Anda di halaman 1dari 45

PRESENTASI KASUS

ANESTESI SPINAL PADA TURP


Disusun Untuk Memenuhi Syarat Kelulusan Kepaniteraan Klinik
Bagian Ilmu Anestesi di RSUD Salatiga

Disusun oleh :

Disusun Oleh :

Ade Ayuningsih Utami


20174011030

Pembimbing:
dr. Tinon Anindita, Sp. An

PROGRAM PENDIDIKAN PROFESI DOKTER


FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH YOGYAKARTA
2017
HALAMAN PENGESAHAN

Telah disetujui dan disahkan, presentasi kasus dengan judul

ANESTESI SPINAL PADA TURP

Disusun Oleh :

Ade Ayuningsih Utami

20174011030

Hari/tanggal: Oktober 2017

Disahkan oleh:

Dokter pembimbing,

dr. Tinon Anindita, Sp. An


BAB I

STATUS PASIEN

IDENTITAS PASIEN

Nama : Tn.S

Umur : 67 tahun

Jenis kelamin : Laki-Laki

Status pernikahan : Menikah

Alamat : Dukuh, Salatiga

Tanggal Masuk : 21 Oktober 2017


ANAMNESIS

Keluhan Utama

Sulit kencing (+) dan nyeri perut (+)

Riwayat Penyakit Sekarang

Pasien datang ke IGD RSUD Salatiga dengan keluhan sulit kencing (+) dan

nyeri perut (+). Pasien ± 3 hari SMRS tidak bisa BAK dan ±1 SMRS pasien

tidak tuntas saat BAK. Pasien juga memiliki riwayat sering menahan kencing.

Riwayat Penyakit Dahulu

Riwayat hipertensi (+)

Riwayat jantung, DM, kejang, asma disangkal oleh pasien

Riwayat Penyakit Keluarga

Adanya anggota keluarga yang memiliki penyakit hipertensi (+)

Adanya anggota keluarga yang memiliki penyakit jantung, DM, asma disangkal

oleh pasien

PEMERIKSAAN FISIK

a. Keadaan Umum : cukup

b. Kesadaran : compos mentis

c. GCS : E4M6V5 = 15

d. Vital Sign : TD 150/70 mmHg

N : 81 x/menit

R : 20 x/menit

S : 36,5°C

e. Status Generalis

- Kepala : normocephal
- Mata : Konjungtiva anemis (-/-), sklera ikterik (-/-), pupil isokor,

reflek cahaya (+/+)

- Hidung : Discharge (-), deformitas (-)

- Telinga: Discharge (-), deformitas (-)

- Mulut : Bibir tidak kering, lidah tidak kotor

- Leher : Trakea di tengah, limfonoduli tidak teraba, JVP tidak

meningkat

- Thorax : Jejas (-)

Cor

Inspeksi : Ictus cordis tidak tampak

Palpasi : Ictus cordis teraba, tidak kuat angkat

Perkusi : Tidak ditemukan cardiomegali

Auskultasi : S1S2 reguler, bising (-), gallop (-)

Pulmo

Inspeksi : Simetris, ketinggalan gerak (-), retraksi (-)

Palpasi : Vokal fremitus kanan = kiri

Perkusi: Sonor di seluruh lapangan paru

Auskultasi : SD : Vesikuler

ST : Tidak ada

- Abdomen

Inspeksi : Tampak datar

Palpasi : Supel, nyeri tekan (+), massa (-), hepar/lien

tidak teraba

Perkusi : Timpani seluruh lapangan abdomen


Auskultasi : Bising usus (+) Normal

- Ekstremitas : teraba hangat, edem (-)

DIAGNOSA KERJA

BPH (Benign Prostat Hyperplasia)

PEMERIKSAAN PENUNJANG

Pemeriksaan Hasil Nilai Rujukan


Hematologi
Lekosit 7.59 4.5-11
Eritrosit 4.64 3.8-5.8
Hemoglobin 14.2 11.5-16.5
Hematokrit 41.2 37-47
Trombosit 270 150-450
MCV 88.9 85-100
MCH 30.6 28-31
MCHC 34.9 30-35
Differential
Netrofil 79.8 40-75
Limfosit 16.3 20-45
Monosit 2.6 2-8
Eosinofil 1.0 1-6

KESIMPULAN

Berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan fisik, maka:

Diagnosis pre operatif : BPH (Benign Prostat Hyperplasia)

Status operatif : ASA II

Jenis operasi : TURP

Jenis Anestesi : Spinal Anaesthesia


TINDAKAN ANESTESI

Bunascan 20 mg/ml

Vomceran 4 mg

Torasic 30 mg

O2 2 liter/menit
Pelaksanaan Anestesi

Pukul 11.00 :

o Pasien dibaringkan diatas meja operasi

o Pasang infus cairan Asering pada tangan kanan abbocath

No.18

o Memasang monitor EKG dan oksimeter pulse

o Mengukur TD : 130/70 mmHg, nadi 75x/mnt

o Diberikan nasal canule dengan O2 2 liter/menit

Pukul 11.30 :

o Pemberian Vomceran 4 mg dan Torasik 30 mg

o TD : 150/70 mmHg, Nadi : 70x/mnt, SaO2 : 100%

Pukul 11.40 :

o Operasi dimulai

Pukul 12.30 :

o Operasi selesai

o TD : 135/75mmHg, Nadi : 86x/mnt, Sa O2 :100%

o Pemberian obat anestesi dihentikan, pemberian O2

dipertahankan.

o Setelah pasien bangun infus dihentikan sejenak

o Kemudian pasien dipindahkan ke brancar untuk dibawa ke

ruang pemulihan atau recovery room (RR).


Terapi Cairan

Cairan yang diberikan selama anestesi adalah Asering 500 cc

Pengawasan Anestesi

EKG ritme jantung dalam batas normal, saturasi oksigen 100%.

Post Operasi

- Tiba di ruang recovery pukul : 12.40 WIB

- Kesadaran : compos mentis, dapat dibangunkan

- Pernafasan : spontan, pasien dapat bernafas dalam

- Tekanan darah : 135/75 mmHg

- Nadi : 80x/mnt

- SpO2 : 100%

Penilaian pulih sadar menurut aldrette score :

- Kesadaran :2

- Pernafasan :2

- Tekanan darah :2

- Aktivitas :2

- Warna kulit :2

Total score = 10

Pasien pindah keruang perawatan biasa pukul 12.50


BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

TURP (Transurethral Resection of Prostate)

A. DEFINISI
TURP (Transurethral Resection of Prostate) merupakan sebuah operasi reseksi
kelenjar prostat yang dilakukan transurethral dengan menggunakan cairan irigan
(pembilas) yang dimaksudkan menghilangkan hyperplasia prostat yang menekan
uretra. Operasi ini perlu dilakukan pada pasien Benigna Prostat Hiperplasia, karena
dapat menyebabkan penekanan pada uretra yang dapat menyebabkan aliran urin
dari bladder akan terganggu. bila di biarkan akan menyebabkan penyumbatan, yang
pada akhirnya akan menybabkan hidronefrosis; resiko terjadi kegagalan ginjal
tinggi.

B. INDIKASI DAN KONTRAINDIKASI

Indikasi dilakukannya TURP adalah bahwa seseorang mengalami BPH,


adanya gejala-gejala berikut di bawah ini:
1. Meningkatnya frekuensi buang air kecil
2. Kesulitan memulai buang air kecil
3. Aliran urin pelan
4. Berhenti sebentar di tengah aliran
5. Dribbling setelah urination
6. Tiba-tiba ada keinginan kuat untuk BAK
7. Perasaan tidak komplit (ada sisa urin di bladder) setelah BAK
8. Nyeri atau burning selama BAK

Secara umum indikasi untuk metode TURP adalah pasien dengan gejala
sumbatan yang menetap, progresif akibat pembesaran prostat, atau tidak dapat
diobati dengan terapi obat lagi. Indikasi lainnya adalah gejala-gejala dari sedang
sampai berat, volume prostat kurang dari 60 gram dan pasien cukup sehat untuk
menjalani operasi. Operasi ini dilakukan pada prostat yang mengalami pembesaran
antara 30-60 gram,
Menurut Agency for Health Care Policy and Research guidelines, indikasi
absolut pembedahan pada BPH adalah sebagai berikut :
1. Retensi urine yang berulang.
2. Infeksi saluran kemih rekuren akibat pembesaran prostat.
3. Gross hematuria berulang.
4. Insufisiensi ginjal akibat obstruksi saluran kemih pada buli.
5. Kerusakan permanen buli atau kelemahan buli-buli.
6. Divertikulum yang besar pada buli yang menyebabkan pengosongan
buli terganggu akibat pembesaran prostat.

TURP merupakan prosedur elektif dan tidak direkomendasian pada pasien


tertentu. Hampir semua kontraindikasinya adalah kontraindikasi relatif,
berdasarkan kondisi komorbid pasien dan kemampuan pasien dalam menjalani
prosedur bedah dan anestesi. Kontraindikasi relatif antara lain adalah status
kardipulmoner yang tidak stabil atau adanya riwayat kelainan perdarahan yang
tidak bisa disembuhkan. Pasien yang baru mengalami infark miokard dan dipasang
stent arteri koroner sebaiknya ditunda sampai 3 bulan bila akan dilakukan TURP.
Pasien dengan disfungsi spingter uretra eksterna seperti pada penderita
miastenia gravis, multiple sklerosis, atau Parkinson dan/atau buli yang hipertonik
tidak boleh dilakukan TURP karena akan menyebabkan inkontinensia setelah
operasi. Demikian pula pada pasien yang mengalami fraktur pelvis mayor yang
menyebabkan kerusakan spingter uretra eksterna. TURP akan menyebabkan
hilangnya spingter urin internal sehingga pasien secara total akan tergantung pada
fungsi otot spingter eksternal untuk tetap kontinen. Jika spingter eksternal rusak,
trauma, atau mengalami disfungsi, pasien akan mengalami inkontinesia.
Kontrandikasi yang lain adalah pasien kanker prostat yang baru menjalani
radioterapi terutama brachyterapi atau krioterapi dan infeksi saluran kencing yang
aktif.

C. PERSIAPAN TURP

Ada beberapa persiapan yang dilakukan sebelum operasi TURP, seperti


dilakukan pemeriksaan fisik dan beberapa investigation diantaranya:
1.DRE (digital rectal examination), pemeriksaan ini direkomendasaikan
dilakukan setiap tahun pada laki-laki dengan usia > 50 tahun.

2.PSA (prostat spesific antigen) test. PSA adalah sebuah protein yang di
hasilkan oleh cell prostat. PSA diketahui meningkat pada cancer prostat, dan
ada kecenderungan meningkat pada usia tua, sehingga kecenderungan pula
pada usia tua untuk munculnya kelainan ini.

3.Rectal ultrasound dan prostat biopsi. jika ada kecurigaan adanya tumor pada
prostat, maka dokter mungkin akan melakukan pemeriksaan ini. pemeriksaan
ini dilakukan dengan memasukan melalui rectum direct wave sound pada
prostat, dimana gambaran apakah ada tumor atau tidak dapat dilihat pada
sebuah screen. Dokter juga dapat menggunakan ultrasoun
image sebagai guide dalam biopsi.

4.Urin flow study (Uroflowmetre). adalah sebuah pemeriksaan untuk mengukur


seberapa cepat aliran urin.

5.Cystoscopy. pemeriksaan ini dilakukan dengan memasukan sebuah tube


melalui urethra, alat ini dilengkapi dengan lensa, light sistem, sehingga
memudahkan dokter dalam pemeriksaan.
Selain itu, yang harus diperhatikan pada persiapan TURP, adalah sebagai
berikut:
1.Bila seorang perokok maka harus berhenti merokok beberapa minggu
sebelum operasi, untuk menghindari gangguan proses penyembuhan
2.Bila menggunakan obat seperti aspirin dan ibuprofen maka harus berhenti
minggu sebelu operasi; hal berhubungan dengan bahawa obat tersebut
mempengaruhi pembekuan darah
3.Harus diinformasikan tentang kondisi kesehatan; apakan punya medikal atau
surgical history, seperti hipertensi, diabetes, anemia, pernah mengalami operasi
sebelumnya.
4.Harus di informasikan tentang obat dan suplemen yang di konsumsi; baik
yang ada resepnya dari dokter atau non-resep
5.Pemeriksaan darah routin (CBC, coagulation profile, urinalisis, Xray, CT
abdomen)
6.Puasa paling tidak 8 jam sebelum operasi dilakukan

Beberapa hari sebelum operasi:


1.Pasien akan diminta melakukan pemeriksaan foto rontgen dada, pemeriksaan
darah dan rekam jantung.
2.Pasien akan dikonsultasikan ke dokter spesialis penyakit dalam untuk
memeriksakan kesehatan anda dengan membawa hasil-hasil pemeriksaan
sebelumnya. Dokter spesialis penyakit dalam menentukan apakah anda siap
untuk menjalani operasi atau membutuhkan pemeriksaan tambahan lain.
Tekanan darah bagi penderita hipertensi sebaiknya harus terkontrol dengan
terus mengkonsumsi obat anti hipertensi.
3.Satu hal yang penting: jika pasien penderita jantung yang sedang
mengkonsumsi obat pengencer darah, maka sebaiknya konsumsi obat ini
dihentikan 5-7 hari menjelang operasi. Obat pengencer darah membuat
perdarahan setelah operasi TURP menjadi berkepanjangan.
Satu hari sebelum operasi:
1.Pasien biasanya sudah diminta oleh urolog anda untuk dirawat. Perawat akan
melakukan pemeriksaan tekanan darah, nadi dan pengambilan darah untuk
contoh permintaan darah untuk transfusi darah jika dibutuhkan nantinya selama
dan setelah prosedur operasi.
2.Pasien diminta untuk mencukur rambut daerah kemaluan. Hal ini perlu untuk
mengurangi resiko terjadinya infeksi
3.Pasien diberi obat untuk membersihkan saluran pencernaan, baik dalam
bentuk tablet maupun dimasukkan melalui anus.
4.Oleh dokter anestesi (dokter bius) akan dijelaskan prosedur pembiusan dan
diminta untuk puasa minimal 8 jam sebelum prosedur TURP dilakukan
keesokan harinya.

Pada saat hari operasi:


1.Satu jam sebelum tindakan akan diberikan suntikan antibiotik sebagai
pencegahan infeksi, sebelumnya anda dilakukan tes alergi terhadap antibiotik
yang akan diberikan, biasanya dilakukan pada lengan bagian bawah.
2.Pasien akan diantar oleh perawat menuju kamar operasi, lalu diberikan baju
khusus dan penutup kepala. Semua pakaian, jam tangan dan perhiasan diminta
untuk dilepaskan.
3.Setelah itu pasien akan diminta pindah ke tempat tidur dorong menuju
ruangan operasi tempat dilakukan prosedur TURP.
4.Pasien diminta pindah ke meja operasi, lalu dokter anestesi dan penata
anestesi akan memasang alat monitor tanda vital anda. Alat yang dipasang
biasanya berupa tensimeter pada lengan dan monitor jantung pada dada.
5.Bergantung pada jenis pembiusan, biasanya yang digunakan adalah anestesi
spinal, oleh dokter anestesi pasien akan diminta duduk dan sebuah jarum kecil
akan disuntikkan melalui pinggang bagian belakang. Selanjutnya obat bius
dimasukkan melalui tempat suntikan ini. Pasien akan diminta mengangkat kaki
unutk menguji apakah obat bius sudah bekerja, biasanya prosedur ini
membutuhkan waktu 15 menit sampai pasien tidak merasakan apa-apa atau baal
mulai dari pinggang sampai kaki.
6.Selanjutnya pasien akan diposisikan seperti orang melahirkan dan sebatas
dada pasien akan ditutup dengan kain sehingga anda tidak perlu melihat
jalannya operasi.
7.Prosedur TURP berjalan sekitar satu jam.
8.Sebuah selang kateter terpasang. Fungsi selang ini selain untuk mengeluarkan
air seni juga untuk menghentikan perdarahan setelah TURP. Pada kateter ini
juga akan terpasang cairan untuk mencuci sisa darah dalam kandung kemih.
9.Pasien lalu dipindahkan ke tempat tidur dorong menuju ruang pemulihan.
10.Pasien akan kembali ke ruangan rawat bila kondisi anda baik dan stabil
selama observasi di ruang pemulihan

Satu hari setelah operasi:


1.Kateter yang terpasang dikaki akan dipindahkan ke perut dan tarikan kateter
dikurangi. Fungsi kateter ditarik sampai satu hari setelah operasi adalah untuk
menghentikan perdarahan pada prostat anda setelah dilakukan TURP.
2.Pasien sudah diperbolehkan untuk minum air putih dan bergerak miring
sampai duduk.

Dua hari setelah operasi:


1.Cairan pembilas akan dilepas
2.Pasien diminta untuk berdiri dan belajar berjalan seperti biasa dengan
membawa kateter
3.Pasien mulai mengkonsumsi makanan padat

Tiga hari setelah operasi:


1.Kateter dilepas dan pasien diminta untuk mencoba berkemih biasa, jika lancar
maka diperbolehkan pulang.
Beberapa anjuran untuk dirumah setelah menjalani operasi TURP
(Transurethral Resection of the Prostate):
1.Selama 2 minggu, minum cukup air putih untuk membersihkan sisa-sisa
bekas perdarahan selama prosedur. Dianjurkan minum paling sedikit 2 liter
sehari.
2.Mengurangi aktivitas fisik. Hal ini dianjurkan untuk mecegah terjadinya
perdarahan kembali pada daerah bekas operasi. Aktivitas seperti mengangkat
barang berat, mengendarai motor atau mobil, jogging dan hubungan seksual
sebaiknya tidak dilakukan selama 1 bulan setelah operasi. Aktivitas ringan
seperti berjalan kaki biasa, mandi dan menonton televisi dapat dilakukan
langsung setelah pulang ke rumah.
3.Buang air besar dilakukan tanpa mengedan karena dapat juga menyebabkan
perdarahan ulang. Sebaiknya banyak mengkonsumsi makanan berserat seperti
pepaya dan sayur-sayuran.
4.Jika mengalami sulit berkemih kembali setelah pulang ke rumah, sebaiknya
cepat berkonsultasi kembali atau ke unit gawat darurat terdekat. Perdarahan
ulang mungkin terjadi lagi dan pemasangan selang kencing dibutuhkan lagi
sementara sampai air seni kembali jernih.
Teacing yang perlu di berikan pada pasien TURP dintaranya:
1.Anjuran untuk melakukan Early mobilization setelah operasi
2.Nyeri setelah operasi
3.keberadaaan cateter setelah operasi
4.Melakukan aktivitas sehari-hari secara bertahap dan kembali ke aktivitas
normal setelah 4-6 minggu.
5.Menghindari mengangkat benda berat dan aktivitas sexual setelah 3-4
minggu.
6.Menggunakan obat sesuai dengan resep dari dokter
7.Follow up
D. WAKTU DILAKUKAN TURP
Prosedur ini dilakukan dengan anestesi regional atau umum dan
membutuhkan perawatan inap selama 1-2 hari. Proses TURP tidak boleh
lebih dari 1 jam.

ANESTESI SPINAL

A. DEFINISI

Anestesi spinal (subaraknoid) adalah anestesi regional dengan tindakan


penyuntikan obat anestetik lokal ke dalam ruang subaraknoid. Anestesi
spinal/subaraknoid disebut juga sebagai blok spinal intradural atau blok
intratekal. Anestesi spinal dihasilkan bila kita menyuntikkan obat analgesik lokal
ke dalam ruang subarachnoid di daerah antara vertebra L2-L3 atau L3-L4 atau L4-
L5.
B. ANATOMI
Pengetahuan yang baik tentang anatomi kolumna vertebralis adalah salah
satu faktor keberhasilan tindakan anestesi spinal. Di samping itu, pengetahuan
tentang penyebaran analgetika lokal dalam cairan serebrospinal dan level analgesia
diperlukan untuk menjaga keamanan/keselamatan tindakan anestesi spinal.
Kolumna vertebralis terdiri dari 33 korpus vertebralis: 7 servikal, 12 torakal,
5 lumbal, 5 sakral dan 4 koksigeus. Kolumna vertebralis mempunyai 4 lekukan,
yaitu lordosis servikalis, kifosis torakalis, lordosis lumbalis dan kifosis sakralis.
Lekukan kolumna vertebralis berpengaruh terhadap penyebaran obat
analgetika lokal dalam ruang subarakhnoid. Pada posisi terlentang titik tertinggi
pada vertebra lumbal 3 dan terendah pada torakal 5.
Segmen medula spinal terdiri dari 31 segmen: 8 segmen servikal, 12 torakal,
5 lumbal, 5 sakral dan 1 koksigeus yang dihubungkan dengan melekatnya
kelompok-kelompok saraf. Panjang setiap segmen berbeda-beda, seperti segmen
tengah torakal lebih kurang 2 kali panjang segmen servikal atau lumbal atas.
Terdapat dua pelebaran yang berhubungan dengan saraf servikal atas dan bawah.
Pelebaran servikal merupakan asal serabut-serabut saraf dalam pleksus brakhialis.
Pelebaran lumbal sesuai dengan asal serabut saraf dalam pleksus lumbosakralis.
Hubungan antara segmen-segmen medula spinalis dan korpus vertebralis serta
tulang belakang penting artinya dalam klinik untuk menentukan tinggi lesi pada
medula spinalis dan juga untuk mencapainya pada pembedahan.
Lapisan yang harus ditembus untuk mencapai ruang sub arakhnoid dari luar
yaitu kulit, subkutis, ligamentum supraspinosum, ligamentum flavum dan
duramater. Arakhnoid terletak antara duramater dan piamater serta mengikuti otak
sampai medula spinalis dan melekat pada duramater. Antara arakhnoid dan
piamater terdapat ruang yang disebut ruang sub arakhnoid.
Duramater dan arakhnoid berakhir sebagai tabung pada vertebra sakral 2,
sehingga di bawah batas tersebut tidak terdapat cairan serebrospinal. Ruang sub
arakhnoid merupakan sebuah rongga yang terletak sepanjang tulang belakang berisi
cairan otak, jaringan lemak, pembuluh darah dan serabut saraf spinal yang berasal
dari medula spinalis. Pada orang dewasa medula spinalis berakhir pada sisi vertebra
lumbal 2. Dengan fleksi tulang belakang medula spinalis berakhir pada sisi bawah
vertebra lumbal.
C. MEKANISME KERJA
Zat anestesi lokal memberikan efek terhadap semua sel tubuh, dimana
tempat kerjanya khususnya pada jaringan saraf. Penggunaan pada daerah meradang
tidak akan memberi hasil yang memuaskan oleh karena meningkatnya keasaman
jaringan yang mengalami peradangan sehingga akan menurunkan aktifitas dari zat
anestesi lokal (pH nanah sekitar 5)8. Anestesi lokal mencegah pembentukan dan
konduksi impuls saraf, efeknya pada aksoplasma hanya sedikit saja. Sebagaimana
diketahui, potensial aksi saraf terjadi karena adanya peningkatan sesaat (sekilas)
pada permeabilitas membran terhadap ion Na akibat depolarisasi ringan pada
membran. Proses inilah yang dihambat oleh obat anestesi lokal dengan kanal Na+
yang peka terhadap perubahan voltase muatan listrik (voltase sensitive Na+
channels). Dengan bertambahnya efek anestesi lokal di dalam saraf, maka ambang
rangsang membran akan meningkat secara bertahap, kecepatan peningkatan
potensial aksi menurun, konduksi impuls melambat dan faktor pengaman (safety
factor) konduksi saraf juga berkurang. Faktor-faktor ini akan mengakibatkan
penurunan kemungkinan menjalarnya potensial aksi, dan dengan demikian
mengakibatkan kegagalan konduksi saraf8,9.
Ada kemungkinan zat anestesi lokal meninggikan tegangan permukaan
lapisan lipid yang merupakan membran sel saraf, sehingga terjadi penutupan
saluran (channel) pada membran tersebut sehingga gerakan ion (ionik shift) melalui
membran akan terhambat. Zat anestesi lokal akan menghambat perpindahan
natrium dengan aksi ganda pada membran sel berupa10 :
1. Aksi kerja langsung pada reseptor dalam saluran natrium.
Cara ini akan terjadi sumbatan pada saluran, sehingga natrium tak dapat
keluar masuk membran. Aksi ini merupakan hampir 90% dari efek blok.
Percobaan dari Hille menegaskan bahwa reseptor untuk kerja obat anestesi
lokal terletak di dalam saluran natrium.
2. Ekspansi membran.
Bekerja non spesifik, sebagai kebalikan dari interaksi antara obat dengan
reseptor. Aksi ini analog dengan stabilisasi listrik yang dihasilkan oleh zat
non-polar lemak, misalnya barbiturat, anestesi umum dan benzocaine.
Untuk dapat melakukan aksinya, obat anestesi lokal pertama kali harus
dapat menembus jaringan, dimana bentuk kation adalah bentuk yang diperlukan
untuk melaksanakan kerja obat di membran sel. Jadi bentuk kation yang bergabung
dengan reseptor di membran sel yang mencegah timbulnya potensial aksi. Agar
dapat melakukan aksinya, obat anestesi spinal pertama sekali harus menembus
jaringan sekitarnya8.
Tabel.1 Beberapa jenis obat anestesi lokal yang dipakai pada anestesi spinal.

Potensi dan lama kerja anestesi lokal berhubungan dengan sifat individual
zat anestesi lokal dan ditentukan oleh kecepatan absorpsi sistemiknya, sehingga
semakin tinggi tingkat daya ikat protein pada reseptor, semakin panjang lama kerja
anestesi lokal tersebut.
Potensi dan lama kerja dapat ditingkatkan dengan meningkatkan
konsentrasi dan dosis. Potensi yang kuat berhubungan dengan tingginya kelarutan
dalam lemak, karena hal ini akan memungkinkan kelarutan dan memudahkan obat
anestesi lokal mencapai membran sel. Terjadinya vasokontriksi akan menghambat
serta memperpanjang efek, sedangkan vasodilatasi akan meningkatkan
pengambilan (uptake) obat dari jaringan.
Serabut-serabut preganglionik B bermielin dengan daya hantar cepat (faster
conducting) 3 kali lebih sensitif dibandingkan dengan serabut postganglionyc C
yang tak bermielin dengan daya hantar lambat (slowerconducting). Pada percobaan
laboratorium dan klinik didapatkan bahwa semua preganglionyc sensitif terhadap
pengaruh obat anestesi lokal. Serabut jenis ini banyak terdapat pada rami
communicantes alba pada rantai saraf simpatis. Efek yang terjadi adalah hipotensi.
Hal ini sering didapatkan atau merupakan efek samping anestesi regional. Glissen
dan kawan-kawan, menemukan bahwa serabut A lebih sensitif daripada serabut B
dan C. Rosenberg dan kawan-kawan, justru mendapatkan bukti bahwa hampir
seluruh serabut-serabut saraf itu (A, B dan C) mempunyai resistensi yang sama
besar. Data dari percobaan laboratorium pada suhu kamar seperti yang dilakukan
Glissen tergantung pada perubahan temperatur dan serabut bermielin memberikan
reaksi terhadap pendinginan dimana serabut A resisten terhadap obat anestesi lokal,
hal ini terjadi karena serabut A-delta yang mengatur sensasi nyeri dan suhu lebih
sensitif dibanding serabut C yang juga mengatur rasa nyeri meskipun ia mempunyai
daya hantar yang lebih cepat. Nyeri patologis (dihantarkan oleh serabut C) seperti
yang terjadi pada robeknya rahim (ruptur uteri) atau plasenta, dapat dihambat
dengan melakukan blok epidural pada penanggulangan nyeri persalinan.
Sensitivitas serabut Aδ yang lebih besar dari pada serabut C mungkin
menerangkan fenomena ini. Serabut-serabut sensorik Aa meskipun kecepatan
hantaran kedua jenis serabut ini sama. Mungkin hal ini terjadi karena serabut
sensorik menghantarkan impuls pada frekwensi yang lebih tinggi. Semua zat
anestesi spinal memblokade bagian sensorik lebih cepat daripada motorik dan
menunjukkan selektivitas yang sama terhadap berbagai serabut saraf yang berbeda.
Sensitivitas relatif dan jenis serabut yang berbeda tergantung dari penempatannya
pada berkas saraf (nerve bundle). Kesimpulannya, tingkat sensitivitas terhadap
blokade adalah sebagai berikut (dimulai dari yang paling sensitif) : preganglionik,
nyeri dan suhu sentuh, propioseptik dan serabut motorik. Tampak bahwa serabut
motorik adalah yang paling sukar di blockade / dihambat.
Anestesi spinal merupakan teknik anestesi yang sangat aman khususnya
dalam meminimalkan pengaruh respirasi (pernafasan), meskipun hipoksemia dapat
juga terjadi selama anestesi spinal. Banyak faktor yang mempengaruhi kejadian
hipoksemia ini antara lain: umur, berat badan, tingkat blok dan tipe pembedahan
dipercaya dalam patogenesis desaturasi oksigen, body massa index (BMI), tekanan
darah dan denyut jantung.
Anestesi spinal memblok akar serabut saraf (nervus) pada daerah
subarakhnoid, dimana daerah medula spinalis dimulai dari foramen magnum
sampai lumbal 1 (L1) pada dewasa, lumbal 2 (L2) pada anak-anak dan lumbal 3
pada bayi, sedangkan saccus duralis, ruang subarakhnoid dan ruang subdural
berakhir di sakral 2 (S2) pada dewasa dan sakral 3 (S3) pada anak-anak.

Gambar Anestesi Spinal


D. PERSIAPAN PASIEN
Pasien sebelumnya diberi informasi tentang tindakan anestesi spinal
(informed concernt) meliputi pentingnya tindakan ini dan komplikasi yang
mungkin terjadi. Pemeriksaan fisik dilakukan meliputi daerah kulit tempat
penyuntikan untuk menyingkirkan adanya kontraindikasi seperti infeksi.
Perhatikan juga adanya scoliosis atau kifosis. Pemeriksaan laboratorium yang perlu
dilakukan adalah penilaian hematokrit. Masa protrombin (PT) dan masa
tromboplastin parsial (PTT) dilakukan bila diduga terdapat gangguan pembekuan
darah.
Perlengkapan tindakan anestesi spinal harus diberikan dengan persiapan
perlengkapan operasi yang lengkap untuk monitor pasien, pemberian anestesi
umum, dan tindakan resusitasi. Jarum spinal dan obat anestetik spinal disiapkan.
Jarum spinal memiliki permukaan yang rata dengan stilet di dalam lumennya dan
ukuran 16G sampai dengan 30G. obat anestetik lokal yang digunakan adalah
prokain, tetrakain, lidokain, atau bupivakain. Berat jenis obat anestetik lokal
mempengaruhi aliran obat dan perluasan daerah teranestesi. Pada anestesi spinal
jika berat jenis obat lebih besar dari berat jenis CSS (hiperbarik), maka akan terjadi
perpindahan obat ke dasar akibat gravitasi. Jika lebih kecil (hipobarik), obat akan
berpindah dari area penyuntikan ke atas. Bila sama (isobarik), obat akan berada di
tingkat yang sama di tempat penyuntikan. Pada suhu 37ºC cairan serebrospinal
memiliki berat jenis 1,003-1,008.
Perlengkapan lain berupa kain kasa steril, povidon iodine, alcohol, dan duk
steril juga harus disiapkan. Dikenal 2 macam jarum spinal, yaitu jenis yang
ujungnya runcing seperti ujung bamboo runcing (Quincke-Babcock atau Greene)
dan jenis yang ujungnya seperti ujung pensil (whitacre). Ujung pensil banyak
digunakan karena jarang menyebabkan nyeri kepala pasca penyuntikan spinal8.

E. TEKNIK ANESTESI SPINAL


Posisi duduk atau posisi tidur lateral dekubitus dengan tusukan pada garis
tengah ialah posisi yang paling sering dikerjakan. Biasanya dikerjakan di atas meja
operasi tanpa dipindah lagi dan hanya diperlukan sedikit perubahan posisi pasien.
Perubahan posisi berlebihan dalam 30 menit pertama akan menyebabkan
menyebarnya obat. Adapun langkah-langkah dalam melakukan anestesi spinal
adalah sebagai berikut :
1.Setelah dimonitor,tidurkan pasien misalkan dalam posisi lateral
dekubitus. Beri bantal kepala,selain enak untuk pasienjuga supaya tulang belakang
stabil. Buat pasien membungkuk maximal agar processus spinosus mudah teraba.
Posisi lain adalah duduk.
2.Penusukan jarum spinal dapat dilakukan pada L2-L3, L3-L4, L4-L5.
Tusukan pada L1-L2 atau diatasnya berisiko trauma terhadap medulla spinalis.
3.Sterilkan tempat tusukan dengan betadin atau alkohol.
4.Beri anastesi lokal pada tempat tusukan,misalnya dengan lidokain 1-2%
2-3ml.
5.Cara tusukan median atau paramedian. Untuk jarum spinal besar 22G,
23G, 25G dapat langsung digunakan. Sedangkan untuk yang kecil 27G atau 29G
dianjurkan menggunakan penuntun jarum yaitu jarum suntik biasa semprit 10cc.
Tusukkan introduser sedalam kira-kira 2cm agak sedikit kearah sefal, kemudian
masukkan jarum spinal berikut mandrinnya ke lubang jarum tersebut. Jika
menggunakan jarum tajam (Quincke-Babcock) irisan jarum (bevel) harus sejajar
dengan serat duramater, yaitu pada posisi tidur miring bevel mengarah keatas atau
kebawah, untuk menghindari kebocoran likuor yang dapat berakibat timbulnya
nyeri kepala pasca spinal. Setelah resensi menghilang, mandrin jarum spinal
dicabut dan keluar likuor, pasang semprit berisi obat dan obat dapat dimasukkan
pelan-pelan (0,5ml/detik) diselingi aspirasi sedikit, hanya untuk meyakinkan posisi
jarum tetap baik. Kalau anda yakin ujung jarum spinal pada posisi yang benar dan
likuor tidak keluar, putar arah jarum 90º biasanya likuor keluar. Untuk analgesia
spinal kontinyu dapat dimasukan kateter.
6.Posisi duduk sering dikerjakan untuk bedah perineal misalnya bedah
hemoroid (wasir) dengan anestetik hiperbarik. Jarak kulit-ligamentum flavum
dewasa ± 6cm.

F. FAKTOR-FAKTOR YANG BERPENGARUH

Kesuksesan spinal anestesi dipengaruhi oleh beberapa faktor, seperti faktor


yang mempengaruhi penyebaran anestetik dan faktor yang mempengaruhi lama
kerja anestetik.
a. Faktor yang mempengaruhi penyebaran anestetik:
1) Faktor utama: berat jenis anestetik (barisitas), posisi pasien,
dan dosis serta volume anestetik.
2) Faktor tambahan: ketinggian suntikan, kecepatan suntikan,
ukuran jarum, keadaan fisik pasien, dan tekanan intraabdominal.
b. Faktor yang mempengaruhi lama kerja anestetik:
1) Jenis anestesia
2) Besarnya dosis
3) Ada tidaknya vasokonstriktor
4) Besarnya penyebaran anestetik

G. INDIKASI ANESTESI SPINAL


Adapun indikasi untuk dilakukannya anestesi spinal adalah untuk
pembedahan daerah tubuh yang dipersarafi cabang T4 ke bawah (daerah papila
mammae ke bawah). Anestesi spinal ini digunakan pada hampir semua operasi
abdomen bagian bawah (termasuk seksio sesaria), perineum dan kaki.

H. KONTRAINDIKASI
Pada Anestesi spinal terdapat kontraindikasi absolut dan relatif.
Kontraindikasi Absolut diantaranya penolakan pasien, infeksi pada tempat
suntikan, hipovolemia, penyakit neurologis yang tidak diketahui, koagulopati, dan
peningkatan tekanan intrakanial, kecuali pada kasus-kasus pseudotumor cerebri.
Sedangkan kontraindikasi relatif meliputi sepsis pada tempat tusukan (misalnya,
infeksi ekstremitas korioamnionitis atau lebih rendah) dan lama operasi yang tidak
diketahui. Dalam beberapa kasus, jika pasien mendapat terapi antibiotik dan tanda-
tanda vital stabil, anestesi spinal dapat dipertimbangkan, sebelum melakukan
anestesi spinal, ahli anestesi harus memeriksa kembali pasien untuk mencari
adanya tanda-tanda infeksi, yang dapat meningkatkan risiko meningitis14.
Syok hipovolemia pra operatif dapat meningkatkan risiko hipotensi setelah
pemberian anestesi spinal. Tekanan intrakranial yang tinggi juga dapat
meningkatkan risiko herniasi uncus ketika cairan serebrospinal keluar melalui
jarum, jika tekanan intrakranial meningkat. Setelah injeksi anestesi spinal, herniasi
otak dapat terjadi.
Kelainan koagulasi dapat meningkatkan risiko pembentukan hematoma, hal
ini sangat penting untuk menentukan jumlah waktu yang dibutuhkan untuk
menyelesaikan operasi sebelum menginduksi anestesi spinal. Jika durasi operasi
tidak diketahui, anestesi spinal yang diberikan mungkin tidak cukup panjang untuk
menyelesaikan operasi dengan mengetahui durasi operasi membantu ahli anestesi
menentukan anestesi lokal yang akan digunakan, penambahan terapi spinal seperti
epinefrin, dan apakah kateter spinal akan diperlukan14.
Pertimbangan lain saat melakukan anestesi spinal adalah tempat operasi,
karena operasi di atas umbilikus akan sulit untuk menutup dengan tulang belakang
sebagai teknik tunggal. Anestesi spinal pada pasien dengan penyakit neurologis,
seperti multiple sclerosis, masih kontroversial karena dalam percobaan in vitro
didapatkan bahwa saraf demielinisasi lebih rentan terhadap toksisitas obat bius
lokal.
Penyakit jantung yang level sensorik di atas T6 merupakan kontraindikasi
relatif terhadap anestesi spinal seperti pada stenosis aorta, dianggap sebagai
kontraindikasi mutlak untuk anestesi spinal, sekarang mungkin menggabungkan
pembiusan spinal dilakukan dengan hati-hati dalam perawatan anestesi mereka
deformitas dari kolomna spinalis dapat meningkatkan kesulitan dalam
menempatkan anesetesi spinal. Arthritis, kyphoscoliosis, dan operasi fusi lumbal
sebelumnya semua faktor dalam kemampuan dokter anestesi untuk performa
anestesi spinal. Hal ini penting untuk memeriksa kembali pasien untuk menentukan
kelainan apapun pada anatomi sebelum mencoba anestesi spinal14.

I. KOMPLIKASI
Komplikasi analgesia spinal dibagi menjadi komplikasi dini dan komplikasi
lambat. Komplikasi berupa gangguan pada sirkulasi, respirasi dan gastrointestinal.
Komplikasi sirkulasi:
1. Hipotensi
Tekanan darah yang turun setelah anestesi spinal sering terjadi. Biasanya
terjadinya pada 10 menit pertama setelah suntikan, sehingga tekanan darah perlu
diukur setiap 10 menit pertama setelah suntikan, sehingga tekanan darah perlu
diukur setiap 2 menit selama periode ini. Jika tekanan darah sistolik turun dibawah
75 mmHg (10 kPa), atau terdapat gejala-gejala penurunan tekanan darah, maka kita
harus bertindak cepat untuk menghindari cedera pada ginjal, jantung dan otak.
Hipotensi terjadi karena vasodilatasi, akibat blok simpatis, makin tinggi blok makin
berat hipotensi.
Pencegahan hipotensi dilakukan dengan memberikan infuse cairan
kristaloid (NaCl, Ringer laktat) secara cepat segera setelah penyuntikan anestesi
spinal dan juga berikan oksigen. Bila dengan cairan infus cepat tersebut masih
terjadi hipotensi harus diobati dengan vasopressor seperti efedrin 15-25 mg
intramuskular. Jarang terjadi, blok spinal total dengan anestesi dan paralisis seluruh
tubuh. Pada kasus demikian, kita harus melakukan intubasi dan melakukan ventilasi
paru, serta berikan penanganan seperti pada hipotensi berat. Dengan cara ini,
biasanya blok spinal total dapat diatasi dalam 2 jam14.
2. Bradikardia
Bradikardia dapat terjadi karena aliran darah balik berkurang atau karena
blok simpatis, Jika denyut jantung di bawah 65 kali per menit, berikan atropin 0,5
mg intravena14.
3. Sakit Kepala
Sakit kepala pasca operasi merupakan salah satu komplikasi anestesi spinal
yang sering terjadi. Sakit kepala akibat anestesi spinal biasanya akan memburuk
bila pasien duduk atau berdiri dan hilang bila pasien berbaring. Sakit kepala
biasanya pada daerah frontal atau oksipital dan tidak ada hubungannya dengan
kekakuan leher. Hal ini disebabkan oleh hilangnya cairan serebrospinal dari otak
melalui pungsi dura, makin besar lubang, makin besar kemungkinan terjadinya
sakit kepala. Ini dapat dicegah dengan membiarkan pasien berbaring secara datar
(boleh menggunakan satu bantal) selama 24 jam.
Nyeri sakit kepala PDPH menurut Crocker (1976) dikelompokkan menjadi
4 skala yakni:
1. Nyeri kepala ringan yang memungkinkan periode lama untuk duduk
berdiri dan tanpa ada gejala tambahan lain.
2. Sakit kepala sedang, yang membuat pasien tidak dapat bertahan berada
pada posisi tegak lurus selama lebih dari setengah jam. Biasanya di sertai
dengan mual, muntah dan gangguan pendengaran dan penglihatan.
3. Sakit kepala berat yang timbul segera ketika beranjak dari tempat tidur,
berkurang bila berbaring terlentang di tempat tidur. Sering disertai dengan
mual, muntah, gangguan penglihatan dan pendengaran.
4. Nyeri kepala sangat berat yang timbul bahkan ketika penderita sedang
berbaring terlentang di tempat tidur dan bertambah makin berat bila duduk
atau berdiri, untuk makan tidak mungkin dilakukan karena mual dan
muntah.
Ada beberapa terapi yang sering dipakai untuk penanganan PDPH, baik
invasif maupun non-invasif, yang tersedia bagi tim anestesi. Walaupun tidak
semuanya didukung oleh evidence based yang lengkap, tetapi kebanyakan telah
diterima dengan baik oleh berbagai kalangan anestesiolog. Terapi non-invasif
meliputi tirah baring, status hidrasi, posisi, ikatan abdominal, analgesia, dan obat-
obat farmakologis lain seperti kaffein intravena, theophylline, dsb. Terapi invasif
meliputi Epidural Blood Patch dan Epidural Dextran.
Terapi konservatif meliputi posisi berbaring, analgesia, stagen abdomen,
pemberian cairan infus atau oral, dan kaffein. Menjaga pasien tetap supine akan
mengurangi tekanan hidrostatik yang mendorong cairan keluar dari lubang dura dan
meminimalkan nyeri kepala. Medikasi analgesia bisa berkisar dari asetaminofen
sampai NSAID. Hidrasi dan kaffein bekerja menstimulasi produksi CSF. Kaffein
membantu dengan menyebabkan vasokonstriksi pembuluh darah intrakranial.
Salah satu yang menjadi faktor penentu terjadinya PDPH adalah status hidrasi
pasien, dimana konsep hidrasi pada PDPH masih banyak salah dimengerti. Tujuan
dari hidrasi adalah untuk memastikan kecepatan produksi CSF optimal,
dimanaselama 10 menit. Bila terjadi perbedaan MAP lebih dari 10, maka
dinyatakan Tilt Test positif dan pasien masih belum terhidrasi dengan cukup.
Epidural blood patch merupakan penanganan yang sangat efektif terhadap
PDPH. Dengan melakukan injeksi 15-20 cc darah autologous ke ruang epidural
pada, satu interspace dibawahnya atau pada tempat tusukan dura. Hal ini dipercaya
akan menghentikan kebocoran yang terjadi pada CSF oleh karena efek massa atau
koagulasi. Efeknya bisa terjadi segera atau beberapa jam setelah tindakan ketika
produksi CSF secara perlahan akan meningkatkan tekanan intrakranial yang
dibutuhkan. Sebanyak 90% pasien akan memberikan respon terhadap tindakan
blood patch ini.
Komplikasi Respirasi
1.Analisa gas darah cukup memuaskan pada blok spinal tinggi, bila fungsi paru-
paru normal.
2.Penderita PPOM atau COPD merupakan kontra indikasi untuk blok spinal tinggi.
3.Apnoe dapat disebabkan karena blok spinal yang terlalu tinggi atau karena
hipotensi berat dan iskemia medulla.
4.Kesulitan bicara,batuk kering yang persisten,sesak nafas, merupakan tanda-
tanda tidak adekuatnya pernafasan yang perlu segera ditangani dengan pernafasan buatan
Komplikasi gastrointestinal
Nausea dan muntah karena hipotensi, hipoksia, tonus parasimpatis
berlebihan, pemakaian obat narkotik, reflek karena traksi pada traktus
gastrointestinal serta komplikasi delayed, pusing kepala pasca pungsi lumbal
merupakan nyeri kepala dengan ciri khas terasa lebih berat pada perubahan posisi
dari tidur ke posisi tegak. Mulai terasa pada 24-48jam pasca pungsi lumbal, dengan
kekerapan yang bervariasi. Pada orang tua lebih jarang dan pada kehamilan
meningkat.

J. OBAT-OBAT ANESTESI SPINAL

BUPIVAKAIN
Bupivakain merupakan obat anestesi lokal dengan rumus bangun sebagai
berikut : 1-butyl-N-(2,6-dimethylphenyl)-piperidecarboxamide hydrochloride.
Bupivakain adalah derivat butil dari mepivakain yang kurang lebih tiga kali lebih
kuat daripada asalnya. Obat ini bersifat long acting dan disintesa oleh BO af
Ekenstem dan dipakai pertama kali pada tahun 196312. Secara komersial bupivakain
tersedia dalam 5 mg/ml solutions. Dengan kecenderungan yang lebih menghambat
sensoris daripada motoris menyebabkan obat ini sering digunakan untuk analgesia
selama persalinan dan pasca bedah16.
Pada tahun-tahun terakhir, larutan bupivakain baik isobarik maupun
hiperbarik telah banyak digunakan pada blok subrakhnoid untuk operasi abdominal
bawah. Pemberian bupivakain isobarik, biasanya menggunakan konsentrasi 0,5%,
volume 3-4 ml dan dosis total 15-20 mg, sedangkan bupivakain hiperbarik
diberikan dengan konsentrasi 0,5%, volume 2-4ml dan total dosis 15-22,5 mg.
Bupivakain dapat melewati sawar darah uri tetapi hanya dalam jumlah kecil. Bila
diberikan dalam dosis ulangan, takifilaksis yang terjadi lebih ringan bila
dibandingkan dengan lidokain. Salah satu sifat yang paling disukai dari bupivakain
selain dari kerjanya yang panjang adalah sifat blockade motorisnya yang lemah.
Toksisitasnya lebih kurang sama dengan tetrakain16. Bupivakain juga mempunyai
lama kerja yang lebih panjang dari lignokain karena mempunyai kemampuan yang
lebih besar untuk mengikat protein. Untuk menghilangkan nyeri pada persalinan,
dosis sebesar 30 mg akan memberikan rasa bebas nyeri selama 2 jam disertai
blokade motoris yang ringan. Analgesik paska bedah dapat berlangsung selama 4
jam atau lebih, sedangkan pemberian dengan tehnik anestesi kaudal akan
memberikan efek analgesik selama 8 jam atau lebih. Pada dosis 0,25 – 0,375 %
merupakan obat terpilih untuk obstetrik dan analgesik paska bedah. Konsentrasi
yang lebih tinggi (0,5 – 0,75 %) digunakan untuk pembedahan. Konsentrasi
infiltrasi 0,25 - 0.5 %, blok saraf tepi 0,25 – 0,5 %, epidural 0,5 – 0,75 %, spinal
0,5 %. Dosis maksimal pada pemberian tunggal adalah 175 mg. Dosis rata-ratanya
3 – 4 mg / kgBB.
KLONIDIN
Klonidin adalah salah satu contoh dari agonis α2 yang digunakan untuk obat
antihipertensi (penurunan resistensi pembuluh darah sistemik) dan efek kronotropik
negatif. Lebih jauh lagi, klonidin dan obat α2 agonis lain juga mempunyai efek
sedasi. Dalam beberapa penelitian juga ditemukan efek anestesi dari pemberian
secara oral (3-5μg/kg), intramuscular (2μg/kg), intravena (1-3μg/kg), transdermal
(0,1-0,3 mg setiap hari) intratekal 75-150μg) dan epidural (1-2μg/kg) dari
pemberian klonidin. Secara umum klonidin menurunkan kebutuhan anestesi dan
analgesi (menurunkan MAC) dan memberikan efek sedasi dan anxiolisis. Selama
anestesi umum, klonidin dilaporkan juga meningkatkan stabilitias sirkulasi
intraoperatif dengan menurunkan tingkatan katekolamin. Selama anestesi regional,
termasuk peripheral nerve block, klonidin akan meningkatkan durasi dari blokade.
Efek langsung pada medula spinalis mungkin dibantu oleh reseptor postsinaptik α2
dengan ramus dorsalis. Keuntungan lain juga mungkin berupa menurunkan
terjadinya postoperative shivering, inhibisi dari kekakuan otot akibat obat opioid,
gejala withdrawal dari opioid, dan pengobatan dari beberapa sindrom nyeri kronis.
Efek samping dapat berupa bradikardia, hypotensi, sedasi, depresi nafas dan mulut
kering.
Klonidin adalah agonis alfa2-adrenergik parsial selektif yang bekerja secara
sentral yang bekerja sebagai obat anti hipertensi melalui kemampuannya untuk
menurunkan keluaran sistem saraf simpatis dari sistem saraf pusat. Obat ini telah
terbukti efektif digunakan pada pasien dengan hipertensi berat atau penyakit renin-
dependen. Dosis dewasa yang biasa digunakan per oral adalah 0,2-0,3 mg.
Ketersediaan klonidin transdermal ditujukan untuk pemberian secara mingguan
pada pasien bedah yang tidak dapat diberikan obat per oral11.
EFEDRIN
Efedrin merupakan golongan simpatomimetik non katekolamin yang secara
alami ditemukan di tumbuhan efedra sebagai alkaloid. Efedrin mempunyai gugus
OH pada cincin benzena , gugus ini memegang peranan dalam “efek secara
langsung” pada sel efektor. Seperti halnya Epinefrin, efedrin bekerja pada reseptor
α, α1, α219. Efek pada α1 di perifer adalah dengan jalan menghambat aktivasi adenil
siklase. Efek pada α1 dan α2 adalah melalui stimulasi siklik-adenosin 3-5
monofosfat. Efek α1 berupa takikardi tidak nyata karena terjadi penekanan pada
baroreseptor karena efek peningkatan TD20. Efek perifer efedrin melalui kerja
langsung dan melalui pelepasan NE endogen. Kerja tidak langsungnya mendasari
timbulnya takifilaksis (pemberian efedrin yang terus menerus dalam jangka waktu
singkat akan menimbulkan efek yang makin lemah karena semakin sedikitnya
sumber NE yang dapat dilepas, efek yang menurun ini disebut takifilaksis terhadap
efek perifernya.21 Hanya I-efedrin dan efedrin rasemik yang digunakan dalam
klinik20.
Efedrin yang diberikan masuk ke dalam sitoplasma ujung saraf adrenergik dan
mendesak NE keluar21. Efek kardiovaskuler efedrin menyerupai efek Epinefrin
tetapi berlangsung kira-kira 10 kali lebih lama. Tekanan sistolik meningkat juga
biasanya tekanan diastolic, sehingga tekanan nadi membesar. Peningkatan tekanan
darah ini sebagian disebabkan oleh vasokontriksi, tetapi terutama oleh stimulasi
jantung yang meningkatkan kekuatan kontraksi jantung dan curah jantung. Denyut
jantung mungkin tidak berubah akibat reflex kompensasi vagal terhadap kenaikan
tekanan darah. Aliran darah ginjal dan visceral berkurang, sedangkan aliran darah
koroner, otak dan otot rangka meningkat. Berbeda dengan Epinefrin, penurunan
tekanan darah pada dosis rendah tidak nyata pada efedrin20.
Efek efedrin terhadap hemodinamik lebih rendah dibanding epinefrin
karena efek efedrin pada α1 di vena lebih dominan dibanding di arteri, sehingga
respon peningkatan TD lebih lemah 250 kali dibanding adrenalin. Efek efedrin
berupa peningkatan TD, HR, CO, aliran darah koroner dan peningkatan SVR.
Efedrin bolus 5-10 mg pada orang dewasa normal sedikit meningkatkan SVR dan
peningkatan TD yang terjadi pada pemberian efedrin adalah hasil dari akumulasi
dari peningkatan SVR, preload, HR< CO. Setelah pemberian efedrin terjadi
vasokontriksi pada vascular band, juga disertai vasodilatasi pada daerah lain
melalui reseptor α2. Melalui reseptor â1 akan meningkatkan kontraktilitas otot
jantung.
Efedrin adalah vasopresor yang sering digunakan untuk kasus hipotensi
karena subarakhnoid block (SAB), blok epidural, karena obat induksi IV dan
inhalasi. Untuk mengatasi hipotensi ini efedrin diberikan 3-10 mg IV atau 25-50
mg IM. Pemberian efedrin sampai dosis 70μ/kgBB tidak meningkatkan TD secara
bermakna. Efedrin dapat menurunkan renal blood flow (RBF), dan efek metabolik
berupa peningkatan gula darah, namun peningkatan gula darah ini tidak sebesar
akibat epinefrin. Efek efedrin terhadap uterus akan mengurangi aktivitas otot
uterus, dan pada bronkus akan menyebabkan relaksasi otot polos bronkus, sehingga
dapat dipakai untuk pengobatan asthma bronchial . Bronkorelaksasi oleh efedrin
lebih lemah tetapi berlangsung lebih lama dibandingkan dengan epinefrin21.
Penetesan larutan efedrin pada mata menimbulkan midriasis. Reflek
cahaya, daya akomodasi dan tekanan intraokuler tidak berubah. Aktivitas uterus
dikurangi oleh efedrin : efek ini dapat dimanfaatkan pada dismenore. Efedrin
kurang efektif dalam meningkatkan kadar gula darah dibandingkan dengan
Epinefrin. Efek sentral efedrin menyerupai efek amfetamin tetapi lebih lemah.
Vasopresor yang ideal sebaiknya mempunyai efek sebagai berikut:
 Mempunyai efek kronotropik dan inotropik positif
 Tidak menstimulasi saraf pusat
 Tidak menyebabkan hipertensi yang berkepanjangan.
EPINEFRIN (ADRENALIN)
Adrenalin (epinephrine), adalah hormon katekolamin yang dihasilkan oleh
bagian medula kelenjar adrenal, dan suatu neurotransmitter yang dilepas oleh
neuron-neuron tertentu yang bekerja aktif di sistem saraf pusat. Epinephrin
merupakan stimulator yang kuat pada reseptor adrenergik sistem saraf simpatis, dan
stimulan jatung yang kuat, mempercepat frekuensi denyut jantung dan
meningkatkan curah jantung, meningkatkan glikogenolisis, dan mengeluarkan efek
metabolik lain. Epinephrine disimpan dalam granul kromatin dan akan dilepas
sebagai respon terhadap hipoglikemia, stres dan rangsangan lain22.
Preparat sintetik epineprine bentuk levorotatori digunakan sebagai
vasokonstriktor topikal, stimulan jantung, dan bronkodilator, dapat diberikan
secara intranasal, intraoral, parenteral, atau inhalasi. Sedangkan norephineprine
(noradrenalin) adalah suatu katekolamin alamiah atau neurohormon yang
dilepaskan oleh saraf adrenergik pasca ganglion dan beberapa saraf otak, juga
disekresi oleh medula adrenal sebagai respon terhadap rangsangan splanchnicus
dan disimpan dalam granul kromafin. Norepineprine merupakan neurotransmitter
utama yang bekerja pada reseptor adrenergik α- dan β1. Norephineprine merupakan
vasopressor kuat dan biasanya dilepaskan dalam tubuh sebagai respon terhadap
hipotensi dan stres. Preparat farmasi senyawa norephinephrine biasanya dalam
bentuk garam bitartat.
Aktivitas neural adrenergik mempengaruhi aktivitas renin plasma. Efek
adrenalin, adalah menstimulasi reseptor β pada jantung, meningkatkan frekuensi
denyut jantung, meningkatkan kontraksi jantung, meningkatkan curah jantung,
meningkatkan metabolisme otot jantung dan konsumsi oksigen, mengakibatkan
sistole jantung abnormal karena tingginya frekuensi denyut jantung, dan aritmia
ventrikel. Sedangkan efek noradrenalin 2-10 kali lebih kecil dari adrenalin, yaitu
menghasilkan vasokonstriksi pada pembuluh darah kulit, dan membran mukosa,
vasodilatasi pada pembuluh darah otot skelet dengan peningkatan jumlah reseptor
β,berakibat menurunnya tahanan perifer pembuluh darah. Efek
adrenalin/noradrenalin pada kerja jantung, meningkatkan tekanan sistole jantung
oleh karena aktivitas otot jantung dan menurunkan tekanan diastole dengan
peningkatan tahanan perifer. Efek kedua hormon ini terhadap kerja otot jantung
dapat dihambat dengan agent pemblok reseptor β seperti propranolol.
Adrenalin (epinefrin) digunakan sebagai adjuvant pada anestesi regional.
Adrenalin digunakan untuk mengurangi konsentrasi plasma pada obat dan
meningkatkan tindakan anestesi. Adrenalin bersifat vasokonstiksi, dengan
mengurangi aliran darah pada tempat penyerapan lokal anestesi dan dan opioid,
dapat menguatkan dan memperpanjang obat-obat anestesi. Mekanisme yang kedua
yaitu dengan memperbaiki hambatan perifer oleh adrenalin dijelaskan dalam dua
jenis kompartemen, kompartemen luar (jaringan epineurial) dan kompartemen
dalam (endoneurium dan serabut-serabut saraf).
Adrenalin 200-500 µg (dosis tunggal) ditambahkan ke dalam anestesi spinal
sehingga memberikan hasil yang bervariasi sehingga memperpanjang blok yang
mempengaruhi dosis adrenalin dan anestesi lokal yang digunakan. Selain itu,
misalnya, pemberian adrenalin 200 µg intratekal pada 7,5 mg bupivakain dapat
memperpanjang modalitas sensorik, memperpanjang blokade motorik, dan
memperpanjang waktu untuk hambat sekitar 30-50 menit.
FENTANYL
Fentanyl termasuk obat golongan analgesik narkotika. Analgesik narkotika
digunakan sebagai penghilang nyeri. Dalam bentuk sediaan injeksi IM
(intramuskular) Fentanyl digunakan untuk menghilangkan sakit yang disebabkan
kanker. Menghilangkan periode sakit pada kanker adalah dengan menghilangkan
rasa sakit secara menyeluruh dengan obat untuk mengontrol rasa sakit yang
persisten/menetap. Obat Fentanyl digunakan hanya untuk pasien yang siap
menggunakan analgesik narkotika.
Fentanyl bekerja di dalam sistem saraf pusat untuk menghilangkan rasa
sakit. Beberapa efek samping juga disebabkan oleh aksinya di dalam sistem syaraf
pusat. Pada pemakaian yang lama dapat menyebabkan ketergantungan tetapi tidak
sering terjadi bila pemakaiannya sesuai dengan aturan. Ketergantungan biasa
terjadi jika pengobatan dihentikan secara mendadak. Sehingga untuk mencegah
efek samping tersebut perlu dilakukan penurunan dosis secara bertahap dengan
periode tertentu sebelum pengobatan dihentikan23.
Aksi sinergis dari fentanyl dan anestesi lokal di blok neuraxial pusat (CNB)
meningkatkan kualitas analgesia intraoperatif dan juga memperpanjang analgesia
pascaoperasi. Durasi biasa pada efek analgesik adalah 30 sampai 60 menit setelah
dosis tunggal intravena sampai 100 mcg (0,1 mg). Dosis injeksi Fentanyl 12,5 µg
menghasilkan efek puncak, dengan dosis yang lebih rendah tidak memiliki efek
apapun dan dosis tinggi meningkatkan kejadian efek samping24.
Saat ini Bupivakain 0,5% digunakan umumnya untuk anestesi spinal dan
epidural. Jika digabungkan dengan fentanyl intratekal dapat memberikan
kedalaman anestesi dengan mengurangi dosis bupivakain. Fentanyl merupakan
opioid lipofilik dan mempunyai onset kerja cepat dan lama kerja pendek sehingga
insidensi depresi pernafasan lebih rendah. Dari hasil penelitian didapatkan
dimulainya blok terhadap sensorik pada T6. Dari penelitian ini terbukti bahwa
dengan penambahan fentanil pada anastesi spinal dapat mengurangi dosis
bupivacain sehingga insidensi hipotensi dan penurunan tekanan darah sistolik dapat
menurun juga.
ANESTESI SPINAL PADA TURP

Pasien yang menjalani TURP biasanya pada usia lanjut dan sering disertai
dengan penyakit jantung, paru, atau lainnya sehingga penting untuk membatasi
level blok untuk mengurangi efek cardiopulmonary yang merugikan pada pasien
tersebut. Penggunaan anastesi local dengan dosis yang lebih kecil memberikan
beberapa keuntungan misalnya hipotensi tidak terjadi karena tidak memblok
serabut saraf simpatik di daerah atas serta memperkecil resiko timbulnya toksisitas
sistemik obat anastesi local (Yang, 2009). TURP dengan menggunakan anestesia
regional tanpa sedasi ( Awake TURP ) lebih dipilih daripada anestesia umum
karena hal berikut :
1. Manifestasi awal dari Sindrom TURP lebih bisa dideteksi pada
pasien yang sadar
2. Vasodilatasi periferal berfungsi untuk membantu meminimalisir
overload sirkulasi.
3. Komplikasi hiponatremi akibat tertariknya Na+ oleh air irrigator
dapat cepat dikenali dengan adanya penurunan kesadaran, mual,
kejang.
4. Kehilangan darah akan lebih sedikit.

Pengawasan selama berlangsungnya operasi adalah sebagai berikut

Adapun hal-hal yang perlu diperhatikan selama berlangsungnya TURP


adalah gejala-gejala komplikasi yang dapat terjadi (Purnomo, 2011). Komplikasi
mayor yang dapat terjadi pada TURP adalah :
a. Pendarahan
Perdarahan pada TURP akan menimbulkan hipovolemia,
menyebabkankehilangan kemampuan mengangkut oksigen secara signifikan
sehingga bisa menuju iskemia myokardial dan infark miokard. Kehilangan
darah berkorelasi dengan ukuran kelenjar prostatyang direseksi, lamanya
pembedahan dan skill dari operator. Rata-rata kehilangan darah saat TURP
adalah 10ml/gram dari reseksi prostat.
b. Sindrom TURP
Reseksi prostat transurethral sering membuka jaringan ekstensif sinus vena
pada prostat danmemungkinkan absorbsi sistemik dari cairan irigasi. Absorbsi
dari cairan dalam jumlah yang besar (2 liter atau lebih) menghasilkan konstelasi
gejala dan tanda yang disebut dengan sindromTURP .
Manifestasi dari Sindrom TURP :
a) Hiponatremia
b) Hipoosmolaritas
c) Overload cairan
d) Gagal jantung kongestif
e) Edema paru
f) Hipotensi
g) Hemolisis
h) Keracunancairan
i) Hiperglisinemia
j) Hiperamonemia
k) Hiperglikemia
l) Ekspansi volume intravaskular
Sindrom TURP adalah satu dari komplikasi tersering pembedahan
endoskopi urologi. Insiden sindrom TURP mencapai 20% dan membawa angka
mortalitas yang signifikan. Walaupunterdapat peningkatan di bidang anestesi
2,5%-20 % pasien yang mengalami TURP menunjukkansatu atau lebih gejala
sindrom TURP dan 0,5% - 5% diantaranya meninggal pada waktu perioperatif.
Angka mortalitas dari sindrom TURP ini sebesar 0,99%
Reseksi kelenjar prostate transuretra dilakukan dengan mempergunakan
cairan irigasi agar daerah yang di irigasi tetap terang dan tidak tertutup oleh
darah.

Syarat cairan yang dapat digunakan untuk TURP adalah: isotonik, non-
hemolitik, electrically inert , non-toksik, transparan, mudah untuk disterilisasi
dan tidak mahal. Akan tetapi sayangnya cairan yang memenuhi syarat seperti
di atas belumditemukan.Untuk TURP biasanya menggunakan cairan
nonelektrolit hipotonik sebagai cairan irigasi seperti air steril, Glisin 1,5%(230
mOsm/L), atau campuran Sorbitol 2,7% dengan Mannitol 0,54% (230 Osm/L).
Cairan yang boleh juga dipakai tapi jarang digunakan adalah Sorbitol
3,3%,Mannitol 3%, Dekstrosa 2,5-4% dan Urea 1%.
1) Hipovolemi, Hipotensi
Tanda hemodinamika klasik dari Sindrom TURP, ketika glisin digunakan
sebagai cairan irigasi,terdiri dari transient arterial hipertension, yang bisa tidak
muncul jika pendarahan berlebihan, diikuti dengan perpanjangan hipertensi.
Pelepasan substansi jaringan prostatik danendotoksin menuju sirkulasi dan
asidosis mtabolik yang bisa berkontribusi terhadap hipotensi
2) Gangguan Penglihatan
Salah satu komplikasi dari Sindrom TURP adalah kebutaan sementara,
pandangan berkabut, danmelihat lingkaran disekitar objek. Pupil menjadi
dilatasi dan tidak merespons. Lensa matanormal. Gejala bisa muncul bersamaan
dengan gejala lain dari Sindom TURP atau bisa jugamenjadi gejala yang
tersembunyi.Penglihatan kembali normal 8-48 jam setelah pembedahan.
Kebutaan TURPdisebabkan oleh disfungsi retina yang kemungkinan karena
keracunan glisin. Karena itu persepsidari cahaya dan refleks mengedipkan mata
dipertahankan dan respon pupil terhdap cahaya danakomodasi hilang pada
kebutaan TURP, tidak seperti kebutaan yang disebabkan karena disfungsi
Kortikal serebri.
3) Perforasi
Perforasi dari kandung kemih bisa terjadi saat TURP berkaitan dengan
instrumen pembedahan, pada reseksi yang sukar, distensi berlebihan dari
kantung kemih dan letusan didalam kantungkemih. Perforasi instrumen dari
kapsul prostatik telah diestimasi terjadi pada 1% dari pasienyang melakukan
TURP. Tanda awal dari perforasi, yang sering tidak diperhatikan
adalah penurunan kembalinya cairan irigasi dari kantung kemih. Dan diikuti
oleh nyeri abdomen,distensi dan nausea. Bradikardi dan hipotensi arterial juga
ditemukan. Juga ada resiko tinggikesalahan diurese spontan. Pada perforasi
intraperitoneal, gejalanya berkembang lebih cepat. Nyeri alih bahu yang
berkaitan dengan iritasi pada diafragma merupakan gejala
khas Pallor ,diaphoresis, rigiditas abdomen, nausea, muntah dan hipotensi bisa
terjadi. Perforasiekstraperitonial, pergerakan refleks dari ekstemitas bawah bisa
terjadi.Letusan didalam kantung kemih jarang terjadi. Kauter dari jaringan
prostat dipercaya bisamembebaskan gas yang mudah terbakar. Secara normal,
tidak cukup oksigen yang terdapatdidalam kantung kemih agar bisa terjadi
letusan. Tetapi jika udara masuk bersama dengan cairanirigasi akan bisa
berakibat timbulnya ledakan.
4) Koagulopati
DIC ( Disseminated Intravasculer Coagulation) bisa terjadi berkaitan
dengan pelepasan partikel prostat yang kaya akan jaringan thrombopalstin
menuju sirkulasi yang menyebabkan fibrinolisissekunder. Dilutional
trombositopenia bisa memperbusuk situasi. DIC bisa dideteksi pada
darahdengan timbulnya penurunan jumlah platelet, FDP ( Fibrin Degradation
Products) yang tinggi(FDP > 150 mg/dl) dan plasma fibrinogen yang rendah
(400 mg/dl)
5) Bakteremia, Septisemia dan Toksemia
Sekitar 30% dari semua pasien TURP memiliki urin yang terinfeksi saat
preoperatif. Ketika prostat sinus vena terbuka dan digunakan irigasi dengan
tekanan tinggi, maka bakteri akanmasuk menuju sirkualsi. Pada 6% pasien,
bakteremia menjadi septisemia. Absorbsi dariendotoksin bakteri dan produksi
toksin dari koagulasi jaringan akan berakibat keadaan toksik pada pasien
postoperatif. Gemetar yang parah, demam, dilatasi kapiler dan hipertensi bisa
terjadisecara temporer pada pasien ini.
6) Hipotermia
Hipotermia merupakan observasi yang selalu dilakukan pada pasien yang
akan dilakukan TURP.Penurunan dari suhu tubuh akan mengubah situasi
hemodinamika, yang mengakibatkan pasienmenggigil dan peningkatan
konsumsi oksigen. Irigasi kandung kemih merupakan sumber utamadari
hilangnya panas dan penggunaan cairan irigasi pada suhu ruangan
menghasilkan penurunansuhu tubuh sekitar 1-2oC. Ini diperburuk oleh keadaan
ruangan operasi yang bersuhu dingin.Pasien geriatri diduga akan mengalami
hipotermia karena disfungsi otonom. Vasokonstriksi danasidosis bisa berefek
pada jantung dan berkontribusi terhadap manifestasi sistem saraf
pusat.Menggigil juga bisa diperparah oleh pendarahan dari tempat reseksi.
BAB III

PEMBAHASAN DAN KESIMPULAN

A. PEMBAHASAN

Tn. S dengan diagnosis BPH. Dari hasil anamnesis dan pemeriksaan fisik
pre operatif menunjukkan keadaan pasien ASA II (pasien ini termasuk geriatri).
Urutan tindakan :
1. Pasien diposisikan duduk membungkuk dengan memeluk
bantal di depan. Lalu dilakukan teknik anestesi spinal, yaitu dengan mensterilkan
bagian yang ditusuk dengan betadine, dilanjutkan penusukan jarum dilakukan pada
L2-L3, L3-L4, L4-L5. Jika kita yakin penusukan jarum spinal pada posisi yang
benar dan likuor tidak keluar, putar arah jarum 90O biasanya likuor akan keluar.
Dilanjutkan dengan memasukkan bunascan 0,5% 1 ampul. Lalu tidurkan pasien
dengan menggunakan bantal.
2. Kemudian dipasang monitor vital sign dan saturasi O2. Lalu
kita lakukan pemeriksaan tanda vital dan pemasangan infus asering dikarenakan
agar pasien tidak kekurangan cairan.
3. Kemudian masukan Vonseron 4 mg dan Torasik 30 mg (bisa
diberikan di tengah-tengah operasi).
4. Kedalaman anestesi dinilai dari tanda-tanda mata (bola mata
menetap), nadi tidak cepat dan terhadap rangsang operasi tidak banyak berubah.
Jika stadium anestesi sudah cukup dalam, reflek bulu mata hilang, nasal canule
dipasang dengan aliran oksigen 2 liter.
5. Selama operasi perhatikan tanda-tanda vital.
6. Operasi berlangsung 30 menit, tanda vital dan SaO2 baik
selama operasi.
7. Pada saat pasien sudah berada di recovery room oksigenasi
dengan O2 tetap diberikan, kemudian dilakukan fungsi vital menurut Aldrette’s
score
 Kesadaran : orientasi baik, dapat dibangunkan
 Pernafasan : spontan, pasien dapat bernafas
dalam
 Warna kulit : merah muda, tanpa oksigen Sat O2 >
98%
 Aktivitas : 2 ekstrimitas bergerak
 Tekanan darah : 110/70 mmHg
 Nadi : 82 x/mnt

Pada pasien ini :


 Kesadaran :2
 Warna kulit :2
 Aktivitas :2
 Respirasi :2
 Tekanan darah :2
Jumlah pulih sadar :10
Kesimpulan : pasien diperbolehkan ke ruang perawatan

B. KESIMPULAN

Spinal anestesi adalah anestesi regional dengan tindakan penyuntikan obat


anestetik local ke dalam ruang subarachnoid dan memberikan keuntungan tertentu
selama intraoperative TURP. Pada pasien ini digunakan spinal anestesi karena
memenuhi beberapa indikasi dilakukannya spinal anestesi dan tidak melanggar
kontraindikasinya karena pada pasien ini tidak memerlukan waktu operasi yang
lama dan tidak memerlukan penjagaan nafas.
Penatalaksanaan anestesi pada pasien dengan TURP harus benar-benar
diperhatikan sejak pre-operatif, intra-operatif, dan post-operatif. Pada fase pre-
operatif harus kita gali kemungkinan yang dapat menyebabkan sindroma TURP
seperti kelainan elektrolit melalui anamnesis, pemeriksaan fisik, dan juga
pemeriksaan penunjang yang mendukung, kita dapat menentukan pendekatan
anestesi terbaik pada pasien. Selama anestesi dan operasi barlangsung tidak
didapati kendali/masalah. Setelah operasi berhasil pasien segera dipindahkan ke
ruang pulih sadar. Dan berdasarkan kriteria skala pulih sadar yang dinilai pada
pasien ini, didapatkan penilaian pulih sadar dengan nilai 10, yang bermakna pasien
dapat langsung dipindahkan ke dalam ruang perawatan.
Sindroma TURP merupakan komplikasi tersering yang terjadi selama
proses operasi TURP. Sindroma TURP terjadi akibat terabsorbsi nya cairan irigasi
kedalam sirkulasi tubuh yang dapat mengakibatkan komplikasi tertentu, komplikasi
berupa hiponatremia, hypovolemia, toksisitas cairan. Pada anestesi spinal dapat
mempertahankan kesadaran pasien, dalam keadaan sadar pasien akan lebih mudah
untuk dipantau.pada kasus ini tindakan anestesi dan tindakan operatif berjalan
dengan baik.
DAFTAR PUSTAKA

1. Gunawan, S. G. Farmakologi dan Terapi. Edisi 5. FKUI. Jakarta. 2007. Hal 786-787.
2. Bridenbaugh PO, Greene NM, Brull SJ. Spinal (Subarachnoid) Neural Blockade. In : Cousins
MJ, Bridenbaugh PO eds. Neural Blockade in Clinical Anesthesia and Management of Pain.
Third Edition. Philadelphia : Lippincott-Raven. 1998. Pages 203-209
3. Marwoto.2000. Mula dan lama kerja antara lidokain, lidokain-bupivakain dan bupivakain pada
blok epidural. Dalam: Kumpulan makalah pertemuan ilmiah berkala X-IDSAI. Bandung; 520-
521.
4. Dobson, M. B. Anestesi Spinal dalam Buku Penuntun Praktis Anestesi. EGC. Jakarta. 1994.
Hal 101-104.
5. Covino BG, Scott DB, Lambert DH. Handbook of Spinal Anesthesia and Analgesia.
Mediglobe. Fribourg. 1994. Pages 71-104.
6. Latief SA, Surjadi K, Dachlan MR. Petunjuk Praktis Anestesiologi. Edisi 1. FKUI. Jakarta.
2001. Hal 124-127.
7. Snell R, Liliana S. Anatomi Klinik untuk Mahasiswa Kedokteran. Edisi 6. EGC. Jakarta. 2006.
8. Mansjoer, Arif, dkk. Anestesi Spinal dalam Buku Kapita Selekta Kedokteran. Edisi 3.
Aesculapius. Jakarta. 2000. Hal 261-264.
9. Katzung BG. Basic and Clinical Pharmacology. Terjemahan Sjabana D, Isbandiati E, Basori A.
Edisi 8. Penerbit Salemba Medika. Jakarta. 2002. Hal 170-171.
10. Hodgson PS, Liu SS. 2001. Local Anesthetics. In Textbook Clinical Anesthesia. Forth Edition.
Philadelphia. Lippincott Williams and Wilkins Co. 2001. Pages 449-465.
11. Davies, J., Eden, C., Boot, S., Langley, S. 2005. A patient’s Guide to TURP – Your Prostat
Operation. Prostat Cancer Centre, Guildford.
12. Moorthy H K, Philip S. 2001. TURP syndrome - current concepts in the pathophysiology and
management. Indian J Urol;17:97-102
13. Norris HT, Aasheim GM, Sherrard DJ, Tremann JA. 1973. Symptomatology, pathophysiology
and treatment of the transurethral resection of the prostate syndrome. Br J Urol: 45: 420-427.
14. Olsson J, Nilsson A. Hahn RG. 1995. Symptoms of the transurethral resection syndrome using
glycine as the irrigant. J Urol; 154: 123-128.
15. Soenarjo, Jatmiko HD. 2013. Anestesiologi Edisi 2. Semarang : FK Universitas Diponegoro.
16. Soenarjo, et al. 2013. Anestesiologi. Bagian Anestesiologi dan Terapi Intensif FAkultas
Kedokteran UNDIP/dr. Kariadi Semarang
17. Sutiyono et Winarno. 2009. Jarum Spinal dan Pengaruuh yang Mungkin Terjadi. Jurnal
Anestsiologi Indonesia
18. Yang Q, Petes TJ, Donovan JL, Wilt TJ, dan Abrams P. 2009. British Journal of Anasthesia.
Comparison of Intrathecal Fentanyl and Sufentanil in Low Dose Dilute Bupivacaine Spinal
Anasthesia for Transurethral Prostectomy”. Vol 103,Number 5. Page 750

Anda mungkin juga menyukai