Laporan Kasus 3 Novita
Laporan Kasus 3 Novita
PEMBIMBING:
DISUSUN OLEH:
Puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat dan karunia-Nya pada
penulis sehingga dapat menyelesaikan laporan kasus dengan judul “ Anestesi Regional (Spinal
Anestesi) pada Hernia Inguinalis Lateral Dextra” ini tepat pada waktunya. Shalawat serta salam
semoga tercurah kepada Nabi Muhammad SAW, keluarga, serta para pengikutnya hingga akhir
zaman.
Laporan kasus ini dibuat dengan tujuan memenuhi tugas untuk penilaian kegiatan
Kepaniteraan klinik Stase Anestesi . Dan juga untuk memperdalam pemahaman tinjauan pustaka
yang telah dipelajari sebelumnya.
Penulis menyadari ketidaksempurnaan laporan kasus ini. Untuk itu penulis sangat
mengharapkan saran dan kritik untuk perbaikan penyusunan laporan selanjutnya.
Terimakasih penulis ucapkan kepada pembimbing laporan kasus ini dr. Edwin Haposan
Martua, Sp. An yang telah membimbing dalam penyusunan laporan kasus. Terima kasih juga pada
semua pihak yang telah membantu dalam tahap pengumpulan referensi, analisis materi dan
penyusunan laporan kasus ini.
Semoga laporan kasus ini dapat bermanfaat bagi penulis khususnya dan bagi instansi
Kepaniteraan Klinik Fakultas Kedokteran dan Kesehatan Universitas Muhammadiyah Jakarta dan
Rumah Sakit Umum Daerah Sekarwangi.
Sekarwangi,Februari 2017
Penulis
BAB I
PENDAHULUAN
A. Anastesi Regional
1. Sejarah Regional Anestesi
Tidak jelas bahwa kokain akan menghasilkan blokade sensasi jika disuntikkan langsung ke
saraf perifer. Pada tahun 1880, von Anrep telah menyuntikkan kokain di bawah kulit lengannya
dan menemukan bahwa itu menghasilkan ketidakpekaan, namun informasi ini tidak menarik
perhatian. Setidaknya satu ahli bedah Wina, Anton Wölfler, asisten pertama Theodore Billroth,
telah mencoba suntikan kokain hipodermik tanpa menghasilkan analgesia dan yakin bahwa itu
hanya efektif pada selaput lendir. Gagasan menyuntikkan kokain ke dalam batang saraf
dilanjutkan oleh William Halsted (1852- 1922) dan Alfred Hall, yang memulai percobaan
injeksi mereka sejak 8 minggu setelah pengumuman Heidelberg. Halsted dan Hall telah belajar
di Wina pada tahun 1879 dan 1880, namun tidak mungkin mereka bertemu dengan Koller
selama tahun-tahun itu, karena Koller tidak menyelesaikan pelatihan sekolah kedokterannya
sampai tahun 1882. Selama tahun-tahun itu, Koller sedang mengerjakan sebuah makalah
tentang pengembangan Mesoderm dan belum mengembangkan minatnya pada kokain. Pada
tahun 1884, Halsted kadang-kadang melakukan operasi di kamar tidur rumahnya sendiri di New
York City, dan di sanalah kedua ahli bedah tersebut memulai pekerjaan mereka dengan anestesi
regional. Laporan pertama keberhasilan mereka dengan suntikan muncul pada tanggal 6
Desember 1884 di New York Medical Journal dalam sebuah surat yang ditulis oleh Hall. Dalam
surat ini, Hall melaporkan bahwa mereka pertama kali menyuntikkan kokain 4% (15 mg) ke
lengan bawah dan menyimpulkan bahwa virus tersebut menghambat penularan di saraf
kutaneous karena memberikan analgesia di bawah tetapi tidak di atas titik injeksi. Mereka
kemudian menyuntikkan 2 mL (80 mg) ke saraf ulnaris pada siku, menghasilkan blok dari
seluruh distribusi ulnaris distal sampai titik injeksi. Blok tambahan kemudian dilakukan pada
pleksus brakialis dan saraf infraorbital, saraf gigi inferior, dan saraf skiatik, semuanya untuk
operasi operatif. Dengan dosis besar ini, tidak mengherankan bila gejala konstitusional
berkembang. Hall menggambarkan pusing dan mual. Carl Schleich (1859-1922) mengenalkan
infiltrasi anestesi lokal pada tahun 1892 sebagai alternatif untuk injeksi langsung. Dari batang
1
saraf. Metodenya adalah menyusup kokain dalam konsentrasi encer (0,01% sampai 0,2%)
langsung ke jaringan subkutan. James Leonard Corning (1855 1923), seorang ahli saraf dari
New York, mengamati bahwa menempatkan turniket pada anggota tubuh dapat memperpanjang
efek analgesik dari analgesia infiltrasi, dan dia beralasan bahwa tourniquet tersebut mencegah
darah mengeluarkan kokain dari tempat aktifnya. . Heinrich F. Braun (1862-1934) mencapai
efek kokain berkepanjangan yang sama dengan menambahkan epinefrin ke larutan,
menghasilkan "tourniquet kimiawi". Braun menjadi perintis obat bius baru, diperkenalkan oleh
Braun pada tahun 1905 sebagai kurang Obat beracun dari pada kokain. Buku teks Braun, yang
pertama kali diterbitkan pada tahun 1907, adalah salah satu yang pertama kali dikhususkan
untuk anestesi regional dan menjalani delapan edisi, dengan yang terakhir diterbitkan pada
tahun 1933. Meskipun Halsted adalah orang pertama yang memblokir pleksus brakialis, dia
tidak menggunakan Teknik perkutan. Metodenya pada tahun 1884, dan yang digunakan oleh
George Crile 13 tahun kemudian, adalah dengan membatik mengekspos akar dan kemudian
menyuntikkan setiap saraf secara langsung. G. Hirsche menghasilkan blok pleksus brakial
perkutan pertama pada tahun 1911 melalui pendekatan aksila. Blok pleksus brakialis aksila
telah dimodifikasi oleh beberapa ahli bedah, termasuk George Pitkin dan R. H. de Jong, tetap
menjadi teknik populer saat ini. D. Kulenkampff memperkenalkan blok pleksus brakialis
supraklavikula beberapa bulan setelah Hirschel menggambarkan pendekatan aksilaris.
Kulenkampff menyuntikkan pleksusnya sendiri dengan 10 mL procaine pada posisi
midclavicular, lateral ke arteri subklavia, mendapatkan anestesi lengkap pada lengan. Laporan
awal menunjukkan tingkat keberhasilan yang tinggi dengan blok ini, namun praktisi lain segera
melaporkan adanya komplikasi seperti pneumotoraks dan emfisema mediastinum. Beberapa
modifikasi dari blok supraclavicular telah muncul dalam upaya untuk menghindari
pneumotoraks. Pendekatan infraclavicular terhadap pleksus brakialis digambarkan oleh L. Bazy
dan V. Pauchet pada tahun 1917 dan kemudian dipopulerkan oleh P. Raj pada tahun 1973.
Dalam upaya untuk mendekati pleksus brakialis di leher dan dengan demikian menghindari
komplikasi paru , M. Kappis (1912) mencoba melakukan blok melalui pendekatan paravertebral
posterior. Karena insiden kegagalan yang tinggi dengan pendekatan posterior, beberapa
peneliti, termasuk J. Etienne, V. Pauchet, dan G. Pitkin, menggunakan berbagai pendekatan
anterior ke pleksus brakialis di leher. Pada tahun 1970, Alon P. Winnie Memperkenalkan blok
pleksus brakialis interscalene dan menekankan bahwa otot-otot skalene lebih akurat pada saraf
2
daripada arteri subclavian atau garis midclavicular. Blok ini tetap populer untuk operasi di bahu
dan lengan atas; Sarafnya terletak oleh parestesia atau stimulasi saraf langsung. Infus terus
menerus ke akar pleksus brakialis telah diperkenalkan dan dapat memberikan analgesia jangka
panjang setelah operasi pada lengan dan bahu. Sebuah metode baru untuk memproduksi
analgesia regional untuk operasi pada ekstremitas dijelaskan oleh August Bier (1861-1949)
pada tahun 1909. Bier pertama kali menguraikan lengan dengan bungkus Esmarch dan, setelah
penempatan dua tourniquets, disuntikkan larutan encer secara intravena. Analgesia ditemukan
berkembang dalam beberapa menit dan bertahan sampai pelepasan turniket. Teknik yang
dikenal sekarang sebagai anestesi regional intravena, telah dimodifikasi dengan agen baru dan
tetap merupakan teknik anestesi yang berguna untuk operasi pada ekstremitas saat tourniquet
digunakan. Perkembangan anestesi regional di Amerika Serikat dipercepat dengan kedatangan
Gaston Labat di Mayo Clinic pada tahun 1924. Labat telah mempelajari metode anestesi
regional dari otoritas Prancis mengenai teknik injeksi Victor Pauchet, dan memperluas
karyanya saat berada di Rochester, Minnesota. . Labat mendirikan American Society of
Regional Anesthesia dan aktif selama tahun-tahun pembentukannya. John Lundy mengadopsi
banyak teknik regional yang diperkenalkan oleh Labat di Mayo Clinic dan melanjutkan
penggunaannya setelah Labat pindah ke Rumah Sakit Bellevue di New York City. Buku teks
Labat tahun 1922 [62] adalah salah satu teks bahasa Inggris pertama tentang anestesi regional
dan telah diikuti oleh beberapa karya otoritatif mengenai masalah ini. Pengaruh Labat juga
terlihat di New York City, di mana penggantinya, Emery A. Rovenstine, sebagai Ketua
Departemen Anestesiologi di Rumah Sakit Bellevue, mendirikan klinik sakit kronis pertama.
Komitmen ahli anestesi terhadap terapi nyeri kronis muncul sebagai sekuel alami keahlian
mereka yang muncul dalam blok saraf neuraksial dan perifer. Klinik nyeri kronis saat ini sering
dimodelkan setelah klinik multidisiplin yang didirikan oleh John J. Bonica (1917 - 1994) di
University of Washington di Seattle. Keberhasilan teknik anestesi regional dapat dikreditkan
sebagian ke anestesi lokal yang lebih baik dengan toksisitas lebih rendah dan lebih lama. Jangka
waktu tindakan Kokain sangat beracun, adiktif, dan berdurasi pendek. Procaine disintesis pada
tahun 1905 oleh Alfred Einhorn (1856-1917) dan merupakan agen yang paling sering
digunakan sampai tahun 1932, ketika tetrakain, agen yang bertindak lebih lama, tersedia.
Lidocaine, yang diperkenalkan pada tahun 1948 oleh Torsten Gordh (1907-), memiliki
beberapa keuntungan, termasuk toksisitas yang lebih rendah dan durasi tindakan yang
3
menengah, dan masih banyak digunakan. Anestesi lokal lainnya termasuk chloroprocaine
(diperkenalkan pada tahun 1952), mepivacaine (1957), dan bupivacaine (1963). Kekhawatiran
tentang toksisitas kardiovaskular terapi dengan bupivacaine menyebabkan pengenalan agen
baru ropivacaine (1996) dan levobupivacaine. Bupivacaine, ropivacaine, dan levobupivacaine
adalah agen yang populer dalam konsentrasi rendah untuk pengendalian nyeri pascaoperasi dan
anestesi kebidanan karena durasi kerjanya yang lama.
2. Anastesi Spinal
Anestesi regional adalah suatu cara untuk menghilangkan rasa sakit pada sebagian atau
beberapa bagian tubuh yang tidak disertai dengan hilangnya kesadaran dan bersifat sementara.
Analgesia regional sering digunakan karena sederhana, murah, obatnya mudah disuntikkan,
alatnya sederhana dan perawatan pasca bedah tidak rumit.Tahun-tahun terakhir ini analgesia
regional berkembang dengan pesat di Indonesia.
Analgesia Spinal (intratekal, intradural, subdural, subaraknoidadalah pemberian obat
anastetik lokal ke dalam ruang subarakhnoid. Anestesia spinal diperoleh dengan cara
menyuntikkan anastetik lokal ke dalam ruang subaraknoid.Teknik ini sederhana, cukup efektif
dan mudah di kerjakan. Prinsip yang digunakan adalah menggunakan obat analgetik local untuk
menghambat hantaran saraf sensorik untuk sementara (reversible). Fungsi motoric juga
terhambat sebagian. Dan pada teknik anestesi ini, pasien tetap sadar.
4
BAB II
LAPORAN KASUS
I. Identitas Pasien
Nama : Tn. E
Umur : 57 tahun
Agama : Islam
II. Anamnesis
A. Keluhan utama
benjolan di bagian lipatan paha
5
Tidak adanya kemerahan pada benjolan. Keluhan demam disangkal, mual muntah
disangkal, sakit kepala disangkal. Pasien juga mengaku tidak ada gangguan pada BAB
maupun BAK.
C. Riwayat penyakit dahulu
Pasien menyangkal adanya penyakit yang serupa pada keluarga pasien , hipertensi
disangkal, Diabetes Melitus disangkal, hepatitis disangkal.
E. Riwayat Pengobatan
F. Riwayat Alergi
Pasien menyangkal adanya riwayat alergi terhadap makanan, obat-obatan, maupun
terhadap cuaca atau suhu tertentu.
G. Riwayat Psikososial
Pasien merokok, konsusmsi kopi, tidak mengkonsumsi alkohol, dan juga pasien makan
dengan teratur.
Sudah sejak 2 tahun yang lalu pasien Sehari- hari bekerja mencangkul, memanjat pohon
dan memikul hasil perkebunannya.
6
Keadaan umum : Tampak sakit ringan
Kesadaran : Composmentis
BB / TB : 55 kg / 153 cm
A. Tanda Vital
Tekanan darah : 120/80mmHg
Pernafasan : 18x / menit
Denyut nadi : 80 x / menit
Suhu : 36,8’C
B. Status Generalis
Kepala : Normocephal, simetris, rambut bewarna hitam, alopesia (-)
Mata : Konjungtiv anemis (-/-), sklera ikterik (-/-)
Hidung : Deviasi septum (-/-), sekret (-/-),
Telinga : Normotia, membran timpani intak, nyeri tekan (-/-), serumen (-/-)
Mulut : Bibir kering (+), faring hiperemis (-), tonsil (T1/T1)
Leher : Tidak terdapat pembesaran KGB
Thoraks : Inspeksi: Simetris, tidak terdapat retraksi dinding dada,
Auskultasi: suara paru vesikuler (+/+). Bunyi
jantung I dan II murni reguler, murmur (-), gallop (-)
Perkusi: dalam batas normal.
Abdomen : Abdomen supel, BU (+), perkusi timpani, nyeri tekan (-).
Ekstremitas : Atas : Akral hangat, sianosis (-/-), CRT < 2 detik.
Bawah : Akral hangat, sianosis (-/-), CRT < 2 detik.
C. Status Lokalis
7
Tampak benjolan di regio inguinalis dextra ukuran ±4x3cm. Tanda radang (-). Konsistensi
lembek kenyal. Finger test (+), Thumb test (+), . Benjolan dapat dikembalikan (reponsible)
b. Serologi
1. HBSAG : negativ
c. Kimia Darah
1. Gula Darah Sewaktu : 91 mg/dl
2. Ureum : 42 mg/dl
3. Creatinin : 0,9 mg/dl
4. SGOT : 28 U/L
5. SGPT : 39 U/L
8
6. Natrium :145 mmol/l
B. Photo Thorax
Cor dan Pulmo tidak terdapat kelainan
C. EKG
Within normal limit
V. Status Anestesi
A. ASA :I
B. Tanggal Operasi : 20 Juli 2017
C. Diagnosis Pra Bedah : Hernia Inguinalis Lateral Dextra
D. Puasa : 6 jam
E. IMT : 23,5 (Normoweight)
F. TTV : TD= 130/70
HR=81x/menit
RR=21x/menit
Suhu=36,7
G. SPO2 : 99%
H. B1 (breathing) : Airway bebas, nafas spontan, RR:21X/menit. Mallapati
score : 1. Hidung : pendarahan (-), deviasi septum (-). Leher : trakea ditengah. Paru : suara
paru vesikuler, rh(-/-), wh(-/-).
B2 (Blood) : Akral hangat, merah, dan kering. Nadi 81x/menit, regular
dn kuat, TD : 130/70mmHg, JVP tidak meningkat.
B3 (Brain) : Kesadaran Compos Mentis, GCS: 15(E4V5M6), riwayat
kejang (-), riwayat pingsan (-), pupil bulat isokor Ø 3mm | 3mm, refleks cahaya +|+
B4 (Bladder) : Terpasang kateter, produksi urin selama operasi +60 cc,
warna kuning jernih.
B5 (Bowel) : Supel , palpasi: nyeri tekan (-), perkusi : tympani, BU (+)
normal.
B6 (Bone) : Fraktur (-), Edema (-), sianosis (-), anemis (-)
9
I. Pre-Operasi :
a. Persiapan Preoperasi:
- Visite pasien untuk melihat tanda-tanda vital pasien,
keadaan fisik dan psikis pasien serta menilai jika ada
tanda-tanda penyulit ventilasi maupun intubasi.
- Surat persetujuan Operasi dan Anestesi
- Puasa 6 jam
- Premedikasi : Ondansentron 4mg
b. Tindakan Anestesi, persiapan:
1. Menyiapkan meja operasi
2. Menyiapkan mesin dan alat anestesi
3. Menyiapkan komponen Spinal Anestesi
4. Menyiapkan Komponen STATICS dan General
Anestesi.
5. Menyiapkan obat-obat anestesi yang diperlukan (
untuk spinal di gunakan Bupivacain 20mg)
6. Menyiapkan obat-obat resusitasi : Atropin 0,25
mg,Ephedrine 50 mg/mL, Adrenalin.
7. Menyiapkan tiang infuse dan plester.
10
2. Bagian yang anastesi diberikan povidon iodin
sebagai tindakan asepsis dan antisepsis.
3. Tindakan anestesi dilakukan pada vertebra L3-L4
(blok subaraknoid).
4. Obat disiapkan Bupivacain HCL 20mg
5. Ditusukkan introducer diantara processus spinosus
L3-4 (sejajar crista iliaka).
6. Atraucan no 27 G ditusukkan melalui introducer
hingga menembus ligamentum flavum.
7. Mandarain jarum dicabut.
8. Pasang semprit yang berisi obat.
9. Aspirasi cairan LCS untuk memastikan jalan obat
lancar.
10. LCS jernih, tidak ada darah.
11. Setelah obat dimasukkan, atraucan dicabut dan
bekas tusukan diberi plaster.
12.30 129/85 80 99
12.45 130/80 88 98
13.00 126/78 85 99
13.15 126/80 86 99
13.30 126/80 87 99
K. Medikasi
Durate Operasi:
11
- Petidin 60 mg
- Midazolam 3 mg
- Propofol 50mg
L. Maintenance
Kanul O2 3,0 Liter/menit
M. Monitoring Cairan
a. Penghitungan cairan : BB : 55 Kg
10 Kg I : 10 x 4cc/KgBB/jam = 40 cc/jam
10 Kg II : 10 x 2 cc/KgBB/jam = 20 cc/jam
Sisanya 35 x 1 cc/KgBB/jam = 35 cc/jam
Total = 95 cc /jam
b. Cairan Stress operasi
4cc/kgbb/jam
= 220cc/jam
12
Selanjutnya : Maintenace = 315 ml/jam
N. Post-Operatif
13
P :
RL : D5 500 cc / 20tpm
Ceftriakson 2 x 1 g
Ketorolak 2 x 1 amp
Ranitidine 2x 50 mg
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA
I. Anestesi Spinal
14
Anestesi regional adalah suatu cara untuk menghilangkan rasa sakit pada sebagian
atau beberapa bagian tubuh yang tidak disertai dengan hilangnya kesadaran dan bersifat
sementara. Analgesia regional sering digunakan karena sederhana, murah, obatnya mudah
disuntikkan, alatnya sederhana dan perawatan pasca bedah tidak rumit.Tahun-tahun terakhir
ini analgesia regional berkembang dengan pesat di Indonesia.
Pembagian Anestesia atau Analgesia Regional:
1. Blok sentral (blok neuroaksial), yaitu melipuiti blok spinal, epidural, dan kaudal.
Tindakan ini sering dikerjakan.
2. Blok perifer (blok saraf), misalnya anestesi topikal, infiltrasi lokal, blok lapangan, dan
analgesia regional intravena.
Sistem saraf dibagi menjadi dua sistem. Sistem Saraf Pusat yang merupakan otak
dan sumsum tulang belakang, dan sistem saraf perifer yang merupakan 12 saraf kranial, 31
pasang saraf spinalis dan ganglia. Sistem sarap perifer menyediakan komunikasi antara
otak dan sumsum tulang belakang dan otot tubuh, kelenjar dan reseptor sensorik.
Sumsum tulang belakang merupakan kelanjutan dari batang otak, itu terbaring
dilindungi dalam kolom vertebral tulang belakang. Saraf spinalis adalah 31 pasang saraf
yang muncul dari sumsum tulang belakang. Saraf tulang belakang diberi nama sesuai
dengan dimana ia muncul dan melewati tulang-tulang di tulang belakang punggung. Setiap
saraf spinalis melekat pada tulang belakang oleh dua akar: akar dorsal (punggung,
posterior) akar sensorik dan ventral (depan, anterior) akar motorik.
15
Serat dari akar sensorik membawa impuls sensorik ke saraf spinalis: nyeri, suhu,
sentuhan, rasa dan posisi dari tendon, sendi dan permukaan tubuh. Akar motorik membawa
impuls dari sumsum tulang belakang. Saraf membawa pesan ke dan dari kulit daerah tubuh
tertentu yang disebut dermatom.
Saraf spinal diberi nama dan angka sesuai dengan regia kolumna vertebra tempat munculnya
saraf tersebut.
1. Saraf serviks; 8 pasang . C1 sampai C8. Saraf serviks melibatkan bahu, lengan, leher dan
tangan. Nyeri di daerah ini biasanya dapat ditelusuri ke saraf tersebut, dan gejala seperti
nyeri lengan, kesemutan dan leher kaku adalah karena nyeri saraf. Saraf ini juga
mengontrol fungsi tenggorokan, sinus, hidung, kelenjar tiroid, kelenjar getah bening dan
diafragma.
2. Saraf toraks; 12 pasang, T1 sampai T12. Saraf torakalis berjalan di sepanjang tengah
punggung. Tulang belakang dada juga berisi tulang rusuk dada. Saraf ini berjalan ke otot,
16
jaringan dan organ internal. Jaringan permukaan siku, tangan, dan jari-jari dipengaruhi oleh
saraf tersebut. Saraf ini juga mempengaruhi dada, lambung, jantung, paru-paru, hati, perut,
pankreas, limpa, kelenjar adrenal, ginjal dan usus kecil. Masalah yang terkait dengan
daerah-daerah ini termasuk asma, alergi, borok, dan masalah ginjal.
3. Saraf lumbal; 5 pasang, L1 sampai L5. Saraf lumbal dan tulang belakang memiliki
beberapa otot terbesar yang melekat padanya. Ini juga mengontrol otot-otot ini. Saraf
lumbal bertanggung jawab untuk mengkoordinasikan otot punggung bawah, paha, kaki,
betis dan kaki. Saraf yang keluar dari saraf lumbal juga mengontrol usus besar, usus buntu,
kandung kemih, kelenjar prostat laki-laki dan organ reproduksi wanita.
4. Saraf sakral; 5 pasang, S1 sampai S5. Saraf sakral terletak pada sakrum dan tulang ekor,
lebih dikenal sebagai tulang ekor. Saraf keluar melalui tulang-tulang ini mempengaruhi
bokong, pinggul, paha dan kaki. Rektum dan beberapa jaringan panggul juga dipengaruhi
oleh saraf tersebut. Masalah yang terkait dengan saraf sakral mungkin termasuk wasir,
skoliosis dan nyeri umum ketika mencoba untuk duduk.
5. Saraf koksiks; 1 pasang.
Terdiri dari sebuah inti substansi abu-abu yang diselubungi substansi putih.
Kanal Sentral berukuran kecil dikelilingi oleh substansi abu-abu berebentuk huruf H.
Batang atas dan bawah huruf H disebut tanduk. Diantaranya : tanduk abu-abu posterior
(dorsal) batang vertical atas substansi abu-abu, tanduk ventral (bantang vertical bawah),
tanduk lateral (diantara tanduk posterior dan anterior) , komisura abu-abu
(menghubungkan substansi abu-abu di sisi kiri dan kanan medulla spinalis.
Setelah saraf spinal meninggalkan korda melalui foramen intervertebral, saraf kemudian
bercabang menjadi empat divisi.
1. Cabang meningeal kecil masuk kembali ke medulla spinalis melalui foramen sama yang
digunakan saraf untuk keluar dan mempersarafi meninges, pembuluh darah medulla
spinalis dan ligamen intvertebral.
2. Ramus Dorsal (posterior) terdiri dari serabut yang menyebar ke arah posterior untuk
mempersarafi otot dan kulit pada bagian belakang kepala, leher, dan pada trunkus di regia
saraf kranial.
3. Cabang ventral (anterior) terdiri dari serabut yang mensuplai bagian anterior dan lateral
pada trunkus dan anggota gerak.
18
4. Cabang viseral adalah bagian dari SSO. Cabang ini memiliki ramus komunikans putih dan
ramus komunikans abu-abu yang membentuk medulla spinalis dan ganglia pada trunkus
simpatis SSO.
Medula spinalis yang terpotong melintang terdiri atas bagian putih disebelah luar yang disebut
substansia alba dan bagian yang bewarna abu-abu (lebih gelap) berbentuk huruf H atau kupu-
kupu disebut substansia grisea. Di bagian tengah terdapat saluran kecil yang disebut kanalis
sentralis.
B. Indikasi
1. Bedah Ekstremitas Bawah
2. Bedah Panggul
3. Tindakan sekitar Rectum-perineum
4. Bedah Obstetri Ginekologi
5. Bedah Urologi
6. Bedah Abdomen Bawah
7. Bedah Abdomen Atas
8. Bedah pediatri yang di kombinasikan dengan analgesia umum Ringan.
19
4. Kelainan psikis
5. Bedah lama
6. Penyakit jantung
7. Hipovolemia ringan
8. Nyeri punggung kronis
20
Tekhnik analgesia spinal
Posisi duduk atau posisi tidur lateral dekubitus dengan tusukan pada garis tengah ialah
posisi yang paling sering dikerjakan. Biasanya dikerjakan di atas meja operasi tanpa
dipindah lagi dan hanya diperlukan sedikit perubahan posisi pasien. Perubahan posisi
berlebihan dalam 30 menit pertama akan menyebabkan menyebarnya obat.
1. Setelah dimonitor, tidurkan pasien misalkan dalam posisi lateral dekubitus. Beri bantal
kepala, selain enak untuk pasien juga supaya tulang belakang stabil. Buat pasien
membungkuk maximal agar processus spinosus mudah teraba. Posisi lain adalah
duduk.
2. Perpotongan antara garis yang menghubungkan kedua garis krista iliaka dengan tulang
punggung ialah L4 atau L4-L5. Tentukan tempat tusukan misalnya L2-3, L3-4, atau
L4-5. Tusukan pada L1-2 atau diatasnya berisiko trauma terhadap medulla spinalis.
3. Sterilkan tempat tusukan dengan betadin atau alkohol.
4. Beri anastesi lokal pada tempat tusukan, misalnya dengan lidokain 1-2% 2-3 ml.
5. Cara tusukan median atau paramedian. Untuk jarum spinal besar 22G, 23G, 25G dapat
langsung digunakan. Sedangkan untuk yang kecil 27G atau 29G dianjurkan
menggunakan penuntun jarum yaitu jarum suntik biasa semprit 10cc. Tusukkan
introduser sedalam kira-kira 2cm agak sedikit kearah sefal, kemudian masukkan jarum
spinal berikut mandrinnya ke lubang jarum tersebut. Jika menggunakan jarum tajam
(Quincke-Babcock) irisan jarum (bevel) harus sejajar dengan serat duramater, yaitu
pada posisi tidur miring bevel mengarah keatas atau kebawah, untuk menghindari
kebocoran likuor yang dapat berakibat timbulnya nyeri kepala pasca spinal. Setelah
resensi menghilang, mandarin jarum spinal dicabut dan keluar likuor, pasang semprit
berisi obat dan obat dapat dimasukkan pelan-pelan (0,5ml/detik) diselingi aspirasi
sedikit, hanya untuk meyakinkan posisi jarum tetap baik. Kalau anda yakin ujung jarum
spinal pada posisi yang benar dan likuor tidak keluar, putar arah jarum 90º biasanya
likuor keluar. Untuk analgesia spinal kontinyu dapat dimasukan kateter.
6. Posisi duduk sering dikerjakan untuk bedah perineal misalnya bedah hemoroid dengan
anestetik hiperbarik. Jarak kulit-ligamentum flavum dewasa ± 6cm.
21
Berat jenis cairan cerebrospinalis pada 37 derajat celcius adalah 1.003-
1.008. Anastetik lokal dengan berat jenis sama dengan CSS disebut isobarik. Anastetik
lokal dengan berat jenis lebih besar dari CSS disebut hiperbarik. Anastetik lokal dengan
berat jenis lebih kecil dari CSS disebut hipobarik.
Lidokain
Bupivakain
II. Hernia
A. Definisi
Hernia merupakan suatu penonjolan isi suatu rongga melalui defek atau bagian
lemah dari dinding rongga bersangkutan pada hernia abdomen, isi perut menonjol melalui
defek atau bagian lemah dari bagian muskulo-aponeurotik dinding perut. Hernia terdiri atas
cincin, kantong dan isi hernia. Semua hernia terjadi melalui celah lemah atau kelemahan
22
yang potensial pada dinding abdomen yang dicetuskan oleh peningkatan tekanan
intraabdomen yang berulang atau berkelanjutan.
Hernia adalah adanya penonjolan peritoneum yang berisi alat visera dari rongga
abdomen melalui suatu lokus minoris resistensieae baik bawaan maupun didapat. Bila tidak
ditangani secara dini, Hernia Inguinal Lateralis (indirek) dapat menyebabkan terjadinya
komplikasi seperti, terjadi perlengketan antara isi Hernia dengan dinding kantong Hernia
sehingga isi Hernia tidak dapat dimasukkan kembali dan penekanan terhadap cincin Hernia
semakin banyaknya usus yang masuk.
Salah satu penanganan yang dilakukan pada hernia adalah herniotomi atau herniorafi.
Dampak kesehatan yang ditimbulkan pada pasien yang dilakukan herniorafi diantaranya
nyeri, aktivitas intoleran dan resiko terjadinya infeksi.
Hernia inguinalis merupakan protrusi viscus (penonjolan organ) dari kavum peritoneal
ke dalam canalis inguinalis. Hernia inguinalis dimulai pada bagian atas dan medial terhadap
tuberkulum pubikum namun dapat turun lebih luas jika membesar, biasanya mempertegas
garis-garis lipatan paha. Hernia inguinalis dibagi menjadi 2, yaitu:
1. Hernia Inguinalis Direk (Medialis)
Hernia ini timbul akibat lemahnya dinding posterior kanalis inguinalis. Hernia ini
tidak bisa dikendalikan dengan penekanan jari pada anulus profunda dan jarang
sekali sampai ke skrotum. Hernia medialis disebut hernia direk karena langsung
menonjol melalui segitiga Hessebach.
2. Hernia Inguinalis Indirek (Lateralis)
Hernia ini timbul akibat menetapnya prosesus vaginalis (kantong hernia) saat
embrio. Isi perut menonjol melalui anulus inguinalis profunda, melalui kanalis
inguinalis, dan akhirnya menuju skrotum. Hernia ini bisa dikendalikan melaui
penekanan anulus profunda dengan jari. Hernia ini disebut latelaris karena
menonjol dari perut di lateral pembuluh epigastrika inferior dan disebut indirek
karena keluar melalui dua pintu dan saluran, yaitu annulus dan kanalis inguinalis.
Menurut sifatnya, hernia dapat disebut :
1. Hernia reponibel: bila isi hernia dapat keluar masuk. Usus keluar jika berdiri atau
mengedan dan masuk lagi jika berbaring atau didorong masuk perut, tidak ada
keluhan nyeri atau gejala obstruksi usus.
23
2. Hernia ireponibel: bila isi kantong hernia tidak dapat direposisi kembali ke dalam
rongga perut. Ini biasanya disebabkan oleh perlekatan isi kantong pada
peritoneum kantong hernia. Hernia ini disebut hernia akreta. Tidak ada keluhan
rasa nyeri ataupun tanda sumbatan usus.
3. Hernia inkarserata dan strangulata
- Hernia Inkaserata : selalu terisi dan tidak dapat dikosongkan kembali
- Hernia strangulate : mengakibatkan nekrosis dari isi abdomen di dalamnya
karena tidak mendapatkan darah akibat pembuluh pemasoknya terjepit
B. Anatomi
Region inguinal harus dipahami, pengetahuan tentang region ini penting untuk
terapi operatif dari hernia. Sebagai tambahan, pengetahuan tentang posisi relative dari
saraf, pembuluh darah dan struktur vas deferen, aponeurosis dan fascia.
a. Kanalis Inguinalis
Kanalis inguinalis pada orang dewasa panjangnya kira-kira 4 cm dan terletak 2-4
cm kearah caudal ligamentum inguinal. Kanal melebar diantara cincin internal dan
eksternal. Kanalis inguinalis mengandung salah satu vas deferens atau ligamentum uterus.
Funikulus spermatikus terdiri dari serat-serat otot cremaster, pleksus pampiniformis, arteri
testicularis n ramus genital nervus genitofemoralis, ductus deferens, arteri cremaster,
limfatik, dan prosesus vaginalis.
Kanalis inguinalis harus dipahami dalam konteks anatomi tiga dimensi. Kanalis
inginalis berjalan dari lateral ke medial, dalam ke luar dan cepal ke caudal. Kanalis
inguinalis dibangun oleh aponeurosis obliquus ekternus dibagian superficial, dinding
inferior dibangun oleh ligamentum inguinal dan ligamentum lacunar. Dinding posterior
(dasar) kanalis inguinalis dibentuk oleh fascia transfersalis dan aponeurosis transverses
abdominis. Dasar kanalis inguinalils adalah bagian paling penting dari sudut pandang
anatomi maupun bedah.
24
inguinal menjadi batas inferior. Hernia yang melewati trigonum Hesselbach disebut
sebagai direct hernia, sedangkan hernia yang muncul lateral dari trigonum adalah hernia
indirect.
Aponeurosis otot obliquus eksternus dibentuk oleh dua lapisan: superficial dan
profunda. Bersama dengan aponeorosis otot obliqus internus dan transversus abdominis,
mereka membentuk sarung rectus dan akhirnya linea alba. external oblique aponeurosis
menjadi batas superficial dari kanalis inguinalis. Ligamentum inguinal terletak dari spina
iliaca anterior superior ke tuberculum pubicum.
Otot obliq abdominis internus menjadi tepi atas dari kanalis inguinalis . bagian
medial dari internal oblique aponeurosis menyatu dengan serat dari aponeurosis
transversus abdominis dekat tuberculum pubicum untuk membentuk conjoined tendon.
adanya conjoined tendon yang sebenarnya te;ah banyak diperdebatkan, tetapi diduga oleh
banyak ahli bedah muncul pada 10% pasien.
d. Fascia Transversalis
e. Ligamentum Cooper
Ligamentum Cooper terletak pada bagian belakang ramus pubis dan dibentuk oleh
ramus pubis dan fascia. Ligamentum cooper adalah titik fixasi yang penting dalam metode
perbaikan laparoscopic sebagaimana pada teknik McVay.
25
i. Preperitoneal Space
Preperitoneal space terdiri dari jaringan lemak, lymphatics, pembuluh darah dan
saraf. Saraf preperitoneal yang harus diperhatikan oleh ahli bedah adalah nervus
cutaneous femoral lateral dan nervus genitofemoral. nervus cutaneous femoral lateral
berasal dari serabut L2 dan L3 dan kadang cabang dari nervus femoralis. Nervus ini
berjalan sepanjang permukaan anterior otot iliaca dan dibawah fascia iliaca dan dibawah
atau melelui perlekatan sebelah lateral ligamentum inguinal pada spina iliaca anterior
superior.
Nervus genitofemoral biasanya berasal dari L2 atau dari L1 dan L2 dan kadang
dari L3. Ia turun didepan otot psoas dan terbagi menjadi cabang genital dan femoral.
Cabang genital masuk ke kanalis inguinalis melalui cincin dalam sedangkan cabang
femoral masuk ke hiatus femoralis sebelah lateral dari arteri. ductus deferens berjalan
melalui preperitoneal space dari caudal ke cepal dan medial ke lateral ke cincin interna
inguinal.
C. Etiologi
Faktor yang menyebabkan terjadinya hernia inguinalis, yaitu:
1. Peningkatan tekanan intra abdomen yang berulang (Mengangkat barang yang
terlalu berat, Batuk menahun, Akibat sering mengejan pada saat buang air besar,
Kehamilan, Ascites, Tumor abdomen).
2. Adanya kelemahan jaringan atau otot. Kelemahan otot dinding perut dapat
terjadi akibat kerusakan nervus ilionguinalis dan nervus iliofemoralis.
3. Adanya prosesus vaginalis (kantong hernia) yang terbuka.
D. Patofisiologi
26
Kanalis inguinalis dalam kanal yang normal pada fetus. Pada bulan ke – 8 dari
kehamilan, terjadinya desensus vestikulorum melalui kanal tersebut. Penurunan testis
itu akan menarik peritoneum ke daerah scrotum sehingga terjadi tonjolan peritoneum
yang disebut dengan prosesus vaginalis peritonea. Bila bayi lahir umumnya prosesus ini
telah mengalami obliterasi, sehingga isi rongga perut tidak dapat melalui kanalis
tersebut. Tetapi dalam beberapa hal sering belum menutup, karena testis yang kiri turun
terlebih dahulu dari yang kanan, maka kanalis inguinalis yang kanan lebih sering
terbuka. Dalam keadaan normal, kanal yang terbuka ini akan menutup pada usia 2 bulan.
Bila prosesus terbuka sebagian, maka akan timbul hidrokel. Bila kanal terbuka
terus, karena prosesus tidak berobliterasi maka akan timbul hernia inguinalis lateralis
kongenital. Biasanya hernia pada orang dewasa ini terjadi kerana usia lanjut, karena
pada umur tua otot dinding rongga perut melemah. Sejalan dengan bertambahnya umur,
organ dan jaringan tubuh mengalami proses degenerasi. Pada orang tua kanalis tersebut
telah menutup. Namun karena daerah ini merupakan locus minoris resistance, maka
pada keadaan yang menyebabkan tekanan intraabdominal meningkat seperti batuk-
batuk kronik, bersin yang kuat dan mengangkat barang-barang berat, mengejan. Kanal
yang sudah tertutup dapat terbuka kembali dan timbul hernia inguinalis lateralis karena
terdorongnya sesuatu jaringan tubuh dan keluar melalui defek tersebut. Akhirnya
menekan dinding rongga yang telah melemas akibat trauma, hipertropi protat, asites,
kehamilan, obesitas, dan kelainan kongenital dan dapat terjadi pada semua.
Pria lebih banyak dari wanita, karena adanya perbedaan proses perkembangan
alat reproduksi pria dan wanita semasa janin. Potensial komplikasi terjadi perlengketan
antara isi hernia dengan dinding kantong hernia sehingga isi hernia tidak dapat
dimasukkan kembali. Terjadi penekanan terhadap cincin hernia, akibat semakin
banyaknya usus yang masuk, cincin hernia menjadi sempit dan menimbulkan gangguan
penyaluran isi usus. Timbulnya edema bila terjadi obtruksi usus yang kemudian
menekan pembuluh darah dan kemudian terjadi nekrosis. Bila terjadi penyumbatan dan
perdarahan akan timbul perut kembung, muntah, konstipasi. Bila inkarserata dibiarkan,
maka lama kelamaan akan timbul edema sehingga terjadi penekanan pembuluh darah
dan terjadi nekrosis.
27
Juga dapat terjadi bukan karena terjepit melainkan ususnya terputar. Bila isi
perut terjepit dapat terjadi shock, demam, asidosis metabolik, abses. Komplikasi hernia
tergantung pada keadaan yang dialami oleh isi hernia. Antara lain obstruksi usus
sederhana hingga perforasi (lubangnya) usus yang akhirnya dapat menimbulkan abses
lokal, fistel atau peritonitis.
28
rongga tunika vaginalis propria testis. Dengan demikian isi perut dengan mudah
masuk ke dalam kantong peritoneum tersebut.
Terjadi bila penutupan processus vaginalis peritonei hanya pada suatu bagian
saja. Sehingga masih ada kantong peritoneum yang berasal dari processus
vaginalis yang tidak menutup pada waktu bayi dilahirkan. Sewaktu-waktu
kentung peritonei ini dapat terisi dalaman perut, tetapi isi hernia tidak
berhubungan dengan tunika vaginalis propria testis.
E. Diagnosis
1. Pemeriksaan fisik
a. Pemeriksaan Finger test, menggunakan jari ke 2 atau jari ke 5, dimasukkan lewat
skrotum melalui anulus eksternus ke kanal inguinal, penderita disuruh batuk. Bila
impuls diujung jari berarti hernia ingunalis lateralis, bila impuls disamping jari
hernia inguinalis medialis.
b. Pemeriksaan Ziemen test posisi berbaring, bila ada benjolan masukkan dulu,
hernia kanan diperiksa dengan tangan kanan, penderita disuruh batuk bila
rangsangan pada jari ke-2 hernia ingunalis lateralis, jari ke-3 hernia inguinalis
medialis, jari ke-4 hernia femoralis.
c. Pemeriksaan Thumb test anulus ditekan dengan ibu jari dan penderita disuruh
mengejan, bila keluar benjolan berarti hernia inguinalis medialis, bila tidak keluar
benjolan berarti hernia inguinalis lateralis.
2. Pemeriksaan Penunjang
a. Labratorium
Untuk mendukung ke arah adanya strangulasi, dapat dilakukan pemeriksaan
laboratorium sebagai berikut:
- Hematologi: adanya leukositosis
- Elektrolit, BUN, kreatinin tinggi akibat muntah-muntah dan menjadi dehidrasi
- Urinalisis: untuk menyingkirkan adanya masalah dari traktus genitourinarius yang
menyebabkan nyeri lipat paha
29
b. Radiologis
- Ultrasonografi dapat digunakan untuk membedakan adanya massa pada lipat paha
atau dinding abdomen dan juga membedakan penyebab pembengkakan testis
- CT Scan
F. Tatalaksan
1. Non-Bedah
Mencari dan memperbaiki faktor yang menimbulkan terjadinya hernia.
Medikamentosa simptomatis seperti pemberian analgesik.
2. Bedah
Tatalaksana definitif hernia adalah dengan operasi. Pada hernia inguinalis
responbilis dan irresponbilis di lakukan tindakan bedah eletif. Bila terjadi proses
inkaserasi dan strangulasi tindakan bedah harus dilakukan secepatnya. Tindakan
bedah pada hernia adalah herniotomi dan herniorafi. Pada bedah elektif, kanalis
dibuka, isis hernia di masukkan, kantong diikat, dan dilakukan pemasangan mesh,
bassini palsty atau teknik lain untuk memperkuat dinding kanalis inguinalis.
G. Komplikasi
Infeksi, Obstruksi, nekrosis usus, peritonitis, dan sepsis
30
DAFTAR PUSTAKA
Faiz, Omar dan David Moffat. 2004. At a Glance: Series Anatomi. Alih bahasa: Annisa
Rahmalia. Jakarta: Erlangga
Grace, Pierce A. dan Neil R. Borley. 2007. At a Glance: Ilmu Bedah Ed. 3. Alih bahasa: Vidhia
Umarni. Jakarta: Erlangga.
Morgan GE, Mikhail MS, Murray MJ, Breathing System in Clinical Anesthesiology 5th ed.
McGraw Hill; 2007
31
32