Anda di halaman 1dari 13

BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Pengertian AINS


NSAID (Non Steroidal Anti Inflammatory Drugs) atau obat anti inflamasi
non steroid (AINS) adalah suatu kelompok obat yang berfungsi sebagai anti
inflamasi, analgetik dan antipiretik. NSAID merupakan obat yang heterogen,
bahkan beberapa obat sangat berbeda secara kimiawi. Walaupun demikian, obat-
obat ini ternyata memiliki banyak persamaan dalam efek terapi maupun efek
samping. Obat golongan NSAID dinyatakan sebagai obat anti inflamasi non
steroid, karena ada obat golongan steroid yang juga berfungsi sebagai anti
inflamasi. Obat golongan steroid bekerja di sistem yang lebih tinggi dibanding
NSAID, yaitu menghambat konversi fosfolipid menjadi asam arakhidonat melalui
penghambatan terhadap enzim fosfolipase.
Beberapa AINS umumnya bersifat anti-inflamasi, analgesika dan antipiretik.
Efek antipiretiknya bari terlihat pada dosis yang lebih besar dari pada efek
analgesiknya, dan AINS relatif lebih toksis dari pada antipiretika klasik, maka
obat-obat ini hanya digunakan untuk terapi penyakit inflamasi sendi seperti artritis
reumatoid, osteo-artritis, spondilitis ankliosa dan penyakit pirai. Respon
individual terhadap AINS bisa sangat bervariasi walaupun obatnya tergolong
dalam kelas atau derivat kimiawi yang sama. Sehingga kegagalan dengan satu
obat bisa dicoba dengan obat sejenis dari derivat kimiawi yang sama. Semua
AINS merupakan iritan mukosa lambung walaupun ada perbedaan gradasi antar
obat-obat ini.
Contoh obatnya antara lain: aspirin, parasetamol, ibuprofen, ketoprofen,
naproksen, asam mefenamat, piroksikam, diklofenak dan indometasin.
2.2 Mekanisme Kerja AINS
Mekanisme kerja AINS berhubungan dengan sistem biosintesis Prostagladin
(PG). Berikut ini merupakan skema Biosintesis Prostaglandin

Trauma/luka pada sel

Gangguan pada membran sel

fosfolipid

dihambat kortikosteroid Enzim fosoflipase

Asam arakidonat
Enzim lipoksigenase Enzim siklooksigenase

Hidroperoksid Endoperoksid
PGG2/PGH

Leukotrien PGE2,PGF2,PGD2 Prostasiklin

Tromboksan A2

Mekanisme kerja anti-inflamsi non steroid (AINS) berhubungan dengan


sistem biosintesis prostaglandin yaitu dengan menghambat enzim siklooksigenase
sehingga konversi asam arakhidonat menjadi PGG2 menjadi terganggu. Enzim
siklooksigenase terdapat dalam 2 isoform yang disebut KOKS-1 dan KOKS-2.
Kedua isoform tersebut dikode oleh gen yang berbeda. Secara garis besar KOKS-
1 esensial dalam pemeliharaan berbagai fungsi dalam keadaan normal di berbagai
jaringan khususnya ginjal, saluran cerna, dan trombosit. Di mukosa lambung
aktivitas KOKS-1 menghasilakan prostasiklin yang bersifat protektif.
Siklooksigenase 2 diinduksi berbagi stimulus inflamatoar, termasuk
sitokin, endotoksindan growth factors. Teromboksan A2 yang di sintesis trombosit
oleh KOKS-1 menyebabkan agregasi trombosit vasokontriksi dan proliferasi otot
polos. Sebaliknya prostasiklin PGL2 yang disintesis oleh KOKS-2 di endotel
malro vasikuler melawan efek tersebut dan menyebabkan penghambatan agregasi
trombosit.

2.3 Patologi
Adapun penyebab nyeri sendiri yaitu akibat pengeluaran prostaglandin
secara berlebihan akibat adanya rangsangan nyeri. Adapun rangsangan nyeri
sendiri yaitu :
1. Fisika , dapat berupa benturan dan menyebabkan bengkak
2. Kimia, dapat terjadi karena tertetesi HCL dan zat-zat kimia lainnya
3. Biologi , dapat terjadi karena terinfeksi bakteri atau kuman
Nyeri timbul oleh karena aktivasi dan sensitisasi sistem nosiseptif, baik
perifer maupun sentral. Dalam keadaan normal, reseptor tersebut tidak aktif.
Dalam keadaan patologis, misalnya inflamasi, nosiseptor menjadi sensitive
bahkan hipersensitif. Adanya pencederaan jaringan akan membebaskan berbagai
jenis mediator inflamasi, seperti prostaglandin, bradikinin, histamin dan
sebagainya. Mediator inflamasi dapat mengaktivasi nosiseptor yang menyebabkan
munculnya nyeri. AINS mampu menghambat sintesis prostaglandin dan sangat
bermanfaat sebagai antinyeri.

2.4 Tempat Obat AINS Bekerja


Golongan obat ini menghambat enzim siklooksigenase sehingga konversi
asam arakidonat menjadi PGG2 terganggu. Setiap obat menghambat
siklooksigenase dengan kekuatan dan selektifitas yang berbeda.
Enzim siklooksigenase terdapat dalam dua isoform disebut COX-1 dan COX-
2. Kedua isoform tersebut dikode oleh gen yang berbeda dan ekspresinya fungsi
dalam kondisi normal di berbagai jaringan khusunya ginjal, saluran cerna dan
trombosit. Di mukosa lambung, aktifasi COX-1 menghasilkan prostasiklin yang
bersifat sitoprotektif. Siklooksigenase-2 semula diduga induksi berbagai stimulus
inflamatoar, termasuk sitokin, endotoksin dan faktor pertumbuhan. COX-2
mempunyai fungsi fisiologis di ginjal, jaringan vaskuler dan pada proses
perbaikan jaringan. Tromboksan A2, yang disintesis trombosit oleh COX-1,
menyebabkan agregasi trombosit, vasokontriksi dan proliferasi otot polos.
Sebaliknya prostasiklin (PGI2) yang disintesis oleh COX-2 di endotel
makrovaskular melawan efek tersebut dan menyebabkan penghambatan agregasi
trombosit, vasodilatasi, dan efek anti-proliferatif.

2.5 Golongan obat AINS


Berdasarkan rumus kimia, obat golongan NSAID dapat dibagi menjadi
beberapa golongan, yakni:
1. Golongan asam propionate, seperti ibuprofen, naproxen, fenoprofen,
ketoprofen, flurbiprofen, dan oxaprozin.
2. Golongan asam asetat, seperti indometasin, sulindac, etodolac, dan
diklofenak.
3. Golongan derifat asam enolic (oxicam), seperti piroksikam, meloksikam,
tenoxicam, droxicam, lornoxicam, dan isoxicam.
4. Gologan asam fenamic, seperti asam mefenamat, asam meclofenamic, asam
flufenamic, dan tolfenamic.
5. Gologan COX-2 inhibitor (coxib), seperti celecoxib, rofecoxib (telah ditarik
dari pasar), valdexocib (telah ditarik dari pasar), parecoxib, lumiracoxib, dan
etoricoxib.
2.6 Contoh Obat-Obatan Yang Termasuk AINS
 Aspirin
a. Cara Kerja Obat
Efektivitas aspirin terutama disebabkan oleh keampuannya
menghambat biosintesis prostaglandin. Kerjanya menghambat enzim
siklooksigenase secara ireversibel (prostaglandin sintetase), yang
mengkatalisis perubahan asam arakidonat menjadi senyawa
endoperoksida. Pada dosis tepat, obat ini akan menurunkan pembentukan
prostaglandin maupun tromboksan A2, tetapi tidak leukotrien. Tak ada
bukti bahwa aspirin penghambat selektif COX II. Sebagian besar dari
dosis anti-inflamasi aspirin cepat dideasetilasi membentuk metabolit aktif
salisilat. Salisilat menghambat sintesis prostaglandin secara reversible
(Katzung, 1998).

b. Indikasi
1. Efek Anti-inflamasi
Aspirin (ASA) adalah penghambat non-selektif kedua isoform
COX, tetapi salisilat jauh lebih kurang efektif dalam menghambat kedua
isoform. Salicylate yang tidak diasetilasi mungkin bkerja sebagai
pemangsa (scavenger) radikal oksigen. Dari catatan diketahui bahwa
berbeda dari kebenyakan AINS lainnya, aspirin menghambat COX secara
ireversibel dan bahkan dosis rendah bisa efektif dalam keadaan tertentu,
misalnya penghambatan agregasi platelet (Katzung, 2002).
Kinerja dari obat ini yaitu dapat menghambat biosintesis
prostaglandin, dengan memblok enzim siklooksigenase, sebagai
katalisator reaksi asam arakhidonat ke senyawa endoperoksid. Pada dosis
tinggi, obat ini menurunkan pembentukan prostaglandin dan tromboksan
A2. (Wibowo dan Gofir, 2001).
Aspirin juga mempengaruhi mediator kimia sistem kallikrein.
Akibatnya aspirin menghambat perlekatan granulosit pembuluh darah
yang rusak, menstabilkan membrane lisosom dan menghambat migrasi
leukosit polimorfonuklear dan makrofag ke tempat peradangan. Selain
itu, obat ini dapat mengurangi sintesis mediator eikosanoid.
2. Efek Anti-analgesik
Aspirin sangat efektif untuk meredakan rasa nyeri dengan intensitas
ringan sampai sedang. Aspirin menghilangkan nyeri dari berbagai
penyebab, sepeti yang berasal dari otot, pembuluh darah, gigi, keadaan
pasca persalinan, arthritis dan bursitis. Obat ini bekerja secara perifer
melalui efeknya terhadap peradangan , tetapi mungkin juga menekan
rangsang nyeri di tingkat subkorteks (Katzung, 1998).
3. Efek Antipiretik
Aspirin menurunkan suhu yang meningkat (karena demam),
sedangkan suhu badan normal hanya terpengaruh sedikit. Efek antipiretik
aspirin mungkin diperantai oleh hambatan kedua COX dalam system
saraf pusat dan Hambatan IL-1 (yang dirilis dari makrofag selama bagian
inflamasi). Turunnya suhu dikaitkan dengan meningkatnya panas yang
hilang karena vasodilatasi dari pembuluh darah permukaan (superficial)
dan disertai dengan keluarnya keringat yang banyak (Katzung, 2002).
Demam yang menyertai infeksi dianggap akibat dari dua kerja.
Pertama, pembentukan prostaglandin di dalam susunan saraf pusat
sebagai respon terhadap bakteri pirogen. Kedua, efek interleukin-1
dihasilkan oleh makrofag dan dilepaskan selama respon peradangan,
dimana peranan utamanya adalah untuk mengaktivasi limfosit. Aspirin
menghambat baik pirogen yang diinduksi oleh pembentukan
prostaglandin maupun respon susunan saraf pusat terhadap interleukin-1,
sehingga dapat mengatur kembali “pengontrol suhu” di hipotalamus,
yang mengakibatkan pelepasan panas dengan jalan vasodilatasi menjadi
lebih mudah.
4. Efek terhadap Trombosit
Aspirin mempengaruhi hemostasis. Aspirin dosis tunggal sedikit
memanjangkan waktu perdarahan dan menjadi dua kali lipat diteruskan
selama seminggu. Perubahan ini digambarkan dengan penghambatan
agregasi trombosit sekunder akibat penghambatan sintesis tromboksan.
Karena kerja ini bersifat irreversible, aspirin menghambat agregasi
trombosit sampai selama 8 hari, yaitu sampai terbentuk trombosit baru.
Jika kemungkinan besar terjadi komplikasi perdarahan pada operasi,
sebaiknya aspirin dihentikan pemakainnya 1 minggu sebelum operasi.
Aspirin mempunyai masa kerja yang lebih panjang dibandingkan
senyawa lain penghambat agregasi trombosit, seperti tiklopidin,
fenilbuzanon dan dipiridamol.
c. Kontra Indikasi
Obat ini dapat menggangu hemostasis pada tindakan operasi dan
bila diberikan bersama heparin atau antikoagulan oral dapat
meningkatkan risiko perdarahan. Kontraindikasi pemberian aspirin dibagi
menjadi dua yaitu absolut pada kondisi ulkus gastrointestinal yang aktif,
hipersensitivitas dan trombositopenia. Sedangkan yang relatif yaitu
adanya riwayat ulkus atau dispepsia, penyakit dengan perdarahan dan
pemberian warfarin.
Aspirin dikontraindikasikan pada pasien hemofilia. Aspirin tidak
direkomendasikan bagi wanita hamil. Walaupun hubungan dengan
penyakit ulkus peptikum yang aktif
d. Dosis
Dosis (takaran) suatu obat ialah banyaknya suatu obat yang dapat
dipergunakan atau diberikan kepada seorang penderita baik untuk dipakai
sebagai obat dalam maupun obat luar. Dosis yang terdapat dalam aspirin
antara lain:

 Untuk Nyeri & Demam :


Dewasa : 650mg-1,3g setiap 8 jam, tidak lebih dari
3,9g/hari.
Swa-medikasi :Migrain/sakit kepala ringan sampai berat :
500mg/hari. Hentikan jika telinga berdenging atau
tidak mendengar, atau alergi
 Penyakit Inflamasi :
Dosis awal : 2,4-3,6g/hari dalam dosis terbagi dapat
ditingkatkan 325mg-1,2g/hari.
Dosis pemeliharaan : 3,6-5,4g/hari.
 Demam Rematik :
Dewasa : 4,9-7,8g/hari
Anak-anak : 90-130mg/kg BB/hari setiap 4-6 jam (dalam dosis
terbagi) selama 1-2 minggu.
e. Efek Samping
1. Efek Gastrointestinalis
Pada dosis yang biasa, efek yang paling utama adalah intoleransi
lambung.efek ini dapat diperkecil dengan buffer yang cocok (meminum
segelas aspirin bersama makanan yang diikuti oleh segelas air atau
antacid). Gastritis yang timbul pada aspirinmungkin disebabkan oleh iritasi
mukosa lambungoleh bakteri yang tidak larut karena penyerapan salisilat
nonionisasi di dalam lambung atau karena penghambatan prostaglandin
pelindung. Pada binatang pemberian prostaglandin telah mencegah erosi,
yang menggambarkan bahwa tak adanya prostaglandin bisa membuat
mukosa lambung lebih dibahayakan.
Muntah dapat terjadi akibat perangsangan susunan syaraf pusat
setelah absorbs dalam dosis besar. Biasanya perdarahan saluran
pencernaan atas biasanya berhubungan dengan gastritis erosiva.
Peningkatan kecil dalam perdarahan ke tinja rutin menyertai pemberian
aspirin, normalnya terjadi kehilangan sekitar 1 mL darah per hari dalam
tinja yang meningkat sampai sekitar 4 mL per hari pada orang yang
memakai aspirin dalam dosis biasa atau dosis lebih besar.
2. Efek Susunan Saraf Pusat
Dengan dosis lebih tinggi, pasien bisa mengalami “salisilisme”-
tinitus, penurunan pendengarandan vertigo yang reversibel dengan
pengurangan dosis. Dosis salisilat yang lebih besar lagi menyebabkan
hiperpnea melalui efek langsung atas medula oblongata. Pasa kasar
salisilat toksik yang rendah, bisa tiumbul alkalosis respirasi sebagai akibat
peningkatan ventilasi. Kemudia ditunggangi oleh asidosis akibat
pengumpulan turunanasam salisilat dan depresi pusat pernapasan.

f. Penanggulangan Jika Overdosis


Aspirin merupakan obat rumah tangga yang lazim, sehingga sering
menyebabkan keracunan pada anak kecil. Intoksikasi berat timbul bila
jumlah yang ditelan lebih dari 150-175 mg/Kg berat badan.
Kebanyakan aspirin dijual dan digunakan tanpa resep. Obat ini harus
dijauhkan dari jangkauan anak-anak dan disimpan dalam wadah yang sukar
dibuka anak, tempat ia dikemas untuk dijual. Preparat cair berwarna dan
diberi bumbu harus disimpan dalam lemari besi terkunci.
Bila terjadi kelebihan dosis, pada kecelakaan maupun percobaan bunuh
diri dianjurkan bilas lambung. Hipertemia dapat diobati dengan kompres es
atau alcohol. Penting mempertahankan volume urina yang besar dan
mengobati kelainan asam-basa. Pada reaksi toksis yang berat, mungkin
diperlukan bantuan ventilasi. Infuse natrium bikarbonat mungkin dipakai
untuk mengalkalinisasi urina , yang akan meningkatkan ekskresi salisilat.
Aspirin dalam dosis biasa mempunyai efek yang dapat diabaikan atas
toleransi, glukosa dalam jumlah toksik akan mempengaruhi sistem
kardiovasikuler secara langsung serta dapat menekan fungsi jantung dan
melebarkan pembuluh darah perifer. Dosis besar akan mempengaruhi otot.

g. Interaksi Obat
Obat yang meningkatkan intoksikasi salisilat meliputi asetozolamid dan
ammonium klorida. Alcohol menyebabkan perdarahan gatrointestinalis akibat
salisilat. Aspirin menggeser sejumlah obat dari tempat ikatan protein di dalam
darah . Ia meliputi tolbutamid ,klorpropamid, obat anti inflamasi non steroid
(AINS), metotreksat, fenitoin, dan probinesid. Kortikosteroid bisa
menurunkan konsentrasi salisilat. Aspirin menurunkan aktivitas farmakologi
spironolakton, mengantagonis efek heparin , berkompetisi dengan penisilin G
bagi sekresi di tubulus ginjal dan menghambat efek urikosurik sulfinpirazon
dan probenesid.
2. Paracetamol
a. Cara Kerja Obat
Paracetamol adalah suatu analgesik antipiretik terpilih yang cepat
diabsorbsi tanpa menimbulkan iritasi pada lambungdan bebas dari sifat-sifat
toksis seperti methemoglobinemia dan anemia,sehingga Paracetamol relatif lebih
aman dibanding dengan obat-obat analgesik-antipiretik yang lain.
Mekanisme utama yang diusulkan adalah penghambatan siklooksigenase
(COX). Parasetamol mengurangi bentuk teroksidasi enzim COX, mencegah dari
pembentukan senyawa kimia pro-inflamasi. Hal ini menyebabkan berkurangnya
jumlah prostaglandin E2 di SSP, sehingga menurunkan set point hipotalamus di
pusat termoregulasi.
b. Indikasi
Parasetamol disetujui untuk mengurangi demam pada orang-orang dari
segala usia, Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) merekomendasikan bahwa
parasetamol hanya dapat digunakan untuk mengobati demam pada anak-anak
mereka jika suhu lebih besar dari 38,5. ° C (101,3 ° F). Pemberian tunggal
parasetamol pada anak dengan demam telah dipertanyakan dan sebuah meta-
analisis menunjukkan bahwa kurang efektif daripada ibuprofen. Parasetamol
memiliki peran yang mapan dalam pengobatan pediatrik sebagai analgesik dan
antipiretik yang efektif.2
Parasetamol digunakan untuk menghilangkan nyeri yang terkait dengan
banyak bagian tubuh. Ia memiliki sifat analgesik sebanding dengan aspirin,
sedangkan anti-inflamasi efek lebih lemah. Hal ini lebih baik pada aspirin pada
pasien yang berlebihan sekresi asam lambung atau perpanjangan waktu
perdarahan dapat menjadi perhatian.
c. Kontraindikasi

 Penderita dengan hipersensitif/alergi terhadap parasetamol


 Penderita dengan gangguan fungsi hati dan ginjal
 Penderita dengan defisiensi enzin glukosa 6 fosfat dehidroginase
d. Dosis
a. Dewasa: Oral 2-3 x 0,5-1 g/kali (maximal 4gr)
b. Anak : Oral 4-6 x 10-15 mg/KgBB
 Rectal : 20mg/kgbb/kali
 Tidak dianjurkan untuk anak dibawah 3 bulan
 Anak usia 3-12 bulan : 2-3 x 120 mg
 Anak usia 1-4 tahun : 2-3 x 240 mg
 Anak usia 4-6 tahun : 4 x 240 mg
 Anak usia 7-12 tahun : 2-3 x 0,5 mg
e. Efek Samping
Reaksi alergi terhadap derivate para-aminofenol jarnag terjadi.
Manifestasinya berupa eritema atau urtkaria dan gejala yang lebh berat berupa
demam dan lesi pada mukosa. Anemia hiporomik dapat terjadi terutama pada
pemakaian kronik. Anemia hemolitik dapat terjadi berdasarkan mekanisme
autoimun, defisiensi enzim G6PD dan adanya metabolit yang abnormal.
Methemoglobinemua dan sulfohemoglobinemia jarnag menimbulkan masalah
pada dosis terapi, karena hanya kira-kira 1-3% Hb diubah menjadi met-Hb
Methemoglobinemia baru merupakan masalah pada takar lajak.

f. Penanggulangan Jika Overdosis


Akibat dosis toksis yang paling serius adalah nekrosis hati. Nekrosis tubulus
renalis serta koma hipoglikemik dapat juga terjadi. Hepatotoksisistas dapat terajdi
pada pemberian dosis tunggal 10-15 gram (200-250 mg/KgBB) parasetamol.
gejala pada hari pertama keracunan akut parasetamol belim mencerminkan bahaya
yang mengancam. Anoreksia,mual, dan muntah serta sakit perut terjadi dalam 24
jam pertama dan dapat berlangsung selama seminggu atau lebih. Gangguan hepar
dpaat terjadi pada hari kedua, dengan gejala peningkatna aktivitas serum
transaminase, laktat dehidroginase, kadar bilirubin serum serta pemanjangan masa
protrombin. Aktivitas alkali fosfatase dan kadar albumin serum tetap normal.
Kerusakan hati dapat mengakibatkan ensefalopati, koma dan kematian. Kerusakan
hati yang tidak berat pulih dalam beberapa minggu sampai beberapa bulan.
Masa paruh parasetamol pada har pertama keracunan merupakan petunjuk
beratnya keracunan. Masa paruh lebih dari 4 jam merupakan pertunjuk akan
terjadinya nekrosis hatu dan masa paruh lebih dari 12 jam meramalkan akan
terjadinya koma hepatik. Penentuan kadar parasetamol sesaat kurang peka untuk
meramalkan terjadinya kerusakan hati. kerusakan hati ini tidak hanya disebabkan
poleh parasetamol, teteapi juga oleh radikal bebas, metabolit yang sangat reaktif
yang berikatan secara kovalen dengan makromolekul vital sel hati. karena itu
hepatotoksisitas parasetamol meningkat pada pasien yang juga mendapat
barbiturate, antikonvulsi lain ataau pada lakoholik kronik. Kerusakan yang timbul
berupa sentrilobilaris. keracunan akut ini biasanya diobati secara simtomatik dan
suportif, tetapi pemberian senyawa sulfhidril tampaknya dapat bermanfaat, yaitu
dengan memperbaiki cadangan gluttation hati. N-asetilsistein cukup efektif bila
deberikan per oral24 jam setelah minum dosis toksik parasetamol.
g. Interaksi Obat
 Pemberian pada pasien dnegan alkoholik kronik dapat meningkatkan
resiko hepatotoksisitas.
 Pemberian bersama dengan obat antikejang dan isoniazid akan
meningkatkan resiko hepatotoksisitas
 pemberian terhadap antikoaguan oral dapat meningkatkan efek dari
warfarin.
 Pemberian bersama dengan fenotiazin dapat menyebabkan hipotermia
yang parah.
DAFTAR PUSTAKA
Tjay dan Kirana. Obat-Obat Penting. Elex Media Komputindo. Jakarta, 1991.

Ganiswarna SG, Setiabudy R, Suyatna FD, Purwantyastuti, Nafrialdi (editor).

Farmakologi dan Terapi edisi 4. Jakarta: Bagian Farmakologi FKUI, 1995

Tjay TH dan Rahardja K.Obat-obat Penting Edisi 6.Jakarta: PT ElexMedia

Komputindo, 2007
Wilmana, P.F. (1995). Analgesik-Antipiretik,AnalgesikAnti-InflamasiNon

Steroid dan Obat Pirai : Farmakologi dan Terapi. Edisi ke 4. Jakarta. Bagian

Farmakologi Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Halaman : 217- 218

Katzung, B.G. 2002. Farmakologi Dasar dan Klinik buku 2. Jakarta : Salemba
Medika.
Sardjono, Santoso dan Hadi rosmiati D.1995. Farmakologi dan Terapi, bagian
farmakologi FK-UI. Jakarta : Universitas Indonesia
Tjay, Tan howan dan Kirana Rahardja. 2007. Obat-Obat Penting edisi ke VI.
Jakarta : Elex Media Kompetindo

Anda mungkin juga menyukai