ETIKA PROFESI
Dengan mengucap puji syukur kehadirat Allah Yang Mahakuasa, buku ajar matakuliah Etika
Profesi ini dapat diselesaikan. Buku edisi 2015 merupakan hasil perbaikan dari buku edisi 2012
dari kesalahan-kesalahan redaksional dan ketidakjelasan tata kalimat yang dirasa cukup
mengganggu.
Buku ajar ini disusun untuk keperluan pembelajaran mahasiswa Teknik Konversi Energi,
Politeknik Negeri Bandung (Polban). Sebagai penerus pembangunan bangsa Indonesia dan
dalam konstelasinya dengan perkembangan dunia, maka mahasiswa dianggap perlu memahami,
menghayati dan menerapkan etika profesi sesuai dengan profesi yang digelutinya.
Buku ajar ini bagi mahasiswa hanyalah sebagai salah satu acuan saja. Untuk dapat memahami
konsep dan pelaksanaan etika profesi, maka perlu mempelajari materi-materi sejenis dari
berbagai sumber, baik dari buku-buku literature maupun internet khususnya yang terkait dengan
penerapannya di dunia kerja yang nyata.
Buku ajar terdiri atas 3 (tiga) bab utama, yaitu: Etika Profesi dan Perkembangannya,
Profesionalisme dan Etos Kerja, dan Peranan Kecerdasan Dalam Profesi. Dalam bab Etika
Profesi dijelaskan konsep dasar etika profesi dan kode etik profesi termasuk contoh-contohnya.
Sedangkan bab Profesionalisme dan Etos Kerja memuat konsep profesionalisme, dan bagaimana
etos kerja seorang profesional serta keterkaitannya dengan kompetensi dan Kerangka Kualifikasi
Nasional Indonesia (KKNI). Pada bab terakhir dimuat jenis-jenis kecerdasan yang dapat
mendukung profesionalisme seorang profesional.
Dengan selesainya buku ajar ini, penulis mengucapkan banyak terima kasih kepada teman-
teman, pimpinan Jurusan dan Polban atas bantuan dan kepercayaan yang telah diberikan.
Semoga diterima Allah swt sebagai amal ibadah.
Penulis menyadari dengan sepenuh hati bahwa buku ajar edisi pertama ini masih belum lengkap
dan banyak kekurangan. Oleh karena itu, kritik dan saran dari mahasiswa, teman-teman dan
pihak lain sangat penulis harapkan untuk perbaikan ke depan. Akhirnya penulis berharap agar
buku ajar ini dapat bermanfaat dan memberikan maslahat bagi para mahasiswa dan pembaca
pada umumnya serta menjadi amal jariah penulis.
Penyusun:
Ali Mashar
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR i
DAFTAR ISI ii
BAB I ETIKA PROFESI DAN PERKEMBANGANNYA 1
1.1 Pengertian Etika, 1
1.2 Pengertian Profesi, 5
1.3 Pengertian Etika Profesi, 9
1.4 Kode Etik Profesi, 11
Dalam kehidupan bermasyarakat, bernegara atau bahkan pergaulan antar negara diperlukan suatu
sistem yang mengatur bagaimana pergaulan tersebut dilakukan. Bagaimana dalam tata kehidupan
pergaulan tersebut dapat diciptakan rasa saling menghormati, seperti yang dikenal dengan sopan
santun, tata krama, tata cara atau protokoler dan lain-lain. Sistem pedoman pergaulan ini
diperlukan untuk menjaga kepentingan masing-masing pihak agar merasa senang, tenang,
tenteram, dan terlindungi tanpa merugikan kepentingannya serta terjamin agar perbuatan yang
dijalankan sesuai dengan adat kebiasaan yang berlaku yang secara umum dianggap perbuatan
yang baik.
Secara etimologi, kata etika atau etik berasal dari kata ethos (bentuk jamaknya “ta etha”) bahasa
Yunani, yang berarti karakter, watak kesusilaan atau adat. Etika berkaitan dengan kebiasaan
hidup yang baik, baik pada diri sendiri maupun kepada masyarakat atau kelompok masyarakat.
Ini berarti bahwa etika berkaitan dengan nilai-nilai, tata cara hidup yang baik, dan segala
kebiasaan yang dianut dan diwariskan dari satu orang ke orang lain atau dari satu generasi ke
generasi berikutnya.
Etika juga dimengerti sebagai “filsafat moral”, yaitu ilmu yang membahas dan mengkaji nilai
dan norma yang diberikan oleh moralitas. Sebagai cabang filsafat, etika sangat menekankan pada
pendekatan kritis dalam melihat dan mengkaji nilai dan norma moral serta permasalahan-
permasalahan moral yang timbul ditengah-tengah kehidupan manusia (bermasyakat). Ini
menunjukkan bahwa etika dapat dirumuskan sebagai refleksi kritis dan rasional tentang (Sonny
Keraf, 2005):
a. nilai dan norma yang menyangkut bagaimana manusia hidup yang baik sebagai manusia,
dan
b. masalah-masalah kehidupan manusia dengan mendasarkan diri pada nilai dan norma-norma
moral yang umum diterima.
Kata etika dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) mempunyai 3 (tiga) arti, yaitu:
sebagai sistem nilai atau sebagai nilai-nilai atau norma-norma moral yang menjadi
pedoman bagi seseorang atau kelompok untuk bersikap dan bertindak;
sebagai kumpulan azas atau nilai yang berkenaan dengan akhlak atau moral;
sebagai ilmu tentang yang baik dan yang buruk yang diterima dalam suatu masyarakat,
menjadi bahan refleksi yang diteliti secara sistematis dan metodis.
Ada banyak pengertian tentang etika diantaranya adalah:
sebagai pandangan manusia dalam berprilaku menurut ukuran dan nilai yang baik (O.P.
Simorangkir),
sebagai teori tentang tingkah laku perbuatan manusia dipandang dari segi baik dan buruk,
sejauh yang dapat ditentukan oleh akal (Sidi Gajalba) dan
sebagai cabang filsafat yang berbicara mengenai nilai dan norma moral yang menentukan
prilaku manusia dalam hidupnya (Burhanudin Salam).
Jadi, etika adalah aturan perilaku, adat kebiasaan manusia dalam pergaulan antara sesama yang
menegaskan mana yang baik dan mana yang buruk sebagai hasil kajian secara kritis dan
mendalam dari masalah-masalah kehidupan manusia yang mendasarkan pada nilai dan norma
moral yang umum diterima.
ETIKA
SIKAP
ETIKA ETIKA ETIKA
TERHADAP ETIKA POLITIK DLL.
KELUARGA PROFESI LINGKUNGAN
SESAMA
Etika khusus dibagi menjadi dua, yaitu: etika individual dan etika sosial. Etika individual
memuat kewajiban manusia terhadap diri sendiri sedangkan etika sosial membicarakan tentang
kewajiban manusia sebagai anggota kelompok/umat manusia.
Etika akan memberikan semacam batasan maupun standar yang akan mengatur pergaulan manusia di
dalam kelompok sosialnya. Dalam pengertiannya yang secara khusus dikaitkan dengan seni
pergaulan manusia, etika ini kemudian diwujudkan dalam bentuk aturan (code) tertulis yang secara
sistematik sengaja dibuat berdasarkan prinsip prinsip moral yang ada pada saat yang dibutuhkan akan
bisa difungsikan sebagai alat untuk menghakimi segala macam tindakan yang secara logika-rasional
umum (common sense) dinilai menyimpang dari kode etik.
Dengan demikian etika adalah refleksi dari apa yang disebut dengan “kendali diri” (“self control”),
karena segala sesuatunya dibuat dan diterapkan dari dan untuk kepentingan kelompok sosial (profesi)
itu sendiri dan suatu profesi hanya akan dapat memperoleh kepercayaan dari masyarakat bilamana
dalam diri para pelaku profesi (profesional) tersebut ada kesadaran kuat untuk mematuhi etika profesi
ketika memberikan jasa keahlian profesinya kepada masyarakat yang memerlukannya.
Selain fungsi seperti yang diuraikan di atas, etika juga mempunyai tujuan sebagai berikut:
1) agar orang dalam bertindak sesuai dengan nilai dan norma moral yang berlaku dan dapat
dipertanggungjawabkan secara moral.
2) etika sebagai ilmu menuntut orang untuk berperilaku moral secara kritis dan rasional.
3) etika membantu manusia untuk bertindak secara bebas tetapi dapat dipertanggungjawabkan.
Profesional adalah orang yang mempunyai profesi atau pekerjaan purna waktu dan hidup dari
pekerjaan itu dengan mengandalkan suatu keahlian yang tinggi. Seorang profesional adalah
seseorang yang hidup dengan mempraktekkan suatu keahlian tertentu atau terlibat dalam suatu
kegiatan tertentu yang menurut keahlian. Sementara ada orang lain yang melakukan hal yang
sama namun hanya sekedar hobi, untuk senang-senang, atau untuk mengisi waktu luang. Apakah
yang terakhir ini termasuk dalam kategori profesional?
Dengan melihat ciri-ciri umum profesi di atas, kita dapat menyimpulkan bahwa kaum
profesional adalah orang-orang yang memiliki indikator perilaku yang berada di atas rata-rata. Di
satu pihak ada tuntutan dan tantangan yang sangat berat, tetapi di lain pihak ada suatu kejelasan
mengenai pola perilaku yang baik dalam rangka kepentingan masyarakat. Seandainya semua
bidang kehidupan dan bidang kegiatan menerapkan suatu standar profesional yang tinggi, bisa
diharapkan akan tercipta suatu kualitas masyarakat yang sangat baik.
Kode etik adalah norma atau azas yang diterima oleh suatu kelompok tertentu sebagai landasan
tingkah laku sehari-hari di masyarakat maupun di tempat kerja.
Kode etik profesi adalah sistem norma, nilai dan aturan profesional tertulis yang secara tegas
menyatakan apa yang benar dan baik, dan apa yang tidak benar dan tidak baik bagi profesional.
Kode etik menyatakan perbuatan apa yang benar atau salah, perbuatan apa yang harus dilakukan
dan apa yang harus dihindari oleh para profesional dalam rangka memberikan jasa sebaik-
baiknya kepada pemakai atau nasabahnya. Dengan adanya kode etik akan melindungi
masyarakat dari perbuatan yang tidak profesional.
Kode etik profesi sebetulnya bukanlah hal yang baru. Ini dibuat untuk mengatur tingkah laku
moral suatu kelompok khusus dalam masyarakat melalui ketentuan-ketentuan tertulis yang
diharapkan akan dipegang teguh oleh seluruh anggota kelompok itu. Salah satu contoh tertua
tentang kode etik profesi adalah SUMPAH HIPOCRATES, yang dipandang sebagai kode etik
pertama untuk profesi dokter.
Profesi adalah suatu Moral Community yang memiliki cita-cita dan nilai-nilai bersama. Kode
etik profesi dapat menjadi penyeimbang segi-segi negatif dari suatu profesi, sehingga kode etik
ibarat kompas yang menunjukkan arah moral bagi suatu profesi dan sekaligus juga menjamin
mutu moral profesi itu di mata masyarakat.
Kode etik bisa dilihat sebagai produk dari etika terapan, sebab dihasilkan berkat penerapan
pemikiran etis atas suatu wilayah tertentu, yaitu profesi. Tetapi setelah kode etik ada, pemikiran
etis tidak berhenti. Kode etik tidak menggantikan pemikiran etis, tapi sebaliknya selalu
didampingi refleksi etis. Supaya kode etik dapat berfungsi dengan semestinya, salah satu syarat
mutlak adalah bahwa kode etik itu dibuat oleh profesi sendiri. Kode etik tidak akan efektif kalau
ditentukan dari atas atau oleh pihak lain karena tidak akan dijiwai oleh cita-cita dan nilai-nilai
yang hidup dalam kalangan profesi itu sendiri.
Instansi dari luar bisa menganjurkan membuat kode etik dan barang kali dapat juga membantu
dalam merumuskan, tetapi pembuatan kode etik itu sendiri harus dilakukan oleh profesi yang
bersangkutan. Supaya dapat berfungsi dengan baik, kode etik itu sendiri harus menjadi hasil
pengaturan diri (self regulation) dari profesi.
Dengan membuat kode etik profesi sendiri akan menetapkan hitam di atas putih niatnya untuk
mewujudkan nilai-nilai moral yang dianggapnya hakiki. Hal ini tidak akan pernah bisa
dipaksakan dari luar. Hanya kode etik yang berisikan nilai-nilai dan cita-cita yang diterima oleh
profesi itu sendiri yang bisa mendarah daging dengannya dan menjadi tumpuan harapan untuk
dilaksanakan dengan tekun dan konsekwen. Syarat lain yang harus dipenuhi agar kode etik dapat
berhasil dengan baik adalah bahwa pelaksanaannya diawasi terus menerus. Pada umumnya kode
etik akan mengandung sanksi-sanksi yang dikenakan pada pelanggar kode etik.
Banyak jenis pelanggaran etika profesi, tergantung dari profesi masing-masing. Berikut ini
adalah beberapa contoh tentang tentang pelanggaran etika profesi.
Kasus-kasus pelanggaran kode etik akan ditindak dan dinilai oleh suatu dewan kehormatan atau
komisi yang dibentuk khusus untuk itu. Karena tujuannya adalah mencegah terjadinya perilaku
yang tidak etis, seringkali kode etik juga berisikan ketentuan-ketentuan profesional, seperti
kewajiban melapor jika mengetahui teman sejawat melanggar kode etik. Ketentuan itu
merupakan akibat logis dari self regulation yang terwujud dalam kode etik; sepertinya kode etik
itu berasal dari niat profesi mengatur dirinya sendiri, demikian juga diharapkan kesediaan profesi
untuk menjalankan kontrol terhadap pelanggar. Namun demikian, dalam praktek sehari-hari
kontrol ini biasanya tidak berjalan dengan mulus karena rasa solidaritas tertanam kuat dalam
anggota-anggota profesi, yaitu: seseorang profesional pada umumnya merasa segan melaporkan
teman sejawat yang melakukan pelanggaran. Bila terjadi hal seperti ini berarti tujuan kode etik
tidak tercapai karena solidaritas antar kolega ditempatkan di atas kode etik profesi. Oleh karena
itu, sebagai pelaksana profesi, maka yang bersangkutan harus memahami betul tujuan kode etik
profesi sebelum melaksanakannya.
Kode Etik Profesi merupakan bagian dari etika profesi. Kode etik profesi merupakan lanjutan
dari norma-norma yang lebih umum yang telah dibahas dan dirumuskan dalam etika profesi.
Kode etik ini lebih memperjelas, mempertegas dan merinci norma-norma ke bentuk yang lebih
sempurna walaupun sebenarnya norma-norma tersebut sudah tersirat dalam etika profesi.
Dengan demikian kode etik profesi adalah sistem norma atau aturan yang ditulis secara jelas dan
tegas serta terperinci tentang apa yang baik dan tidak baik, apa yang benar dan apa yang salah
dan perbuatan apa yang perlu dilakukan dan tidak boleh dilakukan oleh seorang profesional.
Contoh:
Sanksi Terhadap Pelanggaran Kode Etik Badan Kerjasama Pusat Studi Lingkungan
(BKPSL) Indonesia:
(1) Pengurus Pusat BKPSL menyusun penggolongan dan peringkat pelanggaran kode etik
dan sanksi yang dapat dikenakan pada anggota;
(2) Pengurus Pusat memutuskan pengenaan sanksi dan rehabilitasi dalam batas
kewenangannya;
(3) Sanksi pelanggaran kode etik ditetapkan oleh Pengurus Pusat dan berlaku secara
Nasional;
(4) Sanksi dapat berbentuk pemberhentian sebagai anggota, pencabutan seluruh atau
sebagian hak anggota, pemberhentian sementara sebagai anggota, peringatan atau
teguran yang dipublikasikan;
(5) Sanksi yang diberikan oleh Pengurus Pusat mempertimbangkan kaitannya dengan
sanksi hukum oleh negara.
BAB II
PROFESIONALISME DAN ETOS KERJA
2.1 Profesionalisme
2.1.1 Pengertian Profesionalisme
Profesionalisme merupakan suatu tingkah laku, suatu tujuan atau suatu rangkaian kualitas yang
menandai atau melukiskan coraknya suatu “profesi”. Profesionalisme mengandung pula
pengertian menjalankan suatu profesi untuk keuntungan atau sebagai sumber penghidupan.
Profesi sering kita artikan dengan “pekerjaan” atau “job” kita sehari-hari. Tetapi dalam kata
profession yang berasal dari perbendaharaan Angglo Saxon tidak hanya terkandung pengertian
“pekerjaan” saja. Profesi mengharuskan tidak hanya pengetahuan dan keahlian khusus melalui
persiapan dan latihan, tetapi dalam arti “profession” atau “panggilan”. Dengan begitu, maka arti
“profession” mengandung dua unsur. Pertama unsur keahlian dan kedua unsur panggilan.
Sehingga seorang “profesional” harus memadukan dalam diri pribadinya kecakapan teknik yang
diperlukan untuk menjalankan pekerjaannya, dan juga kematangan etik sebagai ekspresi
panggilan. Penguasaan teknik saja tidak membuat seseorang menjadi “profesional”, kedua-
duanya harus menyatu.
Dalam perkembangannya perlu diingat, bahwa profesionalisme mengandung dua unsur, yaitu
unsur keahlian dan unsur panggilan, unsur kecakapan teknik dan kematangan etik, unsur akal
dan unsur moral. Kedua-duanya itulah merupakan kebulatan unsur kepemimpinan. Dengan
demikian, jika berbicara tentang profesionalisme tidak dapat kita lepaskan dari masalah
kepemimpinan dalam arti yang luas.
Profesi masih sering dikaitkan dengan tingkat lulusan perguruan tinggi: institut/ universitas,
politeknik, sekolah tinggi, dan lain-lain. Suatu profesi tidak mutlak harus dijalankan oleh seorang
sarjana. Sebagai contoh, di Indonesia kita juga telah mengenal profesi-profesi yang tidak bersifat
akademik, seperti: pemain sepak bola, atau petinju “profesional”.
Walaupun obyek yang ditangani dapat berupa orang atau benda fisik, yang menjadi penilaian
orang tentang suatu profesi ialah hasilnya, yaitu tentang mutu jasa atau baik buruk pelaksanaan
fungsinya. Dalam situasi yang penuh tantangan dan persaingan ketat seperti sekarang ini, kunci
keberhasilan profesi terletak pada kemahiran orang yang menjalankannya dan kemahiran seperti
ini hanya dapat diperoleh melalui proses belajar dan berlatih sampai tingkat yang disyaratkan.
Bagi seseorang yang berbakat, proses pembelajaran mungkin dapat terlaksana secara lebih baik
dan lebih cepat dari pada yang lain. Namun bukan berarti bahwa orang yang tidak berbakat tidak
bisa mencapai kemahiran tertingginya, pasti bisa, namun butuh waktu yang lebih lama.
Gelar akademik bukanlah jaminan prestasi seseorang, namun gelar akademik akan memberi
harapan tentang tercapaiannya kemahiran atau kemampuam, walaupun pengetahuan yang
diperoleh masih harus dibuktikan melalui penerapannya di lapangan. Dalam hal ini pengalaman
adalah guru yang baik. Dengan pengalaman seseorang akan banyak belajar dari fenomena-
fenomena nyata yang ada di lapangan. Proses pembelajaran inilah yang membuat manusia
semakin maju dan cerdas dalam mengatasi segala macam persoalan yang ada. Oleh karena itu,
faktor pegalaman juga sangat berperan dalam menentukan keberhasilan seseorang.
Ciri-ciri di atas menunjukkan bahwa tidaklah mudah menjadi seorang pelaksana profesi yang
profesional, banyak kriteria yang harus dipenuhinya. Lebih jelas lagi dikemukakan oleh Tjerk
Hooghiemstra bahwa seorang yang dikatakan profesional adalah mereka yang sangat kompeten
atau memiliki kompetensi-kompetensi tertentu yang mendasari kinerjanya.
Selanjutnya diuraikan bahwa perlu dibedakan antara unjuk kerja superior dengan rata-rata.
Kompetensi dapat berupa motiv, sifat, konsep diri pribadi, attitude atau nilai-nilai,
pengetahuan yang dimiliki, keterampilan dan berbagai sifat-sifat seseorang yang dapat diukur
dan dapat menunjukkan perbedaan antara rata-rata dengan superior.
Karakteristik pokok mempunyai arti kompetensi yang sangat mendalam dan merupakan
bagian melekat pada pribadi seseorang dan dapat menyesuaikan sikap pada berbagai kondisi
atau berbagai tugas pada jabatan tertentu. Ada lima karakteristik kompetensi: motive, trait
(sikap), self concept (konsep diri: attitude, nilai-nilai atau imajinasi diri), knowledge
(pengetahuan) dan skill (keterampilan).
Motive: Keinginan yang menuntut tindak-lanjut, mulai pemikiran sampai dengan tindak
nyata.
Trait: sifat dan respon yang konsisten terhadap informasi atau situasi.
Self Concept: sikap/nilai yang dimiliki atau gambaran dirinya.
Knowledge: informasi yang dimiliki dibidang pengetahuan tertentu.
Skill: kemampuan melaksanakan tugas tertentu, baik secara fisik maupun mental.
Berdasarkan KKNI ini jenjang kualifikasi dikelompokkan menjadi 9 (Sembilan) jenjang, yaitu:
jenjang kualifikasi 1 – 9. Tabel berikut ini menjelaskan deskripsi jenjang kualifikasi KKNI ini.
Kerangka Kualifikasi Kerja Nasional Indonesia (KKNI)
JENJANG
URAIAN
KUALIFIKASI
Umum
Mampu melaksanakan tugas sederhana, terbatas, bersifat rutin, dengan menggunakan alat,
aturan, dan proses yang telah ditetapkan, serta di
bawah bimbingan, pengawasan, dan tanggung jawab atasannya.
1
Memiliki pengetahuan faktual.
Bertanggung jawab atas pekerjaan sendiri dan tidak bertanggung jawab atas pekerjaan orang
lain.
Mampu melaksanakan satu tugas spesifik, dengan menggunakan alat, dan informasi, dan
prosedur kerja yang lazim dilakukan, serta menunjukkan kinerja dengan mutu yang terukur, di
bawah pengawasan langsung atasannya.
2 Memiliki pengetahuan operasional dasar dan pengetahuan faktual bidang kerja yang spesifik,
sehingga mampu memilih penyelesaian yang tersedia terhadap masalah yang lazim timbul.
Bertanggung jawab pada pekerjaan sendiri dan dapat diberi tanggung jawab membimbing orang
lain.
Mampu melaksanakan serangkaian tugas spesifik, dengan menerjemahkan informasi dan
menggunakan alat, berdasarkan sejumlah pilihan prosedur kerja, serta mampu menunjukkan
kinerja dengan mutu dan kuantitas yang terukur, yang sebagian merupakan hasil kerja sendiri
dengan pengawasan tidak langsung.
Memiliki pengetahuan operasional yang lengkap, prinsip-prinsip serta konsep umum yang terkait
3 dengan fakta bidang keahlian tertentu, sehingga mampu menyelesaikan berbagai masalah yang
lazim dengan metode yang sesuai.
Mampu bekerja sama dan melakukan komunikasi dalam lingkup kerjanya
Bertanggung jawab pada pekerjaan sendiri dan dapat diberi tanggung jawab atas kuantitas dan
mutu hasil kerja orang lain
Mampu menyelesaikan tugas berlingkup luas dan kasus spesifik dengan menganalisis informasi
secara terbatas, memilih metode yang sesuai dari beberapa pilihan yang baku, serta mampu
menunjukkan kinerja dengan mutu dan kuantitas yang terukur.
Menguasai beberapa prinsip dasar bidang keahlian tertentu dan mampu menyelaraskan dengan
4 permasalahan faktual di bidang kerjanya
Mampu bekerja sama dan melakukan komunikasi, menyusun laporan tertulis dalam lingkup
terbatas, dan memiliki inisiatif
Bertanggung jawab pada pekerjaan sendiri dan dapat diberi tanggung jawab atas hasil kerja
orang lain
Mampu menyelesaikan pekerjaan berlingkup luas, memilih metode yang
sesuai dari beragam pilihan yang sudah maupun belum baku dengan menganalisis data, serta
mampu menunjukkan kinerja dengan mutu dan kuantitas yang terukur
Menguasai konsep teoritis bidang pengetahuan tertentu secara umum, serta
5 mampu memformulasikan penyelesaian masalah prosedural
Mampu mengelola kelompok kerja dan menyusun laporan tertulis secara komprehensif
Bertanggung jawab pada pekerjaan sendiri dan dapat diberi tanggung jawab atas pencapaian
hasil kerja kelompok
Mampu mengaplikasikan bidang keahliannya dan memanfaatkan ilmu
pengetahuan, teknologi, dan/atau seni pada bidangnya dalam penyelesaian
masalah serta mampu beradaptasi terhadap situasi yang dihadapi
Menguasai konsep teoritis bidang pengetahuan tertentu secara umum dan
konsep teoritis bagian khusus dalam bidang pengetahuan tersebut secara
6 (Sarjana) mendalam, serta mampu memformulasikan penyelesaian masalah
prosedural
Mampu mengambil keputusan yang tepat berdasarkan analisis informasi dan data, dan mampu
memberikan petunjuk dalam memilih berbagai alternatif solusi secara mandiri dan kelompok
Bertanggung jawab pada pekerjaan sendiri dan dapat diberi tanggung jawab atas pencapaian
hasil kerja organisasi
Mampu merencanakan dan mengelola sumberdaya di bawah tanggung jawabnya, dan
mengevaluasi secara komprehensif kerjanya dengan memanfaatkan ilmu pengetahuan,
teknologi, dan/atau seni untuk menghasilkan langkah-langkah pengembangan strategis
organisasi
7
Mampu memecahkan permasalahan ilmu pengetahuan, teknologi, dan/atau seni di dalam
bidang keilmuannya melalui pendekatan monodisipliner
Mampu melakukan riset dan mengambil keputusan strategis dengan akuntabilitas dan tanggung
jawab penuh atas semua aspek yang berada di bawah tanggung jawab bidang keahliannya
Mampu mengembangkan pengetahuan, teknologi, dan/atau seni di dalam bidang keilmuannya
8 (Master)
atau praktek profesionalnya melalui riset, hingga menghasilkan karya inovatif dan teruji
Mampu memecahkan permasalahan ilmu pengetahuan, teknologi, dan/atau seni di dalam
bidang keilmuannya melalui pendekatan inter atau multidisipliner
Mampu mengelola riset dan pengembangan yang bermanfaat bagi masyarakat dan keilmuan,
serta mampu mendapat pengakuan nasional dan internasional
Mampu mengembangkan pengetahuan, teknologi, dan/atau seni baru di dalam bidang
keilmuannya atau praktek profesionalnya melalui riset, hingga menghasilkan karya kreatif,
original, dan teruji
Mampu memecahkan permasalahan ilmu pengetahuan, teknologi, dan/atau seni di dalam
9 (Doktor)
bidang keilmuannya melalui pendekatan inter, multi, dan transdisipliner
Mampu mengelola, memimpin, dan mengembangkan riset dan
pengembangan yang bermanfaat bagi kemaslahatan umat manusia, serta
mampu mendapat pengakuan nasional dan internasional
Jenjang kualifikasi ini bila dikaitkan dengan jenjang pendidikan di Indonesia sebagaimana yang
dibuat oleh Komisi Pembelajaran Forum Direktur Politeknik Negeri Indonesia (FDPNI) seperti
yang dsajikan pada Gambar 4.
Sumber: Isa-FDPNI, 2012
Gambar 4 Jenjang Kualifikasi dan Jenjang Pendidikan di Indonesia
Untuk jalur pendidikan politeknik KKNI: level 1-2 merupakan jenjang kualifikasi SD-SMA/K,
level 3 dan 4 oleh Diploma 1 dan Diploma 2, Level 5 oleh Diploma 3, level 6 oleh Diploma 4
dan level 8 dan 9 oleh Master Terapan dan Doktor Terapan atau pada sisi lain oleh Spesialis I
dan II.
Dengan dikeluarkannya KKNI ini, maka semua profesi yang ada di Indonesia harus mengacu
juga pada ketentuan ini. Dengan KKNI ini juga memperjelas posisi masing-masing pelaku
profesi dalam menjalankan fungsi dan tugasnya sebagai profesional.
Tingkat Keterampilan:
1) Mengoperasikan (to operate)
2) Menyusun (to set up)
3) Memperbaiki (to repair)
4) Meningkatkan (to improve)
5) Memproduksi (to produce)
6) Menyesuaikan (to adapt)
7) Menginovasi (to innovate)
Tingkat Sikap:
1) Menerima (to receive)
2) Menghargai (to value)
3) Bekerja sama (to work together)
4) Mengkoordinasi (to coordinate)
5) Mengorganisasi (to organize)
6) Bertanggungjawab (to responsible)
7) Memimpin (to lead)
2.7 Profesional
Seseorang dikatakan profesional apabila:
Mempraktekkan keahlian dan/atau keterampilan sesuai bidang profesinya
Memiliki sikap dan etos kerja yang mencakup keahlian dan keterampilan
Mensintesis berbagai informasi untuk melakukan rancangan/rekayasa
Menerapkan kaedah keteknikan untuk menangani hal yang belum pernah ditangani
Mengembangkan keteknikan dan menerapkan secara berkelanjutan
Menerapkan pandangan sistemik dan terpadu dalam memanfaatkan peluang
Mengelola dan menggunakan data yang terkait dengan profesinya
Menyelenggarakan manajemen dan kepemimpinan untuk menerapkan iptek bagi kepentingan
masyarakat
Proaktif, fokus pada lingkar pengaruh (focus on the circle of influence)
Merespon sesuai nilai (responding to value)
Menerima tanggung jawab (accepting responsibility)
Menjadi tokoh transisi (transitional figure) untuk kemanfaatan kelompok
Di Lingkungan Persatuan Insinyur Indonesia (PII), seorang profesional akan melaksanakan tugas
/pekerjaan dengan prinsip 5-C, yaitu:
Competency (Sesuai kompetensi)
Conceptual (berdasarkan konsep)
Consistence (secara konsisten)
Cooperative (kerjasama kelompok)
Commitment (menepati janji/ memenuhi kesanggupan)
Badan akreditasi bidang rekayasa (ABET) memberikan kriteria keteknikan (engineering criteria)
sebagai prinsip fundamental.
Fundamental Principles :
Using knowledge & skill for human welfare
Honest & impartial, serving with fidelity to the public and client
Striving to increase the competence and prestige of engineering profession
Supporting the profesional and technical society of their discipline
Sebelumnya telah ada beberapa konsep tentang kecerdasan ini. JL. Stockton (1921)
mendefinisikan bahwa kecerdasan merupakan kemampuan untuk mempengaruhi proses memilih
yang berprinsip pada kesamaan (similarities).
Kemudian disimpulkan bahwa bahwa kecerdasan merupakan potensi dasar seseorang untuk
berpikir, menganalisis dan mengelola tingkah lakunya di dalam lingkungan dan potensi itu dapat
diukur.
Ciri-ciri dasar kecerdasan adalah:
To judge well (dapat menilai dengan baik)
To comprehend well (memahami secara menyeluruh dengan baik).
To reason well (memberi alasan dengan baik).
Pengertian bahwa kecerdasan itu bersifat tunggal seperti yang kita kenal selama ini. Sampai
menimbulkan dampak negatif atas persepsi ini. Sebagai contoh seseorang yang rendah
kecerdasan “akademik tradisionalnya”, yakni matematik dan verbal (kata-kata), dianggap bodoh
dan kurang dihargai oleh masyarakat. Hal ini kemudian terkikis habis oleh hasil temuan mutakhir
dan sangat dapat dipercaya, yaitu bahwa kecerdasan manusia itu tidaklah bersifat tunggal namun
banyak rumpunnya dan bersifat multidimensional.
Atas dasar pemikiran ini memberikan pemahaman yang lebih tepat dan komprehensif tentang
kecerdasan ini. Potensi seseorang dapat muncul dan dikembangkangkan pada semua rumpun
kecerdasan. Oleh karena itu, kecerdasan seseorang akan diperkaya melalui kecerdasan-
kecerdasan tersebut. Eksplorasi terhadap kecerdasan-kecerdasan yang multidimensional tersebut
menghilangkan batasan antara seseorang yang ber IQ tinggi dan yang tidak.
Begitu pula dengan pelaku profesi harus terdorong dan berpeluang melakukan eksplorasi kreatif
dengan banyak cara dan yang cocok dengan karakteristik individu masing-masing. Dengan
demikian tak ada kata putus asa dalam segala keadaan. Dengan bekal berbagai kecerdasan
tersebut pastilah semua persoalan akan dapat diatasi. Dengan berbagai cara dan alternatif yang
ada, maka kemampuan dalam berkarya pasti akan terwujud.
Suatu hasil penelitian yang dianggap sangat monumental dan cukup mengejutkan bagi banyak
kalangan adalah yang dilakukan oleh Daniel Goleman pada tahun 1996 (Emotional Quotion,
1966). Dalam hasil penelitian tersebut dinyatakan bahwa faktor yang menentukan keberhasilan
seseorang dalam karirnya bukan oleh Intellegence Quotient (IQ), tapi lebih oleh Emotional
Quotient (EQ), yaitu: 15% IQ dan 85% EQ. IQ menyangkut pengetahuan dan keterampilan,
sedangkan EQ dipahami sebagai kemampuan kecerdasan emosional (olah rasa). Orang yang
memiliki IQ tinggi tapi dengan EQ yang rendah lebih banyak mengalami kegagalan dari pada
keberhasilannya. Ini menunjukkan bahwa faktor EQ jauh lebih berperan dari pada IQ dalam
penentuan keberhasilan seseorang.
Emosi adalah ekspresi letupan perasaan seseorang. Lalu bagaimana dengan EQ (Emotional
Quotient) / kecerdasan emosi. Banyak ahli yang memberikan batasan tentang EQ ini, di
antaranya adalah seperti yang dimuat berikut ini.
Daniel Goldman: Kecerdasan emosi adalah kemampuan untuk mengenali perasaan
sendiri, perasaan orang lain, memotivasi diri sendiri, mengelola emosi dengan baik, dan
berhubungan dengan orang lain.
Peter Salovely & John Mayer: Kecerdasan emosi merupakan kemampuan untuk mengerti
dan mengendalikan emosi.
Cooper & Sawaf: Kecerdasan emosi merupakan kemampuan mengindra, memahami dan
dengan efektif menerapkan kekuatan, ketajaman, emosi sebagai sumber energi,
informasi, dan pengaruh.
Seagel: Kecerdasan emosi merupakan sifat bertanggung jawab atas harga diri, kesadaran
diri, kepekaan sosial, dan adaptasi sosial.
3.3.2 Aspek EQ
Aspek EQ ada 5 (lima), yaitu:
1) Kemampuan mengenal diri (kesadaran diri).
2) Kemampuan mengelola emosi (penguasaan diri).
3) Kemampuan memotivasi diri.
4) Kemampuan mengendalikan emosi orang lain.
5) Kemampuan berhubungan dengan orang lain (empati).
Melihat karkeristik sebagaimana yang telah diuraikan di atas, Emotional Quotient (EQ)
mempunyai peranan penting dalam meraih kesuksesan dan dapat dianggap sebagai persyaratan
bagi kesuksesan pribadi. Penting bahwa kita perlu memahami apa yang diperlukan untuk
membantu kita membangun kehidupan yang positif dan memuaskan, karena ini akan mendorong
terwujudnya keprofesionalan kita.
Banyak penelitian yang menyatakan bahwa individu yang mempunyai IQ tinggi tidak berprestasi
dalam pekerjaan, sementara yang ber-IQ rendah justru lebih berprestasi. Hal ini terjadi karena
penyakit orang yang ber-IQ tinggi seringkali memiliki sifat-sifat yang kurang terpuji dan
membelenggu. Sebagai contoh:
Merasa mengetahui semua hal.
Merasa dirinya paling cerdas dari pada orang lain.
Menggunakan fikiran hanya untuk menalar tidak untuk merasakan.
Meyakini bahwa IQ lebih penting dari EQ.
Kemampuan akademik, seperti Indeks Prestasi Kumulatif (IPK), predikat kelulusan perguruan
tinggi tidak bisa digunakan sebagai satu-satunya tolok ukur kinerja seseorang, atau keberhasilan
seseorang.
Kecerdasan emosional dapat dibangun dengan menggunakan metode atau cara-cara yang dalam
pelaksanaannya melibat emosi. Beriktu ini adalah cara membangun kecerdasan emosional
(Patricia Patton) sebagai berikut.
Kecerdasan spiritual sering disebut SQ (Spiritual Quotient) diperlukan bagi setiap hamba Tuhan
untuk dapat berhubungan dengan Tuhannya. Melibatkan kemampuan dan menghidupkan
kebenaran yang paling dalam. Dalam arti mewujudkan hal yang terbaik dan paling manusiawi
dalam batin. Gagasan, energi, nilai, visi, dorongan, dan arah panggilan hidup, mengalir dari
dalam dari suatu keadaan kesadaran yang hidup bersama cinta (Danah Zohar, Lan Marshal,
2000).
Di samping prinsip, kita perlu memiliki visi yang kuat sedangkan visi adalah cara pandang kita
ke depan. Kita ingin menjadi apakah kelak nanti. Dengan adanya visi ini, kita akan terbawa
untuk mencari cara/jalan untuk dapat mewujudkankannya.
Seorang profesional yang baik harus selalu memegang amanah, konsisten dan tugas yang
diembannya adalah ibadah kepada Tuhan. Oleh karena itu, semua sikap, ucapan dan
tindakannya selalu mengacu pada nilai-nilai moral dan etika agama, selalu memohon taufiq dan
hidayah kepada Allah swt, berpijak kepada sikap amar am’ruf nahi munkar (mengajak pada
kebaikan dan mencegah kejahatan).
Manusia yang kreatif, pada umumnya mempunyai pikiran terbuka terhadap imajinasi, ide sendiri
maupun ide orang lain. Manusia berkreasi adalah karena adanya tuntutan kebutuhan dasar,
seperti keamanan, cinta dan penghargaan. Di samping itu, daya kreasi juga dimotivasi oleh
lingkungan yang manfaatnya bisa berupa kehidupan yang lebih menyenangkan, kepercayaan diri
yang lebih besar, kegembiraan hidup serta bisa digunakan untuk menunjukkan kemampuan
terbaiknya.
Kalau tadi sudah dijelaskan tentang hal-hal yang merangsang daya kreasi manusia, kecerdasan
kreatif ini bisa terhambat perkembangannya. Faktor-faktor yang banyak menjadi kendala dalam
mengembangkan kecerdasan kreativitas ini di anataranya adalah: faktor kebiasaan, waktu,
masalah yang menimpa, perasaan takut gagal, takut dikritik orang, takut, kebiasaan bersenang-
senang.
Jadi, kecerdasan kreatif ini merupakan salah satu kecerdasan yang dapat mengarahkan kita pada
kehidupan lebih layak dan selalu berkembang dengan berjalannya waktu. Oleh karena itu,
kecerdasan ini perlu untuk selalu diasah dan dikembangkan agar gagasan-gagasan yang
dihasilkan merupakan gagasan yang cerdas, efektif dan efisien. Berikut ini adalah beberapa tip
untuk dapat menghasilkan gagasan kreatif.
1. Kuantitas gagasan
Teknik-teknik kreatif pada awalnya bertumpu pada satu gagasan yang dianggap baik dan efektif.
Akan tetapi bila masalahnyanya kompleks, maka kita butuh banyak gagasan untuk dipilih.
2. Teknik brainstorming
Brainstorming merupakan cara yang paling banyak digunakan, tetapi juga merupakan cara
pemecahan kreatif yang tidak banyak dipahami. Teknik ini biasanya menghasilkan gagasan baru
yang orisinil untuk menambah jumlah gagasan konvensional yang ada.
3. Sinektik
Sinektik adalah metode atau proses yang menggunakan metafora dan analogi untuk
menghasilkan gagasan kreatif atau wawasan segar ke dalam permasalahan. Proses sinektik ini
membuat yang asing menjadi akrab dan juga sebaliknya.
4. Memfokuskan tujuan
Membuat seolah-olah apa yang diinginkan esok, telah terjadi pada saat ini dengan melakukan
visualisasi yang kuat. Apabila proses itu dilakukan secara berulang-ulang, maka pikiran anda
akan terpusat ke arah tujuan yang dimaksud dan terjadilah proses auto sugesti ke dalam diri
maupun keluar. Tentu saja untuk keberhasilannya perlu pembelajaran dan pelatihan intensif
bagaimana menggunakan kekuatan bawah sadar Anda itu, dengan mengaktifkan Nur Ilahi untuk
mendapatkan imajinasi yang kuat, agar kreativitas selalu muncul saat dibutuhkan, membangun
Prestasi dan Citra yang membanggakan.
Seorang profesional dengan tingkat kecerdasan kreativitas (CQ) yang tinggi, adalah individu
yang kreatif, mampu mencari dan menciptakan terobosan dalam mengatasi berbagai hambatan
atau permasalahan yang muncul dalam lembaga profesinya.
Seorang pelaksana profesi yang ingin mencapai nilai-nilai profesional, haruslah mempunyai CQ
yang tinggi, yaitu mampu menghasilkan ide-ide baru (orisinil) dalam meningkatkan daya saing
dalam dunia kerjanya dan lebih luas lagi daya saing di era globalisasi. Seorang pelaksana profesi
haruslah bersikap fleksibel, komunikatif dan aspiratif, serta tidak dapat diam, selalu
menginginkan perubahan-perubahan kearah kehidupan yang lebih baik, reformatif dan tidak
statis.
Menurut Stoltz, AQ adalah kecerdasan untuk mengatasi kesulitan. “AQ merupakan faktor yang
dapat menentukan bagaimana, jadi atau tidaknya, serta sejauh mana sikap, kemampuan dan
kinerja Anda terwujud di dunia,” tulis Stoltz. Pendek kata, orang yang memiliki AQ tinggi akan
lebih mampu mewujudkan cita-citanya dibandingkan orang yang AQ-nya lebih rendah.
Untuk memberikan gambaran, Stoltz meminjam terminologi para pendaki gunung. Dalam hal
ini, Stoltz membagi para pendaki gunung menjadi tiga bagian: quitter (yang menyerah), camper
(berkemah di tengah perjalanan), dan climber (pendaki yang mencapai puncak). Para quitter
adalah para pekerja yang sekadar untuk bertahan hidup. Para camper labih baik, karena biasanya
mereka berani melakukan pekerjaan yang beresiko, tetapi tetap mengambil resiko yang terukur
dan aman.
Para climber adalah mereka yang dengan segala keberaniannya menghadapi masalah dan
tantangan. Dikaitkan dengan AQ yang merupakan kemampuan / kecerdasan seseorang dalam
menghadapi kesulitan-kesulitan dan mengatasi tantangan, resiko, dan pekerjaannya, maka para
climber dianggap memiliki AQ tinggi. Dari ketiga kelompok tersebut antara para climber,
camper dan quitter dapat dikatakan mempunyai AQ yang berbeda. Para climber yang berhasil
sampai puncak mempunyai AQ tertinggi, kemudian secara berturut-turut disusul oleh para
camper dan quitter seperti yang diilustrasikan berikut ini.
a. AQ Tingkat “Quitters” (Orang-orang yang Berhenti). Orang yang mudah menyerah ketika
menghadapi kesulitan hidup memiliki AQ yang paling rendah. Ini termasuk golongan yang
kurang berikhtiar dan hanya berkeluh kesah menghadapi penderitaan/kesusahan hidup, dan
lain-lain.
b. AQ Tingkat “Campers” (Orang yang Berkemah)
Campers adalah AQ tingkat bawah. Awalnya giat mendaki / berusaha
menghadapi kesulitan hidup, di tengah perjalanan mudah merasa cukup dan mengakhiri
pendakian atau usahanya. Contoh: orang yang sudah merasa cukup dengan menjadi sarjana,
merasa sukses bila memiliki jabatan dan materi.
c. AQ Tingkat “Climbers” (Orang yang Mendaki)
Climbers adalah pendaki sejati. Orang yang seumur hidup mendaki mencari
hakikat kehidupan menuju kemuliaan manusia dunia dan akhirat sampai tercapai apa yang
dicita-citakan.
AQ bukanlah sekadar anugerah yang bersifat diberi (given), tapi bisa dipelajari. Dengan latihan-
latihan tertentu orang akan bisa meningkatkan kemampuan AQnya. Di banyak perusahaan yang
dilatihnya, Stoltz berhasil melihat peningkatan kinerja – dalam berbagai ukuran – para
karyawannya. Di sebuah perusahaan farmasi multinasional, Stoltz mendapatkan fakta bahwa
peningkatan AQ para karyawan, membuat perusahaan lebih mudah melakukan perubahan
strategis. Padahal kita semua mafhum, banyak perubahan strategis yang mahal biayanya karena
resistensi para karyawannya.
Dunia kerja adalah dunia yang penuh dengan tantangan dan rintangan, karenanya sanggupkah
kita menjalaninya? Sebagai pelaksana profesi yang ingin menjadi seorang yang profesional
hendaklah menetapkan di hati bahwa “Saya adalah pendaki sejati, yang akan mengarungi semua
tantangan dan rintangan yang ada”.
Namun satu hal yang perlu kita yakini bersama bahwa tidak ada manusia yang
sempurna, tidak ada jalan yang lurus mulus. Setiap individu mempunyai kelebihan dan
kekurangan dalam dirinya. Hambatan dan peluang akan ditemui dalam mencapai cita-cita masa
depan.
Untuk mengetahui kondisi kita secara lebih cermat kita bisa lakukan evaluasi diri, yaitu
melakukan evaluasi terhadap diri kita sendiri. Dalam mengavualasi sudah tentu sudah ada set alat
evaluasinya atau yang disebut instrumen ukur yang mudah digunakan dan mudah pula
memahaminya. Salah satu metode yang tidak sedikit masyarakat memanfaatkannya adalah
melalui metode analisis yang dikenal dengan analisis SWOT (Srength, Weakness, Opportunity
dan Threat).
Strength (Kekuatan): adalah potensi yang ada pada diri sendiri yang menunjang tercapainya
cita-cita / karier. Strenth juga merupakan keunggulan-keunggulan yang dimiliki oleh
seseorang.
Weakness (Kelemahan): adalah kekurangan-kekurangan yang ada pada diri sendiri dan akan
bisa menghambat cita-cita/ karier.
Opportunity (Peluang): adalah segala jenis kesempatan di luar diri sendiri yang bila dapat
meraihnya, maka akan sangat menentukan tercapaianya cita-cita dan bahkan lebih tinggi dari
itu.
Threat (Ancaman): adalah segala bentuk gejala yang dapat mengancam cita-cita seseorang
bila tidak melakukan hal yang terbaik. Ibaratnya suatu kompetisi alamiah, barang siapa yang
bisa menghindari atau mengatasi ancaman, dialah yang akan tetap bertahan. Demikian
sebaliknya.
DAFTAR PUSTAKA
1. Amran, Tatty S.B., 1994,Kiat Wanita Meniti Karir, PT. Pusaka Binamam Persindo
2. Keraf, Sonny, 2005, Etika Bisnis, Tuntutan dan Relevansinya, Yogyakarta: Kanisius.
3. National Society of Pofessional Engineers, 2007, Code of Ethics for Engineers, Virginia:
NSPE.
4. Nursiti, Nathalia, 2009. Makna Etika Profesi Bagi Penyandang Profesi Sekretaris,
Secretarial: ISSN 2085-4803 Vol 1 No. 1, Juni 2009.
5. Partowijoto, Achmadi, Organisasi PII dan Etika Profesi, Jakarta: PII.
6. Prasko, 2011, Etika Profesi Perawat Gigi (1-9), www.zona-prasko.blogspot.com, 2011.
7. Risnanto, R. Rizal, 2099, Etika Profesi, Semarang: Universitas Diponegoro.
8. Suseno, Frans Magnis, 1993, Etika Sosial, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
9. Tengker, Benny, 1994, Etika Profesi, Jakarta: Akademi Ilmu Sekretari dan Manajemen
Indonesia.