Anda di halaman 1dari 11

1.

MM Reaksi Hipersensitivitas
1.1 Definisi
 Reaksi alergi (reaksi Hipersensitivitas) adalah reaksi-reaksi dari sistem
kekebalan yang terjadi ketika jaringan tubuh yang normal mengalami
cedera/terluka.
( Hikmah, Nuzulul,. I Dewa Ayu Ratna Dewantit.2010)
 Hipersensitivitas adalah keadaan berubahnya reaktivitas, ditandai dengan
reaksi tubuh berupa respons imun yang berlebihan terhdap sesuatu yang
dianggap sebagai benda asing. (Dorland,2015)
1.2 Klasifikasi
 Pembagian reaksi hipersensitivitas menurut waktu timbulnya reaksi
a. Reaksi cepat : reaksi cepat terjadi dalam hitungan detik, menghilang
dalam 2 jam. Ikatan silang antara alergen dan IgE pada permukaan sel
mast menginduksi penglepasan mediator vasoaktif. Manifestasi reaksi
cepat berupa anafilaksis sistemik atau anafilaksis lokal.
b. Reaksi intermediet
Reaksi intermediet terjadi setelah beberapa jam dan menghilang dalam 24
jam. Reaksi ini melibatkan pembentukan kompleks imun IgG dan
kerusakan jaringan melalui aktivasi komplemen dan sel NK/ADCC.
Manifestasi reaksi intermediet dapat berupa :
1) Reaksi transfusi darah, eritroblastosis fetalis dan anemia hemolitik
autoimun
2) Reaksi Arthus lokal dan reaksi sisteik seperti serum sickness,
vaskulitis nekrotis, glomerulonefritis, artritis reumatoid dan LES
Reaksi intermediet diawali oleh igG dan kerusakan jaringan pejamu yang
disebabkan oleh sel neutrofil atau sel NK.
c. Reaksi lambat
Reaksi lambat terlihat sampai sekitar 48 jam setelah terjadi pajanan
dengan antigen yang terjadi oleh aktivasi sel Th. Pada DTH, sitokin yang
dilepas sel T mengaktifkan sel efektor makrofag yang menimbulkan
kerusakan jaringan. Contoh reaksi lambat adalah dermatitis kontak, reaksi
M. Tuberkulosis dan reaksi penolakan tandur.

 Pembagian reaksi hipersensitivitas menurut Gell dan Coombs


Dibagi menjadi 4 tipe :
1. Hipersensitivitas tipe I (reaksi igG/cepat)
Ikatan silang antara antigen dan IgE yang diikat sel mast dan basofil
melepas mediator vasoaktif.
Manifestasi khas : anafilaksis sistemik dan lokal seperti rinitis, asma,
urtikaria, aleri makanan dan ekzem.
2. Hipersensitivitas tipe II (reaksi sitotoksik/igG/igM)
Ab terhadap antigen permukaan sel menimbulkan destruksi sel dengan
bantuan komplemen atau ADCC.
Manifestasi khas : reaksi transfusi, eritroblastosis fetalis, anemia hemolitik
autoimun.
3. Hipersensitivitas tipe III (reaksi kompleks imun)
Kompleks Ag-Ab mengaktifkan komplemen dan respons inflamasi
melalui infiltrasi masif neutrofil.
Manifestasi khas : reaksi lokal seperti Arthus dan sistemik seperti serum
sickness, vaskulitis dengan nekrosis, glomerulonefritis, AR dan LES.
4. Hipersensitivitas tipe IV (reaksi selular)
Sel Th1 yang disensitasi melepas sitokin yang mengaktifkan makrofag
atau sel Tc yang berperan dalam kerusakan jaringan. Sel Th2 dan Tc
menimbulkan respons sama.
Manifestasi khas : dermatitis kontak, lesi tuberkulosis dan penolakan
tandur.

Modifikasi klasifikasi Gell dan Coombs


- Tipe I : IgE
Gejala : Anafilaksis, urtikaria, angioedem, mengi, hipotensi, nausea, muntah, sakit
abdomen, diare
Contoh : penisilin dan Beta-laktam lain, enzim, antiserum, protamin, heparin antibodi
monoklonal, ekstrak alergen.
- Tipe II : Sitotoksik (igG dan igM)
Gejala : Agranulositosis (contoh : insulin Metamizol, fenotiazin)
Anemia hemolitik (contoh : penisilin, sefalosporin, beta-laktam, kinidin,
metildopa)
Trombositopenia (contoh : karbamazepin, fenotiazin, tiourasil, sulfonamid,
parasetol,
Antikonvulsan, kinin, kinidin, propil, preparat
emas)
- Tipe III : Kompleks imun (igG dan igM)
Gejala : Panas, urtikaria, atralgia, limfadenopati (contoh : beta-laktam, sulfonamid,
fenitoin,
Streptomisin)
Serum sickness (contoh : serum xenogenik, penisilin, globulin anti-timosit)
- Tipe IV : Hipersensitivitas Selular
Gejala : Eksim (juga sistemik) . contoh : penisilin, anestetik lokal
Eritema, lepuh, pruritus. contoh : antihistamin topikal, neomisin, pengawet,
eksipien
(lanolin, paraben), desifektan
Fotoalergi. (contoh : salisilanilid (halogeneted), asam nalidilik)
Fixed drug eruption . (contoh : barbiturat, kinin)
Lesi makulopapular. (contoh : penisilin, emas, barbiturat, beta-blocker)
- Tipe V : Reaksi granuloma
Gejala : Granuloma . (contoh : ekstrak alergen, kolagen larut)
- Tipe VI : Hipersensitivitas stimulasi
Gejala : ( LE yang diinduksi obat?) . contoh : hidralazin, prokainamid
Resistensi insulin . contoh : antibodi terhadap insulin (igG)

( Baratawidjaja, Karnen Garna, Iris Rengganis. 2012)

Etiologi
Penyebab alergi tidaklah jelas walaupun tampaknya terdapat predisposisi genetik.
Predisposisi tersebut dapat berupa pengikatan IgE yang berlebihan, mudahnya sel mast dipicu
untuk berdegranulasi , atau respon sel T helper yang berlebihan. Hasil penelitian terkini
menunjukan bahwa defisiensi sel T regulatori dapat menyebabkan responsivitas berlebihan
dari system imun dan alergi. Pajanan berlebihan terhadap alergen-alergen tertentu setiap saat,
termasuk selama gestasi, dapat menyebabkan respon alergi.
Secara umum semua benda di lingkungan (pakaian, makanan, tanaman, perhiasan,
alat pembersih, dsb) dapat menjadi penyebab alergi, namun faktor lain misalnya :
- Perbedaan keadaan fisik setiap bahan
- Kekerapan pajanan
- Daya tahan tubuh seseorang
- Adanya reaksi silang antar bahan akan berpengaruh terhadap timbulnya alergi.
(Retno W.Soebaryo, 2002)

2. MM Hipersensitivitas tipe I
Reaksi tipe I yang disebut juga reaksi cepat atau reaksi anafilaksis atau reaksi alergi,
timbul segera sesudah tubuh terpajan dengan alergen.

2.1 Mekanisme
 Fase sensitasi yaitu waktu yang dibutuhkan untuk pembentukan igE sampai
diikat silang oleh reseptor spesifik (FcE-R) pada permukaan sel mast/basofil
 Fase aktivasi yaitu waktu yang diperlukan antara pajanan ulang dengan
antigen yang spesifik dan sel mast/ basofil melepas isinya yang berisikan
granul yang menimbulkan reaksi.
Hal ini terjadi oleh ikatan silang antara antigen dan igE
 Fase efektor yaitu waktu terjadi respons yang kompleks (anafilaksis) sebagai
efek mediator-mediator yang dilepas sel mast/basofil dengan aktivitas
farmakologik.

2.2 Manifestasi
 Reaksi lokal
Reaksi hipersensitivitas Tipe I lokal terbatas pada jaringan atau organ spesifik
yang biasanya melibatkan permukaan epitel tempat alergen masuk. Sedikitnya
20% populasi menunjukkan penyakit yang terjadi melalui IgE seperti rinitis
alergi, asma, dan dermatitis atopi. Sekitar 50%-70% dari populasi membentuk
igE terhadap antigen yang masuk tubuh melalui mukosa seperti selaput lendir
hidung, paru dan konjungtiva, tetapi hanya 10-20% masyarakat yang
menderita rinitis alergi dan sekitar 3%-10% yang menderita asm bronkial. IgE
yang biasanya dibentuk dalam jumlah sedikit, segera diikat oleh sel
mast/basofil. IgE yang sudah ada pada permukaan sel mast akan menetap
untuk beberapa minggu. Sensitasi dapat pula terjadi pasif bila serum (darah)
orang yang alergi dimasukkan ke dalam kulit/sirkulasi orang normal. Reaksi
alergi yang mengenai kulit, mata, hidung, dan saluran napas.
 Reaksi sistemik-anafilaksis
Anafilaksis adalah reaksi Tipe I yang dapat fatal dan terjadi dalam beberapa
menit. Anafilaksis adalah reaksi hipersensitivitas Gell dan Coombs
Tipe I atau reaksi alergi yang cepat, ditimbulkan IgE yang dapat
mengacam nyawa. Sel mast dan basofil merupakan sel efektor yang
melepas berbagai mediatr. Reaksi dapat dipacu berbagai alergen
seperti makanan (asal laut, kacang-kacangan), obat atau sengatan
serangga dan juga lateks, latihan jasmani dan bahan diagnostik lainnya.
Pada 2/3 pasien dengan anafilaksis, pemicu spesifiknya tidak dapat
diindentifikasi.
 Reaksi pseudoalergi atau anafilaktoid
Reaksi Pseudoalergi atau anafilaktoid adalah reaksi sistemik umum yang
melibatkan pelepasan mediator oleh sel mast yang tidak terjadi melalui IgE. Secara
klinis, reaksi ini menyerupai reaksi tipe I seperti syok, urtikaria, bronkospasme,
anafilaksis, pruritus, tetapi tidak berdasarkan atas reaksi imun. Reaksi ini tidak
memerlukan pajanan terlebih dahulu untuk menimbulkan sensitasi. Reaksi anafilaktoid
dapat ditimbulkan antimikroba, protein, kontras dengan yodium, AINS, etilenoksid,
taksol dan pelemas otot.
(Baratawidjaja, 2009)

3. MM Hipersensitivitas tipe II
Reaksi tipe II disebut juga reaksi sitotoksik, terjadi karena dibentuknya antibodi jenis IgG
atau IgM terhadap antigen yang merupakan bagian sel pejamu. Reaksi diawali oleh reaksi
antibody dengan determinan antigen yang merupakan bagian dari membrane sel. Antibodi
tersebut dapat mengaktifkan sel yang memiliki reseptor Fcy-R dan juga sel NK yang dapat
berperan sebagai sel efektor dan menimbulkan kerusakan melalui ADCC.
3.1 Mekanisme
Sel normal terinfeksi oleh antigen → IgG berikatan dengan antigen → Sel
diopsonisasi agar mudah di fagosit → Pengaktifan komplemen yang menghasilkan C3B
dan C4B yang dapat meningkatkan fagositosis → Sel yang diopsonisasi dikenali oleh Fc
receptor → Sel di fagositosis oleh makrofag dan neutrophil
Antibodi terikat pada jaringan ekstraseluler (membrane basal atau matriks) →
Pengaktifan komplemen → Menghasilkan C5a dan C3a C5a menarik neutrofil dan monosit →
Leukosit aktif melepaskan bahan perusak → Kerusakan Jaringan

Saat antibodi terikat pada jaringan ekstraselular (membran basal dan matriks),
kerusakan yang dihasilkan merupakan akibat, dari inflamasi, bukan fagositosis/lisis sel.
Antibodi yang terikat tersebut akan mengaktifkan komplemen, yang selanjutnya menghasilkan
terutama C5a (yang menarik neutrofil dan monosit). Sel yang sama juga berikatan dengan
antibodi melalui reseptor Fc. Leukosit aktif, melepaskan bahan-bahan perusak (enzim dan
intermediate oksigen reaktif), sehingga menghasilkan kerusakan jaringan. Reaksi ini berperan
pada glomerulonefritis dan vascular rejection dalam organ grafts.

3.2 Manifestasi
1. Reaksi transfusi
Sejumlah besar protein dan glikoprotein pada membran SDM disandi oleh berbagai gen.
Individu golongan darah A mendapat transfusi golongan B terjadi reaksi transfusi, karena
anti B isohemaglutinin berikatan dengan sel darah B yang menimbulkan kerusakan darah
direk oleh hemolisis masif intravascular. Reaksi dapat cepat atau lambat .
Reaksi cepat biasanya disebabkan oleh inkompatibiltas golongan darah ABO yang dipacu
oleh IgM. Dalam beebrapa jam hemoglobin bebas dapat ditemukan dalam plasma dan
disaring melalui ginjal dan menimbulkan hemoglobinuria. Beberapa hemoglobin diubah
menjadi bilirubin yang Pada kadar tinggi bersifat toksik. Gejala khasnya berupa demam,
menggigil, nausea, bekuan dalam pembuluh darah, nyeri pinggang bawah dan
hemoglobinuria.
Reaksi transfuse darah yang lambat terjadi pada mereka yang pernah mendapat transfuse
berulang dengan darah yang kompatibel ABO namun inkompatibel dengan golongan
darah lainnya. Darah yang ditransfusikan memacu pembentukan IgG terhadap berbagai
antigen membrane golongan darah, tersering adalah golongan rhesus, kidd, kell dan
Duffy
2. Reaksi Antigen Rhesus
Ada sejenis reaksi transfusi yaitu reaksi inkompabilitas Rh yang terlihat pada bayi baru
lahir dari orang tuanya denga Rh yang inkompatibel (ayah Rh+ dan ibu Rh-). Jika anak
yang dikandung oleh ibu Rh- menpunyai darah Rh+ maka anak akan melepas sebagian
eritrositnya ke dalam sirkulasi ibu waktu partus. Hanya ibu yang sudah disensitasi yang
akan membentuk anti Rh (IgG) dan hal ini akan membahayakan anak yang dikandung
kemudian. Hal ini karena IgG dapat melewati plasenta. IgG yang diikat antigen Rh pada
permukaan eritrosit fetus biasanya belum menimbulkan aglutinasi atau lisis. Tetapi sel
yang ditutupi Ig tersebut mudah dirusak akibat interaksi dengan reseptor Fc pada fagosit.
Akhirnya terjadi kerusakan sel darah merah fetus dan bayi lahir kuning, Transfusi untuk
mengganti darah sering diperlukan dalam usaha menyelamatkan bayi.

3. Anemia hemolitik
 Antibiotika tertentu seperti penisilin, sefalosporin, dan streptomisin dapat
diabsorbsi non spesifik pada protein membran SDM yang membentuk kompleks
serupa kompleks molekul hapten pembawa
 Pada beberapa penderita, kompleks membentuk ab yang selanjutnya mengikat obat
pada SDM dan dengan bantuan komplemen menimbulkan lisis dengan dan anemia
progresif.

4. MM Hipersensitivitas tipe III


Reaksi tipe III disebut juga reaksi kompleks imun. Antibodi untuk hipersensitivitas III
menggunakan jenis IgM atau IgG. Terjadinya reaksi kompleks imun dirangsang oleh
pengendapan kompleks antigen-antibodi dalam sirkulasi jaringan dan pembuluh darah. Reaksi
ini mengakibatkan aktivasi komplemen, respons radang polimorfonuklear dan kerusakan
jaringan. Tipe hipersensitivitas ini ditemukan pada infeksi bakteri persisten tertentu.
4.1 Mekanisme
Dalam keadaan normal, kompleks imun yang terbentuk akan diikat dan diangkut oleh
eritrosit ke hati, limpa dan paru untuk dimusnahkan oleh sel fagosit dan PMN. Kompleks imun
yang besar akan mudah untuk di musnahkan oleh makrofag hati. Namun, yang menjadi
masalah pada reaksi hipersensitivitas tipe III adalah kompleks imun kecil yang tidak bisa atau
sulit dimusnahkan yang kemudian mengendap di pembuluh darah atau jaringan.
1. Kompleks Imun Mengendap di Dinding Pembuluh Darah
Makrofag yang diaktifkan kadang belum dapat menyingkirkan kompleks imun sehingga
makrofag dirangsang terus menerus untuk melepas berbagai bahan yang dapat merusak
jaringan. Kompleks yang terjadi dapat menimbulkan:
- Agregasi trombosit
- Aktivasi makrofag
- Perubahan permeabilitas vaskuler
- Aktivasi sel mast
- Produksi dan pelepasan mediator inflamasi
- Pelepasan bahan kemotaksis
- Influks neutrofil

2. Kompleks Imun Mengendap di Jaringan


Hal yang memungkinkan kompleks imun mengendap di jaringan adalah ukuran
kompleks imun yang kecil dan permeabilitas vaskuler yang meningkat. Hal tersebut terjadi
karena histamin yang dilepas oleh sel mast.
Reaksi tipe III mempunyai 2 bentuk :
a. Reaksi Arthus
Pada reaksi bentuk arthus, ditemukan eritema ringan dan edema dalam 2-4 jam sesduah
suntikan. Reaksi tersebut menghilang keesokan harinya. Suntikan selanjutnya
menimbulkan edema yang lebih besar dan suntikan yang ke 5-6 menimbulkan
perdarahan dan nekrosis. Hal tersebut disebut fenomena arthus yang merupakan bentuk
reaksi dari kompleks imun. Reaksi arthus membutuhkan antigan dan antibodi dalam
jumlah besar. Antigen yang disuntikkan akan membentuk kompleks yang tidak larut
dalam sirkulasi dan mengalami pengendapan. Mekanisme pada reaksi arthus adalah
sebaga berikut :
1. Neutrofil menempel pada endotel vaskular kemudian bermigrasi ke jaringan
tempat kompleks imun diendapkan. Reaksi yang timbul yaitu berupa
pengumpulan cairan di jaringan (edema) dan sel darah merah (eritema) sampai
nekrosis.
2. C3a dan C5a yag terbentuk saat aktivasi komplemen meningkatkan
permeabilitas pembuluh darah sehingga memperparah edema. C3a dan C5a juga
bekerja sebagai faktor kemotaktik sehingga menarik neutrofil dan trombosit ke
tempat reaksi. Neutrofil dan trombosit ini kemudian menimbulkan statis dan
obstruksi total aliran darah.
Neutrofil akan memakan kompleks imun kemudian akan melepas bahan-bahan seperti
protease, kolagenase dan bahan-bahan vasoaktif bersama trombosit sehingga akan
menyebabkan perdarahan yang disertai nekrosis jaringan setempat.
b. Reaksi serum sickness
Reaksi serum sickness ditemukan sebagai konsekuensi imunasi pasif pada pengobatan
infeksi seperti difteri dan tetanus. Antibodi yang berperan dalam reaksi ini adalah IgG
atau IgM dengan mekanisme sebagai berikut:
1. Komplemen yang telah teraktivasi melepaskan anafilatoksin (C3a dan C5a) yang
memacu sel mast dan basofil melepas histamin.
2. Kompleks imun lebih mudah diendapkan di daerah dengan tekanan darah yang
tinggi dengan putaran arus (contoh: kapiler glomerulus, bifurkasi pembuluh
darah, plexus koroid, dan korpus silier mata)
3. Komplemen juga menimbulkan agregasi trombosit yang membentuk mkrotrombi
kemudian melepas amin vasoaktif. Bahan-bahan vasoaktiv tersebut
mengakibatkan vasodilatasi, peningkatan permeabilitas pembuluh darah dan
inflamasi.
4. Neutrofil deikerahkan untuk menghancurkan kompleks imun. Neutrofil yang
terperangkap di jaringan akan sulit untuk memakan kompleks tetapi akan tetap
melepaskan granulnya (angry cell) sehingga menyebabkan lebih banyak
kerusakan jaringan.
5. Makrofag yang dikerahkan ke tempat tersebut juga meleaskan mediator-mediator
antara lain enzim-enzim yang dapat merusak jaringan
Dari mekanisme diatas, beberapa hari – minggu setelah pemberian serum asing akan
mulai terlihat manifestasi panas, gatal, bengkak-bengkak, kemerahan dan rasa sakit di
beberapa bagian tubuh sendi dan kelenjar getah bening yang dapat berupa vaskulitis
sistemik (arteritis), glomerulonefritis, dan artiritis. Reaksi tersebut dinamakan reaksi
Pirquet dan Schick.
4.2 Manifestasi
Manifestasi klinis hipersensitivitas III yaitu :
a. Urtikaria, angioedema, eritema, makulopapula, eritema multiforme
b. Demam
c. Kelaianan sendi
d. Limfadenopati
e. Sindrom lupus eritematosus sistemik
f. Glomerulonefritis

5.MM Hipersensitivitas tipe IV


Reaksi tipe IV disebut juga reaksi hipersensitivitas lambat, cell mediated imunity (CMI),
Delayed Type Hypersensitivity (DTH). Reaksi terjadi karena respons sel T yang sudah
disensitasi terhadap antigen tertentu. Tidak ada pernan antibodi. Antigen yang dapat
menimbulkan reaksi tersebut berupa jaringan asing, mikroorganisme intraseluler, protein atau
bahan kimia yang dapat menembus kulit. Merupakan hipersensitivitas tipe lambat yang
dikontrol sebagian besar oleh reaktivitas sel T terhadap antigen. Reaksi hipersensitivitas tipe
IV telah dibagi menjadi :

 Delayed Type Hypersensitivity Tipe IV


Merupakan hipersensitivitas granulomatosis, terjadi pada bahan yang tidak dapat
disingkirkan dari rongga tubuh seperti talkum dalam rongga peritoneum dan kolagen
sapi dari bawah kulit.

 T Cell Mediated Cytolysis


Kerusakan jaringan terjadi melalui sel CD8+/CTL/Tc yang langsung membunuh sel
sasaran.
5.1 Mekanisme

a. Fase Sensitasi
Membutuhkan waktu 1-2 minggu setelah kontak primer dengan antigen. Th diaktifkan
oleh APC melalui MHC-II. Berbagai APC (sel Langerhans / SD pada kulit dan makrofag)
menangkap antigen dan membawanya ke kelenjar limfoid regional untuk dipresentasikan
ke sel T sehingga terjadi proliferasi sel Th1 (umumnya).

b. Fase Efektor
Pajanan ulang dapat menginduksi sel efektor sehingga mengaktifkan sel Th1 dan melepas
sitokin yang menyebabkan :
- Aktifnya sistem kemotaksis dengan adanya zat kemokin (makrofag dan sel inflamasi).
Gejala biasanya muncul nampak 24 jam setelah kontak kedua.
- Menginduksi monosit menempel pada endotel vaskular, bermigrasi ke jaringan sekitar.
- Mengaktifkan makrofag yang berperan sebagai APC, sel efektor, dan menginduksi sel
Th1 untuk reaksi inflamasi dan menekan sel Th2.
Mekanisme kedua reaksi adalah sama, perbedaannya terletak pada sel T yang
teraktivasi. Pada Delayed Type Hypersensitivity Tipe IV, sel Th1 yang teraktivasi dan
pada T Cell Mediated Cytolysis, sel Tc/CTL/ CD8+ yang teraktivasi.
Granuloma terbentuk pada : TB, Lepra, Skistosomiasis, Lesmaniasis dan Sarkoidasis .

5.2 Manifestasi
 Dematitis kontak
Merupakan penyakit CD8+ yang terjadi akibat kontak dengan bahan yang tidak berbahaya
seperti formaldehid, nikel, bahan aktif pada cat rambut (contoh reaksi DTH).

 Hipersensitivitas tuberkulin
Bentuk alergi spesifik terhadap produk filtrat (ekstrak/PPD) biakan Mycobacterium
tuberculosis yang apabila disuntikan ke kulit (intrakutan), akan menimbulkan reaksi ini
berupa kemerahan dan indurasi pada tempat suntikan dalam 12-24 jam. Pada individu yang
pernah kontak dengan M. tuberkulosis, kulit akan membengkak pada hari ke 7-10 pasca
induksi. Reaksi ini diperantarai oleh sel CD4+.

 Reaksi Jones Mote


Reaksi terhadap antigen protein yang berhubungan dengan infiltrasi basofil yang mencolok
pada kulit di bawah dermis, reaksi ini juga disebut sebagai hipersensitivitas basofil kutan.
Reaksi ini lemah dan nampak beberapa hari setelah pajanan dengan protein dalam jumlah
kecil, tidak terjadi nekrosis jaringan. Reaksi ini disebabkan oleh suntikan antigen larut
(ovalbumin) dengan ajuvan Freund.

 Penyakit CD8+ ( T cell mediated cytolysis )


Kerusakan jaringan terjadi melalui sel CD8+/CTL/Tc yang langsung membunuh sel
sasaran. Penyakit ini terbatas pada beberapa organ saja dan biasanya tidak sistemik, contoh
pada infeksi virus hepatitis.

Contoh mekanisme reaksi hipersensitivitas tipe IV :


Reaksi pada infeksi parasit dan bakteri intrasel
a. DTH mengaktifkan influks makrofag pada infeksi yang tidak dapat ditemukan oleh
antibodi.
b. Makrofag melepaskan enzim litik yang menyebabkan kerusakan jaringan.
c. Bila enzim litik terus diproduksi dapat mengakibatkan reaksi granulomatosis yang
akan menyebabkan nekrosis pada jaringan yang dapat mengenai jaringan
pembuluh darah.

Respon pada infeksi M. tuberkulosis


a. Bakteri mengaktifkan respon DTH yang selanjutnya mengaktifkan makrofag yang
merangsang isolasi kuman dalam lesi granuloma (tuberkulin)
b. Tuberkulin akan melepaskan enzim litik yang akan merusak jaringan paru-paru dan
menimbulkan nekrosis jaringan.

Granuloma terbentuk pada :


a. TB
b. Lepra
c. Skistosomiasis
d. Lesmaniasis
e. Sarkoidasis

6.MM anti-histamin dan kortikosteroid


6.1 Definisi
Kortikosteroid adalah hormon kelas steroid yang dihasilkan di korteks adrenal.
Kortikosteroid terlibat dalam berbagai sistem fisiologis seperti respon stres, respon imun dan
regulasi inflamasi, metabolisme karbohidrat, katabolisme protein, kadar elektrolit darah, dan
tingkah laku.Kortikosteroid bekerja dengan mempengaruhi kecepatan sintesis protein. Molekul
hormon memasuki sel melewati membran plasma secara difusi pasif.

6.2 Farmakodinamik
- Kortikosteroid mempengaruhi metabolisme karbohidrat, protein, dan lemak.selain itu
juga mempengaruhi fungsi sistem kardiovaskular, ginjal, otot lurik, sistem saraf dan
organ lain.
- Dalam klinik umumnya kortikosteroid dibedakan menjadi dua golongan besar yaitu
glukokortikoid dan mineralokortikoid.
 Efek utama glukokortikoid ialah pada penyimpanan glikogen hepar dan efek anti-
inflamasi, sedangkan pengaruhnya pada keseimbangan air dan elektrolit kecil.
Contohnya adalah kortisol.
 Efek pada mineralokortikoid ialah terhadap keseimbangan air dan elektrolit,
sedangkan pengaruhnya pada penyimpanan glikogen hepar sangat kecil.
Contohnya adalah aldosteron atau desoksikortikosteron.
- Sediaan kortikosteroid dapat dibedakan menjadi 3 golongan berdasarkan massa
kerjanya.
 Sediaan kerja singkat mempunyai masa paruh biologis kurang dari 12 jam.
 Sediaan kerja sedang mempunyai masa paruh biologis antara 12-36 jam.
 Sediaan kerja lama mempunyai masa paruh biologis lebih dari 36 jam.

- Efek kortikosteroid kebanyakan berhubungan dengan besarnya dosis, makin besar


dosis, makin besar dosis terapi makin besar efek yang didapat. Mekanismenya adalah
melalui pengaruh steroid terhadap pembentukan protein yang mengubah respons
jaringan terhadap hormon lain.

6.3Farmakokinetik
-Perubahan struktur kimia sangat mempengaruhi kecepatan absorpsi, mulai kerja dan lama
kerja karena juga mempengaruhi afinitas terhadap reseptor dan ikatan protein.
-Kortisol dan analog sintetiknya pada pemberian oral diabsorpsi cukup baik. Untuk mencapai
kadar tinggi sebaiknya diberikan secara IV, untuk mendapatkan efek yang lama kortisol dan
esternya diberikan secara IM. Perubahan struktur kimia sangat mempengaruhi kecepatan
absorpsi, mula kerja dan lama kerja karena juga mempengaruhi afinitas terhadap reseptor, dan
ikatanprotein. Prednison adalah prodrug yang dengan cepat diubah menjadi prednisolon bentuk
aktifnya dalam tubuh.
-Glukokortikoid dapat di absorpsi melalui kulit, sakus konjungtiva dan ruang
-sinovial. Penggunaan jangka panjang atau pada daerah kulit yang luas dapat
-menyebabkan efek sistematik, antara lain supresi korteks adrenal.

6.4 Efek samping


Berikut efek samping kortikosteroid sistemik secara umum.
1. Saluran cerna Hipersekresi asam lambung, mengubah proteksi gaster,
ulkus peptikum/perforasi, pankreatitis, ileitis regional,
kolitis ulseratif.
2. Otot Hipotrofi, fibrosis, miopati panggul/bahu

3. Susunan saraf pusat Perubahan kepribadian (euforia, insomnia, gelisah,


mudah tersinggung, psikosis, paranoid, hiperkinesis,
kecendrungan bunuh diri), nafsu makan bertambah
4. Tulang Osteoporosis,fraktur, kompresi vertebra, skoliosis,
fraktur tulang panjang.
5. Kulit Hirsutisme, hipotropi, strie atrofise, dermatosis
akneiformis, purpura, telangiektasis
6. Mata Glaukoma dan katarak subkapsular posterior

7. Darah Kenaikan Hb, eritrosit, leukosit dan limfosit

8. Pembuluh darah Kenaikan tekanan darah

9. Kelenjar Atrofi, tidak bisa melawan stres


adrenal bagian
kortek

10. Metabolisme Kehilangan protein (efek katabolik), hiperlipidemia,gula


Protein dan meninggi, obesitas, buffao hump, perlemakan hati.
Karbohidrat

11. Elektrolit Retensi Na/air, kehilangan kalium (astenia, paralisis,


tetani, aritmia kor)

12. Sistem Menurun, rentan terhadap infeksi, reaktivasi Tb dan


immunitas herpes simplek, keganasan dapat timbul.

6.5 Kontraindikasi

MERK DAGANG

Methylprednisolone, Carmeson, Cortesa, Depo Medrol, Flameson, Hexilon, Indrol, Intidrol,


Lexcomet, Medixon, Medrol, Meproson, Metasolon, Methylon

KANDUNGAN

Methylprednisolone / Metilprednisolon.

INDIKASI

 Artritis reumatoid,
 Bursitis (radang kandung sega) akut dan subakut,
 Dermatitis eksfoliatif,
 Rinitis alerigka,
 Asma bronkhial,
 Dermatitis kontak,
 Konjungtivitis alergika (radang selaput ikat mata karena alergi).

KONTRA INDIKASI

 Infeksi jamur sistemik, imunisasi.


 Menyusui.

Anda mungkin juga menyukai