Anda di halaman 1dari 18

TEORI HUKUM

PENERAPAN HUKUM PROGRESIF DALAM PENEGAKAN


HUKUM DI I NDONESIA

Dosen Pengampu : Dr. Hj. Sri Endah Wahyuningsih, S.H.,M.Hum.

Disusun oleh :

S U W O N O, S H
NIM : MH 16292077

PROGRAM MAGISTER ILMU HUKUM


FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM SULTAN AGUNG
SEMARANG
2017
A. Pendahuluan
Hukum mengatur tindakan atau perbuatan apa saja yang tidak boleh
dilakukan berikut dengan sanksinya apabila dilanggar. Hukum bersifat me-
maksa, dengan adanya sanksi tersebut, sehingga dalam bertindak, masyarakat
akan lebih berhati-hati, apakah tindakannya tersebut merugikan pihak lain atau
tidak.
Hukum berfungsi sebagai pedoman bagi setiap orang untuk bertingkah
laku, mengingat masyarakat adalah sebuah game dengan peraturan-peraturan
yang dibuat sebelumnya dan pada gilirannya memungkinkan kejelasan me-
ngenai apa yang dapat diharapkan dari setiap tindakan yang dilakukan oleh
setiap orang. Hukum dapat juga dikatakan sebagai rules of conduct, for men
behavior in a society (aturan tingkah laku manusia di dalam masyarakat
tertentu). Dengan singkat dapat dikatakan bahwa hukum menghilangkan ke-
tidakpastian, hukum memberikan jaminan bagi terjadinya perubahan sosial
yang tertib. 1

Rusaknya hukum di Indonesia telah berlangsung cukup lama. Momen-


tum reformasi 1998 yang seharusnya menjadi awal terwujudnya cita-cita
supremasi hukum dan penegakan hukum yang sesungguhnya, tidak kunjung
membaik.
Ada empat fakta yang menandai kondisi gagalnya proses penegakan
hukum di Indonesia. Pertama, ketidakmandirian hukum, kedua, integritas
penegak hukum yang buruk, ketiga, kondisi masyarakat yang rapuh dan
sedang mengalami pseudoreformatie syndrome, dan keempat, pertumbuhan
hukum yang mandek. Secara konkretnya, kegagalan proses penegakan hukum
kita bersumber dari substansi peraturan perundang-undangan yang tidak
berkeadilan, aparat penegak hukum yang korup, dan budaya masyarakat yang
buruk, dan lemahnya kelembagaan hukum kita.2

Menghadapi karut-marut kehidupan berhukum di Indonesia, Satjipto


Rahardjo menyerukan perlunya berhukum secara progresif. Gagasan hukum
progresif pertama kali dilontarkan pada tahun 2002 lewat sebuah artikel yang
ditulis di Harian Kompas dengan judul “Indonesia Butuhkan Penegakan
Hukum Progresif”.
1
Edi Setiadi dan Rena Yulia, Hukum Pidana Ekonomi, Cetakan Pertama, Edisi Pertama,
Graha Ilmu, Yogyakarta, 2010, hlm. 1.
2
Amir Syamsuddin, Integritas Penegak Hukum, Hakim, Jaksa, Polisi, dan Pengacara,
Cetakan Pertama, Kompas, Jakarta, 2008, hlm. ix dan x.

-2-
Istilah hukum progresif dalam berbagai konteksnya sangat melekat
pada penggagas, pejuang dan pengembang gagasan ini, yakni Satjipto
Rahardjo. Sekalipun tidak sama persis, Van Gerven dalam bukunya “Theorie
en Praktijk van de Rechtsvinding” pernah memperkenalkan aliran progresif
dalam penemuan hukum. Jika itu benar, Satjipto Rahardjo berhasil
mengembangkan gagasan aliran progresif dalam berhukum menjadi lebih
utuh, sistematis dan mendekati sempurna.3

Hukum hadir untuk mengatur pergaulan hidup secara damai. Istilah


damai (vrede) adalah apa yang kini disebut tertib hukum. Karena hukum
menurut substansinya merupakan sesuatu yang berlaku secara umum dan tidak
diskriminatif. Hukum dapat mempertahankan perdamaian (tertib hukum)
hanya jika ia berhasil menjaga keseimbangan antar kepentingan manusia yang
selalu bertentangan. Karena itu, tujuan hukum adalah menciptakan tata-tertib
masyarakat yang damai dan adil. Itulah sebabnya, pembahasan tentang
ketertiban umum sebagai tujuan dari hukum harus dilakukan sebagai usaha
kembar untuk juga membahas masalah keadilan.
Tuntutan agar hukum melayani kepentingan-kepentingan manusia,
oleh Radbruch disebut sebagai nilai dasar hukum yang meliputi 3 (tiga) hal,
yaitu keadilan, kegunaan dan kepastian hukum. Esensi hukum dapat dilihat
dari tiga hal itu, sekalipun demikian antara ketiganya selalu terdapat
ketegangan (spannungsverhaltnis). Keinginan untuk menciptakan kepastian
hukum, kadang harus menggeser ke samping keadilan dan kegunaan hukum.
Hasrat untuk mengedepankan keadilan hukum, tidak jarang malah
menimbulkan ketidakpastian hukum. Dilema filosofis hukum di atas akan
terus mengemuka sepanjang sejarah manusia.
Untuk mewujudkan hukum sebagai ide-ide ternyata dibutuhkan suatu
organisasi yang cukup kompleks. Negara yang harus campur tangan dalam
perwujudan hukum yang abstrak ternyata harus mengadakan berbagai macam
badan untuk keperluan tersebut. Kita tidak mengenal adanya jawatan hukum
atau kantor hukum, melainkan Pengadilan, Kejaksaan, Kepolisian, Pemasya-
rakatan dan juga Badan Peraturan Perundang-undangan. Badan-badan yang
3
Abu Rohkmad, Hukum Progresif, Pemikiran Satjipto Rahardjo Dalam Perspektif
Teori Maslahah, Cetakan Pertama, Program Pasca Sarjana IAIN Walisongo Semarang dan
Pustaka Rizki Putra, Semarang, 2012, hlm. 6.

-3-
tampak sebagai organisasi yang berdiri sendiri-sendiri tersebut pada hakekat-
nya mengemban tugas yang sama, yaitu mewujudkan hukum atau menegak-
kan hukum dalam masyarakat.
Dapat dikatakan tanpa dibuat organisasi-organisasi tersebut, hukum
tidak dapat dijalankan dalam masyarakat. Apabila keadaannya sudah demi-
kian, maka tentunya dalam rangka membicarakan penegakan hukum, tidak
dapat dilewatkan pembicaraan mengenai segi keorganisasian tersebut. Tujuan-
tujuan hukum yang abstrak di tengah-tengah suatu masyarakat yang kompleks
hanya dapat diwujudkan melalui pengorganisasian yang kompleks pula. Untuk
mewujudkan tujuan hukum diperlukan berbagai organisasi, sekalipun pada
hakekatnya bertugas untuk mengantarkan orang kepada tujuan-tujuan hukum,
namun masing-masing tetap berdiri sendiri-sendiri sebagai badan yang bersifat
otonom.
Dalam rangka penegakan hukum progresif, maka pada pelaksanaannya
akan memberikan perhatian yang saksama terhadap peranan dari faktor
manusia. Faktor manusia menjadi penting karena hanya melalui faktor
tersebut penegakan hukum dapat dijalankan. Selain itu, berhubungan dengan
soal lingkungan dari proses penegakan hukum.

B. Perumusan Masalah
Dari uraian di atas, dalam makalah ini penulis merumuskan per-
masalahan mengenai : Bagaimanakah penerapan hukum progresif penegakan
hukum di Indonesia?

C. Pembahasan
Segala tindakan warga negara maupun penyelenggara harus sesuai
dengan hukum atau peraturan perundang-undangan yang berlaku. Hal tersebut
sebagaimana amanah dalah Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945 pasca amandemen, di mana dinyatakan bahwa
: “Negara Indonesia adalah negara hukum”.

-4-
Menurut Aristoteles bahwa negara hukum adalah negara yang berdiri
di atas hukum yang menjamin keadilan pada warga negaranya. Keadilan
menurut Aristoteles dibedakan atas keadilan distributif dan keadilan komutatif.
Menurut, dia hukum yang baik adalah hukum yang bersumber dari rasa
keadilan masyarakat dan yang memerintah dalam negara adalah pikiran yang
adil sementara penguasa hanya pemegang hukum dan keseimbangan saja.4

Dalam konteks ini, beberapa pendapat diuraikan terkait tentang negara


hukum, yakni : 5
1. Emmanuel Kant
Menyebut ciri-ciri negara hukum, antara lain adalah :
a. Ada perlindungan terhadap hak asasi manusia;
b. Pemisahan kekuasaan atas legislatif, eksekutif, dan yudikatif;
c. Negara tidak boleh campur tangan dalam kemakmuran rakyat.

2. Julius Stahl
Mengatakan ciri negara hukum sebagai berikut :
a. Perlindungan terhadap hak asasi warga masyarakat;
b. Pemisahan kekuasaan sesuai ajaran Trias Politica;
c. Pemerintahan berdasarkan atas hukum (legalitas);
d. Adanya peradilan administrasi negara yang mandiri.

3. A.V Dicey
Rule of law menurutnya meliputi 3 (tiga) unsur, yakni :
a. Supremasi hukum dalam arti baiknya yang punya kekuasaan tertinggi
dalam negara terletak pada hukum (supremacy of law/kedaulatan hu-
kum);
b. Persamaan di muka hukum bagi setiap orang (equality before the law);
c. Hak asasi tidak bersumber pada konstitusi, namun jika hak asasi harus
dimasukkan dalam konstitusi, itu untuk penegasan hak asasi itu di-
lindungi oleh negara.

4
Nomensen Sinamo, Hukum Tata Negara Indonesia, Cetakan Ketiga, Edisi Revisi,
Permata Aksara, Jakarta, 2014, hlm. 36.
5
Ibid., hlm. 36 dan 37.

-5-
Sedangkan menurut Tahir Azhari menambahkan ciri negara hukum
yang baik, yaitu adanya prinsip perdamaian, kekuasaan yang amanah, kesejah-
teraan, musyawarah, serta prinsip ketaatan rakyat.6
Sifat negara hukum ialah di mana alat perlengkapan negara atau pe-
jabat negara hanya dapat bertindak sesuai dengan aturan-aturan yang telah di-
tetapkan terlebih dahulu oleh alat perlengkapan negara yang dikuasakan untuk
membuat aturan itu.
Merujuk pada symposium (1966) di Jakarta di mana ciri-ciri negara
hukum ditetapkan sebagai berikut : 7
1. Pengakuan dan perlindungan hak asasi manusia yang mengandung per-
samaan di bidang politik, ekonomi, hukum, sosial, dan kebudayaan;
2. Peradilan yang bebas dan tidak memihak serta tidak dipengaruhi oleh
suatu kekuasaan atau kekuatan apapun juga;
3. Legalitas hukum dalam segala bentuk dan manifestasinya.

Sebagai negara hukum, maka hukum harus ditegakkan sehingga akan


terbentuk masyarakat yang tertib hukum, dan segala bentuk tindak pidana
dapat diminimalisir bahkan diberantas. Kesadaran masyarakat untuk
mematuhi hukum sangatlah penting, oleh karena itu diperlukan kerjasama
antara masyarakat dan penegak hukum untuk meningkatkan wibawa hukum
dan menjunjung tinggi hukum.
Cara berhukum di Indonesia harus diubah dengan cara berhukum yang
luar biasa, pandangan masyarakat dan penegak hukum terhadap hukum harus
diubah dengan melihat bahwa hukum itu untuk manusia, sebagaimana
pandangan hukum progresif.
Hukum progresif melihat, mengamati dan ingin menemukan cara
berhukum yang mampu memberi jalan dan panduan bagi kenyataan. Peng-
amatan dan pengalaman terhadap peta perjalanan dan kehidupan hukum
menghasilkan keyakinan, bahwa hukum itu sebaiknya bisa membiarkan semua
mengalir secara alami saja. Hal tersebut bisa tercapai, apabila setiap kali
hukum bisa melakukan pembebasan terhadap sekat dan penghalang yang
6
Tahir Azhari, Negara Hukum, Suatu Studi Tentang Prinsip-Prinsipnya Dilihat Dari
Segi Hukum Islam, Bulan Bintang, Jakarta, 1992, hlm. 64.
7
Nomensen Sinamo, loc.cit.

-6-
menyebabkan hukum menjadi mandek, tidak lagi mengalir. Tidak lagi
mengalir, berarti kehidupan dan manusia tidak memperoleh pelayanan yang
baik dari hukum. Berkali-kali dikatakan bahwa hukum tidak ada untuk dirinya
sendiri, tetapi untuk manusia.
Hukum progresif adalah cara berhukum yang selalu gelisah untuk
membangun diri, sehingga berkualitas untuk melayani dan membawa rakyat
kepada kesejahteraan dan kebahagiaan. Ideal tersebut dilakukan dengan
aktivitas yang berkesinambungan antara merobohkan hukum, yang meng-
ganjal dan menghambat perkembangan (to arrest development) untuk mem-
bangun yang lebih baik.
Hukum progresif itu sesungguhnya sederhana, yaitu melakukan
pembebasan, baik dalam cara berpikir maupun bertindak dalam hukum,
sehingga mampu membiarkan hukum itu mengalir saja untuk menuntaskan
tugasnya mengabdi kepada manusia dan kemanusiaan.
Hukum progresif harus ditegakkan tidak hanya oleh penegak hukum,
akan tetapi juga masyarakat, mengingat komponen manusia sangat penting
dalam penegakan hukum progresif, karena membutuhkan niat dan sikap dari
manusia itu sendiri untuk menegakkan hukum, bukan hanya menjalankan
perintah dari undang-undang.
Hukum progresif melihat dunia dan hukum dengan pandangan yang
mengalir saja, seperti Panta Rei (semua mengalir) dari filsuf Heraklitos.
Apabila orang berkeyakinan dan bersikap seperti itu, maka ia akan mem-
bangun suatu cara berhukum yang memiliki karakteristiknya sendiri, sebagai-
mana akan diuraikan di bawah ini : 8
1. Paradigma dalam hukum progresif adalah bahwa “hukum adalah untuk
manusia”. Pegangan, optik atau keyakinan dasar ini tidak melihat hukum
sebagai sesuatu yang sentral dalam berhukum, melainkan manusialah yang
berada di titik pusat perputaran hukum. Hukum itu berputar di sekitar
manusia sebagai pusatnya. Hukum ada untuk manusia, bukan manusia
untuk hukum. Apabila kita berpegangan pada keyakinan, bahwa manusia
itu adalah untuk hukum, maka manusia itu akan selalu diusahakan,

8
Satjipto Rahardjo, Penegakan Hukum Progresif, Cetakan Pertama, Kompas, Jakarta,
2010, hlm. 61-68.

-7-
mungkin juga dipaksakan, untuk bisa masuk ke dalam skema-skema yang
telah dibuat oleh hukum.

Budayawan Jakob Soemardjo, misalnya mengatakan, bahwa orang


Jawa mempunyai lebih dari 10 jenis pencurian, tetapi oleh hukum hanya
disediakan satu skema atau kotak bagi perbuatan yang namanya pencurian,
yaitu “mengambil barang milik orang lain”. Sebagai akibatnya penegak
hukum menggunakan patokan itu untuk bisa mengatakan suatu perbuatan
sebagai pencurian.

Manusia atau perbuatan manusia selalu merupakan suatu unikum.


Kendati demikian, karakteristik itu tidak mendapatkan tempat dalam
hukum. Di sini hukum sudah bekerja seperti mesin yang tinggal memencet
tombol saja, ibarat mesin otomat (subsumptie automaat). Sementara itu
hukum harus bekerja dengan rumusan-rumusan hukum dalam perundang-
undangan, yang telah menyempitkan atau mereduksi perbuatan manusia
yang unik itu ke dalam skema atau standar tertentu. Alih-alih menimbul-
kan ketertiban dan keteraturan, hukum nasional malah menjadi beban bagi
kehidupan lokal, begitu menurut Bernard.

2. Hukum progresif menolak untuk mempertahankan keadaan status quo


dalam berhukum. Mempertahankan status quo memberi efek yang sama,
seperti pada waktu orang berpendapat, bahwa hukum adalah tolok ukur
untuk semuanya, dan manusia adalah untuk hukum. Cara berhukum yang
demikian itu sejalan dengan cara positivistik, normatif, dan legalistik.
Sekali undang-undang mengatakan atau merumuskan seperti itu, kita tidak
bisa berbuat banyak, kecuali hukumnya diubah lebih dulu. Sindrom
ketidakberdayaan inilah yang dipertontonkan lewat pengadilan O.J.
Simpson (1994), yang diyakini oleh banyak publik Amerika sebagai
pelaku pembunuhan terhadap mantan istrinya. Pada waktu Simpson
dinyatakan not guilty oleh dewan juri, maka orang pun mengangkat bahu
seraya mengatakan, ya apa boleh buat, memang begitulah bekerjanya
sistem kita.
Ada hal lain yang berhubungan dengan penolakan terhadap cara
berhukum yang pro status quo tersehut, yaitu berkaitan dengan
perumusan-perumusan masalah ke dalam perundang-undangan. Substansi
undang-undang itu berangkat dari gagasan tertentu dalam masyarakat yang
kemudian bergulir masuk ke lembaga atau badan legislatif. Dalam
lembaga inilah suatu gagasan itu kemudian dirumuskan dalam kata serta
kalimat dan akhirnya menjadi undang-undang.

Antara gagasan dan pasal undang-undang ada jarak yang besar


sekali, yang menyebabkan kesenjangan antara gagasan dan undang-
undang. Merumuskan ke dalam peraturan terikat pada banyak hal, seperti
tata bahasa, kekayaan kosa kata dan lain-lain. Maka tidak salahlah apabila
orang mengatakan, bahwa hukum itu adalah suatu “permainan bahasa”

-8-
(language game). Bahasa sebagai alat untuk menyampaikan pesan gagasan
banyak mengandung keterbatasan. Itulah sebabnya peraturan itu masih
membutuhkan komponen yang disebut penjelasan. Sesungguhnya, semua
teks tertulis itu membutuhkan penafsiran, bukan hanya pasal-pasal yang
diberi penjelasan oleh undang-undang. Maka itu kelirulah mengatakan
undang-undang atau hukum sudah jelas.

Pada waktu undang-undang mengatakan, bahwa yang dapat


mengajukan Peninjauan Kembali (PK) adalah terdakwa atau ahli warisnya,
maka undang-undang mengatakan tegas-tegas, bahwa persyaratan itu
adalah limitatif. Tetapi kemudian ternyata, bahwa pengadilan menerima
permintaan jaksa untuk melakukan PK. Menurut advokat Todung Mulya
Lubis, peristiwa tersebut adalah tragedi dalam sejarah hukum Indonesia.

Hukum itu cacat sejak ia diundangkan atau dilahirkan. Banyak


faktor yang turut ambil bagian dalam melahirkan keadaan cacat tersebut.
Lebih daripada itu, hukum itu juga bisa bersifat kriminogen, artinya
menjadi sumber bagi kejahatan. Kelalaian atau ketidaksaksamaan meng-
atur masyarakat yang begitu majemuk, seperti Indonesia ini, sangat ber-
potensi menimbulkan pengaturan yang kriminogenik tersebut. Sekalipun
legislatif “bermaksud balk”, tetapi karena kurang cermat memahami
keaneka-ragaman sosial dan budaya di Indonesia, maka produk yang
dihasilkannya bisa menimbulkan persoalan besar pada waktu diterapkan
di salah satu bagian dari negeri ini.

Uraian di atas menegaskan, bahwa membaca undang-undang


bukan sekadar mengeja kalimat dalam undang-undang, melainkan
memberi makna kepada teks tertulis itu. Oleh sebab itu, kepastian hukum
adalah hal yang tidak sederhana, karena teks undang-undang yang secara
eksplisit mengatakan tidak boleh ditambah dan dikurangi pun, masih saja
bisa diberi makna lain, seperti contoh PK oleh jaksa tersebut di atas.
Penerapan hukum yang meniru cara kerja mesin, tidak mempedulikan
risiko-risiko yang muncul dari “peraturan yang buruk” itu.

3. Apabila diakui, bahwa peradaban hukum tertulis akan memunculkan


sekalian akibat dan risiko sebagaimana dikemukakan di atas, maka cara
kita berhukum sebaiknya juga mengantisipasi tentang bagaimana meng-
atasi hambatan-hambatan dalam menggunakan hukum tertulis tersebut.
Secara ekstrem kita tidak dapat menyerahkan masyarakat untuk
sepenuhnya tunduk kepada hukum yang tertulis itu. Menyerah bulat-bulat
seperti itu adalah sama dengan membiarkan diri kita diatur oleh teks
formal tertulis yang belum tentu benar-benar berisi gagasan asli yang ingin
dituangkan ke dalam teks tersebut dan yang memiliki risiko bersifat
kriminogen.

-9-
Oleh karena itu, cara berhukum yang lebih baik dan sehat, dalam
keadaan seperti itu adalah memberikan lorong-lorong untuk melakukan
pembebasan dari hukum formal. Ihwal yang dibicarakan di atas
mengingatkan kepada disertasi C.J.M. Schuyt di Belanda pada tahun 1972,
yang membicarakan tentang “ketidakpatuhan warga negara kepada
hukum” (burgerlijke ongehoorzaamheid). Ketidakpatuhan warga negara
kepada hukum, demikian Schuyt, dilakukan dalam usaha untuk mengubah
pendapat umum serta persepsi resmi mengenai apa yang benar dan tidak
benar dan sah. Apa yang sebetulnya ditulis oleh Schuyt adalah juga
mengenai penafsiran atau pemahaman terhadap hukum, atau dalam hal
Schuyt, terhadap pendapat umum dan persepsi resmi.

Sekarang tersedia lorong hukum untuk mengutarakan penafsiran


yang berbeda terhadap suatu teks undang-undang, yaitu melalui apa yang
dikenal sebagai judicial review. Tetapi, yang kita bicarakan bersifat lebih
mendasar dan filosofis, yaitu pengakuan terhadap sahnya penafsiran yang
berbeda-beda mengenai teks hukum. Hak untuk menafsirkan atau
membebaskan diri dari perintah hukum didasari oleh pendapat, bahwa
perumusan suatu gagasan ke dalam peraturan tertulis, belum tentu benar-
benar mampu mewadahi gagasan orisinal tersebut.

Kecuali alasan tersebut, maka teks hukum itu juga bisa tertinggal
oleh perkembangan atau dinamika dalam masyarakat. Konsep hukum
mengenai pemilikan tidak berubah, yaitu penguasaan manusia atas barang.
Konsep tersebut menjadi ketinggalan, pada saat dunia memasuki
industrialisasi, di mana buruh yang notabene adalah manusia sudah
diperlakukan sebagai barang atau faktor produksi. Dengan demikian
konsep pemilikan sebagai penguasaan manusia atas barang, sudah berubah
menjadi penguasaan manusia atas manusia pula.

Bersikukuh pada konsep hukum yang lama menyebabkan aliran


perkembangan menjadi terhenti dengan sekalian akibatnya. Kemunculan
hukum perburuhan, yang ingin memberikan perlindungan terhadap buruh,
sebetulnya merupakan perkembangan yang unik, oleh karena bertolak dari
konsep baru, bahwa manusia juga sudah bisa menjadi objek penguasaan
dan oleh karena itu memerlukan perlindungan. Kelahiran hukum per-
buruhan tidak bisa dijelaskan dari konsep pemilikan yang lama. Itu adalah
dinamika yang progresif, yang terjadi di luar proses hukum konvensional.
Proses konvensional menghendaki adanya perubahan dalam konsep
kepemilikan lebih dahulu dan baru menyusul perundang-undangan baru
sebagai tindak lanjut dari perubahan tersebut.

Diktum Renner menegaskan, bahwa hukum itu tidak berjalan dan


berkembang mengikuti logika saja, tetapi juga unsur atau pertimbangan
kemanfaatan sosial (reasonableness). Andaikata tidak digunakan per-

-10-
timbangan terakhir, maka hukum akan berhenti dan buruh tidak akan
mendapatkan perlindungan.

4. Hukum progresif memberikan perhatian besar terhadap peranan perilaku


manusia dalam hukum. Ini bertentangan diametral dengan paham, bahwa
hukum itu hanya urusan peraturan. Peranan manusia di sini merupakan
konsekuensi terhadap pengakuan, bahwa sebaiknya kita tidak berpegangan
secara mutlak kepada teks formal suatu peraturan. Di atas sudah diuraikan
betapa besar risiko yang akan dihadapi apabila kita “menyerah bulat-bulat”
kepada peraturan.

Telah dibicarakan, bahwa cara berhukum yang penting untuk


mengatasi kemandegan atau stagnasi adalah dengan membebaskan din dari
dominasi yang membuta kepada teks undang-undang. Cara seperti ini bisa
dilakukan, apabila kita melibatkan unsur manusia atau perbuatan manusia
dalam berhukum. Stone mengatakan itu dan Holmes mempraktikkannya.

Sejak perilaku manusia diangkat menjadi unsur penting, maka


pendidikan hukum juga perlu peka terhadap masalah tersebut. Sudah
diketahui luas, bahwa pendidikan hukum kita lebih menekankan penguasa-
an terhadap perundang-undangan yang berakibat pada terpinggirkannya
manusia dan perbuatannya dalam proses hukum. Sembilanpuluh persen
lebih kurikulum mengajarkan tentang teks-teks hukum formal dan
bagaimana mengoperasikannya.

Rupa-rupanya model pembelajaran hukum seperti itu tidak hanya


dimonopoli oleh pendidikan hukum di negeri kita. Juga Amerika Serikat
merisaukan keadaan tersebut, oleh karena menjadi sebab merosotnya
kepedulian terhadap penderitaan manusia, yang seharusnya ditolong oleh
hukum.

Secara agak ekstrem, Gerry Spence mengatakan, bahwa sejak


mahasiswa memasuki pintu fakultas hukum, maka rasa kemanusiaannya
dirampas dan direnggutkan. Mereka lebih dicekoki untuk menjadi profe-
sional, tetapi mengabaikan dimensi kemanusiaan. Spence mengibaratkan
keadaan tersebut bagaikan membeli pelana kuda berharga ribuan dollar
hanya untuk dipasang pada kuda yang harganya sepuluh dollar.

Ketidakmampuan lawyers Amerika bukan terletak pada profesio-


nalitasnya, tetapi pada kemiskinannya sebagai manusia (human being).
Mereka ini telah dididik untuk melawan (against) perasaan, mengasihi
(caring) orang lain, dan sesama manusia (being). Dengan seloroh Spence
mengatakan, bahwa untuk memperoleh bantuan hukum yang sebenarnya
orang akan lebih berhasil jika pergi ke juru rawat, yang jelas akan me-
rawatnya sebagai manusia yang menderita, daripada pergi ke kantor
advokat. Maka itu Spence menyarankan agar sebelum menjadi seorang

-11-
profesional, lawyer itu dididik untuk menjadi manusia yang berbudi luhur
(evolved person) terlebih dahulu.

Telah dibicarakan, bagaimana John Marshall tampil sebagai Ketua


Mahkamah Agung yang membelokkan jalan sejarah hukum di negeri
Paman Sam itu. Dengan satu putusan, bahwa Supreme Court bisa
membatalkan suatu undang-undang, maka pengadilan telah turut membuat
sejarah Amerika, yang semula hanya dipercayakan kepada legislatif dan
eksekutif. Bukan peraturan yang mengubah sejarah politik Amerika, tetapi
seorang manusia biasa yang bernama John Marshall.

Dalam kadar yang berbeda, Indonesia juga memiliki manusia-


manusia yang berani “memainkan hukum” dan tidak hanya dimainkan
oleh hukum. Mantan Hakim Agung Adi Andojo Soetjipto mengambil
risiko untuk membersihkan Mahkamah Agung dan memulihkan citra
lembaga tersebut. Baharuddin Lopa yang hanya sebentar menjadi Jaksa
Agung juga berbuat seperti itu. Mereka itu adalah orang-orang yang
progresif yang mencoba melakukan sesuatu dengan berani, di tengah-
tengah merosotnya kepercayaan kepada hukum.

Apabila kita berdiri di abad ke-21 ini dan menengok ke belakang,


maka di hadapan kita terbentang suatu panorama hukum yang penuh
dengan dinamika, perubahan, gejolak, dan perkembangan. Tidak dijumpai
suatu keadaan yang statis dan stagnan sejak ribuan tahun usia peradaban
manusia. Dinamika muncul, karena situasi yang lama sudah tidak me-
madai lagi dan tidak mampu mewadahi kehidupan yang berubah. Gejolak
muncul, karena “pintu-pintu air” tidak mampu lagi mengatur arus air,
sehingga menjadi jebol.

Tidak benar kalau dikatakan bahwa penegakan hukum itu merupakan


aksi atau kegiatan yang datar-datar saja. Memang benar, bahwa di abad ke-19,
di saat kejayaan analytical jurisprudence (Inggris) atau rechtsdogmatiek
(Belanda) penegakan hukum itu dirumuskan sebagai subsumsi otomat, atau
pencet tombol mesin otomat. Itu memang pikiran hukum yang dominan
di abad itu, sehingga hakim itu hanya boleh menjadi mulut undang-undang (la
bouche de la loi), tidak boleh lebih dan kurang daripada itu. Penegakan hukum
diibaratkan menarik garis lurus dari dua titik. Apabila dikatakan bahwa
“penegakan hukum bukan soal keberanian”, sebetulnya pendapat itu masih
merujuk pada pikiran hukum di abad ke-19 yang amat positivistik, legalistik,
dan dogmatis.9

Kita sudah hidup di abad ke-21, bahkan di abad ke-20 saja sudah
terjadi perubahan-perubahan besar dalam pemikiran mengenai hukum. Kita
9
Satjipto Rahardjo, Membedah Hukum Progresif, Cetakan Pertama, Kompas, Jakarta,
2006, hlm. 59 dan 60.

-12-
sudah dicerahkan oleh pemahaman hukum yang lebih luas dan kontekstual.
Kita sudah lama ditarik keluar dari kandang legalistik yang sempit itu dan
dicerahkan oleh tujuan-tujuan hukum yang lebih luas.
Sudah sejak dekade-dekade awal abad ke-20 muncul aliran bahwa
hukum itu tidak ada untuk dirinya sendiri, tetapi untuk kepentingan masya-
rakat yang lebih besar. Kita sudah dicerahkan oleh pemikiran hukum yang
lebih luas dan kontekstual, seperti dilakukan oleh sociological jurisprudence
dan behavioral jurisprudence.
Pada pertengahan abad ke-20, orang sudah mulai menyadari betapa
tidak sederhananya penegakan hukum. Tidak seperti menarik garis lurus
antara dua titik. Dalam penegakan hukum jangan lagi orang bicara berdasar
prinsip “peraturan dan logika” (rules and logic) semata. Penelitian-penelitian
lapangan mulai banyak dilakukan untuk memastikan apa yang sebenarnya
terjadi pada waktu hukum harus dijalankan di masyarakat.
Simpulan umum mengatakan bahwa banyak faktor di luar hukum yang
turut menentukan bagaimana hukum senyatanya dijalankan. Pada waktu polisi
ingin melakukan penahanan saja banyak faktor yang terlibat di situ, sehingga
melahirkan informasi luas mengenai “sosiologi penahanan” (the sociology of
arrest).
Maka tidak benar bahwa penegakan hukum itu hanya tinggal menarik
garis lurus yang menghubungkan antara peraturan dan kejadian di lapangan.
Ternyata banyak faktor-faktor yang ikut campur di situ. Penelitian di Amerika
mengenali faktor-faktor ras, stratifikasi sosial, kedekatan hubungan, sikap
sopan tersangka, ikut menentukan penahanan seseorang. Kendatipun
penelitian banyak dilakukan terhadap polisi, tetapi itu mutatis mutandis juga
terjadi di kejaksaan.
Faktor-faktor yang turut menentukan pekerjaan penegakan hukum
tidak harus datang dari luar, tetapi juga dari dalam. Di sini dikemukakan
preposisi, bahwa “ada dua penegak hukum, akan ada dua macam penegakan
hukum”. Itu berarti, bahwa hukum bukan hanya soal peraturan tetapi juga
keterlibatan manusia secara utuh. Di sinilah relevansi membicarakan faktor
“keberanian” jaksa. Secara legalistik semua jaksa di Indonesia itu sama, tetapi

-13-
tidak dari optik yang sudah tercerahkan. Katakanlah ada dua jaksa bisa terjadi
dua macam aktivitas penegakan hukum.10

Secara implisit, almarhum Baharuddin Lopa telah menunjukkan profil


keberanian seorang jaksa dan oleh karena itu seorang jaksa Lopa menjadi
berbeda dari jaksa-jaksa lain. Ini sama saja dengan seorang hakim Bismar dan
seorang polisi Hoegeng, yang juga berbeda dari rekan-rekannya yang lain.
Faktor yang membedakan adalah predisposisi sikap batin masing-masing,
Lopa, Bismar, dan Hoegeng selalu merujuk kepada hati nurani, dan itulah
yang menyebabkan timbulnya keberanian.
Putusan hati nurani dan itulah yang menyebabkan timbulnya ke-
beranian. Putusan hati nurani adalah nomor satu dan hukum nomor dua.
Hakim Bismar menyatakan, “Keadilan di atas peraturan”, sedangkan saat
jaksa Lopa gagal membawa tersangka ke hukuman, ia sering berujar, “Sampai
ke mana pun, kamu akan saya kejar”.
Kehadiran jaksa-jaksa yang berani ada di mana-mana di dunia ini.
Di Indonesia kita pernah mempunyai Jaksa Agung Lopa dan Gatot
Mangkupraja yang mobilnya pernah ditabrak orang. Di Amerika kita
mengenal Wakil Jaksa Agung Rudy (Rudolph) Giuliani dan Cristopher
Darden, jaksa dalam kasus terkenal O.J Simpson.
Persamaan yang menyatukan Lopa dan Giuliani adalah keberanian
mereka. Menurut Giuliani, New York berada di bawah cengkeraman mafia,
oleh karena para jaksa sudah menjadi gendut. Seorang jaksa gendut yang
tertidur sewaktu itu ia memberikan pengarahan dibentaknya sehingga kaget
terbangun dan langsung diusir keluar. Giuliani juga menemui seorang anggota
mafia dan di depan hidungnya berkata lantang, “Suatu hari kau akan
kumasukkan penjara”. Jaksa Agung Giuliani tidak hanya menegakkan hukum,
tetapi mengajak korpsnya untuk berperang melawan mafia, pengedar narkoba
serta para politisi korup.11

Indonesia sekarang ini sangat membutuhkan jaksa seperti itu. Waktu


gagal memenjarakan O.J. Simpson (1994), oleh karena Yuri menyatakan
Simpson “not guilty”, jaksa Darden mengatakan, “I wanted to tell him, that
there was another court that would hear his case one day, ... a court where
everyone will have to account for his actions alone. A court where the only
10
Ibid., hlm. 60-61.
11
Ibid., hlm. 61-62.

-14-
witnesses will be the eyewitnesses, Ronald Goldman and Nicole Brown ...”
(Saya ingin katakan kepadanya, bahwa ada pengadilan lain yang pada suatu
hari akan mengadilinya...Sebuah pengadilan di mana setiap orang hanya akan
diminta tanggung jawab atas perbuatannya. Sebuah pengadilan di mana saksi-
saksi yang ada adalah para saksi mata, yaitu Ronald Goldman dan Nicole
Brown). Sebagaimana diketahui, Simpson didakwa membunuh mantan istri-
nya, Nicole Brown dan pacarnya Ronald Goldman, yang sialnya kebetulan ada
di situ.12

Penegakan hukum ada hubungannya dengan masalah keberanian.


Lebih lagi menghadapi suatu keadaan luar biasa dewasa ini, kita sungguh
membutuhkan penegakan hukum yang progresif. Penegakan hukum progresif
tidak bisa diserahkan kepada cara-cara konvensional sistem pencet tombol,
melainkan membutuhkan suatu tipe penegakan hukum yang penuh greget
(compassion, empathy, commitment, dan dare atau courage). Maka faktor ke-
beranian pun menjadi penting dan mendapat tempat.
Akhirnya disarankan agar kita memberikan penghargaan terhadap para
penegak hukum yang berani dan progresif itu. Kita mulai dengan tradisi
reward and punishment (hadiah dan hukuman). Akan sangat menyakitkan
jadinya, apabila mereka yang berprestasi dan mengangkat citra kejaksaan
diperlakukan sama dengan “jaksa yang biasa-biasa saja”. Kepada mereka yang
progresif itu hendaknya diberi imbalan atau hadiah (reward). Di sisi lain,
mereka yang bahkan merusak citra kejaksaan sebaiknya diberi hukuman,
jangan hanya dikatakan “nakal”.
Indonesia membutuhkan tidak hanya orang-orang yang berani, tetapi
juga orang-orang yang baik. Meski mungkin jumlah orang-orang baik di
negeri ini tidak sedikit, namun umumnya mereka tidak muncul atau tidak bisa
muncul. Mereka tidak bisa bermain menurut “kultur preman” sehingga
tersisihkan menjadi kelompok pinggiran. Istilah “baik-baik” di sini dipakai
untuk menyebut mentalitas dan kualitas yang terpuji. Mereka itu antara lain
Baharuddin Lopa, Romo YB Mangunwijaya (alm), dan lain lagi yang masih
hidup.13
Tetapi, kita salah bila hanya menyebut nama-nama besar yang
menonjol karena orang-orang baik juga bisa ditemukan pada lapisan bawah
negeri ini. Mereka tidak memiliki nama besar dan tidak menduduki jabatan
publik tinggi, karena hanya orang biasa atau pegawai “kecil”. Penelitian para
12
Ibid., hlm. 62-63.
13
Ibid., hlm. 16.

-15-
mahasiswa mendukung temuan masih hadirnya “orang-orang biasa yang baik”
di negeri ini. Mereka hadir tanpa mencolok yang dalam bahasa Jawa disebut
kesampar-kesandung, ada di mana-mana. Dalam kehidupan sehari-hari
mereka “terlindas dan terinjak” oleh orang lain tanpa mengetahui bahwa
mereka sebenarnya memiliki mentalitas mulia dan terpuji.14

Bila keadaan dibiarkan, maka bisa diperkirakan, Indonesia akan


menjadi jarahan golongan masas itu. Manusia-manusia Indonesia yang baik-
baik kurang memperoleh kesempatan untuk tampil sebagai pemimpin dan
pengatur masyarakat. Guna memulihkan keterpurukan negeri dan bangsa kita
kini, marilah kita bersatu mengangkat dan memunculkan orang-orang baik dan
menolak kehadiran massa yang preman.

D. Kesimpulan
Hukum progresif adalah cara berhukum yang selalu gelisah untuk
membangun diri. Hukum progresif itu melakukan pembebasan, baik dalam
cara berpikir maupun bertindak dalam hukum, sehingga mampu membiarkan
hukum itu mengalir saja untuk menuntaskan tugasnya mengabdi kepada
manusia dan kemanusiaan. Hukum progresif memberikan perhatian besar ter-
hadap peranan perilaku manusia dalam hukum.
Penegakan hukum itu tidak hanya tinggal menarik garis lurus yang
menghubungkan antara peraturan dan kejadian di lapangan, tetapi banyak
faktor-faktor yang ikut campur. Faktor-faktor yang turut menentukan pekerja-
an penegakan hukum tidak harus datang dari luar, tetapi juga dari dalam.
Hukum bukan hanya soal peraturan tetapi juga keterlibatan manusia secara
utuh. Penegakan hukum ada hubungannya dengan masalah keberanian.
Lebih lagi menghadapi suatu keadaan luar biasa dewasa ini, sungguh
membutuhkan penegakan hukum yang progresif. Penegakan hukum progresif
tidak bisa diserahkan kepada cara-cara konvensional sistem pencet tombol,
melainkan membutuhkan suatu tipe penegakan hukum yang penuh greget
(compassion, empathy, commitment, dan dare atau courage). Maka faktor
keberanian pun menjadi penting dan mendapat tempat. Disarankan agar mem-

14
Ibid., hlm. 27.

-16-
berikan penghargaan terhadap para penegak hukum yang berani dan progresif
itu, yang dapat dimulai dengan tradisi reward and punishment (hadiah dan
hukuman).

DAFTAR PUSTAKA

-17-
Abu Rohkmad, Hukum Progresif, Pemikiran Satjipto Rahardjo Dalam
Perspektif Teori Maslahah, Cetakan Pertama, Program Pasca Sarjana
IAIN Walisongo Semarang dan Pustaka Rizki Putra, Semarang, 2012.

Amir Syamsuddin, Integritas Penegak Hukum, Hakim, Jaksa, Polisi, dan


Pengacara, Cetakan Pertama, Kompas, Jakarta, 2008.

Edi Setiadi dan Rena Yulia, Hukum Pidana Ekonomi, Cetakan Pertama, Edisi
Pertama, Graha Ilmu, Yogyakarta, 2010.

Nomensen Sinamo, Hukum Tata Negara Indonesia, Cetakan Ketiga, Edisi


Revisi, Permata Aksara, Jakarta, 2014.

Satjipto Rahardjo, Membedah Hukum Progresif, Cetakan Pertama, Kompas,


Jakarta, 2006.

, Penegakan Hukum Progresif, Cetakan Pertama, Kompas,


Jakarta, 2010.

Tahir Azhari, Negara Hukum, Suatu Studi Tentang Prinsip-Prinsipnya Dilihat


Dari Segi Hukum Islam, Bulan Bintang, Jakarta, 1992.

-18-

Anda mungkin juga menyukai