Disusun oleh :
Halida Hasyati Aima 13711056
Fakultas Kedokteran
Universitas Islam Indonesia
2017
LEMBAR PENGESAHAN
Referat
Disetujui pada :
Tanggal : Desember 2017
Tempat : RSUD dr. Soehadi Prijonegoro Sragen
Mengetahui,
Dokter Pembimbing Klinik
Penulis
BAB 1
PENDAHULUAN
2.1 Definisi
Osteokondroma merupakan tumor jinak tulang yang ditandai dengan
penonjolan tulang yang berbatas tegas sebagai eksostosis yang muncul dari
metafisis, penonjolan tulang ini ditutupi oleh kartilago hialin. Komponen tumor
ini terdiri dari sel tulang (osteofit) dan tulang rawan (kondrosit).
2.2 Klasifikasi
Osteokondroma dibedakan menjadi dua menurut bentuknya, yaitu soliter
dan multipel. Osteokondroma yang berbentuk multipel bersifat herediter
(autosomal dominan). Bentuk ini akan berhenti tumbuh dan mengalami proses
penulangan setelah dewasa, oleh karena itu eksostosis multipel ini tidak lagi
disebut sebagai neoplasma. Namun, lesi multipel juga dapat berkembang pada
individu dengan predisposisi genetik. Osteokondroma yang berbentuk soliter akan
tumbuh terus walaupun penderita telah dewasa dan jenis ini dianggap sebagai
neoplasma.
Berdasarkan tipenya, osteokondroma dibedakan menjadi dua yaitu tipe
bertangkai (pedunculated) dan tipe tidak bertangkai (sesile). Tulang panjang yang
terkena biasanya tipe bertangkai, sedangkan di pelvis biasanya tipe sesile.
2.2.1 Osteokondroma Soliter
Angka kejadian osteokondroma soliter mencapai 10% dari semua tumor
tulang, diantaranya 35% (20-50%) dari tumor tulang jinak. Pada pasien
osteokondroma, sebanyak 85% individu diidentifikasi mengalami bentuk soliter.
Eksostosis ini paling sering dikenali selama masa kanak-kanak atau remaja.
Beberapa laporan menyebutkan bahwa jumlah anak laki-laki yang mengalami
bentuk ini sedikit lebih banyak dari anak perempuan, namun hal tesebut tidak
cukup berarti untuk menunjukkan bahwa gender laki-laki memiliki risiko lebih
besar untuk mengidap penyakit ini (De Souza dan Junior, 2014).
Pada umumnya osteokondroma mengenai tulang panjang, seperti ujung
distal os femur, ujung proksimal os tibia dan os humerus. Pada kasus langka dapat
mengenai tulang tangan dan kaki, skapula, panggul, tulang belakang, tulang rusuk
dan tempat jarang lagi seperti sendi temporomandibular atau jaringan lunak
sekitar lutut. Secara teori, osteokondroma dapat timbul dimanapun pada tulang
yang berkembang dari endokondral ossification. Sebagian besar manifestasi yang
ditimbulkan adalah lesi asimtomatik dan ditemukan secara kebetulan, namun
apabila lesi muncul dengan gejala, tanda yang paling umum adalah perkembangan
massa yang tumbuh secara lambat (P Canete, D.M., et al, 2013).
2.2.2 Osteokondroma Multipel
Angka kejadian osteokondroma multipel adalah 1: 50.000 individu. Pada
pasien osteokondroma, sebanyak 15% individu diidentifikasi mengalami bentuk
multipel. Lesi pada ostekondroma bentuk multipel cenderung berukuran besar dan
tidak bertangkai yang dibungkus dengan tulang rawan yang banyak (De Souza
dan Junior, 2014).
Salah satu bentuk osteokondroma multipel yang terjadi adalah eksostosis
herediter multipel. Ini adalah sindrom yang ditandai dengan perkembangan dari
beberapa osteokondroma dan menunjukkan pola genetik dominan autosomal.
Manifestasi klinis dan komplikasi yang ditimbulkan bentuk ini sebagian besar
sama dengan lesi soliter (P Canete, D.M., et al, 2013).
Pada tulang planar (tulang panggul dan skapula) dan tulang yang tidak
teratur (vertebra), kesinambungan lesi dengan tulang tidak dapat dilihat dengan
foto polos saja (Gambar 4). Hal ini disebabkan selubung lesi yang berupa tulang
rawan seringkali tidak terlihat dalam pemeriksaan ini, karena densitasnya serupa
dengan jaringan lunak sekitarnya (De Souza dan Junior, 2014). Pada kasus yang
meragukan seperti ini, pemeriksaan dengan CT-Scan dapat membantu dalam
penegakan diagnosis.
Gambar 4. Tampak hubungan lesi dengan tulang yang berdekatan (A), tidak
begitu jelas lesi osteokondroma pada tulang yang berdekatan (B)
Sumber : De Souza dan Junior (2014)
Foto polos tidak hanya dapat dimanfaatkan dalam upaya penegakan
diagnosis, namun juga berguna dalam deteksi transformasi osteokondroma ke arah
keganasan. Hal ini diringkas oleh Rawavathu, et al (2015) pada tabel 1.
Tebal dan ukuran kartilago yang membungkus > 2 cm
Terjadi pengembangan massa jaringan lunak dengan/tanpa kalsifikasi jaringan
lunak
Kalsifikasi jaringan lunak yang terbungkus kartilago
Kerusakan tulang
Perubahan bentuk
Tabel 1. Ciri radiologis pada transformasi ke arah keganasan
Sumber : Rawavathu, K. V. M., et al (2015)
2.5.2 CT-Scan
Pemeriksaan CT-Scan berguna dalam melengkapi foto polos karena
mampu menunjukkan rincian kontinuitas tulang kortikal dan spons di dalam lesi
serta hubungannya dengan jaringan lunak yang berdekatan (Gambar 5). Irisan
tomografi aksial memudahkan interpretasi pada lesi yang terletak di tempat
anatomis dengan kompleksitas yang lebih besar (De Souza dan Junior, 2014).
Gambar 5. Tampak rincian kontinuitas tulang kortikal dan spons di dalam lesi
serta hubungannya dengan jaringan lunak yang berdekatan
Sumber : De Souza dan Junior (2014)
2.6 Terapi
Secara umum tidak ada terapi yang dibutuhkan pada kasus ini. Namun
pada beberapa kondisi, osteokondroma diharapkan tidak memperparah keadaan
apabila dilakukan operasi atau bedah reseksi. Pada lesi soliter, operasi dibutuhkan
apabila eksostosis menyebabkan rasa sakit yang berlebih akibat kompresi
neurovaskuler dan penurunan fungsional karena keterbatasan gerak sendi (P
Canete, D.M., et al, 2013).
Pada lesi multipel, operasi yang dibutuhkan lebih rumit, mengingat bahwa
lesi yang dihasilkan berjumlah lebih banyak. Umumnya dengan alasan kosmetik,
operasi dibutuhkan untuk mencegah terjadinya deformitas tulang. Pada
transformasi ke arah keganasan, umumnya dilakukan bedah reseksi di seluruh
bagian (P Canete, D.M., et al, 2013).
2.7 Komplikasi
Osteokondroma sama halnya dengan penyakit lain, dapat menyebabkan
komplikasi. Beberapa komplikasi ostekondroma yang paling sering terjadi
diantaranya adalah deformitas tulang, fraktur, gangguan vaskular dan neurologis
di sekitarnya, pembentukan bursa dan yang paling ditakuti, transformasi ke arah
keganasan. (P Canete, D.M., et al, 2013)
BAB 3
KESIMPULAN