter atau dokter gigi lain yang mempunyai keahlian
atau kemampuan yang lebih baik, apabila tidak mampu melakukan suatu
pemeriksaan atau pengobatan;
c. merahasiakan segala sesuatu yang diketahuinya tentang pasien, bahkan
juga setelah pasien itu meninggal dunia;
d. melakukan pertolongan darurat atas dasar perikemanusiaan, kecuali bila
ia yakin ada orang lain yang bertugas dan mampu melakukannya; dan
e. menambah ilmu pengetahuan dan mengikuti perkembangan ilmu
kedokteran atau kedokteran gigi.
DNR atau Do Not Resusitate merupakan tidak dilakukannya tindakan
bantuan resusitasi jantung paru disaat terjadi permasalahan atau henti dari jantung
maupun berhenti bernafas yang merupakan tindakan untuk bantuan hidup pasien. Hal
tersebut diatur dalam Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia nomor 37 tahun
2014 tentang Penentuan Kematian dan Pemanfaatan Organ Donor, tepatnya dimuat dalam
Bab III tentang penghentian atau penundaan bantuan hidup.
2. Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia nomor 37 tahun 2014 tentang
Penentuan Kematian dan Pemanfaatan Organ Donor
 Pasal 14 Bab II Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia nomor
37 tahun 2014
1) Pada pasien yang berada dalam keadaan yang tidak dapat disembuhkan
akibat penyakit yang dideritanya (terminal state) dan tindakan
kedokteran sudah sia-sia (futile) dapat dilakukan penghentian atau
penundaan terapi bantuan hidup.
2) Kebijakan mengenai kriteria keadaan pasien yang terminal state dan
tindakan kedokteran yang sudah sia-sia (futile) ditetapkan oleh Direktur
atau Kepala Rumah Sakit.
3) Keputusan untuk menghentikan atau menunda terapi bantuan hidup
tindakan kedokteran terhadap pasien sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) dilakukan oleh tim dokter yang menangani pasien setelah
berkonsultasi dengan tim dokter yang ditunjuk oleh Komite Medik atau
Komite Etik.
4) Rencana tindakan penghentian atau penundaan terapi bantuan hidup
harus diinformasikan dan memperoleh persetujuan dari keluarga pasien
atau yang mewakili pasien.
5) Terapi bantuan hidup yang dapat dihentikan atau ditunda hanya
tindakan yang bersifat terapeutik dan/atau perawatan yang bersifat luar
biasa (extra-ordinary), meliputi:
a. Rawat di Intensive Care Unit;
b. Resusitasi Jantung Paru;
c. Pengendalian disritmia;
d. Intubasi trakeal;
e. Ventilasi mekanis;
f. Obat vasoaktif;
g. Nutrisi parenteral;
h. Organ artifisial;
i. Transplantasi;
j. Transfusi darah;
k. Monitoring invasif;
l. Antibiotika; dan
m. Tindakan lain yang ditetapkan dalam standar pelayanan kedokteran.
6) Terapi bantuan hidup yang tidak dapat dihentikan atau ditunda meliputi
oksigen, nutrisi enteral dan cairan kristaloid.
 Pasal 13 Bab III Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia nomor
37 tahun 2014
1) Keluarga pasien dapat meminta dokter untuk melakukan penghentian
atau penundaan terapi bantuan hidup atau meminta menilai keadaan
pasien untuk penghentian atau penundaan terapi bantuan hidup.
2) Keputusan untuk menghentikan atau menunda terapi bantuan hidup
tindakan kedokteran terhadap pasien sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) dilakukan oleh tim dokter yang menangani pasien setelah
berkonsultasi dengan tim dokter yang ditunjuk oleh Komite Medik atau
Komite Etik.
3) Permintaan keluarga pasien sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya
dapat dilakukan dalam hal:
a. pasien tidak kompeten tetapi telah mewasiatkan pesannya tentang hal
ini (advanced directive) yang dapat berupa:
1. pesan spesifik yang menyatakan agar dilakukan penghentian atau
penundaan terapi bantuan hidup apabila mencapai keadaan futility
(kesia-siaan)
2. pesan yang menyatakan agar keputusan didelegasikan kepada
seseorang tertentu (surrogate decision maker)
b. pasien yang tidak kompeten dan belum berwasiat, namun keluarga
pasien yakin bahwa seandainya pasien kompeten akan memutuskan
seperti itu, berdasarkan kepercayaannya dan nilainilai yang dianutnya.
4) Dikecualikan dari ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan
ayat (2) bila pasien masih mampu membuat keputusan dan menyatakan
keinginannya sendiri.
5) Dalam hal permintaan dinyatakan oleh pasien sebagaimana dimaksud
pada ayat (3), maka permintaan pasien tersebut harus dipenuhi.
6) Dalam hal terjadi ketidaksesuaian antara permintaan keluarga dan
rekomendasi tim yang ditunjuk oleh komite medik atau komite etik,
dimana keluarga tetap meminta penghentian atau penundaan terapi
bantuan hidup, tanggung jawab hukum ada di pihak keluarga.
IV. Portabilitas DNR
V. Kriteria DNR
VI. Aspek etika Kedokteran

Anda mungkin juga menyukai