Anda di halaman 1dari 21

I.

PENDAHULUAN

Konjungtivitis gonore merupakan radang konjungtiva akut dan hebat yang


disertai dengan sekret purulen. Penyebab dari konjungtivitis gonore Neisseria
gonorrhoeae. Konjungtivitis gonore merupakan penyakit menular seksual yang
dapat ditularkan secara langsung dari transmisi genital-mata, kontak genital-
tangan-mata, atau transmisi ibu-neonatus selama persalinan (AAO, 2013; Ilyas,
2013).
Prevalensi infeksi gonokokus servikal pada perempuan di negara maju
umumnya kurang dari 1%, namun pada beberapa negara berkembang dapat
mencapai 22%. Bayi baru lahir dengan ibu penderita infeksi gonokokus yang
tidak mendapatkan profilaksis memiliki kemungkinan 30 – 47% menderita
konjungtivitis setelah persalinan per vaginam (Kreisel et al., 2016; Lee et al.,
2002).
Infeksi mata gonokokal dapat terjadi dalam dua bentuk yang berbeda,
yaitu pada neonatus dan pada orang dewasa dengan seksual aktif. Gambaran klinis
konjungtiva gonore pada dewasa hampir sama dengan konjungtiva gonore pada
bayi dan anak, tetapi mempunyai perbedaan, yaitu sekret purulen yang tidak
begitu kental (Ilyas, 2013).
Komplikasi yang dapat terjadi akibat konjungtivitis gonore apabila tidak
ditangani dengan baik diantaranya blefaritis, ulserasi, endoftalmitis, panoftalmitis,
infeksi dan parut pada kornea, hingga sepsis. Ulkus kornea terletak di marginal
terutama di bagian atas. Ulkus tersebut bisa mengakibatkan perforasi karena daya
lisis bakteri diplikok. Perforasi kornea mengakibatkan endoftalmitis dan
panoftalmitis sehingga bisa menimbulkan kebutaan total (Ilyas, 2013; McAnena,
2015). Oleh karena itu, referat ini bertujuan untuk membahas secara lengkap
mengenai konjungtivitis gonore mulai dari definisi, etiologi, penegakan diagnosis,
tatalaksana dan berbagai macam hal lainnya agar pengetahuan mengenai
konjungtivitis gonore menjadi lebih berkembang dan pada akhirnya dapat
menegakkan diagnosis sedini mungkin dan menghindari komplikasi.

1
II. TINJAUAN PUSTAKA

A. Anatomi dan Histologi Konjungtiva


Konjungtiva merupakan membran mukosa semitransparan yang
membungkus bagian depan bola mata, meluas dari limbus korneosklera ke tepi
palpebra dan caruncula. Total permukaan konjungtiva dan kornea pada orang
dewasa rata-rata 16 cm2 per mata (Harvey et al., 2013). Konjungtiva dapat
dibagi menjadi tiga bagian, yaitu:
1. Konjungtiva bulbaris
Melekat longgar ke septum orbital di fornices dan melipat berkali-
kali. Adanya lipatan ini memungkinkan bola mata untuk bergerak dan
memperbesar permukaan konjungtiva sekretorik. Konjungtiva bulbaris
melekat longgar pada kapsul tenon dan sklera dibawahnya, kecuali di
bagian limbus (Eva, 2009).
Secara histologi, terdiri dari lapisan epitel sekretori berlapis non
keratin, lamina propria, dan membran basalis dibawahnya. Konjungtiva
bulbaris di dominasi oleh epitel kolumner kompleks dengan sel goblet, sel
Langerhans, melanosit, dan limfosit di sekitarnya. Dalam konjungtiva
bulbaris normal, ketebalan epitel sekitar dua sampai enam lapisan sel. Sel
goblet yang mensekresi mukus mengisi 5-10% dari lapisan epitel
konjungtiva. Kepadatan tertinggi sel goblet ada pada konjungtiva bulbar
inferonasal dan tarsal. Membran basal epitel yang mendasarinya adalah
terdiri dari kolagen tipe IV. Substantia propria, terletak di bawah membran
basal epitel, merupakan jaringan ikat longgar yang bervaskularisasi. Suplai
darah dari konjungtiva bulbar berasal dari arteri siliaris anterior dan arteri
perifer tarsal palpebra. Arteri akhirnya beranastomosis di pleksus arteriol
dekat limbus. Mayoritas dari suplai darah untuk konjungtiva bulbar dekat
limbus berasal dari arteri siliaris anterior (Haq, 2013).
Vena konjungtiva bulbar dapat berdilatasi dan menonjol bersama
dengan vena episclera pada pasien dengan hipertensi pulmoner, fistula
carotis cavernosus, dan penyakit malformasi vaskular lainnya (Harvey et
al., 2013).

2
Aliran limfe dari konjungtiva bulbar bagian nasal bermuara di nodus
submandibular, sedangkan aliran limfe dari konjungtiva bulbar temporal
bermuara ke nodus preauricular. Cabang nervus trigeminus oftalmica
membawa serabut saraf sensorik untuk konjungtiva bulbar, sedangkan
saraf otonom mempersarafi pembuluh darah, kelenjar lakrimal aksesorius,
dan epitel (Harvey et al., 2013).
2. Konjungtiva forniks
Merupakan lipatan konjungtiva palpebra ke posterior pada tepi
superior dan inferior tarsus dan membungkus jaringan episklera, sehingga
letaknya diantara konjungtiva palpebra dan konjungtiva bulbaris.
Konjungtiva forniks superior dan inferior berlanjut ke kantus medial dan
lateral, membentuk cul de sac sirkuler. Konjungtiva forniks superolateral
terdapat muara kelenjar lakrimalis dan kelenjar lakrimal aksesorius
(Forrester et al., 2016).
Secara histologi, terdiri dari lapisan epitel sekretori berlapis dan
lamina propria dibawahnya. Lamina propia konjungtiva forniks
merupakan lapisan paling tebal, dan secara anatomi dibagi menjadi dua
bagian, yaitu lapisan limfoid di bagian superfisial dan lapisan fibrosa di
bagian profunda. Lapisan limfoid secara mikroskopik tersusun atas
jaringan ikat longgar dengan campuran sel limfosit (mayoritas limfosit T),
sel mast, sel plasma, dan neutrofil. Lapisan fibrosa terdiri dari pembuluh
darah, saraf, dan kelenjar Krause. Kelenjar krause merupakan salah satu
kelenjar lakrimal aksesorius yang bermuara di konjungtiva forniks, baik
superior maupun inferior, untuk membatu memproduksi komponen air
mata. Konjungtiva forniks juga membentuk dua struktur khusus yaitu plica
semilunaris dan karunkula. Plica vestibularis merupakan suatu membran
yang membentuk lipatan seperti bulan sabit pada medial forniks. Di
medial plica semilunar terdapat karunkula yang merupakan jaringan yang
mengandung struktur konjungtiva forniks dan struktur kutaneus, seperti
pilosebasea dan jaringan fibroadiposa. (Harvey et al., 2013).
Konjungtiva forniks superior melekat longgar pada permukaan
musculus levator palpebra superior dan muskulus rektus dan ikut bergerak

3
saat kontraksi otot-otot tersebut (Forrester et al., 2016). Otot ini yang
mempertahankan struktur cul de sac pada forniks superior, sedangkan cul
de sac ada forniks inferior baru dapat terlihat dengan eversi palpebra
inferior. Perfusi, inervasi, dan aliran limfatik konjungtiva forniks sama
seperti konjungtiva bulbaris (Harvey et al., 2013).
3. Konjungtiva palpebral
Konjungtiva palpebra melapisi permukaan posterior palpebra dan
melekat erat ke tarsus. Konjungtiva palpebra dibagi menjadi tiga bagian
yaitu marginal, tarsal, dan orbital. Konjungtiva palpebra marginal berjalan
dari perbatasan mukokutan hingga lekuk subtarsal, pada bagian ini terjadi
transisi epitel dari epitel kulit menjadi epitel konjungtiva. Konjungtiva
palpebra tarsal merupakan bagian sempit yang melekat erat pada tarsus
dan mengandung vaskularisasi, khususnya tarsus superior. Konjungtiva
palperba berisi kelenjar lakrimalis aksesorius, yaitu kelenjar Wolfring
yang terletak di dalam tarsus. (Harvey et al., 2013).

Gambar 2.1 Anatomi konjungtiva (Haq, 2013)

Selain itu, vaskularisasi yang terutama pada konjungtiva palpebra


terbentuk dari ujung cabang arteri oftalmika: arteri dorsalis, nasalis,
frontalis, supraorbital, dan lakrimalis. Vaskularisasi lainnya didapat dari
cabang arteri fasialis: arteri fasialis, superfisialis, temporalis, dan
infraorbital. Aliran vena dimulai dari vena post-tarsal dari palpebra,
cabang vena facialis anterior dan pleksus pterigoid. Aliran limfatik dari
konjungtiva palpebra terbagi dua, ke medial menuju nodus limfatikus

4
submandibula dan ke lateral menuju nodus limfatikus preauricular.
Persarafan konjungtiva palpebra hampir sama dengan konjungtiva bulbaris
dan forniks, yaitu utamanya dipersarafi oleh nervus trigeminus (Harvey et
al., 2013).

Gambar 2.2 Vaskularisasi konjungtiva (Lang, 2006)

Gambar 2.3 Inervasi konjungtiva (Lang, 2006)

Gambar 2.4 Histologi konjungtiva (Lang, 2006)

B. Fisiologi Konjungtiva
Fungsi dari konjungtiva adalah memproduksi air mata, menyediakan
kebutuhan oksigen ke kornea ketika mata sedang terbuka dan melindungi mata

5
dengan mekanisme pertahanan nonspesifik yang berupa barier epitel, aktivitas
lakrimasi, dan menyuplai darah. Selain itu, terdapat pertahanan spesifik
berupa mekanisme imunologis seperti sel mast, leukosit, adanya jaringan
limfoid pada mukosa tersebut dan antibodi dalam bentuk IgA (Harvey et al.,
2011).
Kontribusi konjungtiva dalam pembuatan air mata yaitu menghasilkan
musin hidrofilik. Musin mengandung protein glycosylated yang dapat
membantu air mata agar dapat kontak dengan epitel sehingga epitel dapat
terjaga. Musin tersebut memiliki beberapa fungsi seperti sebagai lubrikasi,
menghambat aktivitas mikroba, dan membersihkan allergen, pathogen, dan
debris. Kombinasi fungsi musin dengan air mata, sistem limfa, dan sistem
imunologi akan mempertahankan kesehatan yang optimal dari mata. Air mata
mengandung beberapa protein antinikroba seperti lisozim, immunoglobulin
dan laktoferin. Lisozim melawan bakteri gram positif dengan melisiskan
dinding sel bakteri. Immunoglobulin yaitu IgG akan menetralisir virus dan
melisiskan bakteri. Lactoferrin memiliki sifat bakteriosidal dan bakteriostatik
(Harvey et al., 2011).
Konjungtiva memiliki pertahanan non spesifik seperti epitel yang
mencegah invasi dari pathogen dan mekanisme mengedipkan kelopak mata
untuk mengeluarkan pathogen atau benda asing. Pertahanan spesifik berupa
mekanisme imunologis seperti sel mast, leukosit, adanya jaringan limfoid
pada mukosa tersebut dan antibodi dalam bentuk IgA. IgA merupakan
mediator sistem imun humoral utama. IgA dapat melindungi lapisan mukosa
dengan mencegah bakteri melekat pada epitel mukosa, mencegah perlekatan
antigen, serta dapat menetralisir virus (Harvey et al., 2011).

C. Definisi
Konjungtivitis gonore adalah radang konjungtiva akut dan hebat yang
disertai dengan sekret purulen (Ilyas, 2013). Penyakit ini ditandai dengan
peradangan pada kelopak mata, bengkak, nyeri saat dipalpasi, dan terdapat
adenopati preaurikuler (Azari, 2013). Kejadian tersering pada neonatus,
remaja muda, dan dewasa yang aktif seksual. Penularan konjungtivitis gonore

6
yaitu secara langsung dari transmisi genital-mata, kontak genital-tangan-mata,
atau transmisi ibu-neonatus selama persalinan (Ilyas, 2013).

D. Etiologi
Konjungtivis gonore disebabkan oleh kuman Neisseria gonorrhoeae.
Gonokokus merupakan kuman yang sangat patogen, virulen, dan bersifat
invasif sehingga reaksi radang terhadap kuman ini sangat berat. Secara umum
ciri Neisseriae adalah bakteri gram negatif, diplokokus non motil, berdiameter
mendekati 0,8 μm. Masing-masing cocci berbentuk ginjal. Ketika organisme
berpasangan sisi yang cekung akan berdekatan (Liesegang et al., 2007).

Gambar 2.5 Neisseria gonorrhoeae (Liesegang et al., 2007)

E. Epidemiologi
Konjungtivitis gonore merupakan penyakit yang jarang terjadi, kecuali
pada bayi baru lahir. Selama tahun 2010 – 2015, prevalensi wanita hamil
dengan infeksi gonore di Amerika Serikat sebesar < 1%. Bayi dari ibu yang
menderita infeksi gonore 30 – 50% menderita konjungtivitis, penularannya
meningkat hingga 68% apabila ibu juga terinfeksi bakteri klamidia. Angka
kejadian konjungtivitis gonore pada anak < 1 tahun di Amerika Serikat adalah
≤ 0.25 kasus per 100.000 kelahiran per tahun (Kreisel et al., 2016).
Konjungtivitis gonore pada dewasa sangat jarang terjadi, namun
kasusnya meningkat seiring dengan meningkatnya angka infeksi menular
seksual pada saluran kemih dan perubahan pola hubungan seksual seperti
hubungan seksual oral tanpa menggunakan kondom (Smith et al., 2016).

7
F. Patogenesis
Perjalanan penyakit pada orang dewasa secara umum, terdiri atas tiga
stadium, yaitu stadium infiltratif, stadium supuratif atau purulenta dan stadium
konvalesen (penyembuhan) (Ilyas, 2013):
1. Stadium infiltratif
Berlangsung 3–4 hari, ditemukan kelopak dan konjungtiva yang
kaku disertai rasa sakit pada perabaan. Kelopak mata membengkak dan
kaku sehingga sukar dibuka. Terdapat pseudomembran pada konjungtiva
tarsal superior sedang konjungtiva bulbi merah, kemotik, dan menebal.
Stadium infiltratif pada orang dewasa ditandai dengan selaput konjungtiva
lebih bengkak dan lebih menonjol, perasaan sakit pada mata yang dapat
disertai dengan tanda-tanda infeksi umum. Menyerang satu mata terlebih
dahulu dan biasanya kelainan ini pada laki-laki didahului pada mata
kanannya.
2. Stadium supuratif atau purulenta
Berlangsung 2-3 minggu. Gejala-gejala tidak begitu hebat lagi.
Palpebra masih bengkak, hiperemis, tetapi tidak begitu tegang.
Blefarospasme masih ada. Sekret campur darah, keluar terus menerus.
Pada bayi biasanya mengenai kedua mata dengan dengan sekret kuning
kental, terdapat pseudomembran yang merupakan kondensi fibrin pada
permukaan konjungtiva. Kalau palpebra dibuka, yang khas adalah sekret
akan keluar dengan mendadak. Oleh karena itu harus hati-hati bila
membuka palpebra, jangan sampai sekret mengenai mata pemeriksa.
3. Stadium konvalesen
Berlangsung 2-3 minggu. Gejala-gejala tidak begitu hebat lagi.
Palpebra sedikit bengkak, konjungtiva palpebra hiperemis, tidak infiltratif.
Konjungtiva bulbi terdapat injeksi konjungtiva masih nyata, tidak kemotik.
Sekret jauh berkurang.
Patologi konjungtivitis neonatal dipengaruhi oleh anatomi jaringan
konjungtiva pada bayi baru lahir. Peradangan konjungtiva dapat menyebabkan
pelebaran pembuluh darah, berpotensi terjadinya kemosis, dan sekresi
berlebihan. Infeksi ini cenderung lebih serius pada neonatus karena kurangnya

8
kekebalan, tidak adanya jaringan limfoid di konjungtiva, dan tidak adanya air
mata saat lahir (McCourt, 2016).
Neisseria gonorrhoeae menampakkan beberapa tipe morfologi dari
koloninya, tetapi hanya bakteri berpili yang tampak virulen. Gonococci
menyerang membran selaput lendir dari saluran genitourinaria, mata, rektum
dan tenggorokan, menghasilkan nanah yang akut yang mengarah ke invaginasi
jaringan, hal yang diikuti dengan inflamasi kronis dan fibrosis. Iritasi apapun
pada mata dapat menyebabkan pembuluh darah di konjungtiva berdilatasi.
Iritasi yang terjadi ketika mata terinfeksi menyebabkan mata memproduksi
lebih banyak air mata. Sel darah putih dan mukus yang tampak di konjungtiva
ini terlihat sebagai discharge yang tebal kuning kehijauan (Ernawati, 2010;
McCourt, 2016).

G. Manifestasi Klinis
Gejala dan tanda yang muncul pada konjungtivitis gonore diantaranya
yaitu (Azari dan Neal, 2013):
1. Fotofobia
2. Edema palpebra bilateral
3. Kemosis konjungtiva
4. Nyeri pada mata
5. Sekret awalnya serosanguis kemudian menjadi tebal dan purulen dan
mungkin dapat mengandung darah. Sekret tersebut sangat profuse
6. Infeksi dapat menyebar jika terlambat dalam pengobatan dan
menyebabkan komplikasi seperti ulserasi kornea dan perforasi,
iridosiklitis, dan panoftalmitis.
7. Pengurangan ketajaman penglihatan
8. Mata kemerahan/hiperemis konjungtiva
9. Adenopati preaurikuler

9
Gambar 2.5 Sekret purulen profuse pada pasien konjungtivitis gonore
(Hammerschlag, 2011)
Konjungtivitis gonore pada bayi dan anak ditemukan kelainan bilateral
dengan sekret kuning kental, sekret dapat bersifat serous namun kemudian
menjadi kuning kental dan purulen. Kelopak mata membengkak dan akhirnya
sulit dibuka serta terdapat pseudomembran pada konjungtiva tarsal. Gambaran
lain yakni konjungtiva bulbi hiperemis, kemotik, dan tebal (Ilyas, 2013).
Konjungtivitis gonore pada orang dewasa sekret purulen tidak begitu
kental berbeda pada neonatrum. Selaput konjungtiva terkena lebih berat dan
menjadi lebih menonjol, tampak berupa hipertrofi papiler yang besar.
Konjungtiva bulbi superior paling sering mengalami infeksi karena pada
konjungtiva bulbi superior tertutup oleh palpebra dan suhunya sama dengan
suhu tubuh yang mengakibatkan bakteri akan lebih mudah berkembang biak.
Durasi penyakit ini pada orang dewasa infeksi dapat terjadi berminggu-
minggu (Ilyas, 2013).

H. Penegakkan Diagnosis
Diagnosis yang spesifik mampu mengurangi komplikasi, reinfeksi, dan
transmisi. Diagnosis mikrobiologi spesifik dari infeksi N. gonorrhoeae
seharusnya dilakukan pada semua orang dengan risiko atau diduga memiliki
gonore. Penegakkan diagnosis konjungtivitis ditegakkan berdasarkan hasil
anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang (Azari dan Neal,
2013):
1. Anamnesis
a. Kemerahan pada mata

10
b. Gatal pada mata
c. Keluar cairan mata berwarna kuning atau seperti nanah, biasanya
keluar saat bangun tidur di pagi hari
d. Susah membuka mata karena antar kelopak mata lengket
e. Nyeri pada mata dan kelopak mata
f. Sensasi seperti ada benda asing di dalam mata (sand like particles)
g. Penglihatan yang menurun
h. Bengkak dan nyeri pada bagian depan telinga
Konjungtivitis gonore pada dewasa sering disertai dengan infeksi
gonore pada alat kelaminnya. Gejalanya yaitu sebagai berikut:
a. Nyeri pada alat kelamin saat buang air kecil bisa disertai dengan rasa
seperti terbakar (burning sensation) atau seperti terkena duri (stinging
pain)
b. Pada perempuan, mempunyai keluhan atau riwayat gangguan sistem
reproduktif seperti penyakit inflamasi pada pelvic, inflamasi pada
uretra atau vagina.
2. Pemeriksaan Fisik
a. Hiperemis konjungtiva
b. Edema palpebra bilateral
c. Nyeri tekan bola mata pada saat dipalpasi
d. Kemosis konjungtiva
e. Fotofobia
f. Penurunan visus
g. Adenopati preaurikuler
3. Pemeriksaan penunjang
a. Pewarnaan Gram
Pewarnaan gram memungkinkan visualisasi langsung N.
gonorrhoeae dan terlihat sebagai diplokokus gram negatif monomorfik
dalam leukosit polimorfonuklear. Pewarnaan gram memiliki sensitivitas
90-95%. Hasil pewarnaan gram menunjukkan bakteri gram negatif yang
berwarna merah atau secara epidemiologi berhubungan dengan kasus

11
yang terkonfirmasi dalam 1 minggu dan muncul pada lingkungan yang
sama (Bignell dan FitzGerald, 2011; CDC, 2015).

Gambar 2.6 Pewarnaan gram dari sekret purulen dari N. gonorrhea


(Tappe et al., 2013)

b. Kultur
Sampai saat ini kultur masih merupakan metode yang
direkomendasikan dalam penegakkan diagnosis pada konjungtivitis
gonore (Bignell dan FitzGerald, 2011). Lempeng agar modifikasi
Thayer-Martin yang telah diinokulasi harus diinkubasi pada suhu 35oC
dalam udara lembab yang diperkaya dengan karbon dioksida (stoples
lilin), dan harus diobservasi tiap hari selama 2 hari. Laboratorium
yang mengerjakan sejumlah besar spesimen untuk N. gonorrhoeae
sering kali lebih suka menggunakan agar coklat non-selektif yang
diperkaya dengan Iso vitalex, atau suplemen yang setara. Koloni
gonokokus mungkin masih belum tampak setelah 24 jam. Koloni
tersebut timbul setelah 48 jam sebagai koloni kelabu sampai putih,
opak, menonjol, dan berkilau, dengan ukuran dan morfologi yang
berbeda (Vandepitte et al., 2003).

Gambar 2.7 Kultur N. Gonorrheae (Vandepitte et al., 2003)

12
c. Tes Oksidase
Neisseriae paling baik tumbuh pada kondisi aerob. Mereka
membutuhkan syarat pertumbuhan yang kompleks. Neisseria
menghasilkan oksidase dan memberikan reaksi oksidase positif, tes
oksidase merupakan kunci dalam mengidentifikasi mereka. Ketika
bakteri terlihat pada kertas filter yang telah direndam dengan
tetrametil parafenilenediamin hidroklorida (oksidase), neisseria akan
dengan cepat berubah warna menjadi ungu tua (Liesegang et al.,
2007).

Gambar 2.8 Tes Oksidase N. Gonorrheae (Liesegang et al., 2007)


d. Tes amplifikasi asam nukleat (Nucleic acid amplification
test/NAATs)
Tes NAATs lebih sensitif dibandingkan dengan kultur dengan
presentase sensitivitas > 96% baik pada infeksi simptomatik
maupun asimptomatik (Bignell dan FitzGerald, 2011).
e. Uji resistensi
Isolat N. gonorrheae harus diskrining secara rutin untuk
melihat produksi R-laktamase dengan salah satu dari uji-uji yang
disarankan, seperti uji nitrocefin. Untuk uji nitrocefin, dibuat
suspensi pekat dari beberapa koloni dalam tabung kecil berisi 0,2
ml larutan saline, kemudian 0,025 ml nitrocefin ditambahkan ke
dalam suspensi dan dicampur selama satu menit. Perubahan
wama yang cepat dari kuning menjadi merah muda atau merah,
menunjukkan bahwa jalur tersebut menghasilkan R-laktamase
(Lee et al., 2002).

13
I. Diagnosis Banding
1. Konjungtivitis mukopurulen (katarhal) akut
Konjungtivitis mukopurulen (katarhal) akut sering terdapat dalam
bentuk epidemik dan disebut "mata merah (pink eye)" oleh kebanyakan
orang awam. Penyakit ini ditandai dengan hiperemia konjungtiva akut dan
sekret mukopurulen berjumlah sedang. Penyebab paling umum adalah
Streptococcus pneumoniae pada iklim sedang dan Haemophilus aegyptius
pada iklim tropis. Penyebab yang kurang umum adalah stafilokokus dan
streptokokus lain. Konjungtivitis yang disebabkan oleh S. pneumoniae dan
H. aegyptius dapat disertai perdarahan subkonjungtiva (Garcia-Ferrer et
al., 2007).
2. Konjungtivitis bakterial kronik
Konjungtivitis bakteri kronik terjadi pada pasien dengan obstruksi
duktus nasolacrimalis dan dakriosistitis kronik, yang biasanya unilateral.
Infeksi ini juga bisa menyertai blefaritis bakterial kronik atau disfungsi
kelenjar Meibom. Pasien dengan floppy lid syndrome atau ektropion dapat
terkena konjungtivitis bakterial sekunder kronik. Konjungtivitis bakterial
kronik dapat disebabkan oleh Corynebacterium diphtheriae dan
Streptococcus pyogenes walaupun jarang. Pseudomembran atau membran
yang dihasilkan oleh organisme ini dapat terbentuk pada konjungtiva
palpebralis (Garcia-Ferrer et al., 2007).

J. Penatalaksanaan
Berdasarkan penelitian yang diterbitkan tahun 1989 mengenai
pengobatan konjungtivitis gonore pada orang dewasa, semua responden
berespon baik terhadap pemberian injeksi ceftriaxon 1 gr IM secara dosis
tunggal. Selanjutkan akibat berkembangnya resistensi antimikroba secara
cepat maka saat ini pengobatan bagi konjungtivitis gonore menggunakan dua
antimikroba yang memiliki perbedaan mekanisme kerja untuk meningkatkan
efikasi dan memperlambat muncul dan berkembangnya resistensi terhadap
sefalosporin. Dua obat yang dianjurkan dalam pengobatan konjungtivitis
gonore saat ini adalah antibiotik golongan sefalosporin dan azitromicin.

14
Rekomendasi regimen yang diberikan yakni ceftriaxon 1 gr IM dosis tunggal
ditambah azitromicin 1 gr oral dosis tunggal. Selain itu lakukan bilas mata
dengan menggunakan larutan salin (CDC, 2015).
Penatalaksanaan konjungtivitis gonore pada bayi adalah sebagai berikut
(CDC, 2015) :
1. Lakukan pemeriksaan dan pembersihan mata bagi semua kasus yang
dicurigai.
2. Berikan langsung 50 mg/kgBB ceftriaxon IM dengan maksimal dosis 125
mg
3. Rujuk langsung ke rumah sakit bagi ibu dan bayi
4. Jika diagnosis dipastikan konjungtivitis gonore, lakukan pemeriksaan dan
tatalaksana gonore bagi ibu dan pasangan seksual
Dual terapi bagi N. gonorrhoeae dan Chlamydia trachomatis sangat
dianjurkan. Hal tersebut dikarenakan 30% kasus N. gonorrhoeae diikuti
infeksi C. Trachomatis. Terapi konjungtivitis gonore pada dewasa yaitu
dengan diberikan ceftriakson 250 mg IM single dose dan azitromicin 1 gram
oral single dose atau doksisiklin 100 mg oral 2 kali per hari selama 7 hari
(Azari dan Neal, 2013).
Konjungtivitis gonore pada anak-anak (usia kurang dari 18 tahun)
dengan berat badan kurang dari 45 kg yaitu dengan ceftriakson 125 mg IM
single dose atau spectinomicin 40 mg/kg IM single dose (maksimal dosis 2
gram). Sedangkan untuk anak-anak dengan berat badan lebih dari 45 kg
terapinya sama seperti dewasa (Azari dan Neal, 2013).
Konjungtivitis gonore pada neonatus diterapi dengan ceftriaxon 25-
50mg/kg IV atau IM single dose, tidak melebihi 125 mg. Irigasi dengan
larutan salin dilakukan hingga discharge purulen bersih (Azari dan Neal,
2013).

K. Komplikasi
Komplikasi yang dapat terjadi adalah ulkus kornea, yang dimulai dengan
infiltrat kemudian menjadi ulkus. Dapat terjadi pada stadium infiltratif atau
supuratif, di mana terdapat blefarospasme dengan pembentukan sekret yang

15
banyak. Kuman gonokok mempunyai enzim proteolitik yang merusak kornea
dan hidup secara intraseluler, sehingga dapat menimbulkan keratitis. Selain
itu, perforasi kornea mengakibatkan infeksi dalam bola mata (endoftalmitis)
dan radang isi orbita (panoftalmitis) sehingga bisa berujung kepada kebutaan.
Bila infeksi gonokokal terjadi pada bayi baru lahir, komplikasi dapat terjadi
secara sistemik, seperti stomatitis, arthritis, rhinitis, septikemia dan meningitis
(Premsenthil et al., 2008).

L. Prognosis
Konjungtivitis bakteri akut hampir selalu sembuh sendiri, kecuali pada
konjungtivitis gonore. Komplikasi yang dapat terjadi jika konjungtivitis
gonore tidak diobati adalah perforasi kornea dan endoftalmitis. Antibiotik
telah secara signifikan mengubah prognosis konjungtivitis neonatal, terutama
dengan infeksi Neisseria gonorrhoeae. Namun, diperlukan isolasi organisme
gonokokal untuk menegakkan diagnosis dan riwayat pengobatan antibiotik
parenteral sebelumnya, karena prognosis konjungtivitis gonore berhubungan
dengan tingkat keparahan penyakit pada awal terapi (Lee, et al., 2002;
Schwab, et al., 2009).

M. Pencegahan
Profilaksis mata neonatus dengan preparat AgNO3, eritromicin topical,
atau salep tetrasiklin efektif untuk mencegah konjungtivitis gonore. Namun,
saat ini di Amerika Serikat hanya boleh menggunakan salep eritromisin
sebagai profilaksis konjungtivitis gonore. Salep mata tetrasiklin dan preparat
AgNO3 tidak lagi direkomendasikan untuk profilaksis konjungtivitis gonore
(Hammerschlag, 2011).
Selain penggunaan obat-obatan tersebut, hal yang paling penting adalah
edukasi pasien dan keluarganya mengenai pentingnya menjaga higienitas.
Individu yang terinfeksi dianjurkan untuk sering mencuci tangan dengan
sabun dan air. Penggunaan handuk dilakukan secara terpisah serta hindari
kontak erat dengan orang lain selama periode penularan. Mencegah kontak

16
dengan orang lain juga penting bagi individu dengan profesi yang berisiko
tinggi tertular seperti tenaga medis (Feder et al., 2013).
Pasien yang berisiko dan orang-orang yang berada pada area prevalensi
tinggi dianjurkan untuk menjalani tes skrining rutin bagi Sexual Transmitted
Infection (STI). Rekomendasi yang dianjurkan pada skrining rutin gonore
yaitu pada semua wanita yang aktif secara seksual dan berisiko tinggi
terinfeksi, termasuk selama hamil. Skrining rutin gonore dan penyakit STI lain
yang dapat disembuhkan seharusnya dilakukan minimal 1x/tahun pada pasien
yang aktif secara seksual dengan infeksi HIV. CDC merekomendasikan pria
homoseksual untuk melakukan skrining 1x/tahun bagi gonore uretral, rectal
dan faring terutama bagi mereka yang melakukan seks oral (CDC, 2015).

17
III. KESIMPULAN

1. Konjungtivitis gonore adalah radang konjungtiva akut dan hebat yang disertai
dengan sekret purulen
2. Penyebab konjungtivitis gonore oleh Neisseria gonorrhoeae. Penularan
melalui transmisi genital-mata, kontak genital-tangan-mata, atau transmisi ibu-
neonatus selama persalinan
3. Prevalensi konjungtivitis gonore pada bayi dari ibu dengan infeksi gonore
yaitu 30%-50%. Kejadiannya akan meningkat jika disertai dengan infeksi
chlamydia
4. Patogenesis konjungtivitis gonore meliputi stadium infiltratif, supuratif atau
purulent, dan konvalensen
5. Manifestasi klinis berupa fotofobia, tanda radang palpebral, sekret, penurunan
visus, dan adenopati preaurikuler
6. Penegakkan diagnosis konjungtivitis gonore ditegakkan berdasarkan hasil
anamnesis, pemeriksaan, dan pemeriksaan penunjang (pewarnaan gram, kultur
bakteri, uji NAATs, dan uji resistensi)
7. Diagnosis banding konjungtivitis gonore diantaranya konjungtivitis
mukopurulen (katarhal) akut, dan konjungtivitis bakterial kronik
8. Prinsip penatalaksanaan konjungtivitis gonore adalah pemberian antibiotik
yang adekuat serta irigasi mata dengan larutan salin/air.
9. Komplikasi yang mungkin terjadi yaitu perforasi kornea, endoftalmmitis,
panoftalmitis hingga kebutaan
10. Prognosis konjungtivitis lebih baik pada pasien yang mendapat terapi
antibiotik secara optimal. Prognosis dipengaruhi oleh keadaan awal pasien
sebelum mendapat terapi
11. Tindakan preventif guna mencegah konjungtivitis gonore yaitu terapi
profilaksis, menjaga higienisitas, dan skrining pada orang-orang dengan risiko
tinggi.

18
DAFTAR PUSTAKA

American Academy of Ofthalmology (AAO). 2013. Practicing Opthalmilogist


Curriculum, Cornea/External Diseases. The Eye MD Associattion.

Azari, A., Neal, P., Barney M.D. 2013. Conjunctivitis A Systematic Review of
Diagnosis and Treatment. Journal of American Medical Assosiation, vol
310 (16): 1721-1729.

Bignell C. dan M. FitzGerald. 2011. UK National Guideline for the Management


of Gonorrhoea in Adults, 2011. International Journal of STD & AIDS, vo.
22: 541-547.

Centre For Disease Control Northern Territory. 2015. Guidelines for the Control
of Gonococcal Conjunctivitis in the Northern Territory. Casuarina :
Northern territory govermnet department of health anda Community
services.

Ernawati. 2010. Uretritis Gonore, Surabaya: Fakultas Kedokteran Universitas


Wijaya Kusuma Surabaya.

Feder, R., Stephen D., Esesn K., et al. 2013. Conjunctivitis. Amerika : American
Academy of Ophthalmology.

Forrester, J.V., A.D. Dick, P.G. McMenamin, F. Roberts, dan E. Pearlman. 2016.
The Eye, Basic Science in Practice. Toronto: Elsevier.

Garcia-Ferrer, F.J., Schwab, I.R., Shetlar, D.J. 2007. Konjungtiva. Dalam:


Vaughan & Asbury Oftalmologi Umum Edisi 17. Jakarta: EGC.

Hammerschlag, M. 2011. Chlamydial and Gonococcal Infections in Infants and


Children. Clinical Infectious Diseases, vol 53 (3): 99-102.

Haq, A., Haseebullah W., dan Narbeh K. 2013. Infective Conjunctivitis – Its
Pathogenesis, Management and Complications. Inggris : Intech.

Haq A., Wardak, H., Kraskian N. 2013. Infective Conjunctivitis – Its


Pathogenesis, Management and Complications. Open Science. 21-43.

Harvey, T.M., A.G.A. Fernandez, R. Patel, D. Goldman, dan J. Ciralsky. 2013.


Conjunctival Anatomy and Physiology in Ocular Surface Disease: Cornea,
Conjunctiva, and Tear Film. London: Elsevier Saunders.

Ilyas S., Yulianti 2013. Ilmu Penyakit Mata. Jakarta: Badan Penerbit Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia.

19
Kreisel, K., E. Weston, J. Braxton, E. Llata, dan E. Torrone. 2017. Keeping an
Eye on Chlamydia and Gonorrhoeae Conjunctivitis in the United States,
2010-2015. Dapat diakses di
https://cdc.confex.com/cdc/std2016/videogateway.cgi/id/13156?recordingid
=13156 [Diakses 2 Febuari 2018].

Lee, J. et al. 2002. Gonococcal keratoconjunctivitis in adults, Korea: The


Department of Ophthalmology College of Medicine, Pusan National
University.

Liesegang TJ, Skuta GL, Cantor LB, editors. Dalam : External Disease and
Corneal, Section 8. 2007-2008. Infectious Disease of the External Eyes:
Basic Concepts. American Academy of Ophthalmology. San Francisco.
p:113-36.

Mayor, M., Michelle A., dan Kelechi A. 2012. Diagnosis and Management of
Gonococcal Infections. American Family Physician, vol. 86 (10): 931-938.

McAnena, L., Knowles, S.J., Curry, A., Cassidy L. 2015. Prevalence of


Gonococca conjunctivitis in adults and neonates. Department of
Ophthalmology, Royal Victoria Eye and Ear Hospital, Dublin, Ireland. 875-
880.

McCourt, E. A. 2016. Neonatal Conjunctivitis. [Online]


Available at: http://emedicine.medscape.com/article/1192190-
overview?pa=GFbVA3FsNLC0e3S5HcuDTDIocVLoBH8GyBjMBnPS1Fg
Q%2B%2BhrDOExhga%2BRP1PlBBWZR74vM99DbP8xlfxTKb52Mfkq9
g2DPn5sb65MIOIqA4%3D [Diakses 2 Febuari 2018].

Northern Territory. 2005. Guidelines For The Control Of Gonococcal


Conjunctivitis In The Northern Territory. Centre For Disease Control.

Premsenthil, M. et al. 2008. Neonatal Conjunctivitis – A Review. Malaysian


Family Physician, 3(2), pp. 77-81.

Schwab, I. R., Ferrer, F. J. G. & Shetlar, D. J. 2009. Konjungtiva. Dalam:


Oftalmologi Umum. 17th penyunt. Jakarta: Widya Medika.

Smith, A.J.B., S.B. Holzman, R.S. Manesh, dan T.M. Perl. 2016. Goniococcal
Conjunctivitis: A Case Report of an Unusual Mode of Transmission.
Journal of Pediatric and Adolescent Gynecology, doi:
10.1016/j.jpag.2016.11.003.

Tappe, D., Andreas M., Benedikt W., Jorg S., et al. 2013. Severe Conjunctivitis
Due to Multidrug-Resistant Neisseria gonorrhoeae and Adenovirus 53

20
Coinfection in a Traveler Returning From Thailand. Journal of Travel
Medicine, vol 20 (6) : 403-406.

Vandepitte, J., Verhaegen J., Engbaek K., Rohner P., Piot P., et al. 2003.
Prosedur Laboratorium Dasar untuk Bakteriologi Klinis Edisi 2. Jakarta :
EGC.

21

Anda mungkin juga menyukai