Anda di halaman 1dari 13

BAB I

PENDAHULUAN
A. Latar belakang
1. Pemilu
Pemilu dalam negara demokrasi Indonesia merupakan suatu proses pergantian
kekuasaan secara damai yang dilakukan secara berkala sesuai dengan prinsip-prinsip
yang digariskan konstitusi. Prinsip-prinsip dalam pemilihan umum yang sesuai
dengan konstitusi antara lain prinsip kehidupan ketatanegaraan yang berkedaulatan
rakyat (demokrasi) ditandai bahwa setiap warga negara berhak ikut aktif dalam setiap
proses pengambilan keputusan kenegaraan
Sebuah negara berbentuk republik memiliki sistem pemerintahan yang tidak pernah
lepas dari pengawasan rakyatnya. Adalah demokrasi, sebuah bentuk pemerintahan
yang terbentuk karena kemauan rakyat dan bertujuan untuk memenuhi kepentingan
rakyat itu sendiri. Demokrasi merupakan sebuah proses, artinya sebuah republik tidak
akan berhenti di satu bentuk pemerintahan selama rakyat negara tersebut memiliki
kemauan yang terus berubah. Ada kalanya rakyat menginginkan pengawasan yang
superketat terhadap pemerintah, tetapi ada pula saatnya rakyat bosan dengan para
wakilnya yang terus bertingkah karena kekuasaan yang seakan-akan tak ada batasnya.
Berbeda dengan monarki yang menjadikan garis keturunan sebagai landasan untuk
memilih pemimpin, pada republik demokrasi diterapkan azas kesamaan di mana
setiap orang yang memiliki kemampuan untuk memimpin dapat menjadi pemimpin
apabila ia disukai oleh sebagian besar rakyat. Pemerintah telah membuat sebuah
perjanjian dengan rakyatnya yang ia sebut dengan istilah kontrak sosial. Dalam
sebuah republik demokrasi, kontrak sosial atau perjanjian masyarakat ini diwujudkan
dalam sebuah pemilihan umum. Melalui pemilihan umum, rakyat dapat memilih siapa
yang menjadi wakilnya dalam proses penyaluran aspirasi, yang selanjutnya
menentukan masa depan sebuah negara.

2. Masa orde baru dan orde lama


Orde lama (Demokrasi Terpimpin)
1. Masa Pasca Kemerdekaan (1945-1950)
Keadaan ekonomi keuangan pada masa awal kemerdekaan amat buruk, antara lain
disebabkan oleh :
a. Inflasi yang sangat tinggi, disebabkan karena beredarnya lebih dari satu mata uang
secara tidak terkendali. Pada waktu itu, untuk sementara waktu pemerintah RI
menyatakan tiga mata uang yang berlaku di wilayah RI, yaitu mata uang De Javasche
Bank, mata uang pemerintah Hindia Belanda, dan mata uang pendudukan Jepang.
Kemudian pada tanggal 6 Maret 1946, Panglima AFNEI (Allied Forces for Netherlands
East Indies/pasukan sekutu) mengumumkan berlakunya uang NICA di daerah-daerah
yang dikuasai sekutu. Pada bulan Oktober 1946, pemerintah RI juga mengeluarkan uang
kertas baru, yaitu ORI (Oeang Republik Indonesia) sebagai pengganti uang Jepang.
Berdasarkan teori moneter, banyaknya jumlah uang yang beredar mempengaruhi
kenaikan tingkat harga.
b. Adanya blokade ekonomi oleh Belanda sejak bulan November 1945 untuk menutup
pintu perdagangan luar negeri RI.
c. Kas negara kosong.
d. Eksploitasi besar-besaran di masa penjajahan.
Usaha-usaha yang dilakukan untuk mengatasi kesulitan-kesulitan ekonomi, antara lain :
a.Program Pinjaman Nasional dilaksanakan oleh menteri keuangan Ir. Surachman dengan
persetujuan BP-KNIP, dilakukan pada bulan Juli 1946.
b.Upaya menembus blokade dengan diplomasi beras ke India, mangadakan kontak
dengan perusahaan swasta Amerika, dan menembus blokade Belanda di Sumatera dengan
tujuan ke Singapura danMalaysia.
c.Konferensi Ekonomi Februari 1946 dengan tujuan untuk memperoleh kesepakatan yang
bulat dalam menanggulangi masalah-masalah ekonomi yang mendesak, yaitu : masalah
produksi dan distribusi makanan, masalah sandang, serta status dan administrasi
perkebunan-perkebunan.
d.Pembentukan Planning Board (Badan Perancang Ekonomi) 19 Januari 1947
Rekonstruksi dan Rasionalisasi Angkatan Perang (Rera) 1948, mengalihkan tenaga bekas
angkatan perang ke bidang-bidang produktif.
e.Kasimo Plan yang intinya mengenai usaha swasembada pangan dengan beberapa
petunjuk pelaksanaan yang praktis. Dengan swasembada pangan, diharapkan
perekonomian akan membaik (mengikuti Mazhab Fisiokrat : sektor pertanian merupakan
sumber kekayaan).

Orde Baru/ Orba (Demokrasi Pancasila)


Pada masa orde baru, pemerintah menjalankan kebijakan yang tidak mengalami
perubahan terlalu signifikan selama 32 tahun. Dikarenakan pada masa itu pemerintah
sukses menghadirkan suatu stablilitas politik sehingga mendukung terjadinya stabilitas
ekonomi. Karena hal itulah maka pemerintah jarang sekali melakukan perubahan-
perubahan kebijakan terutama dalam hal anggaran negara.
Pada masa pemerintahan orde baru, kebijakan ekonominya berorientasi kepada
pertumbuhan ekonomi. Kebijakan ekonomi tersebut didukung oleh kestabilan politik
yang dijalankan oleh pemerintah. Hal tersebut dituangkan ke dalam jargon kebijakan
ekonomi yang disebut dengan Trilogi Pembangungan, yaitu stabilitas politik,
pertumbuhan ekonomi yang stabil, dan pemerataan pembangunan.
Hal ini berhasil karena selama lebih dari 30 tahun, pemerintahan mengalami stabilitas
politik sehingga menunjang stabilitas ekonomi. Kebijakan-kebijakan ekonomi pada masa
itu dituangkan pada Rencana Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN), yang
pada akhirnya selalu disetujui oleh Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) untuk disahkan
menjadi APBN.
APBN pada masa pemerintahan Orde Baru, disusun berdasarkan asumsi-asumsi
perhitungan dasar. Yaitu laju pertumbuhan ekonomi, tingkat inflasi, harga ekspor minyak
mentah Indonesia, serta nilai tukar rupiah terhadap dollar Amerika. Asumsi-asumsi dasar
tersebut dijadikan sebagai ukuran fundamental ekonomi nasional. Padahal sesungguhnya,
fundamental ekonomi nasional tidak didasarkan pada perhitungan hal-hal makro. Akan
tetapi, lebih kearah yang bersifat mikro-ekonomi. Misalnya, masalah-masalah dalam
dunia usaha, tingkat resiko yang tinggi, hingga penerapan dunia swasta dan BUMN yang
baik dan bersih. Oleh karena itu pemerintah selalu dihadapkan pada kritikan yang
menyatakan bahwa penetapan asumsi APBN tersebut tidaklah realistis sesuai keadaan
yang terjadi.
Format APBN pada masa Orde baru dibedakan dalam penerimaan dan pengeluaran.
Penerimaan terdiri dari penerimaan rutin dan penerimaan pembangunan serta
pengeluaran terdiri dari pengeluaran rutin dan pengeluaran pembangunan. Sirkulasi
anggaran dimulai pada 1 April dan berakhir pada 31 Maret tahun berikutnya. Kebijakan
yang disebut tahun fiskal ini diterapkan seseuai dengan masa panen petani, sehingga
menimbulkan kesan bahwa kebijakan ekonomi nasional memperhatikan petani.
APBN pada masa itu diberlakukan atas dasar kebijakan prinsip berimbang, yaitu
anggaran penerimaan yang disesuaikan dengan anggaran pengeluaran sehingga terdapat
jumlah yang sama antara penerimaan dan pengeluaran. Hal perimbangan tersebut
sebetulnya sangat tidak mungkin, karena pada masa itu pinjaman luar negeri selalu
mengalir. Pinjaman-pinjaman luar negeri inilah yang digunakan pemerintah untuk
menutup anggaran yang defisit.
Ini artinya pinjaman-pinjaman luar negeri tersebut ditempatkan pada anggaran
penerimaan. Padahal seharusnya pinjaman-pinjaman tersebut adalah utang yang harus
dikembalikan, dan merupakan beban pengeluaran di masa yang akan datang. Oleh karena
itu, pada dasarnya APBN pada masa itu selalu mengalami defisit anggaran.
Penerapan kebijakan tersebut menimbulkan banyak kritik, karena anggaran defisit negara
ditutup dengan pinjaman luar negeri. Padahal, konsep yang benar adalah pengeluaran
pemerintah dapat ditutup dengan penerimaan pajak dalam negeri. Sehingga antara
penerimaan dan pengeluaran dapat berimbang. Permasalahannya, pada masa itu
penerimaan pajak saat minim sehingga tidak dapat menutup defisit anggaran.
Namun prinsip berimbang ini merupakan kunci sukses pemerintah pada masa itu untuk
mempertahankan stabilitas, khususnya di bidang ekonomi. Karena pemerintah dapat
menghindari terjadinya inflasi, yang sumber pokoknya karena terjadi anggaran yang
defisit. Sehingga pembangunanpun terus dapat berjalan.
Prinsip lain yang diterapkan pemerintah Orde Baru adalah prinsip fungsional. Prinsip ini
merupakan pengaturan atas fungsi anggaran pembangunan dimana pinjaman luar negeri
hanya digunakan untuk membiayai anggaran belanja pembangunan. Karena menurut
pemerintah, pembangunan memerlukan dana investasi yang besar dan tidak dapat
seluruhnya dibiayai oleh sumber dana dalam negeri.
Pada dasarnya kebijakan ini sangat bagus, karena pinjaman yang digunakan akan
membuahkan hasil yang nyata. Akan tetapi, dalam APBN tiap tahunnya cantuman angka
pinjaman luar negeri selalu meningkat. Hal ini bertentangan dengan keinginan
pemerintah untuk selalu meningkatkan penerimaan dalam negeri. Dalam Keterangan
Pemerintah tentang RAPBN tahun 1977, Presiden menyatakan bahwa dana-dana
pembiayaan yang bersumber dari dalam negeri harus meningkat. Padahal, ketergantungan
yang besar terhadap pinjaman luar negeri akan menimbulkan akibat-akibat. Diantaranya
akan menyebabkan berkurangnya pertumbuhan ekonomi.
Hal lain yang dapat terjadi adalah pemerataan ekonomi tidak akan terwujud. Sehingga
yang terjadi hanya perbedaan penghasilan. Selain itu pinjaman luar negeri yang banyak
akan menimbulkan resiko kebocoran, korupsi, dan penyalahgunaan. Dan lebih parahnya
lagi ketergantungan tersebut akan menyebabkan negara menjadi malas untuk berusaha
meningkatkan penerimaan dalam negeri.
Prinsip ketiga yang diterapakan oleh pemerintahan Orde Baru dalam APBN adalah,
dinamis yang berarti peningkatan tabungan pemerintah untuk membiayai pembangunan.
Dalam hal ini pemerintah akan berupaya untuk mendapatkan kelebihan pendapatan yang
telah dikurangi dengan pengeluaran rutin, agar dapat dijadikan tabungan pemerintah.
Oleh karena itu, pemerintah dapat memanfaatkan tabungan tersebut untuk berinvestasi
dalam pembangunan.
Kebijakan pemerintah ini dilakukan dengan dua cara, yaitu derelgulasi perbankan dan
reformasi perpajakan. Akan tetapi, kebijakan demikian membutuhkan waktu dan proses
yang cukup lama. Akibatnya, kebijakan untuk mengurangi bantuan luar negeri tidak
dapat terjadi karena jumlah pinjaman luar negeri terus meningkat. Padahal disaat yang
bersamaan persentase pengeluaran rutin untuk membayar pinjaman luar negeri terus
meningkat. Hal ini jelas menggambarkan betapa APBN pada masa pemerintahan Orde
Baru sangat bergantung pada pinjaman luar negeri. Sehingga pada akhirnya berakibat
tidak dapat terpenuhinya keinginan pemerintah untuk meningkatkan tabungannya.
- Masa Reformasi (Demokrasi Liberal)
Pada masa krisis ekonomi,ditandai dengan tumbangnya pemerintahan Orde Baru
kemudian disusul dengan era reformasi yang dimulai oleh pemerintahan Presiden
Habibie. Pada masa ini tidak hanya hal ketatanegaraan yang mengalami perubahan,
namun juga kebijakan ekonomi. Sehingga apa yang telah stabil dijalankan selama 32
tahun, terpaksa mengalami perubahan guna menyesuaikan dengan keadaan.
Pemerintahan presiden BJ.Habibie yang mengawali masa reformasi belum melakukan
manuver-manuver yang cukup tajam dalam bidang ekonomi. Kebijakan-kebijakannya
diutamakan untuk mengendalikan stabilitas politik. Pada masa kepemimpinan presiden
Abdurrahman Wahid pun, belum ada tindakan yang cukup berarti untuk menyelamatkan
negara dari keterpurukan. Padahal, ada berbagai persoalan ekonomi yang diwariskan orde
baru harus dihadapi, antara lain masalah KKN (Korupsi, Kolusi dan Nepotisme),
pemulihan ekonomi, kinerja BUMN, pengendalian inflasi, dan mempertahankan kurs
rupiah. Malah presiden terlibat skandal Bruneigate yang menjatuhkan kredibilitasnya di
mata masyarakat. Akibatnya, kedudukannya digantikan oleh presiden Megawati.
Masa kepemimpinan Megawati Soekarnoputri mengalami masalah-masalah yang
mendesak untuk dipecahkan adalah pemulihan ekonomi dan penegakan hukum.
Kebijakan-kebijakan yang ditempuh untuk mengatasi persoalan-persoalan ekonomi
antara lain :
a)Meminta penundaan pembayaran utang sebesar US$ 5,8 milyar pada pertemuan Paris
Club ke-3 dan mengalokasikan pembayaran utang luar negeri sebesar Rp 116.3 triliun.
b)Kebijakan privatisasi BUMN. Privatisasi adalah menjual perusahaan negara di dalam
periode krisis dengan tujuan melindungi perusahaan negara dari intervensi kekuatan-
kekuatan politik dan mengurangi beban negara. Hasil penjualan itu berhasil menaikkan
pertumbuhan ekonomi Indonesia menjadi 4,1 %. Namun kebijakan ini memicu banyak
kontroversi, karena BUMN yang diprivatisasi dijual ke perusahaan asing.
Di masa ini juga direalisasikan berdirinya KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi), tetapi
belum ada gebrakan konkrit dalam pemberantasan korupsi. Padahal keberadaan korupsi
membuat banyak investor berpikir dua kali untuk menanamkan modal di Indonesia, dan
mengganggu jalannya pembangunan nasional.
Masa Kepemimpinan Susilo Bambang Yudhoyono terdapat kebijakan kontroversial yaitu
mengurangi subsidi BBM, atau dengan kata lain menaikkan harga BBM. Kebijakan ini
dilatar belakangi oleh naiknya harga minyak dunia. Anggaran subsidi BBM dialihkan ke
subsidi sektor pendidikan dan kesehatan, serta bidang-bidang yang mendukung
peningkatan kesejahteraan masyarakat.
Kebijakan kontroversial pertama itu menimbulkan kebijakan kontroversial kedua, yakni
Bantuan Langsung Tunai (BLT) bagi masyarakat miskin. Kebanyakan BLT tidak sampai
ke tangan yang berhak, dan pembagiannya menimbulkan berbagai masalah
sosial.Kebijakan yang ditempuh untuk meningkatkan pendapatan perkapita adalah
mengandalkan pembangunan infrastruktur massal untuk mendorong pertumbuhan
ekonomi serta mengundang investor asing dengan janji memperbaiki iklim investasi.
Salah satunya adalah diadakannya Indonesian Infrastructure Summit pada bulan
November 2006 lalu, yang mempertemukan para investor dengan kepala-kepala daerah.
Menurut Keynes, investasi merupakan faktor utama untuk menentukan kesempatan kerja.
Mungkin ini mendasari kebijakan pemerintah yang selalu ditujukan untuk memberi
kemudahan bagi investor, terutama investor asing, yang salah satunya adalah revisi
undang-undang ketenagakerjaan. Jika semakin banyak investasi asing di Indonesia,
diharapkan jumlah kesempatan kerja juga akan bertambah.
Pada pertengahan bulan Oktober 2006 , Indonesia melunasi seluruh sisa utang pada IMF
sebesar 3,2 miliar dolar AS. Dengan ini, maka diharapkan Indonesia tak lagi mengikuti
agenda-agenda IMF dalam menentukan kebijakan dalam negeri. Namun wacana untuk
berhutang lagi pada luar negri kembali mencuat, setelah keluarnya laporan bahwa
kesenjangan ekonomi antara penduduk kaya dan miskin menajam, dan jumlah
penduduk miskin meningkat dari 35,10 jiwa di bulan Februari 2005 menjadi 39,05 juta
jiwa pada bulan Maret 2006. Hal ini disebabkan karena beberapa hal, antara lain karena
pengucuran kredit perbankan ke sector riil masih sangat kurang (perbankan lebih suka
menyimpan dana di SBI), sehingga kinerja sector riil kurang dan berimbas pada turunnya
investasi. Selain itu, birokrasi pemerintahan terlalu kental, sehingga menyebabkan
kecilnya realisasi belanja Negara dan daya serap, karena inefisiensi pengelolaan
anggaran. Jadi, di satu sisi pemerintah berupaya mengundang investor dari luar negri,
tapi di lain pihak, kondisi dalam negeri masih kurang kondusif.
BAB II
PEMBAHASAN

1. Hubungan Antara Sistem Pemilu dengan Pancasila


A. Makna Sistem Pemilihan Umum Langsung
Sebagai konstitusi politik, UUD 1945 setelah perubahan mengatur mengenai mekanisme
demokrasi politik, yaitu ketentuan-ketentuan tentang sistem pemilihan anggota legislatif
DPR, DPD atau DPRD, Presiden, Gubernur, Bupati atau Walikota, dalam berbagai pasal,
yang sebelumnya tidak dituangkan secara tegas dalam UUD 1945 sebelum perubahan.
Dimasukkannya ketentuan-ketentuan tentang pemilihan umum ini mencerminkan telah
terjadi interprestasi terhadap sila ke-empat Pancasila (Kerakyatan yang dipimpin oleh
hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan) secara komprehensif.
Dalam suatu lembaga perwakilan rakyat, seperti lembaga legislatif DPR, DPD atau
DPRD, atau pejabat publik tertentu seperti Presiden, Gubernur, Bupati atau Walikota,
sistem pemilihan ini bisa berupa seperangkat metode untuk mentransfer suara pemilih ke
dalam suatu kursi di lembaga legislatif/parlemen atau kursi pejabat publik tertentu.
Namun, ketika pemilihan itu terjadi pada seorang calon anggota legislatif atau pejabat
publik tertentu, sistem pemilihan itu bisa berwujud seperangkat metode untuk
menentukan seorang pemenang berdasarkan jumlah suara yang diperolehnya. Dalam
bahasa yang sederhana, sistem pemilihan ini pada dasarnya berkaitan dengan cara
pemberian suara, penghitungan suara, dan pembagian kursi .
Joko J. Prihatmoko mengutip Aurel Croissant mengemukakan tiga fungsi pokok pemilu.
Pertama, fungsi keterwakilan (representativeness). Kedua, fungsi integrasi, yaitu fungsi
terciptanya penerimaan partai politik satu terhadap partai politik lain dan masyarakat
terhadap partai politik. Ketiga, fungsi mayoritas yang cukup besar untuk menjamin
stabilitas pemerintah dan kemampuannya untuk memerintah (governability) .
Perubahan UUD 1945, dalam konteks ini, menjadi langkah yang sangat maju bagi
Indonesia untuk menjadi suatu negara yang demokratis. Sebelum perubahan, UUD 1945
tidak menyebutkan secara eksplisit pengaturan tentang pemilihan umum. Dengan
perubahan yang dilakukan, ketentuan mengenai pemilihan umum ini tertuang dalam
konstitusi secara jelas. Mekanisme demokrasi yang menjamin terlaksananya kedaulatan
rakyat dalam pengisian jabatan-jabatan lembaga negara diatur dalam satu pasal khusus,
yaitu Pasal 22E UUD 1945. Pada pasal tersebut tidak saja diatur mengenai prinsip-prinsip
pelaksanaan pemilu di Indonesia, pasal tersebut juga mengatur tatacara pemilu, termasuk
ketentuan pendirian lembaga independen Komisi Pemilihan Umum (KPU). Pasal ini
selanjutnya menjadi payung hukum bagi terbentuknya berbagai perundang-undangan
baru di bidang politik, yaitu UU Partai Politik, UU Pemilu Legislatif dan UU Pemilu
Presiden dan Wakil Presiden serta UU Susunan dan Kedudukan Majelis
Permusyawaratan Rakyat (MPR), Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan Dewan
Perwakilan Daerah (DPD), Dewan Perwakilan Rakyat Daerah ( DPRD).

B. Makna Pancasila sila ke-4


Makna sila ke empat Pancasila yang menyiratkan adanya sistem demokrasi, kalau
diperinci lebih dalam dan lebih luas lagi, maka unsur-unsur demokrasi : kerakyatan,
permusyawaratan dan kedaulatan rakyat, menurut Drs. Kaelan bisa diformulasikan
sebagai berikut:
1. Arti yang terkandung dalam pengertian “kerakyatan” adalah bersifat cita-cita
kefilsafatan, yaitu bahwa negara adalah untuk keperluan rakyat. Oleh karena itu maka
sifat dan keadaan negara harus sesuai dengan kepentingan seluruh rakyat. Jadi
“kerakyatan” pada hakekatnya lebih luas pengertiannya dibanding dengan pengertian
demokrasi, terutama demokrasi politik.
2. Pengertian demokrasi pada hakekatnya terikat dengan kata-kata
permusyawaratan/perwakilan. Hal ini sesuai dengan rumusan yang terdapat dalam sila
keempat Pancasila. Hal ini merupakan suatu cita-cita kefilsafatan demokrasi. Terutama
dalam kaitannya dengan demokrasi politik, karena cita-cita kefilsafatan demokrasi politik
ini, merupakan syarat mutlak bagi tercapainya maksud kerakyatan.
3. Dalam pengertian “kerakyatan” terkandung pula cita-cita kefilsafatan demokrasi
sosial-ekonomi. Demokrasi sosial -ekonomi adalah untuk pelaksanaan persamaan dalam
lapangan kemasyarakatan (social) dan ekonomi untuk mewujudkan kesejahteraaan
bersama dengan sebaik-baiknya. Adapun untuk mencapai kesejahteraan sosial-ekonomi
tersebut harus dengan syarat demokrasi politik.
4. Dengan demikian maka dalam sila keempat senantiasa terkandung dasar bagi cita-cita
kefilsafatan yang terkandung dalam sila ke lima yaitu keadilan sosial bagi seluruh rakyat
Indonesia’.
Apabila kita membahas sila ke 4 dari Pancasila, ada kebutuhan melihat Pancasila sebagai
suatu keutuhan, tidak bisa melihat Pancasila satu persatu sila yang ada, karena kalau kita
melihat sila dalam Pancasila satu persatu, kita tidak akan bisa melihat sesuatu yang unik
di Pancasila.
Hendaknya kita harus melihat Pancasila dalam bentuk kesatuan atau benang merah yang
terangkai dalam sila-sila Pancasila sehingga maknanya adalah sebuah prinsip dasar yang
unik dan hanya dipunyai oleh bangsa Indonesia yang berbeda dengan prinsip yang
mendasari demokrasi barat ataupun komunis/sosialis yang mendasari negara-negara
Eropa Timur, China. Karena itu kita bisa membentuk persepsi baru tentang Pancasila
sebagai konsep dasar bangsa Indonesia dalam melaksanakan Negara Kesatuan Republik
Indonesia yang merdeka dan berdaulat dengan sistem penyelenggaraan Negara secara
demokratis yaitu sesuai dengan sila ke-4 dari Pancasila – Kerakyatan yang dipimpin oleh
hikmat kebijaksanaan dalam Permusyawaratan/Perwakilan – tapi sistem demokrasi yang
dibangun harus dalam koridor atau dalam ruang lingkup sila-sila yang lain dalam
Pancasila.
Suatu sistem demokrasi yang ber-Ketuhanan Maha Esa (sila-1 sebagai prinsip keharusan
mengakui adanya Tuhan Yang Maha Esa dan kebebasan memilih agama dan kepercayaan
masing-masing), yang ber-Peri Kemanusian Yang Beradab (sila-2 sebagai prinsip
keharusan bagi Negara dan rakyat Indonesia untuk mematuhi dan melaksanakan prinsip-
prinsip hak-hak azasi manusia), yang tetap menjaga Persatuan Indonesia (sila ke-3 prinsip
keharusan bagi Negara dan rakyat Indonesia untuk menjaga prinsip satu nusa, satu
bangsa, dan satu bahasa, Indonesia), yang mewujudkan suatu Keadilan sosial bagi
seluruh rakyat Indonesia (sila ke-5 yang mengharuskan Negara menjamin dan
mewujudkan Keadilan Sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.)
Apabila kita meterjemahkan Pancasila seperti tersebut diatas kita baru bisa melihat
Pancasila sebagai ideologi yang unik yang mungkin baru dimulai di Indonesia yang
mungkin bisa menjadi ideologi yang universal kalau negara dan bangsa Indonesia mampu
merealisasikan dalam bentuk nyata. Prinsip demokrasi yang punya koridor yang sangat
jelas pada batas-batas sila yang lain dalam Pancasila. Bukan prinsip demokrasi untuk
demokrasi tapi demokrasi yang punya tujuan mulia. Bukan juga demokrasi Barat yang
berpasangan dengan sistem ekonomi pasar bebas dan kapitalisme.
Pancasila adalah ideologi yang juga berarti suatu sistem ide yang dijadikan dasar Negara
Kesatuan Republik Indonesia. Sebagai prinsip dasar negara yang diharapkan menjadi
“basic belief” ataupun “way of life” sudah pasti dibuat sesempurna mungkin jadi tidak
harus dirubah dari waktu ke waktu, kalau bisa sistem ide ini memang dibuat sekali tapi
sudah bisa mencakup periode yang selama-lamanya dalam kehidupan berbangsa dan
bernegara Indonesia.

C. Hubungan antara sistem pemilihan umum langsung dengan Pancasila sila ke-4
Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden sengaja dimasukkan di dalam Pasal 22E Ayat (2)
bukan kebetulan semata, melainkan sebuah kesengajaan yang dilakukan oleh para pelaku
perumus perubahan UUD 1945 saat itu yang berpendapat bahwa sebaiknya pemilihan
umum Presiden dan Wakil Presiden bersamaan dengan pemilihan umum untuk memilih
anggota DPR, DPD dan DPRD. Sehingga pemiihan umum dilakukan serentak sekali
dalam lima tahun, bukan dua kali dengan memisahkan pemilihan Presiden dan Wakil
Presiden tersendiri yang dilakukan sesudah pemilihan anggota legislatif. Kalau itu
dilaksanakan, akan ada lima kotak suara yang harus diisi, yaitu kotak suara untuk
memilih Presiden dan Wakil Presiden, DPR, DPD, DPRD provinsi, dan DPRD
kabupaten/kota.
Ada banyak keuntungan seandainya pemilihan umum diadakan serentak sebagaimana
yang difikirkan oleh pelaku perubahan UUD 1945. Di antaranya, akan terjadi efisiensi
biaya, memperpendek tensi suhu politik, dan ketegangan sosial akibat Pemilu. Selain itu,
dengan diberlakukannya pemilihan umum serentak maka koalisi antarpartai bisa
dilakukan sebelum pemilihan umum, bukan setelah Pemilu Legislatif.
Dalam kaitannya dengan Pemilihan Umum untuk memilih Presiden dan Wakil Presiden,
UUD 1945 menentukan syarat-syarat dan ketentuan yang harus dipenuhi oleh para calon
Presiden dan Wakil Presiden, sekaligus bagaimana mekanisme yang harus dijalankan
dalam pemilihan tersebut. Secara khusus UUD 1945 setelah perubahan mengatur
pemilihan Presiden, yaitu dengan keharusan melakukan penggabungan dalam satu paket.
Alasan yang berkembang saat itu diantaranya adalah untuk menyederhanakan partai
politik. Dengan diharuskan calon Presiden dan Wakil Presiden satu paket maka bisa
dilakukan koalisi antarpartai untuk memenangkan calonnya.

2. Persamaan orde baru dan orde lama


Sama-sama masih terdapat ketimpangan ekonomi, kemiskinan, dan ketidakadilan Setelah
Indonesia Merdeka, ketimpangan ekonomi tidak separah ketika zaman penjajahan namun
tetap saja ada terjadi ketimpangan ekonomi, kemiskinan, dan ketidakadilan. Dalam 26
tahun masa orde baru (1971-1997) rasio pendapatan penduduk daerah terkaya dan
penduduk daerah termiskin meningkat dari 5,1 (1971) menjadi 6,8 (1983) dan naik lagi
menjadi 9,8 (1997). Ketika reformasi ketimpangan distribusi pendapatan semakin tinggi
dari 0,29 (2002) menjadi 0,35 (2006).
Sehingga dapat dikatakan bahwa kaum kaya memperoleh manfaat terbesar dari
pertumbuhan ekonomi yang dikatakan cukup tinggi, namun pada kenyataanya tidak
merata terhadap masyarakat.

Adanya KKN (Korupsi, Kolusi, Nepotisme)


Orde Lama: Walaupun kecil, korupsi sudah ada.
Orde Baru: Hampir semua jajaran pemerintah koruptor (KKN).
Reformasi: Walaupun sudah dibongkar dan dipublikasi di mana-mana dari media
massa,media elektronik,dll tetap saja membantah melakukan korupsi.
Hal ini menimbulkan krisis kepercayaan masyarakat yang sulit untuk disembuhkan akibat
praktik-pratik pemerintahan yang manipulatif dan tidak terkontrol.

BAB III
PENUTUP
1. KESIMPULAN
Dari materi diatas setidaknya ada beberapa poin yang dapat disarikan dalam tema singkat
tentang “pemilu” ini:
a. Pemilihan umum yang selanjutnya disebut Pemilu adalah sarana pelaksanaan
kedaulatan rakyat dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia yang berdasarkan
Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945.

Anda mungkin juga menyukai