Anda di halaman 1dari 21

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Menurut Peraturan Pemerintah RI nomor 28 tahun 2004 pangan adalah segala sesuatu
yang berasal dari sumber hayati dan air, baik yang diolah maupun yang tidak diolah, yang
diperuntukkan sebagai makanan atau minuman bagi konsumsi manusia, termasuk bahan
tambahan pangan, bahan baku pangan, dan bahan lain yang digunakan dalam proses
penyiapan, pengolahan dan atau pembuatan makanan atau minuman.

Pangan merupakan kebutuhan mendasar bagi manusia untuk dapat mempertahankan


hidup dan karenanya kecukupan pangan bagi setiap orang setiap waktu merupakan hak azasi
yang layak dipenuhi. Berdasar kenyataan tersebut masalah pemenuhan kebutuhan pangan
bagi seluruh penduduk setiap saat di suatu wilayah menjadi sasaran utama kebijakan pangan
bagi pemerintahan suatu negara. Indonesia sebagai negara dengan jumlah penduduk yang
besar menghadapi tantangan yang sangat kompleks dalam memenuhi kebutuhan pangan
penduduknya. Ketahahan pangan merupakan bagian dari ketahahan ekonomi nasional yang
berdampak besar pada seluruh warga negara yang ada dalam Indonesia. Dalam hal ketahanan
pangan, bukan hanya sebatas pada sesuatu yang dianggap mudah dan ia memiliki pengaruh
besar terhadap pertahahanan keamanan. Pertahanan pangan merupakan salah satu hal yang
mendukung dalam mempertahankan pertahahanan keamanan, bukan hanya sebagai komoditi
yang memiliki fungsi ekonomi, akan tetapi merupakan komoditi yang memiliki fungsi sosial
dan politik, baik nasional maupun global. Untuk itulah, ketahahan pangan dapat mempunyai
pengaruh yang penting pula agar pertahanan keamanan dapat diciptakan.

1.2 Rumusan Masalah

1. Apa definisi ketahanan pangan.?


2. Apa tujuan ketahanan pangan.?
3. Apa konsep ketahanan pangan.?
4. Apa-apa saja ruang lingkup ketahanan pangan.?
5. Bagaimana distribusi pangan mulai dari produsen sampai ke rumah tangga.?
6. Apa saja faktor yang berpengaruh pada ketahanan pangan,?
7. Apa saja indikator-indikator ketahanan pangan.?

1
8. Apa saja kelembagaan yang mengatur ketahanan pangan.?
9. Apa saja program-program dalam upaya ketahanan pangan.?
10. Apa saja permasalahan dan tantangan yang dihadapi oleh pemerintah dalam mencapai
ketahanan pangan.?

1.3 Tujuan

1. Mahasiswa bisa mengetahui definisi ketahanan pangan.


2. Mahasiswa bisa mengetahui tujuan ketahanan pangan.
3. Mahasiswa bisa mengetahui konsep ketahanan pangan.
4. Mahasiswa bisa mengetahui ruang lingkup ketahanan pangan.
5. Mahasiswa bisa mengetahui distribusi pangan mulai dari produsen sampai ke rumah
tangga.
6. Mahasiswa bisa mengetahui faktor yang berpengaruh pada ketahanan pangan.
7. Mahasiswa bisa mengetahui indikator-indikator ketahanan pangan.
8. Mahasiswa bisa mengetahui kelembagaan yang mengatur ketahanan pangan.
9. Mahasiswa bisa mengetahui program-program dalam upaya ketahanan pangan.
10. Mahasiswa bisa mengetahui permasalahan dan tantangan yang dihadapi oleh
pemerintah dalam mencapai ketahanan pangan.

2
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Definisi Ketahanan Pangan
Undang-Undang Pangan No.7 Tahun 1996 memberikan definisi ketahanan pangan
sebagai kondisi terpenuhinya kebutuhan pangan bagi rumah tangga yang tercermin dari
tersedianya pangan secara cukup, baik dari jumlah maupun mutunya, aman, merata dan
terjangkau.

Sementara USAID (1992) mendefinisikan ketahanan pangan sebagai satu kondisi


dimana masyarakat pada satu yang bersamaan memiliki akses yang cukup baik secara fisik
maupun ekonomi untuk memenuhi kebutuhan dietary dalam rangka untuk peningkatan
kesehatan dan hidup yang lebih produktif.

Berdasarkan pengertian dan konsep tersebut di atas maka beberapa ahli sepakat
bahwa ketahanan pangan minimal mengandung dua unsur pokok yaitu ”ketersediaan pangan
dan aksesibilitas masyarakat terhadap pangan”. Salah satu unsur tersebut tidak dipenuhi maka
suatu negara belum dapat dikatakan mempunyai ketahanan pangan yang baik (Arifin, 2004).
Walaupun pangan tersedia cukup di tingkat nasional dan regional, tetapi jika akses individu
untuk memenuhi kebutuhan pangannya tidak merata, maka ketahanan pangan masih
dikatakan rapuh. Akses terhadap pangan, ketersediaan pangan dan resiko terhadap akses dan
ketersediaan pangan tersebut merupakan determinan yang esensial dalam ketahanan pangan
(Von Braun et al, 1992).

Menurut FAO jumlah penduduk dunia yang menderita kelaparan pada tahun 2010
mencapai 925 juta orang. Situasi ini diperparah dengan semakin berkurangnya investasi di
sektor pertanian yang sudah berlangsung selama 20 tahun terakhir, sementara sektor
pertanian menyumbang 70% dari lapangan kerja baik secara langsung maupun tidak
langsung. Kekhawatiran akan makin menurunnya kualitas hidup masyarakat, bahaya
kelaparan, kekurangan gizi dan akibat-akibat negatif lain dari permasalahan tersebut secara
keseluruhan akan menghambat pencapaian goal pertama dari Millennium Development Goals
(MDGs) yakni eradication of poverty and extreme hunger.

Bagi Indonesia, masalah ketahanan pangan sangatlah krusial. Pangan merupakan


basic human need yang tidak ada substitusinya. Indonesia memandang kebijakan pertanian
baik di tingkat nasional, regional dan global perlu ditata ulang. Persoalan ketahanan pangan

3
dan pembangunan pertanian harus kembali menjadi fokus dari arus utama pembangunan
nasional dan global. Oleh karena itu Indonesia mengambil peran aktif dalam menggalang
upaya bersama mewujudkan ketahanan pangan global dan regional.

Upaya mengarusutamakan dimensi pembangunan pertanian, ketahanan pangan dan


pengentasan kemiskinan Indonesia selaku koordinator G-33 secara aktif mengedepankan isu
food security, rural development dan livelihood security sebagai bagian dari hak negara
berkembang untuk melindungi petani kecil dari dampak negatif masuknya produk-produk
pertanian murah dan bersubsidi dari negara maju, melalui mekanisme special products dan
special safeguard mechanism.

Sebagai negara dengan komitmen yang tinggi untuk menjaga stabilitas ketahanan
pangan global, Indonesia juga telah menandatangani Letter of Intent (LoI) dengan FAO pada
bulan Maret 2009 sebagai bentuk dukungan Indonesia terhadap berbagai program
peningkatan ketahanan pangan global dan pembangunan pertanian negara-negara
berkembang lainnya. terutama dalam kerangka Kerjasama Selatan-Selatan (South-South
Cooperation), kerjasama teknis negara-negara berkembang (KTNB/TCDC) dan pencapaian
goal dari MDGs. Penandatanganan LoI ini juga diharapkan akan semakin memperkuat peran
Indonesia dalam membantu peningkatan pembangunan pertanian di negara-negara
berkembang, terutama di negara-negara Asia Pasifik dan Afrika yang telah berjalan sejak
tahun 1980.

2.2 Tujuan Pembangunan Ketahanan Pangan

Tujuan pembangunan ketahanan pangan adalah mencapai ketahanan dalam bidang


pangan dalam kondisi terpenuhinya pangan bagi setiap rumah tangga dari produksi pangan
nasional yang tercermin dari tersedianya pangan yang cukup, jumlah dan mutu, aman, merata
dan terjangkau seperti diamanatkan dalam UU pangan.

2.3 Konsep Ketahanan Pangan

Berdasarkan definisi ketahanan pangan dari FAO (1996) dan UU RI No. 7 tahun
1996, yang mengadopsi definisi dari FAO, ada 4 komponen yang harus dipenuhi untuk
mencapai kondisi ketahanan pangan yaitu:

4
1. kecukupan ketersediaan pangan;
2. stabilitas ketersediaan pangan tanpa fluktuasi dari musim ke musim atau dari tahun ke
tahun.
3. aksesibilitas/keterjangkauan terhadap pangan serta
4. kualitas/keamanan pangan

Keempat komponen tersebut akan digunakan untuk mengukur ketahanan pangan di


tingkat rumah tangga dalam studi ini. Keempat indikator ini merupakan indikator utama
untuk mendapatkan indeks ketahanan pangan. Ukuran ketahanan pangan di tingkat rumah
tangga dihitung bertahap dengan cara menggambungkan keempat komponen indikator
ketahanan pangan tersebut, untuk mendapatkan satu indeks ketahanan pangan.

Ketahanan Pangan merupakan kondisi terpenuhinya pangan bagi rumah tangga yang
tercermin dari ketersediaan pangan yang cukup, baik jumlah, maupun mutunya, aman,
merata, dan terjangkau. Ketahanan pangan merupakan hal yang penting dan strategis, karena
berdasarkan pengalaman di banyak negara menunjukkan bahwa tidak ada satu negarapun
yang dapat melaksanakan pembangunan secara mantap sebelum mampu mewujudkan
ketahanan pangan terlebih dahulu. Undang-undang Nomor 7 Tahun 1996 tentang Pangan
mengamanatkan bahwa pemerintah bersama masyarakat mewujudkan ketahanan pangan bagi
seluruh rakyat Indonesia. Karena Indonesia merupakan negara dengan jumlah penduduk
yang banyak dan tingkat pertumbuhannya yang tinggi, maka upaya untuk mewujudkan
ketahanan pangan merupakan tantangan yang harus mendapatkan prioritas untuk
kesejahteraan bangsa. Indonesia sebagai negara agraris dan maritim dengan sumberdaya alam
dan sosial budaya yang beragam, harus dipandang sebagai karunia Ilahi untuk mewujudkan
ketahanan pangan.

Upaya mewujudkan ketahanan pangan nasional harus bertumpu pada sumberdaya


pangan lokal yang mengandung keragaman antar daerah dan harus dihindari sejauh mungkin
ketergantungan pada pemasukan pangan. Dalam rangka mewujudkan ketahanan pangan,
maka seluruh sektor harus berperan secara aktif dan berkoordinasi secara rapi dengan
Pemerintah Pusat, Pemerintah Propinsi, Pemerintah Kabupaten/Kota, Pemerintah Desa dan
masyarakat untuk meningkatkan strategi demi mewujudkan ketahanan pangan nasional. Oleh
karena ketahanan pangan tercermin pada ketersediaan pangan secara nyata, maka harus
secara jelas dapat diketahui oleh masyarakat mengenai penyediaan pangan. Penyediaan

5
pangan ini bertujuan untuk memenuhi kebutuhan konsumsi rumah tangga yang terus terus
berkembang dari waktu ke waktu.

Untuk mewujudkan penyediaan pangan tersebut, perlu dilakukan pengembangan


sistem produksi, efisiensi sistem usaha pangan, teknologi produksi pangan, sarana dan
prasarana produksi pangan dan mempertahankan dan mengembangkan lahan produktif.
Sumber penyediaan pangan diwujudkan berasal dari produksi dalam negeri, cadangan pangan
dan pemasukan pangan. Pemasukan pangan dilakukan apabila produksi pangan dalam negeri
dan cadangan pangan tidak mencukupi kebutuhan konsumsi dalam negeri. Pemerataan
ketersediaan pangan memerlukan pendistribusian pangan keseluruh wilayah bahkan sampai
rumah tangga. Oleh sebab itu perwujudan distribusi pangan memerlukan suatu
pengembangan transportasi darat, laut dan udara yang sistemnya melalui pengelolaan pada
peningkatan keamanan terhadap pendistribusian pangan.

Cadangan pangan nasional diwujudkan dengan cadangan pangan masyarakat dan


cadangan pangan pemerintah. Cadangan pangan pemerintah dibatasi pada pangan tertentu
yang bersifat pokok, karena tidak mungkin pemerintah mencadangkan semua pangan yang
dibutuhkan masyarakat. Cadangan pangan pemerintah terdiri dari cadangan pangan
Pemerintah Desa, Pemerintah Kabupaten/Kota, Pemerintah Propinsi, dan Pemerintah Pusat
yang perwujudannya memerlukan inventarisasi cadangan pangan, memperkirakan
kekurangan pangan dan keadaaan darurat, sehingga penyelenggaraan pengadaan dalam
pengelolaan cadangan pangan dapat berhasil dengan baik. Cadangan pangan pemerintah
dilakukan untuk menanggulangi masalah pangan dan disalurkan dalam bentuk mekanisme
yang disesuaikan dengan kondisi wilayah dan rumah tangga. Namun penyaluran tersebut
dilakukan dengan tidak merugikan kepentingan masyarakat konsumen dan produsen. Peran
dan tanggung jawab masyarakat dalam hal cadangan pangan dilakukan oleh lembaga
swadaya masyarakat, organisasi masyarakat, swasta, koperasi dan/atau perorangan.

Penganekaragaman pangan merupakan suatu hal yang harus ditingkatkan


keanekaragaman pangannya, sejalan dengan teknologi pengolahan, yang bertujuan
menciptakan kesadaran masyarakat untuk mengkonsumsi aneka ragam pangan dengan
prinsip gizi seimbang. Dalam kegiatan pencegahan dan penanggulangan masalah pangan
perlu dilakukan perencanaan dan pelaksanaan program dan analisis serta evaluasi terhadap
faktor-faktor yang mempengaruhi ketersediaan pangan. Pencegahan masalah pangan
dimaksudkan sebagai langkah antisipatif untuk menghindari terjadinya masalah pangan.

6
Dalam hal penanggulangan masalah pangan harus terlebih dahulu diketahui secara dini
tentang kelebihan pangan, kekurangan pangan dan ketidakmampuan rumah tangga dalam
memenuhi kebutuhan pangan. Oleh sebab itu, penanggulangan masalah pangan kegiatannya
antara lain pengeluaran pangan apabila terjadi kelebihan pangan, peningkatan produksi
dan/atau pemasukan pangan apabila terjadi kekurangan pangan. Selain dari pada itu,
penyaluran pangan secara khusus diutamakan bagi ketidakmampuan rumah tangga dalam
memenuhi kebutuhan pangan, dan memberikan bantuan pangan kepada penduduk miskin.

Ketentuan pengendalian harga khususnya terhadap pangan tertentu yang bersifat


pokok bertujuan untuk menghindari terjadinya gejolak harga yang berakibat resahnya
masyarakat seperti keadaan darurat yang meliputi bencana alam, konflik sosial dan paceklik
yang berkepanjangan. Dengan demikian pengendalian harga pangan harus mengetahui
mekanisme pasar atau adanya intervensi pasar dengan cara mengelola dan memelihara
cadangan pangan pemerintah, mengatur dan mengelola pasokan pangan, mengatur kelancaran
distribusi pangan dan menetapkan kebijakan pajak dan/atau tarif.

Pemerintah Propinsi, Pemerintah Kabupaten/Kota dan/atau Pemerintah Desa


melaksanakan kebijakan ketahanan pangan di wilayahnya masing-masing, dengan
memperhatikan pedoman, norma, standar dan kriteria yang ditetapkan Pemerintah Pusat.
Disamping itu, Pemerintah Propinsi, Pemerintah Kabupaten/Kota dan/atau Pemerintah Desa
mendorong keikutsertaan masyarakat dalam ketahanan pangan dengan cara memberikan
informasi dan pendidikan, membantu kelancaran, meningkatkan motivasi masyarakat serta
meningkatkan kemandirian rumah tangga dalam meningkatkan ketahanan pangan.

Dalam mewujudkan ketahanan pangan, masyarakat mempunyai peran yang luas


misalnya melaksanakan produksi, perdagangan dan distribusi pangan, menyelenggarakan
cadangan pangan serta melakukan pencegahan dan penanggu-langan masalah pangan.
Ketahanan pangan diwujudkan pula melalui pengembangan sumber daya manusia dan
kerjasama internasional. Selanjutnya untuk mewujudkan ketahanan pangan dilakukan
perumusan kebijakan, evaluasi dan pengendalian ketahanan pangan yang dilakukan dengan
berkoordinasi dengan Dewan Ketahanan Pangan.

7
2.4 Ruang Lingkup Ketahanan Pangan

Adapun ruang lingkup katahanan pangan, yaitu:

1. Cukup, baik dari segi jumlah maupun mutunya serta keragamannya


2. Aman, bebas dari cemaran biologi, kimia, dan fisik
3. Merata, pangan harus tersedia setiap saat dan merata pada lokasi
4. Terjangkau, mudah diperoleh setiap waktu dengan harga yang terjangkau.

2.5 distribusi pangan Mulai Dari Produsen Sampai Kerumah Tangga

Subsistem distribusi pangan yang efektif dan efisien sebagai prasyarat untuk menjamin
agar seluruh rumahtangga dapat memperoleh pangan dalam jumlah dan kualitas yang baik
sepanjang waktu. Subsistem ini mencakup aspek aksesibilitas secara fisik, ekonomi maupun
sosial atas pangan secara merata sepanjang waktu. Akses pangan didefinisikan sebagai
kemampuan rumahtangga untuk secara periodik memenuhi sejumlah pangan yang cukup,
melalui berbagai sumber atau kombinasi cadangan pangan yang dimiliki, hasil produksi
pangan, pembelian/barter, pemberian, pinjaman dan bantuan pangan. Akses pangan secara
fisik ditunjukkan oleh kemampuan memproduksi pangan, infrastruktur dasar maupun kondisi
sumberdaya alam dan lingkungan. Dengan demikian akses fisik lebih bersifat kewilayahan
dan dipengaruhi oleh ciri dan pengelolaan ekosistem. Akses pangan secara ekonomi
menyangkut keterjangkauan masyarakat terhadap pangan yang ditunjukkan oleh harga,
sumber mata pencaharian dan pendapatan. Sumber mata pencaharian meliputi kemampuan,
asset dan aktivitas yang dapat menjadi sumber pendapatan. Seringkali, sumber mata
pencaharian sangat dipengaruhi oleh kondisi maupun pengelolaan sumberdaya alam dan
lingkungan. Akses pangan secara sosial antara lain dicerminkan oleh tingkat pendidikan,
bantuan sosial, kebiasaan makan, konflik sosial/keamanan. Dalam subsistem distribusi,
hambatan yang terjadi antara lain :

1. Teknis

1. Belum memadainya infrastruktur, prasarana distribusi darat dan antar pulau


yang dapat menjangkau seluruh wilayah konsumen.

2. Belum merata dan memadainya infrastruktur pengumpulan, penyimpanan dan


distribusi pangan , kecuali beras.

8
3. Sistem distribusi pangan yang belum efisien.

4. Bervariasinya kemampuan produksi pangan antar wilayah dan antar musim


menuntut kecermatan dalam mengelola sistem distribusi pangan agar pangan
tersedia sepanjang waktu diseluruh wilayah konsumen.

2. Sosial-ekonomi
 Belum berperannya kelembagaan pemasaran hasil pangan secara baik dalam
menyangga kestabilan distribusi dan harga pangan.
 Masalah keamanan jalur distribusi dan pungutan resmi pemerintah pusat dan
daerah serta berbagai pungutan lainnya sepanjang jalur distribusi dan pemasaran
telah menghasilkan biaya distribusi yang mahal dan meningkatkan harga produk
pangan.

2.6 Faktor yang berpengaruh terhadap ketahanan pangan

1. Bakteri

Bakteri merupakan makhluk bersel tunggal yang berkembang biak dengan cara
membelah diri dari satu sel menjadi dua sel. Pada kondisi yang sangat baik, kebanyakan sel
bakteri dapat membelah dan berkembang biak dalam waktu kurang lebih 20 menit.

Pada kecepatan yang tinggi ini satu sel bakteri dapat memperbanyak diri menjadi
lebih dari 16 juta sel baru dalam waktu 8 jam. Berdasarkan bentuk selnya, bakteri dapat
dibedakan atas empat golongan yaitu:

a. Koki (bentuk bulat)


Koki mungkin terdapat dalam bentuk tunggal (terpisah), berpasangan (diplokoki),
berempat (tetra koki atau tetrad), bergerombol (stapilokoki), dan membentuk rantai
(streptokoki).
b. Basili (bentuk batang) Basil mungkin terdapat dalam bentuk tunggal (terpisah) atau
membentuk rantai.
c. Spirilium (bentuk spiral)
d. Vibrio (bentuk koma)

9
2. Kapang

Kapang merupakan mikroba dalam kelompok Fungi yang berbentuk filamen, yaitu
struktumya terdiri dari benang-benang halus yang disebut hifa. Kumpulan dari banyak hifa
membentuk kumpulan massa yang disebut miselium dan lebih mudah dilihat oleh mata tanpa
menggunakan mikroskop. Contoh miselium adalah serat putih seperti kapas yang tumbuh
pada tempe.

Kapang juga mempunyai struktur yang disebut spora yang pada umumnya terletak
pada ujung-ujung dari hifa, dan merupakan struktur yang sangat ringan dan mudah menyebar
kemana-mana. Spora merupakan alat perkembangbiakan kapang, karena pada kondisi
substrat dan lingkungan yang balk spora dapat bergerminasi dan tumbuh menjadi struktur
kapang yang lengkap.

Dari satu struktur kapang dapat dihasilkan beratus-ratus spora yang mudah menyebar
dan mencemari pangan, kemudian tumbuh menjadi bentuk kapang yang lengkap. Jika dilihat
dl bawah mikroskop, berbagai jenis kapang mempunyai struktur hifa dan spora yang berbeda-
beda, dan karakteristik struktur tersebut digunakan untuk mengidentifikasi kapang.

Spora kapang pada umumnya mempunyai warna tertentu tergantung dari jenis
kapangnya. Oleh karena itu pertumbuhan kapang pada pangan mudah dilihat dengan mata,
yaitu ditandai dengan perubahan warna yang menunjukkan adanya spora kapang dan sering
disebut sebagai bulukan.

Selain dapat menyebabkan kerusakan pangan, beberapa kapang tertentu juga


bermanfaat karena digunakan dalam proses fermentasi pangan. Tabel 1 menyajikan berbagai
jenis kapang yang sering tumbuh pada pangan, serta jenis pangan yang dirusak dan
kegunaannya dalam proses fermentasi pangan

Beberapa kapang jika tumbuh pada pangan dapat memproduksi racun yang berbahaya
yang disebut toksin (racun) kapang atau mikotoksin. Spesies kapang yang memproduksi
mikotoksin terutama adalah dari jenis Aspergillus, Penicillium dan Fusarium. Beberapa
contoh mikotoksin yang sering ditemukan pada pangan misalnya aflatoksin yang diproduksi
oleh Asperglllus flavus dan okratoksin yang diproduksi oleh Aspergillus ochraceus.

3. Virus

10
Virus merupakan organisme dengan ukuran yang paling kecil dibandingkan dengan
organisme lainnya. Virus merupakan organisme yang tidak dapat berkembang biak sendiri
melainkan harus berada pada sel organisme lainnya, oleh karena itu digolongkan ke dalam
parasit. Virus sering mencemari pangan tertentu seperti susu, pangan hasil laut, dan sayur-
sayuran serta air. Salah satu virus yang sering mencemari pangan yaitu virus hepatitis A, serta
virus polio yang sering mencemari susu sapi mentah.

Pertumbuhan mikroba pada pangan dipengaruhi oleh berbagai faktor, dan setiap
mikroba membutuhkan kondisi pertumbuhan yang berbeda. Oleh karena itu jenis dan jumlah
mikroba yang dapat tumbuh kemudian menjadi dominan pada setiap pangan juga berbeda,
tergantung dari jenis pangan tersebut. Pada kondisi yang optimum untuk masing-masing
mikroba, bakteri akan tumbuh lebih cepat dibandingkan dengan kapang dan kamir. Hal ini
disebabkan bakteri mempunyai struktur sel yang lebih sederhana, sehingga pada kebanyakan
bakteri hanya membutuhkan waktu 20 menit untuk membelah. Struktur sel kapang dan kamir
lebih kompleks daripada bakteri dan membutuhkan waktu lebih lama untuk membentuk sel
baru, yaitu sekitar 2 jam atau lebih.

4. Suhu

Suhu merupakan salah satu faktor lingkungan yang berpengaruh terhadap


pertumbuhan mikroba. Setiap mikroba mempunyai kisaran suhu dan suhu optimum tertentu
untuk pertumbuhannya.

Kebanyakan mikroba perusak pangan merupakan mikroba mesofil, yaitu tumbuh baik
pada suhu ruangan atau suhu kamar. Bakteri patogen umumnya mempunyai suhu optimum
pertumbuhan sekitar 370C, yang juga adalah suhu tubuh manusia. Oleh karena itu suhu tubuh
manusia merupakan suhu yang baik untuk pertumbuhan beberapa bakteri patogen. Mikroba
perusak dan patogen umumnya dapat tumbuh pada kisaran suhu 4-660C. Oleh karena kisaran
suhu tersebut merupakan suhu yang kritis untuk penyimpanan pangan, maka pangan tidak
boleh disimpan terlalu lama pada kisaran suhu tersebut. Pangan harus disimpan pada suhu di
bawah 40C atau di atas 660C. Pada suhu di bawah 4°C, mikroba tidak akan mati tetapi
kebanyakan mikroba akan terhambat pertumbuhannya, kecuali mikroba yang tergolong
psikrofil. Pada suhu di atas 66°C, kebanyakan mikroba juga terhambat pertumbuhannya
meskipun beberapa bakteri yang tergolong termofil mungkin tidak mati.

11
2.7 Indikator Ketahanan Pangan

Raskin Jadi Indikator Ketahanan Pangan

“Pemerintah” Mengatakan, ketahanan pangan bisa terwujud kalau dua kondisi


terpenuhi, yakni pada tatanan makro setiap saat tersedia pangan cukup, dan mikro semua
keluarga, setiap saat mampu mengkonsumsi pangan yang cukup, aman, bergizi dan sesuai
pilihannya

Tekad untuk membangun ketahanan pangan telah dilakukan oleh semua


negara/organisasi di dunia, bahkan sejak 1948 dengan adanya International Convenant on
Economic, Social and Cultural Right (ICOSOC).

Dalam ICOSOC itu ditegaskan, hak setiap orang atas standar kehidupan yang layak
baginya dan keluarganya atas pangan, sera setiap orang harus bebas dari kelaparan. (kpl/bar)

Penyalu-ran Beras bagi Masyarakat miskin (raskin) menjadi Indikator kondisi


Ketahan Pangan baik di tingkat Pusat maupun di Daerah. ” Raskin itu jadi ukuran Ketahanan
Pangan. Jukia Jumlahnya disalurkan ban-yak tang berarti masyarakat miskin atau Rawan
Pangan juga banyak berarti Ketahanan Pangan masih Kurang,” Kata Kepala Badan
Ketahanan Pangan Departemen Pertanian, Achmad Suryana, Pada Acara Rapat Dewan
Pertahanan Pangan Provinsi Bengkulu. Di in- donesia, Jumlah Masyarakat Mi-skin sekitar 35
juta jiwa, atau 12 persen dari jumlah penduduk, dan mereka itulah yang menerima Raskin.
Dengan kondisi itu berarti Ketahanan pangan di Indonesia masih belum Maksimal karena
masih ada penduduk yang Rawan Pangan, katanya. Ketahanan pan-gan Satu Negara bisa
dikatakan sudah baik, Jika tidak ada lagi Masyarakat pangan, dan berarti juga tak ada lagi
Penyaluran Raskin oleh Pemerintah.

2.8 Kelembagaan Ketahanan Pangan

Landasan Hukum
Undang-Undang yang secara eksplisit menyatakan kewajiban mewujudkan ketahanan
pangan adalah UU Nomor 7 Tahun 1996 tentang Pangan. UU tersebut menjelaskan konsep
ketahanan pangan, komponen, serta para pihak yang harus berperan dalam mewujudkan
ketahanan pangan. Secara umum UU tersebut mengamanatkan bahwa pemerintah bersama
masyarakat wajib mewujudkan ketahanan pangan. UU tersebut telah dijabarkan dalam
beberapa Peraturan Pemerintah (PP) antara lain: (i) PP Nomor 68 Tahun 2002 tentang

12
Ketahanan Pangan yang mengatur tentang Ketahanan Pangan yang mencakup ketersediaan
pangan, cadangan pangan, penganekaragaman pangan, pencegahan dan penanggulangan
masalah pangan, peran pemerintah pusat dan daerah serta masyarakat, pengembangan
sumberdaya manusia dan kerjasama internasional; (ii) PP Nomor 69 tahun 1999 tentang
Label dan Iklan Pangan yang mengatur pembinaan dan pengawasan di bidang label dan iklan
pangan untuk menciptakan perdagangan pangan yang jujur dan bertanggungjawab; dan (iii)
PP Nomor 28 Tahun 2004 tentang Keamanan, Mutu dan Gizi Pangan, yang mengatur tentang
keamanan, mutu dan gizi pangan, pemasukan dan pengeluaran pangan ke wilayah Indonesia,
pengawasan dan pembinaan, serta peranserta masyarakat mengenai hal-hal di bidang mutu
dan gizi pangan.

Disamping mengacu pada berbagai dokumen hukum nasional tersebut, pelaksanaan


pembangunan ketahanan pangan juga mengacu pada komitmen bangsa Indonesia dalam
kesepakatan dunia. Sebagai anggota Persatuan Bangsa-Bangsa (PBB), Indonesia telah
menyatakan komitmen untuk melaksanakan aksi-aksi mengatasi masalah kelaparan,
kekurangan gizi serta kemiskinan di dunia. Kesepakatan tersebut antara lain tertuang dalam
Deklarasi World Food Summit 1996 dan ditegaskan kembali dalam World Food Summit: five
years later (WFS:fyl) 2001, serta Millenium Development Goals (MDGs) 2000, untuk
mengurangi angka kemiskinan ekstrim dan kerawanan pangan di dunia sampai setengahnya
di tahun 2015.

2.9 Program dalam Upaya Ketahanan Pangan


Dengan memperhatikan pedoman dan ketentuan hukum, serta tujuan dan strategi
untuk mewujudkan ketahanan pangan, maka kebijakan dan program yang akan ditempuh
dikelompokkan dalam:

A. Program jangka pendek (sampai dengan 5 tahun)

Program jangka pendek ditujukan untuk peningkatan kapasitas produksi pangan


nasional dengan menggunakan sumberdaya yang telah ada dan teknologi yang telah teruji.
Komponen utama program ini adalah:

1. Ekstensifikasi atau perluasan lahan pertanian (140.000 Ha/tahun)

Ekstensifikasi lahan pertanian ditujukan untuk memperluas lahan produksi pertanian,


sehingga produksi pangan secara nasional yang sekarang dapat ditingkatkan. Ekstensifikasi

13
dilakukan terutama untuk kedelai, gula dan garam karena rasio impor terhadap produksi besar
(30-70%). Lahan yang diperluas diperuntukkan bagi petani miskin dan tunakisma (< 0.1 Ha),
tetapi memiliki keahlian/pengalaman bertani. Lahan kering yang potensial seluas 31 juta Ha
dapat dimanfaatkan menjadi lahan usahatani.

2. Intensifikasi

Program ini diarahkan untuk peningkatan produksi melalui peningkatan produktifitas


pertanian. Intensifikasi ditujukan pada lahan-lahan pertanian subur dan produktif yang sudah
merupakan daerah lumbung pangan seperti Kerawang, Subang dan daerah pantura lainya di
Jawa Barat, Jawa Timur, Jawa Tengah, dan propinsi lainnya.

3. Diversifikasi

Kegiatan diversifikasi ditujukan untuk meningkatkan produksi pangan pokok


alternatif selain beras, penurunan konsumsi beras dan peningkatan konsumsi pangan pokok
alternatif yang berimbang dan bergizi serta berbasis pada pangan lokal. Diversifikasi
dilakukan dengan mempercepat implementasi teknologi pasca panen dan pengolahan pangan
lokal yang telah diteliti ke dalam industri.

4. Revitalisasi Industri Pasca Panen dan Pengolahan Pangan

Revitalisasi/restrukturisasi industri pasca panen dan pengolahan pangan diarahkan


pada 1) penekanan kehilangan hasil dan penurunan mutu karena teknologi penanganan pasca
panen yang kurang baik, 2) pencegahan bahan baku dari kerusakan dan 3) pengolahan bahan
baku menjadi bahan setengah jadi dan produk pangan.

5. Revitalisasi dan Restrukturisasi Kelembagaan Pangan

Keberadaan, peran dan fungsi lembaga pangan seperti kelompok tani, UKM, Koperasi
perlu direvitalisasi dan restrukturisasi untuk mendukung pembangunan kemandirian pangan.
Kemitraan antara lembaga perlu didorong untuk tumbuhnya usaha dalam bidang pangan.
Koordinator kegiatan ini adalah Meneg Koperasi dan UKM dan Deptan dibantu oleh
Depperindag. Alokasi dana untuk kegiatan ini berupa koordinasi antar departemen dan
instansi untuk melahirkan kebijakan baru untuk kelembagaan pangan. Kebutuhan dana
dibebankan pada anggaran masing-masing departemen.

14
6. Kebijakan Makro

Kebijakan dalam bidang pangan perlu ditelaah dan dikaji kembali khususnya yang
mendorong tercapainya ketahanan pangan dalam waktu 1-5 tahun. Beberapa hal yang perlu
dikaji seperti pajak produk pangan, retribusi, tarif bea masuk, iklim investasi, dan
penggunaan produksi dalam negeri serta kredit usaha.

B. Program jangka menengah (5-10 tahun)

Program jangka menengah ditujukan pada pemantapan pembangunan ketahanan


pangan yang lebih efisien dan efektip dan berdaya saing tinggi. Beberapa program yang
relevan untuk dilakukan adalah:

1. Perbaikan undang-undang tanah pertanian termasuk didalamnya pengaturan luasan


lahan pertanian yang dimiliki petani, pemilikan lahan pertanian oleh bukan petani.
Sistem bawon atau pembagian keuntungan pemilik dan penggarap, dsb.
2. Modernisasi pertanian dengan lebih mendekatkan pada pada peningkatan efisiensi
dan produktivitas lahan pertanian, penggunaan bibit unggul, alat dan mesin
pertanian dan pengendalian hama terpadu dan pasca panen dan pengolahan pangan.
3. Pengembangan jaringan dan sistem informasi antar instansi, lembaga yang terkait
dalam bidang pangan serta pola kemitraan bisnis pangan yang berkeadilan.
4. Pengembangan prasarana dan sarana jalan di pertanian agar aktivitas kegiatan
pertanian lebih dinamis.

C. Program jangka panjang (> 10 tahun)

1. Konsolidasi lahan agar lahan pertanian dapat dikelola lebih efisien dan efektip,
karena masuknya peralatan dan mesin dan menggiatkan aktivitas ekonomi dan
pedesaan.
2. Perluasan pemilikan lahan pertanian oleh petani.

15
2.10 Permasalahan dan tantangan yang dihadapi oleh pemerintah dalam
mencapai ketahanan pangan

A. Aspek Ketersediaan Pangan


Dalam aspek ketersediaan pangan, masalah pokok adalah semakin terbatas dan
menurunnya kapasitas produksi dan daya saing pangan nasional. Hal ini disebabkan oleh
faktor faktor teknis dan sosial - ekonomi;

1. Teknis
a. Berkurangnya areal lahan pertanian karena derasnya alih lahan pertanian ke non
pertanian seperti industri dan perumahan (laju 1%/tahun).
b. Produktifitas pertanian yang relatif rendah dan tidak meningkat.
c. Teknologi produksi yang belum efektif dan efisien.
d. Infrastruktur pertanian (irigasi) yang tidak bertambah selama krisis dan
kemampuannya semakin menurun.
e. Masih tingginya proporsi kehilangan hasil pada penanganan pasca panen (10-
15%).
f. Kegagalan produksi karena faktor iklim seperti El-Nino yang berdampak pada
musim kering yang panjang di wilayah Indonesia dan banjir .

2. Sosial- ekonomi
a. Penyediaan sarana produksi yang belum sepenuhnya terjamin oleh pemerintah.
b. Sulitnya mencapai tingkat efisiensi yang tinggi dalam produksi pangan karena
besarnya jumlah petani (21 juta rumah tangga petani) dengan lahan produksi yang
semakin sempit dan terfragmentasi (laju 0,5%/tahun).
c. Tidak adanya jaminan dan pengaturan harga produk pangan yang wajar dari
pemerintah kecuali beras.
d. Tata niaga produk pangan yang belum pro petani termasuk kebijakan tarif impor
yang melindungi kepentingan petani.
e. Terbatasnya devisa untuk impor pangan sebagai alternatif terakhir bagi
penyediaan pangan.

B. Aspek Distribusi Pangan

16
1. Teknis
a. Belum memadainya infrastruktur, prasarana distribusi darat dan antar pulau yang
dapat menjangkau seluruh wilayah konsumen.
b. Belum merata dan memadainya infrastruktur pengumpulan, penyimpanan dan
distribusi pangan , kecuali beras.
c. Sistem distribusi pangan yang belum efisien.
d. Bervariasinya kemampuan produksi pangan antar wilayah dan antar musim
menuntut kecermatan dalam mengelola sistem distribusi pangan agar pangan
tersedia sepanjang waktu diseluruh wilayah konsumen.

2. Sosial-ekonomi
a. Belum berperannya kelembagaan pemasaran hasil pangan secara baik dalam
menyangga kestabilan distribusi dan harga pangan.
b. Masalah keamanan jalur distribusi dan pungutan resmi pemerintah pusat dan
daerah serta berbagai pungutan lainnya sepanjang jalur distribusi dan pemasaran
telah menghasilkan biaya distribusi yang mahal dan meningkatkan harga produk
pangan.

C. Aspek Konsumsi Pangan


1. Teknis
a. Belum berkembangnya teknologi dan industri pangan berbasis sumber daya
pangan local.
b. Belum berkembangnya produk pangan alternatif berbasis sumber daya pangan
lokal.
2. Sosial-ekonomi
a. Tingginya konsumsi beras per kapita per tahun (tertinggi di dunia > 100 kg,
Thailand 60 kg, Jepang 50 kg).
b. Kendala budaya dan kebiasaan makan pada sebagian daerah dan etnis sehingga
tidak mendukung terciptanya pola konsumsi pangan dan gizi seimbang serta
pemerataan konsumsi pangan yang bergizi bagi anggota rumah tangga.
c. Rendahnya kesadaran masyarakat, konsumen maupun produsen atas perlunya
pangan yang sehat dan aman.

17
d. Ketidakmampuan bagi penduduk miskin untuk mencukupi pangan dalam jumlah
yang memadai sehingga aspek gizi dan keamanan pangan belum menjadi
perhatian utama.

D. Aspek Pemberdayaan Masyarakat


1. Keterbatasan prasarana dan belum adanya mekanisme kerja yang efektif di
masyarakat dalam merespon adanya kerawanan pangan, terutama dalam penyaluran
pangan kepada masyarakat yang membutuhkan.
2. Keterbatasan keterampilan dan akses masyarakat miskin terhadap sumber daya usaha
seperti permodalan, teknologi, informasi pasar dan sarana pemasaran meyebabkan
mereka kesulitan untuk memasuki lapangan kerja dan menumbuhkan usaha.
3. Kurang efektifnya program pemberdayaan masyarkat yang selama ini bersifat top-
down karena tidak memperhatikan aspirasi, kebutuhan dan kemampuan masyarakat
yang bersangkutan.
4. Belum berkembangnya sistem pemantauan kewaspadaan pangan dan gizi secara dini
dan akurat dalam mendeteksi kerawanan panagan dan gizi pada tingkat masyarakat.

E. Aspek Manajemen
Keberhasilan pembangunan ketahanan dan kemandirian pangan dipengaruhi oleh
efektifitas penyelenggaraan fungsi-fungsi manajemen pembangunan yang meliputi aspek
perencanan, pelaksanaan, pengawasan dan pengendalian serta koordinasi berbagai kebijakan
dan program. Masalah yang dihadapi dalam aspek manajemen adalah:

1. Terbatasnya ketersediaan data yang akurat, konsisten , dipercaya dan mudah diakses
yang diperlukan untuk perencanaan pengembangan kemandirian dan ketahanan
pangan.
2. Belum adanya jaminan perlindungan bagi pelaku usaha dan konsumen kecil di bidang
pangan.
3. Lemahnya koordinasi dan masih adanya iklim egosentris dalam lingkup instansi dan
antar instansi, subsektor, sektor, lembaga pemerintah dan non pemerintah, pusat dan
daerah dan antar daerah.

18
BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan

Adapun kesimpulan dari pembahasan makalah ini adalah :

Istilah ketahanan pangan dalam kebijaksanaan dunia, pertama kali digunakan pada
tahun 1971 oleh PBB, tetapi Inodonesia secara formal baru mengadopsi ketahanan pangan
dalam kebijakan dan program pada tahun 1992, yang kemudian definisi ketahanan pangan
pada undang-undang pangan no:7 ada pada tahun 1996.

Ketahanan pangan merupakan basis utama dalam mewujudkan ketahanan ekonomi,


ketahanan nasional yang berkelanjutan. Ketahanan pangan merupakan sinergi dan interaksi
utama dari subsistem ketersediaan, distribusi dan konsumsi, dimana dalam mencapai
ketahanan pangan dapat dilakukan alternatif pilihan apakah swasembada atau kecukupan.
Dalam pencapaian swasembada perlu difokuskan pada terwujudnya ketahanan pangan

Dalam pengembangannya, teknologi pangan diharapkan mampu memfasilitasi


program pasca panen dan pengolahan hasil pertanian, serta dapat secara efektif mendukung
kebijakan strategi ketahanan pangan.

Mengacu pada permasalahan dan program pengolahan dan pemasaran hasil pertanian
serta kebijakan strategi ketahanan pangan (ketersediaan, distribusi dan konsumsi), dan
keberhasilan swasta (kasus Garudafood) dan daerah (kasus Pemerintah Daerah Gorontalo)
dalam pengembangan agribisnis jagung dapat dirumuskan kebijakan strategis pengembangan
teknologi pangan. Kebijakan strategis tersebut mencakup aspek pengembangan kualifikasi
teknologi; keterpaduan pengolahan dan pemasaran; relevansi dan efektivitas teknologi;
pemberian otonomi luas kepada daerah; pelibatan swasta/pemilihan komoditas prospektif
berbasis pemberdayaan/dan pengembangan jaringan kerja secara luas; pengembangan
program kemitraan berawal/berbasis pemasaran; dan pengembangan program Primatani
berbasis industri pengolahan.

Ketahanan pangan ialah kondisi dimana setiap individu mampu secara fisik dan
ekonomi untuk memenuhi kebutuhan pangan yang cukup, aman dan bergizi bagi kehidupan

19
yang aktif dan sehat. Pemenuhan kebutuhan pangan penduduk secara merata dengan harga
yang terjangkau juga tidak boleh dilupakan.

Subsistem ketersediaan pangan mencakup aspek produksi, cadangan serta


keseimbangan antara impor dan ekspor pangan. Subsistem ini berfungsi menjamin pasokan
pangan untuk memenuhi kebutuhan penduduk, baik dari sisi jumlah, kualitas, keragaman
maupun keamanannya.

Konsumsi pangan adalah salah satu subsistem ketahanan pangan yang erat kaitannnya
dengan tingkat keadaan gizi (status gizi). Hal ini menyebabkan gizi merupakan faklor penting
dalam menentukan tingkat kesehatan dan kesejahteraan manusia.

3.2 Saran

Adapun saran yang bisa di berikan adalah sebaiknya pemerintah lebih memperhatikan
masalah ketahanan pangan yang ada di Indonesia. Karena masih banyak masyarakat yang
belum memahami bagaimana cara atau strategi yang baik guna menjaga ketahanan pangan
mereka.

20
Daftar Pustaka

http://ceritanegeriku.wordpress.com/2012/01/11/sistem-ketahanan-pangan/ di akses pada


Minggu, 16 Nopember 2014 jam 05.35 wib

http://cynthiawidowati.blogspot.com/2013/06/meningkatkan-ketahanan-pangan-di.html di
akses pada minggu, 16 November 2014 jam 05.50 wib

http://novitaekakartika.blogspot.com/2013/06/meningkatkan-ketahanan-pangan-di-
dalam.html di akses pada minggu, 16 november 2014 jam 11.27 wib

http://rufinaaristyani.blogspot.com/2013/06/makalah-ketahanan-pangan-di-indonesia.html di
akses pada minggu, 16 november 2014 jam 12.00 wib

21

Anda mungkin juga menyukai