Anda di halaman 1dari 2

Klasifikasi untuk cedera serebrovaskuler, awalnya dipakai untuk menilai luka trauma arteri

karotis, sekarang diaplikasikan untuk VAI[6, 28, 40]. Pertimbangan untuk melakukan screening
VAI pada pasien cedera yang tidak menunjukkan gejala (asimptomatis) didasarkan atas adanya
kejadian VAI pada pasien yang asimptomatis [33] dan obat-obat antikoagulasi yang diberikan
dapat mencegah stroke serta meningkatkan outcome neurologis [18].
Kriteria screening untuk menyingkirkan VAI adalah dengan melihat adanya berbagai jenis luxasi
dan fraktur dari tulang servikal yang mengenai bagian foramen transversum [44, 47] Kateter
angiografi (DSA) telah menjadi gold standard dalam mendiagnosis VAI; akan tetapi computed
tomography angiography (CTA) yang terkomputerisasi menggunakan multidetector dan
magnetic resonance angiography (MRA) menunjukkan tingkat sensitivitas dan spesifisitas yang
hamper mendekati DSA [19].

Pada penelitian prospektif ini, tingkat insidensi, penemuan secara klinis dan hasil dari
pengobatan setelah terjadinya cedera tulang servikal akan kemudian dijabarkan sesuai dengan
protocol diagnostic dan terapeutik yang terstandarisasi [19].

Metode dan bahan penelitian

Pada bulan April 1996 sampai dengan bulan Januari 2010, 599 pasien dengan trauma tulang
servikal telah dirawat di tempat dimana penelitian ini dilakukan. Dikarenakan X-ray dan CT scan
dapat mengidentifikasi 98% dari fraktur tulang servikal dan 99% dari subluksasi [48], maka
pemeriksaan ini digunakan sebagi cara untuk mendiagnosis trauma tulang servikal. X-ray
(AP/lateral:fleksi/ekstensi) merukpakan langkah awal diagnostic untuk pasien dengan nyeri pada
bagian leher. Selanjutnya, pada pasien dengan gambaran patologis pada hasil X-ray nya, kita
lakukan langkah kedua diagnostic menggunakan CT scan tulang servikal. Pada pasien dengan
deficit neurologis (contoh: cervicobrachialgia, palsy, mati rasa, nyeri kepala, vertigo, ataksia),
atau terintubasi dan/atau luka-luka berat, maka dilakukan CT scan servikal sebagai langkah
pertama pemeriksaan dan pada langkah kedua, jika memungkinkan, dilakukan pemeriksaan
menggunakan X-ray. Hal ini dilakukan sesuai dengan protokol yang telah ada sebelumnya [24].

Indikasi untuk ddilakukannya evaluasi segera dari VA menggunakan DSA arterial adalah: (a)
fraktur yang melebar hingga ke foramen transversum (trauma tipe I); (b) fraktur verterbral
dengan dislokasi facet (trauma tipe II) atau cedera ligament yang disertai dengan dislokasi facet
(trauma tipe III); (c) gejala iskemik verterobasilar yang muncul setelah trauma tulang servikal
tanpa adanya gambaran jelas dari cedera tulang belakang pada pemeriksaan radiologi; dan (d)
tidak adanya cedera lain yang mengancam nyawa. Pemeriksaan MRA tambahan (Teknik fase
contrast angiografi 3D) dan computed tomography angiography (CTA) 16 slice dilakukan untuk
dibandingkan dengan DSA. Alasan mengapa pemeriksaan tambahan MRA dan CTA dilakukan
pada penelitian ini adalah untuk mengetahui seberapa jauh hasil dari DSA dapat dibandingkan
dengan teknik-teknik yang baru dikembangkan oleh unit radiologi pada klinik di tempat ini
dilakukan menggunakan CTA dan MRA. Selebihnya, MRI menawarkan adanya kemungkinan
untuk mengidentifikasi adanya contusio spinalis atau ketidakstabilan discoligamentary secara
lebih jelas dibandingkan dengan metode pemeriksaan lainnya.
Hasil DSA yang digunakan untuk klasifikasi VAI, menurut Biffl et al. [5]— Cedera grade I :
tampak gambaran arteriografi berupa iregularitas dari dinding pembuluh darah atau adanya
diseksi/hematoma intramural yang disertai dengan stenosis luminal sebesar kurang dari 25%;
Cedera grade II: thrombus intraluminal atau adanya flap intimal yang meningkat dan
tervisualisasi, atau adanya diseksi/hematoma intramural dengan penyempitan luminal sebesar
25% atau lebih; Cedera grade III: pseudoaneurysm; Cedera grade IV: oklusi pembuluh darah;
dan Cedera grade V: terjadi transeksi pembuluh darah.

Pengobatan untuk oklusi VA traumatic atau stenosis (dalam semua kasus dengan VAI) terdiri dari
antikoagulasi intravena menggunakan heparin. Pada penelitian ini, pengobatan dimulai dengan
pemberian infusi heparin secara kontinyu (15 U/kg/h) menggunakan pompa perfusi untuk
mencapai partial thromboplastin time (PTT) sebesar 40-50 detik dalam 2 minggu pengobatan.
Sampel darah untuk PTT tersebut diambil dua kali sehari dan tingkat PTT yang ditargetkan,
dicapai dengan mentitrasi heparin secara perlahan. Pengobatan antikoagulasi intravena
dilanjutkan dengan pemberian asam asetilsalisilat (aspirin) secara oral sekali sehari selama 6
bulan. Pengobatan dimulai menggunakan heparin intravena dikarenakan efeknya dapat dimonitor
dan dikontrol dengan mudah. Pembedahan stabilisasi awal untuk menghilangkan tekanan pada
VA dan mencegah kejadian iskemik dilakukan pada pasien yang tidak memiliki cedera lainnya
yang mengancam jiwa. Follow-up dilakukan setelah 3 bulan dan 6 bulan pengobatan pada pasien
dengan VAI. Selanjutnya, peneliti juga melakukan follow-up jangka Panjang menggunakan
interview melalui telepon (rata-rata lama follow up, 83,3 bulan). Follow-up jangka panjang
menggunakan metode radiologi tidak dapat dilakukan dikarenakan regulasi legal dalam proteksi
terhadap radiasi (CTA, DSA) dan adanya resiko potensial alergi dari agen kontras (MRA). Akan
tetapi, pemeriksaan X-ray pada pasien yang telah dilakukan pembedahan, dapat dilakukan secara
rutin. Data klinis dan radiologis diasses secara prospektif dan disimpan.
Analisis statistik yang digunakan pada data penelitian ini adalah Chi-square, non-parametric
Mann-Whitney dan Kruskal Wallis test. Hasil yang dianggap signifikan sebesar P<0.05. Analisis
dilakukan menggunakan SPSS 14.

Hasil
Pasien dengan trauma tulang servikal
Sebanyak 599 pasien, yang masuk sejak bulan April 1996 hingga Januari 2010 akibat cedera
tulang servikal diinklusikan dalam penelitian ini (median umur: 53 tahun; SD ± 23.26; range 2–
93 tahun;
perempuan: n = 226 [37.7%], laki-laki: n = 373 [62.3%]). Pertimbanagan untuk melakukan
pemeriksaan radiologi (X-ray dan/atau CT scan servikal) telah dijelaskan diatas. Sebanyak 179
pasien

Anda mungkin juga menyukai