Anda di halaman 1dari 15

BAB 2

LANDASAN TEORI

2.1 Multi-Criteria Decision Making (MCDM)

Multi-Criteria Decision Making (MCDM) adalah suatu metode pengambilan


keputusan untuk menetapkan alternatif terbaik dari sejumlah alternatif berdasarkan
beberapa kriteria tertentu. Kriteria biasanya berupa ukuran-ukuran atau aturan-aturan
atau standar yang digunakan dalam pengambilan keputusan. Secara umum dapat
dikatakan bahwa MCDM menyeleksi alternatif terbaik dari sejumlah alternatif.
(Kusumadewi et al, 2006).

Janko (2005) dalam Kusumadewi et al, (2006) menyebutkan terdapat beberapa


fitur umum yang digunakan dalam MCDM, yaitu:

1. Alternatif, alternatif adalah obyek-obyek yang berbeda dan memiliki


kesempatan yang sama untuk dipilih oleh pengambil keputusan.
2. Atribut, atribut sering juga disebut sebagai kriteria keputusan.
3. Konflik antar kriteria, bebrapa kriteria biasanya mempunyai konflik antara satu
dengan yang lainnya, misalnya kriteria keuntungan akan mengalami konflik
dengan kriteria biaya.
4. Bobot keputusan, bobot keputusan manunjukkan kepentingan relatif dari setiap
kriteria, 𝑊 = (𝑤1 , 𝑤2 , 𝑤3 , … , 𝑤𝑛 ).
5. Matriks keputusan, suatu matriks keputusan 𝑋 yang berukuran 𝑚 x 𝑛, berisi
elemen-elemen 𝑥𝑖𝑗 yang merepesentasikan rating dari alternatif 𝐴𝑖 ; 𝑖 =
1,2,3, … , 𝑚 terhadap kriteria 𝐶𝑗 ; 𝑗 = 1,2,3, … , 𝑛.

Universitas Sumatera Utara


2.2 Analytic Hierarchy Process (AHP)

Analytic hierarchy process (AHP) dikembangkan oleh Thomas L. Saaty pada awal
tahun 1970. Metode AHP merupakan salah satu metode perbandingan berpasangan
yang paling populer digunakan untuk pengambilan keputusan dalam permasalahan
Multi-Criteria Decision Making (MCDM). Pendekatan AHP didesain untuk
membantu pengambil keputusan untuk menggabungkan faktor kualitatif dan faktor
kuantitatif dari suatu permasalahan yang kompleks. Penggunaan AHP dalam berbagai
bidang meningkat cukup signifikan, hal ini dikarenakan AHP dapat menghasilkan
solusi dari berbagai faktor yang saling bertentangan. AHP diaplikasikan dalam bidang
agrikultur, sosiologi, industri dan lain sebagainya.

Prinsip kerja AHP adalah membentuk suatu struktur permasalahan. Dalam


menyelesaikan permasalahan MCDM, AHP menyusun struktur hirarki masalah mulai
dari yang paling atas yang disebut goal, kemudian dibawahnya disebut variabel
kriteria dan selanjutnya diikuti oleh variabel alternatif. Pengambil keputusan,
selanjutnya memberikan penilaian numerik berdasarkan pertimbangan subjektifitas
terhadap variabel-variabel yang ada untuk menentukan tingkatan prioritas masing-
masing variabel tersebut.

2.2.1 Prinsip-prinsip AHP

Ada beberapa prinsip dasar dalam menyelesaikan persoalan dengan Metode AHP,
yakni (Mulyono, 2004):

1. Decomposition
Prinsip ini merupakan tindakan memecah persoalan-persoalan yang utuh
menjadi unsur-unsurnya. Jika ingin mendapat hasil yang akurat, pemecahan
dilakukan terhadap unsur-unsurnya sampai tidak mungkin dilakukan
pemecahan yang lebih lanjut sehingga didapatkan beberapa tingkatan dari
persoalan yang ada. Karena alasan ini, maka proses analisis ini dinamakan
hirarki (hierarchy). Ada dau jenis hirarki, yaitu lengkap (complete) dan tidak
lengkap (incomplete). Suatu hirarki disebut lengkap (complete) bila semua
elemen pada suatu tingkat memiliki semua elemen pada tingkat berikutnya,

Universitas Sumatera Utara


jika tidak demikian, dinamakan hirarki tidak lengkap (incomplete). Bentuk
struktur decomposition yakni:
Tingkat pertama : Goal (Objektif/ Tujuan keputusan)
Tingkat kedua : Kriteria-kriteria
Tingkat ketiga : Alternatif-alternatif

Goal

Kriteria 1 Kriteria 2 Kriteria i

Alternatif 1 Alternatif 2 Alternatif j

Gambar 2.1 Hirarki keputusan dari AHP

2. Comparative Judgment
Prinsip ini berarti membuat penilaian tentang kepentingan relatif dua elemen
pada suatu tingkat tertentu dalam kaitannya dengan tingkat yang diatasnya.
Penilaian ini merupakan inti dari metode AHP, karena ia akan berpengaruh
terhadap prioritas elemen-elemen. Hasil dari penilaian ini disajikan dalam
bentuk matriks yang disebut matriks pairwise comparison yaitu matriks
perbandingan berpasangan yang memuat tingkat preferensi pengambil
keputusan terhadap alternatif berdasarkan kriteria-riteria yang ada. Skala yang
digunakan untuk menyatakan tingkat preferensi adalah skala Saaty, di mana
skala 1 menunjukkan tingkat “sama pentingnya”, skala 3 menunjukkan
“moderat pentingnya”, skala 5 menunjukkan “kuat pentingnya”, skala 7
menunjukkan “sangat kuat pentingnya” dan skala 9 yang menunjukkan tingkat
“ekstrim pentingnya”.

Universitas Sumatera Utara


Tabel 2.1 Skala Saaty (Mulyono, 2004)

Tingkat Kepentingan Definisi

1 Sama pentingnya dibanding yang lain

3 Moderat pentingnya dibanding yang lain

5 Kuat pentingnya dibanding yang lain

7 Sangat kuat pentingnya dibanding yang lain

9 Ekstrim pentingnya dibanding yang lain

2,4,6,8 Nilai di antara dua penilaian yang berdekatan

3. Synthesis of Priority
Setelah matriks pairwise comparison diperoleh, kemudian dicari eigen
vektornya untuk mendapatkan local priority. Karena matriks pairwise
comparison terdapat pada setiap tingkat, maka untuk mendapatkan global
priority dapat dilakukan dengan sintesa diantara local priority.

4. Logical Consistency
Konsistensi memiliki dua makna. Pertama adalah bahwa obyek-obyek yang
serupa dapat dikelompokkan sesuai dengan keseragaman dan relevansinya.
Kedua adalah tingkat hubungan antara obyek-obyek yang didasarkan pada
kriteria tertentu.

2.2.2 Tahapan-tahapan AHP

Tahapan-tahapan pengambilan keputusan dengan Metode AHP adalah sebagai berikut:

1. Mendefinisikan masalah dan menentukan solusi yang diinginkan

2. Membuat struktur hirarki yang diawali dengan tujuan umum, dilanjutkan


dengan kriteria-kriteria, sub kriteria dan alternatif-alternatif pilihan yang ingin
di ranking.

Universitas Sumatera Utara


3. Membentuk matriks perbandingan berpasangan yang menggambarkan
kontribusi relatif atau pengaruh setiap elemen terhadap masing-masing tujuan
atau kriteria yang setingkat diatasnya. Perbandingan dilakukan berdasarkan
pilihan atau judgment dari pembuat keputusan dengan menilai tingkat tingkat
kepentingan suatu elemen dibandingkan elemen lainnya.

4. Menormalkan data yaitu dengan membagi nilai dari setiap elemen di dalam
matriks yang berpasangan dengan nilai total dari setiap kolom.

5. Menghitung nilai eigen vector dan menguji konsistensinya, jika tidak konsisten
pengambil data (preferensi) perlu diulangi. Nilai eigen vector yang dimaksud
adalah nilai eigen vector maximum yang diperoleh dengan menggunakan
matlab maupun manual.

6. Mengulangi langkah 3, 4, dan 5 untuk seluruh tingkat hirarki.

7. Menghitung eigen vector dari setiap matriks perbandingan berpasangan. Nilai


eigen vector merupakan bobot setiap elemen. Langkah ini mensintesis pilihan
dan penentuan prioritas elemen-elemen pada tingkat hirarki terendah sampai
pencapaian tujuan.

8. Menguji konsistensi hirarki. Jika tidak memenuhi dengan CR<0,100 maka


penilaian harus diulang kembali.

2.2.3 Hubungan Prioritas Sebagai Eigen Vector Terhadap Konsistensi

Mulyono (2004) menyatakan apabila diketahui elemen-elemen dari suatu tingkat


dalam hirarki adalah 𝐶1 , 𝐶2 , 𝐶3 , … , 𝐶𝑛 dengan bobot pengaruh masing-masing adalah
𝑤
𝑤1 , 𝑤2 , 𝑤3 , … , 𝑤𝑛 . Misalkan 𝑎𝑖𝑗 = 𝑤 𝑖 menunjukkan kekuatan 𝐶𝑖 dibandingkan dengan
𝑗

𝐶𝑗 , maka matriks yang memuat angka-angka 𝑎𝑖𝑗 ini dinamakan matriks pairwise
comparison (perbandingan berpasangan), diberi simbol 𝐴. Matriks perbandingan

Universitas Sumatera Utara


1
berpasangan 𝐴 merupakan matriks reciprocal, di mana 𝑎𝑖𝑗 = 𝑎 . Jika penilaian
𝑖𝑗

tersebut sempurna pada setiap perbandingan, maka 𝑎𝑖𝑗 . 𝑎𝑗𝑘 = 𝑎𝑖𝑘 untuk semua 𝑖, 𝑗, 𝑘
dan matriks 𝐴 dinamakan konsisten.

1 𝑎12 ⋯ 𝑎1𝑛
1
1 ⋯ 𝑎2𝑛
𝑎
𝐴 = 12
⋮ ⋮ ⋱ ⋮
1 1
⋯ 1
𝑎1𝑛 𝑎2𝑛

Nilai-nilai pada matriks perbandingan A dapat dinyatakan kedalam bentuk sebagai


berikut:
𝑤𝑖
𝑎𝑖𝑗 = ; di mana 𝑖, 𝑗 = 1,2,3, … , 𝑛 (2.1)
𝑤𝑗

karena ciri reciprocal, dapat diuraikan menjadi:

𝑤 1 1
𝑎𝑖𝑗 = 𝑤 𝑖 = 𝑤𝑗 =𝑎
𝑗 𝑗𝑖
𝑤𝑖

sehingga

𝑤𝑗
𝑎𝑖𝑗 ∙ = 1; di mana 𝑖, 𝑗 = 1,2,3, … , 𝑛 (2.2)
𝑤𝑖

konsekuensinya :

𝑛 1
𝑗 =1 𝑎𝑖𝑗 ∙ 𝑤𝑗 ∙ 𝑤𝑖
= 𝑛 ; 𝑖 = 1, 2, 3, … , 𝑛 (2.3)

𝑛
𝑗 =1 𝑎𝑖𝑗 . 𝑤𝑗 = 𝑛𝑤𝑖 ; 𝑖 = 1, 2, 3, … , 𝑛 (2.4)
Persamaan (2.4) dalam bentuk matriks menjadi :
𝐴∙𝑤 =𝑛∙𝑤 (2.5)
Persamaan ini menunjukkan bahwa 𝑤 merupakan eigen vector dari matriks 𝐴 dengan
eigen value 𝑛.
Jika 𝑎𝑖𝑗 tidak didasarkan pada ukuran pasti (seperti 𝑤1 , 𝑤2 , 𝑤3 , … , 𝑤𝑛 ), tetapi
𝑤𝑖
pada penilaian subjektif, maka 𝑎𝑖𝑗 akan menyimpang dari rasio yang
𝑤𝑗

Universitas Sumatera Utara


sesungguhnya, dan akibatnya 𝐴 ∙ 𝑤 = 𝑛 ∙ 𝑤 tidak terpenuhi lagi. Tetapi ada 2
kenyataan dalam teori matriks yang memberikan kemudahan:
Pertama, jika 𝑧1 , 𝑧2 , 𝑧3 , … , 𝑧𝑛 adalah angka-angka yang memenuhi
persamaan 𝐴 ∙ 𝑤 = 𝑍 ∙ 𝑤, di mana 𝑍 merupakan eigen value dari matriks 𝐴,dan jika
𝑎𝑖𝑖 = 1 untuk 𝑖, maka :
𝑛
𝑖=1 𝑍𝑖 =𝑛 (2.6)
karena itu jika 𝐴𝑤 = 𝑍𝑤 di penuhi, maka semua nilai eigen value sama dengan nol
kecuali eigen value yang bernilai sebesar 𝑛. Maka jelas dalam kasus konsistensi, n
merupakan eigen value terbesar.
Kedua, jika salah satu 𝑎𝑖𝑗 dari matriks reciprocal 𝐴 berubah sangat kecil, maka
eigen value juga berubah sangat kecil. Kombinasi keduanya menjelaskan bahwa jika
diagonal matriks 𝐴 terdiri dari 𝑎𝑖𝑗 = 1 dan jika 𝐴 konsisten, maka perubahan kecil
pada 𝑎𝑖𝑗 menahan eigen value terbesar 𝑍𝑚𝑎𝑘𝑠 dekat ke 𝑛 dan eigen value sisanya dekat
ke nol. Karena itu persoalannya adalah jika 𝐴 merupakan pairwise comparison matrix,
maka untuk memperoleh vektor prioritas harus dicari 𝑤 yang memenuhi :
𝐴𝑤 = 𝑍𝑚𝑎𝑘𝑠 ∙ 𝑤 (2.7)
Perubahan kecil pada 𝑎𝑖𝑗 menyebabkan perubahan 𝑍𝑚𝑎𝑘𝑠 . Penyimpangan 𝑍𝑚𝑎𝑘 𝑠 dari 𝑛
merupakan ukuran dari konsistensi. Indikator dari konsistensi diukur dengan
menggunakan Consistency Index (CI) yang dirumuskan sebagai berikut :
𝑍 𝑚𝑎𝑘𝑠 −𝑛
𝐶𝐼 = (2.8)
𝑛 −1

AHP mengukur seluruh kosistensi penilaian dengan menggunakan Consistency Ratio


(CR), membagikan Consistency Index (CI) terhadap Random Index:

𝐶𝐼
𝐶𝑅 = 𝑅𝐼 (2.9)

Suatu tingkat konsistensi yang tertentu memang diperlukan dalam penentuan


prioritas untuk mendapatkan hasil yang sah. Nilai CR semestinya tidak lebih dari 10%
atau 0,10. Jika tidak maka perlu dilakukan revisi.

Universitas Sumatera Utara


Nilai RI dapat dilihat pada tabel berikut ini :

Tabel 2.2 Random Index (RI)

n 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13
RI 0 0 0.58 0.9 1.12 1.24 1.32 1.41 1.45 1.49 1.51 1.54 1.56

2.3 Himpunan Fuzzy

Logika fuzzy pertama kali diperkenalkan oleh Lotfi A. Zadeh, seorang ilmuwan
Amerika Serikat dari universitas California di Berkeley, melalui tulisannya pada tahun
1965 yang berjudul “Fuzzy Sets”. Logika fuzzy umumnya diterapkan pada masalah-
masalah yang mengandung unsur ketidakpastian, ketidakjelasan, ketidaktepatan, dan
kebenaran parsial. Tettamanzi (2001) dalam Kusumadewi et al (2006), menyatakan
bahwa teori fuzzy merupakan kerangka matematis yang digunakan untuk
merepresentasikan ketidakpastian, ketidakjelasan, ketidaktepatan, dan kebenaran
parsial tersebut.

Pada dasarnya, teori himpunan fuzzy merupakan perluasan dari teori himpunan
klasik (crisp). Dalam teori himpunan klasik (crisp), keberadaan suatu elemen pada
suatu himpunan, 𝐴, hanya akan memiliki dua kemungkinan nilai keanggotaan yaitu 0
dan 1. Nilai 0 jika 𝑎 ∉ 𝐴 dan 1 jika 𝑎 ∈ 𝐴.

Misalkan usia "muda" didefinisikan dengan 𝑥 < 35 tahun. Berdasarkan teori


himpunan klasik (crisp), perubahan kecil untuk usia 35 tahun 1 bulan berakibat usia
tersebut tidak termasuk dalam kategori "muda". Dari kondisi tersebut dapat dilihat
bahwa penggunaan himpunan klasik (crisp) dalam merepresentasikan variabel usia
adalah kurang bijaksana, karena adanya perubahan kecil pada suatu nilai dapat
menyebabkan perbedaan kategori yang sangat signifikan.

Sebagai perluasan dari teori himpunan klasik (crisp), teori himpunan fuzzy
memperluas jangkauan nilai keanggotaannya. Nilai keanggotaan pada himpunan fuzzy
merupakan bilangan real yang berada pada interval [0,1].

Universitas Sumatera Utara


2.3.1 Fungsi Keanggotaan

Fungsi keanggotaan (membership function) adalah suatu fungsi yang menunjukkan


pemetaan titik-titik data ke dalam nilai keanggotaannya yang memiliki interval [0,1].
Nilai keanggotaan menyatakan derajat kesesuaian titik-titik data dalam suatu
himpunan (sering juga disebut dengan derajat keanggotaan):

Secara matematis, himpunan kabur 𝐴 dalam himpunan semesta 𝑅 dapat


direpresentasikan sebagai pasangan berurutan:

𝐴= 𝑥, 𝜇𝐴 𝑥 𝑥∈𝑅

di mana 𝜇𝐴 adalah derajat keanggotaan dari 𝑥, yang merupakan suatu pemetaan dari
himpunan semesta 𝑅 ke interval [0,1].

2.3.2 Bilangan Fuzzy Triangular (Triangular Fuzzy Numbers/ TFN)


Triangular fuzzy numbers dapat dinyatakan sebagai triplet 𝑎1 , 𝑎2 , 𝑎3 di mana
𝑎1 , 𝑎2 , 𝑎3 masing-masing adalah titik kiri, titik tengah dan titik kanan. Fungsi
keanggotaan 𝜇𝐴 𝑥 dari TFN adalah sebagai berikut :
𝑥−𝑎 1
; 𝑎1 ≤ 𝑥 ≤ 𝑎2
𝑎 2 −𝑎 1
𝑎 3 −𝑥
𝜇𝐴 𝑥 = ; 𝑎2 ≤ 𝑥 ≤ 𝑎3 (2.10)
𝑎 3 −𝑎 2

0 ; 𝑙𝑎𝑖𝑛𝑛𝑦𝑎

Selain dengan fungsi, Triangular fuzzy numbers (TFN) juga dapat


direpresentasikan dengan gambar berikut:

𝜇𝐴 (𝑥)
1

0 𝑎1 𝑎2 𝑎3 x

Gambar 2.2 Kurva TFN

Universitas Sumatera Utara


2.3.3 Level α (α-Cut)
Level α atau α-Cut merupakan nilai ambang batas titik-titik data (domain) yang
didasarkan pada nilai keanggotaan untuk tiap-tiap titik-titik data (domain). Bilangan
fuzzy 𝐴, dengan α-cut yang ditentukan, merupakan himpunan semua domain dalam 𝐴
yang derajat keanggotaannya lebih besar atau sama dengan α. Secara matematis dapat
dinotasikan sebagai berikut:
𝐴𝛼 = 𝑥 𝑥 ∈ 𝐴, 𝜇𝐴 𝑥 ≥ α , ∀𝛼 ∈ [0,1]

Sementara itu, apabila dinyatakan interval konfidensi (interval of confidence)


pada level α, triangular fuzzy number (TFN) dapat dikarakteristikkan sebagai berikut
(Cheng et al, 1993):

∀𝛼 ∈ 0,1

𝐴𝛼 = 𝑎1𝛼 , 𝑎3𝛼

𝐴𝛼 = [ 𝑎2 − 𝑎1 𝛼 + 𝑎1 , − 𝑎3 − 𝑎2 𝛼 + 𝑎3 ] (2.11)

2.3.4 Bilangan Fuzzy Segitiga Positif

Bilangan fuzzy 𝐴 disebut bilangan fuzzy positif jika derajat keanggotaannya, 𝜇𝐴 𝑥


memenuhi 𝜇𝐴 𝑥 = 0, ∀𝑥 < 0. (Nasseri, 2008).

Beberapa operasi pada bilangan fuzzy segitiga positif dengan interval of


confidence diberikan (Cheng et al, 1993):

∀𝑎1 , 𝑎3 , 𝑏1 , 𝑏3 ∈ ℝ+, 𝐴𝛼 = 𝑎1𝛼 , 𝑎3𝛼 , 𝐵𝛼 = 𝑏1𝛼 , 𝑏3𝛼 , ∀𝛼 ∈ 0,1

𝐴 ⊕ 𝐵 = 𝑎1𝛼 + 𝑏1𝛼 , 𝑎3𝛼 + 𝑏3𝛼 , (2.12)

𝐴 ⊖ 𝐵 = 𝑎1𝛼 − 𝑏1𝛼 , 𝑎3𝛼 − 𝑏3𝛼 , (2.13)

𝐴 ⊗ 𝐵 = 𝑎1𝛼 𝑏1𝛼 , 𝑎3𝛼 𝑏3𝛼 , (2.14)


𝛼 𝛼
𝑎1 𝑎3
𝐴⊘𝐵 = 𝛼 , 𝛼 (2.15)
𝑏3 𝑏1

di mana ⊕,⊖,⊗, dan ⊘ masing-masing menyatakan operator penjumlahan,


pengurangan, perkalian, dan pembagian pada dua interval of confidence

Universitas Sumatera Utara


2.3.5 Index of Optimism

Index of optimism (λ) merupakan metode untuk membandingkan bilangan fuzzy


berdasarkan kombinasi dari memaksimalkan kemungkinan dan meminimalkan
kemungkinan. Index of optimism yang dinotasikan dalam selang tertutup [0,1]
menyatakan sikap pengambil keputusan terhadap risiko (decision maker’s risk taking
attitude). (Kim et al, 1988).

Index of optimism dapat dinyatakan dengan:

𝛼
𝑎𝑖𝑗𝛼 = 1 − 𝜆 𝑎𝑖𝑗𝑙 𝛼
+ 𝜆𝑎𝑖𝑗𝑢 , ∀𝜆 ∈ [0,1] (2.16)

Namun secara umum index of optimism dibagi menjadi 3 bagian:

1. Optimis (optimistic decision maker’s), 𝜆 = 1


2. Moderat (moderate decision maker’s), 𝜆 = 0,5
3. Pesimis (pessimist decision maker’s), 𝜆 = 0

2.4 Fuzzy-Analytic Hierarchy Process (Fuzzy–AHP )

Analytic Hierarchy Process (AHP) merupakan salah satu metode Multi-Criteria


Decision Making (MCDM) yang paling sering digunakan. AHP digunakan dalam
perencanaan dan proses pengambilan keputusan, pendekatan sistematis dan logis
digunakan untuk mencapai suatu solusi dari permasalahan. Namun ketidakmampuan
AHP untuk mengatasi ketidakpresisian dan ketidakpastian yang dialami pengambil
keputusan ketika harus menyatakan penilaian yang pasti dalam proses perbandingan
berpasangan menyebabkan metode ini sering dikritisi. Mengakomodasi adanya
ketidakpresisian dan ketidakpastian tersebut, diajukan suatu metode yang merupakan
penggabungan antara metode AHP dengan pendekatan Fuzzy. Fuzzy-AHP
menggunakan nilai interval untuk menanggulangi ketidakpastian dari pengambil
keputusan. Dari nilai interval tersebut pengambil keputusan dapat memilih nilai-nilai
yang sesuai dengan tingkat keyakinannya.

Dalam metode Fuzzy AHP digunakan Triangular Fuzzy Number (TFN) untuk
merepresentasikan penilaian pengambil keputusan dalam matriks perbandingan

Universitas Sumatera Utara


berpasangan. TFN dapat dinyatakan sebagai triplet (𝑎1 , 𝑎2 , 𝑎3 ). Tabel berikut
memperlihatkan TFN yang digunakan untuk keperluan perbandingan berpasangan:

Tabel 2.3 Tabel Fungsi Keanggotaan Bilangan Fuzzy

Fuzzy Number Membership Function Definisi

1 (1, 1 ,3) Sama penting

3 (1, 3 ,5) Sedikit lebih penting

5 (3, 5, 7) Lebih penting

7 (5, 7, 9) Sangat penting

9 (7, 9, 9) Mutlak lebih penting

2.4.1 Langkah-langkah Fuzzy-AHP

Langkah-langkah dalam fuzzy-AHP (Cheng, 1997. Entropy-Based Fuzzy-AHP):

1. Bentuk struktur hirarki dari suatu permasalahan.

2. Tentukan Fuzzy Judgment Matrix 𝑋. Elemen-elemen pada matriks ini


merupakan nilai perbandingan berpasangan antara masing-masing alternatif
dengan kriteria-kriteria yang ada. Triangular fuzzy numbers 1, 3, 5, 7, 9
sebagaimana yang terdapat pada Tabel 2.3, digunakan untuk menunjukkan
tingkat kepentingan dari elemen-elemen pada suatu hirarki.

𝑥11 𝑥12 ⋯ 𝑥1𝑛


𝑥 𝑥22 ⋯ 𝑥2𝑛
𝑋 = 21
⋮ ⋮ ⋱ ⋮
𝑥𝑛1 𝑥𝑛1 ⋯ 𝑥𝑛𝑛

3. Tentukan Fuzzy Subjective Weight Vector 𝑊 untuk tiap kolom dari fuzzy
judgment matrix 𝑋. Fuzzy subjective weight vector merupakan penilaian
subjektif dari pengambil keputusan mengenai tingkat kepentingan untuk
seluruh kriteria yang ada.
𝑊 = 𝑤1 𝑤2 ⋯ 𝑤𝑛

Universitas Sumatera Utara


4. Bentuk Total fuzzy judgment matrix 𝐴 dengan mengalikan subjective weight
vector 𝑊 dengan kolom yang bersesuaian pada fuzzy judgment matrix 𝑋.
Sehingga diperoleh:
𝑤1 ⊗ 𝑥11 𝑤2 ⊗ 𝑥12 ⋯ 𝑤𝑛 ⊗ 𝑥1𝑛
𝑤 ⊗ 𝑥21 𝑤2 ⊗ 𝑥22 ⋯ 𝑤𝑛 ⊗ 𝑥2𝑛
𝐴= 1
⋮ ⋮ ⋱ ⋮
𝑤1 ⊗ 𝑥𝑛1 𝑤2 ⊗ 𝑥𝑛1 ⋯ 𝑤𝑛 ⊗ 𝑥𝑛𝑛

5. Berdasarkan operasi perkalian dan penjumlahan pada bilangan fuzzy dengan


interval of confidence, diperoleh:
𝛼 𝛼 𝛼 𝛼
𝑎11𝑙 , 𝑎11𝑢 ⋯ 𝑎1𝑛𝑙 , 𝑎1𝑛𝑢
𝐴𝛼 = ⋮ ⋱ ⋮
𝛼 𝛼 𝛼 𝛼
𝑎𝑛1𝑙 , 𝑎𝑛1𝑢 ⋯ 𝑎𝑛𝑛𝑙 , 𝑎𝑛𝑛𝑢
𝛼
di mana 𝑎𝑖𝑗𝑙 = 𝑤𝑖𝑙𝛼 𝑥𝑖𝑗𝑙
𝛼 𝛼
, 𝑎𝑖𝑗𝑢 𝛼 𝛼
= 𝑤𝑖𝑢 𝑥𝑖𝑗𝑢 , 𝑢𝑛𝑡𝑢𝑘 0 < 𝛼 ≤ 1 𝑑𝑎𝑛 𝑠𝑒𝑚𝑢𝑎 𝑖, 𝑗

6. Dengan α diketahui, index of optimism λ akan dibentuk berdasarkan derajat


optimisme dari pengambil keputusan. Semakin besar nilai λ menunjukkan
derajat optimisme yang semakin tinggi. Index of optimism dinyatakan sebagai
berikut:
𝑎𝑖𝑗𝛼 = 1 − 𝜆 𝑎𝑖𝑗𝑙
𝛼 𝛼
+ 𝜆𝑎𝑖𝑗𝑢 , ∀𝜆 ∈ [0,1] (2.17)
sehingga diperoleh:
𝛼 𝛼 𝛼
𝑎11 𝑎12 ⋯ 𝑎1𝑛
𝑎𝛼 𝛼
𝑎22 ⋯ 𝛼
𝑎2𝑛
𝐴 = 21
⋮ ⋮ ⋱ ⋮
𝛼 𝛼 𝛼
𝑎𝑛1 𝑎𝑛2 ⋯ 𝑎𝑛𝑛
di mana 𝐴 adalah Precise Jugment Matrix.

7. Untuk menghitung entropy, terlebih dahulu tentukan matriks frekuensi relatif


sebagai berikut:
𝛼 𝛼 𝛼
𝑎 11 𝑎 12 𝑎 1𝑛
⋯ 𝑓11 𝑓12 ⋯ 𝑓12
𝑠1 𝑠1 𝑠1
𝐹= ⋮ ⋮ ⋱ ⋮ = ⋮ ⋮ ⋱ ⋮ (2.18)
𝑎 𝑛𝛼 1 𝑎 𝑛𝛼 2 𝛼
𝑎 𝑛𝑛 𝑓𝑛1 𝑓𝑛2 ⋯ 𝑓𝑛𝑛

𝑠𝑛 𝑠𝑛 𝑠𝑛

di mana
𝑛
𝑠𝑘 = 𝑗 =1 𝑎𝑘𝑗

Universitas Sumatera Utara


Selanjutnya gunakan persamaan berikut untuk menghitung entropy:
𝑛
𝐻1 = − 𝑗 =1 𝑓1𝑗 log 2 𝑓1𝑗
𝑛
𝐻2 = − 𝑗 =1 𝑓2𝑗 log 2 𝑓2𝑗
𝑛
𝐻3 = − 𝑗 =1 𝑓3𝑗 log 2 𝑓2𝑗

𝑛
𝐻𝑛 = − 𝑗 =1 𝑓𝑛𝑗 log 2 𝑓𝑛𝑗 (2.19)
di mana 𝐻𝑖 merupakan nilai entropy ke-i.
Bobot entropy dapat ditentukan dengan menggunakan:
𝐻𝑖
𝑊𝐻𝑖 = 𝑛 𝐻 , 𝑖 = 1,2,3, … , 𝑛 (2.20)
𝑗 =1 𝑗

2.5 Delivery

Restoran fast food menyediakan produk dalam bentuk makanan dan minuman,
pelayanan dalam hal ini adalah menyampaikannya kepada pelanggan. Tantangan
operasional yang berbeda akan muncul jika restoran juga menyediakan layanan
delivery. Layanan tertentu dikerahkan karena pelanggan sudah tidak lagi berada pada
lokasi yang sama dengan area produksi. Tantangan bisnis yang rumit di mana
layananan tersebut harus disampaikan dalam suatu lingkup geografis (Macintyre et al,
2011).

Perusahaan-perusahaan tengah bersaing ketat dalam hal waktu tanggap,


delivery atau waktu pengiriman. Diantara perusahaan-perusahaan tersebut banyak
yang menyatakan komitmen waktu delivery maksimalnya dengan tujuan memikat
konsumen, misalnya restoran pizza yang meniadakan ongkos kirimnya jika pizza
pesanan tidak tiba tepat waktu. Dalam menentukan komitmen waktu delivery tersebut,
suatu perusahaan harus mempertimbangkan bukan hanya bagaimana reaksi konsumen
atas komitmen tersebut tetapi juga kemampuan untuk menjalankan layanan tersebut.
Komitment delivery ketat waktu mempunyai keuntungan dan juga harga. Komitmen
ini dapat menarik perhatian konsumen yang tidak suka menunggu, namun kondisi
sistem yang padat dapat memperburuk keadaan. Untuk itu pemilihan komitmen waktu
delivery membutuhkan pertimbangan yang hati-hati, baik dari segi marketing
(konsumen) dan operasional. (Ho, 2003).

Universitas Sumatera Utara


2.6 Pemilihan Rute dalam Delivery

Sebagai bagian dari operasional, masalah pemilihan rute dan penugasan dalam
delivery membutuhkan pertimbangan yang sedemikian rupa untuk dapat memenuhi
komitmen delivery ketat waktu. Ho (2003) dalam penelitiannya menyatakan bahwa
kualitas delivery akan meningkat seiring berkurangnya kemacetan. Sementara itu,
untuk menentukan rute optimum menuju ke suatu tempat ada beberapa hal yang perlu
disesuaikan dengan preferensi pengendara seperti kondisi jalan dan lalu-lintas. (Pang
et al, 1995). Disebutkan terdapat banyak kriteria yang dapat menjadi pertimbangan
dalam menentukan rute optimal, seperti: jarak perjalanan, menghindari kemacetan,
menyukai atau menghindari jalan raya, jumlah belokan, jenis jalan, dan lain
sebagainya. (Pang et al, 2007 ).

Dalam menyelesaikan permasalahan ini, digunakan metode AHP dengan bilangan


fuzzy (Fuzzy-AHP) yang merupakan metode efektif yang dapat diterapkan dalam
pemilihan rute. (Deng et al, 2010). Fuzzy-AHP digunakan untuk merepresentasikan
preferensi pengambil keputusan dan me-ranking seluruh rute yang tersedia sehingga
diperoleh rute yang optimum. Dengan diperolehnya rute optimum, diharapkan
komitmen delivery tepat waktu dapat tercapai. Selain itu delivery yang didasarkan
pada rute optimum juga diharapkan menghasilkan waktu delivery yang minimum,
yang lebih singkat dari yang diekspektasikan oleh pelanggan dengan demikian
kepuasan konsumen tetap terjaga.

Universitas Sumatera Utara

Anda mungkin juga menyukai