Disusun oleh :
Disusun Oleh :
Pembimbing:
dr. Tinon Anindita, Sp. An
Disusun Oleh :
20174011030
Disahkan oleh:
Dokter pembimbing,
STATUS PASIEN
IDENTITAS PASIEN
Nama : Tn.S
Umur : 67 tahun
Keluhan Utama
Pasien datang ke IGD RSUD Salatiga dengan keluhan sulit kencing (+) dan
nyeri perut (+). Pasien ± 3 hari SMRS tidak bisa BAK dan ±1 SMRS pasien
tidak tuntas saat BAK. Pasien juga memiliki riwayat sering menahan kencing.
Adanya anggota keluarga yang memiliki penyakit jantung, DM, asma disangkal
oleh pasien
PEMERIKSAAN FISIK
c. GCS : E4M6V5 = 15
N : 81 x/menit
R : 20 x/menit
S : 36,5°C
e. Status Generalis
- Kepala : normocephal
- Mata : Konjungtiva anemis (-/-), sklera ikterik (-/-), pupil isokor,
meningkat
Cor
Pulmo
Auskultasi : SD : Vesikuler
ST : Tidak ada
- Abdomen
tidak teraba
DIAGNOSA KERJA
PEMERIKSAAN PENUNJANG
KESIMPULAN
Bunascan 20 mg/ml
Vomceran 4 mg
Torasic 30 mg
O2 2 liter/menit
Pelaksanaan Anestesi
Pukul 11.00 :
No.18
Pukul 11.30 :
Pukul 11.40 :
o Operasi dimulai
Pukul 12.30 :
o Operasi selesai
dipertahankan.
Pengawasan Anestesi
Post Operasi
- Nadi : 80x/mnt
- SpO2 : 100%
- Kesadaran :2
- Pernafasan :2
- Tekanan darah :2
- Aktivitas :2
- Warna kulit :2
Total score = 10
TINJAUAN PUSTAKA
A. DEFINISI
TURP (Transurethral Resection of Prostate) merupakan sebuah operasi reseksi
kelenjar prostat yang dilakukan transurethral dengan menggunakan cairan irigan
(pembilas) yang dimaksudkan menghilangkan hyperplasia prostat yang menekan
uretra. Operasi ini perlu dilakukan pada pasien Benigna Prostat Hiperplasia, karena
dapat menyebabkan penekanan pada uretra yang dapat menyebabkan aliran urin
dari bladder akan terganggu. bila di biarkan akan menyebabkan penyumbatan, yang
pada akhirnya akan menybabkan hidronefrosis; resiko terjadi kegagalan ginjal
tinggi.
Secara umum indikasi untuk metode TURP adalah pasien dengan gejala
sumbatan yang menetap, progresif akibat pembesaran prostat, atau tidak dapat
diobati dengan terapi obat lagi. Indikasi lainnya adalah gejala-gejala dari sedang
sampai berat, volume prostat kurang dari 60 gram dan pasien cukup sehat untuk
menjalani operasi. Operasi ini dilakukan pada prostat yang mengalami pembesaran
antara 30-60 gram,
Menurut Agency for Health Care Policy and Research guidelines, indikasi
absolut pembedahan pada BPH adalah sebagai berikut :
1. Retensi urine yang berulang.
2. Infeksi saluran kemih rekuren akibat pembesaran prostat.
3. Gross hematuria berulang.
4. Insufisiensi ginjal akibat obstruksi saluran kemih pada buli.
5. Kerusakan permanen buli atau kelemahan buli-buli.
6. Divertikulum yang besar pada buli yang menyebabkan pengosongan
buli terganggu akibat pembesaran prostat.
C. PERSIAPAN TURP
2.PSA (prostat spesific antigen) test. PSA adalah sebuah protein yang di
hasilkan oleh cell prostat. PSA diketahui meningkat pada cancer prostat, dan
ada kecenderungan meningkat pada usia tua, sehingga kecenderungan pula
pada usia tua untuk munculnya kelainan ini.
3.Rectal ultrasound dan prostat biopsi. jika ada kecurigaan adanya tumor pada
prostat, maka dokter mungkin akan melakukan pemeriksaan ini. pemeriksaan
ini dilakukan dengan memasukan melalui rectum direct wave sound pada
prostat, dimana gambaran apakah ada tumor atau tidak dapat dilihat pada
sebuah screen. Dokter juga dapat menggunakan ultrasoun
image sebagai guide dalam biopsi.
ANESTESI SPINAL
A. DEFINISI
Potensi dan lama kerja anestesi lokal berhubungan dengan sifat individual
zat anestesi lokal dan ditentukan oleh kecepatan absorpsi sistemiknya, sehingga
semakin tinggi tingkat daya ikat protein pada reseptor, semakin panjang lama kerja
anestesi lokal tersebut.
Potensi dan lama kerja dapat ditingkatkan dengan meningkatkan
konsentrasi dan dosis. Potensi yang kuat berhubungan dengan tingginya kelarutan
dalam lemak, karena hal ini akan memungkinkan kelarutan dan memudahkan obat
anestesi lokal mencapai membran sel. Terjadinya vasokontriksi akan menghambat
serta memperpanjang efek, sedangkan vasodilatasi akan meningkatkan
pengambilan (uptake) obat dari jaringan.
Serabut-serabut preganglionik B bermielin dengan daya hantar cepat (faster
conducting) 3 kali lebih sensitif dibandingkan dengan serabut postganglionyc C
yang tak bermielin dengan daya hantar lambat (slowerconducting). Pada percobaan
laboratorium dan klinik didapatkan bahwa semua preganglionyc sensitif terhadap
pengaruh obat anestesi lokal. Serabut jenis ini banyak terdapat pada rami
communicantes alba pada rantai saraf simpatis. Efek yang terjadi adalah hipotensi.
Hal ini sering didapatkan atau merupakan efek samping anestesi regional. Glissen
dan kawan-kawan, menemukan bahwa serabut A lebih sensitif daripada serabut B
dan C. Rosenberg dan kawan-kawan, justru mendapatkan bukti bahwa hampir
seluruh serabut-serabut saraf itu (A, B dan C) mempunyai resistensi yang sama
besar. Data dari percobaan laboratorium pada suhu kamar seperti yang dilakukan
Glissen tergantung pada perubahan temperatur dan serabut bermielin memberikan
reaksi terhadap pendinginan dimana serabut A resisten terhadap obat anestesi lokal,
hal ini terjadi karena serabut A-delta yang mengatur sensasi nyeri dan suhu lebih
sensitif dibanding serabut C yang juga mengatur rasa nyeri meskipun ia mempunyai
daya hantar yang lebih cepat. Nyeri patologis (dihantarkan oleh serabut C) seperti
yang terjadi pada robeknya rahim (ruptur uteri) atau plasenta, dapat dihambat
dengan melakukan blok epidural pada penanggulangan nyeri persalinan.
Sensitivitas serabut Aδ yang lebih besar dari pada serabut C mungkin
menerangkan fenomena ini. Serabut-serabut sensorik Aa meskipun kecepatan
hantaran kedua jenis serabut ini sama. Mungkin hal ini terjadi karena serabut
sensorik menghantarkan impuls pada frekwensi yang lebih tinggi. Semua zat
anestesi spinal memblokade bagian sensorik lebih cepat daripada motorik dan
menunjukkan selektivitas yang sama terhadap berbagai serabut saraf yang berbeda.
Sensitivitas relatif dan jenis serabut yang berbeda tergantung dari penempatannya
pada berkas saraf (nerve bundle). Kesimpulannya, tingkat sensitivitas terhadap
blokade adalah sebagai berikut (dimulai dari yang paling sensitif) : preganglionik,
nyeri dan suhu sentuh, propioseptik dan serabut motorik. Tampak bahwa serabut
motorik adalah yang paling sukar di blockade / dihambat.
Anestesi spinal merupakan teknik anestesi yang sangat aman khususnya
dalam meminimalkan pengaruh respirasi (pernafasan), meskipun hipoksemia dapat
juga terjadi selama anestesi spinal. Banyak faktor yang mempengaruhi kejadian
hipoksemia ini antara lain: umur, berat badan, tingkat blok dan tipe pembedahan
dipercaya dalam patogenesis desaturasi oksigen, body massa index (BMI), tekanan
darah dan denyut jantung.
Anestesi spinal memblok akar serabut saraf (nervus) pada daerah
subarakhnoid, dimana daerah medula spinalis dimulai dari foramen magnum
sampai lumbal 1 (L1) pada dewasa, lumbal 2 (L2) pada anak-anak dan lumbal 3
pada bayi, sedangkan saccus duralis, ruang subarakhnoid dan ruang subdural
berakhir di sakral 2 (S2) pada dewasa dan sakral 3 (S3) pada anak-anak.
H. KONTRAINDIKASI
Pada Anestesi spinal terdapat kontraindikasi absolut dan relatif.
Kontraindikasi Absolut diantaranya penolakan pasien, infeksi pada tempat
suntikan, hipovolemia, penyakit neurologis yang tidak diketahui, koagulopati, dan
peningkatan tekanan intrakanial, kecuali pada kasus-kasus pseudotumor cerebri.
Sedangkan kontraindikasi relatif meliputi sepsis pada tempat tusukan (misalnya,
infeksi ekstremitas korioamnionitis atau lebih rendah) dan lama operasi yang tidak
diketahui. Dalam beberapa kasus, jika pasien mendapat terapi antibiotik dan tanda-
tanda vital stabil, anestesi spinal dapat dipertimbangkan, sebelum melakukan
anestesi spinal, ahli anestesi harus memeriksa kembali pasien untuk mencari
adanya tanda-tanda infeksi, yang dapat meningkatkan risiko meningitis14.
Syok hipovolemia pra operatif dapat meningkatkan risiko hipotensi setelah
pemberian anestesi spinal. Tekanan intrakranial yang tinggi juga dapat
meningkatkan risiko herniasi uncus ketika cairan serebrospinal keluar melalui
jarum, jika tekanan intrakranial meningkat. Setelah injeksi anestesi spinal, herniasi
otak dapat terjadi.
Kelainan koagulasi dapat meningkatkan risiko pembentukan hematoma, hal
ini sangat penting untuk menentukan jumlah waktu yang dibutuhkan untuk
menyelesaikan operasi sebelum menginduksi anestesi spinal. Jika durasi operasi
tidak diketahui, anestesi spinal yang diberikan mungkin tidak cukup panjang untuk
menyelesaikan operasi dengan mengetahui durasi operasi membantu ahli anestesi
menentukan anestesi lokal yang akan digunakan, penambahan terapi spinal seperti
epinefrin, dan apakah kateter spinal akan diperlukan14.
Pertimbangan lain saat melakukan anestesi spinal adalah tempat operasi,
karena operasi di atas umbilikus akan sulit untuk menutup dengan tulang belakang
sebagai teknik tunggal. Anestesi spinal pada pasien dengan penyakit neurologis,
seperti multiple sclerosis, masih kontroversial karena dalam percobaan in vitro
didapatkan bahwa saraf demielinisasi lebih rentan terhadap toksisitas obat bius
lokal.
Penyakit jantung yang level sensorik di atas T6 merupakan kontraindikasi
relatif terhadap anestesi spinal seperti pada stenosis aorta, dianggap sebagai
kontraindikasi mutlak untuk anestesi spinal, sekarang mungkin menggabungkan
pembiusan spinal dilakukan dengan hati-hati dalam perawatan anestesi mereka
deformitas dari kolomna spinalis dapat meningkatkan kesulitan dalam
menempatkan anesetesi spinal. Arthritis, kyphoscoliosis, dan operasi fusi lumbal
sebelumnya semua faktor dalam kemampuan dokter anestesi untuk performa
anestesi spinal. Hal ini penting untuk memeriksa kembali pasien untuk menentukan
kelainan apapun pada anatomi sebelum mencoba anestesi spinal14.
I. KOMPLIKASI
Komplikasi analgesia spinal dibagi menjadi komplikasi dini dan komplikasi
lambat. Komplikasi berupa gangguan pada sirkulasi, respirasi dan gastrointestinal.
Komplikasi sirkulasi:
1. Hipotensi
Tekanan darah yang turun setelah anestesi spinal sering terjadi. Biasanya
terjadinya pada 10 menit pertama setelah suntikan, sehingga tekanan darah perlu
diukur setiap 10 menit pertama setelah suntikan, sehingga tekanan darah perlu
diukur setiap 2 menit selama periode ini. Jika tekanan darah sistolik turun dibawah
75 mmHg (10 kPa), atau terdapat gejala-gejala penurunan tekanan darah, maka kita
harus bertindak cepat untuk menghindari cedera pada ginjal, jantung dan otak.
Hipotensi terjadi karena vasodilatasi, akibat blok simpatis, makin tinggi blok makin
berat hipotensi.
Pencegahan hipotensi dilakukan dengan memberikan infuse cairan
kristaloid (NaCl, Ringer laktat) secara cepat segera setelah penyuntikan anestesi
spinal dan juga berikan oksigen. Bila dengan cairan infus cepat tersebut masih
terjadi hipotensi harus diobati dengan vasopressor seperti efedrin 15-25 mg
intramuskular. Jarang terjadi, blok spinal total dengan anestesi dan paralisis seluruh
tubuh. Pada kasus demikian, kita harus melakukan intubasi dan melakukan ventilasi
paru, serta berikan penanganan seperti pada hipotensi berat. Dengan cara ini,
biasanya blok spinal total dapat diatasi dalam 2 jam14.
2. Bradikardia
Bradikardia dapat terjadi karena aliran darah balik berkurang atau karena
blok simpatis, Jika denyut jantung di bawah 65 kali per menit, berikan atropin 0,5
mg intravena14.
3. Sakit Kepala
Sakit kepala pasca operasi merupakan salah satu komplikasi anestesi spinal
yang sering terjadi. Sakit kepala akibat anestesi spinal biasanya akan memburuk
bila pasien duduk atau berdiri dan hilang bila pasien berbaring. Sakit kepala
biasanya pada daerah frontal atau oksipital dan tidak ada hubungannya dengan
kekakuan leher. Hal ini disebabkan oleh hilangnya cairan serebrospinal dari otak
melalui pungsi dura, makin besar lubang, makin besar kemungkinan terjadinya
sakit kepala. Ini dapat dicegah dengan membiarkan pasien berbaring secara datar
(boleh menggunakan satu bantal) selama 24 jam.
Nyeri sakit kepala PDPH menurut Crocker (1976) dikelompokkan menjadi
4 skala yakni:
1. Nyeri kepala ringan yang memungkinkan periode lama untuk duduk
berdiri dan tanpa ada gejala tambahan lain.
2. Sakit kepala sedang, yang membuat pasien tidak dapat bertahan berada
pada posisi tegak lurus selama lebih dari setengah jam. Biasanya di sertai
dengan mual, muntah dan gangguan pendengaran dan penglihatan.
3. Sakit kepala berat yang timbul segera ketika beranjak dari tempat tidur,
berkurang bila berbaring terlentang di tempat tidur. Sering disertai dengan
mual, muntah, gangguan penglihatan dan pendengaran.
4. Nyeri kepala sangat berat yang timbul bahkan ketika penderita sedang
berbaring terlentang di tempat tidur dan bertambah makin berat bila duduk
atau berdiri, untuk makan tidak mungkin dilakukan karena mual dan
muntah.
Ada beberapa terapi yang sering dipakai untuk penanganan PDPH, baik
invasif maupun non-invasif, yang tersedia bagi tim anestesi. Walaupun tidak
semuanya didukung oleh evidence based yang lengkap, tetapi kebanyakan telah
diterima dengan baik oleh berbagai kalangan anestesiolog. Terapi non-invasif
meliputi tirah baring, status hidrasi, posisi, ikatan abdominal, analgesia, dan obat-
obat farmakologis lain seperti kaffein intravena, theophylline, dsb. Terapi invasif
meliputi Epidural Blood Patch dan Epidural Dextran.
Terapi konservatif meliputi posisi berbaring, analgesia, stagen abdomen,
pemberian cairan infus atau oral, dan kaffein. Menjaga pasien tetap supine akan
mengurangi tekanan hidrostatik yang mendorong cairan keluar dari lubang dura dan
meminimalkan nyeri kepala. Medikasi analgesia bisa berkisar dari asetaminofen
sampai NSAID. Hidrasi dan kaffein bekerja menstimulasi produksi CSF. Kaffein
membantu dengan menyebabkan vasokonstriksi pembuluh darah intrakranial.
Salah satu yang menjadi faktor penentu terjadinya PDPH adalah status hidrasi
pasien, dimana konsep hidrasi pada PDPH masih banyak salah dimengerti. Tujuan
dari hidrasi adalah untuk memastikan kecepatan produksi CSF optimal,
dimanaselama 10 menit. Bila terjadi perbedaan MAP lebih dari 10, maka
dinyatakan Tilt Test positif dan pasien masih belum terhidrasi dengan cukup.
Epidural blood patch merupakan penanganan yang sangat efektif terhadap
PDPH. Dengan melakukan injeksi 15-20 cc darah autologous ke ruang epidural
pada, satu interspace dibawahnya atau pada tempat tusukan dura. Hal ini dipercaya
akan menghentikan kebocoran yang terjadi pada CSF oleh karena efek massa atau
koagulasi. Efeknya bisa terjadi segera atau beberapa jam setelah tindakan ketika
produksi CSF secara perlahan akan meningkatkan tekanan intrakranial yang
dibutuhkan. Sebanyak 90% pasien akan memberikan respon terhadap tindakan
blood patch ini.
Komplikasi Respirasi
1.Analisa gas darah cukup memuaskan pada blok spinal tinggi, bila fungsi paru-
paru normal.
2.Penderita PPOM atau COPD merupakan kontra indikasi untuk blok spinal tinggi.
3.Apnoe dapat disebabkan karena blok spinal yang terlalu tinggi atau karena
hipotensi berat dan iskemia medulla.
4.Kesulitan bicara,batuk kering yang persisten,sesak nafas, merupakan tanda-
tanda tidak adekuatnya pernafasan yang perlu segera ditangani dengan pernafasan buatan
Komplikasi gastrointestinal
Nausea dan muntah karena hipotensi, hipoksia, tonus parasimpatis
berlebihan, pemakaian obat narkotik, reflek karena traksi pada traktus
gastrointestinal serta komplikasi delayed, pusing kepala pasca pungsi lumbal
merupakan nyeri kepala dengan ciri khas terasa lebih berat pada perubahan posisi
dari tidur ke posisi tegak. Mulai terasa pada 24-48jam pasca pungsi lumbal, dengan
kekerapan yang bervariasi. Pada orang tua lebih jarang dan pada kehamilan
meningkat.
BUPIVAKAIN
Bupivakain merupakan obat anestesi lokal dengan rumus bangun sebagai
berikut : 1-butyl-N-(2,6-dimethylphenyl)-piperidecarboxamide hydrochloride.
Bupivakain adalah derivat butil dari mepivakain yang kurang lebih tiga kali lebih
kuat daripada asalnya. Obat ini bersifat long acting dan disintesa oleh BO af
Ekenstem dan dipakai pertama kali pada tahun 196312. Secara komersial bupivakain
tersedia dalam 5 mg/ml solutions. Dengan kecenderungan yang lebih menghambat
sensoris daripada motoris menyebabkan obat ini sering digunakan untuk analgesia
selama persalinan dan pasca bedah16.
Pada tahun-tahun terakhir, larutan bupivakain baik isobarik maupun
hiperbarik telah banyak digunakan pada blok subrakhnoid untuk operasi abdominal
bawah. Pemberian bupivakain isobarik, biasanya menggunakan konsentrasi 0,5%,
volume 3-4 ml dan dosis total 15-20 mg, sedangkan bupivakain hiperbarik
diberikan dengan konsentrasi 0,5%, volume 2-4ml dan total dosis 15-22,5 mg.
Bupivakain dapat melewati sawar darah uri tetapi hanya dalam jumlah kecil. Bila
diberikan dalam dosis ulangan, takifilaksis yang terjadi lebih ringan bila
dibandingkan dengan lidokain. Salah satu sifat yang paling disukai dari bupivakain
selain dari kerjanya yang panjang adalah sifat blockade motorisnya yang lemah.
Toksisitasnya lebih kurang sama dengan tetrakain16. Bupivakain juga mempunyai
lama kerja yang lebih panjang dari lignokain karena mempunyai kemampuan yang
lebih besar untuk mengikat protein. Untuk menghilangkan nyeri pada persalinan,
dosis sebesar 30 mg akan memberikan rasa bebas nyeri selama 2 jam disertai
blokade motoris yang ringan. Analgesik paska bedah dapat berlangsung selama 4
jam atau lebih, sedangkan pemberian dengan tehnik anestesi kaudal akan
memberikan efek analgesik selama 8 jam atau lebih. Pada dosis 0,25 – 0,375 %
merupakan obat terpilih untuk obstetrik dan analgesik paska bedah. Konsentrasi
yang lebih tinggi (0,5 – 0,75 %) digunakan untuk pembedahan. Konsentrasi
infiltrasi 0,25 - 0.5 %, blok saraf tepi 0,25 – 0,5 %, epidural 0,5 – 0,75 %, spinal
0,5 %. Dosis maksimal pada pemberian tunggal adalah 175 mg. Dosis rata-ratanya
3 – 4 mg / kgBB.
KLONIDIN
Klonidin adalah salah satu contoh dari agonis α2 yang digunakan untuk obat
antihipertensi (penurunan resistensi pembuluh darah sistemik) dan efek kronotropik
negatif. Lebih jauh lagi, klonidin dan obat α2 agonis lain juga mempunyai efek
sedasi. Dalam beberapa penelitian juga ditemukan efek anestesi dari pemberian
secara oral (3-5μg/kg), intramuscular (2μg/kg), intravena (1-3μg/kg), transdermal
(0,1-0,3 mg setiap hari) intratekal 75-150μg) dan epidural (1-2μg/kg) dari
pemberian klonidin. Secara umum klonidin menurunkan kebutuhan anestesi dan
analgesi (menurunkan MAC) dan memberikan efek sedasi dan anxiolisis. Selama
anestesi umum, klonidin dilaporkan juga meningkatkan stabilitias sirkulasi
intraoperatif dengan menurunkan tingkatan katekolamin. Selama anestesi regional,
termasuk peripheral nerve block, klonidin akan meningkatkan durasi dari blokade.
Efek langsung pada medula spinalis mungkin dibantu oleh reseptor postsinaptik α2
dengan ramus dorsalis. Keuntungan lain juga mungkin berupa menurunkan
terjadinya postoperative shivering, inhibisi dari kekakuan otot akibat obat opioid,
gejala withdrawal dari opioid, dan pengobatan dari beberapa sindrom nyeri kronis.
Efek samping dapat berupa bradikardia, hypotensi, sedasi, depresi nafas dan mulut
kering.
Klonidin adalah agonis alfa2-adrenergik parsial selektif yang bekerja secara
sentral yang bekerja sebagai obat anti hipertensi melalui kemampuannya untuk
menurunkan keluaran sistem saraf simpatis dari sistem saraf pusat. Obat ini telah
terbukti efektif digunakan pada pasien dengan hipertensi berat atau penyakit renin-
dependen. Dosis dewasa yang biasa digunakan per oral adalah 0,2-0,3 mg.
Ketersediaan klonidin transdermal ditujukan untuk pemberian secara mingguan
pada pasien bedah yang tidak dapat diberikan obat per oral11.
EFEDRIN
Efedrin merupakan golongan simpatomimetik non katekolamin yang secara
alami ditemukan di tumbuhan efedra sebagai alkaloid. Efedrin mempunyai gugus
OH pada cincin benzena , gugus ini memegang peranan dalam “efek secara
langsung” pada sel efektor. Seperti halnya Epinefrin, efedrin bekerja pada reseptor
α, α1, α219. Efek pada α1 di perifer adalah dengan jalan menghambat aktivasi adenil
siklase. Efek pada α1 dan α2 adalah melalui stimulasi siklik-adenosin 3-5
monofosfat. Efek α1 berupa takikardi tidak nyata karena terjadi penekanan pada
baroreseptor karena efek peningkatan TD20. Efek perifer efedrin melalui kerja
langsung dan melalui pelepasan NE endogen. Kerja tidak langsungnya mendasari
timbulnya takifilaksis (pemberian efedrin yang terus menerus dalam jangka waktu
singkat akan menimbulkan efek yang makin lemah karena semakin sedikitnya
sumber NE yang dapat dilepas, efek yang menurun ini disebut takifilaksis terhadap
efek perifernya.21 Hanya I-efedrin dan efedrin rasemik yang digunakan dalam
klinik20.
Efedrin yang diberikan masuk ke dalam sitoplasma ujung saraf adrenergik dan
mendesak NE keluar21. Efek kardiovaskuler efedrin menyerupai efek Epinefrin
tetapi berlangsung kira-kira 10 kali lebih lama. Tekanan sistolik meningkat juga
biasanya tekanan diastolic, sehingga tekanan nadi membesar. Peningkatan tekanan
darah ini sebagian disebabkan oleh vasokontriksi, tetapi terutama oleh stimulasi
jantung yang meningkatkan kekuatan kontraksi jantung dan curah jantung. Denyut
jantung mungkin tidak berubah akibat reflex kompensasi vagal terhadap kenaikan
tekanan darah. Aliran darah ginjal dan visceral berkurang, sedangkan aliran darah
koroner, otak dan otot rangka meningkat. Berbeda dengan Epinefrin, penurunan
tekanan darah pada dosis rendah tidak nyata pada efedrin20.
Efek efedrin terhadap hemodinamik lebih rendah dibanding epinefrin
karena efek efedrin pada α1 di vena lebih dominan dibanding di arteri, sehingga
respon peningkatan TD lebih lemah 250 kali dibanding adrenalin. Efek efedrin
berupa peningkatan TD, HR, CO, aliran darah koroner dan peningkatan SVR.
Efedrin bolus 5-10 mg pada orang dewasa normal sedikit meningkatkan SVR dan
peningkatan TD yang terjadi pada pemberian efedrin adalah hasil dari akumulasi
dari peningkatan SVR, preload, HR< CO. Setelah pemberian efedrin terjadi
vasokontriksi pada vascular band, juga disertai vasodilatasi pada daerah lain
melalui reseptor α2. Melalui reseptor â1 akan meningkatkan kontraktilitas otot
jantung.
Efedrin adalah vasopresor yang sering digunakan untuk kasus hipotensi
karena subarakhnoid block (SAB), blok epidural, karena obat induksi IV dan
inhalasi. Untuk mengatasi hipotensi ini efedrin diberikan 3-10 mg IV atau 25-50
mg IM. Pemberian efedrin sampai dosis 70μ/kgBB tidak meningkatkan TD secara
bermakna. Efedrin dapat menurunkan renal blood flow (RBF), dan efek metabolik
berupa peningkatan gula darah, namun peningkatan gula darah ini tidak sebesar
akibat epinefrin. Efek efedrin terhadap uterus akan mengurangi aktivitas otot
uterus, dan pada bronkus akan menyebabkan relaksasi otot polos bronkus, sehingga
dapat dipakai untuk pengobatan asthma bronchial . Bronkorelaksasi oleh efedrin
lebih lemah tetapi berlangsung lebih lama dibandingkan dengan epinefrin21.
Penetesan larutan efedrin pada mata menimbulkan midriasis. Reflek
cahaya, daya akomodasi dan tekanan intraokuler tidak berubah. Aktivitas uterus
dikurangi oleh efedrin : efek ini dapat dimanfaatkan pada dismenore. Efedrin
kurang efektif dalam meningkatkan kadar gula darah dibandingkan dengan
Epinefrin. Efek sentral efedrin menyerupai efek amfetamin tetapi lebih lemah.
Vasopresor yang ideal sebaiknya mempunyai efek sebagai berikut:
Mempunyai efek kronotropik dan inotropik positif
Tidak menstimulasi saraf pusat
Tidak menyebabkan hipertensi yang berkepanjangan.
EPINEFRIN (ADRENALIN)
Adrenalin (epinephrine), adalah hormon katekolamin yang dihasilkan oleh
bagian medula kelenjar adrenal, dan suatu neurotransmitter yang dilepas oleh
neuron-neuron tertentu yang bekerja aktif di sistem saraf pusat. Epinephrin
merupakan stimulator yang kuat pada reseptor adrenergik sistem saraf simpatis, dan
stimulan jatung yang kuat, mempercepat frekuensi denyut jantung dan
meningkatkan curah jantung, meningkatkan glikogenolisis, dan mengeluarkan efek
metabolik lain. Epinephrine disimpan dalam granul kromatin dan akan dilepas
sebagai respon terhadap hipoglikemia, stres dan rangsangan lain22.
Preparat sintetik epineprine bentuk levorotatori digunakan sebagai
vasokonstriktor topikal, stimulan jantung, dan bronkodilator, dapat diberikan
secara intranasal, intraoral, parenteral, atau inhalasi. Sedangkan norephineprine
(noradrenalin) adalah suatu katekolamin alamiah atau neurohormon yang
dilepaskan oleh saraf adrenergik pasca ganglion dan beberapa saraf otak, juga
disekresi oleh medula adrenal sebagai respon terhadap rangsangan splanchnicus
dan disimpan dalam granul kromafin. Norepineprine merupakan neurotransmitter
utama yang bekerja pada reseptor adrenergik α- dan β1. Norephineprine merupakan
vasopressor kuat dan biasanya dilepaskan dalam tubuh sebagai respon terhadap
hipotensi dan stres. Preparat farmasi senyawa norephinephrine biasanya dalam
bentuk garam bitartat.
Aktivitas neural adrenergik mempengaruhi aktivitas renin plasma. Efek
adrenalin, adalah menstimulasi reseptor β pada jantung, meningkatkan frekuensi
denyut jantung, meningkatkan kontraksi jantung, meningkatkan curah jantung,
meningkatkan metabolisme otot jantung dan konsumsi oksigen, mengakibatkan
sistole jantung abnormal karena tingginya frekuensi denyut jantung, dan aritmia
ventrikel. Sedangkan efek noradrenalin 2-10 kali lebih kecil dari adrenalin, yaitu
menghasilkan vasokonstriksi pada pembuluh darah kulit, dan membran mukosa,
vasodilatasi pada pembuluh darah otot skelet dengan peningkatan jumlah reseptor
β,berakibat menurunnya tahanan perifer pembuluh darah. Efek
adrenalin/noradrenalin pada kerja jantung, meningkatkan tekanan sistole jantung
oleh karena aktivitas otot jantung dan menurunkan tekanan diastole dengan
peningkatan tahanan perifer. Efek kedua hormon ini terhadap kerja otot jantung
dapat dihambat dengan agent pemblok reseptor β seperti propranolol.
Adrenalin (epinefrin) digunakan sebagai adjuvant pada anestesi regional.
Adrenalin digunakan untuk mengurangi konsentrasi plasma pada obat dan
meningkatkan tindakan anestesi. Adrenalin bersifat vasokonstiksi, dengan
mengurangi aliran darah pada tempat penyerapan lokal anestesi dan dan opioid,
dapat menguatkan dan memperpanjang obat-obat anestesi. Mekanisme yang kedua
yaitu dengan memperbaiki hambatan perifer oleh adrenalin dijelaskan dalam dua
jenis kompartemen, kompartemen luar (jaringan epineurial) dan kompartemen
dalam (endoneurium dan serabut-serabut saraf).
Adrenalin 200-500 µg (dosis tunggal) ditambahkan ke dalam anestesi spinal
sehingga memberikan hasil yang bervariasi sehingga memperpanjang blok yang
mempengaruhi dosis adrenalin dan anestesi lokal yang digunakan. Selain itu,
misalnya, pemberian adrenalin 200 µg intratekal pada 7,5 mg bupivakain dapat
memperpanjang modalitas sensorik, memperpanjang blokade motorik, dan
memperpanjang waktu untuk hambat sekitar 30-50 menit.
FENTANYL
Fentanyl termasuk obat golongan analgesik narkotika. Analgesik narkotika
digunakan sebagai penghilang nyeri. Dalam bentuk sediaan injeksi IM
(intramuskular) Fentanyl digunakan untuk menghilangkan sakit yang disebabkan
kanker. Menghilangkan periode sakit pada kanker adalah dengan menghilangkan
rasa sakit secara menyeluruh dengan obat untuk mengontrol rasa sakit yang
persisten/menetap. Obat Fentanyl digunakan hanya untuk pasien yang siap
menggunakan analgesik narkotika.
Fentanyl bekerja di dalam sistem saraf pusat untuk menghilangkan rasa
sakit. Beberapa efek samping juga disebabkan oleh aksinya di dalam sistem syaraf
pusat. Pada pemakaian yang lama dapat menyebabkan ketergantungan tetapi tidak
sering terjadi bila pemakaiannya sesuai dengan aturan. Ketergantungan biasa
terjadi jika pengobatan dihentikan secara mendadak. Sehingga untuk mencegah
efek samping tersebut perlu dilakukan penurunan dosis secara bertahap dengan
periode tertentu sebelum pengobatan dihentikan23.
Aksi sinergis dari fentanyl dan anestesi lokal di blok neuraxial pusat (CNB)
meningkatkan kualitas analgesia intraoperatif dan juga memperpanjang analgesia
pascaoperasi. Durasi biasa pada efek analgesik adalah 30 sampai 60 menit setelah
dosis tunggal intravena sampai 100 mcg (0,1 mg). Dosis injeksi Fentanyl 12,5 µg
menghasilkan efek puncak, dengan dosis yang lebih rendah tidak memiliki efek
apapun dan dosis tinggi meningkatkan kejadian efek samping24.
Saat ini Bupivakain 0,5% digunakan umumnya untuk anestesi spinal dan
epidural. Jika digabungkan dengan fentanyl intratekal dapat memberikan
kedalaman anestesi dengan mengurangi dosis bupivakain. Fentanyl merupakan
opioid lipofilik dan mempunyai onset kerja cepat dan lama kerja pendek sehingga
insidensi depresi pernafasan lebih rendah. Dari hasil penelitian didapatkan
dimulainya blok terhadap sensorik pada T6. Dari penelitian ini terbukti bahwa
dengan penambahan fentanil pada anastesi spinal dapat mengurangi dosis
bupivacain sehingga insidensi hipotensi dan penurunan tekanan darah sistolik dapat
menurun juga.
ANESTESI SPINAL PADA TURP
Pasien yang menjalani TURP biasanya pada usia lanjut dan sering disertai
dengan penyakit jantung, paru, atau lainnya sehingga penting untuk membatasi
level blok untuk mengurangi efek cardiopulmonary yang merugikan pada pasien
tersebut. Penggunaan anastesi local dengan dosis yang lebih kecil memberikan
beberapa keuntungan misalnya hipotensi tidak terjadi karena tidak memblok
serabut saraf simpatik di daerah atas serta memperkecil resiko timbulnya toksisitas
sistemik obat anastesi local (Yang, 2009). TURP dengan menggunakan anestesia
regional tanpa sedasi ( Awake TURP ) lebih dipilih daripada anestesia umum
karena hal berikut :
1. Manifestasi awal dari Sindrom TURP lebih bisa dideteksi pada
pasien yang sadar
2. Vasodilatasi periferal berfungsi untuk membantu meminimalisir
overload sirkulasi.
3. Komplikasi hiponatremi akibat tertariknya Na+ oleh air irrigator
dapat cepat dikenali dengan adanya penurunan kesadaran, mual,
kejang.
4. Kehilangan darah akan lebih sedikit.
Syarat cairan yang dapat digunakan untuk TURP adalah: isotonik, non-
hemolitik, electrically inert , non-toksik, transparan, mudah untuk disterilisasi
dan tidak mahal. Akan tetapi sayangnya cairan yang memenuhi syarat seperti
di atas belumditemukan.Untuk TURP biasanya menggunakan cairan
nonelektrolit hipotonik sebagai cairan irigasi seperti air steril, Glisin 1,5%(230
mOsm/L), atau campuran Sorbitol 2,7% dengan Mannitol 0,54% (230 Osm/L).
Cairan yang boleh juga dipakai tapi jarang digunakan adalah Sorbitol
3,3%,Mannitol 3%, Dekstrosa 2,5-4% dan Urea 1%.
1) Hipovolemi, Hipotensi
Tanda hemodinamika klasik dari Sindrom TURP, ketika glisin digunakan
sebagai cairan irigasi,terdiri dari transient arterial hipertension, yang bisa tidak
muncul jika pendarahan berlebihan, diikuti dengan perpanjangan hipertensi.
Pelepasan substansi jaringan prostatik danendotoksin menuju sirkulasi dan
asidosis mtabolik yang bisa berkontribusi terhadap hipotensi
2) Gangguan Penglihatan
Salah satu komplikasi dari Sindrom TURP adalah kebutaan sementara,
pandangan berkabut, danmelihat lingkaran disekitar objek. Pupil menjadi
dilatasi dan tidak merespons. Lensa matanormal. Gejala bisa muncul bersamaan
dengan gejala lain dari Sindom TURP atau bisa jugamenjadi gejala yang
tersembunyi.Penglihatan kembali normal 8-48 jam setelah pembedahan.
Kebutaan TURPdisebabkan oleh disfungsi retina yang kemungkinan karena
keracunan glisin. Karena itu persepsidari cahaya dan refleks mengedipkan mata
dipertahankan dan respon pupil terhdap cahaya danakomodasi hilang pada
kebutaan TURP, tidak seperti kebutaan yang disebabkan karena disfungsi
Kortikal serebri.
3) Perforasi
Perforasi dari kandung kemih bisa terjadi saat TURP berkaitan dengan
instrumen pembedahan, pada reseksi yang sukar, distensi berlebihan dari
kantung kemih dan letusan didalam kantungkemih. Perforasi instrumen dari
kapsul prostatik telah diestimasi terjadi pada 1% dari pasienyang melakukan
TURP. Tanda awal dari perforasi, yang sering tidak diperhatikan
adalah penurunan kembalinya cairan irigasi dari kantung kemih. Dan diikuti
oleh nyeri abdomen,distensi dan nausea. Bradikardi dan hipotensi arterial juga
ditemukan. Juga ada resiko tinggikesalahan diurese spontan. Pada perforasi
intraperitoneal, gejalanya berkembang lebih cepat. Nyeri alih bahu yang
berkaitan dengan iritasi pada diafragma merupakan gejala
khas Pallor ,diaphoresis, rigiditas abdomen, nausea, muntah dan hipotensi bisa
terjadi. Perforasiekstraperitonial, pergerakan refleks dari ekstemitas bawah bisa
terjadi.Letusan didalam kantung kemih jarang terjadi. Kauter dari jaringan
prostat dipercaya bisamembebaskan gas yang mudah terbakar. Secara normal,
tidak cukup oksigen yang terdapatdidalam kantung kemih agar bisa terjadi
letusan. Tetapi jika udara masuk bersama dengan cairanirigasi akan bisa
berakibat timbulnya ledakan.
4) Koagulopati
DIC ( Disseminated Intravasculer Coagulation) bisa terjadi berkaitan
dengan pelepasan partikel prostat yang kaya akan jaringan thrombopalstin
menuju sirkulasi yang menyebabkan fibrinolisissekunder. Dilutional
trombositopenia bisa memperbusuk situasi. DIC bisa dideteksi pada
darahdengan timbulnya penurunan jumlah platelet, FDP ( Fibrin Degradation
Products) yang tinggi(FDP > 150 mg/dl) dan plasma fibrinogen yang rendah
(400 mg/dl)
5) Bakteremia, Septisemia dan Toksemia
Sekitar 30% dari semua pasien TURP memiliki urin yang terinfeksi saat
preoperatif. Ketika prostat sinus vena terbuka dan digunakan irigasi dengan
tekanan tinggi, maka bakteri akanmasuk menuju sirkualsi. Pada 6% pasien,
bakteremia menjadi septisemia. Absorbsi dariendotoksin bakteri dan produksi
toksin dari koagulasi jaringan akan berakibat keadaan toksik pada pasien
postoperatif. Gemetar yang parah, demam, dilatasi kapiler dan hipertensi bisa
terjadisecara temporer pada pasien ini.
6) Hipotermia
Hipotermia merupakan observasi yang selalu dilakukan pada pasien yang
akan dilakukan TURP.Penurunan dari suhu tubuh akan mengubah situasi
hemodinamika, yang mengakibatkan pasienmenggigil dan peningkatan
konsumsi oksigen. Irigasi kandung kemih merupakan sumber utamadari
hilangnya panas dan penggunaan cairan irigasi pada suhu ruangan
menghasilkan penurunansuhu tubuh sekitar 1-2oC. Ini diperburuk oleh keadaan
ruangan operasi yang bersuhu dingin.Pasien geriatri diduga akan mengalami
hipotermia karena disfungsi otonom. Vasokonstriksi danasidosis bisa berefek
pada jantung dan berkontribusi terhadap manifestasi sistem saraf
pusat.Menggigil juga bisa diperparah oleh pendarahan dari tempat reseksi.
BAB III
A. PEMBAHASAN
Tn. S dengan diagnosis BPH. Dari hasil anamnesis dan pemeriksaan fisik
pre operatif menunjukkan keadaan pasien ASA II (pasien ini termasuk geriatri).
Urutan tindakan :
1. Pasien diposisikan duduk membungkuk dengan memeluk
bantal di depan. Lalu dilakukan teknik anestesi spinal, yaitu dengan mensterilkan
bagian yang ditusuk dengan betadine, dilanjutkan penusukan jarum dilakukan pada
L2-L3, L3-L4, L4-L5. Jika kita yakin penusukan jarum spinal pada posisi yang
benar dan likuor tidak keluar, putar arah jarum 90O biasanya likuor akan keluar.
Dilanjutkan dengan memasukkan bunascan 0,5% 1 ampul. Lalu tidurkan pasien
dengan menggunakan bantal.
2. Kemudian dipasang monitor vital sign dan saturasi O2. Lalu
kita lakukan pemeriksaan tanda vital dan pemasangan infus asering dikarenakan
agar pasien tidak kekurangan cairan.
3. Kemudian masukan Vonseron 4 mg dan Torasik 30 mg (bisa
diberikan di tengah-tengah operasi).
4. Kedalaman anestesi dinilai dari tanda-tanda mata (bola mata
menetap), nadi tidak cepat dan terhadap rangsang operasi tidak banyak berubah.
Jika stadium anestesi sudah cukup dalam, reflek bulu mata hilang, nasal canule
dipasang dengan aliran oksigen 2 liter.
5. Selama operasi perhatikan tanda-tanda vital.
6. Operasi berlangsung 30 menit, tanda vital dan SaO2 baik
selama operasi.
7. Pada saat pasien sudah berada di recovery room oksigenasi
dengan O2 tetap diberikan, kemudian dilakukan fungsi vital menurut Aldrette’s
score
Kesadaran : orientasi baik, dapat dibangunkan
Pernafasan : spontan, pasien dapat bernafas
dalam
Warna kulit : merah muda, tanpa oksigen Sat O2 >
98%
Aktivitas : 2 ekstrimitas bergerak
Tekanan darah : 110/70 mmHg
Nadi : 82 x/mnt
B. KESIMPULAN
1. Gunawan, S. G. Farmakologi dan Terapi. Edisi 5. FKUI. Jakarta. 2007. Hal 786-787.
2. Bridenbaugh PO, Greene NM, Brull SJ. Spinal (Subarachnoid) Neural Blockade. In : Cousins
MJ, Bridenbaugh PO eds. Neural Blockade in Clinical Anesthesia and Management of Pain.
Third Edition. Philadelphia : Lippincott-Raven. 1998. Pages 203-209
3. Marwoto.2000. Mula dan lama kerja antara lidokain, lidokain-bupivakain dan bupivakain pada
blok epidural. Dalam: Kumpulan makalah pertemuan ilmiah berkala X-IDSAI. Bandung; 520-
521.
4. Dobson, M. B. Anestesi Spinal dalam Buku Penuntun Praktis Anestesi. EGC. Jakarta. 1994.
Hal 101-104.
5. Covino BG, Scott DB, Lambert DH. Handbook of Spinal Anesthesia and Analgesia.
Mediglobe. Fribourg. 1994. Pages 71-104.
6. Latief SA, Surjadi K, Dachlan MR. Petunjuk Praktis Anestesiologi. Edisi 1. FKUI. Jakarta.
2001. Hal 124-127.
7. Snell R, Liliana S. Anatomi Klinik untuk Mahasiswa Kedokteran. Edisi 6. EGC. Jakarta. 2006.
8. Mansjoer, Arif, dkk. Anestesi Spinal dalam Buku Kapita Selekta Kedokteran. Edisi 3.
Aesculapius. Jakarta. 2000. Hal 261-264.
9. Katzung BG. Basic and Clinical Pharmacology. Terjemahan Sjabana D, Isbandiati E, Basori A.
Edisi 8. Penerbit Salemba Medika. Jakarta. 2002. Hal 170-171.
10. Hodgson PS, Liu SS. 2001. Local Anesthetics. In Textbook Clinical Anesthesia. Forth Edition.
Philadelphia. Lippincott Williams and Wilkins Co. 2001. Pages 449-465.
11. Davies, J., Eden, C., Boot, S., Langley, S. 2005. A patient’s Guide to TURP – Your Prostat
Operation. Prostat Cancer Centre, Guildford.
12. Moorthy H K, Philip S. 2001. TURP syndrome - current concepts in the pathophysiology and
management. Indian J Urol;17:97-102
13. Norris HT, Aasheim GM, Sherrard DJ, Tremann JA. 1973. Symptomatology, pathophysiology
and treatment of the transurethral resection of the prostate syndrome. Br J Urol: 45: 420-427.
14. Olsson J, Nilsson A. Hahn RG. 1995. Symptoms of the transurethral resection syndrome using
glycine as the irrigant. J Urol; 154: 123-128.
15. Soenarjo, Jatmiko HD. 2013. Anestesiologi Edisi 2. Semarang : FK Universitas Diponegoro.
16. Soenarjo, et al. 2013. Anestesiologi. Bagian Anestesiologi dan Terapi Intensif FAkultas
Kedokteran UNDIP/dr. Kariadi Semarang
17. Sutiyono et Winarno. 2009. Jarum Spinal dan Pengaruuh yang Mungkin Terjadi. Jurnal
Anestsiologi Indonesia
18. Yang Q, Petes TJ, Donovan JL, Wilt TJ, dan Abrams P. 2009. British Journal of Anasthesia.
Comparison of Intrathecal Fentanyl and Sufentanil in Low Dose Dilute Bupivacaine Spinal
Anasthesia for Transurethral Prostectomy”. Vol 103,Number 5. Page 750