Anda di halaman 1dari 25

SUKU LAUT/ SUKU DOANE DI INHIL

Orang Laut terdiri atas kelompok-kelompok sosial yang berdiam di berbagai


kawasan perairan Indonesia, seperti di perairan sekitar pulau Sumatera bagian timur,
Kalimantan, Sulawesi, Flores, bahkan ada yang mengembara sampai ke perairan
Malaysia dan Filipina. Orang Laut biasa juga dinamakan Suku Laut. Pada berbagai
kawasan perairan tersebut subkelompok orang Laut disebut orang Bajau atau Bajo,
orang Muara, dan orang Ameng Sewang.
Dilihat dari latar belakang asal-usul mereka, para ahli mengkategorikan orang
Laut sebagai sisa turunan nenek moyang bangsa Indonesia yang datang bermigrasi
dari daratan Benua Asia sekitar tahun 2500-1500 SM. Mereka tergolong sebagai
Melayu (Malayan Mongoloid). Pada masa itu mereka merupakan pendukung
kebudayaan batu baru (neolithicum). Bahasa yang mereka gunakan merupakan suatu
dialek bahasa Melayu. Contoh kata dialek orang Laut (Bajau) di Jambi adalah mando
(mandi), nosi (nasi), koyu (kayu), dan lain-lain.
Jumlah keseluruhan orang Laut tidak dapat lagi diketahui secara pasti. Berbagai
sumber menunjukkan angka-angka yang bervariasi. Jumlah orang Laut di Kepulauan
Riau berdasarkan hasil penelitian Universitas Riau tahun 1977 sebesar 3.500 jiwa
atau 577 kepala keluarga. Data lain menunjukkan jumlah orang Laut pada tahun 1981
sebesar 2.894 jiwa, yakni yang berdiam di Kecamatan Rateh dan Kecamatan Mandah,
Kabupaten Indragiri Hilir, dan Kecamatan Tambelan, Kabupaten Kepulauan Riau,
Provinsi Riau.
Orang Laut yang berdiam di pesisir Pulau Belitung disebut orang Ameng
Sewang. Mereka berdiam di wilayah Kecamatan Tanjung Pandan, Kecamatan
Membalong, Kecamatan Manggar, dan Kecamatan Gantung, di Provinsi Bangka
Belitung. Jumlah mereka pada tahun 1950-an diperkirakan sekitar 1.000 kepala
keluarga. Pada tahun 1980 jumlahnya menjadi 150 kepala keluarga dengan jumlah
keseluruhan sekitar 500 jiwa. Direktorat Bina Masyarakat Terasing Departemen
Sosial mencatat jumlah orang Ameng Sewang di daerah Belitung hanya 115 kepala
keluarga.
Jumlah orang Laut pada umumnya tampak semakin menyusut, karena sistem
pengetahuan mereka masih sederhana, sehingga mereka tidak mampu menjawab
tantangan alam keras di sekitar lingkungan hidup mereka. Hasil penelitian Universitas
Riau tahun 1977 menunjukkan angka kematian orang Laut di Provinsi itu sebanyak
11 persen. Angka kematian yang tinggi itu, antara lain, disebabkan oleh penyakit
seperti malaria dan muntah-berak.
Kelompok orang Ameng Sewang kiranya dapat menjadi salah satu contoh
untuk mengenali pola kehidupan sosial budaya orang Laut secara keseluruhan.
Sumber kepustakaan lama menunjukkan bahwa mereka telah berabad-abad lamanya
menghuni laut dan pulau-pulau kecil di sekitar pulau Bangka Belitung. Ketika pada
tahun 1668 kapal Belanda mendarat di Pulau Belitung, para awak kapal mendapat
serangan orang Ameng Sewang. Ini menunjukkan bahwa di masa lalu mereka pernah
mempunyai kekuatan yang cukup berarti.
Lingkungan alam mereka adalah laut diantara pulau-pulau kecil di sekitar Pulau
Belitung. Kawasan ini berada diantara Laut Cina Selatan dan Laut Jawa, yang
sepanjang tahun menjadi arena peralihan musim yang kadang-kadang terasa sangat
ganas bagi mereka. Lingkungan dan tantangan yang demikian harus mereka hadapi
dengan teknologi dan sistem pengetahuan mereka yang masih sederhana. Musim
barat yang garang menyebabkan mereka harus berhenti mencari nafkah di laut.
Kadang-kadang mereka harus mengungsi ke pulau-pulau tertentu selama beberapa
bulan.
Sebagian kecil siklus hidup orang laut berada di laut, di atas perahu (kolek).
Perahu adalah "rumah" dan arena tempat melakukan berbagai aktivitas sehari-hari. Di
luar musim ikan mereka menetap untuk sementara di sekitar pantai, hidup dalam
perahu atau gubuk yang bersifat sementara. Mereka berada di darat rata-rata sekitar
dua bulan dalam satu tahunnya. Sebuah perahu didiami oleh satu keluarga inti dengan
anak-anak yang biasanya berjumlah kecil. Satu keluarga yang pernah melahirkan
enam orang anak sudah merasa bersyukur, apabila dua saja diantaranya hidup. Satu
perahu kadang-kadang didiami oleh keluarga luas, yaitu suatu keluarga inti bersama
orang tuanya yang sudah berusia lanjut. Anak-anak mereka yang sudah remaja
biasanya berdiam di perahu tersendiri dengan anak remaja dari keluarga kerabat lain.
Prinsip keturunannya patrilineal dengan adat menetap sesudah nikah patrilokal.
Dalam lintasan hidup individu orang Laut, masa hamil seorang wanita
merupakan masa yang penuh kebimbangan dan ketegangan. Pada masa ini ada
beberapa pantangan. Orang yang sedang hamil tidak boleh keluar dari perahu atau
rumahnya pada saat tengah hari, menjelang senja, dan tengah malam. Pada saat itu,
mereka percaya setan akan datang mengganggu. Pada masa itu juga dilarang
memukul, menyakiti, dan membunuh binatang. Seorang ibu melahirkan anak di atas
perahu dengan bantuan dukun beranak (tengguling). Perahu tempat melahirkan itu
harus dilepas dari segala ikatannya, namun perahu lainnya harus ada di sekitarnya.
Dengan demikian mereka percaya kelahiran akan menjadi lebih mudah.
Apabila ada kematian, mayat segera dimandikan berturut-turut dengan air pasir,
air daun jeruk nipis atau jeruk purut, dan terakhir dengan air bersih. Mayat juga diberi
kafan. Sebelum mayat dimasukkan ke dalam liang lahat, ada orang yang terlebih
dahulu masuk ke liang lahat itu untuk menyampaikan pesan sang mayat kepada
malaikat Nungka Wanangkir. Dalam cara penguburan itu tampak adanya pengaruh
Islam. Pada masa ini sebagian besar orang Laut sudah memeluk agama Islam.
Orang Laut mengenal beberapa jenis kesenian dalam wujud seni tari dan seni
suara. Hampir semua nyanyian dan tarian mereka bersifat gembira. Di antara tarian
yang dikenal adalah tarian hujung dan ketimpang-burung. Tarian hujung merupakan
tarian muda-mudi yang menggambarkan kaum laki-laki sedang menangkap ikan
duyung. Tarian ketimpang-burung menggambarkan kegembiraan sambil berpantun
bersahut-sahutan dalam bahasa melayu.
Nyanyian ulah besin adalah nyanyian yang selalu ada dalam setiap upacara,
guna mengusir setan dan memohon perlindungan kepada dewa dan arwah roh nenek
moyang. Mereka juga sangat menggemari tarian semacam tari loget. Belakangan ini
banyak pemudanya yang menari sambil minum bir, ciu, dan minuman keras lainnya
sampai mabuk. Pasa masa lalu masyarakat ini memang sudah terbiasa minum tuak
nira kelapa. Kebiasaan merokok menjadi kegemaran yang sudah dimulai sejak usia
sangat muda.
Pihak pemerintah pernah berusaha memukimkan mereka dengan jalan
menyediakan perumahan. Namun usaha ini belum berhasil karena pada musim
menangkap ikan yang cukup lama rumah itu mereka tinggalkan. Mereka memang
masih sukar berbaur dengan anggota masyarakat lain di sekitarnya, meskipun sudah
biasa masuk ke kota Tanjung Pandan. Kawin campur dengan anggota masyarakat lain
terhambat karena mereka masih berpegang teguh pada adat endogami kelompok
sendiri dan kesetiaan pada adat itu masih cukup kuat.
(http://suku-dunia.blogspot.co.id/2016/12/sejarah-suku-laut.html) di akses pada hari
selasa 30 mei 2017 pukul 12:00 WIB

Sejarah dan Budaya Orang Laut Indonesia di Indragiri Hilir


Posted on November 13, 2015
(Sejarah Dan Budaya Orang Laut Indonesia Di Indragiri Hilir (Suatu Suku
Bangsa Besar Yang Tertulis Dalam Sejarah Namun Keberadaannya Seolah
Lenyap Dan Sebuah Jawaban Orang Laut Itu Bukan Duanu)

Oleh :

Prj. Haryono.As,S.Pd, M Sbw (Presiden Lembaga Adat Budaya Dan Bahasa Orang
Laut Indonesia)

Pengertian Suku Laut.

Suku Laut adalah sekelompok orang yang berkomunikasi dalam bahasa laut
yang terikat pada laut secara fisik dan atau psikis sehingga seluruh hidupnya memiliki
ketergantungan dan ikatan yang kuat pada laut walaupun berada didaratan,
kehidupannya bergantung pada sumber daya alam laut sebagai awal mula
kehidupannya.

Kami Suku Laut yang ditulis dalam sejarah besar bangsa-bangsa didunia
termasuk bangsa melayu bukan Duanu dan jangan panggil kami Duanu, sebab
menurut penelitian Adrian B Lapian dalam disertasinya (17,2009) Secara Entimologi,
Istilah Duanu atau Duano Muncul dalam kepustakaan ilmiah pada dasawarsa 1970-
an, nama ini menurutnya tidak diberikan oleh orang luar namun diberi dari dalam
suku itu sendiri, mereka ini dianggap kafir dan memakan babi dan ikan duyung serta
hidup didalam perahu bersama anjing. Jika anda baca sejarah masyarakat Suku Laut
yang ada di Indragiri Hilir Provinsi Riau kami secara Historis telah islam diawal abad
ke-7 M bahkan sebelum masuk ke Indonesia kami telah islam,hal ini dikarenakan
islam masuk melalui jalur laut jadi sangat logis jika pedagang arab dan Gujarat
menemukan orang laut terlebih dahulu untuk menyebarkan islam sebelum sampai
kedarat. walaupun pengaruh animisme dan dinamisme belum seutuhnya luntur namun
kami orang laut tidak makan babi, ikan duyung serta tidak memelihara anjing. maka
jelas kami bukan Duanu.

Jadi Panggil Kami Suku Laut atau Orang Laut. Jangan panggil kami Duanu
sebab kami Orang Laut karena Duanu dalam Pengertian Entimologi dan analogi kata
memiliki makna yang buruk. Menurut Ahmad Bin Muhammad Ali Al Fayyumi
dalam karyanya ALMISBAH ALMUNIR dijelaskan Bahwa Kata Jauh (Dalam
bahasa laut jauh/Jauh disana, berarti Duanu) diambil dari kata SYATHANA yang
merupakan akar dari Kata SYAITHAAN atau Syaitan atau Setan yang berarti Jauh,
sebab menurutnya setan itu menjauh dari kebenaran atau menjauh dari rahmat Allah
SWT. Jadi dalam konteks Analogi Kata Duanu sama Dengan Setan. Jika anda
memanggil kami “Hai,,,Duanu ! itu sama artinya anda memanggil kami “Hai,,,Setan !
maka jangan sekali-sekali sebut kami Duanu.

Jadi Panggil Kami Suku Laut atau Orang Laut. Kami Orang Laut bukan Duanu
karena secara Filosofi Duanu memiliki makna yang tidak baik sebab Duanu berasal
dari Bahasa Laut seperti penjelasan diatas yaitu Dua’ dan Nu. Dua’ Artinya Jauh dan
Nu artinya disana, jadi Duanu artinya Jauh Disana sedangkan Orang Duanu berarti
Orang yang Jauh Disana, jika kita bahas secara filosofi maka memiliki arti orang
yang ketinggalan, dalam konteks peradaban maka pemaknaannya adalah ketinggalan
zaman hal ini berlandas pada pemahaman filosofi berikut, “ Hai,,,dimana teman kita
yang berangkat bersama tadi ? “, maka jawabannya adalah “ Itu Jauh Disana (itu
Duanu) !” kalimat ini mengartikan bahwa teman mereka sudah ketinggalan. maka
jangan sekali-sekali sebut kami Duanu. Jadi Panggil Kami Suku Laut atau Orang
Laut sebab kami juga memahami kebudayaan dan peradaban modern.

Kami Orang Laut bukan Duanu karena secara Historis, istilah Orang Laut telah
muncul diawal kehidupan nenek moyang kami yaitu sebagai orang yang hidup
seratus persen bergantung pada sumber daya alam laut, hidup dan beranak pinak serta
mati dilaut, menangis dan tertawa dilaut, kami menjadi awal peradaban kehidupan
dilaut. Fakta sejarah kami adalah Orang Laut bukan Duanu ini terlihat pada cabutan
buku besluit2 dari Sultan Mahmud yaitu Sultan Indragiri No 224 pada 30 Oktober
1936 bahwa pada tanggal 1 januari 1936 diangkat menjadi Panglima Radja dari
Bangsa Orang Laut yang bernama MAAKIM yang berdiam di Tjontjong Laoet
(Sekarang Concong Luar). Jadi jelas disini kami disebut Orang Laut bukan Duanu.

Kesimpulannya kami adalah Suku Laut atau Orang Laut dan bukan Duanu,
sebab Duanu itu memiliki makna sebagai berikut : Duanu secara Entimologi berarti
Orang Kafir yang memakan Babi dan Ikan Duyung serta hidup di perahu bersama
Anjing. Duanu secara Analogi kata berarti Syaitan atau Setan. Duanu secara Filosofi
berarti Orang yang Ketinggalan Zaman. Duanu Secara Historis Muncul Tahun 1970,
disepakati 1992 dan di Eksistensikan Tahun 2004 sementara Suku Laut/Orang Laut
secara bukti sejarah telah muncul pada 1936 jadi mana yang lebih tua. Kemudian hal
terbaru sebenarnya pada 28 November 2013 sekelompok ahli waris yang memiliki
Zuriat Panglima Raja mengembalikan Istilah Duanu yang digaungkan sejak 1992 ke
pada istilah Asli yaitu Suku Laut atau Orang Laut. Dari mana muncul istilah Duanu
sehingga melekat pada masyarakat generasi orang laut hari ini, menurut Rabuan L.
Peristiwa ini bermula pada tahun 1992 dimana pada tahun tersebut diadakan Festival
Budaya Asia Fasifik di Pekanbaru yang menghadirkan seluruh kebudayaan
masyarakat di Asia Fasifik, maka hadirlah saat itu dari sekian banyak suku bangsa
yaitu Suku Laut saat itu disingkat dengan SLI (Suku Laut Indragiri) ingat masa 1992
ini juga sebenarnya istilah Duanu belum muncul pada orang laut di Indragiri kecuali
pada kepustakaan ilmiah tahun 1970 ini juga sebagai bukti Duanu itu bukan SLI
(Suku Laut Indragiri) sebab jika dia SLI (Suku Laut Indragiri) tentu saat itu di tulis
Duanu bukan SLI (Suku Laut Indragiri), baik kita kembali ke kejadian Festival
Budaya Asia Fasifik tahun 1992, saat itu kami dari Indragiri diberi nama SLI (Suku
Laut Indragiri) sebab disebelah Stand kami SLI (Suku Laut Indragiri) ada Stand Suku
Laut Kepri (Orang Mantang) sebenarnya orang mantang adalah orang mantang bukan
orang laut kesalahan inilah yang dibuat, boleh jadi jika melihat dari ciri-ciri menurut
Adrian B Lapian Duanu yaitu makan babi dan membawa anjing dalam perahu maka
orang mantang inilah duanu sebab ciri tersebut sesuai dengan kondisi orang mantang
hari ini bukan kondisi orang laut hari ini yang nenek moyangnya memiliki peran yang
besar pada sejarah dunia maritime dan kerajaan melayu.
Saat itu pada tahun 1992 dalam acara Festival Budaya Asia Fasifik menurut Rabuan
L datanglah wartawan dari RCTI meliput Stand disebelah kami yaitu Stand Suku
Laut Kepri (Orang Mantang), maka pertanyaan kunci yang muncul ketika itu dari
sang wartawan apakah Suku Laut Kepri ini Muslim/Islam lalu sang Orang Laut Kepri
ini menjawab kami tidak islam.

Selanjutnya sang wartawan pindah ke Stand SLI (Suku Laut Indragiri) yang
sebenarnya inilah Orang Laut yang tercatat dalam berbagai sejarah dunia. Ingat saat
ini belum ada kata Duanu. Sang wartawan memberikan beberapa pertanyaan hingga
tibalah pertanyaan kunci dari sang wartawan RCTI ini, apakah SLI (Suku Laut
Indragiri) ini juga tidak beragama seperti disebelah, maka ketika itu Rabuan L selaku
Orang Laut penjaga Stand marah besar dan darahnya seakan mendidih dengan nada
tegas kami SLI (Suku Laut Indragiri) adalah ISLAM berbekal pemahaman agama dan
ayat-ayat AL-Qur’an yang dihapalnya maka Rabuan L mengeluarkan semua
kemampuannya untuk menunjukan keislamannya pada sang wartawan, dan
menunjukan bahwa kami berbeda denga Orang Laut Kepri yang tidak beragama
tersebut.
Sang wartawanpun akhirnya permisi, kemudian Rabuan L yang ketika itu hadir
bersama Effendy SY dan Tarmidhi mengumpulkan mahasiswa orang laut SLI (Suku
Laut Indragiri) yaitu Suharni, Sarpan, Zaini. I dan Zaini. M untuk berembuk terhadap
masalah yang baru terjadi yaitu masalah SLI (Suku Laut Indragiri) disamakan dengan
Suku Laut Kepri (Mantang) yang tidak beragama, kekhawatiran saat itu adalah benar
adanya bahwa ketakutan pada pandangan luar jika SLI (Suku Laut Indragiri) juga
dianggap tidak beragama karena sama-sama Suku Laut. Maka jalan yang ditempuh
saat itu adalah tidak memakai lagi sitilah Suku Laut atau Orang Laut, maka dicarilah
istilah yang menurut mereka pernah ada terutama dalam istilah yang muncul pada
tahun 1970 yaitu Duanu tanpa melihat secara mendalam apa arti duanu tersebut dan
apa saja aspek sejarah yang hilang jika Suku Laut atau Orang Laut diganti dengan
Duanu, yang ada saat itu Duanu dianggap sebagai baju baru dan identitas baru yang
lebih gagah dan berdab tetapi malah yang terjadi adalah penghapusan jati diri
sebenarnya. Jadi sitilah Duanu muncul agar tidak disebut Orang Matang karena orang
mantang juga disebut orang laut.

Namun ada kesalahan besar karena sebenarnya Orang Laut adalah Orang Laut
yang tinggal dilaut, artinya kami adalah Suku Laut atau Orang Laut, smentara Orang
Mantang adalah Orang yang tinggal dilaut, Orang Bajau adalah Orang yang tinggal
dilaut, Orang Mindanao adalah Orang yang tinggal dilaut tetapi mereka bukan Orang
Laut lalu siapa Orang Laut Ya kami Orang Laut atau Suku Laut yang tinggal dilaut
itu. Yang lebih menyedihkan lagi setelah sitilah Duanu didapat maka dicari apa itu
arti Duanu seperti Duane yang diartikan pajak padahal jika ditarik secara historis
tidak ada keterkaitan, padahal penamaan Duanu itu adalah sebuah hal yang dapat
dianalogikan sebagai proses pembuangan jati diri, jati diri yang besar yang jika
mengerti maka akan muncul penyesalan seperti yang terjadi pada Rabuan L, Effendi,
Suharni pada tahun 2013 menyatakan kembali lagi kepada orang laut berdasarkan
kebenaran yang ditemukan oleh Dosen asli Orang Laut yaitu Haryono.
Sejarah Suku Laut

Orang Laut sampai hari ini masih dapat dilhat di beberpa tempat di indonesia
mulai di Perairan Riau, Kepulauan Riau, bahkan di beberapa Negara seperti:
Malaysia, Philippines dan daerah sekitar perairan singapura. Melihat keadaan mereka
saat ini seolah-olah merupakan kelompok yang banyak kekurangan dan perlu
mendapat perhatian, tidak ada catatan detail tentang sejarah hidup mereka bahkan
didalam Disertasi Adrian B. Lapian termuat catatan sejarah yang diceritakan oleh Wa
Hakim (yang mengisahkan peristiwa ini tahun 1882) dan ucapan inilah yang menjadi
alasan mengapa Hangtuah di Melayukan“Sedangkan bagi orang melayu dan penulis
Abdullah, peranan orang laut yang dianggap sebagai orang hina tidak perlu di sebut”
(Adrian B. Lapian, 107:2009).

Sebuah pernyataan yang benar-benar naïf dan memojokan Orang Laut dari
keberadaannya di tengah catatan sejarah kemegahan bangsa-bangsa di dunia, padahal
mereka memiliki kegemilangan dan kepahlawanan yang setara dengan bangsa-bangsa
yang tercatat didalam sejarah, seperti dikatakan oleh Ketua tentara Amerika yang
betanggung jawab memerangi orang laut pada 11 Juni 1913 General John Joseph
Pershing (1860-1948) “ Perlawanan inilah yang paling menakutkan dan kejam yang
pertama kali saya saksikan. Orang Laut melawan seperi syaitan. Mereka memang
sepenuhnya tiada ketakutan dan apabila sudah berazam untuk melawan, mereka
terima kematian itu Cuma sebagai peristiwa biasa”. Kejayaan orang Laut yang sering
disebut sebagai Lutau oleh Spanyol kemudian disebut dengan berbagai nama yang
sebenarnya adalah Orang laut, memiliki sejarah yang luar biasa seperti dikemukakan
oleh Dzul Asree yang tertulis di dalam blognya dan dikutip dari buku Kepulauan Sulu

Sebelum Muncul Nama Philippines yang terdiri dari Tujuh Pembahasan


menyatakan bahwa “Sejarah Ayuthaya dan Kedah tua sebenarnya bermula ribuan
tahun dahulu bila bangsa Sulug menduduki pantai Burma sehingga sepanjang tepi
pantai Thailand hari ini. Sulug menjadikannya sebagai tanah persinggahan selain
Sumatra untuk mengawal laluan perdagangan sebelum melalui Selat Melaka.
Keluarga Sulug berkembang biak dari kalangan Orang Laut membentuk bangsa
Melayu terawal di sepanjang Selat Melaka”. Bahkan Sebenarnya Sang Penguasa dan
Pendudukan Nusantara awalnya adalah Orang laut seperti yang tercatat dalam buku
kepulauan sulu “Bangsa Sulug (Orang Laut) telah menjadi asas kepada bangsa-
bangsa di sekitar Nusantara bukan sekadar abad ke-4 atau sebelumnya malah ribuan
tahun sebelum kelahiran Nabi Isa a.s. atau abad ke-1 Sulug (Orang Laut) sudah lama
berserakan diseluruh Nusantara”. Namun kenaifan sejarah meletakan Orang laut
disudut sejarah bahari Nusantara, jika kita baca kehadiran Sriwijaya sebagai kerajaan
besar di nusantara yang muncul pada abad ke-7 yang diperkirakan oleh para ahli
sejarah muncul pada tahun 600-an, baik di wikipedia.org/wiki/Sriwijaya, maupun di
buku sejarah sekolah mengenai sriwijaya tidak pernah dibahas dan terselip satu
katapun mengenai Orang Laut, ini merupakan kejahatan sejarah yang tak termaafkan
seandainya peran Orang Laut tidak pernah diluruskan, apapun alasan sejarah adalah
fakta masa lalu bukan kehendak para penulis sejarah, sangat sedikit catatan mengenai
peran Orang Laut dalam Membesarkan Kerajaan Sriwijaya sebagai penguasa maritim
seperti Dari catatan sejarah dan bukti arkeologi, pada abad ke-9 Sriwijaya telah
melakukan kolonisasi di hampir seluruh kerajaan-kerajaan Asia Tenggara, antara lain:
Sumatera, Jawa, Semenanjung Malaya, Thailand, Kamboja, Vietnam, dan Filipina.
Dominasi atas Selat Malaka dan Selat Sunda, menjadikan Sriwijaya sebagai
pengendali rute perdagangan rempah dan perdagangan lokal yang mengenakan bea
dan cukai atas setiap kapal yang lewat.

Sriwijaya mengumpulkan kekayaannya dari jasa pelabuhan dan gudang


perdagangan yang melayani pasar Tiongkok, dan India. Akankah sampai hari ini
pernah dipertanyakan mengapa kerajaan Sriwijaya sangat menguasai kehidupan
maritim pada masanya, ini tidak mungkin terjadi bahkan sampai kerajaan Sriwijaya
pernah menguasai wilayah nusantara, tentu ada disebaliknya seseorang atau
kelompok orang yang menguasai kehidupan ala maritim pada saat itu, jawabannya
sudah tentu adalah orang yang sangat memahami laut, baik dari segi cara bertahan
hidup dilaut, memahami pola hidup dilaut dan cara berperang dilaut, suku yang
sanggup mengelola ini semua sudah pasti dan tentu adalah orang laut.
Beruntung seorang Seorang Profesor yang bergelar Nakhoda Pertama
Sejarawan Maritim Asia Tenggara dalam bukunya Orang Laut, Bajak Laut, Raja Laut
yaitu Prof. Adrian B Lapian dituliskan bahwa Woltres seorang sarjana Eropa
mengatakan “ Penguasaan Daerah Bahari oleh Sriwijaya hanya mungkin apabila
pemerintah kerajaan mendapat dukungan dari masyarakat Orang Laut. Hanya dengan
kerjasama orang laut dapat dihimpun sebuah kekuatan laut yang sanggup menjelajah
wilayah bahari yang begitu luas itu. Kemampuan penguasaan laut yang demikian luas
itu hanya dimungkinkan apabila ada angkatan laut yang kuat, dan tenaga serta armada
dan perlengkapannya diperoleh dari masyarakat Orang Laut yang Loyal Kepada sri
wijaya”.(Adrian B Lapian, 101 : 2009).

Namun Sejarah Kebesaran orang Laut Tidak berhenti pada sejarah Perluasan
dan Kejayaan Sriwijaya, tercatat dalam pembahasan kesultanan sulu pembahasan ke
tujuh bahwa Ratu Hatchepsut Mesir Purba telah menghantar wakilnya ke Sulu
bertemu Maharaja Sulu sekitar abad ke-13 hingga 15 Sebelum Masehi. Peristiwa ini
memberikan kita beberapa gambaran, Tahun 1300 SM hingga 1500 SM, Maharaja
Sulug (Raja Orang Laut) ketika itu sudah wujud menguasai Nusantara sehingga
dikatakan beliau sangat berkuasa terhadap pulau-pulau dan orang laut yang
berperahu. Beliau dinamakan Raja Perahu. Menunjukkan bahawa peradaban sudah
lama maju di Nusantara kerana kelihatan pemakaian pedang atau keris terselit di
pinggang dan pemakaian mutiara pada leher sebagai perhiasan adalah benar.
Betapa hebatnya Mesir dengan pembinaan Piramid yang begitu dahsyat namun Raja
Mesir Purba lebih mengagumi Raja Perahu (Raja Orang Laut), sehingga nama-nama
Raja Mesir ditukar kepada Prao atau Pharaoh ketika itu yang bermaksud Perahu.

Selain Raja Perahu juga bermunculan raja – raja atau masa itu dikenal dengan
sultan-sultan dari orang laut diantaranya Kerajaan Champa yang tercatat tahun 905
sampai 1000 M pada tahun itu Orang Laut Memeluk Islam kemudian hadir
Kesultanan Sulu yang muncul pada tahun 1405 M, Berdasarkan Kajian Perpustakaan
berupa Research Library yang penulis analisis, sebenarnya Puncak Kegemilangan
Orang Laut Dimulai Pada abad Ke-15, karena tahun 1400-an SM ini banyak tokoh-
tokoh dan kepahlawanan Orang Laut Bermunculan, namun menurut James Fancis
Warren “Sulu Zone berada pada Abad ke-17 dan ke-18” hal ini didasarkan pada
penguasaan Orang Laut Diperairan Asia Tenggara pada tahun 1768 M-1898 M.
namun hal yang penulis maksud abad ke-15 adalah kemunculan para tokoh besar
orang Laut, artinya pengukiran sejarah kepahlawanan telah mereka lakukan pada
abad ke-15, seperti munculnya beberapa Tokoh dan kelompok Orang Laut ternama
yang sempat tercatat tidak sebagai Orang Laut oleh beberapa sumber, namun akan
diluruskan dalam penelitian ini, Diantaranya adalah Laksemana Hangtuah, Hang
Jebat, Hang Lekir, Hang Lekiu, Hang Kesturi, Hang Nadim, tokoh-tokoh yang
tercatat di sejarah tertulis sebagai Orang Laut adalah : Pangeran Alip selaku Pimpinan
Samal Balangingi (Adrian B Lapian, 143:2009), Laksemana Landasan (beliau
keturunan Sultan sulu pertama Sultan Syariful Hashim yang menjadi pelaut
Balangingi) yang karena kepahlawanannya disambut oleh para bangsawan ketika
sampai dimalaka.

Datuk Limapuluh Sri Bijawangsa, dan beberapa sribijawangsa yang tercatat


dalam buku Orang Laut, Bajak Laut, Raja Laut, kemudian muncul beberapa tokoh
Orang Laut (Duanu) yang berasal dari sumber lisan, yaitu : Panglime Jerael,
Panglime Lase, Panglime Raje, Panglime Begok (Malimah), Datok Lela Sedaru,
Datok Kamaludin, Panglima mude (Sawal), Panglima elang yang kesemuanya
sebenarnya bergelar Sri Bijawangsa jika dianalisis dengan sumber tertulis dan mereka
inilah yang sebenarnya berperanan penting dalam Pendirian Kerajaan Siak oleh Rajak
Kecik (Sultan Syarif Qasim) dan Menurut wawancara Peneliti dengan Prof. DR. H.
Isjoni, M.Si, “Orang Laut Berperan besar dalam pendirian Kerajaan Indragiri yang
berkaitan dengan perluasan Kerajaan Malaka melalui Engku Togok di Rengat, dan
peran mereka bersama Engku Togok dalam menjemput Nara Singa di malaka untuk
menjadi raja Indragiri yang pertama”, Mereka Tidak lain adalah Para Panglime dari
Orang Laut yang penulis sebut diatas, Namun kini Orang Laut mulai kehilangan jati
dirinya sejak runtuhnya Kesultanan malaka dan surutnya kesultanan Johor yang
membuat mereka kembali kelaut, sehingga kini keturunannya yang tersebar
diberbagai tempat tidak mengetahui besarnya kebudayaan mereka dan Luarbiasanya
Keberanian Kepahlawanan para Tokohnya yang tertelan oleh zaman dan disebabkan
penyebutan nama yang berbeda, sebagian dari mereka bahkan malu sebagai Orang
Laut karena dianggap tidak berbudaya dan hina bagi sekelompok orang tertentu, hal
yang sungguh menjadi tanggung jawab moral bagi penulis karena mengingat analisis
kepustakaan diatas maka Tidak mungkin ada Kerajaan Sriwijaya yang megah jika
tidak ada Orang Laut, Tidak Mungkin Ada Kerajaan Siak jika tidak ada campur
tangan Orang Laut, dan Bahkan Tidak Akan Pernah Ada Kerajaan Indragiri Jika
Orang Laut Tidak Bersedia Menjemput Nara Singa, karena Tidak akan berani suatu
kelompok diluar Orang Laut yang berani berlayar bebas tanpa ada Orang Laut
didalam kelompoknya pada massa itu.

Namun walaupun ada sebagian yang merasa rendah sebagai Orang Laut, masih
ada beberapa diantara keturunan orang laut di era modern ini yang terus berjuang
dengan berbagai cara untuk meningkatkan marwahnya, walaupun sebagian dari
mereka tidak mengetahui tokoh-tokoh yang disebut dalam penelitian ini, namun
bebagai usaha mereka tetap harus di acungkan jempol tetapi alangkah lebih baik jika
mereka mengetahui kegemilangan mereka dimasa lalu sehingga menjadi motor
penggerak mereka untuk berbuat lebih terhadap bangsa dan Negara seperti yang telah
dilakukan oleh nenek moyang mereka yang memiliki loyalitas yang tinggi terhadap
pemimpin mereka.

Berdasarkan uraian diatas dapat disimpulkan bahwa Peranan penting Orang


Laut telah tampak pada pendirian kerajaan sriwijaya yang muncul abad ke-7 dan
disusul oleh munculnya kerajaan-kerajaan lain yang bersultan dari orang laut itu
sendiri, pada abad ke-15 bermunculan Tokoh-tokoh yang disegani dan ditakuti dari
Orang Laut di Perairan Asia Tenggara, diera modern Keturunan Orang Laut berjuang
untuk meningkatkan marwah Orang Laut itu sendiri dengan berbagai cara.
Bahasa Suku Laut
Bahasa Suku Laut adalah bahasa Orang Laut Itu sendiri yang memiliki kosakata
dan dialeg pengucapan sendiri yang berbeda dari bahasa manapun didunia namun
tetap memiliki serapan bahasa asing namun beberapa kata hanya sama pengucapan
namun berbeda arti Arrow dalam bahasa inggris yang diindonesiakan berarti anak
panah namun diartikan dalam bahasa orang laut berarti saya, penyerapan langsung
juga terdapat dalam bahasa laut seperti penggunaan kata Start untuk maksud mulai
atau memulai ini merupakan serapan bahasa inggris, juga ada penyerapan bahasa arab
seperti Ain jika diartikan menjadi ada apa, walaupun memiliki serapan bahasa asing
sebagai bukti bahwa orang laut bukan masyarakat tertutup bahasa orang laut juga
memiliki keaslian dialeg dan kosakatanya seperti kemum yang bermakna kalian,
derelum yang berarti minyak goring dan masih banyak lagi yang semua tertuang
dalam buku Tata Bahasa dan Pengucapan Bahasa Orang Laut Indragiri Hilir dan
Sekitarnya Karya PRj. Haryono.AS, S.Pd., M SBw Dosen asli Orang Laut.
Kehidupan Religi Suku Laut
Awal mula keberadaanya sebelum memeluk Islam Suku Laut atau Orang Laut
adalah kelompok masyarakat yang menganut kepercayaan Animisme dan
Dinamisme, yang saat ini dapat terlihat pada ritual pengobatan, nyanyian (denden)
dan aplikasi hidup lainnya yang terlihat pada kehidupan beberapa masyarakat Suku
Laut itu sendiri. Namun saat ini mayorita masyarakat Suku Laut beragama Islam
dalam pesentase 99,9 %.

Kesenian Suku Laut

Kesenian Suku Laut atau Orang Laut terbagi dalam beberapa hasil karya,
diantaranya sebagai berikut :Seni Suara, Terdiri dari ; Bedenden, Jampi dan Panten.
Seni Rupa, yaitu ; Motif Batik Orang Laut Asli Seni Tari, yaitu ; Joged Betungkan
Seni Sastra Lisan ; Cerita Rakyat Dol, Hikayat Sri Bijawangsa. Seniman Suku Laut
yang merupakan pengarang lagu dalam versi bahasa laut adalah SDG. PRj. Suharni.
AS, PRj. Suhaimi. AS, dan PRj. Haryono, AS, M SBw.
Kearifan Lokal Suku Laut

Kearifan lokal pada suku laut biasanya ditunjukan dengan memperhatikan


lingkungan sekitar tinggalnya dalam mengeksploitasi hasil laut dengan cara
bersahabat dan tidak merusak, seperti berikut ini. Menongkah ; adalah kegiatan
mengambil kerang pada saat air surut dengan papan seluncur yang disebut papan
tongkah, kemudian dengan papan ini berseluncur diatas lumpur mengambil kerang
satu persatu dengan tangan tanpa merusak seperti yang dilakukan dengan system
sondong menggunakan tenaga mesin. Ngagau ; adalah kegiatan mengambil kerang
pada masa air setinggi dada orang dewasa, dan diambil dengan tangan dan alat
sederhana tanpa merusak lingkungan tinggalnya. Numbo : adalah aktifitas mencari
udang timba atau yang sebenarnya dianalogikan dengan udang nenek dengan cara
memasukan kaki kedalam lubang udang berada dan diambil satu persatu.

Kearifan Lokal Masyarakat di Kawasan Desa Panglima Raja dalam


Pemanfaatan dan Pelestarian Sumberdaya Pesisir Menurut Kajian Zulkarnain, Asdi
Agustar, dan Rudi Febriamansyah. Dari data pada Tabel dapat dijelaskan bahwa nilai
kearifan lokal yang terkandung pada masing-masing kegiatan pemanfaatan dan
pelestarian sumberdaya pesisir tersebut adalah : Penentuan waktu, cuaca dan musim
dalam melakukan penangkapan ikan sangat memberikan pengaruh terhadap
keberhasilan penangkapan, jika kegiatan penangkapan dilakukan pada waktu, cuaca
dan musim yang sesuai maka kegiatan penangkapan akan mendapatkan hasil yang
baik.

Begitu juga sebaliknya. Kemudian pada musim angin utara misalnya,


masyarakat tidak melakukan penangkapan karena gelombang dang angin laut kurang
bersahabat, pada hal waktu-waktu seperti ini berbagai jenis ikan melakukan
pemijahan. Sehingga kegiatan tidak menangkap ikan pada musim utara dapat
memberikan kesempatan bagi keberlangsungan berbagai jenis spesies ikan untuk
berkembang. Kegiatan ini pada saat ini masih berlangsung dalam masyarakat Suku
Laut.

Upaya mempertahankan penggunaan alat tangkap tradisional merupakan salah


satu cara yang baik untuk menjaga pelestarian berbagai sumberdaya perikanan.
Penggunaan alat tangkap tradisional diyakini lebih efektif dan hasil tangkapannya
lebih selektif, dengan kata lain kegiatan pemanfaatan sumberdaya perikanan dengan
menggunakan alat tangkap tradisional dapat mempertahankan kondisi potensi
sumberdaya perikanan yang ada. nilai kearifan lokal yang terkandung adalah
masyarakat mengembangkan penggunaan teknologi penangkapan yang ramah
lingkungan, menangkap ikan dengan cara-cara yang tidak merusak lingkungan.
Seperti yang dijelaskan Dahuri (2000) pada bagian sebelumnya bahwa ciri khas dari
penangkapan tradisional adalah peralatan yang digunakan bersifat statis, mudah
dalam pengoperasiannya, dan jenis ikan yang tertangkap lebih selektif, sehingga lebih
ramah terhadap lingkungan. Penebangan bakau hanya boleh dilakukan pada kawasan
tertentu yang jauh dari pinggiran pantai, hal ini memiliki makna bahwa jika
penebangan bakau dilakukan di sekitar kawasan pinggiran pantai akan merusak
tempat tinggal berbagai jenis sumberdaya perikanan.

Seperti yang dijelaskan Dahuri (1996) bahwa hutan bakau memiliki arti penting
bagi ekosistem perairan karena memberikan sumbangan bagi perairan sekitarnya.
Daun bakau yang gugur melalui proses penguraian oleh mikroorganisme diuraikan
menjadi partikel detritus yang menjadi sumber makanan bagi bermacam hewan laut.
Upacara penghormatan terhadap laut merupakan kegiatan masyarakat yang berasal
dari nenek moyang pendahulu mereka. kegiatan ini memiliki nilai kearifan terhadap
pelestarian sumberdaya perikanan, dimana setelah melakukan upacara semah laut
masyarakat tidak boleh melaut, padahal selama itu wilayah tersebut akan
dimanfaatkan oleh berbagai jenis ikan yang sudah matang gonad untuk melakukan
pemijahan, setelah melakukan pemijahan beberapa hari kemudian telur menetas
menjadi larva.

Pada masa ini kondisi larva sangat rentan terhadap perubahan lingkungan salah
satunya disebabkan oleh kegiatan penangkapan. Karena tenangnya wilayah perairan
dari kegiatan penangkapan menyebabkan larva tumbuh menjadi benih yang lebih
kuat. Hal ini lah yang kemudian yang menjadikan semah laut memiliki nilai kearifan
lokal dalam pelestarian sumberdaya pesisir. akan tetapi upacara seperti ini saat
sekarang tidak lagi dilakukan secara bersama-sama, hanya dilakukan secara individu
dengan tujuan yang berbau mistis atau tahayul. Sehingga nilai kearifannya sudah
mengalami pemudaran. Menganggap wilayah tertentu sebagai wilayah keramat
makna yang dapat diambil bagi pelestarian sumberdaya pesisir adalah menciptakan
susana tenang dikawasan perairan sehingga memudahkan ikan-ikan melangsungkan
pemijahan, kemudian larva-larva ikan tersebut mudah berkembang menjadi benih.
Inilah nilai pelestarian sumberdaya pesisir yang terkandung terhadap adanya
pantangan dan larangan tersebut. Komitmen tidak menangkap dan membunuh lumba-
lumba. Diketahui bahwa jika disuatu kawasan perairan terdapat lumba-lumba dan
ikan berukuran besar di kawasan itu banyak terdapat ikan-ikan yang berukuran lebih
kecil, karena merupakan sumber makanan lumba-lumba dan ikan-ikan besar. Nilai
kearifannya adalah lumba-lumba merupakan petunjuk bahwa diperairan mereka
masih terdapat banyak ikan.

Menganggap tabu makan bertaburan dan membuang rimah/sampah atau tidak


sopan di laut. Makna yang diambil dari pantang larang ini adalah agar laut tidak
tercemar, sehingga berbagai aktifitas kehidupan hewan laut tidak terganggu. Jika
sampah berserakan di laut, akan mengganggu kualitas perairan, menghalangi
intensitas cahaya matahari yang masuk yang pada akhirnya menyebabkan kerusakan
ekosistem perairan. Komitmen tidak menggunakan songko bermesin dalam
mengumpulkan kerang Hal ini akan berkaitan dengan kelangsungan kehidupan
berbagai jenis kerang yang dimanfaatkan masyarakat. Cara kerja alat tangkap ini
dengan menggunakan mesin, hasil tangkapannya sangat banyak jika dibandingkan
dengan menggunakan alat tangkap tradisional yang mereka sebut tongkah, berbagai
jenis ukuran kerang tertangkap melalui alat tangkap ini, sehingga dapat merusak
sistem kehidupan kerang di wilayah pesisir. Menjaga hutan bakau yang berada di
kawasan pinggir pantai. nilai kearifan yang terkandung karena perairan di sekitar
bakau ini banyak terdapat udang, ikan dan berbagai jenis kerang. Maka oleh sebab
itu masyarakat Suku Laut memandang tabu melakukan penebangan pohon bakau atau
mangrove yang berada di tepi pantai.
Gelar Adat Suku Laut

Seiring dengan usaha membangkitkan kembali nilai-nilai pada masyarakat


Suku Laut serta harkat martabatnya, maka Lembaga Adat Budaya dan Bahasa Orang
Laut Indonesia menggali system gelar internal Suku Laut dan merancang Sistem
Gelar Eksternal Suku Laut yang berjasa bagi Orang Laut, adapun gelar tersebut
Sebagai berikut :System Gelar Adat Internal Suku Laut. Gelar ini diberikan Oleh
Lembaga Adat Budaya dan Bahasa Orang Laut Indonesia kepada orang – orang yang
memiliki kriteria tertentu, diantaranya sebagai berikut :

1. Laksemanu Mudu Belaje : Anak Oran Laut yang selesai D3-S3


2. Laksemanu Mudu Jagu : Anak Oran Laut yang menjaga budaya
3. Laksemanu Mudu Kaseh : Anak Oran Laut yang menolong tanpa
pamrih
4. Laksemanu Mudu Ato : Anak Oran Laut dipemerintahan tapi mengabdi
ke Oran Laut
5. Laksemanu Mudu Kumpol : Anak Oran Laut yang mampu menyatukan
segala Perbedaan.
6. Laksemanu Kualu Ditak : Anak Oran Laut 2 jasa
7. Laksemanu Kualu : Anak Oran Laut 3 jasa
8. Laksemanu Kualu Dolak : Anak Oran Laut 4 jasa
9. Laksemanu Kualu Gedang : Anak Oran Laut 5 jasa
10. Panglimu Dolak Ditak : Kepala Suku Tingkat Desa
11. Panglimu Dolak : Pemimpin Suku yang membawahi Kepala suku desa.
12. Panglimu Dolak Gedang : Wakil Presiden.
13. Panglimu Raju (PRj) : Memiliki Garis Darah Sri Bijawangsa/ Presiden.
14. SRI BIJAWANGSA : Memiliki Garis Darah Sri Bijawangsa
15. SULTAN DOLAK : Sri Bijawangsa yang telah selesai minimal SMA.
16. SULTAN DOLAK GEDANG : Pemimpin besar suku Oran Laut.
Sistem Gelar Adat External Suku Laut.

Gelar ini diberikan Oleh Lembaga Adat Budaya dan Bahasa Orang Laut
Indonesia kepada orang – orang yang memiliki kriteria tertentu, diantaranya sebagai
berikut : TBD Adalah Singkatan Dari Tok Budayu Dolak Yang Merupakan Gelar
Yang Diberikan Kepada Pejabat Pemerintah Yang Berjasa Dalam Mempromosikan
Dan Mensosialisasikan Budaya Orang Laut WDG Adalah Singkatan Dari Wak Dolak
Gedang Yang Merupakan Gelar Yang Diberikan Kepada Orang Yang Berjasa Dalam
Mendidik Dan Membina Anak Orang Laut Sehingga Mencapai Keberhasilan
Pendidikan Dan Karir.

PBD Adalah Singkatan Dari Pemike Budayu Dolak Yang Merupakan Gelar
Yang Diberikan Kepada Orang Yang Berjasa Dalam Meneliti Dan Atau Menulis
Tentang Orang Laut. CBD Adalah Singkatan Dari Cakup Budayu Dolak Yang
Merupakan Gelar Yang Diberikan Kepada Pihak Media Massa Yang Berjasa Dalam
Menginformasikan Tentang Orang Laut Kepada Khalayak Ramai.
ASG Adalah Singkatan Dari Anek Seni Gedang Yang Merupakan Gelar Yang
Diberikan Kepada Seniman Yang Berjasa Mengarransement Dan Atau Mengiringi
Lagu Secara Original Dalam Versi Bahasa Laut Asli. ASD Adalah Singkatan Dari
Anek Seni Dolak Yang Merupakan Gelar Yang Diberikan Kepada Seniman Yang
Berjasa Dalam Melestarikan Budaya Orang Laut Dalam Berbagai Bentuk Hasil Seni.
DJB Adalah Singkatan Dari Desin Jagu Budayu Yang Merupakan Sebuah Gelar
Yang Diberikan Kepada Tokoh Organisasi Yang Berjasa Dalam Melestarikan Budaya
Orang Laut.

Peta Keberadaan Suku Laut

Berikut adalah Peta Keberadaan Suku Laut Di Provinsi Riau, khususnya didaerah
Indragiri Hilir,
1. Kecamatan Concong
2. Desa Concong Luar
3. Desa Panglima Raja
4. Kecamatan Kuindra
5. Desa Sungai Bela
6. Desa Perigi Raja
7. Kecamatan Kateman
8. Desa Kuala Selat
9. Kecamatan Mandah
10. Desa Bekawan
11. Desa Belaras
12. Kecamatan Tanah Merah
13. Desa Sungai Laut
14. Tanah Merah
15. Tanjung Pasir/ Sungai Rumah
16. Kuala Enok
(https://oranglautindonesia.wordpress.com/tag/indragiri-hilir/) di akses pada hari
selasa 30 mei 2017 pukul 12:20 WIB

Anda mungkin juga menyukai