Anda di halaman 1dari 73

BAB 1

PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Pengalaman nyeri seseorang berseda-beda. Secara umum nyeri adalah
suatu rasa yang tidak nyaman, baik ringan maupun berat. Nyeri didefinisikan
sebagai suatu keadaan yang mempengaruhi seseorang dan eksistensinya diketahui
bila seseorang pernah mengalaminya. Nyeri adalah pengalaman perasaan
emosional yang tidak menyenangkan akibat terjadinya kerusakan aktual maupun
potensial, atau menggambarkan kondisi terjadinya kerusakan (IASP,1999). Nyeri
sebagai suatu dasar sensasi ketidaknyamanan yang berhubungan dengan tubuh
dimanifestasikan sebagai penderitaan yang diakibatkan oleh persepsi jiwa yang
nyata, ancaman atau fantasi luka (Engel,1970).
Setiap individu pasti pernah mengalami nyeri dalam tingkatan tertentu.
Nyeri merupakan alasan yang paling umum orang mencari perawatan kesehatan.
Walaupun merupakan salah satu dari gejala yang paling sering terjadi di bidang
medis, nyeri merupakan salah satu yang paling sedikit dipahami. Individu yang
merasakan nyeri merasa menderita dan mencari upaya untuk menghilangkannya.
Perawat meggunakan berbagai intervensi untuk dapat menghilangkan
nyeri tersebut dan mengembalikan kenyamanan klien. Perawat tidak dapat melihat
dan merasakan nyeri yang dialami oleh klien karena nyeri bersifat subjektif. Tidak
ada dua individu yang mengalami nyeri yang sama dan tidak ada kejadian nyeri
yang sama menghasilkan respon yang identik pada seseorang. Nyeri dapat
diekspresikan melalui menangis, pengutaraan, atau isyarat perilaku. Nyeri yang
bersifat subjektif membuat perawat harus mampu dalam memberikan asuhan
keperawatan secara holistic dan menanganinya.
Berdasarkan uraian di atas, maka penulis tertarik untuk mengangkat
laporan studi kasus tentang asuhan keperawatan pada Tn. A dengan Gangguan
Rasa Nyaman Nyeri di ruang Dahlia RSUD dr. Doris Sylvanus Palangka Raya.
1.2 Rumusan Masalah
Bagaimana Asuhan Keperawatan yang efisien pada pasien Tn.A dengan
Gangguan Rasa Nyaman Nyeri di ruang Dahlia RSUD dr.Doris Sylvanus
Palangka Raya ?

1
1.3 Tujuan Studi Kasus
1.3.1 Tujuan Umum
Tujuan umum penyusunan dan penulisan laporan studi kasus adalah agar
mahasiswa memahami bagaimana menyajikan dari hasil pemberian asuhan
keperawatan pada Tn. A di ruang Dahlia RSUD dr. Doris Sylvanus Palangka
Raya dalam bentuk laporan tertulis dan berdasarkan kaidah dasar laporan tertulis
ilmiah.
1.3.2 Tujuan Khusus
Secara khusus penulisan ini bertujuan agar dapat.
1.3.2.1 Mahasiswa mampu melaksanakan Pengkajian Asuhan Keperawatan pada
Tn. A dengan Gangguan Rasa Nyaman Nyeri di Ruang Dahlia RSUD dr.
Doris Sylvanus Palangka Raya.
1.3.2.2 Mahasiswa mampu menegakkan Diagnosa Asuhan Keperawatan pada Tn.
A dengan Gangguan Rasa Nyaman Nyeri di Ruang Dahlia RSUD dr.
Doris Sylvanus Palangka Raya
1.3.2.3 Mahasiswa mampu Merumuskan Intervensi Asuhan Keperawatan pada
Tn. A dengan Gangguan Rasa Nyaman Nyeri di Ruang Dahlia RSUD dr.
Doris Sylvanus Palangka Raya
1.3.2.4 Mahasiswa mampu Melaksanakan Tindakan Keperawatan pada Tn. A
dengan Gangguan Rasa Nyaman Nyeri di Ruang Dahlia RSUD dr. Doris
Sylvanus Palangka Raya
1.3.2.5 Mahasiswa mampu Melaksanakan Evaluasi pada Asuhan Keperawatan
pada Tn. A dengan Gangguan Rasa Nyaman Nyeri di Ruang Dahlia RSUD
dr. Doris Sylvanus Palangka Raya
1.4 Metode Penulisan
Dalam penulisan makalah ini, penulis menggunakan metode deskriptif
yaitu dengan penjabaran masalah-masalah yang didapatkan dan menggunakan
studi kepustakaan dari literature yang ada, baik di buku, jurnal maupun di
internet.

2
1.5 Manfaat Penulisan
1.5.1 Teoritis
1.5.1.1 Secara teoritis, penulisan ini bermanfaat untuk memberikan sumbangan
pemikiran maupun sebagai rujukan referensi bagi para perawat dalam
menerapkan asuhan keperawatan pada pasien dengan Gangguan Rasa
Nyaman Nyeri pada Tn. A di Ruang Dahlia RSUD dr. Doris Sylvanus
Palangka Raya.
1.5.2 Praktis
1.5.2.1 Bagi Institusi Pendidikan
Sebagai bahan bacaan ilmiah, serta menjadi bahan atau dasar bagi mereka
yang ingin mengadakan penelitian lebih lanjut.
1.5.2.2 Bagi Rumah Sakit
Dapat menjadi masukan bagi tenaga kesehatan yang ada di rumah sakit
untuk dapat meningkatkan mutu pelayanan keperawatan khususnya pada kasus
Gangguan Rasa Nyaman Nyeri yang tepat pada Tn. A di Ruang Dahlia RSUD dr.
Doris Sylvanus Palangka Raya.
1.5.2.3 Bagi Mahasiswa
Hasil laporan studi kasus ini dapat menambah wawasan dan pengetahuan
serta untuk memperoleh pengalaman dalam penerapan asuhan keperawatan pada
pasien dengan kasus Gangguan Rasa Nyaman Nyeri pada Tn. A di Ruang Dahlia
RSUD dr. Doris Sylvanus Palangka Raya.

3
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Konsep Dasar Ganggua Rasa Nyaman Nyeri


2.1.1 Pengrtian
Nyeri didefinisikan sebagai suatu keadaan yang mempengaruhi seseorang
dan ekstensinya diketahui bila seseorang pernah mengalaminya (Tamsuri, 2007).
Menurut International Association for The Study of Pain (IASP), nyeri
dapat digambarkan sebagai suatu pengalaman sensorik dan emosional yang tidak
menyenangkan yang berkaitan dengan kerusakan jaringan yang sudah atau
berpotensi terjadi. Nyeri bersifat subjektif dan merupakan suatu sensasi sekaligus
emosi (Price and Lorraine, 2005).
Nyeri merupakan mekanisme pertahanan bagi tubuh, timbul apabila
jaringan dirusak yang menyebabkan individu bereaksi dengan cara memindahkan
stimulus nyeri (Guyton and Hall, 2008).
Nyeri merupakan perasaan dan pengalaman emosional yang tidak
menyenangkan yang timbul dari kerusakan jaringan yang aktual dan potensial
atau gambaran adanya kerusakan (NANDA, 2005).
2.1.2 Etiologi
Etiologi yang dapat menyebabkan nyeri antara lain :
1) Agen cedera fisik : penyebab nyeri karena trauma fisik
2) Agen cedera biologi : penyebab nyeri karena kerusakan fungsi
organ atau jaringan tubuh.
3) Agen cedera psikologi : penyebab nyeri yang bersifat psikologik
seperti kelainan organik, neuro traumatik.
4) Agen cedera kimia: penyebab nyeri karena bahan kimia.
2.1.3 Faktor Predeposisi
Adanya injuri fisik, kimia, thermal yang meningkatkan transmisi maupun
menghambat nyeri, zat yang dapat meningkatkan transmisi nyeri histamin,
bradikinin, asetilkolin dan prostaglandin. Inhibitor transmisi nyeri : endorfin dan
enkefalin.

4
2.1.4 Patofisiologi
Price and Lorraine (2005) menyatakan bahwa proses fisiologik nyeri
terdiri dari beberapa proses yang meliatkan stimulus cedera jaringan dan
pengalaman subjektif nyeri yaitu :
1) Transduksi nyeri
Proses rangsangan yang mengganggu sehingga menimbulkan aktivitas
listrik di reseptor nyeri. Rangsangan ini dapat berupa fisik, suhu, dan
kimia.
2) Transmisi nyeri
Transmisi nyeri melibatkan proses penyaluran impuls nyeri yang
disalurkan oleh serabut A delta dan serabut C sebagai neuron pertama, dari
tempat transduksi melewati saraf perifer sampai ke terminal di medula
spinalis dan jaringan neuron-neuron pemancar yang naik dari medula
spinalis ke otak.
3) Modulasi nyeri
Modulasi nyeri melibatkan aktivitas saraf melalui jalur-jalur saraf
desendens dari otak yang dapat mempengaruhi transmisi nyeri setinggi
medula spinalis. Modulasi nyeri melibatkan faktor-faktor kimiawi yang
menimbulkan atau meningkatkan aktivitas di reseptor nyeri aferen primer.
Ada beberapa sistem analgesik endogen meliputi enkefalin, endorfin,
serotonin, dan noradrenalin yang memiliki efek menekan impuls nyeri
pada kornu posterior medulla spinalis.
4) Persepsi nyeri
Pengalaman subjektif nyeri yang dihasilkan oleh aktivitas transmisi nyeri
oleh saraf.
2.1.5 Tanda Dan Gejala
2.1.5.1 Respon fisiologis terhadap nyeri
1) Stimulasi Simpatik:(nyeri ringan, moderat, dan superficial)
(1) Dilatasi saluran bronkhial dan peningkatan respirasi rate
(2) Peningkatan heart rate
(3) Vasokonstriksi perifer, peningkatan BP
(4) Peningkatan nilai gula darah

5
(5) Diaphoresis
(6) Peningkatan kekuatan otot
(7) Dilatasi pupil
(8) Penurunan motilitas GI
2.1.5.2 Stimulus Parasimpatik (nyeri berat dan dalam)
1) Muka pucat
2) Otot mengeras
3) Penurunan HR dan BP
4) Nafas cepat dan irreguler
5) Nausea dan vomitus
6) Kelelahan dan keletihan
2.1.5.3 Respon tingkah laku terhadap nyeri
1) Pernyataan verbal (Mengaduh, Menangis, Sesak Nafas, Mendengkur)
2) Ekspresi wajah (Meringis, Menggeletukkan gigi, Menggigit bibir)
3) Gerakan tubuh (Gelisah, Imobilisasi, Ketegangan otot, peningkatan
gerakan jari & tangan
4) Menghindari percakapan, menghindari kontak sosial, penurunan
rentang perhatian, Fokus pd aktivitas menghilangkan nyeri).
2.1.6 Pemeriksaan Penunjang
Intensitas nyeri seseorang dapat diketahui dari alat-alat pengkajian yang
digunakan pengukuran intensitas nyeri sangat subjektif dan individual dan
kemungkinan nyeri dalam intensitas yang sama dirasakan sangat berbeda oleh dua
orang yang berbeda oleh dua orang yang berbeda. Pengukuran nyeri dengan
pendekatan objektif yang paling mungkin adalah menggunakan respon fisiologik
tubuh terhadap nyeri itu sendiri. Namun, pengukuran dengan tehnik ini juga tidak
dapat memberikan gambaran pasti tentang nyeri itu sendiri (Tamsuri, 2007).
Menurut smeltzer, S.C bare B.G (2002) adalah sebagai berikut:
1) Skala intensitas nyeri deskriptif sederhana
Skala intensitas nyeri nyeri deskriptif sederhana ini menggunakan enam
gambar wajah dengan ekspresi yang berbeda. Skala ini dapat dipergunakan
mulai anak usia 3 (tiga) tahun.

6
2) Skala intensitas nyeri numerik 0-10

3) Skala analog visual (VAS)

4) Skala nyeri menurut bourbanis

Keterangan :
 0 : Tidak nyeri
 1-3 : Nyeri ringan (secara obyektif klien dapat berkomunikasi
dengan baik).
 4-6 : Nyeri sedang ( Secara obyektif klien mendesis,
menyeringai, dapat menunjukkan lokasi nyeri, dapat mendeskripsikannya,
dapat mengikuti perintah dengan baik).
 7-9 : Nyeri berat ( secara obyektif klien terkadang tidak dapat
mengikuti perintah tapi masih respon terhadap tindakan, dapat
menunjukkan lokasi nyeri, tidak dapat mendeskripsikannya, tidak dapat
diatasi dengan alih posisi nafas panjang dan distraksi
 10 : Nyeri sangat berat (Pasien sudah tidak mampu lagi
berkomunikasi, memukul).

7
2.1.7 Pengkajian
2.1.7.1 Pengkajian nyeri yang faktual dan akurat dibutuhkan untuk:
1) Menetapkan data dasar
2) Menegakkan diagnosa keperawatan yang tepat
3) Menyeleksi terapi yang cocok
4) Mengevaluasi respon klien terhadap terapi yang diberikan. Perawat
harus menggali pengalaman nyeri dari sudut pandang klien.
Keuntungan pengkajian nyeri bagi klien adalah bahwa nyeri
diidentifikasi, dikenali sebagai sesuatu yang nyata, dapat diukur, dapat
djelaskan, serta digunakan untuk mengevaluasi perawatan.
2.1.7.2 Hal-hal yang perlu dikaji adalah sebagai berikut:
1) Ekspresi klien terhadap nyeri.
Banyak klien tidak melaporkan atau mendiskusikan kondisi
ketidaknyamanan. Untuk itulah perawat harus mempelajari cara verbal
dan nonverbal klien dalam mengkomunikasikan rasa
ketidaknyamanan. Klien yang tidak mampu berkomunikasi efektif
seringkali membutuhkan perhatian khusus ketika pengkajian.
2) Klasifikasi pengalaman nyeri
Perawat mengkaji apakah nyeri yang dirasakan klien akut atau kronik.
Apabila akut, maka dibutuhkan pengkajian yang rinci tentang
karakteristik nyeri dan apabila nyeri bersifat kronik, maka perawat
menentukan apakah nyeri berlangsung intermiten, persisten atau
terbatas.
3) Karakteristik nyeri
(1) Onset dan durasi
Perawat mengkaji sudah berapa lama nyeri dirasakan, seberapa
sering nyeri kambuh, dan apakah munculnya nyeri itu pada waktu
yang sama.
(2) Lokasi
Perawat meminta klien untuk menunjukkan dimana nyeri terasa,
menetap atau terasa pada menyebar.

8
(3) Keparahan
Perawat meminta klien menggambarkan seberapa parah nyeri yang
dirasakan. Untuk memperoleh data ini perawat bisa menggunakan
alat Bantu, skala ukur. Klien ditunjukkan skala ukur, kemudian
disuruh memilih yang sesuai dengan kondisinya saat ini yang
mana. Skala ukur bisa berupa skala numeric, deskriptif, analog
visual. Untuk anak-anak skala yang digunakan adalah skala oucher
yang dikembangkan oleh Beyer dan skala wajah yang
diembangkan oleh Wong & Baker. Pada skala oucher terdiri dari
skala dengan nilai 0-100 pada sisi sebelah kiri untuk anak-anak
yang lebih besar dan skala fotografik enam gambar pada sisi kanan
untuk anak yang lebih kecil. Foto wajah seorang anak dengan
peningkatan rasa ketidaknyamanan dirancang sebagai petunjuk
untuk memberi anak-anak pengertian sehingga dapat memahami
makna dan keparahan nyeri. Anak bisa diminta untuk
mendiskripsikan nyeri yang dirasakan dengan memilih gambar
yang ada. Skala wajah terdiri dari enam wajah dengan profil kartun
yang menggambarkan wajah dari wajah yang sedang tersenyum
(tidak merasa nyeri), kemudian secara bertahap meningkat sampai
wajah yang sangat ketakutan (nyeri yang sangat).
(4) Kualitas
Minta klien menggambarkan nyeri yang dirasakan, biarkan klien
mendeskripsikan apa yang dirasakan sesuai dengan kata-katanya
sendiri. Perawat boleh memberikan deskripsi pada klien, bila klien
tidak mampu menggambarkan nyeri yang dirasakan.
(5) Pola nyeri
Perawat meminta klien untuk mendeskripsikan aktivitas yang
menyebabkan nyeri dan meminta klien untuk mendemontrasikan
aktivitas yang bisa menimbulkan nyeri.

9
(6) Cara mengatasi
Tanyakan pada klien tindakan yang dilakukan apabila nyerinya
muncul dan kaji juga apakah tindakan yang dilakukan klien itu
bisa efektif untuk mengurangi nyeri.
(7) Tanda lain yang menyertai
Kaji adanya penyerta nyeri, seperti mual, muntah, konstipasi,
gelisah, keinginan untuk miksi dll. Gejala penyerta memerlukan
prioritas penanganan yang sama dengan nyeri itu sendiri.
4) Efek nyeri pada klien
Nyeri merupakan kejadian yang menekan atau stress dan dapat
mengubah gaya hidup dan kesejahteraan psikologis individu. Perawat
harus mengkaji hal-hal berikut ini untuk mengetahui efek nyeri pada
klien:
(1) Tanda dan gejala fisik
Perawat mengkaji tanda-tanda fisiologis, karena adanya nyeri yang
dirasakan klien bisa berpengaruh pada fungsi normal tubuh.
(2) Efek tingkah laku
Perawat mengkaji respon verbal, gerakan tubuh, ekspresi wajah,
dan interaksi sosial. Laporan verbal tentang nyeri merupakan
bagian vital dari pengkajian, perawat harus bersedia mendengarkan
dan berusaha memahami klien. Tidak semua klien mampu
mengungkapkan nyeri yang dirasakan, untuk hal yang seperti itu
perawat harus mewaspadai perilaku klien yang mengindikasikan
nyeri.
(3) Efek pada ADL
Klien yang mengalami nyeri kurang mampu berpartisipasi secara
rutin dalam aktivitas sehari-hari. Pengkajian ini menunjukkan
sejauh mana kemampuan dan proses penyesuaian klien
berpartisipasi dalam perawatan diri. Penting juga untuk mengkaji
efek nyeri pada aktivitas sosial klien.

10
(4) Status neurologis
Fungsi neurologis lebih mudah mempengaruhi pengalaman nyeri.
Setiap faktor yang mengganggu atau mempengaruhi resepsi dan
persepsi nyeri yang normal akan mempengaruhi respon dan
kesadaran klien tentang nyeri. Penting bagi perawat untuk
mengkaji status neurologis klien, karena klien yang mengalami
gangguan neurologis tidak sensitif terhadap nyeri. Tindakan
preventif perlu dilakukan pada klien dengan kelainan neurologis
yang mudah mengalami cidera.
2.1.8 Diagnosa Keperawatan yang Mungkin Muncul
2.1.8.1 Diagnosa yang mungkin muncul yaitu :
1) Gangguan rasa nyaman nyeri berhubungan dengan berhubungan dengan
cedera jaringan.
2) Gangguan mobilitas fisik b.d cedera jaringan sekitar daerah injury,
kerusakan jaringan.
3) Deficit self care : makan, mandi/higiene, berpakian/berdandan, atau
toileting berhubungan dengan keterbatasan mobilitas.
4) Perubahan perfusi jaringan berhubungan dengan pembengkakan, injury,
gangguan peredaran darah.
5) Kurang pengetahuan mengenai kondisi, tindakan, prognosis.
6) Ansietas berhubungan dengan kurangnya informasi tentang penyakitnya.
2.1.9 Rencana Asuhan Keperawatan
Diagnosa Kriteria hasil Intervensi Rasionalisasi
Nyeri akut Setelah dilakukan 1. Manajemen nyeri :
berhubungan tindakan keperawatan 1) Lakukan 1) Mengetahui kondisi
dengan agen 3x 24 jam diharapkan pengkajian yang dan karakteristik
cidera biologi pasien dapat : menyeluruh nyeri.
1. Mengontrol mengenai nyeri
nyeri yang dialami pasien
 Pasien meliputi lokasi,
mengetahui karakteristik,
faktor frekuensi, kualitas,

11
penyebab intensitas nyeri,
nyeri. durasi nyeridan
 Pasien dapat faktor pencetus
menggunakan timbulnya nyeri.
sumber- 2) secara nonverbal 2) Untuk mengetahui
sumber penyebab kemajuan tingkat
kemampuan ketidaknyamanan kesembuhan nyeri
klien. pasien. pasien.
 Pasien dapat 3) Ajarkan teknik 3) Mengalihkan dari
menggunkan relaksasi kepada rasa nyeri yang di
analgetik pasien dan keluarga rasakan pasien dan
untuk untuk mengurangi memberikan
mengurangi nyeri pada saat rasa perasaan nyaman.
nyeri. nyeri itu timbul.
 Pasien dapat 4) Pastikan pasien 4) Mengurangi nyeri.
mengenali mendapatkan
tanda-tanda analgetik secara 5) Membantu
nyeri. tepat. mempercepat proses
2. Tingkat nyeri 5) Gunakan penyembuhan.
pasien komunikasi
berkurang terapeutik untuk

 Pasien dapat mengetahui respon

melaporkan pasien terhadap 6) Mengetahui

nyerinya nyeri yang seberapa jauh

berkurang. dialaminya. keberhasilan cara

 Frekuensi 6) Evaluasi bersama yang digunakan

timbulnya pasien mengenai untuk mengatasi

nyeri pada perawatan dan nyeri.

pasien keefektifan teknik 7) Untuk

berkurang. mengontrol nyeri mencegah nyeri

 Secara verbal yang telah kambuh kembali.

pasien digunakan.

12
mengatakan 7) Berikan informasi
nyerinya mengenai nyeri
berkurang. mengenai penyebab 8) Nyeri dapat
nyeri, dan segera tertangani.
bagaimana cara
teknik mengatasi
nyeri.
8) Kolaborasi dengan
pasien, tenaga
kesehatan
profesional yang
lain dalam
memberikan
tindakan untuk
mengurangi nyeri
pasien secara
pharmacological
dan
nonpharmacologica

2.1.10 Implementasi Keperawatan


Implementasi keperawatan adalah pengelolaan dan perwujudan dari
rencana keperawatan yang telah disusun pada tahap perencanaan (Setiadi, 2012:
53). Dalam melaksanakan tindakan perawatan, selain melaksanakannya secara
mandiri, harus adanya kerja sama dengan tim kesehatan lainnya. Implementasi
merupakan realisasi rencana tindakan untuk mencapai tujuan yang telah
ditetapkan dan menilai data yang baru. Implementasi tindakan dibedakan menjadi
tiga kategori yaitu: independent (mandiri), interdependent (bekerja sama dengan
tim kesehatan lainnya: dokter, bidan, tenaga analis, ahli gizi, apoteker, ahli
kesehatan gigi, fisioterapi dan lainnya) dan dependent (bekerja sesuai instruksi
atau delegasi tugas dari dokter). Perawat juga harus selalu mengingat prinsip 6S
setiap melakukan tindakan, yaitu senyum, salam, sapa, sopan santun, sabar dan

13
syukur. Selain itu, dalam memberikan pelayanan, perawat harus melaksankannnya
dengan displin, inovatif (perawat harus berwawasan luas dan harus mampu
menyesuaikan diri dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi),
rasional, integrated (perawat harus mampu bekerja sama dengan sesama profesi,
tim kesehatan yang lain, pasien, keluarga pasien berdasarkan azas kemitraan),
mandiri, perawat harus yakin dan percaya akan kemampuannya dan bertindak
dengan sikap optimis bahwa asuhan keperawatan yang diberikan akan berhasil
(Zaidin, 2003: 84).
Hal-hal yang harus diperhatikan ketika melakukan implementasi adalah
intervensi dilaksanakan sesuai dengan rencana setelah dilakukan validasi,
penguasaan keterampilan interpersonal, intelektual dan teknikal, intervensi harus
dilakukan dengan cermat dan efisien pada situasi yang tepat, keamanan fisik dan
psikologis dilindungi dan dokumentasi keperawatan berupa pencatatan dan
pelaporan (Gaffar, 2003: 50).
2.1.11 Evaluasi
Tahap evaluasi adalah perbandingan yang sistematis dan terencana tentang
kesehatan klien dengan tujuan yang telah ditetapkan, dilakukan dengan cara
berkesinambungan dengan melibatkan klien, keluarga, dan tenaga kesehatan
lainnya. Tujuan evaluasi adalah untuk melihat kemampuan klien dalam mencapai
tujuan yang disesuaikan denagn criteria hasil pada tahap perencanaan. Pada tahap
evaluasi ini terdiri dari 2 kegiatan yaitu (Setiadi, 2012: 57).
1) Evaluasi formatif
Menyatakan evaluasi yang dilakukan pada saat memberikan intervensi
dengan respon segera. Evaluasi jenis ini dikerjakan dalam bentuk pengisian
format catatn perkembangan denagn berorientasi kepada masalah yang dialami
klien. Format yang dipakai adalah SOAP yaitu S: subjektif ddalah perkembangan
keadaan yang dirasakan klien, dikeluhkan, dan dikemukakan klien; O: objektif
adalah perkembangan yang dapat diamati dan diukur oleh perawat atau tim
kesehatan lain; A: analisis yaitu penilaian dari kedua jenis data apakah
berkembang ke arah perbaikan atau kemunduran; P: perencanaan berdasarkan
hasil analisis yang berisi melanjutkan perencanaan sebelumnya apabila keadaan
atau masalah belum teratasi.

14
2) Evaluasi sumatif
Merupakan rekapitulasi dari hasil obsevasi dan analisis status pasien pada
waktu tertentu berdasarkan tujuan yang direncanakan pada tahap perencanaan.
Evaluasi ini dikerjakan dengan cara membandingkan antara tujuan yang akan
dicapai. Format yang dipakai adalah format SOAPIER yaitu S: subjektif ddalah
perkembangan keadaan yang dirasakan klien, dikeluhkan, dan dikemukakan klien;
O: objektif adalah perkembangan yang dapat diamati dan diukur oleh perawat atau
tim kesehatan lain; A: analisis yaitu penilaian dari kedua jenis data apakah
berkembang ke arah perbaikan atau kemunduran; P: perencanaan berdasarkan
hasil analisis yang berisi melanjutkan perencanaan sebelumnya apabila keadaan
atau masalah belum teratasi; I: implementasi yaitu tindakan yang dilakukan
berdasarkan rencana; E: evaluasi yaitu penilaian tentang sejauh mana rencana
tindakan dan evaluasi telah dilaksanakan dan sejauh mana masalah klien teratasi;
R: reassesment yaitu bila hasil evaluasi menunjukkan masalah belum teratasi,
pengkajian ulang perlu dilakukan kembali melalui proses pengumpulan data
subjektif, objektif dan proses analisisnya.
2.1.12 Dokumentasi
Dokumentasi dalam pelayanan keperawatan adalah bagian dari kegiatan
yang dikerjakan oleh perawat setelah member asuhan keperawatan kepada klien.
Dokumentasi keperawatan mempunyai porsi yang besar dari catatan klinis klien
yang menginformasikan factor tertentu atau situasi yang terjadi selama asuhan
dilaksanakan. Di samping itu, dokumentasi dijadikan sebagai wahana komunikasi
dan koordinasi antar profesi (interdisipliner) yang dapat dipergunakan untuk
mengungkap suatu fakta actual untuk dipertanggungjawabkan (Setiadi, 2012:
203).
Dokumentasi keperawatan bertujuan untuk (Zaidin, 2003: 87).
1) Menghindari kesalahan, tumpang tindih, dan ketidaklengkapan informasi
dalam asuhan keperawatan.
2) Terbinanya koordinasi yang baik dan dinamis antara sesama perawat atau
pihak lain melalui komunikasi tulisan.
3) Meningkatkan efisiensi dan efektifitas tenaga keperawatan.
4) Terjaminnya kualitas asuhan keperawatan.

15
5) Perawat mendapat perlindungan secara hukum.
6) Memberikan data bagi penelitian, penulisan karya ilmiah, dan
penyempurnaan standar asuhan keperawatan.
2.2 Konsep Dasar Vulnus
2.2.1 Definisi
Luka adalah keadaan hilang/terputusnya kontinuitas jaringan Menurut
InETNA, luka adalah sebuah injuri pada jaringan yang mengganggu proses selular
normal, luka dapat juga dijabarkan dengan adanya kerusakan pada
kuntinuitas/kesatuan jaringan tubuh yang biasanya disertai dengan kehilangan
substansi jaringan (Mansjoer, 2001)
Chada (1995) menyatakan Vulnus (luka) adalah satu keadaan dimana
terputusnya kontinutas jaringan tubuh.
2.2.2 Etiologi
2.2.2.1 Meanik
1) Benda tajam
Merupakan luka terbuka yang terjadi akibat benda yang memiliki sisi
tajam atau runcing. Misalnya luka iris, luka bacok, dan luka tusuk
2) Benda tumpul
3) Ledakan atau tembakan
Misalnya luka karena tembakan senjata api
2.2.2.2 Non Mekanik
1) Bahan kimia
Terjadi akibat efek korosi dari asam kuat atau basa kuat
2) Trauma fisika
(1) Luka akibat suhu tinggi
Suhu tinggi dapat mengakibatkan terjadinya heat exhaustion
primer, heat exhaustion sekunder, heat stroke, sun stroke, dan heat
cramps.
(2) Luka akibat suhu rendah
Derajat Luka yang terjadi pada kulit karena suhu dingin
diantaranya hyperemia, edema dan vesikel,
(3) Luka akibat trauma listrik

16
(4) Luka akibat petir
(5) Luka akibat perubahan tekanan udara (Mansjoer, 2001)
(6) Radiasi
2.2.3 Klasifikasi
2.2.3.1 Berdasarkan derajat kontaminasi
1) Luka bersih
Luka bersih adalah luka yang tidak terdapat inflamasi dan infeksi, yang
merupakan luka sayat elektif dan steril dimana luka tersebut berpotensi
untuk terinfeksi. Luka tidak ada kontak dengan orofaring, traktus
respiratorius maupun traktus genitourinarius. Dengan demikian kondisi
luka tersebut tetap dalam keadaan bersih. Kemungkinan terjadinya
infeksi luka sekitar 1%-5%.
2) Luka bersih terkontaminasi
Luka bersih terkontaminasi adalah luka pembedahan dimana saluran
pernafasan, saluran pencernaan dan saluran perkemihan dalam kondisi
terkontrol. Proses penyembuhan luka akan lebih lama namun luka
tidak menunjukkan tanda infeksi. Kemungkinan timbulnya infeksi luka
sekitar 3% - 11%.
3) Luka terkontaminasi
Luka terkontaminasi adalah luka yang berpotensi terinfeksi spillage
saluran pernafasan, saluran pencernaan dan saluran kemih. Luka
menunjukan tanda infeksi. Luka ini dapat ditemukan pada luka terbuka
karena trauma atau kecelakaan (luka laserasi), fraktur terbuka maupun
luka penetrasi. Kemungkinan infeksi luka 10% - 17%.

4) Luka kotor
Luka kotor adalah luka lama, luka kecelakaan yang mengandung
jaringan mati dan luka dengan tanda infeksi seperti cairan purulen.
Luka ini bisa sebagai akibat pembedahan yang sangat terkontaminasi.
Bentuk luka seperti perforasi visera, abses dan trauma lama.
2.2.3.2 Berdasarkan penyebab
1) Luka akibat kekerasan benda tumpul

17
(1) Vulnus kontusio/ hematom
Adalah luka memar yaitu suatu pendarahan dalam jaringan bawah
kulit akibat pecahnya kapiler dan vena yang disebabkan oleh
kekerasan tumpul
(2) Vulnus eksoriasi (luka lecet atau abrasi)
Adalah cedera pada permukaan epidermis akibat bersentuhan
dengan benda berpermukaan kasar atau runcing. Luka ini banyak
dijumpai pada kejadian traumatik seperti kecelakaan lalu lintas,
terjatuh maupun benturan benda tajam ataupun tumpul. Walaupun
kerusakannya minimal tetapi luka lecet dapat memberikan petunjuk
kemungkinan adanya kerusakan hebat pada alat-alat dalam tubuh.
Sesuai mekanisme terjadinya luka lecet dibedakan dalam jenis:
1) Luka lecet gores
Diakibatkan oleh benda runcing yang menggeser lapisan
permukaan kulit
2) Luka lecet serut (grzse)/geser (friction abrasion)
Adalah luka lecet yang terjadi akibat persentuhan kulit dengan
permukaan badan yang kasar dengan arah kekerasan sejajar/
miring terhadap kulit
3) Luka lecet tekan (impression, impact abrasion)
Luka lecet yang disebabkan oleh penekanan benda tumpul
secara tegak lurus terhadap permukaan kulit.
(3) Vulnus laseratum (luka robek)
Luka dengan tepi yang tidak beraturan atau compang camping
biasanya karena tarikan atau goresan benda tumpul. Luka ini dapat
kita jumpai pada kejadian kecelakaan lalu lintas dimana bentuk
luka tidak beraturan dan kotor, kedalaman luka bisa menembus
lapisan mukosa hingga lapisan otot.
2) Luka akibat kekerasan setengah tajam
(1) Vulnus Morsum
Adalah luka karena gigitan binatang. Luka gigitan hewan memiliki
bentuk permukaan luka yang mengikuti gigi hewan yang

18
menggigit. Dengan kedalaman luka juga menyesuaikan gigitan
hewan tersebut
3) Luka akibat kekerasan tajam/ benda tajam
(1) Vulnus scisum (luka sayat atau iris)
Luka sayat atau iris yang di tandai dengan tepi luka berupa garis
lurus dan beraturan. Vulnus scissum biasanya dijumpai pada
aktifitas sehari-hari seperti terkena pisau dapur, sayatan benda
tajam ( seng, kaca ), dimana bentuk luka teratur
(2) Vulnus punctum (luka tusuk)
Luka tusuk adalah luka akibat tusukan benda runcing yang
biasanya kedalaman luka lebih dari pada lebarnya. Misalnya
tusukan pisau yang menembus lapisan otot, tusukan paku dan
benda-benda tajam lainnya. Kesemuanya menimbulkan efek
tusukan yang dalam dengan permukaan luka tidak begitu lebar.
(3) Vulnus scloperotum (luka tembak)
Adalah luka yang disebabkan karena tembakan senjata api
4) Luka akibat trauma fisika dan kimia
(1) Vulnus combutio
Adalah luka karena terbakar oleh api atau cairan panas maupun
sengatan arus listrik. Vulnus combutio memiliki bentuk luka yang
tidak beraturan dengan permukaan luka yang lebar dan warna kulit
yang menghitam. Biasanya juga disertai bula karena kerusakan
epitel kulit dan mukosa.
Sumber lain menyatakan pembagian umum luka :
1) Simple, bila hanya melibatkan kulit.
2) Kompukatum, bila melibatkan kulit dan jaringan dibawahnya.
Trauma arteri umumnya dapat disebabkan oleh trauma benda tajam (50%)
misalnya karena tembakan, luka-luka tusuk, trauma kecelakaan kerja atau
kecelakaan lalu lintas, trauma arteri dibedakan berdasarkan beratnya cidera :
1) Derajat I adalah robekan adviticia dan media, tanpa menembus
dinding.

19
2) Derajat II adalah robekan varsial sehingga dinding arteri juga terluka
dan biasanya menimbulkan pendarahan yang hebat.
3) Derajat III adalah pembuluh darah putus total, gambaran klinis
menunjukan pendarahan yang tidak besar, arteri akan mengalami
vasokontriksi dan retraksi sehingga masuk ke jaringan karen
elastisitasnya.
2.2.4 Manifestasi Klinik
Menurut black (1993) manifestasi vulnus adalah sebagai berikut:
1) Deformitas: Daya terik kekuatan otot menyebabkan fragmen tulang
berpindah dari tempatnya perubahan keseimbangan dan contur terjadi
seperti: rotasi pemendekan tulang, penekanan tulang.
2) Bengkak: edema muncul secara cepat dari lokasi dan ekstravaksasi darah
dalam jaringan yang berdekatan dengan fraktur
3) Echumosis dari Perdarahan Subculaneous
4) Spasme otot spasme involunters dekat fraktur
5) Tenderness/keempukan
6) Nyeri mungkin disebabkan oleh spasme otot berpindah tulang dari
tempatnya dan kerusakan struktur di daerah yang berdekatan.
7) Kehilangan sensasi (mati rasa, mungkin terjadi dari rusaknya
saraf/perdarahan)
8) Pergerakan abnormal
9) Krepitasi
(Black, 1993).
2.2.4.1 Vulnus kontusio

20
1) Luka Memar
2) Perdarahan tepi : Perdarahan tidak dijumpai pada lokasi yang
bertekanan, tetapi pendarahan akan menepi sehingga bentuk
pendarahan akan menepi sesuai dengan bentuk celah antara kedua
kembang yang berdekatan
3) Dilihat dari permukaan kulit tampak darah berwarna hitam kebiruan,
setelah sekitar dua hari terjadi perubahan pigmen darah menjadi warna
kuning.
2.2.4.2 Vulnus eksoriasi

1) Luka lecet
2) Hilangnya epitel dan lapisan dermis atau subkutan hal ini
menyebabkan luka tampak kuning, putih, merah muda atau berdarah
tergantung pada jaringan yang terekspos / rusak
2.2.4.3 Vulnus laseratum

1) Vulnus laceratum adalah terjadinya gangguan kontinuitas suatu


jaringan sehingga terjadi pemisahan jaringan yang semula normal, luka
robek terjadi akibat kekerasan yang hebat sehingga memutuskan
jaringan.

21
2) Bentuk luka tidak beraturan
3) Tepi tidak rata
4) Akar rambut tampak hancur atau tercabut bila kekerasannya di daerah
yang berambut
5) Sering tampak luka lecet
6) Memar disekitar luka
2.2.4.4 Vulnus morsum

1) Luka mempunyai tepi rata


2) Dapat berbentuk luka lecet tekan berbentuk garis terputus-putus ,
hematoma atau luka robek dengan tepi rata
3) Luka gigitan masih baik strukturnya sampai 3 jam pasca trauma,
setelah itu dapat berubah bentuk akibat elastisitas kulit
4) Vulnus morsum merupakan luka yang tercabik-cabik yang dapat
berupa memar yang disebabkan oleh gigitan binatang atau manusia
2.2.4.5 Vulnus scisum

22
1) Luka sayat lebar tapi dangkal
2) Luka menembus lapisan atas kulit atau lapisan dermis ke struktur yang
lebih dalam (Kartikawati, 2011)
2.2.4.6 Vulnus punctum

1) Kedalaman luka melebihi panjang luka


2) Kerusakan pembuluh darah tepi
2.2.4.7 Vulnus sclerotum

1) Luka tembak menimbulkan kerusakan jaringan pada organ yang


berada dibawahnya
2) Peluru dapat menghancurkan tulang dan menyebabkan cidera lebih
lanjut
3) Peluru dari senapan menyebabkan kerusakan lebih besar
2.2.4.8 Vulnus combutio
1) Luka bakar derajat 1
Kerusakan pada epidermis, kulit kering, kemerahan, nyeri sekali,
sembuh, dalam 3-7 dan tidak ada jaringan parut

23
2) Luka bakar derajat 2
Kerusakan pada epidermis dan dermis, terdapat vesikel dan edema,
subkutan, luka merah, basah dan mengkilat, sangat nyeri, sembuh
dalam, 28 hari tergantung komplikasi infeksi.
3) Luka bakar derajat 3
Kerusakan pada semua lapisan kulit, tidak ada nyeri, luka merah
keputih-putihan, dan hitam keabu-abuan, tampak kering, lapisan yang
rusak tidak sembuh sendiri maka perlu Skin graff.

2.2.5 Pemeriksaan Penunjang


2.2.5.1 Pemeriksaan serum: hal ini dilakukan karena ada pada pasien dengan luka
bakar mengalami kehilangan volume
2.2.5.2 Pemeriksaan darah : misal pada pasien dengan luka gigitan dapat dijumpai
hipoprototrombinemia, trombositopenia, hipofibrinogemia, dan anemia
2.2.5.3 Pemeriksaan elektrolit : pada pasien dengan luka bakar mengalami
kehilangan volume cairan dan gangguan Na-K pump
2.2.5.4 Analisa gas darah biasanya pasien luka bakar terjadi asidosis metabolisme
dan kehilanga protein
2.2.5.5 Faal hati dan ginjal

24
2.2.5.6 CBC mengidentifikasikan jumlah darah yang ke dalam cairan, penuruan
HCT dan RBC, trombositopenia lokal, leukositosis, RBC yang rusak
2.2.5.7 Elektolit terjadi penurunan calsium dan serum, peningkatan alkali
phosphate
2.2.5.8 Serum albumin : total protein menurun, hiponatremia
2.2.5.9 Radiologi : untuk mengetahui penumpukan cairan paru, inhalas asap dan
menunjukkan faktor yang mendasari ; pada pasien vulnus morsum
biasanya terdapat emboli paru/edema paru
2.2.5.10 ECG : untuk mengetahui adanya aritmia
2.2.6 Patofisiologi
Menurut Soejarto Reksoprodjo, dkk, 1995 ; 415) proses yang terjadi secara
alamiah bila terjadi luka dibagi menjadi 3 fase :
1) Fase inflamsi atau “lagphase“ berlangsung sampai 5 hari. Akibat luka
terjadi pendarahan, ikut keluar sel-sel trombosit radang. Trombosit
mengeluarkan prosig lalim, trombosam, bahan kimia tertentu dan asam
amoini tertentu yang mempengaruhi pembekuan darah, mengatur tonus
dinding pembuluh darah dan khemotaksis terhadap leukosit. Terjadi
Vasekontriksi dan proses penghentian pendarahan. Sel radang keluar dari
pembuluh darah secara diapedisis dan menuju dareh luka secara
khemotaksis. Sel mast mengeluarkan serotonin dan histamine yang
menunggalkan peruseabilitas kapiler, terjadi eksudasi cairan edema.
Dengan demikian timbul tanda-tanda radang leukosit, limfosit dan monosit
menghancurkan dan menahan kotoran dan kuman.
2) Fase proferasi atau fase fibriflasi. berlangsung dari hari ke 6-3 minggu.
Tersifat oleh proses preforasi dan pembentukan fibrosa yang berasal dari
sel-sel masenkim. Serat-serat baru dibentuk, diatur, mengkerut yang tidak
perlu dihancurkan dengan demikian luka mengkerut/mengecil. Pada fase
ini luka diisi oleh sel radang, fibrolas, serat-serat kolagen, kapiler-kapiler
baru: membentuk jaringan kemerahan dengan permukaan tidak rata,
disebut jaringan granulasi. Epitel sel basal ditepi luka lepas dari dasarnya
dan pindah menututpi dasar luka. Proses migrasi epitel hanya berjalan
kepermukaan yang rata dan lebih rendah, tak dapat naik, pembentukan

25
jaringan granulasi berhenti setelah seluruh permukaan tertutup epitel dan
mulailah proses pendewasaan penyembuhan luka.
3) Fase “remodeling“ fase ini dapat berlangsung berbulan-bulan. Dikatakan
berakhir bila tanda-tanda radang sudah hilang. Parut dan sekitarnya
berwarna pucat, tipis, lemas, tidak ada rasa sakit maupun gatal.
2.2.7 Komplikasi
2.2.7.1 Kerusakan arteri:
Pecahnya arteri karena trauma bisa ditandai dengan tidak adanya nadi,
CRT menurun, cyanosis bagian distal, hematoma yang lebar, dan dingin
pada ekstrimitas yang disebabkan oleh tindakan emergensi splinting,
perubahan posisi pada yang sakit, tindakan reduksi, dan pembedahan.
2.2.7.2 Kompartement Syndrom
Kompartement Syndrom merupakan komplikasi serius yang terjadi karena
terjebaknya otot, tulang, saraf, dan pembuluh darah dalam jaringan parut.
Ini disebabkan oleh oedema atau perdarahan yang menekan otot, saraf, dan
pembuluh darah
2.2.7.3 Infeksi
2.2.7.4 Shock
Shock terjadi karena kehilangan banyak darah dan meningkatnya
permeabilitas kapiler yang bisa menyebabkan menurunnya oksigenasi
2.2.7.5 Kontraktur
2.2.7.6 Hipertropi jaringan parut
2.2.8 Penyembuhan Luka
2.2.8.1 Tipe Penyembuhan luka
Terdapat 3 macam tipe penyembuhan luka, dimana pembagian ini
dikarakteristikkan dengan jumlah jaringan yang hilang.
1) Primary Intention Healing (penyembuhan luka primer) yaitu
penyembuhan yang terjadi segera setelah diusahakan bertautnya tepi
luka biasanya dengan jahitan.
2) Secondary Intention Healing (penyembuhan luka sekunder) yaitu
luka yang tidak mengalami penyembuhan primer. Tipe ini
dikarakteristikkan oleh adanya luka yang luas dan hilangnya jaringan

26
dalam jumlah besar. Proses penyembuhan terjadi lebih kompleks dan
lebih lama. Luka jenis ini biasanya tetap terbuka.
3) Tertiary Intention Healing (penyembuhan luka tertier) yaitu luka
yang dibiarkan terbuka selama beberapa hari setelah tindakan
debridement. Setelah diyakini bersih, tepi luka dipertautkan (4-7
hari). Luka ini merupakan tipe penyembuhan luka yang terakhir
(Mansjoer,2001).
2.2.8.2 Fase Penyembuhan Luka
Proses penyembuhan luka memiliki 3 fase yaitu fase inflamasi,
proliferasi dan maturasi. Antara satu fase dengan fase yang lain merupakan
suatu kesinambungan yang tidak dapat dipisahkan.
1) Fase Inflamasi
Tahap ini muncul segera setelah injuri dan dapat berlanjut sampai 5
hari. Inflamasi berfungsi untuk mengontrol perdarahan, mencegah
invasi bakteri, menghilangkan debris dari jaringan yang luka dan
mempersiapkan proses penyembuhan lanjutan.
2) Fase Proliferasi
Tahap ini berlangsung dari hari ke 6 sampai dengan 3 minggu.
Fibroblast (sel jaringan penyambung) memiliki peran yang besar
dalam fase proliferasi.
3) Fase Maturasi
Tahap ini berlangsung mulai pada hari ke 21 dan dapat berlangsung
sampai berbulan-bulan dan berakhir bila tanda radang sudah hilang.
Dalam fase ini terdapat remodeling luka yang merupakan hasil dari
peningkatan jaringan kolagen, pemecahan kolagen yang berlebih dan
regresi vaskularitas luka (Mansjoer,2001).
2.2.8.3 Faktor-faktor Yang Mempengaruhi Penyembuhan Luka
Penyembuhan luka merupakan suatu proses yang kompleks dan
dinamis karena merupakan suatu kegiatan bioseluler dan biokimia yang
terjadi saling berkesinambungan. Proses penyembuhan luka tidak hanya
terbatas pada proses regenerasi yang bersifat lokal saja pada luka, namun
dipengaruhi pula oleh faktor intrinsik dan faktor ekstrinsik

27
1) Faktor Instrinsik adalah faktor dari penderita yang dapat berpengaruh
dalam proses penyembuhan meliputi : usia, status nutrisi dan hidrasi,
oksigenasi dan perfusi jaringan, status imunologi, dan penyakit
penyerta (hipertensi, DM, Arthereosclerosis).
2) Faktor Ekstrinsik adalah faktor yang didapat dari luar penderita yang
dapat berpengaruh dalam proses penyembuhan luka, meliputi :
pengobatan, radiasi, stres psikologis, infeksi, iskemia dan trauma
jaringan
2.2.9 Komplikasi Penyembuhan Luka
Komplikasi dan penyembuhan luka timbul dalam manifestasi yang
berbeda-beda. Komplikasi yang luas timbul dari pembersihan luka yang tidak
adekuat, keterlambatan pembentukan jaringan granulasi, tidak adanya reepitalisasi
dan juga akibat komplikasi post operatif dan adanya infeksi.
Beberapa komplikasi yang mungkin terjadi adalah : hematoma,
nekrosis jaringan lunak, dehiscence, keloids, formasi hipertropik scar dan
juga infeksi luka
2.2.10 Penatalaksanaan/Perawatan Luka
Dalam manajemen perawatan luka ada beberapa tahap yang dilakukan
yaitu evaluasi luka, tindakan antiseptik, pembersihan luka, penjahitan luka,
penutupan luka, pembalutan, pemberian antiboitik dan pengangkatan jahitan.
2.2.10.1 Evaluasi luka meliputi anamnesis dan pemeriksaan fisik (lokasi dan
eksplorasi).
2.2.10.2 Tindakan Antiseptik, prinsipnya untuk membersihkan kulit. Untuk
melakukan pencucian/pembersihan luka biasanya digunakan cairan atau
larutan antiseptik seperti:
1) Alkohol, sifatnya bakterisida kuat dan cepat (efektif dalam 2 menit).
2) Halogen dan senyawanya
(1) Yodium, merupakan antiseptik yang sangat kuat, berspektrum
luas dan dalam konsentrasi 2% membunuh spora dalam 2-3 jam
(2) Povidon Yodium (Betadine, septadine dan isodine), merupakan
kompleks yodium dengan polyvinylpirrolidone yang tidak

28
merangsang, mudah dicuci karena larut dalam air dan stabil
karena tidak menguap.
(3) Yodoform, sudah jarang digunakan. Penggunaan biasanya untuk
antiseptik borok.
(4) Klorhesidin (Hibiscrub, savlon, hibitane), merupakan senyawa
biguanid dengan sifat bakterisid dan fungisid, tidak berwarna,
mudah larut dalam air, tidak merangsang kulit dam mukosa, dan
baunya tidak menusuk hidung.
3) Oksidansia
(1) Kalium permanganat, bersifat bakterisid dan funngisida agak
lemah berdasarkan sifat oksidator.
(2) Perhidrol (Peroksida air, H2O2), berkhasiat untuk
mengeluarkan kotoran dari dalam luka dan membunuh kuman
anaerob
4) Logam berat dan garamnya
(1) Merkuri klorida (sublimat), berkhasiat menghambat
pertumbuhan bakteri dan jamur.
(2) Merkurokrom (obat merah)dalam larutan 5-10%. Sifatnya
bakteriostatik lemah, mempercepat keringnya luka dengan cara
merangsang timbulnya kerak (korts)
5) Asam borat, sebagai bakteriostatik lemah (konsentrasi 3%).
6) Derivat fenol
Trinitrofenol (asam pikrat), kegunaannya sebagai antiseptik wajah
dan genitalia eksterna sebelum operasi dan luka bakar.
Heksaklorofan (pHisohex), berkhasiat untuk mencuci tangan.
7) Basa ammonium kuartener, disebut juga etakridin (rivanol),
merupakan turunan aridin dan berupa serbuk berwarna kuning dam
konsentrasi 0,1%. Kegunaannya sebagai antiseptik borok bernanah,
kompres dan irigasi luka terinfeksi (Mansjoer, 2001).
Dalam proses pencucian/pembersihan luka yang perlu diperhatikan adalah
pemilihan cairan pencuci dan teknik pencucian luka. Penggunaan cairan pencuci
yang tidak tepat akan menghambat pertumbuhan jaringan sehingga memperlama

29
waktu rawat dan meningkatkan biaya perawatan. Pemelihan cairan dalam
pencucian luka harus cairan yang efektif dan aman terhadap luka. Selain larutan
antiseptik yang telah dijelaskan diatas ada cairan pencuci luka lain yang saat ini
sering digunakan yaitu Normal Saline. Normal saline atau disebut juga NaCl
0,9%. Cairan ini merupakan cairan yang bersifat fisiologis, non toksik dan tidak
mahal. NaCl dalam setiap liternya mempunyai komposisi natrium klorida 9,0 g
dengan osmolaritas 308 mOsm/l setara dengan ion-ion Na+ 154 mEq/l dan Cl- 154
mEq/l (ISO Indonesia,2000).
2.2.10.3 Pembersihan Luka
Tujuan dilakukannya pembersihan luka adalah meningkatkan,
memperbaiki dan mempercepat proses penyembuhan luka; menghindari terjadinya
infeksi; membuang jaringan nekrosis dan debris. Beberapa langkah yang harus
diperhatikan dalam pembersihan luka yaitu :
1) Irigasi dengan sebanyak-banyaknya dengan tujuan untuk membuang
jaringan mati dan benda asing.
2) Hilangkan semua benda asing dan eksisi semua jaringan mati.
3) Berikan antiseptik
4) Bila diperlukan tindakan ini dapat dilakukan dengan pemberian anastesi
lokal
5) Bila perlu lakukan penutupan luka
2.2.10.4 Penjahitan luka
Luka bersih dan diyakini tidak mengalami infeksi serta berumur kurang
dari 8 jam boleh dijahit primer, sedangkan luka yang terkontaminasi berat dan
atau tidak berbatas tegas sebaiknya dibiarkan sembuh per sekundam atau per
tertiam.
2.2.10.5 Penutupan Luka
Adalah mengupayakan kondisi lingkungan yang baik pada luka sehingga
proses penyembuhan berlangsung optimal.
2.2.10.6 Pembalutan
Pertimbangan dalam menutup dan membalut luka sangat tergantung pada
penilaian kondisi luka. Pembalutan berfungsi sebagai pelindung terhadap
penguapan, infeksi, mengupayakan lingkungan yang baik bagi luka dalam proses

30
penyembuhan, sebagai fiksasi dan efek penekanan yang mencegah berkumpulnya
rembesan darah yang menyebabkan hematom.
2.2.10.7 Pemberian Antibiotik
Prinsipnya pada luka bersih tidak perlu diberikan antibiotik dan pada
luka terkontaminasi atau kotor maka perlu diberikan antibiotik.
2.3 Pengertian Vulnus Laceratum
2.3.1 Definisi
Dari beberapa reverensi yang memuat tentang vulnus laseratum di antara
reverensi yanhg penulis temukan adalah:
Chada (1995) menyatakan “Vulnus (luka) adalah satu keadaan dimana
terputusnya kontinutas jaringan tubuh”.
Mansjoer (2000) menyatakan “Vulnus Laseratum merupakan luka terbuka
yang terdiri dari akibat kekerasan tumpul yang kuat sehingga melampaui
elastisitas kulit atau otot”.
Vulnus Laseratum ( luka robek ) adalah luka yang terjadi akibat kekerasan
benda tumpul , robekan jaringan sering diikuti kerusakan alat di dalam seperti
patah tulang. http://one.indoskripsi.com

Gambar Vulnus Laseratum


Dari pengertian di atas penulis menyimpulkan bahwa vulnus laseratum
adalaah luka robek yang tidak beraturan yang terjadi akibat kekerasan benda
tumpul sering diikuti alat dalam seperti patah tulang.
2.3.2 Etiologi
Chada 1995 menyatakan “Vulnus Laseratum dapat di sebabkan oleh
beberapa hal di antaranya :
1) Alat yang tumpul.
2) Jatuh ke benda tajam dan keras.

31
3) Kecelakaan lalu lintas dan kereta api.
4) Kecelakaan akibat kuku dan gigitan”.
2.3.4 Anatomi dan Pathofisiologi.
2.2.3.1 Kulit.
Price 2005 menyatakan “Secara mikroskopis kulit terdiri dari 3 lapisan
epidermis, dermis, lemak subkutan.Kulit melindungi tubuh dari trauma dan
merupakan benang pertahanan terhadap bakteri virus dan jamur.Kulit juga
merupakan tempat sensasi raba, tekan, suhu, nyeri dan nikmat berkat jahitan ujung
syaraf yang saling bertautan”.
1) Epidermis bagian terluas kulit di bagi menjadi 2 bagian lapisan yaitu :
(1) Lapisan tanduk (stratum konsum) terdiri dari lapisan sel-sel tidak
ber inti dan bertanduk.
(2) Lapisan dalam (stratum malfigi) merupakan asal sel permukaan
bertanduk setelah mengalami proses di ferensiasi .
2) Dermis
Dermis terletak di bawah epidermis dan terdiri dari seabut-serabut
kolagen elastin, dan retikulum yang tertanam dalam substansi
dasar.Matrik kulit mengandung pembuluh pembuluh darah dan syaraf
yang menyokong nutrisi pada epidermis.Disekitar pembuluh darah yang
kecil terdapat limfosit.Limfosit sel masuk dan leukosit yang melindungi
tubuh dari infeksi dan infeksi dan instansi benda-benda asing.Serabut-
serabut kolagen, elastin khusus menambahkan sel-sel basal epidermis
pada dermis.
3) Lemak Subkutan
Price (2005) menyatakan “Lemak subkutan merupakan lapisan kulit
ketiga yang terletak di bawah dermis. Lapisan ini merupakan bantalan
untuk kulit isolasi untuk mempertahankan daya tarik seksual pada kedua
jenis kelamin”.
4) Jaringan Otot
Otot adalah jaringan yang mempunyai kemampuan khusus yaitu
berkontraksi dengan sedemikian maka pergerakan terlaksana. Otot terdiri
dari serabut silindris yang mempunyai sifat sama dengan sel dari jaringan

32
lain.semua sel di ikat menjadi berkas-berkas serabut kecil oleh sejenis
jaringan ikat yang mengandung unsur kontaktil.
5) Jaringan Saraf
Menurut Jungviera, LC (1998:p.157) Jaringan saraf terdiri dari 3 unsur:
(1) Unsur berwarna abu-abu yang membentuk sel syaraf.
(2) Unsur putih serabut saraf.
(3) Neuroclea, sejenis sel pendukung yang di jumpai hanya dalam saraf
dan yang menghimpun serta menopang sel saraf dan serabut saraf.
Setiap sel saraf dan prosesnya di sebut neuron. Sel saraf terdiri atas
protoplasma yang berbutir khusus dengan nukleus besar dan
berdinding sel lainnya.berbagai juluran timbul (prosesus) timbul dari
sel saraf, juluran ini mengantarkan rangsangan rangsangan saraf
kepada dan dari sel saraf.
2.3.5 Tipe Penyembuhan luka
Menurut Mansjoer (2000:p.397), terdapat 3 macam tipe penyembuhan
luka, dimana pembagian ini dikarakteristikkan dengan jumlah jaringan yang
hilang.Primary Intention Healing (penyembuhan luka primer) yaitu penyembuhan
yang terjadi segera setelah diusahakan bertautnya tepi luka biasanya dengan
jahitan.
1) Secondary Intention Healing (penyembuhan luka sekunder) yaitu luka
yang tidak mengalami penyembuhan primer. Tipe ini dikarakteristikkan
oleh adanya luka yang luas dan hilangnya jaringan dalam jumlah besar.
Proses penyembuhan terjadi lebih kompleks dan lebih lama. Luka jenis
ini biasanya tetap terbuka.
2) Tertiary Intention Healing (penyembuhan luka tertier) yaitu luka yang
dibiarkan terbuka selama beberapa hari setelah tindakan debridement.
Setelah diyakini bersih, tepi luka dipertautkan (4-7 hari). Luka ini
merupakan tipe penyembuhan luka yang terakhir.
2.3.6 Pathofisiologi
Menurut Price (2006:p.36), Vulnus laseratum terjadi akibat kekerasan
benda tumpul, goresan, jatuh, kecelakaan sehingga kontuinitas jaringan terputus.
Pada umumnya respon tubuh terhadap trauma akan terjadi proses peradangan atau

33
inflamasi.reaksi peradangan akan terjadi apabila jaringan terputus.dalam keadaan
ini ada peluang besar timbulnya infeksi yang sangat hebat. Penyebabnya cepat
yang di sebabkan oleh mikroorganisme yang biasanya tidak berbahaya.Reaksi
peradangan itu sebenarnya adalah peristiwa yang di koordinasikan dengan baik
yang dinamis dan kontinyu untuk menimbulkan reaksi peradangan maka jaringan
harus hidup dan harus di mikrosekulasi fungsional.Jika jaringan yang nekrosis
luas maka reaksi peradangan tak di temukan di tengah jaringan yang hidup dengan
sirkulasi yang utuh terjadi pada tepinya antara jaringan mati dan hidup.
Menurut Buyton & hal (1997:p.762), Nyeri timbul karena kulit mengalami
luka infeksi sehingga terjadi kerusakan jaringan.sel-sel yang rusak akan
membentuk zat kimia sehingga akan menurunkan ambang stimulus terhadap
reseptormekano sensitif dan hernosenssitif. Apabila nyeri di atas hal ini dapat
mengakibatkan gangguan rasa nyaman nyeri yang berlanjut istirahat atau tidur
terganggu dan terjadi ketertiban gerak.
2.3.7 Manifestasi Klinis
Mansjoer (2000) menyatakan “Manifestasi klinis vulnus laseratum adalah:
1) Luka tidak teratur
2) Jaringan rusak
3) Bengkak
4) Pendarahan
5) Akar rambut tampak hancur atau tercabut bila kekerasanya di daerah
rambut
6) Tampak lecet atau memer di setiap luka.
2.3.8 Pemeriksaan Penunjang
1) Pemeriksaan diagnostik yang perlu di lakukan terutama jenis darah
lengkap.tujuanya untuk mengetahui tentang infeksi yang
terjadi.pemeriksaannya melalui laboratorium.
2) Sel-sel darah putih.leukosit dapat terjadi kecenderungan dengan
kehilangan sel pada lesi luka dan respon terhadap proses infeksi.
3) Hitung darah lengkap.hematokrit mungkin tinggi atau lengkap.
4) Laju endap darah (LED) menunjukkan karakteristik infeksi.

34
5) Gula darah random memberikan petunjuk terhadap penyakit deabetus
melitus
2.4 Manajemen Asuhan Keperawatan.
Asuhan keperawatan adalah suatu proses atau rangkaian kegiatan pada
praktek keperawatan yang langsung diberikan kepada klien kepada berbagai
tatanan pelayanan dengan menggunakan metodologi proses keperawatan
berpedoman kepada standar keperawatan dilandasi etik dan etika keperawatan,
dalam lingkup wewenang serta tanggung jawab perawat.
Dalam menyelesaikan masalah klien, perawat menggunakan proses
keperawatan sebagai metodologi pemecahan masalah secara ilmiah.
Perawat dalam memberikan asuhan keperawatan kepada klien melalui
proses keperawatan. Teori dan konsep keperawatan diimplementasikan secara
terpadu dalam tahapan terorganisir yang meliputi pengkajian, diagnosis,
perencanaan, tindakan dan evaluasi.
2.4.1 Pengkajian
Pengkajian klien dengan kasus vulnus laceratummeliputi pengumpulan
data dan analisa data. Dalam pengumpulan sumber data klien diperoleh dari klien
sediri, keluarga, dokter ataupun dari catatan medis.
2.4.1.1 Pengumpulan data.
1) Biodata klien dan penanggung jawab klien.
Biodata klien terdiri dari nama, umur, jenis kelamin, pendidikan,
pekerjaan, status perkawinan, agama, tanggal masuk RS, nomor medik dan
diagnosa medik.
2) Keluhan utama
Merupakan keluhan klien pada saat dikaji, klien mengalami vulnus dan
imobilisasi biasanya mengeluh tidak dapat melakukan pergerakan, nyeri,
lemah, dan tidak dapat melakukan sebagian aktivitas sehari-hari.
3) Pemeriksaan fisik
Dilakukan dengan cara inspeksi, palpasi, perkusi, auskultasi, terhadap
berbagai sistem tubuh maka ditemukan hal sebagai berikut.

35
(1) Keadaan umum
Pada klien yang immobilisasi perlu dilihat dalam hal keadaan
umum meliputi penampilan, postur tubuh, kesadaran, dan gaya
bicara klien karena immobilisasi biasanya menyebabkan
kelemahan, kebersihan dirinya kurang, bentuk tubuh kurus akibat
berat badan menurun.
(2) Aktivitas istirahat.
Apakah ada keterbatasan/kehilangan fungsi pada bagian yang
terkena mungkin akibat vulnus ini sendiri atau terjadi secara
sekunder dari pembengkakan jaringan ; nyeri).
(3) Sirkulasi
Hipertensi yaitu kadang terlihat sebagai respon nyeri/ansietas atau
hipotensi akibat kehilangan darah.
(4) Neurosensori
Hilangnya gerakan/sensasi spasme otot dengan tanda
kebas/kesemutan/parestesi. Adanya deformitas lokal, anuglasi
abnormal, pemendekan, rotasi, krepitasi, spasme otot, terlihat
kelemahan/hilang fungsi.
(5) Nyeri/kenyamanan
Nyeri berat tiba-tiba pada saat oedema, mungkin terlokalisasi pada
jaringan/kerusakan tulang, dapat berkurang pada imobilisasi, tak
ada nyeri akibat kerusakan saraf.
(6) Keamanan
Lacerasi kulit, perdarahan, perubahan warna, pembengkakan lokal
(dapat meningkat secara bertahap dan tiba-tiba).
4) Pola aktivitas sehari-hari
Pola aktivitas sehari-hari pada klien vulnus laceratum meliputi frekuensi
makan, jenis makanan, porsi makan, jenis dan kualitas minum dan
kuantitas minum, dan eliminasi yang meliputi BAB (frekuensi, warna,
konsistensi) serta BAK (frekuensi, banyaknya urine yang keluar setiap hari
dan warna urine). Personal hygiene (frekuensi mandi, gosok gigi, dan cuci

36
rambut serta memotong kuku), olahraga (frekuensi dan jenis), serta
rekreasi (frekuensi dan tempat rekreasi).
5) Data psikososial
Pengkajian yang dilakukan pada klien vulnus laceratum immobilisasi pada
dasarnya sama dengan pengkajian psikososial pada sistem lain yaitu
mengenai konsep diri (gambaran diri, ideal diri, harga diri, peran diri, dan
identitas diri) dan hubungan atau interaksi) klien dengan anggota
keluarganya maupun dengan lingkungan.
Pada klien yang vulnus dan diimobilisasi adanya perubahan konsep diri
terjadi secara perlahan-lahan yang mana dapat dikenal melalui observasi
terhadap perubahan yang kurang wajar dalam status emosional, perubahan
tingkah laku, menurunnya kemampuan dalam masalah dan perubahan
status tidur.
6) Data spiritual
Klien dengan vulnus laceratum perlu dikaji tentang agama dan
kepribadiannya, keyakinan, harapan, serta semangat yang terkandung
dalam diri klien merupakan aspek yang penting untuk kesembuhan
penyakitnya.
7) Data penunjang
(1) Pemeriksaan rontgen, menentukan lokasi/luasnya vulnus/trauma.
(2) Scan tulang tomogram, skan CI/MRI, memperlihatkan vulnus juga
dapat digunakan untuk mengidentifikasi kerusakan jaringan lunak.
(3) Arteriogram, dilakukan bila kerusakan vaskuler dicurigai.
(4) Hitung darah lengkap, Ht mungkin meningkat (hemokonsentrasi)
atau menurun (perdarahan bermakna pada sisi vulnus atau organ jauh
pada trauma multipel).
(5) Kreatinin trauma otot meningkatkan beban kreatinin untuk klirens
ginjal.
(6) Profil koagulasi, perubahan dapat terjadi pada kehilangan darah,
transfusi multipel atau cedera hati.

37
2.4.1.2 Masalah
Masalah yang timbul pada klien luka :
1) Nyeri.
2) Resiko infeksi
3) Kecemasan.
4) Gangguan integritas kulit
5) Kurang pengetahuan.
6) Resiko terjadinya trauma tambahan.
7) Resiko terjadinya ganggua perfusi jaringan.
2.4.1.3 Diagnosa keperawatan
1) Nyeri berhubungan dengan adanya luka
2) Resiko terjadi gangguan gas berhubungan dengan kurangnya
pengembangan paru akibat adanya imobilisasi.
3) Gangguan integritas kulit, dekubitus berhubungan dengan penurunan
sirkulasi pada daerah yang tertekan karena imobilisasi.
4) Resiko terjadinya infeksi berhubungan dengan luka terbuka yang
masih basah.
5) Kurang pengetahuan berhubungan dengan kurang informasi yang
adekuat.
2.4.1.4 Perencanaan
1) Nyeri berhubungan dengan adanya luka.
Data subyektif : klien mengeluh nyeri, mengeluh bertambah bila
digerakkan.
Data obyektif : Ekspresi wajah meringis, luka robek.
Tujuan :
(1) Nyeri berkurang/hilang dengan kriteria : tidak mengeluh nyeri,
ekspresi wajah ceria.
Tindakan keperawatan :
(1) Kaji lokasi dan karakteristik nyeri.
Rasional : Mengetahui asal, sifat, dan kapan datangnya nyeri
sehingga dapat menentukan yang akan diberikan dengan tepat.
(2) Pertahankan immobilisasi secara efektif dengan cara tirah baring.

38
Rasional : Mencegah terjadinya gerakan yang sering dari area luka
sehingga tidak merangsang saraf yang menimbulkan nyeri.
(3) Ajarkan tehnik penanganan rasa nyeri kontrol stres dan cara relaksasi.
Rasional : Untuk mengalihkan perhatian, meningkatkan kontrol rasa
serta meningkatkan kemampuan mengatasi rasa nyeri dan stres dalam
periode yang lama..
(4) Monitor keluhan, kemajuan serta kemunduran dalam melokalisir nyeri
yang tidak dapat hilang.
(5) Kolaborasi dengan tim medis dan pemberian analgetik.
Rasional : Analgetik berfungsi untuk mengurangi rasa sakit.
2) Resiko terjadi gangguan perfusi jaringan berhubungan dengan gangguan
arterio vena.
Data subyektif : klien mengatakan bengkak daerah perifer.
Data obyektif : adanya edema dan hematoma sekitar vulnus, kulit pucat
dan dingin
Tujuan :
(1) Tidak terjadi gangguan perfusi jaringan dengan kriteria :
(2) Kulit hangat dan warna merah.
(3) Nadi teraba.
(4) Ada pengisian pada kapiler.
(5) Tindakan keperawatan
Tindakan Keperawatan
(1) Observasi warna dan suhu kulit serta pengisian kembali pembuluh
darah kapiler.
Rasional : Kulit pucat dan dingin serta pengisian kembali kapiler
lambat atau tidak menunjukkan adanya kerusakan arteri sehingga
membahayakan sistem perfusi jaringan.
(2) Palpasi kualitas nadi bagian distal pada daerah vulnus.
Rasional : Nadi berkurang atau hilang menunjukkan luka pada
pembuluh darah sehingga memerlukan evaluasi secara segera oleh tim
medis untuk memperbaiki sirkulasi.

39
(3) Lakukan penilaian neurovaskuler serta perhatikan perubahan fungsi
motorik/sensorik.
Rasional : Terganggunya perasaan, mati rasa, sakit yang
berkepanjangan, menunjukkan adanya kerusakan saraf.
(4) Bebaskan alat-alat yang menekan seperti gips sirkuler verband dan
lain-lain
Rasional : Akan mengurangi keterbatasan sirkulasi sehingga tidak
mengakibatkan terbentuknya edema pada ekstremitas.
(5) Berikan kantong es di sekeliling vulnus jika dibutuhkan.
Rasional : Dapat mengurangi oedema atau terbentuknya hematom
dan akan merusak sirkulasi.
3) Resiko terjadi gangguan pertukaran gas berhubungan dengan kurangnya
pengembangan paru akibat adanya imobilisasi.
Data subyektif : -
Data obyektif : Immobilisasi.
Tujuan :
(1) Tidak terjadi gangguan pertukaran gas dengan kriteria, pengembangan
paru sempurna, tidak ada wheezing dan ronchi, suara nafas vesikuler,
frekuensi nafas normal 16 x/i.
Tindakan keperawatan
(1) Awasi frekwensi pernafasan, perhatikan adanya stridor,
penggunaan otot bantu, retraksi serta sianosis.
Rasional : Tachypnea, dyspnea, serta perubahan mental sebagai
indikator emboli paru pada tahap awal.
(2) Dengar bunyi nafas dan perhatikan pengembangan dada.
Rasional : Perubahan bunyi nafas serta adanya nafas yang
berulang dapat menunjukkan adanya komplikasi pernafasan,
misalnya pneumoni, atelektasis, emboli dan lain-lain.
(3) Anjurkan dan bantu klien breathing exercise berupa nafas dalam
dan batuk.
Rasional : Meningkatkan ventilasi oksigen dan perfusi alveolar.
(4) Rubah posisi tidur klien.

40
Rasional : Meningkatkan pengeluaran sekresi serta mengurangi
kongesti pada daerah paru yang bebas.
(5) Perhatikan bila ada kegelisahan, lethargi dan stupor.
Rasional : Terganggunya pertukaran gas dapat menyebabkan
keburukan dalam tingkat kesadaran seperti berkembangnya
hipoksemia dan asidosis.
4) Menurunnya mobilitas fisik berhubungan dengan gangguan
neuromuskuler skeletal ekstremitas bawah.
Data subyektif : Klien mengatakan tidak mampu menggerakkan
ekstremitas bagian bawah.
Data obyektif : Vulnus laceratum, immobilisasi.
Tujuan : Klie dapat melakukan mobilitas fisik dengan kritieria :
dapat menggerakkan ekstremitas yang tidak diimobilisasi, dapat
mempertahankan mobilitas pada tingkat possibilitas yang tinggi.
Tindakan keperawatan
(1) Kaji kemampuan fungsional.
Rasional : Mengenal kekuatan dan memberikan informasi yang
berhubungan dengan penyembuhan serta tindakan yang akan
diberikan.
(2) Bantu klien melakukan range of motion pasif/aktif pada ekstremitas
yang sakit maupun tidak.
Rasional : Meningkatkan aliran darah ke otot dan tulang, mencegah
kontraktur, mengurangi atrofi dan mempertahankan mobilitas
tulang/sendi.
(3) Mendorong klien melakukan latihan isometrik untuk anggota badan
yang tidak terpengaruh dengan imobilisasi.
Rasional : Membantu menggerakkan anggota badan serta dapat
mempertahankan kekuatan massa otot.
(4) Kolaborasi dengan dokter/therapiest untuk memungkinkan
dilakukannya rehabilitasi.
Rasional : Berguna dalam menggerakkan program latihan dan
aktivitas secara individual

41
5) Gangguan integritas kulit, dekubitus berhubungan dengan penurunan
sirkulasi pada daerah yang tertekan karena imobilisasi, ditandai dengan :
Data subyektif : Klien mengatakan rasa panas pada bokong dan
punggung.
Data obyektif : Immobilisasi, warna kulit pada derah punggung dan
bokong pucat
Tujuan : Gangguan integritas kulit teratasi dengan kriteria : tidak
rasa panas pada daerah punggung dan bokong, kulit punggung dan bokong
berwarna merah, tidak nyeri.
Tindakan keperawatan
(1) Observasi daerah yang tertekan.
Rasional : Dapat memberikan gambaran daerah yang sudah
dekubitus, yang sudah terjadi ischemik jaringan, serta tekanan pada
kulit.
(2) Cuci tangan sebelum dan sesudah melakukan perasat.
Rasional : Merupakan suatu tindakan yang paling penting untuk
mencegah meluasnya infeksi karena sumber utama terjadinya
kontaminasi oleh mikroba.
(3) Bersihkan luka dekubitus dengan obat antiseptik.
Rasional : Mencegah masuk dan berkembangnya kuman dalam luka
yang dapat memperberat luka.
(4) Pijat daerah tulang dan kulit yang mendapat tekanan dengan
menggunankan lotion.
Rasional : Dapat memperbaiki/meningkatkan sirkulasi dan mencegah
terjadinya lecet pada kulit.
(5) Rubah posisi tidur dengan ganjalan bantal/kain pada daerah yang
tertekan.
Rasional : Mengurangi tekanan terus menerus pada daerah tertekan.
(6) Mandikan klien setiap hari.
Rasional : Kulit bersih dan sirkulasi kulit lancar/baik.
6) Resiko terjadinya infeksi berhubungan dengan luka terbuka yang masih
basah.

42
Tujuan : Luka sembuh dengan kriteria tidak ada tanda-tanda infeksi
Tindakan keperawatan
(1) Observasi keadaan luka klien.
Rasional : Dapat mengetahui adanya infeksi secara dini.
(2) Monitor tanda-tanda vital
Rasional : Peningkatan tanda vital merupakan salah satu gejala
infeksi.
(3) Gunakan tehnik aseptik dan antiseptik dalam melakukan setiap
tindakan.
Rasional : Memutuskan mata rantai kuman penyebab infeksi
sehingga infeksi tidak terjadi.
(4) Ganti balutan setiap hari dengan menggunakan balutan steril.
Rasional : Menjaga agar luka tetap bersih dan dapat menceah
terjadinya kontaminasi.
(5) Beri antibiotik sesuai dengan program pengobatan
Rasional : Antibiotik membunuh kuman penyebab infeksi.
7) Kurangnya pengetahuan berhubungan dengan informasi yang tidak
adekuat.
Data subyektif : klien bertanya tentang penyakitnya.
Data obyektif : tidak kooperatif, gelisah.
Tujuan : pemahaman klien terpenuhi dengan kriteria : klien tidak
bertanya tentang penyakitnya, klien lebih kooperatif dalam prosedur
keperawatan.
Tindakan keperawatan
(1) Jelaskan prosedur dan tindakan yang diberikan.
Rasional : Memberikan dan meningkatkan pemahaman klien
sehingga dapat mengerti dan koopertif dengan tindakan yang
diberikan.
(2) Jelaskan perlunya metode ambulasi yang tepat.
Rasional : Untuk mencegah terjadinya komplikasi yang tidak
diinginkan dan akan memperlambat penyembuhan.

43
(3) Instruksikan pada klien agar mengatakan pada perawat bila ada hal-hal
yang tidak menyenangkan.
Rasional : Dapat mengurangi stres dan kegelisahan.
2.4.1.5 Implementasi
Pada tahap ini untuk melaksanakan intervensi dan aktivitas-aktivitas yang
telah dicatat dalam renana perawatan pasien. Agar implementasi/ pelaksanaan
perencanaan ini dapat tepat waktu dan efektif maka perlu mengidentifikasi
prioritas perawatan, memantau dan mencatat respon pasien terhadap setiap
intervensi yang dilaksanakan serta mendokumentasikan pelaksanaan perawatan.
Pada pelaksanaan keperawatan diprioritaskan pada upaya untuk : meningkatkan
fungsi pernapasan, menghilangkan nyeri dan meningkatkan istirahat,
mempertahankan keseimbangan cairan dan elektrolit, meningkatan asupan nutrisi,
memberikan informasi tentang penyakit, prosedur dan kebutuhan pengobatan.
2.4.1.6 Evaluasi.
Pada tahap akhir dari proses keperawatan adalah mengevaluasi respon
pasien terhadap perawatan yang diberikan untuk memastikan bahwa hasil yang
diharapkan telah dicapai. Evaluasi yang merupakan proses terus menerus,
diperlukan untuk menentukan seberapa baik rencana perawatan yang
dilaksanakan.
Evaluasi merupakan proses yang interaktif dan kontinu, karena setiap
tindakan keperawatan dilakukan, respon pasien dicatat dan dievaluasi dalam
hubungannya dengan hasil yang diharapkan kemudian berdasarkan respon pasien,
revisi intervensi keperawatan/hasil pasien yang mungkin diperlukan. Pada tahap
evaluasi mengacu pada tujuan yang telah ditetapkan.

44
BAB 3
ASUHAN KEPERAWATAN
3.1 Pengkajian
Dilakukan pada tanggal 21 Januari 2016, pukul 08.20 WIB, di Ruang
Dahlia (Bedah Pria) RSUD dr. Doris Sylvanus Palangka Raya.
3.1.1 Identitas Pasien
Nama : Tn. A
Umur : 24 Tahun
Jenis Kelamin : Laki-laki
Suku/Bangsa : Dayak/Indonesia
Agama : Kristen Protestan
Pekerjaan : Swasta
Pendidikan : SLTA (Pendidikan Terakhir)
Status Perkawinan : Kawin
Alamat : Jl. Giobos XX
Tgl MRS : 19 Januari 2016
Diagnosa Medis : Multifel Valnus Lacerum + Insuf Renal
3.1.2 Riwayat Kesehatan /Perawatan
3.1.2.1 Keluhan Utama
Pasien mengatakan : “Saya mengalami luka bacok pada bagian belakang,
lengan kanan, paha kiri, dan perut”
3.1.2.2 Riwayat Penyakit Sekarang
Pada hari Selasa, 19 Januari 2016 pasien mengalami luka bacok akibat
pengeroyokan. Luka bacok terdapat di bagian belakang, lengan kanan,
paha kiri, dan bagian perut. Kemudian Klien dilarikan ke RS Bhayangkara
an mendapatkan tindakan medis perawatan luka dan diberkan IVFO RL
guyur 2 kolf inj. Katerolak 30mg. Setelah sekitar 3-4 jam pasien dirujuk ke
IGD RSUD Doris Sylvanus dan mendapatkan perawatan luka dan terapi
obat kanul 20 l/m, RL 20/tpm, Inj.Cefotaxim 3x1gr dan Inj.ranitidin 3x1
gr. Pada hari Rabu, 20 Januari 2016 tindakan medis/operasi Explorasi pada
luka bacok, setelah operasi pasien kembali ke Rg. Dahlia (Bedah Pria)
untuk mendapatkan perawatan lebih lanjut.

45
3.1.2.3 Riwayat Penyakit Sebelumnya (riwayat penyakit dan riwayat operasi)
Pasien mengatakan waktu berusia 13 tahun pernah menderita Penyakit
Typus, tetapi tidak sampai dirawat di rumah sakit manya menjalani rawat
jalan di rumah.
3.1.2.4 Riwayat Penyakit Keluarga
Di dalamm keluarga tidak ada yang menderita penyakit yang sama dengan
pasien . juga tidak ada yang menderita penyakut keturunan dan menular
seperti Tuberculosis Paru, Hipertensi, DM dan Jantung . Hanya ayah Klien
pernah mengalami riwayat penyakit Malaria.
Genogram Keluarga:

Keterangan :

= Laki – laki

= Perempuan

= Laki laki meninggal

= Perempaun meninggal

= Pasien

= Garis keturunan

46
3.1.3 Pemerikasaan Fisik
3.1.3.1 Keadaan Umum
Keadaan pasien compos menthis, pasien tampak tenang, terbaring diatas
tempat tidur dengan terpasang infus Ringer Laktat 20 tetes/menit dibagian
tangan kanan. Dan terpasang perban pada bagian luka bacok di belakang,
lengan kanan, dan paha kiri.

3.1.3.2 Status Mental


Pasien dalam kedaaan sadar penuh (compos metis), ekspresi wajah pasien
tenang, bentuk badan pasien simetris dengan cara berbaring terlentang dan
bergerak masih terbatas, pasien berbicara dengan lancar, suasana hati pasien
tenang. Pakaian pasien hanya menggunakan celana jans, pasien mengetahui pagi,
siang, dan malam. Pasien juga mengenal dokter, perawat, dan keluarganya. Pasien
mengetahui sedang berada di rumah sakit.
3.1.3.3 Tanda-tanda Vital
Suhu tubuh pasien 37,1 0C diukur di axilla dextra , nadi pasien 84
x/menit, frekwensi pernapasan pasien 28 x/menit, dan tekanan darah 110/70
mmHg pada tangan sinistra. Pada saat pengkajian pasien mengatakan“Luka saya
masih basah dan baru menjalani oprasi kemaren sore’’.
3.1.3.4 Pernapasan (Breathing)
Sistem pernapasan: jalan nafas tidak ada sumbatan, pernapasan normal
dan teratur, tidak menggunakan otot bantu pernapasan, frekwensi 28 x/ menit,
irama teratur, jenis pernapasan dada dan perut, kedalaman dangkal, tidak ada

47
batuk, palpasi dada vesikuler, suara napas vesikuler, nyeri saat bernapas ada,
tidak menggunakan alat bantu napas tidak ada suara nafas tambahan.
3.1.3.5 Cardiovasculer (Bleeding)
Sirkulasi peripher nadi 84 x/ menit, irama teratur, denyut kuat, tekanan
darah 1710/0 mmHg, tidak ada distensi vena jugularis, temperatur kulit hangat,
warna kulit coklat, pengisian kapiler 2 detik, tidak ada edema. Sirkulasi jantung
kecepatan denyut epical 78 x/menit, irama teratur, tidak ada kelainan bunyi
jantung.
3.1.3.6 Persyarafan (Brain)
Tingkat kesadaran compos menthis dengan nilai (GCS) 15 terdiri dari Eye
(E) 4 (membuka mata spontan), Verbal (V) 5 (pasien berbicara dengan lancar),
Motorik (M) 6 (menurut perintah). Pupil isokor.
Pada ujian saraf cranial didapatkan:
Nervus Kranial I : Klien dapat membedakan bau minyak angin dan
balsem
Nervus Kranial II : Klien dapat membaca tulisan yang ada pada leaflet
Nervus Kranial III : Normal pupil pasien mengecil berkontraksi saat
melihat cahaya
Nervus Kranial IV : Klien dapat menggerakkan bola mata ke atas dan
bawah
Nervus Kranial V : Klien dapat menggerakkan mulut
Nervus Kranial VI : Klien dapat menggerakkan bola mata ke kanan dan
ke kiri
Nervus Kranial VII : Klien dapat tersenyum
Nervus Kranial VIII : Klien dapat mendengar dengan baik
Nervus Kranial IX : Klien dapat menelan
Nervus Kranial X : Klien dapat berbicara dengan jelas
Nervus Kranial XI : Klien dapat menggerakan kepala dan leher
Nervus Kranial XII : Klien dapat menggerakan dan mengeluarkan lidah
Posisi mata simetris, kelopak mata normal, pergerakan bola mata normal,
konjungtiva merah muda, kornea keruh/berkabut, sclera ikerik, pupil isokor, otot
mata tidak ada kelainan, fungsi penglihatan normal, tanda-tanda radang tidak ada,

48
pemakaian kacamata tidak ada, pemakaian lensa kontak tidak ada, reaksi terhadap
cahaya positif.
3.1.3.7 Eliminasi Uri (Bladder) :
Balance cairan, intake 800 cc, output 600 cc, tidak ada perubahan pola
kemih, warna BAK kuning kental cokelat, tidak terdapat distensi / ketegangan
kandung kemih, tidak ada keluhan sakit pinggang.
Tidak ada pembesaran kelenjar tiroid, nafas tidak berbau keton, poliuri,
polidipsi dan poliphagi tidak ada, tidak terdapat luka gangren.
3.1.3.8 Eliminasi Alvi (Bowel)
Keadaan mulut gigi tidak ada caries, tidak menggunakan gigi palsu,
stomatitis tidak ada, lidah tidak kotor, saliva normal, tidak ada muntah, ada nyeri
didaerah perut, bising usus 5x/ menit, tidak ada diare, warna feses kuning,
konsistensi setengah padat, tidak ada konstipasi, hepar tidak teraba, abdomen
lembek.Pada sistem reproduksi pasien tidak ada mengeluh seperti kemerahan atau
gatal-gatal, perdarahan dan lain-lain.
3.1.3.9 Tulang - Otot – Integumen (Bone)
Kemampuan pergerakan sendi terbatas, luka bacok pada belakang, lengan
kanan, paha kiri, dan perut, tidak ada bengkak pada sekitar luka, ukuran otot
simetris, uji kekuatan otot ektermitas atas dekstra atas 5 bebas bergerak dan dapat
melawan tekanan, kemudian ektermitas atas sinistra 5 bebas bergerak dan dapat
melawan tekanan, ektermitas bawah sinistra 4 tidak bebas bergerak dan kurang
dapat melawan tekanan, ektermitas bawah dekstra 5 dapat menggerakkan otot
dapat bergerak bebas.
3.1.3.10 Kulit-Kulit Rambut
Klien tidak memiliki riwayat alergi baik pada obat, makanan, dan
kosmetik. Suhu kulit teraba hangat, warna kulit tampak normal, turgor kulit
tampak baik, tekstur terasa kasar. Pada kulit klien tidak terdapat jaringan parut,
macula, pustula, nodula, vesikula, papula danulkus. Tekstur rambut klien
bergelombang. Bentuk kuku tampak simetris. Tidak ada masalah keperawatan.
3.1.3.11 Sistem Penginderaan
Sistem penginderaan meliputi mata, telinga dan hidung, hasil
pemeriksaannya adalah : Fungsi pengelihatan klien baik. Bola mata bergerak

49
normal. Hasil uji visus tampak normal. Sklera tampak normal berwarna putih,
kornea tampak bening, konjungtiva tampak pucat, pasien tidak menggunakan alat
bantu seperti kacamata dan lainnya. Pendengaran berfungsi dengan baik. Hidung
berbentuk simetris. Tidak ada keluhan lainnya. Tidak ada masakah keperawatan.
3.1.3.12 Leher Dan Kelenjar Limfe
Pada pemeriksaan daerah leher dan kelenjar limfe tidak ditemukan adanya
massa, tidak ada jaringan parut, kelenjar limfe dan tiroid tidak teraba, dan
mobilitas leher pasien bergerak secara bebas.
3.1.3.13 Sistem Reproduksi
Pada saat dilakukan pengkajian pada sistem reproduksi Tn. A tidak ada
kemerahan pada sistem reproduksi Tn. A, tidak ada gatal-gatal, tidak ada
perdarahan sistem reproduksi Tn. A, kebersihan pada sistem reproduksi pasien
cukup bersih. Gland penis normal/simetris. Tidak ada hernia, scrotum normal.
Tidak ada masalah keperawatan pada sistem reproduksi Tn. A.
3.1.4 Pola Fungsi Kesehatan
3.1.4.1 Persepsi Terhadap Kesehatan dan Penyakit
Klien mengatakan “kesehatan itu sangat penting dan klien ingin cepat
sembuh, klien juga sudah mampu menerima keadaanya sekarang”.
3.1.4.2 Nutrisida Metabolisme
Tinggi badan pasien 170 cm, berat badan saat sakit 79 kg, berat badan
sebelum sakit 80 kg. Tidak ada diet khusus yang di berikan kepada klien. Klien
tidak ada mual dan muntah, tidak ada kesukaran menelan. Sebelum sakit klien
makan 3 kali sehari, sebanyak 1 porsi dengan jenis makanan nasi, ikan, sayur,
daging serta jenis minuman antara lain air putih. Nafsu makan klien sebelum sakit
baik, setiap hari klien minum sekitar ±1500 cc/24 jam. Kebiasaan makan pagi,
siang dan malam. Tetapi setelah sakit klien makan 3 kali sehari, porsi makan ½
porsi dengan jenis makanan nasi, sayur, ikan dan daging dengan jenis minuman
air mineral, selama sakit klien minum sekitar 1200 cc/24 jam. Kebiasaan makan
pagi, siang dan malam. Dengan keluhan mual dan tidak nafsu makan. Masalah
keperawatan yang muncul adalah Gangguan Pemenuhan nutrisi kurang dari
kebutuhan tubuh.
3.1.4.3 Pola istirahat dan tidur

50
Pola istirahat tidur tidak ada masalah. Sebelum sakit pasien tidur siang
sekitar ± 2-3 jam dan malam 7-8 jam, sesudah sakit sakit pasien tidur malam 6-7
jam dan tidur siang sekitar 2-3 jam.
3.1.4.4 Kognitif
Pasien mengetahui tentang penyakitnya dan pasien mengatakan ingin cepat
sembuh.
3.1.4.5 Konsep diri
1) Gambaran diri : Klien sudah menikah
2) Ideal diri : Klien mengetahui akan keadaanya
3) Identitas diri : Klien memiliki tang gung jawab sebagai kepala keluarga
4) Harga diri : Klien menerima keadaannya sekarang
5) Peran : Sebagai kepala keluarga.
3.1.4.6 Aktivitas Sehari-hari
Sebelum sakit : aktivitas klien sebagai pekerja swasta yang melakukan
kegiatan biasa baik di rumah maupun diluar rumah, serta mengobrol dengan
keluarga dan tetangga. Setelah sakit : klien hanya beraktivitas ringan di tempat
tidur dan disekitar kamar. Tidak ada masalah keperawatan yang muncul.
3.1.4.7 Koping –Toleransi terhadap Stress
Pada koping-toleransi terhadap stres, klien biasanya menceritakan kepada
istri dan keluarganya jika ada masalah. Tn.A dan keluarga memiliki koping yang
baik dalam menghadapi stress dan selalu berpikir positif pada setiap masalah dan
menyelesaikan masalah dan mengatasi stress untuk mencari sebuah solusi dan
bagaimana cara mengatsi stress dengan melakukan kegiataan yang positif dan
melakukan kegiataan yang disukai Tn.A. Tidak ada masalah keperawatan.
3.1.4.8 Nilai-Pola Keyakinan
Pada nilai-pola keyakinan didapatkan hasil pengkajian berupa klien
beragama Kristen Protestan. Klien juga tidak ada tindakan medis dan keperawatan
yang bertentangan dengan nilai dan keyakinannya. Pada pengkajian ini tidak
ditemukan masalah keperawatan.

51
3.1.5 Sosial – Spiritual
3.1.5.1 Kemampuan berkomunikasi
Klien dapat berkomunikasi dengan baik kepada suami, perawat dan dokter.
Klien mampu menjawab dengan baik dalam pertanyaan yang diajukan dan saat
melakukan pengkajian, Tn.A dapat melakukan komunikasi yang lancar,baik, dan
mampu mengikuti perintah.
3.1.5.2 Bahasa Sehari-hari
Pada saat pengkajian bahasa yang di gunakan Tn.A berkomunikasi sehari-
hari menggunakan bahasa Dayak/Indonesia dengan baik dan lancar, Tn. A
berkomunikasi menggunakan bahasa Dayak/Indonesia baik komunikasi dengan
istri, perawat, dokter, maupun di sekitar lingkungannya.
3.1.5.3 Hubungan dengan Keluarga
Klien juga memiliki hubungan dengan keluarga yang terjalin cukup baik
dan harmonis dibuktikan dengan kedua orang tua, saudara dan istri yang selalu
menjaga selama di rumah sakit. Tidak ada masalah keperawatan.
3.1.5.4 Hubungan dengan teman/Petugas Kesehatan/Orang lain
Hubungan klien dengan keluarga tampak terjalin dengan baik dan dapat
berkomunikasi dengan baik juga kepada orang lain dan lingkungan sekitar. Tn. A
dapat berinteraksi dengan lingkungan sekitar dengan baik dan tidak ada kendala
dalam berinteraksi dengan orang lain. Klien dapat bekerja sama dengan petugas
kesehatan dan pasien juga dapat mengikuti perintah.
3.1.5.5 Orang Berarti/Terdekat
Orang yang berarti/terdekat dalam hidup klien yaitu istri, orangtua, dan
saudara-saudaranya karena orang terdekat klien itulah yang lebih mengerti dan
peduli terdahap Tn.A bagaimanapun keadaan yang sedang dialami Tn.A. Orang
terdekat Tn.A selalu memberikan doa dan dukungan. Tidak ada masalah
keperawatan.
3.1.5.6 Kebiasaan Menggunakan Waktu Luang
Saat sakit Tn. A menggunakan waktu untuk istirahat di tempat tidur,
sedangkan sebelum sakit Tn.A menggunakan waktu luang untuk membersihkan
rumah, menonton TV, membantu istri memasak dan membantu dalam mengurus
kehidupan rumah tangga.

52
3.1.5.7 Kegiatan Beribadah
Saat sakit Tn. A hanya dapat melakukan kegiatan beribadah seperti berdoa
di tempat tidur, sedangkan sebelum sakit Tn. A kegiatan ibadahnya seperti ibadah
setiap hari minggu bersama keluarganya di Gereja.
3.1.6 Data Penunjang (Radiologis, Laborato Rium, Penunjang Lainnya)
Hasil pemeriksaan laboratorium pada tanggal 19 Januari 2016
Jenis Hasil
Satuan Nilai Normal
Pemeriksaan Pemeriksaan
WBC 21,57 x 10^3 /uL 4,00 – 10,00
RBC 4,33 x 10^6 /uL 3,50 – 5,50
HBC 14,6 g/dL 11,00 – 16,00
PLT 244 x 10 ^ 3 /uL 150 - 400
Sumber : Hasil pemeriksaan laboratorium klien di ruang Dahlia.
3.1.7 Penatalaksanaan Medis
Penatalaksanaan medis yang didapatkan klien selama berada di RS yaitu :
Tabel Terapi Medis obat Injeksi Tanggal 19 - 21 Januari 2016
Penatalaksanaan Dosis/Rute
Nasal Kanul O2 2 liter/menit
Infus Range laktat/Natrium Clorida 0,9% 20 tetes/menit
Inj. Cefotaxim 3x1 gr (i.v)
Inj. Ranitidin 3x1 gr (i.v)
Inj. Keterolac 3x3 gr (i.v)
Observasi TTV

Palangka Raya, 21 Januari 2016


Mahasiswa

Firdaus Victor
Nim : 2013.C.05a.0486

53
3.2 Analisis Data
Berdasarkan data-data yang didapat dari hasil pengkajian maka dapat
dilakukan analisis data, yaitu.
Tabel Analisis Data
Data Subyektif Dan
Kemungkinan Penyebab Masalah
Data Obyektif
1. DS :
Pasien mengatakan : Cedera Tusuk Kerusakan integritas
“Saya mengalami lukas kulit
bacok dibagian
belakang, lengan, paha
dan perut”
DO:
 Klien tampak
terbaring lemah
 Klien beraktivitas
dibantu oleh
keluarganya.
 Klien tampak
berhati-hati saat
bergerak.
 Tampak terdapat 4
luka tusuk dibagian
belakang, 1 bagian
paha kiri, 1 dibagian
perut dan 1 dilengan
kanan”.
 Tampak tertutupi
perban pada daerah
luka.
 Terpasang cairan
infus RL 20

54
tetes/menit.
 TTV :
 TD : 100/70
mmHg
 N : 84 x/menit
 RR : 28 x/menit
 S : 37,1 ◦C

55
3.3 Prioritas Masalah
Berdasarkan analisis data di atas maka dapat diprioritaskan masalah
keperawatan adalah sebagai berikut.
1. Kerusakan integritas kulit berhubungan dengan Cedera tusuk.
Ditandai dengan data subjektif: Pasien mengatakan : “Saya mengalami lukas
bacok dibagian belakang, lengan, paha dan perut”. Data objektif: Klien
tampak terbaring lemah, klien beraktivitas dibantu oleh keluarganya, klien
tampak berhati-hati saat bergerak, tampak terdapat 4 luka tusuk dibagian
belakang, 1 bagian paha kiri, 1 dibagian perut dan 1 dilengan kanan, tampak
tertutupi perban pada daerah luka, klien terpasang cairan infus RL 20
tetes/menit.TTV : TD : 100/70 mmHg, N : 84 x/menit, RR : 28 x/menit dan
S : 37,1 ◦C.

56
3.4 Rencana Keperawatan
Tabel : Kerusakan integritas kulit berhubungan dengan Cedera tusuk.
Diagnosa Keperawatan Tujuan (Kriteria hasil) Intervensi Rasional
1. Kerusakan Integritas Setelah dilakukan tindakan 1. Lakukan pengkajian dan 1. Untuk mengetahui status
kuit berhubungan keperawatan selama 1x7 jam anamnesa singkat kepada klien. klien.
dengan Cedera tusuk. diharapkan integritas kulit 2. Observasi luka 2. Untuk mengetahui tingkat
Ditandai dengan data pasien teratasi dengan kriteria perkembangan klien dan
subjektif: Pasien hasil : menentukan intervensi
mengatakan : “Saya 1. Integritas kulit yang baik 3. Observasi tanda-tanda vital selanjutnya.
mengalami lukas bacok bisa dipertahankan 3. Untuk mengetahui
dibagian belakang, 2. Perfusi jaringan baik perkembangan TTV pasien
lengan, paha dan perut”. 3. Menunjukkan adanya proses 4. Berikan perawatan luka dengan dalam batas normal.
Data objektif: Klien penyembuhan luka tekhnik aseptik balut luka 4. Tekhnik aseptik membantu
tampak terbaring lemah, 4. Tidak ada tanda-tanda dengan kasa steril. mempercepat penyembuhan
klien beraktivitas infeksi : Tidak ada ulkus, luka dan pencegahan luka
dibantu oleh tidak adanya peradangan, dan pencegahan terjadinya
keluarganya, klien Leukosit normal 6000- 5. Atur posisi klien senyaman infeksi.
tampak berhati-hati saat 10.000 /uL mungkin 5. Untuk memberikan rasa
bergerak, tampak 5. Tanda-tanda vital normal 6. Lakukan Penkes tentang nyaman pada pasien.

57
terdapat 4 luka tusuk Td : 120/80 mmHg managemen nyeri 6. Mengajarkan pasien cara
dibagian belakang, 1 S : 36,6 ◦C perawatan luka yang baik
bagian paha kiri, 1 N : 70 x/menit dan tekhnik relaksai untuk
dibagian perut dan 1 RR : 16 – 20 x/menit meringankan rasa nyeri pada
dilengan kanan, tampak 7. Kolaborasi dengan dokter dan luka yang dialami.
tertutupi perban pada ahli gizi dalam perawatan luka 7. Untuk mengetahui
daerah luka, klien pemenuhan cairan dan gizi
terpasang cairan infus serta mempercepat
RL 20 tetes/menit.TTV : penyembuhan.
TD : 100/70 mmHg, N
: 84 x/menit, RR : 28
x/menit dan S : 37,1
◦C.

58
3.5 Implementasi Dan Evaluasi Keperawatan
Tabel Implementasi dan Evaluasi pada masalah Kerusakan integritas kulit
Tanda tangan dan Nama
Hari/Tanggal, Jam Implementasi Evaluasi (SOAP)
Perawat
Kamis, 21 Januari 1. Melakukan pengkajian dan S = Klien mengatakan “Saya mengalmi luka
2016 anamnesa singkat kepada bacok dibagian belakang, lengan, perut dan
08.00 WIB – 11.00 klien. paha kiri saya”
2. Mengobservasi daerah luka O=
3. Mengobservasi TTV : 7. Tampak pasien terbaring lemah
- TD : 110/70 mmHg 8. Adanya luka bacuk diarea :
- N : 84 x/menit Belakang : 4 luka bacok
- 37,1 ◦C Lengan Kanan 1 luka bacok
- RR : 28 x/menit Paha kiri 1 luka bacok
- TB dan BB klien. Dan Perut 1 luka bacok
4. Melakukan tindakan 9. TTV : TD : 110/70 mmHg
Bed
macking N : 84 x/menit
5. Mengatur posisi Klien (semi S : 37 ◦C
fowler) RR : 28 x/menit
6. Memberikan Pendidikan A = Masalah belum teratasi

59
kesehatan mengenai P = Lanjutkan intervensi :
managemen nyeri dengan 1) Melakukan tindakan ganti perban pada
tekhnik relaksasi dan distraksi luka klien
serta dalam perawatan luka. 2) Menganjurkan klien untuk menjaga
kebersihan luka agar tidak terjadinya
infeksi
3) Menganjurkan klien untuk minum
obat sampai proses penyembuhan luka
membaik.
4) Berkolaborasi dengan dokter atau
tenaga medis yang lainnya dalam
pemberian obat.

60
BAB 4
PEMBAHASAN
4.1 Pengkajian
4.1.1 Keluhan utama
Berdasarkan pengkajian pada Tn. A yang dilakukan pada hari Kamis
tanggal 21 Januari 2016 pada Tn. A didapatkan keluhan utama Tn. A yaitu klien
mengatakan “Saya mengalami luka bacok dibagian belakang, lengan, paha dan
perut”. Dan keluhan lain yang didapatkan yaitu klien juga ada mengalami nyeri
pada daerah luka bacok yang baru saja dioperasi pada sore hari tanggal 19 Januari
2016, serta klie juga mengatakan kalau mengalami nyeri pada bagian perut jika
menarik nafas secara dalam. Merupakan keluhan klien pada saat dikaji, klien
mengalami vulnus dan imobilisasi biasanya mengeluh tidak dapat melakukan
pergerakan, nyeri, lemah, dan tidak dapat melakukan sebagian aktivitas sehari-
hari. Menurut Buyton & hal (1997:p.762), Nyeri timbul karena kulit mengalami
luka infeksi sehingga terjadi kerusakan jaringan.sel-sel yang rusak akan
membentuk zat kimia sehingga akan menurunkan ambang stimulus terhadap
reseptormekano sensitif dan hernosenssitif. Apabila nyeri di atas hal ini dapat
mengakibatkan gangguan rasa nyaman nyeri yang berlanjut istirahat atau tidur
terganggu dan terjadi ketertiban gerak.
Berdasarkan kedua pernyataan di atas, dapat dilihat bahwa sebagian besar
tanda dan gejala yang terdapat dalam teori muncul pula dalam kasus Tn. A
.Namun tidak semua tanda dan gejala yang ada dalam teori dialami juga oleh
Tn.A. Menurut penulis, hal tersebut dapat disebabkan karena reaksi dan daya
tahan tubuh tiap individu yang berbeda-beda. Setiap individu mempunyai daya
tahan tubuh yang berbeda, jika individu mempunyai daya tahan tubuh yang kuat
maka hanya sedikit keluhan yang muncul, sedangkan jika individu tersebut
memiliki daya tahan tubuh yang lemah maka akan banyak muncul tanda dan
gejala penyakit. Tanda dan gejala tersebut dapat muncul karena luka yang dalam
pada sistem integumen yang meimbulkan nyeri. Ada banyak faktor yang
memengaruhi fungsi system, salah satunya adalah usia dan dan ketahanan tubuh.
Seperti yang dikutip dalam Smeltzer (2001: 1698).

61
Berdasarkan masalah utama yang diangkat pada kasus gangguan rasa
nyaman: nyeri, didapatkan tanda dan gejala yang ditemukan adanya muka pucatn,
nafas cepat dan irreguler, Kelelahan dan keletihan, pernyataan verbal (mengaduh,
menangis, sesak nafas, mendengkur), gerakan tubuh (gelisah, imobilisasi,
ketegangan otot, peningkatan gerakan jari dan tangan menghindari percakapan,
menghindari kontak sosial, penurunan rentang perhatian, fokus pada aktivitas
menghilangkan nyeri.
4.1.2 Tulang - Otot – Integumen (Bone)
Pada pengkajian sistem pernapasan didapatkan : Kemampuan pergerakan
sendi terbatas, luka bacok pada belakang, lengan kanan, paha kiri, dan perut, tidak
ada bengkak pada sekitar luka, ukuran otot simetris, uji kekuatan otot ektermitas
atas dekstra atas 5 bebas bergerak dan dapat melawan tekanan, kemudian
ektermitas atas sinistra 5 bebas bergerak dan dapat melawan tekanan, ektermitas
bawah sinistra 4 tidak bebas bergerak dan kurang dapat melawan tekanan,
ektermitas bawah dekstra 5 dapat menggerakkan otot dapat bergerak bebas.
Pada sistem integumen, muncul masalah keperawatan “Kerusakan integritas
kulit”.
4.1.3 Penatalaksanaan Medis
Penatalaksanaan medis yang dilakukan pada klien selama Pengobatan di
Dahlia yaitu nasal kanul O2, infus range laktat/natrium clorida 0,9%,
inj.cefotaxim inj.ranitidin, inj. Keterolac, Observasi TTV, terapi utama yang
diberikan pada penderita vulnus laseratum perawatan ataun tindakan operasi pada
daerah luka dan perawatan perban untuk mencegah terjadinya infeksi.
Faktor pendukung dalam melakukan pengkajian adalah adanya kerja sama
klien dan keluarga dalam memberikan data, klien dan keluarga yang kooperatif,
tersedianya dokumentasi kesehatan seperti status klien dan catatan medis. Faktor
penghambat adalah kurangnya pengetahuan penulis dalam melakukan pengkajian
pada klien, keterbatasan waktu pada saat pengkajian, dan kurangnya data tentang
pemeriksaan laboratorium klien.

62
4.2 Diagnosa Keperawatan
Berdasarkan hasil pengkajian, diagnosa yang diangkat oleh penulis dalam
asuhan keperawatan Tn. A dengan vulnus laseratum di ruang Dahlia yaitu.
1) Kerusakan integritas kulit berhubungan dengan Cedera tusuk.
Ditandai dengan data subjektif: Pasien mengatakan : “Saya mengalami lukas
bacok dibagian belakang, lengan, paha dan perut”. Data objektif: Klien tampak
terbaring lemah, klien beraktivitas dibantu oleh keluarganya, klien tampak
berhati-hati saat bergerak, tampak terdapat 4 luka tusuk dibagian belakang, 1
bagian paha kiri, 1 dibagian perut dan 1 dilengan kanan, tampak tertutupi perban
pada daerah luka, klien terpasang cairan infus RL 20 tetes/menit.Tanda-tanda vital
TD: 100/70 mmHg, N: 84 x/menit, RR: 28 x/menit dan S: 37,1.
Dalam menentukan diagnosa keperawatan yang mungkin muncul pada klien
denganVulnus Laseratum, penulis menggunakan 2 referensi yaitu Muttaqin (2008:
94) dan Doenges (1999: 242) yang kemudian penulis gabungkan menjadi
beberapa diagnosa di bawah.
1. Nyeri berhubungan dengan adanya luka
2. Resiko terjadi gangguan gas berhubungan dengan kurangnya pengembangan
paru akibat adanya imobilisasi.
3. Gangguan integritas kulit, dekubitus berhubungan dengan penurunan sirkulasi
pada daerah yang tertekan karena imobilisasi.
4. Resiko terjadinya infeksi berhubungan dengan luka terbuka yang masih
basah.
5. Kurang pengetahuan berhubungan dengan kurang informasi yang adekuat.
Berdasarkan data di atas, didapatkan kesamaan dalam diagnosa yang
diangkat oleh penulis dengan diagnosa secara teori. Menurut penulis, hal tersebut
karena adanya gambaran penyakit yang jelas dan tanda gejala yang menunjang
pengangkatan diagnosa sebagian besar sesuai dengan teori yang ada. Untuk
penentuan prioritas pun sama dengan teori, karena menurut penulis dari 1
diagnosa yang diangkat tampak bahwa diagnosa 1 memiliki ancaman jiwa yang
lebih besar. Diagnosa prioritas adalah diagnosa keperawatan dan masalah
kolaboratif dimana sumber keperawatan akan diarahkan untuk pencapaian tujuan.
Pada situasi perawatan akut, diagnosa prioritas adalah diagnosa keperawatan

63
dengan masalah kolaboratif yang bila tidak diatasi sekarang akan mengganggu
kemajuan atau memengaruhi status fungsional secara negatif (Setiadi, 2012: 39).
Pengangkatan diagnosa pada Tn. A dilakukan berdasarkan data-data yang
mendukung untuk diangkatnya diagnosa tersebut. Untuk masalah yang telah
dibahas di atas yang berhubungan dengan keluhan lainnya tidak diangkat menjadi
diagnosa keperawatan oleh penulis karena kurangnya data-data yang menunjang
untuk mengangkat diagnosa tersebut, tetapi perawat sudah berkolaborasi dengan
keluarga untuk meningkatkan kenyamanan klien selama berada di lingkungan
yang baru dengan menganjurkan klien dan keluarga untuk menjaga ketenangan
dan menganjurkan klien untuk lebih memperhatikan nutrisi dan pola makanannya,
serta mendengarkan musik-musik yang disukai supaya mengurangi ketegangan
dan stres.
Faktor pendukung dalam perumusan diagnosa keperawatan adalah
terkumpulnya data-data masalah keperawatan dari klien dan keluarga, tersedianya
catatan keperawatan untuk mengumpulkan data yang berhubungan dengan klien.
Sedangkan faktor penghambat dalam perumusan diagnosa keperawatan yaitu
kurangnya data-data objektif yang muncul pada klien atau yang dapat digali oleh
penulis.
4.3 Intervensi Keperawatan
Pada kasus perumusan intervensi keperawatan didasarkan atas diagnosa
keperawatan yang muncul. Untuk diagnosa keperawatan Kerusakan integritas
kulit memiliki tujuan setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 1x7 jam, di
harapkan integritas kulit membaik, dengan kriteria hasil : Integritas kulit yang
baik bisa dipertahankan, perfusi jaringan baik, menunjukkan adanya proses
penyembuhan luka, tidak ada tanda-tanda infeksi, tidak ada ulkus, tidak adanya
peradangan, Leukosit normal 6000-10.000 /uL, tanda-tanda vital normal
Td:120/80 mmHg, S : 36,6 ◦C, N : 70 x/menit dan RR : 16 – 20 x/menit. Berikan
posisi tidur dengan kepala lebih tinggi dari badan saat makan, lakukan Penkes
tentang managemen nyeri, berikan porsi makan sedikit tapi sering, kebersihan
luka untuk menghindar infeksi atau cidera lebih lanjut, kolaborasi dengan dokter
dalam pemberian terapi obat Infus Range laktat/Natrium Clorida 0,9% 20

64
tetes/menit, Cefotaxim 3x1, Ranitidin 3x1, Keterolac 3x3, serta kalaborasi dengan
dokter dan tenaga medis lainnya dalam perawatan luka Tn. A.
Berdasarkan teori, rencana tindakan keperawatan secara teoritis
dirumuskan berdasarkan prioritas utama dimana terdapat rencana tindakan yang
dilakukan secara mandiri dan kolaboratif. Rumusan intervensi keperawatan yaitu
ONEK: Observasi, Nursing terapi, Edukasi dan Kolaborasi). Seperti dikutip dalam
Asmadi (2008: 176), rumusan tujuan keperawatan harus SMART yaitu spesific
(tujuan harus jelas), measurable (dapat diukur), achievable (dapat dicapai,
ditetapkan bersama klien), realistic (dapat tercapai dan nyata), timing (harus ada
target waktu). Setelah merumuskan tujuan, langkah selanjutnya adalah
merumuskan kriteria hasil. Ada beberapa hal yang perlu diperhatikan yaitu kriteria
hasil terkait dengan tujuan, bersifat khusus, konkret, hasilnya dapat dilihat,
didengar, dan diukur oleh orang lain.
Berdasarkan pernyataan di atas, penulis dalam membuat/menyusun
intervensi keperawatan mengikuti rumusan intervensi sesuai dengan teori yang
ada yaitu ONEK (observasi, nursing terapi/tindakan mandiri, edukasi, dan
kolaborasi), hanya untuk diagnosa yang ketiga tidak menggunakan rumusan
ONEK. Hal itu menurut penulis karena sambil disesuaikan dengan keadaan dan
kesesuaian rumusan tersebut dengan diagnosa yang diangkat. Untuk diagnosa
keperawatan defisit pengetahuan, menurut penulis rumusan yang akan muncul
hanya edukasi dan mungkin juga kolaborasi (dengan keluarga atau tim kesehatan
lain). Serta untuk perumusan tujuan dan kriteria hasil penulis berusaha untuk
menggunakan rumusan SMART (spesific, measurable, achievable, realistic,
timing). Perumusan tujuan dan kriteria hasil dengan rumusan tersebut menurut
penulis untuk memudahkan dalam tahap evaluasi dan untuk mengefektifkan
intervensi yang telah disusun.
Faktor pendukung dalam menetukan perencanaan keperawatan adalah
adanya sumber referensi yang mendukung untuk membahas tentang perencanaan
dari diagnosa keperawatan yang ada. Faktor penghambat dalam perencanaan
keperawatan yaitu kurangnya ketelitian dan kekritisan penulis dalam menyusun
rencana keperawatan yang akan dilakukan serta dalam menyusun tujuan dan

65
kriteria hasil, kesulitan dari penulis dalam memilih perencanaan yang tepat dan
yang sesuai dengan kondisi dan keadaan klien .
4.4 Implementasi Keperawatan
Berdasarkan kasus, implementasi keperawatan dilakukan selama 1 hari saja
yaitu pada kamis tanggal 21 Januari 2016. Implementasi keperawatan dilakukan
berdasarkan diagnosa keperawatan yang muncul dan dilaksanakan berdasarkan
intervensi yang telah dibuat, walaupun hanya beberapa intervensi yang dilakukan.
Untuk diagnosa “Kerusakan Integritas Kulit”, tindakan keperawatan yang
dilakukan yaitu : Melakukan pengkajian dan anamnesa singkat kepada klien,
Mengkaji Tanda-tanda vitalTn.A, Mengobservasi daerah lukaTn. A, Memberikan
posisi tidur dengan kepala lebih tinggidari badan saat makan ataupun istirahat,
Melakukan Penkes tentang managemen nyeri kepada Tn.A dan keluarga,
Memberikan porsi makan sedikit tapi sering, Memantau intake dan output nutrisi
klien, Berkolaborasi dengan dokter dalam pemberian terapi obat Infus Range
laktat/Natrium Clorida 0,9% 20 tetes/menit, Cefotaxim 3x1, Ranitidin 3x1,
Keterolac 3x3, serta kalaborasi dengan dokter dan tenaga medis lainnya dalam
perawatan luka Tn. A.
Implementasi keperawatan dilakukan berdasarkan diagnosa keperawatan
yang muncul dan dilaksanakan berdasarkan intervensi yang telah dibuat. Untuk
diagnosa “Kerusakan Integritas Kulit” tindakan keperawatan yang dilakukan
yaitu : Melakukan pengkajian dan anamnesa singkat kepada klien, Memberikan
posisi semifowler, Mengkaji faktor penyebab nyeri Tn. A, seperti: Observasi
daerah luka, apakah adanya infeksi pada luka, posisi pasien. Mengobservasi
tanda-tanda vital Tn. A, Menganjurkan klien untuk tekhnik relaksasi dan distraksi,
menganjurkan Tn. A mengatur posisi senyaman mungkin saat beristirahat,
Menganjurkan Tn. A untuk melatih bergerak agar tidak terlalu lama tirah baring,
Berkalaborasi dengan dokter dalam pemberian terapi obat Cefotaxim 3x1,
Ranitidin 3x1, Keterolac 3x3.
Berdasarkan teori, implementasi keperawatan adalah pengelolaan dan
perwujudan dari rencana keperawatan yang telah disusun pada tahap perencanaan
(Setiadi, 2012: 53). Dalam melaksanakan tindakan perawatan, selain
melaksanakannya secara mandiri, harus adanya kerja sama dengan tim kesehatan

66
lainnya. Implementasi merupakan realisasi rencana tindakan untuk mencapai
tujuan yang telah ditetapkan dan menilai data yang baru. Implementasi tindakan
dibedakan menjadi tiga kategori yaitu: independent (mandiri), interdependent
(bekerja sama dengan tim kesehatan lainnya: dokter, bidan, tenaga analis, ahli
gizi, apoteker, ahli kesehatan gigi, fisioterapi dan lainnya) dan dependent (bekerja
sesuai instruksi atau delegasi tugas dari dokter) (Zaidin, 2003: 84).
Teori yang ada dan fakta yang terjadi di lapangan terdapat perbedaan, yaitu
tindakan yang dilakukan tidak sesuai dengan rencana yang telah disusun dan
hanya beberapa rencana yang dapat dilakukan. Hal ini disebabkan adanya
penyesuaian antara rencana yang disusun dan tindakan keperawatan dengan
keadaan klien, selain itu juga karena keterbatasan waktu yang ada sehingga
khususnya untuk tindakan kolaborasi yang kebanyakan dilakukan di siang hari
tidak dapat dilakukan.
Faktor pendukung dalam pelaksanaan tindakan keperawatan adalah
kebijakan atau peraturan yang ada di rumah sakit memberikan kesempatan kepada
mahasiswa untuk melakukan tindakan keperawatan, dan adanya kerja sama antara
perawat dengan klien dan keluarga dalam melaksanakan tindakan keperawatan.
Sedangkan faktor penghambat dalam pelaksanaan tindakan keperawatan adalah
ketidakmampuan klien dalam melaksanakan tindakan yang sifatnya aktif,
kesulitan saat berkomunikasi dengan klien, kurangnya waktu dalam melakukan
tindakan, tidak sesuainya intervensi dengan keadaan klien.
4.5 Evaluasi
Pada kasus, evaluasi keperawatan dilakukan pada hari yang sama dengan
implementasi keperawatan. Evaluasi yang dilakukan menggunakan format SOAP
dan untuk pencapaiannya disesuaikan dengan tujuan dan kriteria hasil yang telah
disusun sebelumnya. Evaluasi pada diagnosa “Kerusakan Integritas Kulit”
didapatkan Pasien mengatakan : “Saya mengalami lukas bacok dibagian belakang,
lengan, paha dan perut”. Data objektif: Klien tampak terbaring lemah, klien
beraktivitas dibantu oleh keluarganya, klien tampak berhati-hati saat bergerak,
tampak terdapat 4 luka tusuk dibagian belakang, 1 bagian paha kiri, 1 dibagian
perut dan 1 dilengan kanan, tampak tertutupi perban pada daerah luka, klien

67
terpasang cairan infus RL 20 tetes/menit.Tanda-tanda vital TD: 100/70 mmHg, N:
84 x/menit, RR: 28 x/menit dan S: 37,1.
Berdasarkan hasil evaluasi tersebut analisis penulis yaitu integritas kulit Tn.
A masih belum membaik dan Tn. A masih mengalami nyeri. Namun klien
memiliki keinginan untuk segera sembuh sehingga ingin rutin minum obat dan
menjaga kesehatan diri serta ingin menjaga kebersihan integritas kulit agar tidak
mengalami infeksi atau komplikasi penyakit yang lainnya.
Secara teori, tahap evaluasi adalah perbandingan yang sistematis dan
terencana tentang kesehatan klien dengan tujuan yang telah ditetapkan, dilakukan
dengan cara berkesinambungan dengan melibatkan klien, keluarga, dan tenaga
kesehatan lainnya. Tujuan evaluasi adalah untuk melihat kemampuan klien dalam
mencapai tujuan yang disesuaikan dengan kriteria hasil pada tahap perencanaan.
Pada tahap evaluasi ini terdiri dari 2 kegiatan yaitu evaluasi formatif (SOAP) dan
evaluasi sumatif (SOAPIER) (Setiadi, 2012: 57). Kemudian hasil evaluasi secara
teori yaitu jalan napas kembali efektif, nutrisi klien dapat terpenuhi dan mampu
mempertahankan asupan nutrisi hariannya, terpenuhinya kebutuhan klien akan
informasi mengenai tuberkulosis paru.
Jika dibandingkan antara teori dan fakta yang ada, terdapat perbedaan di
mana tidak semua hasil yang diharapkan dari evaluasi sesuai dengan teori yang
ada. Disebabkan karena waktu yang ada tidak mencukupi untuk melakukan
tindakan keperawatan secara optimal, serta masalah tersebut tidak begitu saja
langsung teratasi. Keterbatasan waktu dalam melakukan tindakan keperawatan
membuat hasil yang diharapkan dari evaluasi pun berbeda dari teori yang ada.
Selain itu, perbedaan tersebut juga disebabkan karena dibutuhkannya waktu untuk
mencapai proses penyembuhan pasien, karena respon tubuh dan pemahaman
masing-masing tiap individu berbeda, kemudian tergantung pula pada kepatuhan
klien terhadap program terapeutik.
Faktor pendukung dalam melakukan evaluasi adalah pasien dan keluarga
dapat bekerjasama dan adanya kerja sama dengan tim kesehatan lainnya. Faktor
yang menghambat dalam mencapai evaluasi yaitu tidak efektifnya waktu yang
tersedia, sehingga pelaksanaan tindakan dan evaluasi pun tidak optimal.

68
BAB 5
PENUTUP

Berdasarkan urain yang telah penulis uraikan dalam BAB I, BAB II, BAB
III, dan BAB IV maka pada BAB V laporan studi kasus penulis akan mengambil
beberapa kesimpulan dan saran-saran dengan harapan akan dapat
menyempurnakan pelayanan kepada pasien vulnus laseratum khususnya dan
kemampuan pelaksanaan asuhan keperawatan pada umumnya.
5.1 Kesimpulan
Vulnus Laseratum ( luka robek ) adalah luka yang terjadi akibat kekerasan
benda tumpul , robekan jaringan sering diikuti kerusakan alat di dalam seperti
patah tulang. http://one.indoskripsi.com
5.1.1 Pengkajian Keperawatan
Pada pengkajian, tidak semua data yang muncul pada kasus sama dengan
teori. Tetapi pada pemeriksaan fisik didapatkan banyak kesamaan antara teori dan
fakta yang ada. Hal tersebut menurut penulis, karena reaksi dan daya tahan tubuh
tiap individu yang berbeda-beda, lama tidaknya individu terpajan dengan penyakit
tersebut, serta riwayat terpajang sebelumnya. Yang penulis dapatkan pada
tinjauan kasus, yaitu: pada luka post operasi luka dibagian punggung, lengan
kanan dan paha kiri tampak basah dan terbalut perban, di sekitar luka pada.
Ukuran otot pasien simetris. Selanjutna, pasien tidak mengalami kelainan tulang
belakang seperti skoliosis, lordosis, kifosis.
5.1.2 Diagnosa Keperawatan
Dalam diagnosa yang diangkat oleh penulis terdapat kesamaan dengan
diagnosa secara teori. Hal tersebut karena adanya gambaran penyakit yang jelas
dan tanda gejala yang menunjang pengangkatan diagnosa sebagian besar sesuai
dengan teori yang ada.
Setelah dilakukan pengkajian pada Tn. A dengan Vulnus Laseratum
ditemukan tanda dan gejala yang sama antara teori dan praktek di lahan. Setelah
penulis mengumpulkan data yang cukup dari pengkajian terhadap Tn. A, penulis
mulai mencari masalah yang utama dari pasien dan setelah dapat penulis langsung
mengangkat diagnosa keperawatan, yaitu : Kerusakan integritas kulit

69
berhubungan dengan luka tusuk. Oleh penulis diagnosa tersebut diprioritaskan
menjadi diagnosa utama dari beberapa diagnosa yang muncul pada pasien. Alasan
penulis memprioritaskan kerusakan integritas kulit karena gejala nyeri yang
dirasakan pasien pada daerah luka yang terus-menerus merupakan salah satu
gejala yang dapat menyebabkan komplikasi seperti terjadinya infeksi dan masalah
lainnya.
5.1.3 Intervensi Keperawatan
Kerusakan integritas kulit berhubungan dengan luka tusuk. Adapun
intervensinya adalah melakukan perawatan luka steril, memantau kondisi luka,
menutup luka dengan kasa dan verban elastis, menganjurkan pasien agar merawat
lukanya, mengobservasi TTV.
1.1.4 Pelaksanaan Keperawatan
Tahap pelaksanaan dilakukan berdasarkan perencanaan keperawatan yang
telah ditetapkan dalam harapan akan memenuhi kebutuhan pasien. Pelaksanaan
yang penulis lakukan telah penulis lakukan dengan diagnosa yang timbul. Pada
pelaksanaan keperawatan yang penulis lakukan hampir sama secara umum dengan
landasan teoritis, tetapi dilakukan penyesuaian dengan masalah pasien dan kondisi
rumah sakit/ruangan.
Diagnosa 1: Memantau kondisi luka, melakukan perawatan luka steril,
menutup luka dengan kasa steril dan verban elastis, berkolaborasi dengan dokter
dalam pemberian obat antibiotik, mengobservasi TTV.
1.1.5 Evaluasi
Penulis temukan pada Tn.A dengan Vulnus Laseratum yaitu: pada
kerusakan integritas kulit yang berhubungan dengan luka tusuk, didapatkan
kesimpulan bahwa masalah belum teratasi, hal ini dikeranakan luka Tn. A belum
kering, Tn. A baru saja menjalani operasi lukanya, luka belum sembuh, Tanda-
tanda vital TD: 100/70 mmHg, N: 84 x/menit, RR: 28 x/menit dan S: 37,1.
1.1.6 Pendokumentasian
Pengkajian dilakukan dengan format yang telah diberikan oleh institusi
pendidikan yang meliputi data, pengorganisasian data, pengumpulan data, hasil
wawancara, observasi dan pemeriksaan fisik serta data penunjang. Diagnosa
keperawatan menyangkut masalah aktual maupun resiko yang sudah disusun

70
berdasarkan hasil pengkajian data dan pendokumentasian pada daftar diagnosa
keperawatan. Rencana keperawatan untuk menentukan prioritas, tujuan
kemungkinan pemecahan masalah dan rasional dengan memasukan tanda tangan
serta nama penulis, serta telah didokumentasikan pada tabel rencana keperawatan.
Pelaksanaan untuk memberikan tindakan keperawatan dan aktivitas keperawatan
yang dilakukan penulis dengan memasukan tanggal, jam, tanda tangan, serta nama
penulis, serta telah didokumentasikan pada tabel implementasi. Evaluasi ditulis
mengunakan format catatan perkembangan (SOAP) dengan memasukan tanggal,
jam, tanda tangan, serta nama penulis, dan telah didokumentasikan.
1.1.7 Faktor Pendukung dan Penghambat Penulisan
Faktor pendukung dalam penulisan studi kasus ini adalah adanya kerja
sama antara klien, keluarga klien, perawat ruangan dan profesi lain dengan
penulis, format baku dari pendidikan yang sistematis sebagai petunjuk dan
panduan dalam penulisan asuhan keperawatan, dan adanya kebijakan pihak
Rumah Sakit khususnya ruang Dahlia dalam memberikan kesempatan dan
wewenang terhadap mahasiswa untuk dapat memberikan asuhan keperawatan
dengan menggunakan proses keperawatan secara optimal.
Adapun yang menjadi faktor penghambat dalam penulisan studi kasus ini
adalah kurangnya kemampuan penulis dalam mengidentifikasi dan menganalisa
data yang ada, keterbatasan referensi yang dimiliki penulis, dan keterbatasan
waktu dalam melaksanakan asuhan keperawatan secara maksimal, serta
kurangnya kepercayaan diri penulis dalam melakukan pengkajian serta
menegakkan diagnosa keperawatan.
5.2 Saran
1.2.1. Bagi Institusi Pendidikan
Bagi institusi pendidikan agar dapat meningkatkan kegiatan pembelajaran
dan pendalaman materi kepada mahasiswa mahasiswi tentang teori dan
penerapannya pada lahan praktek, dan diharapkan pada mahasiswa untuk selalu
memperhatikan pelajaran-pelajaran yang diberikan untuk diterapkan pada saat di
lahan praktek. Karena masih banyak hambatan-hambatan saat saya melakukan
asuhan keperawatan dilahan prektek, terutama pada asuhan keperawatan yang
dilakukan pada Tn. A dengan Vulnus Laseratum dan dengan Gangguan Rasa

71
Nyaman Nyeri. Penulis berharap dengan adanya hambatan-hambatan tersebut
mahasiswa/mahasiswi dapat lebih giat belajar dan melatih keterampilan pada saat
terjun ke lahan praktek nantinya dan bagi dosen, kasus ini dapat dijadikan bahan
evaluasi dan perbandingan sejauh mana mahasiswa dapat menerapkannya baik itu
di lahan klinik ataupun masyarakat dan keluarga serta sebagai pembanding apa
yang didapat secara teoritis di akademik dengan yang terjadi di lahan praktek.
1.2.2. Bagi Rumah Sakit
Sebagai bahan evaluasi rumah sakit terhadap mahasiswa dan mahasiswi
yang menjankan praktek klinik di rumah sakit tersebut, sekaligus sebagai acuan
dalam sejauh mana keterampilan mahasiswa mahasiswi penerapan nyata dilahan
prakteknya nantinya, sehingga dapat meningkatkan mutu pelayanan kepada
masyarakat terutama di ruang Dahlia RSUD dr. Doris Sylvanus Palangka Raya.
1.2.3 Bagi Mahasiswa
Hendaknya lebih proaktif, cepat dan tanggap dalam menghadapi segala
situasi dan kondisi yang dihadapi baik dalam teori atau kasus lapangan, khususnya
pada proses kegawat daruratan.

72
Daftar Pustaka

Nurma Ningsih, Lukman.2009. Asuhan Keperawatan pada Klien dengan


Gangguan Sistem Muskuloskeletal. Jakarta: Salemba Medika.

Saputra, Lyndon.2013. Pengantar Kebutuhan Dasar Manusia. Tanggerang: Bina


Rupa Aksara Publiser.

Mansjoer, Arif.,dkk. 2001. Kapita Selekta Kedokteran. FKUI : Media Aesculapius

NANDA. Nanda International Nursing Diagnosis : Definitions and


Classification. West Ssussex-United Kingdom : Wiley-Blackwell

NANDA. (2005) Nursing Diagnoses: Definition and Classification 2005-2006.


Philadelphia : NANDA International.

Priharjo, R (1993). Perawatan Nyeri, Pemenuhan Aktivitas Istirahat. Jakarta :


EGC.

Tamsuri, A. (2007). Konsep dan penatalaksanaan nyeri. Jakarta : EGC.

73

Anda mungkin juga menyukai