Anda di halaman 1dari 24

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang


Penyakit Paru Obstruksi Kronik ( PPOK ) adalah suatu penyakit yang ditandai dengan
adanya obstruksi aliran udara yang disebabkan oleh bronkitis kronis atau empisema.
Obstruksi aliran udara pada umumnya progresif kadang diikuti oleh hiperaktivitas jalan
nafas dan kadangkala parsial reversibel, sekalipun empisema dan bronkitis kronis harus
didiagnosa dan dirawat sebagai penyakit khusus, sebagian besar pasien PPOK mempunyai
tanda dan gejala kedua penyakit tersebut. Sekitar 14 juta orang Amerika terserang PPOK
dan Asma sekarang menjadi penyebab kematian keempat di Amerika Serikat. Lebih dari
90.000 kematian dilaporkan setiap tahunnya. Rata-rata kematian akibat PPOK meningkat
cepat, terutama pada penderita laki-laki lanjut usia. Angka penderita PPOK di Indonesia
sangat tinggi.
Banyak penderita PPOK datang ke dokter saat penyakit itu sudah lanjut. Padahal,
sampai saat ini belum ditemukan cara yang efisien dan efektif untuk mendeteksi PPOK.
Menurut Dr Suradi, penyakit PPOK di Indonesia menempati urutan ke-5 sebagai penyakit
yang menyebabkan kematian. Sementara data dari Organisasi Kesehatan Dunia (WHO)
menyebutkan, pada tahun 2010 diperkirakan penyakit ini akan menempati urutan ke-4
sebagai penyebab kematian. "Pada dekade mendatang akan meningkat ke peringkat ketiga.
Dan kondisi ini tanpa disadari, angka kematian akibat PPOK ini makin meningkat.
Oleh karena itu penyakit PPOK haruslah mendapatkan pengobatan yang baik dan
terutama perawatan yang komprehensif, semenjak serangan sampai dengan perawatan di
rumah sakit. Dan yang lebih penting adalah perawatan untuk memberikan pengetahuan dan
pendidikan kepada pasien dan keluarga tentang perawatan dan pencegahan serangan
berulang pada pasien PPOK di rumah.

1.2. Tujuan
1. Mengetahui pengertian PPOK
2. Mengetahui etiologi dan manifestasi klinis PPOK
3. Memahami klasifikasi PPOK
4. Mengetahui komplikasi dan penatalaksanaan PPOK

1.3. Manfaat
1) Bagi Penulis
Sebagai sumber reverensi mengenai asuhan keperawatan PPOK
2) Bagi Mahasiswa
Sebagai sumber pedoman dalam memahami penyakit PPOK
3) Bagi Dosen
Dapat menjadi referensi bagi dosen terkait dengan penyakit PPOK
BAB II
TINJAUAN TEORI

2.1 Definisi
Penyakit paru obstruktif kronis (PPOK) merupakan suatu kelainan dengan ciri-ciri
adanya keterbatasan aliran udara yang tidak sepenuhnya reversible (Lyndon Saputra, 2010).
Pada klien PPOK paru-paru klien tidak dapat mengembang sepenuhnya dikarenakan
adanya sumbatan dikarenakan sekret yang menumpuk pada paru-paru.
PPOK adalah penyakit paru kronik dengan karakteristik adanya hambatan aliran udara
di saluran napas yang bersifat progresif nonreversibel atau reversibel parsial, serta adanya
respons inflamasi paru terhadap partikel atau gas yang berbahaya (GOLD, 2009). Selain itu
menurut Arita Murwani (2011) Penyakit Paru Obstruktif Kronis (PPOK) merupakan satu
kelompok penyakit paru yang mengakibatkan obstruksi yang menahun dan persisten dari
jalan napas di dalam paru, yang termasuk dalam kelompok ini adalah : bronchitis,
emfisema paru, asma terutama yang menahun, bronkiektasis.
PPOK / COPD (CRONIC OBSTRUCTION PULMONARY DISEASE) merupakan
istilah yang sering digunakan untuk sekelompok penyakit paru yang berlangsung lama dan
ditandai oleh peningkatan resistensi terhadap aliran udara sebagai gambaran patofisiologi
utamanya (Price, Sylvia Anderson : 2005). Sedangkan menurut T.M.Marrelli, Deborah
S.Harper (2008), Penyakit Paru Obstruktif Kronis (PPOK) adalah suatu kondisi kronis yang
berkaitan dengan sekelompok penyakit : emfisema, asma dan bronchitis.
Dari beberapa pengertian di atas penulis dapat menyimpulkan bahwa penyakit paru
obstruktif kronis adalah suatu kelainan penyakit paru dengan ciri-ciri adanya keterbatasan
udara yang mengakibatkan obstruksi yang menahun dan persisten dari jalan napas di dalam
paru, yang termasuk dalam kelompok ini adalah : bronkhitis kronis, asma dan emfisema.

2.2 Etiologi
Faktor – faktor yang menyebabkan timbulnya Penyakit Paru Obstruksi Kronis
menurut Brashers (2007) adalah :
a. Merokok merupakan > 90% resiko untuk PPOK dan sekitar 15% perokok menderita
PPOK. Beberapa perokok dianggap peka dan mengalami penurunan fungsi paru
secara cepat. Pajanan asap rokok dari lingkungan telah dikaitkan dengan penurunan
fungsi paru dan peningkatan resiko penyakit paru obstruksi pada anak.
b. Terdapat peningkatan resiko PPOK bagi saudara tingkat pertama perokok. Pada
kurang dari 1% penderita PPOK, terdapat defek gen alfa satu antitripsin yang
diturunkan yang menyebabkan awitan awal emfisema.
c. Infeksi saluran nafas berulang pada masa kanak – kanak berhubungan dengan
rendahnya tingkat fungsi paru maksimal yang bisa dicapai dan peningkatan resiko
terkena PPOK saat dewasa. Infeksi saluran nafas kronis seperti adenovirus dan
klamidia mungkin berperan dalam terjadinya PPOK.
d. Polusi udara dan kehidupan perkotaan berhubungan dengan peningkatan resiko
morbiditas PPOK.
2.3 Manifestasi Klinis
Manifestasi klinis pada pasien dengan Penyakit Paru Obstruksi Kronis menurut
Reeves (2001) adalah :
Perkembangan gejala-gejala yang merupakan ciri dari PPOK adalah malfungsi
kronis pada sistem pernafasan yang manifestasi awalnya ditandai dengan batuk-batuk dan
produksi dahak khususnya yang makin menjadi di saat pagi hari. Nafas pendek sedang yang
berkembang menjadi nafas pendek akut. Batuk dan produksi dahak (pada batuk yang
dialami perokok) memburuk menjadi batuk persisten yang disertai dengan produksi dahak
yang semakin banyak.
Biasanya pasien akan sering mengalami infeksi pernafasan dan kehilangan berat
badan yang cukup drastis, sehingga pada akhirnya pasien tersebut tidak akan mampu secara
maksimal melaksanakan tugas-tugas rumah tangga atau yang menyangkut tanggung jawab
pekerjaannya. Pasien mudah sekali merasa lelah dan secara fisik banyak yang tidak mampu
melakukan kegiatan sehari-hari.
Selain itu pada pasien PPOK banyak yang mengalami penurunan berat badan yang
cukup drastis, sebagai akibat dari hilangnya nafsu makan karena produksi dahak yang
makin melimpah, penurunan daya kekuatan tubuh, kehilangan selera makan (isolasi sosial)
penurunan kemampuan pencernaan sekunder karena tidak cukupnya oksigenasi sel dalam
sistem (GI) gastrointestinal. Pasien dengan PPOK lebih membutuhkan banyak kalori karena
lebih banyak mengeluarkan tenaga dalam melakukan pernafasan.

2.4 Patofisiologi
Saluran napas dan paru berfungsi untuk proses respirasi yaitu pengambilan oksigen
untuk keperluan metabolisme dan pengeluaran karbondioksida dan air sebagai hasil
metabolisme. Proses ini terdiri dari tiga tahap, yaitu ventilasi, difusi dan perfusi. Ventilasi
adalah proses masuk dan keluarnya udara dari dalam paru. Difusi adalah peristiwa
pertukaran gas antara alveolus dan pembuluh darah, sedangkan perfusi adalah distribusi
darah yang sudah teroksigenasi. Gangguan ventilasi terdiri dari gangguan restriksi yaitu
gangguan pengembangan paru serta gangguan obstruksi berupa perlambatan aliran udara di
saluran napas. Parameter yang sering dipakai untuk melihat gangguan restriksi adalah
kapasitas vital (KV), sedangkan untuk gangguan obstruksi digunakan parameter volume
ekspirasi paksa detik pertama (VEP1), dan rasio volume ekspirasi paksa detik pertama
terhadap kapasitas vital paksa (VEP1/KVP) (Sherwood, 2001).
Faktor risiko utama dari PPOK adalah merokok. Komponen-komponen asap rokok
merangsang perubahan pada sel-sel penghasil mukus bronkus. Selain itu, silia yang
melapisi bronkus mengalami kelumpuhan atau disfungsional serta metaplasia. Perubahan-
perubahan pada sel-sel penghasil mukus dan silia ini mengganggu sistem eskalator
mukosiliaris dan menyebabkan penumpukan mukus kental dalam jumlah besar dan sulit
dikeluarkan dari saluran napas. Mukus berfungsi sebagai tempat persemaian
mikroorganisme penyebab infeksi dan menjadi sangat purulen. Timbul peradangan yang
menyebabkan edema jaringan. Proses ventilasi terutama ekspirasi terhambat. Timbul
hiperkapnia akibat dari ekspirasi yang memanjang dan sulit dilakukan akibat mukus yang
kental dan adanya peradangan (GOLD, 2009).
Komponen-komponen asap rokok juga merangsang terjadinya peradangan kronik pada
paru.Mediator-mediator peradangan secara progresif merusak struktur-struktur penunjang
di paru. Akibat hilangnya elastisitas saluran udara dan kolapsnya alveolus, maka ventilasi
berkurang. Saluran udara kolaps terutama pada ekspirasi karena ekspirasi normal terjadi
akibat pengempisan (recoil) paru secara pasif setelah inspirasi. Dengan demikian, apabila
tidak terjadi recoil pasif, maka udara akan terperangkap di dalam paru dan saluran udara
kolaps (GOLD, 2009).
Berbeda dengan asma yang memiliki sel inflamasi predominan berupa eosinofil,
komposisi seluler pada inflamasi saluran napas pada PPOK predominan dimediasi oleh
neutrofil. Asap rokok menginduksi makrofag untuk melepaskan Neutrophil Chemotactic
Factors dan elastase, yang tidak diimbangi dengan antiprotease, sehingga terjadi kerusakan
jaringan (Kamangar, 2010). Selama eksaserbasi akut, terjadi perburukan pertukaran gas
dengan adanya ketidakseimbangan ventilasi perfusi. Kelainan ventilasi berhubungan
dengan adanya inflamasi jalan napas, edema, bronkokonstriksi, dan hipersekresi
mukus.Kelainan perfusi berhubungan dengan konstriksi hipoksik pada arteriol
(Chojnowski, 2003).
2.5 Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan diagnostik untuk pasien dengan Penyakit Paru Obstruksi Kronis menurut
Doenges (2012) antara lain :
a. Sinar x dada dapat menyatakan hiperinflasi paru-paru, mendatarnya diafragma,
peningkatan area udara retrosternal, penurunan tanda vaskularisasi atau bula
(emfisema), peningkatan tanda bronkovaskuler (bronkhitis), hasil normal selama
periode remisi (asma).
b. Tes fungsi paru untuk menentukan penyebab dispnea, untuk menentukan apakah
fungsi abnormal adalah obstruksi atau restriksi, untuk memperkirakan derajat
disfungsi dan untuk mengevaluasi efek terapi misalnya bronkodilator.
c. Peningkatan pada luasnya bronkhitis dan kadang-kadang pada asma, penurunan
emfisema.
d. Kapasitas inspirasi menurun pada emfisema.
e. Volume residu meningkat pada emfisema, bronchitis kronis dan asma.
f. Forced Expiratory Volume (FEV1) atau FVC. Rasio volume ekspirasi kuat dengan
kapasitas vital kuat menurun pada bronchitis dan asma.
g. Analisa Gas Darah (AGD) memperkirakan progresi proses penyakit kronis misalnya
paling sering PaO2 menurun, dan PaCO2 normal atau meningkat (bronkhitis kronis
dan emfisema) tetapi sering menurun pada asma, pH normal atau asidosis, alkalosis
respiratorik ringan sekunder terhadap hiperventilasi (emfisema sedang atau asma).
h. Bronkogram dapat menunjukkan dilatasi silindris bronkus pada inspirasi, kolaps
bronkhial pada ekspirasi kuat (emfisema), pembesaran duktus mukosa yang terlihat
pada bronkus.
i. Hemoglobin meningkat (emfisema luas), peningkatan eosinofil (asma).
j. Kimia darah antara lain alfa satu antitripsin dilakukan untuk meyakinkan defisiensi
dan diagnosa emfisema primer.
k. Sputum, kultur untuk menentukan adanya infeksi, mengidentifikasi patogen,
pemeriksaan sitolitik untuk mengetahui keganasan atau gangguan alergi.
l. Elektrokardiogram (EKG). Deviasi aksis kanan, peninggian gelombang P (asma
berat), disritmia atrial (bronchitis), peninggian gelombang P pada lead II, III, AVF
(bronchitis, emfisema), aksis vertikal QRS (emfisema).
m. Elaktrokardiogram (EKG) latihan, tes stress membantu dalam mengkaji derajat
disfungsi paru, mengevaluasi keefektifan terapi bronkodilator, perencanaan atau
evaluasi program latihan.

2.6 Komplikasi
Komplikasi Penyakit Paru Obstruksi Kronis menurut Mansjoer (2002) adalah infeksi
nafas yang berulang, pneumotoraks spontan, eritrositosis karena keadaan hipoksia kronik,
gagal nafas dan kor pulmonal.
Reeves (2001) menambahkan komplikasi pernafasan utama yang bisa terjadi pada
pasien dengan Penyakit Paru Obstruksi Kronis yaitu gagal nafas akut (Acute Respiratory
Failure), pneumotoraks dan giant bullae serta ada satu komplikasi kardiak yaitu penyakit
cor-pulmonale.

2.7 Penatalaksanaan
Penatalaksanaan pada pasien dengan Penyakit Paru Obstruksi Kronis menurut
Mansjoer (2002) adalah :
1. Pencegahan yaitu mencegah kebiasaan merokok, infeksi, polusi udara.
2. Terapi eksasebrasi akut dilakukan dengan :
a. Antibiotik, karena eksasebrasi akut biasanya disertai infeksi. Infeksi ini
umumnya disebabkan oleh H. Influenzae dan S. Pneumonia, maka digunakan
ampisillin 4 x 0,25-0,5 g/hari atau eritromisin 4 x 0,5 g/hari.
b. Augmentin (amoksisilin dan asam kluvanat) dapat diberikan jika kuman
penyebab infeksinya adalah H. Influenzae dan B. Catarhalis yang
memproduksi beta laktamase.
c. Pemberian antibiotik seperti kotrimoksasol, amoksisilin, atau doksisilin pada
pasien yang mengalami eksasebrasi akut terbukti mempercepat penyembuhan
dam membantu mempercepat kenaikan peak flow rate. Namun hanya dalam
7-10 hari selama periode eksasebrasi. Bila terdapat infeksi sekunder atau
tanda-tanda pneumonia, maka dianjurkan antibiotic yang lebih kuat.
d. Terapi oksigen diberikan jika terdapat kegagalan pernafasan karena
hiperkapnia dan berkurangnya sensitivitas terhadap CO2.
e. Fisioterapi membantu pasien untuk mengeluarkan sputum dengan baik.
f. Bronkodilator untuk mengatasi, termasuk didalamnya golongan adrenergik.
Pada pasien dapat diberikan salbutamol 5 mg dan atau ipratorium bromide
250 mikrogram diberikan tiap 6 jam dengan nebulizer atau aminofilin 0,25-0,5
g iv secara perlahan.
3. Terapi jangka panjang dilakukan dengan :
a. Antibiotik untuk kemoterapi preventif jangka panjang, ampisillin 4 x 0,25-
0,5/hari dapat menurunkan kejadian eksasebrasi akut.
b. Bronkodilator, tergantung tingkat reversibilitas obstruksi saluran nafas tiap
pasien maka sebelum pemberian obat ini dibutuhkan pemeriksaan obyektif
dari fungsi faal paru.
c. Fisioterapi.
d. Latihan fisik untuk meningkatkan toleransi aktivitas fisik.
e. Mukolitik dan ekspektoran.
f. Terapi jangka penjang bagi pasien yang mengalami gagal nafas tipe II dengan
PaO2<7,3kPa (55 mmHg).
g. Rehabilitasi, pasien cenderung menemui kesulitan bekerja, merasa sendiri dan
terisolasi, untuk itu perlu kegiatan sosialisasi agar terhindar dari depresi.
Rehabilitasi pada pasien dengan penyakit paru obstruksi kronis adalah
fisioterapi, rehabilitasi psikis dan rehabilitasi pekerjaan.
2.8 Asuhan Keperawatan
2.8.1 Pengkajian
1. Biodata
Penyakit PPOK (Asma bronkial) terjadi dapat menyerang seagala usia tetapi
lebih sering di jumpai pada usia dini. Separuh kasus timbul sebelum usia 10
tahun dan sepertiga kasus lainnya terjadi sebelum usia 40 tahun. Predisposisi
laki-laki dan perempuan di usia dini sebesar 2:1 yang kemudian sama pada usia
30 tahun.
2. Riwayat kesehatan
 Keluhan utama
Keluhan utama yang timbul pada klien dengan sama bronkial adalah dispnea
(bias sampai berhari-hari atau berbulan-bulan),batuk,dan mengi (pada
beberapa kasus lebih banyak paroksismal).
 Riwayat kesehatan dahulu
Terdapat data yang menyatakan adanya faktor predisposisi timbulnya
penyakit ini, di antaranya adalah riwyat alergi dan riwayat penyakit saluran
napas bagian bawah ( rhinitis, urtikaria, dan eksim).
 Riwayat kesehatan keluarga
Klien dengan asma bronkial sering kali di dapatkan adanya riwayat
penyaakit keturunan, tetapi pada beberapa klien lainnya tidak di temukan
adanya penyakit yang sama pada anggota keluarganya.
3. Pengkajian diagnostic COPD
 Chest X- Ray :dapat menunjukkan hyperinflation paru, flattened diafragma,
peningkatan ruangan udara retrosternal, penurunan tanda vascular / bullae (
emfisema ), peningkatan suara bronkovaskular ( bronchitis ), normal
ditemukan saat periode remisi ( asma ).
 Pemeriksaan fungsi paru : dilakukan untuk menentukan penyebab dispnea,
menentukan abnormalitas fungsi tersebut apakah akibat obstruksi atau
restriksi, memperkirakan tingkat disfungsi, dan mengevaluasi efek dari
terapi, misalnya bronkodilator.
 Total lung capacity (TLC ) : meningkat pada bronkitis berat dan biasanya
pada asma, namun menurun pada emfisema.
 Kapasitas inspirasi : menurun pada emfisema.
 FEV1/FVC : rasio tekanan volume ekspirasi ( FEV ) terhadap tekanan
kapasitas vital ( FVC ) menurun pada bronkitis dan asma.
 Arterial blood gasses (ABGs) : menunjukan prose penyakit kronis, sering
kali PaO2 menurun dan PaCO2 normal atau meningkatkan ( bronkitis kronis
dan emfisema ), terapi sering kali menurun pada asma, Ph normal atau
asidosis, alkalosis respiratori ringan sekunder terhadap hiperventilasi (
emfisema sedang atau asma).
 Bronkogram : dapat menunjukkan dilatasi dari bronki saat inspirasi, kolabs
bronkial pada tekanan ekspirasi( emfisema ), pembesaran kelenjar mucus(
brokitis).
 Darah lengkap : terjadi peningkatan hemoglobin ( emfisema berat) dan
eosinophil (asma).
 Kimia darah : alpha 1-antitripsin kemungkinan kurang pada emfisema
perimer.
 Skutum kultur : untuk menentukan adanya infeksi dan mengidentifikasi
pathogen, sedangkan pemeriksaan sitologi digunakan untuk menentukan
penyakit keganasan/ elergi.
 Electrokardiogram (ECG) : diviasi aksis kanan, glombang P tinggi ( asma
berat), atrial disritmia ( bronkitis), gelombang P pada leadsII, III, dan AVF
panjang, tinggi( pada bronkitis dan efisema) , dan aksis QRS vertical
(emfisema).
 Exercise ECG , stress test :membantu dalam mengkaji tingkat disfungsi
pernafasan, mengevaluasi keektifan obat bronkodilator, dan merencanakan/
evaluasi program.
4. Pemeriksaan fisik
 Objektif
a) Batuk produktif/nonproduktif
b) Respirasi terdengar kasar dan suara mengi (wheezing) pada kedua fase
respirasi semakin menonjol.
c) Dapat disertai batuk dengan sputum kental yang sulit di keluarka.
d) Bernapas dengan menggunakan otot-otot napas tambahan.
e) Sianosis, takikardi, gelisah, dan pulsus paradoksus.
f) Fase ekspirasi memanjang diseratai wheezing( di apeks dan hilus )
g) Penurunan berat badan secara bermakna.
 Subjektif
Klien merasa sukar bernapas,sesak dan anoreksia
 Psikososial
a) Cemas, takut, dan mudah tersinggung.
b) Kurangnya pengetahuan klien terhadap situasi penyakitnnya
c) Data tambahan (medical terapi)

Intervensi dan rasional pada penyakit ini didasarkan pada konsep Nursing Intervention
Classification (NIC) dan Nursing Outcome Classification (NOC).

Diagnosis Keperawatan Perencanaan


No. (NANDA) Tujuan (NOC) Intervensi (NIC) Rasional
1. Bersihan jalan nafas Status respirasi: a. Manajemen jalan Adanya
tidak efektif kepatenan jalan napas. perubahan
berhubungan dengan nafas dengan skala b. Penurunan fungsi respirasi
 Bronkospasme. (1-5) setelah kecemasan dan penggunaan
 Peningkatan diberikan c. Aspiration otot tambahan
produksi secret perawatan precautions. menandakan
(secret yang selama…hari, d. Fisioterapi dada. kondisi penyakit
bertahan, kental) dengan kriteria: e. Latih batuk yang masih
 Menurunya  Tidak ada efektif harus
energi/fatigue demam f. Terapi oksigen. mendapatkan
 Tidak ada g. Pemberian posisi. penanganan
Ditandai dengan: cemas h. Monitoring penuh.
 Klien mengeluh  RR normal respirasi.
sulit bernafas.  Irama nafas i. Monitoring tanda Ketidakmampua
 Perubahan normal vital. n mengeluarkan
kedalaman/jumla  Pergerakan mukus
menjadikan
h napas, sputum keluar timbulnya
penggunaan otot dari jalan nafas kongesti
bantu pernafasan.  Bebas dari berlebih pada
 Suara nafas suara nafas saluran
abnormal seperti tambahan. pernapasan .
wheezing, ronchi,
dan cracles. Posisi semi/
 Batuk high fowler
(presisten)dengan memberikan
/tanpa produksi kesempatan
sputum. paru-paru
berkembang
secara maksimal
akibat diafragma
turun ke bawah.
Batuk efektif
mempermudah
ekspektorasi
mukus.

Klien dalam
kondisi sesak
cenderung untuk
bernapas
melalui mulut
yang pada
akhirnya jika
tidak
ditindaklanjuti
akan
mengakibatkan
stomatis.
2. Gangguan pertukaran Status respirasi a. Manajemen asam
gas yang berhubungan pertukaran gas basa tubuh Kelemahan,
dengan: dengan skala….(1- b. Manajemen jalan iritable, bingung
 Kurangnya suplai 5) setelah diberikan napas dan somnolen
oksigen (obstruksi perawatan c. Latihan batuk dapat
jalan napas oleh selama… hari efektif merefleksikan
secret, dengan kriteria : d. Tingkatkan adanya
bronkospasme, air  Status aktivitas hipoksemia/pen
trapping); mental e. Terapi oksigen urunan
 Destruksi alveoli dalam batas f. Monitoring oksigenasi
Ditandai dengan normal respirasi serebral.
 Dyspnea  Bernapas g. Monitoring tanda Mencegah
 Confusion,lemah; dengan vital kelelahan dan
 Tidak mampu mudah mengurangi
mengeluarkan  Tidak ada konsumsi
secret; sinosis oksigen untuk
 Nilai ABGs  Pao paco memfasilitasi
abnormal (hipoksia dalam batas resolusi infeksi.
dan hiperkapnea) normal
 Perubahan tanda  Saturnasi O Pemberian
vital dalam terapi oksigen
 Menurunya rentang untuk
toleransi terhadap normal memelihara
aktivitas PaO2 di atas 60
mmHg, oksigen
yang diberikan
sesuai dengan
toleransi dari
klien.

Untuk
mengikuti
kemajuan proses
penyakit dan
memfasilitasi
perubahan
dalam terapi
oksigen.
3 Ketidakseimbangan Status nutrisi; a. Manajemen Meningkatkan
nutrisi : intake cairan dan cairan kenyamanan
Kurang dari kebutuhan makanan gas b. Monitoring flora normal
tubuh yang berhubungan dengan skala......(1- cairan mulut, sehingga
dengan : 5) setelah diberikan c. Status diet akan
 Dispea, perawatan d. Manajemen meningkatkan
fatique selama…. Hari gangguan perasaan nafsu
 Efek dengan kriteria; makan makan.
samping  Asupan e. Manajemen
pengobatan makanan nutrisi Meningkatkan
 Produksi adekuat f. Kolaborasi intake makanan
sputum dengan skala.. dengan ahli dan nutrisi klien
 Anoreksia, (1-5) gizi untuk terutama kadar
nausea/vomit  Intake cairan memberikan protein tinggi
ing. per oral terapi nutrisi akan
Ditandai dengan adekuat, g. Konseling meningkatkan
 Penurunan dengan skala nutrisi mekanisme
berat badan …(1-5) h. Kontroling tubuh dalam
 Kehilangan  Intake cairan nutrisi proses
masa otot, adekuat dilakukan penyembuhan.
tonus otot dengan untuk
jelek skala… (1-5) memenuhi Menentukan
 Dilaporkan diet pasien. kebutuhan
adanya Status nutrisi intake i. Terapi nutrisi yang
perubahan nutrien gas dengan menelan tepat bagi klien.
sensasi rasa skala … (1-5) j. Monitoring Mengontrol
 Tidak setelah diberikan tanda vital keefektifan
bernafsu untuk perawatan k. Bantuan tindakan
makan, tidak selama… untuk terutama dengan
tertarik makan  Intake kalori peningkatan kadar protein
adekuat,denga BB darah.
n skala.. (1-5) l. Manajemen
 Intake protein, berat badan Meningkatkan
karbohidrat, komposisi tubuh
dan lemak akan kebutuhan
adekuat, vitamin dan
dengan skala nafsu makan
…(1-5) klien.

Control berat badan


dengan skala … (1-
5) setelah diberikan
perawatan selama
… hari dengan
kriteria:
 Mampu
memelihara
intake kalori
secara optimal
(1-5)
(menunjukkan)
 Mampu
memelihara
keseimbangan
cairan (1-5)
(menunjukkan)

 Mampu
mengontrol
asupan makanan
secara adekuat
(1-5)
No. Diagnosa Perencanaan
keperawatan Tujuan (NOC) Intervensi (NIC) Rasional
(NANDA)
4. Intoleransi  Berpartisipasi  Kolaborasi dengan Mengurangi stres dan
aktifitas b.d dalam aktivitas tenaga rehabilitasi stimulasi yang
ketidakseimbagan fisik tanpa medik dalam berlebihan,
antara suplai dan disertai merencanaakan meningkatkan istirahat
kebutuhan peningkatan program terapi
oksigen. darah, nadi dan yang tepat Klien mungkin merasa
RR.  Bantu klien untuk nyaman dalam kepala
 Mampu mengidentifikasi dalam keadaan evalasi,
melakukan aktivitas yang tidur di kursi atau
aktivitas sehari- mampu dilakukan. istiirahat pada meja
hari (ADLs)  Bantu utuk dengan bantuan bantal
secara mandiri. memilih aktivitas
 Tanda-tanda yang sesuai Meminimalkan kelelahn
vital normal. dengan dan menolong
 Energi kemampuan fisik, menyeimbangkan suplai
psikomotor. sosial dan oksigen dan kebutuhan.
 Level psikologi.
kelemahan.  Bantu utuk
 Mampu mengidetifikasi
berpindah: dan mendapatkan
dengan atau sumber yang
menggunakan diperlukan untuk
alat. aktivitas yang
 Status diinginkan
kardiopulmoari  Bantu klien untuk
adekuat. mendapatkan alat
 Sirkulasi status bantuan aktivitas
baik. seperti kursi roda,
 Status respirasi: krek
pertukara gas da  Bantu untuk
vetilasi adekuat. mengidentifikasi
aktivitas yang
disukai
 Bantu klien
membuat jadwal
latihan diwaktu
luang
 Bantu
pasien/keluarga
untuk
mengidentifikasi
kekurangan dalam
beraktivitas
 Sediakan
penguatan positif
bagi yang aktif
beraktivitas
 Bantu pasien
untuk
mengembangkan
motivasi diri dan
penguatan
 Monitor respon
fisik,emosi, sosial
dan spiritual.
5. Risiko tinggi  Tidak muncul  Monitor vital sign,  Selama peride ini,
penyebaran infeksi tanda tanda terutama pada potensial
yang b.d penyakit infeksi proses terapi. berkembang menjadi
kronis . sekunder.  Demonstrasikan komplikasi yang
 Klien dapat teknik mencuci lebih fatal( hipotensi
mendemonstrasi yang benar. / shock ).
kan kegiatan  Ubah posisi dan  Sangat efektif untuk
untuk berikan pulmonari mengurangi
menghindarkan toilet yang baik. penyebaran infeksi .
infeksi.  Batasi pengunjung  Meningkatkan
atas indikasi. ekspektorasi,
 Lakukan isolasi membersihkan dari
sesuai dengan infeksi.
kebutuhan  Mengurangi paparan
individual. dengan organisme
 Anjurkan untuk patogen lain.
istirahat secara  Isolasi mungkin
adekuat sebanding dapat mencegah
dengan aktifitas, penyebaran atau
tingkatkan intake memproteksi klien
nutrisi secara dari proses infeksi
adekuat. lainya.
 Memvasilitasi
proses pengembuhan
dan meningkatkan
pertahanan tubuh
alami.
2.9 Study Kasus

Tn.R, 68 thn, dating ke IGD dengan keluhan pusing, sesk napas dan batuk riwayat
penyakit sekrang: 1 bulan terakhir tiap pagi batuk-batuk sampai dahak keluar semua. Sesak
napas bila menaiki tangga. 2 hari terakhir, pasien mengeluh demam, batuk, pilek, pusing,
dan sesak napas. Berdasarkan anamnesia dan pemeriksaan spirometri dan foto thoraks,
diagnose yang di tegakkan klinis/ dokter adalah PPOK st III.

Terapi yang diberikan:

Oksigen, setelah stabil, terapi yang di berikan adalah: codein 10 mg po 3x1 dan seretide
MDI tiap 6 jam tanda-tanda vital saat pasien MRS: suhu 38,5oC, TD 140/90 mmHg, Nadi
100/menit,RR 25x/menit

A. Pengkajian
I. Identitas pasien
Nama = Tn. R
Umur = 60 th
II. Riwaya penyakit sekarang
Keluhan utama = pusing, sesak nafas, batuk
Riwayat penyakit sekarang = 1 bulan terakhir tiap pagi batuk-batuk sampai dahak
keluar semua, sesak nafas bila menaiki tangga
III. Riwayat penyakit dahulu
2 hari terakhir pasien mengeluh demam, batuk pilek, pusing ,sesak nafas
IV. Pemeriksaan fisik
TTV=
T= 38,5 °C
P= 100 x/m
RR= 25 x/m
BP= 140/90 mmHg
V. Pemeriksaan penunjang
Pemeriksaan spirometri dan foto thorax (+) PPOK ST III
VI. Terapi yang di dapat
Oksigen, setelah stabil, terapi yang diberikan codein 10 mg po 3x1 dan seretide
MDI tiap 6 jam

B. Diagnosa
I. Analisis data
No Data Etiologi Problem
1. Ds : Klien mengatakan pusing, Peningkatan Bersihan jalan
sesak nafas, batuk. produksi sputum. napas tidak efektif.

Do: 1 bulan terakhir tiap pagi


batuk- sampai dahak keluar
semua, RR
25 x/menit.
2. Ds : 2 hari terakhir pasien Penyakit kronis Resiko tinggi
mengeluh demam, batuk, pilek, penyebaran infeksi
pusing, dan sesak nafas.

Do : pemeriksaan spirometri dan


foto thorax diagnosa PPOK St
III suhu : 38,5 °C, TD : 140/
90 mmHg, nadi : 100 x/menit
3. Ds : pasien mengeluh demam Penyakit Hipertemia
Do : suhu 38,50C , RR 25 x/menit ,
nadi 100 x/menit, TD 140/ 90
mmHg
4. Ds : sesak nafas bila menaiki Ketidakseimbangan Intoleransi aktivitas
tangga. antara suplai dan
Do : Nadi 100x/m, RR 25x/m, kebutuhan oksigen
5. Ds : 2 hari terakhir pasien Hiperventilasi Ketidakefektifan
mengeluh sesak nafas. pola nafas
Do : Nadi 100x/m, RR 25x/m,

Berdasarkan analisa data tersebut, dapat disimpulkan diagnosa keperawatan diantaranya:

1. Bersihan jalan nafas tidak efektif b.d peningkatan produksi sputum


2. Ketidakefektifan pola napas b.d hiperventilasi
3. Hipertermia b.d penyakit
4. Intoleransi aktivitas b.d Ketidakseimbangan antara suplai dan kebutuhan oksigen.
5. Resiko tinggi penyebaran inferksi b.d penyakit kronis.

C. Intervensi dan implementasi


No Diagnosa Intervensi Implementasi
1. Bersihan jalan napas tidak  Posisikan pasien  Memberikan posisi
efektif b.d peningkatan untuk fowler atau semi fowler
produksi sputum memaksimalkan  Menghitung respirasi
ventilasi. setiap 3 jam sekali
Kriteria hasil :  Monitor respirasi  Memberikan obat
 Secara verbal tidak ada dan status O2. ipratropium bromida dg
keluhan sesak  Kolaborasi dalam dosis 20mcg 2 hirup 3-
 tidak ada batuk dan pemberian 4 kali per hari.
jumlah sputum normal pengobatan atas  Mengajarkan klien
 jumlah pernafasan dalam indikasi. menahan dada dan
batas normal sesuai usia bronkodilator batuk efektif dalam
 Demonstrasikan atau posisi tegak lurus.
bantu klien
melakukan latihan
napas dalam.

2. Ketidak efektifan pola napas  Posisikan pasien  Memberikan posisi


b.d hiperventilasi. untuk fowler atau semi fowler
memaksimalkan  Menghitung frekuensi
Kriteria hasil : ventilasi. nafas.
 Mampu batuk efektif.  Identifikasi pasien  Memberikan terapi
 Mampu bernafas perlunya ogsigenasi dengan
dengan mudah. pemasangan alat menggunakan nasal
 Frekuensi pernafasan nafas buatan. kanul.
dalam rentang normal.  Monitor respirasi
 TTV dalam rentang dan status O2.
normal.

3. Hipertermia b.d penyakit.  Kompres pasien  Memberikan kompres


Kriteria hasil: pada lipat paha dan dengan handuk di
 Suhu tubuh aksila bagian lipat paha dan
rentang normal  Monitor suhu aksila
 Nadi dan RR sesering mungkin.  Menghitung suhu
dalam rentang  Monitor tekanan setiap 2 jam sekali
normal darah, nadi dan RR  Menghitung tekanan
 Tidak ada  Kolaborasi darah, nadi dan RR
pusing pemberian cairan setiap 2 jam sekali.
intravena.  Memberikan cairan
intravena sesuai
anjuran dokter.
4. Intoleransi aktivitas b.d.  Kolaborasi dengan  Memberikan terapi
ketidakseimbangan antara tenaga rehabilitasi Oksigen dengan
suplay dan kebutuhan oksigen medik dalam kecepatan aliran 1
Kriteria hasil: merencanakan atau 2 ltr/mnt.
 Mampu mealkukan progam terapi yang  Melakukan
aktivitas sehari-hari tepat. komunikasi
secara mandiri  Bantu pasien untuk terapeutik.
 Tanda-tanda vital normal mengembangkan  Menghitung tanda
 Sirkulasi status baik motivasi diri dan tanda vital 3 jam
 Status respirasi : penguatan. sekali.
pertukaran gas dan  Monitor perubahan  Menjelaskan perlunya
ventilasi adekuat tanda tanda vital. keseimbangan
 Memberikan edukasi aktivitas dan istirahat.
untuk memenuhi
kebutuhan secara
mandiri.
5. Resiko tinggi penyebaran  Ajarkan keluarga  Menjelaskan kepada
infeksi b.d Penyakit kronis. dan pasien tanda keluarga pasien tanda
dan gejala infeksi. dan gejala infeksi
Kriteria hasil :  Monitor tanda dan  Memberikan edukasi
 Klien bebas dari tanda gejala infeksi kepada pasien berseta
dan gejala infeksi. sistemik dan lokal keluarga tentang
 Tidak munculnya  Kolaborasi dengan penyakit infeksi.
tanda-tanda infeksi dokter pemberian  memberikan
sekunder. obat anti mikroba. antibiotik.
 Klien dapat  menghitung TTV
mendemonstrasikan setiap 3 jam sekali.
kegiatan untuk
menghindarkan infeksi.

D. Evaluasi

Dx Tgl/j Tindakan Catatan perkembangan TTD


Keperawatan am Perawat
Bersihan jalan 2018  Memberikan posisi S : klien mengatakan
napas tidak fowler atau semi batuk secara efektif
efektif b.d fowler O: RR 18x/menit
peningkatan  Melakukan suction A: masalah teratasi
produksi  Menghitung respirasi P: intervensi dihentikan
sputum setiap 3 jam sekali

Ketidak 2018  Memberikan posisi S : klien mengatakan


efektifan pola fowler atau semi mampu batuk efektif dan
napas b.d fowler bernafas dengan mudah.
hiperventilasi.  Menghitung frekuensi O:
nafas. RR 19x/mnt.
 Memberikan terapi N : 80x/ mnt
ogsigenasi dengan TD : 110/90
menggunakan nasal S : 37,5 C
kanul. A : masalah teratasi
P: itervensi dihentikan
Hipertermi b.d 2018  Memberikan kompres S:klien mengatakan
penyakit dengan handuk di demam menurun
bagian lipat paha dan O: hasil suhu 37oC , RR
aksila 20x/menit, TD 120/90
 Menghitung suhu mmHg
setiap 2 jam sekali A: masalah teratasi
 Menghitung tekanan P : intervensi dihentikan
darah, nadi dan RR
setiap 2 jam sekali

Intoleransi 2018  Memberikan terapi S : klien mampu


aktivitas b.d. Oksigen dengan melakukan aktivitas
ketidakseimban kecepatan aliran 1 secara mandiri
gan antara O:
suplay dan atau 2 ltr/mnt. RR 19x/mnt.
kebutuhan  Melakukan N : 80x/ mnt
oksigen komunikasi TD : 110/90
terapeutik. S : 37,5 C
 Menghitung tanda A : masalah teratasi
tanda vital 3 jam P : intervensi dihentikan
sekali.
 Menjelaskan perlunya
keseimbangan
aktivitas dan istirahat.
Resiko tinggi 2018  Menjelaskan kepada S: klien mengatakan
penyebaran keluarga pasien tanda tidak demam,pusing,
infeksi b.d dan gejala infeksi batuk., sesak napas,
Penyakit kronis  Memberikan edukasi pilek.
kepada pasien berseta O : suhu 37ºC
keluarga tentang TD 120/80mmHg
penyakit infeksi A: masalah teratasi
P : Intervensi dihentikan
BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan

Penyakit Paru Obstruktif Kronik(PPOK) atau Chronic Obstruktif Pulmonary Disease


(COPD) merupakan suatu istilah yang sering digunakan untuk sekelompok penyakit paru-
paru yang berlangsung lama dan ditandai oleh peningkatan resistensi terhadap aliran udara
sebagai gambaran patofisiologi utamanya. Ketiga penyakit yang membentuk satu kesatuan
yang dikenal dengan COPD adalah asma bronkial, bronkitis kronis, dan emfisema paru-
paru. Sering juga penyakit ini disebut dengan Chronic Airflow Limitation (CAL) dan
Chronic Obstructive Lung Disease (COLD). Diagnosa yang utama pada penderita PPOK
yaitu Bersihan jalan napas tidak efektif b.d peningkatan produksi sputum

3.2 Saran

Sebagai perawat diharapkan mampu membuat asuhan keperawatan dengan baik


terhadap penderita penyakit saluran pernapasan terutama PPOK. Oleh karena itu, perawat
juga harus mampu berperan sebagai pendidik dalam hal ini melakukan penyuluhan ataupun
memberikan edukasi kepada pasien maupun keluarga pasien terutama mengenai tanda-
tanda, penanganan dan penceganhanya.

Anda mungkin juga menyukai