Makalah Teori HKM
Makalah Teori HKM
Disusun oleh :
S U W O N O, S H
NIM : MH 16292077
-2-
Istilah hukum progresif dalam berbagai konteksnya sangat melekat
pada penggagas, pejuang dan pengembang gagasan ini, yakni Satjipto
Rahardjo. Sekalipun tidak sama persis, Van Gerven dalam bukunya “Theorie
en Praktijk van de Rechtsvinding” pernah memperkenalkan aliran progresif
dalam penemuan hukum. Jika itu benar, Satjipto Rahardjo berhasil
mengembangkan gagasan aliran progresif dalam berhukum menjadi lebih
utuh, sistematis dan mendekati sempurna.3
-3-
tampak sebagai organisasi yang berdiri sendiri-sendiri tersebut pada hakekat-
nya mengemban tugas yang sama, yaitu mewujudkan hukum atau menegak-
kan hukum dalam masyarakat.
Dapat dikatakan tanpa dibuat organisasi-organisasi tersebut, hukum
tidak dapat dijalankan dalam masyarakat. Apabila keadaannya sudah demi-
kian, maka tentunya dalam rangka membicarakan penegakan hukum, tidak
dapat dilewatkan pembicaraan mengenai segi keorganisasian tersebut. Tujuan-
tujuan hukum yang abstrak di tengah-tengah suatu masyarakat yang kompleks
hanya dapat diwujudkan melalui pengorganisasian yang kompleks pula. Untuk
mewujudkan tujuan hukum diperlukan berbagai organisasi, sekalipun pada
hakekatnya bertugas untuk mengantarkan orang kepada tujuan-tujuan hukum,
namun masing-masing tetap berdiri sendiri-sendiri sebagai badan yang bersifat
otonom.
Dalam rangka penegakan hukum progresif, maka pada pelaksanaannya
akan memberikan perhatian yang saksama terhadap peranan dari faktor
manusia. Faktor manusia menjadi penting karena hanya melalui faktor
tersebut penegakan hukum dapat dijalankan. Selain itu, berhubungan dengan
soal lingkungan dari proses penegakan hukum.
B. Perumusan Masalah
Dari uraian di atas, dalam makalah ini penulis merumuskan per-
masalahan mengenai : Bagaimanakah penerapan hukum progresif penegakan
hukum di Indonesia?
C. Pembahasan
Segala tindakan warga negara maupun penyelenggara harus sesuai
dengan hukum atau peraturan perundang-undangan yang berlaku. Hal tersebut
sebagaimana amanah dalah Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945 pasca amandemen, di mana dinyatakan bahwa
: “Negara Indonesia adalah negara hukum”.
-4-
Menurut Aristoteles bahwa negara hukum adalah negara yang berdiri
di atas hukum yang menjamin keadilan pada warga negaranya. Keadilan
menurut Aristoteles dibedakan atas keadilan distributif dan keadilan komutatif.
Menurut, dia hukum yang baik adalah hukum yang bersumber dari rasa
keadilan masyarakat dan yang memerintah dalam negara adalah pikiran yang
adil sementara penguasa hanya pemegang hukum dan keseimbangan saja.4
2. Julius Stahl
Mengatakan ciri negara hukum sebagai berikut :
a. Perlindungan terhadap hak asasi warga masyarakat;
b. Pemisahan kekuasaan sesuai ajaran Trias Politica;
c. Pemerintahan berdasarkan atas hukum (legalitas);
d. Adanya peradilan administrasi negara yang mandiri.
3. A.V Dicey
Rule of law menurutnya meliputi 3 (tiga) unsur, yakni :
a. Supremasi hukum dalam arti baiknya yang punya kekuasaan tertinggi
dalam negara terletak pada hukum (supremacy of law/kedaulatan hu-
kum);
b. Persamaan di muka hukum bagi setiap orang (equality before the law);
c. Hak asasi tidak bersumber pada konstitusi, namun jika hak asasi harus
dimasukkan dalam konstitusi, itu untuk penegasan hak asasi itu di-
lindungi oleh negara.
4
Nomensen Sinamo, Hukum Tata Negara Indonesia, Cetakan Ketiga, Edisi Revisi,
Permata Aksara, Jakarta, 2014, hlm. 36.
5
Ibid., hlm. 36 dan 37.
-5-
Sedangkan menurut Tahir Azhari menambahkan ciri negara hukum
yang baik, yaitu adanya prinsip perdamaian, kekuasaan yang amanah, kesejah-
teraan, musyawarah, serta prinsip ketaatan rakyat.6
Sifat negara hukum ialah di mana alat perlengkapan negara atau pe-
jabat negara hanya dapat bertindak sesuai dengan aturan-aturan yang telah di-
tetapkan terlebih dahulu oleh alat perlengkapan negara yang dikuasakan untuk
membuat aturan itu.
Merujuk pada symposium (1966) di Jakarta di mana ciri-ciri negara
hukum ditetapkan sebagai berikut : 7
1. Pengakuan dan perlindungan hak asasi manusia yang mengandung per-
samaan di bidang politik, ekonomi, hukum, sosial, dan kebudayaan;
2. Peradilan yang bebas dan tidak memihak serta tidak dipengaruhi oleh
suatu kekuasaan atau kekuatan apapun juga;
3. Legalitas hukum dalam segala bentuk dan manifestasinya.
-6-
menyebabkan hukum menjadi mandek, tidak lagi mengalir. Tidak lagi
mengalir, berarti kehidupan dan manusia tidak memperoleh pelayanan yang
baik dari hukum. Berkali-kali dikatakan bahwa hukum tidak ada untuk dirinya
sendiri, tetapi untuk manusia.
Hukum progresif adalah cara berhukum yang selalu gelisah untuk
membangun diri, sehingga berkualitas untuk melayani dan membawa rakyat
kepada kesejahteraan dan kebahagiaan. Ideal tersebut dilakukan dengan
aktivitas yang berkesinambungan antara merobohkan hukum, yang meng-
ganjal dan menghambat perkembangan (to arrest development) untuk mem-
bangun yang lebih baik.
Hukum progresif itu sesungguhnya sederhana, yaitu melakukan
pembebasan, baik dalam cara berpikir maupun bertindak dalam hukum,
sehingga mampu membiarkan hukum itu mengalir saja untuk menuntaskan
tugasnya mengabdi kepada manusia dan kemanusiaan.
Hukum progresif harus ditegakkan tidak hanya oleh penegak hukum,
akan tetapi juga masyarakat, mengingat komponen manusia sangat penting
dalam penegakan hukum progresif, karena membutuhkan niat dan sikap dari
manusia itu sendiri untuk menegakkan hukum, bukan hanya menjalankan
perintah dari undang-undang.
Hukum progresif melihat dunia dan hukum dengan pandangan yang
mengalir saja, seperti Panta Rei (semua mengalir) dari filsuf Heraklitos.
Apabila orang berkeyakinan dan bersikap seperti itu, maka ia akan mem-
bangun suatu cara berhukum yang memiliki karakteristiknya sendiri, sebagai-
mana akan diuraikan di bawah ini : 8
1. Paradigma dalam hukum progresif adalah bahwa “hukum adalah untuk
manusia”. Pegangan, optik atau keyakinan dasar ini tidak melihat hukum
sebagai sesuatu yang sentral dalam berhukum, melainkan manusialah yang
berada di titik pusat perputaran hukum. Hukum itu berputar di sekitar
manusia sebagai pusatnya. Hukum ada untuk manusia, bukan manusia
untuk hukum. Apabila kita berpegangan pada keyakinan, bahwa manusia
itu adalah untuk hukum, maka manusia itu akan selalu diusahakan,
8
Satjipto Rahardjo, Penegakan Hukum Progresif, Cetakan Pertama, Kompas, Jakarta,
2010, hlm. 61-68.
-7-
mungkin juga dipaksakan, untuk bisa masuk ke dalam skema-skema yang
telah dibuat oleh hukum.
-8-
(language game). Bahasa sebagai alat untuk menyampaikan pesan gagasan
banyak mengandung keterbatasan. Itulah sebabnya peraturan itu masih
membutuhkan komponen yang disebut penjelasan. Sesungguhnya, semua
teks tertulis itu membutuhkan penafsiran, bukan hanya pasal-pasal yang
diberi penjelasan oleh undang-undang. Maka itu kelirulah mengatakan
undang-undang atau hukum sudah jelas.
-9-
Oleh karena itu, cara berhukum yang lebih baik dan sehat, dalam
keadaan seperti itu adalah memberikan lorong-lorong untuk melakukan
pembebasan dari hukum formal. Ihwal yang dibicarakan di atas
mengingatkan kepada disertasi C.J.M. Schuyt di Belanda pada tahun 1972,
yang membicarakan tentang “ketidakpatuhan warga negara kepada
hukum” (burgerlijke ongehoorzaamheid). Ketidakpatuhan warga negara
kepada hukum, demikian Schuyt, dilakukan dalam usaha untuk mengubah
pendapat umum serta persepsi resmi mengenai apa yang benar dan tidak
benar dan sah. Apa yang sebetulnya ditulis oleh Schuyt adalah juga
mengenai penafsiran atau pemahaman terhadap hukum, atau dalam hal
Schuyt, terhadap pendapat umum dan persepsi resmi.
Kecuali alasan tersebut, maka teks hukum itu juga bisa tertinggal
oleh perkembangan atau dinamika dalam masyarakat. Konsep hukum
mengenai pemilikan tidak berubah, yaitu penguasaan manusia atas barang.
Konsep tersebut menjadi ketinggalan, pada saat dunia memasuki
industrialisasi, di mana buruh yang notabene adalah manusia sudah
diperlakukan sebagai barang atau faktor produksi. Dengan demikian
konsep pemilikan sebagai penguasaan manusia atas barang, sudah berubah
menjadi penguasaan manusia atas manusia pula.
-10-
timbangan terakhir, maka hukum akan berhenti dan buruh tidak akan
mendapatkan perlindungan.
-11-
profesional, lawyer itu dididik untuk menjadi manusia yang berbudi luhur
(evolved person) terlebih dahulu.
Kita sudah hidup di abad ke-21, bahkan di abad ke-20 saja sudah
terjadi perubahan-perubahan besar dalam pemikiran mengenai hukum. Kita
9
Satjipto Rahardjo, Membedah Hukum Progresif, Cetakan Pertama, Kompas, Jakarta,
2006, hlm. 59 dan 60.
-12-
sudah dicerahkan oleh pemahaman hukum yang lebih luas dan kontekstual.
Kita sudah lama ditarik keluar dari kandang legalistik yang sempit itu dan
dicerahkan oleh tujuan-tujuan hukum yang lebih luas.
Sudah sejak dekade-dekade awal abad ke-20 muncul aliran bahwa
hukum itu tidak ada untuk dirinya sendiri, tetapi untuk kepentingan masya-
rakat yang lebih besar. Kita sudah dicerahkan oleh pemikiran hukum yang
lebih luas dan kontekstual, seperti dilakukan oleh sociological jurisprudence
dan behavioral jurisprudence.
Pada pertengahan abad ke-20, orang sudah mulai menyadari betapa
tidak sederhananya penegakan hukum. Tidak seperti menarik garis lurus
antara dua titik. Dalam penegakan hukum jangan lagi orang bicara berdasar
prinsip “peraturan dan logika” (rules and logic) semata. Penelitian-penelitian
lapangan mulai banyak dilakukan untuk memastikan apa yang sebenarnya
terjadi pada waktu hukum harus dijalankan di masyarakat.
Simpulan umum mengatakan bahwa banyak faktor di luar hukum yang
turut menentukan bagaimana hukum senyatanya dijalankan. Pada waktu polisi
ingin melakukan penahanan saja banyak faktor yang terlibat di situ, sehingga
melahirkan informasi luas mengenai “sosiologi penahanan” (the sociology of
arrest).
Maka tidak benar bahwa penegakan hukum itu hanya tinggal menarik
garis lurus yang menghubungkan antara peraturan dan kejadian di lapangan.
Ternyata banyak faktor-faktor yang ikut campur di situ. Penelitian di Amerika
mengenali faktor-faktor ras, stratifikasi sosial, kedekatan hubungan, sikap
sopan tersangka, ikut menentukan penahanan seseorang. Kendatipun
penelitian banyak dilakukan terhadap polisi, tetapi itu mutatis mutandis juga
terjadi di kejaksaan.
Faktor-faktor yang turut menentukan pekerjaan penegakan hukum
tidak harus datang dari luar, tetapi juga dari dalam. Di sini dikemukakan
preposisi, bahwa “ada dua penegak hukum, akan ada dua macam penegakan
hukum”. Itu berarti, bahwa hukum bukan hanya soal peraturan tetapi juga
keterlibatan manusia secara utuh. Di sinilah relevansi membicarakan faktor
“keberanian” jaksa. Secara legalistik semua jaksa di Indonesia itu sama, tetapi
-13-
tidak dari optik yang sudah tercerahkan. Katakanlah ada dua jaksa bisa terjadi
dua macam aktivitas penegakan hukum.10
-14-
witnesses will be the eyewitnesses, Ronald Goldman and Nicole Brown ...”
(Saya ingin katakan kepadanya, bahwa ada pengadilan lain yang pada suatu
hari akan mengadilinya...Sebuah pengadilan di mana setiap orang hanya akan
diminta tanggung jawab atas perbuatannya. Sebuah pengadilan di mana saksi-
saksi yang ada adalah para saksi mata, yaitu Ronald Goldman dan Nicole
Brown). Sebagaimana diketahui, Simpson didakwa membunuh mantan istri-
nya, Nicole Brown dan pacarnya Ronald Goldman, yang sialnya kebetulan ada
di situ.12
-15-
mahasiswa mendukung temuan masih hadirnya “orang-orang biasa yang baik”
di negeri ini. Mereka hadir tanpa mencolok yang dalam bahasa Jawa disebut
kesampar-kesandung, ada di mana-mana. Dalam kehidupan sehari-hari
mereka “terlindas dan terinjak” oleh orang lain tanpa mengetahui bahwa
mereka sebenarnya memiliki mentalitas mulia dan terpuji.14
D. Kesimpulan
Hukum progresif adalah cara berhukum yang selalu gelisah untuk
membangun diri. Hukum progresif itu melakukan pembebasan, baik dalam
cara berpikir maupun bertindak dalam hukum, sehingga mampu membiarkan
hukum itu mengalir saja untuk menuntaskan tugasnya mengabdi kepada
manusia dan kemanusiaan. Hukum progresif memberikan perhatian besar ter-
hadap peranan perilaku manusia dalam hukum.
Penegakan hukum itu tidak hanya tinggal menarik garis lurus yang
menghubungkan antara peraturan dan kejadian di lapangan, tetapi banyak
faktor-faktor yang ikut campur. Faktor-faktor yang turut menentukan pekerja-
an penegakan hukum tidak harus datang dari luar, tetapi juga dari dalam.
Hukum bukan hanya soal peraturan tetapi juga keterlibatan manusia secara
utuh. Penegakan hukum ada hubungannya dengan masalah keberanian.
Lebih lagi menghadapi suatu keadaan luar biasa dewasa ini, sungguh
membutuhkan penegakan hukum yang progresif. Penegakan hukum progresif
tidak bisa diserahkan kepada cara-cara konvensional sistem pencet tombol,
melainkan membutuhkan suatu tipe penegakan hukum yang penuh greget
(compassion, empathy, commitment, dan dare atau courage). Maka faktor
keberanian pun menjadi penting dan mendapat tempat. Disarankan agar mem-
14
Ibid., hlm. 27.
-16-
berikan penghargaan terhadap para penegak hukum yang berani dan progresif
itu, yang dapat dimulai dengan tradisi reward and punishment (hadiah dan
hukuman).
DAFTAR PUSTAKA
-17-
Abu Rohkmad, Hukum Progresif, Pemikiran Satjipto Rahardjo Dalam
Perspektif Teori Maslahah, Cetakan Pertama, Program Pasca Sarjana
IAIN Walisongo Semarang dan Pustaka Rizki Putra, Semarang, 2012.
Edi Setiadi dan Rena Yulia, Hukum Pidana Ekonomi, Cetakan Pertama, Edisi
Pertama, Graha Ilmu, Yogyakarta, 2010.
-18-