Anda di halaman 1dari 138

Substansi Kajian Kelompok Matakuliah Pengembangan

Kepribadian (MPK)
Pendidikan Kewarganegaraan
• Pengantar
• Filsafat Pancasila
• Identitas Nasional
• Negara dan Konstitusi
• Demokrasi Indonesia
• Hak dan Kewajiban Warganegara
• Hak Asasi Manusia dan Rule of Law
• Geopolitik Indonesia
• Geostrategi Indonesia
Pasal 4 angka 2 Kep Dirjen Dikti no:43/DIKTI/Kep/2006

1
BAB I

LATAR BELAKANG DAN TUJUAN SERTA DASAR HUKUM PENDIDIKAN


KEWARGANEGARAAN DI INDONESIA

1.1. Latar Belakang


Pendidikan Kewarganegaraan sebagai mata kuliah wajib di Perguruan
Tinggi merupakan mata kuliah yang dulunya bernama Pendidikan kewiraan
dan dilatarbelakangi 3 (tiga) hal yaitu :
1. Globalisasi
Pengaruh globalisasi yang disemangati liberalisme mendorong
lahirnya sistem kapitalisme di bidang ekonomi dan demokrasi liberal di
bidang politik. Dalam praktiknya sistem kapitalisme dan demokrasi liberal
yang disponsori oleh negara-negara maju seperti Amerika, mampu menggeser
tatanan dunia lama yang lokal regional menjadi tatanan dunia baru yang
bersifat global mondial. Bahkan mampu menyusup dan mempengaruhi
tatanan nilai kehidupan internal setiap bangsa di dunia. Tarik ulur yang
memicu ketegangan saat ini sedang terjadi dalam internal setiap bangsa,
antara keinginan untuk mempertahankan sistem nilai sendiri yang menjadi
identitas bangsa, dengan adanya kekuatan nilai-nilai asing yang telah dikemas
melalui teknologinya (Iriyanto Widisuseno, 2004: 4).
Sejauh mana kekuatan setiap bangsa termasuk bangsa Indonesia
untuk mengadaptasi nilai-nilai asing tersebut. Bagi negara-negara yang sedang
berkembang seperti Indonesia sangat rentan terkooptasi nilai-nilai asing yang
cenderung berorientasi praktis dan pragmatis dapat menggeser nilai-nilai dasar
kehidupan. Kecenderungan munculnya situasi semacam ini sudah mulai
menggejala di kalangan masyarakat dan bangsa Indonesia saat ini. Seperti
nampak pada sebagian masyarakat dan bahkan para elit yang sudah semakin
melupakan peran nilai-nilai dasar yang wujud kristalisasinya berupa Pancasila
dalam perbincangan lingkup ketatanegaraan atau bahkan kehidupan sehari-
hari. Pancasila sudah semakin tergeser dari perannya dalam praktik
ketatanegaraan dan produk kebijakan-kebijakan pembangunan. Praktik
penyelenggaraan ketatanegaraan dan pembangunan sudah menjauh dan
terlepas dari konsep filosofis yang seutuhnya. Eksistensi Pancasila nampak
hanya dalam status formalnya yaitu sebagai dasar negara, tetapi sebagai
sistem filosofi bangsa sudah tidak memiliki daya spirit bagi kehidupan
bermasyarakat,berbangsa dan bernegara. Sistem filosofi Pancasila sudah
rapuh. Masyarakat dan bangsa Indonesia kehilangan dasar, pegangan dan arah
pembangunan.
Perkembangan globalisasi ditandai dengan kuatnya pengaruh lembaga-
lembaga kemasyarakatan internasional, negara-negara maju yang ikut mengatur
perpolitikan, perekonomian, social budaya, dan pertahanan serta keamanan
global. Kondisi ini akan menumbuhkan berbagai konflik kepentingan, baik antar

2
negara maju dengan negara-negara berkembang maupun antarsesama negara
berkembang serta lembaga-lembaga internasional. Di samping itu, adanya isu
global yang meliputi demokratisasi, hak asasi manusia dan lingkungan hidup
turut pula memengaruhi keadaan nasional.
Globalisasi ditandai dengan pesatnya perkembangan ilmu pengetahuan
dan teknologi, khususnya di bidang informasi, komunikasi, dan transportasi
sehingga dunia menjadi transparan seolah-olah menjadi kampong sedunia tanpa
mengenal batas negara.Kondisi ini menciptakan struktur global. Kondisi ini akan
memengaruhi struktur dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara
di Indonesia.
Untuk mengantisipasi perkembangan global ini diperlukan perjuangan
nonfisik sesuai dengan profesi masing-masing yang dilandasi nilai-nilai
perjuangan bangsa Indonesia sehingga memiliki wawasan dan kesadaran
bernegara, sikap dan perilaku cinta tanah air dan mengutamakan persatuan dan
kesatuan bangsa dalam rangka bela negara demi tetap utuhnya negara Kesatuan
Republik Indonesia.
Pendidikan Kewarganegaraan merupakan usaha untuk membekali
generasi muda dengan pengetahuan dan kemampuan dasar dan berkenaan dengan
hubungan antara warganegara dengan negara serta pendidikan agar menjadi
warga negara yang dapat diandalkan oleh bangsa dan negara.

2. Indonesia tahun 1997


Dalam kurun dasa warsa terakhir ini, Indonesia mengalami percepatan
perubahan yang luar biasa. Misalnya, loncatan demokratisasi, transparansi
yang hampir membuat tak ada lagi batas kerahasiaan di negara kita, bahkan
untuk hal-hal yang seharusnya dirahasiakan.
Liberalisasi bersamaan dengan demokratisasi di bidang politik,
melahirkan sistem multi partai yang cenderung tidak efektif, pemilihan
presiden – wakil presiden secara langsung yang belum diimbangi kesiapan
infrastruktur sosial berupa kesiapan mental elit politik dan masyarakat yang
kondusif bagi terciptanya demokrasi yang bermartabat.
Kekuasaan DPR-DPRD yang sangat kuat seringkali disalahgunakan
sebagai ajang manuver kekuatan politik yang berdampak timbulnya
ketegangan-ketegangan suasana politik nasional, dan hubungan eksekutif dan
legeslatif. Pengembangan otonomi daerah berekses pada semakin
bermunculan daerah otonomi khusus, pemekaran wilayah yang kadang tidak
dilandasi asas-asas kepentingan nasional sehingga sistem ketatanegaraan dan
sistem pemerintahan terkesan menjadi ”chaos” (Siswono Yudohusodo,
2004:5).
Sewaktu Tahun 1997 kita mengalami krisis moneter, banyak kalangan
masyarakat memandang Pancasila tidak dapat mengatasi masalah krisis.
Sebagian lagi masyarakat menganggap bahwa Pancasila merupakan alat
legitimasi kekuasaan Orde Baru. Segala titik kelemahan pada Orde Baru linier

3
dengan Pancasila. Akibat yang timbul dari kesalahan pemahaman tentang
Pancasila ini sebagian masyarakat menyalahkan Pancasila, bahkan anti
Pancasila. Kenyataan semacam ini sekarang sedang menggejala pada sebagian
masyarakat Indonesia. Kesalahan pemahaman (epistemologis) ini menjadikan
masyarakat telah kehilangan sumber dan sarana orientasi nilai.Disorientasi
nilai dan distorsi nasionalisme di kalangan masyarakat Indonesia dewasa ini.
Disorientasi nilai terjadi saat masyarakat menghadapi masa transisi dan
transformasi. Dalam masa transisi terdapat peralihan dari masyarakat
pedesaan menjadi masyarakat perkotaan, masyarakat agraris ke masyarakat
industri dan jasa, dari tipologi masyarakat tradisional ke masyarakat modern,
dari mayarakat paternalistik ke arah masyarakat demokratis, dari masyarakat
feodal ke masyarakat egaliter, dari makhluk sosial ke makhluk ekonomi.
Dalam proses transisi ini menyebabkan sebagian masyarakat Indonesia
mengalami kegoyahan konseptual tentang prinsip-prinsip kehidupan yang
telah lama menjadi pegangan hidup, sehingga timbul kekaburan dan
ketidakpastian landasan pijak untuk mengenali dan menyikapi berbagai
persoalan kehidupan yang dihadapi.

3. Pencapaian visi Indonesia tahun 2020.


Melalui pendidikan kewarganegaraan, diharapkan warganegara
mampu memahami, menganalisis serta menjawab berbagai masalah
yang dihadapi masyarakat, bangsa dan Negara secara tepat, rasional,
konsisten, berkelanjutan dan bertanggung jawab dalam rangka
mencapai tujuan nasional. Menjadi warganegara yang tahu hak dan
kewajibannya, menguasai ilmu pengetahuan dan teknologi serta seni
namun tidak kehilangan jati dirinya (tidak tercerabut dari akar budaya
bangsanya), termasuk dalam pencapaian visi bangsa dan Negara
Indonesia tahun 2020 yang terdapat dalam TAP MPR No.
V/MPR/2001).
Visi Indonesia 2020 adalah terwujudnya masyarakat Indonesia yang
religius, manusiawi, bersatu, demokratis, adil, sejahtera, maju, mandiri, serta
baik dan bersih dalam penyelenggaraan negara.
Untuk mengukur tingkat keberhasilan terwujudnya
Visi Indonesia 2020 dipergunakan indikator-indikator utama sebagai berikut :
1. Religius
1. terwujudnya masyarakat yang beriman, bertakwa, berakhlak mulia
sehingga ajaran agama, khususnya yang bersifat universal dan nilai-
nilai luhur budaya, terutama kejujuran, dihayati dan diamalkan
dalam perilaku kesehariannya.
2. terwujudnya toleransi antar dan antara umat beragama;
3. terwujudnya penghormatan terhadap martabat kemanusiaan.
2. Manusiawi

4
1. terwujudnya masyarakat yang menghargai nilai-nilai kemanusiaan
yang adil dan beradab;
2. terwujudnya hubungan harmonis antar manusia Indonesia tanpa
membedakan latar belakang budaya, suku, ras, agama, dan lain-
lain;
3. perkembangan dinamika kehidupan bermasyarakat ke arah
peningkatan harkat dan martabat manusia;
4. terwujudnya keseimbangan antara hak dan kewajiban dalam
perilaku kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.
3. Bersatu
1. meningkatnya semangat persatuan dan kerukunan bangsa;
2. meningkatnya toleransi, kepedulian, dan tanggung jawab sosial;
3. berkembangnya budaya dan perilaku sportif serta menghargai dan
menerima perbedaan dan kemajemukan;
4. berkembangnya semangat antikekerasan;
5. berkembangnya dialog secara wajar dan saling menghormati antar
kelompok dalam masyarakat.
4. Demokratis
1. terwujudnya keseimbangan kekuasaan antara lembaga
penyelenggara negara dan hubungan kekuasaan antara pemerintah
nasional dan daerah;
2. menguatnya partisipasi politik sebagai perwujudan kedaulatan
rakyat melalui pemilihan umum yang jujur, adil, langsung, umum,
bebas, dan rahasia, efektifitas peran dan fungsi partai politik dan
kontrol sosial masyarakat yang semakin meluas;
3. berkembangnya organisasi sosial, organisasi kemasyarakatan, dan
organisasi politik yang bersifat terbuka;
4. terwujudnya mekanisme kontrol di dalam kehidupan berbangsa dan
bernegara;
5. berkembangnya budaya demokrasi: transparansi, akuntabilitas,
jujur, sportif, menghargai perbedaan;
6. berkembangnya sistem kepemimpinan yang regaliter dan rasional.
5. Adil
1. tegaknya hukum yang berkeadilan tanpa diskriminasi;
2. terwujudnya institusi dan aparat hukum yang bersih dan
profesional;
3. terwujudnya penegakkan hak asasi manusia;
4. terwujudnya keadilan gender;
5. terwujudnya budaya penghargaan dan kepatuhan terhadap hukum;
6. terwujudnya keadilan dalam distribusi pendapatan, sumber daya
ekonomi dan penguasaan aset ekonomi, serta hilangnya pratek
monopoli;

5
7. tersedianya peluang yang lebih besar bagi kelompok ekonomi kecil,
penduduk miskin dan tertinggal.
6. Sejahtera
1. meluasnya kesempatan kerja dan meningkatnya pendapatan
penduduk sehingga bangsa Indonesia menjadi sejahtera dan
mandiri;
2. meningkatnya angka partisipasi murni anak usia sekolah;
3. terpenuhinya sistem pelayanan umum, bagi selmruh lapisan
masyarakat, termasuk pelayanan kepada penyandang cacat dan usia
lanjut, seperti pelayanan transportasi, komunikasi, penyediaan
energi dan air bersih;
4. tercapainya hak atas hidup sehat bagi seluruh lapisan masyarakat
melalui sistem kesehatan yang dapat menjamin terlindunginya
masyarakat dari berbagai resiko yang dapat mempengaruhi
kesehatan dan tersedianya pelayanan kesehatan yang bermutu,
terjangkau, dan merata;
5. meningkatnya indeks pengembangan manusia (human development
index), yang menggambarkan keadaan ekonomi, pendidikan dan
kesehatan qecara terpadu;
6. terwujudnya pengelolaan dan pemanfaatan sumber daya alam yang
adil, merata, ramah lingkungan dan berkelanjutan;
7. terwujudnya keamanan dan rasa aman dalam masyarakat.
7. Maju
1. meningkatnya kemampuan bangsa dalam pergaulan antar bangsa;
2. meningkatnya kualitas SDM sehingga mampu bekerjasama dan
bersaing dalam era globalisasi;
3. menignkatnya kualitas pendidikan sehingga menghasilkan tenaga
yang kompeten sesuai dengan standar nasional dan internasional;
4. meningkatnya disiplin dan etos kerja;
5. meningkatnya penguasaan ilmu pengetahuan dan pengembangan
teknologi sertapembudayaannya dalam masyarakat;
6. teraktualisainya keragaman budaya Indonesia.
8. Mandiri
1. memiliki kemampuan dan ketangguhan dalam menyelenggarakan
kehidupan berbangsa dan bernegara di tengah-tengah pergaulan
antas bangsa agar sejajar dengan bangsa-bangsa lain;
2. terwujudnya politik luar negeri yang berkepribadian dan bebesa
aktif;
3. terwujudnya ekonomi Indonesia yang bertumpu pada kemampuan
serta potensi bangsa dan negara termasuk menyelesaikan hutang
luar negeri;
4. memiliki kepribadian bangsa dan identitas budaya indonesia yang
berakar dari potensi budaya daerah.

6
9. Baik dan Bersih dalam Penyelenggaraan Negara
1. terwujudnya penyelengaraan negara yang profesional, transparan,
akuntabel, memiliki kredibilitas dan bebas KKN;
2. terbentuknya penyelenggara negara yang peka dan tanggap
terhadap kepentingan dan aspirasi rakyat di seluruh wilayah negara
termasuk daerah terpencil dan perbatasan;
3. berkembangnya transparansi dalam budaya dan perilaku serta
aktivitas politik dan pemerintahan.
Visi Indonesia 2020 perlu disosialisasikan sehingga dipahami dan
dipergunakan oleh masyarakat sebagai acuan dasar dalam kehidupan
berbangsa dan bernegara. Dengan Visi Indonesia 2020 diharapkan secara
bertahap akan dapat diwujudkan cita-cita luhur bangsa Indonesia, yaitu
masyarakat adil dan makmur yang diberkati Tuhan Yang Maha Esa.

1.2.TUJUAN

Pendidikan kewargnegaraan merupakan suatu mata kuliah yang lazim


diajarkan di setiap Negara.
Pendidikan Kewarganegaraan adalah salah satu mata kuliah yang
masuk dalam Mata Kuliah Dasar Umum (MKDU) tingkat perguruan tinggi di
Indonesia. Tujuan disampaikan mata kuliah pendidikan kewarganegaraan
pada akhirnya adalah menumbuhkan sikap mental peserta didik yang cerdas
dan penuh tanggung jawab. Disertai perilaku beriman dan bertakwa, berbudi
pekerti luhur, disiplin dalam bermasyarakat, rasional, dinamis, sadar akan
hak-kewajiban warga negara, profesional, dan aktif memanfaatkan ilmu
pengetahuan dan teknologi untuk kepentingan bangsa dan negara.
Salah satu bagian dari kopetensi pendidikan kewarganegaraan adalah
memiliki wawasan warga negara.

1.3. DASAR HUKUM

Pasal 37 ayat 2 UU No.20 tahun 2003 tentang sistem Pendidikan


Nasional menyatakan bahwa kurikulum Pendidikan Tinggi wajib memuat:
1. Pendidikan agama
2. Pendidikan kewarganegaraan
3. Bahasa
Sebelum peraturan pemerintah keluar, maka keputusan menteri
Pendidikan nasioanl No.232/U/2000 tentang Pedoman Penyusunan
Kurikulum Pendidikan Tinggi dan Penilaian Hasil Belajar Mahasiswa dan
No.045/U/ 2002 tentang kurikulum Inti Pendidikan Tinggi dinyatakan masih
tetap berlaku. Menurut ketentuan ini, Pendidikan Kewarganegaraan termasuk
dalam kelompok Mata Kuliah Pengembangan Kepribadian.

7
Pendidikan Kewarganegaraan sebagai Mata Kuliah Pengembangan
Kepribadian (MPK) ditetapkan melalui: (1) Kepmendiknas No. 232/U/2000,
tentang Pedoman Penyusunan Kurikulum Pendidikan Tinggi dan Penilaian
Hasil Belajar Mahasiswa, menetapkan bahwa Pendidikan Agama, Pendidikan
Pancasila dan Pendidikan Kewarganegaraan merupakan kelompok Mata
Kuliah Pengembangan Kepribadian yang wajib diberikan dalam kurikulum
setiap program studi/kelompok program studi. (2) Kepmendiknas
No.045/U/2002 tentang Kurikulum Inti Pendidikan Tinggi menetapkan bahwa
Pendidikan Agama, Pendidikan Pancasila, dan Pendidikan Kewarganegaraan
merupakan kelompok Mata Kuliah Pegembangan Kepribadian yang wajib
diberikan dalam kurikulum setiap program studi/kelmpok program studi. (3)
Keputusan Dirjen Dikti Depdiknas No. 43/Dikti/Kep/2006 tentang rambu-
rambu pelaksanaan pembelajaran kelompok mata kuliah pengembangan
kepribadian di perguruan tinggi, menetapkan status dan beban studi kelompok
mata kuliah Pengembangan Kepribadian. Bahwasannya beban studi untuk
Mata Kuliah Pendidikan Agama, Kewarganegaraan dan Bahasa masing-
masing sebanyak 3 sks.

8
BAB II
FILSAFAT PANCASILA

2.1. Pancasila Sebagai Sistem Filsafat

Ketika Republik Indonesia diproklamasikan pasca Perang Dunia kedua, dunia


dicekam oleh pertentangan ideologi kapitalisme dengan ideologi komunisme.
Kapitalisme berakar pada faham individualisme yang menjunjung tinggi kebebasan
dan hak-hak individu; sementara komunisme berakar pada faham sosialisme atau
kolektivisme yang lebih mengedepankan kepentingan masyarakat di atas kepentingan
individual. Kedua aliran ideologi ini melahirkan sistem kenegaraan yang berbeda.
Faham individualisme melahirkan negara-negara kapitalis yang mendewakan
kebebasan (liberalisme) setiap warga, sehingga menimbulkan perilaku dengan
superioritas individu, kebebasan berkreasi dan berproduksi untuk mendapatkan
keuntungan yang maksimal. Sementara faham kolektivisme melahirkan negara-
negara komunis yang otoriter dengan tujuan untuk melindungi kepentingan rakyat
banyak dari eksploitasi segelintir warga pemilik kapital.
Pertentangan ideologi ini telah menimbulkan ‘perang dingin’ yang
dampaknya terasa di seluruh dunia. Namun para pendiri negara Republik Indonesia
mampu melepaskan diri dari tarikan-tarikan dua kutub ideologi dunia tersebut,
dengan merumuskan pandangan dasar (philosophische grondslag) pada sebuah
konsep filosofis yang bernama Pancasila. Nilai-nilai yang terkandung pada Pancasila
bahkan bias berperan sebagai penjaga keseimbangan (margin of appreciation) antara
dua ideology dunia yang bertentangan, karena dalam ideologi Pancasila hak-hak
individu dan masyarakat diakui secara proporsional.
Rumusan tentang Pancasila tidak muncul dari sekedar pikiran logis-rasional,
tetapi digali dari akar budaya masyarakat bangsa Indonesia sendiri. Maka Bung
Karno hanya mengaku diri sebagai penggali Pancasila, karena nilai-nilai yang
dirumuskan dalam Pancasila itu diambil dari nilai-nilai yang sejak lama hadir dalam
masyarakat Nusantara. Oleh karena itulah Pancasila disebut mengandung nilai-nilai
dasar filsafat (philosophische grondslag), merupakan jiwa bangsa (volksgeist) atau
jati diri bangsa (innerself of nation),dan menjadi cara hidup (way of life) bangsa
Indonesia yang sesungguhnya. Dengan demikian nilai-nilai dalam Pancasila
merupakan karakter bangsa, yang menjadikan bangsa Indonesia berbeda dengan
bangsa-bangsa lain. Pendidikan Pancasila perlu karena dengan cara itulah karakter
bangsa dapat lestari, terpelihara dari ancaman gelombang globalisasi yang semakin
besar.
Pancasila sebagai sistem filsafat mengandung pemikiran tentang manusia
yang berhubungan denganTuhan, dengan diri sendiri, dengan sesama, dengan
masyarakat bangsa yang semua itu dimiliki oleh bangsa Indonesia. Oleh sebab itu,
sebagai sistem filsafat, Pancasila memiliki ciri khas yang berbeda dengan sistem-
sistem filsafat lain yang ada di dunia, seperti materialisme, idealisme, rasionalisme,
liberalisme, komunisme dan lain sebagainya.

9
Kekhasan nilai filsafat yang terkandung dalam Pancasila berkembang dalam
budaya dan peradaban Indonesia, terutama sebagai jiwa dan asas kerohanian bangsa
dalam perjuangan kemerdekaan bangsa Indonesia. Selanjutnya nilai filsafat Pancasila,
baik sebagai pandangan hidup atau filsafat hidup (Weltanschauung) bangsa maupun
sebagai jiwa bangsa atau jati diri (Volksgeist) nasional, memberikan identitas dan
integritas serta martabat bangsa dalam menghadapi budaya dan peradaban dunia.

2.1.1. Pengertian Filsafat


Istilah ‘filsafat’ berasal dari bahasa Yunani, (philosophia), tersusun
dari kata philos yang berarti cinta atau philia yang berarti persahabatan,
tertarik kepada dan kata sophos yang berarti kebijaksanaan, pengetahuan,
ketrampilan, pengalaman praktis, inteligensi (Bagus, 1996: 242). Dengan
demikian philosophia secara harfiah berarti mencintai kebijaksanaan. Kata
kebijaksanaan juga dikenal dalam bahasa Inggris, wisdom. Berdasarkan
makna kata tersebut maka mempelajari filsafat berarti merupakan upaya
manusia untuk mencari kebijaksanaan hidup yang nantinya bisa menjadi
konsep yang bermanfaat bagi peradaban manusia.
Suatu pengetahuan bijaksana akan mengantarkan seseorang mencapai
kebenaran. Orang yang mencintai pengetahuan bijaksana adalah orang yang
mencintai kebenaran. Cinta kebenaran adalah karakteristik dari setiap filsuf
dari dahulu sampai sekarang. Filsuf dalam mencari kebijaksanaan,
mempergunakan cara dengan berpikir sedalam-dalamnya. Filsafat sebagai
hasil berpikir sedalam-dalamnya diharapkan merupakan pengetahuan yang
paling bijaksana atau setidak-tidaknya mendekati kesempurnaan.
Adapun istilah ‘philosophos’ pertama kali digunakan oleh Pythagoras
(572 -497 SM) untuk menunjukkan dirinya sebagai pecinta kebijaksanaan
(lover of wisdom), bukan kebijaksanaan itu sendiri. Selain Phytagoras, filsuf-
filsuf lain juga memberikan pengertian filsafat yang berbeda-beda.
Oleh karena itu, filsafat mempunyai banyak arti, tergantung pada
bagaimana filsuf-filsuf menggunakannya.
Berikut disampaikan beberapa pengertian filsafat menurut beberapa
filsuf, yaitu antara lain:
1) Plato (427-347 SM); filsafat adalah pengetahuan tentang segala yang ada
atau ilmu pengetahuan yang berminat mencapai kebenaran yang asli;
2) Aristoteles (384-322 SM); filsafat adalah ilmu pengetahuan yang meliputi
kebenaran, yang di dalamnya terkandung ilmu-ilmu metafisika, logika,
retorika, etika, ekonomi, politik, dan estetika atau filsafat menyelidiki
sebab dan asas segala benda;
3) Marcus Tullius Cicero (106-43 SM); filsafat adalah pengetahuan tentang
sesuatu yang mahaagung dan usaha-usaha untuk mencapainya;
4) Immanuel Kant (1724-1804); filsafat itu ilmu pokok dan pangkal segala
pengetahuan yang mencakup di dalamnya empat persoalan, yaitu: “apakah

10
yang dapat kita ketahui? (dijawab oleh metafisika), apakah yang dapat kita
kerjakan? (dijawab oleh etika), sampai di manakah pengharapan kita?
(dijawab oleh antropologi)”.
Secara umum, filsafat merupakan ilmu yang berusaha menyelidiki
hakikat segala sesuatu untuk memperoleh kebenaran. Berdasarkan
pengertian umum ini, ciri-ciri filsafat dapat disebut sebagai usaha berpikir
radikal, menyeluruh, dan integral, atau dapat dikatakan sebagai suatu cara
berpikir yang mengupas sesuatu sedalam-dalamnya.
Sejak kemunculannya di Yunani, dan menyusul perkembangan pesat
ilmu pengetahuan, kedudukan filsafat kemudian dikenal sebagai The
Mother of Science (induk ilmu pengetahuan). Sebagai induk ilmu
pengetahuan, filsafat merupakan muara bagi ilmu pengetahuan, termasuk
ilmu pengetahuan yang bersifat positivistik, seperti ilmu komunikasi dan
teknologi informasi yang baru saja muncul dalam era kemajuan ilmu
pengetahuan dan teknologi (IPTEK) saat ini. Demikian pula, dibandingkan
dengan ilmu pengetahuan lain, filsafat merupakan kegiatan intelektual yang
metodis dan sistematis, namun lebih menekankan aspek reflektif dalam
menangkap makna yang hakiki dari segala sesuatu.
Dalam Kamus Filsafat, Bagus (1996: 242) mengartikan filsafat
sebagai sebuah pencarian. Beranjak dari arti harfiah filsafat sebagai cinta
akan kebijaksanaan, menurut Bagus (1996: 242-243), arti itu menunjukkan
bahwa manusia tidak pernah secara sempurna memiliki pengertian
menyeluruh tentang segala sesuatu yang dimaksudkan kebijaksanaan,
namun terus-menerus harus mengejarnya. Berkaitan dengan apa yang
dilakukannya, filsafat adalah pengetahuan yang dimiliki rasio manusia
yang menembus dasar-dasar terakhir dari segala sesuatu.
Filsafat menggumuli seluruh realitas, tetapi teristimewa eksistensi dan
tujuan manusia.
Dalam pengertiannya sebagai pengetahuan yang menembus dasar-
dasar terakhir dari segala sesuatu, filsafat memiliki empat cabang keilmuan
yang utama, yaitu:
1) Metafisika; cabang filsafat yang mempelajari asal mula segala sesuatu
yang-ada dan yang mungkin-ada.
Metafisika terdiri atas metafisika umum yang selanjutnya disebut
sebagai ontologi, yaitu ilmu yang membahas segala sesuatu yang-ada,
dan metafisika khusus yang terbagi dalam teodesi yang membahas
adanya Tuhan, kosmologi yang membahas adanya alam semesta, dan
antropologi metafisik yang membahas adanya manusia.
2) Epistemologi; cabang filsafat mempelajari seluk beluk pengetahuan.
Dalam epistemologi, terkandung pertanyaan-pertanyaan mendasar
tentang pengetahuan, seperti kriteria apa yang dapat memuaskan kita
untuk mengungkapkan kebenaran, apakah sesuatu yang kita percaya

11
dapat diketahui, dan apa yang dimaksudkan oleh suatu pernyataan
yang dianggap benar.
3) Aksiologi; cabang filsafat yang menelusuri hakikat nilai.
Dalam aksiologi terdapat etika yang membahas hakikat nilai baik-
buruk, dan estetika yang membahas nilai-nilai keindahan. Dalam etika,
dipelajari dasar-dasar benar-salah dan baik-buruk dengan
pertimbangan-pertimbangan moral secara fundamental dan praktis.
Sedangkan dalam estetika, dipelajari kriteria-kriteria yang
mengantarkan sesuatu dapat disebut indah.
4) Logika; cabang filsafat yang memuat aturan-aturan berpikir rasional.
Logika mengajarkan manusia untuk menelusuri struktur-struktur
argumen yang mengandung kebenaran atau menggali secara optimal
pengetahuan manusia berdasarkan bukti-buktinya. Bagi para filsuf,
logika merupakan alat utama yang digunakan dalam meluruskan
pertimbangan-pertimbangan rasional mereka untuk menemukan
kebenaran dari problem-problem kefilsafatan.

2.1.2. Filsafat Pancasila


Filsafat Pancasila dapat didefinisikan sebagai refleksi kritis dan
rasional tentang Pancasila sebagai dasar Negara dan kenyataan budaya
bangsa, dengan tujuan untuk mendapatkan pokok-pokok pengertiannya yang
mendasar dan menyeluruh. Pancasila dikatakan sebagai filsafat, karena
Pancasila merupakan hasil permenungan jiwa yang mendalam yang dilakukan
oleh the founding fathers Indonesia, yang dituangkan dalam suatu sistem
(Abdul Gani, 1998).
Pengertian filsafat Pancasila secara umum adalah hasil berpikir atau
pemikiran yang sedalam-dalamnya dari bangsa Indonesia yang dianggap,
dipercaya dan diyakini sebagai kenyataan, norma-norma dan nilai-nilai yang
benar, adil, bijaksana, dan paling sesuai dengan kehidupan dan kepribadian
bangsa Indonesia.
Filsafat Pancasila kemudian dikembangkan oleh Soekarno sejak 1955
sampai kekuasaannya berakhir pada 1965. Pada saat itu Soekarno selalu
menyatakan bahwa Pancasila merupakan filsafat asli Indonesia yang diambil
dari budaya dan tradisi Indonesia, serta merupakan akulturasi budaya India
(Hindu-Buddha), Barat (Kristen), dan Arab (Islam). Filsafat Pancasila
menurut Soeharto telah mengalami Indonesianisasi. Semua sila dalam
Pancasila adalah asli diangkat dari budaya Indonesia dan selanjutnya
dijabarkan menjadi lebih rinci ke dalam butir-butir Pancasila.
Filsafat Pancasila dapat digolongkan sebagai filsafat praktis sehingga
filsafat Pancasila tidak hanya mengandung pemikiran yang sedalam-dalamnya
atau tidak hanya bertujuan mencari, tetapi hasil pemikiran yang berwujud
filsafat Pancasila tersebut dipergunakan sebagai pedoman hidup sehari-hari
(way of life atau weltanschauung) agar hidup bangsa Indonesia dapat

12
mencapai kebahagiaan lahir dan batin, baik di dunia maupun di akhirat
(Salam, 1988: 23-24).
Sebagai filsafat, Pancasila memiliki dasar ontologis, epistemologis,
dan aksiologis, seperti diuraikan di bawah ini.

2.1.2.1. Dasar Ontologis Pancasila


Dasar-dasar ontologis Pancasila menunjukkan secara jelas bahwa
Pancasila itu benar-benar ada dalam realitas dengan identitas dan entitas yang
jelas. Melalui tinjauan filsafat, dasar ontologis Pancasila mengungkap status
istilah yang digunakan, isi dan susunan sila-sila, tata hubungan, serta
kedudukannya.
Dengan kata lain, pengungkapan secara ontologis itu dapat
memperjelas identitas dan entitas Pancasila secara filosofis.Kaelan (2002: 69)
menjelaskan dasar ontologis Pancasila pada hakikatnya adalah manusia yang
memiliki hakikat mutlak mono-pluralis. Manusia Indonesia menjadi dasar
adanya Pancasila. Manusia Indonesia sebagai pendukung pokok sila-sila
Pancasila secara ontologis memiliki hal-hal yang mutlak, yaitu terdiri atas
susunan kodrat raga dan jiwa, jasmani dan rohani, sifat kodrat manusia
sebagai makhluk individu dan sosial, serta kedudukan kodrat manusia sebagai
makhluk pribadi berdiri sendiri dan sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa
(Kaelan, 2002:72).
Ciri-ciri dasar dalam setiap sila Pancasila mencerminkan sifat-sifat
dasar manusia yang bersifat dwi-tunggal. Ada hubungan yang bersifat
dependen antara Pancasila dengan manusia Indonesia. Artinya, eksistensi,
sifat dan kualitas Pancasila amat bergantung pada manusia Indonesia. Selain
ditemukan adanya manusia Indonesia sebagai pendukung pokok Pancasila,
secara ontologis, realitas yang menjadikan sifat-sifat melekat dan dimiliki
Pancasila dapat diungkap sehingga identitas dan entitas Pancasila itu menjadi
sangat jelas.
Soekarno menggunakan istilah Pancasila untuk member lima dasar
negara yang diajukan. Dua orang sebelumnya Soepomo dan Muhammad
Yamin meskipun menyampaikan konsep dasar negara masing-masing tetapi
tidak sampai memberikan nama. Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia
(PPKI) atau Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP) yang didalamnya
duduk Soekarno sebagai anggota, menggunakan istilah Pancasila yang
diperkenankan Soekarno menjadi nama resmi Dasar Negara Indonesia yang
isinya terdiri dari lima sila, tidak seperti yang diusulkan Soekarno melainkan
seperti rumusan PPKI yang tercermin dalam Pembukaan UUD 1945 alinea
keempat.
Berhubung pengertian Pancasila merupakan kesatuan, menurut
Notonagoro (1983: 32), maka lebih seyogyanya dan tepat untuk menulis
istilah Pancasila tidak sebagai dua kata “Panca Sila”, akan tetapi sebagai satu

13
kata “Pancasila”. Penulisan Pancasila bukan dua kata melainkan satu kata juga
mencerminkan bahwa Pancasila adalah sebuah sistem bukan dua buah sistem.
Nama Pancasila yang menjadi identitas lima dasar Negara Indonesia
adalah bukan istilah yang diperkenalkan Soekarno tanggal 1 Juni 1945 di
depan sidang BPUPKI, bukan Pancasila yang ada dalam kitab Sutasoma,
bukan yang ada dalam Piagam Jakarta, melainkan yang ada dalam alinea
keempat Pembukaan UUD 1945.
Jika ditinjau menurut sejarah asal-usul pembentukannya, Pancasila
memenuhi syarat sebagai dasar filsafat negara. Ada empat macam sebab
(causa) yang menurut Notonagoro dapat digunakan untuk menetapkan
Pancasila sebagai Dasar Filsafat Negara, yaitu sebab berupa materi (causa
material), sebab berupa bentuk (causa formalis), sebab berupa tujuan (causa
finalis), dan sebab berupa asal mula karya (causa eficient) (Notonagoro,1983:
25). Lebih jauh Notonagoro menjelaskan keempat causa itu seperti berikut.
Pertama, bangsa Indonesia sebagai asal mula bahan (causa materialis)
terdapat dalam adat kebiasaan, kebudayaan dan dalam agama-agamanya;
kedua, seorang anggota Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan
Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI), yaitu Bung Karno yang kemudian
bersama-sama Bung Hatta menjadi Pembentuk Negara, sebagai asal mula
bentuk atau bangun (causa formalis)dan asal mula tujuan (causa finalis) dari
Pancasila sebagai calon dasar filsafat Negara; ketiga, sejumlah sembilan
orang, di antaranya kedua beliau tersebut ditambah dengan semua anggota
BPUPKI yang terdiri atas golongan-golongan kebangsaan dan agama, dengan
menyusun rencana Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 tempat
terdapatnya Pancasila, dan juga Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan
Kemerdekaan Indonesia yang menerima rencana tersebut dengan perubahan
sebagai asal mula sambungan, baik dalam arti asal mula bentuk maupun
dalam arti asal mula tujuan dari Pancasila sebagai Calon Dasar Filsafat
Negara; keempat, Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) sebagai
asal mula karya (causa eficient), yaitu yang menjadikan Pancasila sebagai
Dasar Filsafat Negara yang sebelumnya ditetapkan sebagai calon Dasar
Filsafat Negara (Notonagoro, 1983: 25-26).

2.1.2.2. Dasar Epistemologis Pancasila


Epistemologi Pancasila terkait dengan sumber dasar pengetahuan
Pancasila. Eksistensi Pancasila dibangun sebagai abstraksi dan
penyederhanaan terhadap realitas yang ada dalam masyarakat bangsa
Indonesia dengan lingkungan yang heterogen, multikultur, dan multietnik
dengan cara menggali nilai-nilai yang memiliki kemiripan dan kesamaan
untuk memecahkan masalah yang dihadapi masyarakat bangsa Indonesia
(Salam, 1998: 29).
Masalah-masalah yang dihadapi menyangkut keinginan untuk
mendapatkan pendidikan, kesejahteraan, perdamaian, dan ketentraman.

14
Pancasila itu lahir sebagai respon atau jawaban atas keadaan yang terjadi dan
dialami masyarakat bangsa Indonesia dan sekaligus merupakan harapan.
Diharapkan Pancasila menjadi cara yang efektif dalam memecahkan kesulitan
hidup yang dihadapi oleh masyarakat bangsa Indonesia.
Pancasila memiliki kebenaran korespondensi dari aspek epistemologis
sejauh sila-sila itu secara praktis didukung oleh realita yang dialami dan
dipraktekkan oleh manusia Indonesia.
Pengetahuan Pancasila bersumber pada manusia Indonesia dan
lingkungannya. Pancasila dibangun dan berakar pada manusia Indonesia
beserta seluruh suasana kebatinan yang dimiliki. Kaelan (2002: 96)
mengemukakan bahwa Pancasila merupakan pedoman atau dasar bagi bangsa
Indonesia dalam memandang realitas alam semesta, manusia, masyarakat,
bangsa dan negara tentang makna hidup serta sebagai dasar bagi manusia
dalam menyelesaikan masalah yang dihadapi dalam hidup dan kehidupan.
Dasar epistemologis Pancasila juga berkait erat dengan dasar ontologis
Pancasila karena pengetahuan Pancasila berpijak pada hakikat manusia yang
menjadi pendukung pokok Pancasila (Kaelan, 2002: 97). Secara lebih khusus,
pengetahuan tentang Pancasila yang sila-sila di dalamnya merupakan
abstraksi atas kesamaan nilai-nilai yang ada dan dimiliki oleh masyarakat
yang pluralistik dan heterogen adalah epistemologi sosial.
Epistemologi sosial Pancasila juga dicirikan dengan adanya upaya
masyarakat bangsa Indonesia yang berkeinginan untuk membebaskan diri
menjadi bangsa merdeka, bersatu, berdaulat dan berketuhanan Yang Maha
Esa, berkemanusiaan yang adil dan beradab, berpersatuan Indonesia,
berkerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam
permusyawaratan/perwakilan, serta ingin mewujudkan keadilan sosial bagi
seluruh rakyat Indonesia.
Sumber pengetahuan Pancasila dapat ditelusuri melalui sejarah
terbentuknya Pancasila. Dalam penelusuran sejarah mengenai kebudayaan
yang berkait dengan lahirnya Pancasila sebagai dasar negara Republik
Indonesia telah diuraikan di depan yang secara garis besar dapat dikemukakan
sebagai berikut. Akar sila-sila Pancasila ada dan berpijak pada nilai serta
budaya masyarakat bangsa Indonesia.
Nilai serta budaya masyarakat bangsa Indonesia yang dapat diungkap
mulai awal sejarah pada abad IV Masehi di samping diambil dari nilai asli
Indonesia juga diperkaya dengan dimasukkannya nilai dan budaya dari luar
Indonesia. Nilai-nilai dimaksud berasal dari agama Hindu, Budha, Islam, serta
nilai-nilai demokrasi yang dibawa dari Barat. Berdasarkan realitas yang
demikian maka dapat dikatakan bahwa secara epistemologis pengetahuan
Pancasila bersumber pada nilai dan budaya tradisional dan modern, budaya
asli dan campuran.
Selain itu, sumber historis itu, menurut tinjauan epistemologis,
Pancasila mengakui kebenaran pengetahuan yang bersumber dari wahyu atau

15
agama serta kebenaran yang bersumber pada akal pikiran manusia serta
kebenaran yang bersifat empiris berdasarkan pada pengalaman. Dengan
sifatnya yang demikian maka pengetahuan Pancasila mencerminkan adanya
pemikiran masyarakat tradisional dan modern.

2.1.2.3. Dasar Aksiologis Pancasila


Aksiologi terkait erat dengan penelaahan atas nilai. Dari aspek
aksiologi, Pancasila tidak bisa dilepaskan dari manusia Indonesia sebagai latar
belakang, karena Pancasila bukan nilai yang ada dengan sendirinya (given
value) melainkan nilai yang diciptakan (created value) oleh manusia
Indonesia. Nilai-nilai dalam Pancasila hanya bisa dimengerti dengan
mengenal manusia Indonesia dan latar belakangnya.
Nilai berhubungan dengan kajian mengenai apa yang secara intrinsik,
yaitu bernilai dalam dirinya sendiri dan ekstrinsik atau disebut instrumental,
yaitu bernilai sejauh dikaitkan dengan cara mencapai tujuan. Pada aliran
hedonisme yang menjadi nilai intrinsik adalah kesenangan, pada
utilitarianisme adalah nilai manfaat bagi kebanyakan orang (Smart, J.J.C., and
Bernard Williams, 1973: 71).
Pancasila mengandung nilai, baik intrinsik maupun ekstrinsik atau
instrumental. Nilai intrinsik Pancasila adalah hasil perpaduan antara nilai asli
milik bangsa Indonesia dan nilai yang diambil dari budaya luar Indonesia,
baik yang diserap pada saat Indonesia memasuki masa sejarah abad IV
Masehi, masa imperialis, maupun yang diambil oleh para kaum cendekiawan
Soekarno, Muhammad Hatta, Ki Hajar Dewantara, dan para pejuang
kemerdekaan lainnya yang mengambil nilai-nilai modern saat belajar ke
negara Belanda.
Kekhasan nilai yang melekat dalam Pancasila sebagai nilai intrinsik
terletak pada diakuinya nilai-nilai ketuhanan, kemanusiaan, persatuan,
kerakyatan, dan keadilan sosial sebagai satu kesatuan. Kekhasan ini yang
membedakan Indonesia dari negara lain. Nilai-nilai ketuhanan, kemanusiaan,
persatuan, kerakyatan, dan keadilan memiliki sifat umum universal. Karena
sifatnya yang universal, maka nilai-nilai itu tidak hanya milik manusia
Indonesia, melainkan manusia seluruh dunia.
Pancasila sebagai nilai instrumental mengandung imperatif dan
menjadi arah bahwa dalam proses mewujudkan cita-cita negara bangsa,
seharusnya menyesuaikan dengan sifat-sifat yang ada dalam nilai ketuhanan,
kemanusiaan, persatuan, kerakyatan, dan keadilan sosial. Sebagai nilai
instrumental, Pancasila tidak hanya mencerminkan identitas manusia
Indonesia, melainkan juga berfungsi sebagai cara (mean) dalam mencapai
tujuan, bahwa dalam mewujudkan cita-cita Negara bangsa, Indonesia
menggunakan cara-cara yang berketuhanan, berketuhanan yang adil dan
beradab, berpersatuan, berkerakyatan yang menghargai musyawarah dalam
mencapai mufakat, dan berkeadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.

16
Pancasila juga mencerminkan nilai realitas dan idealitas. Pancasila
mencerminkan nilai realitas, karena di dalam sila-sila Pancasila berisi nilai
yang sudah dipraktekkan dalam hidup sehari-hari oleh bangsa Indonesia. Di
samping mengandung nilai realitas, sila-sila Pancasila berisi nilai-nilai
idealitas, yaitu nilai yang diinginkan untuk dicapai.
Menurut Kaelan (2002: 128), nilai-nilai yang terkandung dalam sila I
sampai dengan sila V Pancasila merupakan cita-cita, harapan, dambaan
bangsa Indonesia yang akan diwujudkan dalam kehidupannya. Namun,
Pancasila yang pada tahun 1945 secara formal menjadi das Sollen bangsa
Indonesia, sebenarnya diangkat dari kenyataan riil yang berupa prinsip-prinsip
dasar yang terkandung dalam adat-istiadat, kebudayaan dan kehidupan
keagamaan atau kepercayaan bangsa Indonesia. Oleh karena itu, sebagaimana
dikutip oleh Kaelan (2002: 129), Driyarkara menyatakan bahwa bagi bangsa
Indonesia, Pancasila merupakan Sein im Sollen. Pancasila merupakan harapan,
citacita, tapi sekaligus adalah kenyataan bagi bangsa Indonesia.
Nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila mempunyai tingkatan dan
bobot yang berbeda. Meskipun demikian, nilai-nilai itu tidak saling
bertentangan, bahkan saling melengkapi. Hal ini disebabkan sebagai suatu
substansi, Pancasila merupakan satu kesatuan yang bulat dan utuh, atau
kesatuan organic (organic whole). Dengan demikian berarti nilai-nilai yang
terkandung dalam Pancasila merupakan satu kesatuan yang bulat dan utuh
pula. Nilai-nilai itu saling berhubungan secara erat dan nilai-nilai yang satu
tidak dapat dipisahkan dari nilai yang lain. Atau nilai-nilai yang dimiliki
bangsa Indonesia itu akan memberikan pola (patroon) bagi sikap, tingkah
laku dan perbuatan bangsa Indonesia (Kaelan, 2002: 129).
Notonagoro (1983: 39) menyatakan bahwa isi arti dari Pancasila yang
abstrak itu hanya terdapat atau lebih tepat dimaksudkan hanya terdapat dalam
pikiran atau angan-angan, justru karena Pancasila itu merupakan cita-cita
bangsa, yang menjadi dasar falsafah atau dasar kerohanian negara. Tidak
berarti hanya tinggal di dalam pikiran atau angan-angan saja, tetapi ada
hubungannya dengan hal-hal yang sungguh-sungguh ada. Adanya Tuhan,
manusia, satu, rakyat, dan adil adalah tidak bisa dibantah.

2.1.3. Hakikat Sila-Sila Pancasila

Kata ‘hakikat’ dapat diartikan sebagai suatu inti yang terdalam dari
segala sesuatu yang terdiri dari sejumlah unsur tertentu dan yang mewujudkan
sesuatu itu, sehingga terpisah dengan sesuatu lain dan bersifat mutlak.
Ditunjukkan oleh Notonagoro (1975: 58), hakikat segala sesuatu mengandung
kesatuan mutlak dari unsur-unsur yang menyusun atau membentuknya.
Misalnya, hakikat air terdiri atas dua unsure mutlak, yaitu hidrogen dan
oksigen. Kebersatuan kedua unsur tersebut bersifat mutlak untuk mewujudkan
air. Dengan kata lain, kedua unsur tersebut secara bersama-sama menyusun

17
air sehingga terpisah dari benda yang lainnya, misalnya dengan batu, kayu, air
raksa dan lain sebagainya.
Terkait dengan hakikat sila-sila Pancasila, pengertian kata ‘hakikat’
dapat dipahami dalam tiga kategori, yaitu:
1) Hakikat abstrak yang disebut juga sebagai hakikat jenis atau hakikat umum
yang mengandung unsur-unsur yang sama, tetap dan tidak berubah.
Hakikat abstrak sila-sila Pancasila menunjuk pada kata: ketuhanan,
kemanusiaan, persatuan, kerakyatan, dan keadilan. Menurut bentuknya,
Pancasila terdiri atas kata-kata dasar Tuhan, manusia, satu, rakyat, dan
adil yang dibubuhi awalan dan akhiran, berupa ke dan an (sila I, II, IV,
dan V), sedangkan yang satu berupa per dan an (sila III). Kedua macam
awalan dan akhiran itu mempunyai kesamaan dalam maksudnya yang
pokok, ialah membuat abstrak atau mujarad, tidak maujud atau lebih
tidak maujud arti daripada kata dasarnya (Notonagoro, 1967: 39).
2) Hakikat pribadi sebagai hakikat yang memiliki sifat khusus, artinya terikat
kepada barang sesuatu. Hakikat pribadi Pancasila menunjuk pada ciri-ciri
khusus sila-sila Pancasila yang ada pada bangsa Indonesia, yaitu adat
istiadat, nilai-nilai agama, nilai-nilai kebudayaan, sifat dan karakter yang
melekat pada bangsa Indonesia sehingga membedakan bangsa Indonesia
dengan bangsa yang lain di dunia. Sifat-sifat dan ciri-ciri ini tetap melekat
dan ada pada bangsa Indonesia. Hakikat pribadi inilah yang realisasinya
sering disebut sebagai kepribadian, dan totalitas kongkritnya disebut
kepribadian Pancasila.
3) Hakikat kongkrit yang bersifat nyata sebagaimana dalam kenyataannya.
Hakikat kongkrit Pancasila terletak pada fungsi Pancasila sebagai dasar
filsafat negara. Dalam realisasinya, Pancasila adalah pedoman praktis,
yaitu dalam wujud pelaksanaan praktis dalam kehidupan negara, bangsa
dan negara Indonesia yang sesuai dengan kenyataan sehari-hari, tempat,
keadaan dan waktu. Dengan realisasi hakikat kongkrit itu, pelaksanaan
Pancasila dalam kehidupan Negara setiap hari bersifat dinamis,
antisipatif, dan sesuai dengan perkembangan waktu, keadaan, serta
perubahan zaman (Notonagoro, 1975: 58-61). Pancasila yang berisi lima
sila, menurut Notonagoro (1967: 32) merupakan satu kesatuan utuh.
Kesatuan sila-sila Pancasila tersebut, diuraikan sebagai berikut:

1. Kesatuan sila-sila Pancasila dalam struktur yang bersifat hirarkis dan


berbentuk piramidal Susunan secara hirarkis mengandung pengertian
bahwa sila-sila Pancasila memiliki tingkatan berjenjang, yaitu sila
yang ada di atas menjadi landasan sila yang ada di bawahnya. Sila
pertama melandasi sila kedua, sila kedua melandasi sila ketiga, sila
ketiga melandasi sila keempat, dan sila keempat melandasi sila
kelima. Pengertian matematika piramidal digunakan untuk
menggambarkan hubungan hirarkis sila-sila Pancasila menurut urut-

18
urutan luas (kwantitas) dan juga dalam hal sifat-sifatnya (kwalitas).
Dengan demikian, diperoleh pengertian bahwa menurut urut-
urutannya, setiap sila merupakan pengkhususan dari sila-sila yang ada
dimukanya.
Dalam susunan hirarkis dan piramidal, sila Ketuhanan yang Maha Esa
menjadi basis kemanusiaan, persatuan Indonesia, kerakyatan dan
keadilan sosial. Sebaliknya Ketuhanan Yang Maha Esa adalah
Ketuhanan yang berkemanusiaan, yang membangun, memelihara dan
mengembangkan persatuan Indonesia, yang berkerakyatan dan
berkeadilan sosial. Demikian selanjutnya, sehingga tiap-tiap sila di
dalamnya mengandung sila-sila lainnya.
Secara ontologis, kesatuan sila-sila Pancasila sebagai suatu sistem
yang bersifat hirarkis dan berbentuk piramidal tersebut dapat
dijelaskan sebagai berikut, sebagaimana diungkapkan oleh
Notonagoro (1984: 61 dan 1975: 52, 57), bahwa hakikat adanya
Tuhan adalah ada karena dirinya sendiri, Tuhan sebagai causa prima.
Oleh karena itu segala sesuatu yang ada termasuk manusia ada karena
diciptakan Tuhan atau manusia ada sebagai kibat adanya Tuhan (sila
pertama). Adapun manusia adalah sebagai subjek pendukung pokok
negara, karena negara adalah lembaga kemanusiaan, negara adalah
sebagai persekutuan hidup bersama yang anggotanya adalah manusia
(sila kedua). Dengan demikian, negara adalah sebagai akibat adanya
manusia yang bersatu (sila ketiga). Selanjutnya terbentuklah
persekutuan hidup bersama yang disebut rakyat. Rakyat pada
hakikatnya merupakan unsur negara di samping wilayah dan
pemerintah.
Rakyat adalah totalitas individu-individu dalam negara yang bersatu
(sila keempat). Adapun keadilan yang pada hakikatnya merupakan
tujuan bersama atau keadilan sosial (sila kelima) pada hakikatnya
sebagai tujuan dari lembaga hidup bersama yang disebut negara.
2. Hubungan kesatuan sila-sila Pancasila yang saling mengisi dan saling
mengkualifikasi Sila-sila Pancasila sebagai kesatuan dapat
dirumuskan pula dalam hubungannya saling mengisi atau
mengkualifikasi dalam kerangka hubungan hirarkis piramidal seperti
di atas. Dalam rumusan ini, tiap-tiap sila mengandung empat sila
lainnya atau dikualifikasi oleh empat sila lainnya. Untuk kelengkapan
hubungan kesatuan keseluruhan sila-sila Pancasila yang dipersatukan
dengan rumusan hirarkis piramidal tersebut, berikut disampaikan
kesatuan sila-sila Pancasila yang saling mengisi dan saling
mengkualifikasi.

a) Sila pertama; Ketuhanan Yang Maha Esa adalah Ketuhanan yang berkemanusiaan
yang adil dan beradab, yang berpersatuan Indonesia, yang berkerakyatan yang

19
dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/ perwakilan, yang
berkeadilan social bagi seluruh rakyat Indonesia;
b) Sila kedua; kemanusiaan yang adil dan beradab adalah kemanusiaan yang ber-
Ketuhanan Yang Maha Esa, yang berpersatuan Indonesia, yang berkerakyatan
yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/ perwakilan,
yang berkeadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia;
c) Sila ketiga; persatuan Indonesia adalah persatuan yang ber-Ketuhanan YME,
berkemanusiaan yang adil dan beradab, yang berkerakyatan yang dipimpin oleh
hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan, yang berkeadilan
sosial bagi seluruh rakyat Indonesia;
d) Sila keempat; kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam
permusyawaratan/perwakilan, adalah kerakyatan yang ber-Ketuhanan Yang Maha
Esa, berkemanusiaan yang adil dan beradab, yang berpersatuan Indonesia, yang
berkeadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia;
e) Sila kelima; keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia adalah keadilan yang
ber-Ketuhanan Yang Maha Esa, berkemanusiaan yang adil dan beradab, yang
berkerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam
permusyawaratan/perwakilan (Notonagoro, 1975: 43-44).[ ]

2.2. Pancasila sebagai ideologi bangsa dan Negara

Ideologi di negara-negara yang baru merdeka dan sedang berkembang,


menurut Prof. W. Howard Wriggins, berfungsi sebagai sesuatu yang “confirm and
deepen the identity of their people” (sesuatu yang memperkuat dan memperdalam
identitas rakyatnya). Namun, ideologi di negara-negara tersebut, menurutnya, sekedar
alat bagi rezim-rezim yang baru berkuasa untuk melanggengkan kekuasaannya.
Ideologi ialah alat untuk mendefinisikan aktivitas politik yang berkuasa, atau untuk
menjalankan suatu politik “cultural management”, suatu muslihat manajemen budaya
(Abdulgani, 1979: 20). Oleh sebab itu, kita akan menemukan beberapa penyimpangan
para pelaksana ideologi di dalam kehidupan di setiap negara.
Implikasinya ideologi memiliki fungsi penting untuk penegas identitas bangsa
atau untuk menciptakan rasa kebersamaan sebagai satu bangsa. Namun di sisi lain,
ideologi rentan disalahgunakan oleh elit penguasa untuk melanggengkan kekuasaan.
Ideologi itu, menurut Oesman dan Alfian (1990: 6), berintikan serangkaian
nilai (norma) atau sistem nilai dasar yang bersifat menyeluruh dan mendalam yang
dimiliki dan dipegang oleh suatu masyarakat atau bangsa sebagai wawasan atau
pandangan hidup bangsa mereka.
Ideologi merupakan kerangka penyelenggaraan Negara untuk mewujudkan
cita-cita bangsa. Ideologi bangsa adalah cara pandang suatu bangsa dalam
menyelenggarakan negaranya. Ideologi adalah suatu sistem nilai yang terdiri atas
nilai dasar yang menjadi cita-cita dan nilai instrumental yang berfungsi sebagai
metode atau cara mewujudkan cita-cita tersebut. Menurut Alfian (1990) kekuatan
ideologi tergantung pada kualitas tiga dimensi yang terkandung di dalam dirinya.

20
Pertama, adalah dimensi realita, bahwa nilai-nilai dasar yang terkandung dalam
ideologi itu secara riil berakar dan hidup dalam masyarakat atau bangsanya, terutama
karena nilai-nilai dasar tersebut bersumber dari budaya dan pengalaman sejarahnya.
Kedua, dimensi idealisme, bahwa nilai-nilai dasar ideologi tersebut mengandung
idealisme, bukan lambungan angan-angan, yang memberi harapan tentang masa
depan yang lebih baik melalui perwujudan atau pengalamannya dalam praktik
kehidupan bersama mereka sehari-hari dengan berbagai dimensinya.
Ketiga, dimensi fleksibilitas atau dimensi pengembangan, bahwa ideologi tersebut
memiliki keluwesan yang memungkinkan dan bahkan merangsang pengembangan
pemikiran-pemikiran baru yang relevan tentang dirinya, tanpa menghilangkan atau
mengingkari hakikat atau jati diri yang terkandung dalam nilai-nilai dasarnya
(Oesman dan Alfian, 1990: 7-8).
Selain itu, menurut Soerjanto Poespowardojo (1990), ideologi mempunyai
beberapa fungsi, yaitu memberikan:
1. Struktur kognitif, yaitu keseluruhan pengetahuan yang didapat merupakan landasan
untuk memahami dan menafsirkan dunia dan kejadian-kejadian dalam alam
sekitranya.
2. Orientasi dasar dengan membuka wawasan yang memberikan makna serta
menunjukkan tujuan dalam kehidupan manusia.
3. Norma-norma yang menjadi pedoman dan pegangan bagi seseorang untuk
melangkah dan betindak.
4. Bekal dan jalan bagi seseorang untuk menemukan identitasnya.
5. Kekuatan yang mampu menyemangati dan mendorong seseorang untuk
menjalankan kegiatan dan mencapai tujuannya.
6. Pendidikan bagi seseorang atau masyarakat untuk memahami, menghayati serta
memolakan tingkah lakunya sesuai dengan orientasi dan norma-norma yang
terkandung di dalamnya (Oesman dan Alfian, 1990: 48).

Dalam konteks Indonesia, Perhimpunan Indonesia (PI) yang dipimpin oleh


Drs. Moh. Hatta (1926-1931) di Belanda, sejak 1924 mulai merumuskan konsepsi
ideologi politiknya, bahwa tujuan kemerdekaan politik haruslah didasarkan pada
empat prinsip: persatuan nasional, solidaritas, nonkooperasi dan kemandirian
(selfhelp) (Latif, 2011: 5). Sekitar tahun yang sama, Tan Malaka mulai menulis buku
Naar de Republiek Indonesia (Menuju Republik Indonesia). Dia percaya bahwa
paham kedaulatan rakyat memiliki akar yang kuat dalam tradisi masyarakat
Nusantara. Keterlibatannya dengan organisasi komunis internasional tidak melupakan
kepekaannya untuk memperhitungkan kenyataan-kenyataan nasional dengan
kesediaannya untuk menjalin kerjasama dengan unsur-unsur revolusioner lainnya.
Dia pernah mengusulkan kepada Komintern (Komunisme Internasional) agar
komunisme di Indonesia harus bekerjasama dengan Pan- Islamisme karena,
menurutnya, kekuatan Islam di Indonesia tidak bisa diabaikan begitu saja. Hampir

21
bersamaan dengan itu, Tjokroaminoto mulai mengidealisasikan suatu sintesis antara
Islam, sosialisme dan demokrasi (Latif, 2011: 6).
Soepomo, dalam sidang BPUPKI pada tanggal 31 Mei 1945, memberikan tiga
pilihan ideologi, yaitu: (1) paham indvidualisme, (2) paham kolektivisme dan (3)
paham integralistik. Beliau dengan sangat meyakinkan menolak paham
individualisme dan kolektivisme, dan menyarankan paham integralistik yang dinilai
sesuai dengan semangat kekeluargaan yang berkembang di pedesaan.
Paham integralistik merupakan kerangka konseptual makro dari apa yang
sudah menjiwai rakyat kita di kesatuan masyarakat yang kecil-kecil itu (Moerdiono
dalam Oesman dan Alfian (ed), 1990: 40).
Pancasila sebagai ideologi Indonesia mempunyai ajaran-ajaran yang memang
mengandung nilai-nilai yang terkandung dalam ideologi lain. Ajaran yang dikandung
Pancasila bahkan dipuji oleh seorang filsuf Inggris, Bertrand Russel, yang
menyatakan bahwa Pancasila sebagai sintesis kreatif antara Declaration of American
Independence (yang merepresentasikan ideologi demokrasi kapitalis) dengan
Manifesto Komunis (yang mereprensentasikan ideologi komunis). Lebih dari itu,
seorang ahli sejarah, Rutgers, mengatakan, “Dari semua negara-negara Asia
Tenggara, Indonesia-lah yang dalam konstitusinya, pertama-tama dan paling tegas
melakukan latar belakang psikologis yang sesungguhnya daripada revolusi melawan
penjajah. Dalam filsafat negaranya, yaitu Pancasila, dilukiskannya alasan-alasan
secara lebih mendalam dari revolusi-revolusi itu (Latif, 2011: 47). Dari pendapat
tersebut, Indonesia pun pernah merasakan berkembangnya nilai-nilai ideologi-
ideologi besar dunia berkembang dalam gerak tubuh pemerintahannya.

2.2.1. Pancasila dan Liberalisme


Periode 1950-1959 disebut periode pemerintahan demokrasi liberal. Sistem
parlementer dengan banyak partai politik memberi nuansa baru sebagaimana terjadi
di dunia Barat. Ketidakpuasan dan gerakan kedaerahan cukup kuat pada periode ini,
seperti PRRI dan Permesta pada tahun 1957 (Bourchier dalam Dodo dan Endah (ed),
2010: 40). Keadaan tersebut mengakibatkan perubahan yang begitu signifikan dalam
kehidupan bernegara.
Pada 1950-1960 partai-partai Islam sebagai hasil pemilihan umum 1955
muncul sebagai kekuatan Islam, yaitu Masyumi, NU dan PSII, yang sebenarnya
merupakan kekuatan Islam di Parlemen tetapi tidak dimanfaatkan dalam bentuk
koalisi. Meski PKI menduduki empat besar dalam Pemilu 1955, tetapi secara
ideologis belum merapat pada pemerintah. Mengenai Pancasila itu dalam posisi yang
tidak ada perubahan, artinya Pancasila adalah dasar Negara Republik Indonesia meski
dengan konstitusi 1950 (Feith dalam Dodo dan Endah (ed.), 2010: 40).
Indonesia tidak menerima liberalisme dikarenakan individualisme Barat yang
mengutamakan kebebasan makhluknya, sedangkan paham integralistik yang kita anut
memandang manusia sebagai individu dan sekaligus juga makhluk sosial (Alfian
dalam Oesman dan Alfian, 1990:201). Negara demokrasi model Barat lazimnya
bersifat sekuler, dan hal ini tidak dikehendaki oleh segenap elemen bangsa Indonesia

22
(Kaelan, 2012: 254). Hal tersebut diperkuat dengan pendapat Kaelan yang
menyebutkan bahwa negara liberal memberi kebebasan kepada warganya untuk
memeluk agama dan menjalankan ibadah sesuai dengan agamanya masing-masing.
Namun dalam negara liberal diberikan kebebasan untuk tidak percaya terhadap Tuhan
atau atheis, bahkan negara liberal memberi kebebasan warganya untuk menilai dan
mengkritik agama. Berdasarkan pandangan tersebut, hampir dapat dipastikan bahwa
sistem negara liberal membedakan dan memisahkan antara negara dan agama atau
bersifat sekuler (Kaelan, 2000: 231). Berbeda dengan Pancasila, dengan rumusan
Ketuhanan Yang Maha Esa telah memberikan sifat yang khas kepada negara
Indonesia, yaitu bukan merupakan negara sekuler yang memisah-misahkan agama
dengan negara (Kaelan, 2000: 220).
Tentang rahasia negara-negara liberal, Soerjono Poespowardojo mengatakan
bahwa kekuatan liberalisme terletak dalam menampilkan individu yang memiliki
martabat transenden dan bermodalkan kebendaan pribadi. Sedangkan kelemahannya
terletak dalam pengingkaran terhadap dimensi sosialnya sehingga tersingkir tanggung
jawab pribadi terhadap kepentingan umum (Soeprapto dalam Nurdin, 2002: 40-41).
Karena alasan-alasan seperti itulah antara lain kenapa Indonesia tidak cocok
menggunakan ideologi liberalisme.

2.2.2. Pancasila dan Komunisme


Dalam periode 1945-1950 kedudukan Pancasila sebagai dasar negara sudah
kuat. Namun, ada berbagai faktor internal dan eksternal yang memberi nuansa
tersendiri terhadap kedudukan Pancasila. Faktor eksternal mendorong bangsa
Indonesia untuk menfokuskan diri terhadap agresi asing apakah pihak Sekutu atau
NICA yang merasa masih memiliki Indonesia sebagai jajahannya. Di pihak lain,
terjadi pergumulan yang secara internal sudah merongrong Pancasila sebagai dasar
negara, untuk diarahkan ke ideologi tertentu, yaitu gerakan DI/TII yang akan
mengubah Republik Indonesia menjadi negara Islam dan Pemberontakan PKI yang
ingin mengubah RI menjadi negara komunis (Marwati Djoned Poesponegoro dan
Nugroho Notosusanto, 1982/83 kemudian dikutip oleh Pranoto dalam Dodo dan
Endah (ed.), 2010: 39).
Pada tanggal 5 Juli 1959, Presiden Soekarno mengeluarkan Dekrit Presiden
untuk kembali ke UUD 1945, berarti kembali ke Pancasila. Pada suatu kesempatan,
Dr. Johanes Leimena pernah mengatakan, “Salah satu factor lain yang selalu
dipandang sebagai sumber krisis yang paling berbahaya adalah komunisme. Dalam
situasi di mana kemiskinan memegang peranan dan dalam hal satu golongan saja
menikmati kekayaan alam, komunisme dapat diterima dan mendapat tempat yang
subur di tengah-tengah masyarakat”. Oleh karena itu, menurut Dr. Johanes Leimena,
harus ada usaha-usaha yang lebih keras untuk meningkatkan kemakmuran di daerah
pedesaan. Cara lain untuk memberantas komunisme ialah mempelajari dengan
seksama ajaran-ajaran komunisme itu. Mempelajari ajaran itu agar tidak mudah
dijebak oleh rayuan-rayuan komunisme. Bagi orang Kristen, ajaran komunisme bisa

23
menyesatkan karena bertentangan dengan ajaran Kristus dan falsafah Pancasila
(Pieris, 2004: 212).
Komunisme tidak pernah diterima dalam kehidupan masyarakat Indonesia.
Hal ini disebabkan Negara komunisme lazimnya bersifat atheis yang menolak agama
dalam suatu Negara. Sedangkan Indonesia sebagai Negara yang berdasar atas
Ketuhanan Yang Maha Esa, merupakan pilihan kreatif dan merupakan proses elektis
inkorporatif. Artinya pilihan negara yang berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa
adalah khas dan nampaknya sesuai dengan kondisi objektif bangsa Indonesia (Kelan,
2012: 254-255).
Selain itu, ideologi komunis juga tidak menghormati manusia sebagai
makhluk individu. Prestasi dan hak milik individu tidak diakui. Ideologi komunis
bersifat totaliter, karena tidak membuka pintu sedikit pun terhadap alam pikiran lain.
Ideologi semacam ini bersifat otoriter dengan menuntut penganutnya bersikap
dogmatis, suatu ideology yang bersifat tertutup. Berbeda dengan Pancasila yang
bersifat terbuka, Pancasila memberikan kemungkinan dan bahkan menuntut sikap
kritis dan rasional. Pancasila bersifat dinamis, yang mampu memberikan jawaban atas
tantangan yang berbeda-beda dalam zaman sekarang (Poespowardojo, 1989: 203-
204).
Pelarangan penyebaran ideologi komunis ditegaskan dalam Tap MPR No.
XXV/MPRS/1966 tentang pembubaran PKI, pernyataan sebagai organisasi terlarang
di seluruh wilayah Negara Republik Indonesia bagi Partai Komunis Indonesia dan
larangan setiap kegiatan untuk menyebarkan atau mengembangkan faham atau ajaran
komunisme/marxisme dan leninisme yang diperkuat dengan Tap MPR No.
IX/MPR/1978 dan Tap MPR No. VIII/MPR/1983.

2.2.3. Pancasila dan Agama


Pancasila yang di dalamnya terkandung dasar filsafat hubungan negara dan
agama merupakan karya besar bangsa Indonesia melalui The Founding Fathers
Negara Republik Indonesia. Konsep pemikiran para pendiri negara yang tertuang
dalam Pancasila merupakan karya khas yang secara antropologis merupakan local
genius bangsa Indonesia (Ayathrohaedi dalam Kaelan, 2012).
Begitu pentingnya memantapkan kedudukan Pancasila, maka Pancasila pun
mengisyaratkan bahwa kesadaran akan adanya Tuhan milik semua orang dan
berbagai agama. Tuhan menurut terminologi Pancasila adalah Tuhan Yang Maha Esa,
yang tak terbagi, yang maknanya sejalan dengan agama Islam, Kristen, Budha, Hindu
dan bahkan juga Animisme (Chaidar, 1998: 36).
Menurut Notonegoro (dalam Kaelan, 2012: 47), asal mula Pancasila secara
langsung salah satunya asal mula bahan (Kausa Materialis) yang menyatakan bahwa
“bangsa Indonesia adalah sebagai asal dari nilai-nilai Panasila, …yang digali dari
bangsa Indonesia yang berupa nilai-nilai adat-istiadat kebudayaan serta nilai-nilai
religius yang terdapat dalam kehidupan sehari-hari bangsa Indonesia”.
Sejak zaman purbakala hingga pintu gerbang (kemerdekaan) negara
Indonesia, masyarakat Nusantara telah melewati ribuan tahun pengaruh agama-agama

24
lokal, (sekitar) 14 abad pengaruh Hinduisme dan Budhisme, (sekitar) 7 abad
pengaruh Islam, dan (sekitar) 4 abad pengaruh Kristen (Latif, 2011: 57). Dalam buku
Sutasoma karangan Empu Tantular dijumpai kalimat yang kemudian dikenal
Bhinneka Tunggal Ika. Sebenarnya kalimat tersebut secara lengkap berbunyi
Bhinneka Tunggal Ika Tan Hanna Dharma Mangrua, artinya walaupun berbeda, satu
jua adanya, sebab tidak ada agama yang mempunyai tujuan yang berbeda (Hartono,
1992: 5).
Kuatnya faham keagamaan dalam formasi kebangsaan Indonesia membuat
arus besar pendiri bangsa tidak dapat membayangkan ruang publik hampa Tuhan.
Sejak dekade 1920-an, ketika Indonesia mulai dibayangkan sebagai komunitas politik
bersama, mengatasi komunitas kultural dari ragam etnis dan agama, ide kebangsaan
tidak terlepas dari Ketuhanan (Latif, 2011: 67). Secara lengkap pentingnya dasar
Ketuhanan ketika dirumuskan oleh founding fathers negara kita dapat dibaca pada
pidato Ir.Soekarno pada 1 Juni 1945, ketika berbicara mengenai dasar negara
(philosophische grondslag) yang menyatakan, “Prinsip Ketuhanan! Bukan saja
bangsa Indonesia ber-Tuhan, tetapi masing-masing orang Indonesia hendaknya ber-
Tuhan. Tuhannya sendiri. Yang Kristen menyembah Tuhan menurut petunjuk Isa Al
Masih, yang Islam menurut petunjuk Nabi Muhammad s.a.w, orang Budha
menjalankan ibadatnya menurut kitab-kitab yang ada padanya. Tetapi marilah kita
semuanya ber-Tuhan. Hendaknya Negara Indonesia ialah negara yang tiap-tiap
orangnya dapat menyembah Tuhannya dengan leluasa
Segenap rakyat hendaknya ber-Tuhan. Secara kebudayaan yakni dengan tiada
“egoisme agama”. Dan hendaknya Negara Indonesia satu Negara yang ber-Tuhan”
(Zoelva, 2012).
Pernyataan ini mengandung dua arti pokok. Pertama pengakuan akan
eksistensi agama-agama di Indonesia yang, menurut Ir. Soekarno, “mendapat tempat
yang sebaik-baiknya”. Kedua, posisi negara terhadap agama, Ir.Soekarno
menegaskan bahwa “negara kita akan ber- Tuhan”. Bahkan dalam bagian akhir
pidatonya, Ir. Soekarno mengatakan, “Hatiku akan berpesta raya, jikalau saudara-
saudara menyetujui bahwa Indonesia berasaskan Ketuhanan Yang Maha Esa”. Hal ini
relevan dengan ayat (1) dan (2) Pasal 29 UUD 1945 (Ali, 2009: 118).
Jelaslah bahwa ada hubungan antara sila Ketuhanan Yang Maha Esa dalam
Pancasila dengan ajaran tauhid dalam teologi Islam. Jelaslah pula bahwa sila pertama
Pancasila yang merupakan prima causa atau sebab pertama itu (meskipun istilah
prima causa tidak selalu tepat, sebab Tuhan terus-menerus mengurus makhluknya),
sejalan dengan beberapa ajaran tauhid Islam, dalam hal ini ajaran tentang tauhidus-
shifat dan tauhidul-af’al, dalam pengertian bahwa Tuhan itu Esa dalam sifat-Nya dan
perbuatan-Nya. Ajaran ini juga diterima oleh agama-agama lain di Indonesia (Thalib
dan Awwas, 1999: 63).
Prinsip ke-Tuhanan Ir. Soekarno itu didapat dari - atau sekurang-kurangnya
diilhami oleh uraian-uraian dari para pemimpin Islam yang berbicara mendahului Ir.
Soekarno dalam Badan Penyelidik itu, dikuatkan dengan keterangan Mohamad
Roem. Pemimpin Masyumi yang terkenal ini menerangkan bahwa dalam Badan

25
Penyelidik itu Ir. Soekarno merupakan pembicara terakhir; dan membaca pidatonya
orang mendapat kesan bahwa pikiran-pikiran para anggota yang berbicara
sebelumnya telah tercakup di dalam pidatonya itu, dan dengan sendirinya perhatian
tertuju kepada (pidato) yang terpenting. Komentar Roem, “Pidato penutup yang
bersifat menghimpun pidato-pidato yang telah diucapkan sebelumnya” (Thalib dan
Awwas, 1999: 63).
Prinsip Ketuhanan Yang Maha Esa mengandung makna bahwa manusia
Indonesia harus mengabdi kepada satu Tuhan, yaitu Tuhan Yang Maha Esa dan
mengalahkan ilah-ilah atau Tuhan-Tuhan lain yang bias mempersekutukannya.
Dalam bahasa formal yang telah disepakati bersama sebagai perjanjian bangsa sama
maknanya dengan kalimat “Tiada Tuhan selain Tuhan Yang Maha Esa”. Di mana
pengertian arti kata Tuhan adalah sesuatu yang kita taati perintahnya dan
kehendaknya.
Prinsip dasar pengabdian adalah tidak boleh punya dua Tuhan, hanya satu
Tuhannya, yaitu Tuhan Yang Maha Esa. Jadi itulah yang menjadi misi utama tugas
para pengemban risalah untuk mengajak manusia mengabdi kepada satu Tuan, yaitu
Tuhan Yang Maha Esa (Kitab Ulangan 6:4-5, Matius 6:24, Lukas 16: 13, Quran
surat: Al Mu’minun [23]: 23 dan 32) (Mulyantoro, 2012).
Pada saat kemerdekaan, sekularisme dan pemisahan agama dari negara
didefinisikan melalui Pancasila. Ini penting untuk dicatat karena Pancasila tidak
memasukkan kata sekularisme yang secara jelas menyerukan untuk memisahkan
agama dan politik atau menegaskan bahwa negara harus tidak memiliki agama. Akan
tetapi, hal-hal tersebut terlihat dari fakta bahwa Pancasila tidak mengakui satu agama
pun sebagai agama yang diistimewakan kedudukannya oleh negara dan dari
komitmennya terhadap masyarakat yang plural dan egaliter. Namun, dengan hanya
mengakui lima agama (sekarang menjadi 6 agama: Islam, Kristen Katolik, Kristen
Protestan, Hindu, Budha dan Konghucu) secara resmi, negara Indonesia membatasi
pilihan identitas keagamaan yang bisa dimiliki oleh warga negara. Pandangan yang
dominan terhadap Pancasila sebagai dasar negara Indonesia secara jelas menyebutkan
tempat bagi orang yang menganut agama tersebut, tetapi tidak bagi mereka yang tidak
menganutnya.
Pemahaman ini juga memasukkan kalangan sekuler yang menganut agama
tersebut, tapi tidak memasukkan kalangan sekuler yang tidak menganutnya. Seperti
yang telah ditelaah Madjid, meskipun Pancasila berfungsi sebagai kerangka yang
mengatur masyarakat di tingkat nasional maupun lokal, sebagai individu orang
Indonesia bisa dan bahkan didorong untuk memiliki pandangan hidup personal yang
berdasarkan agama (An-Na’im, 2007: 439).
Gagasan asas tunggal menimbulkan pro dan kontra selama tiga tahun
diundangkan dalam Undang-Undang Nomor 8 tahun 1985 tentang Organisasi
Kemasyarakatan yang mengharuskan mendaftar ulang bagi semua ORMAS dan
sekaligus mengharuskan semua ORMAS menerima asas tunggal yang diberi batas
akhir sampai tanggal 17 Juli 1987. Golongan yang kontra bukan menolak Pancasila
dan UUD 1945, melainkan ada kekhawatiran bahwa dengan menghapuskan asas

26
“Islam”, Pancasila akan menjadi “agama baru” (Moesa, 2007: 123-124). Dalam
perkembangannya, kyai yang tergabung dalam organisasi NU yang pertama kali
menerima Pancasila sebagai Asas Tunggal. KH. As’ad Syamsul Arifin menegaskan
bahwa sebagian besar kyai dan umat Islam Indonesia berpendapat bahwa menerima
Pancasila hukumnya wajib (Moesa, 2007: 124) .
Dalam hubungan antara agama Islam dan Pancasila, keduanya dapat berjalan
saling menunjang dan saling mengokohkan. Keduanya tidak bertentangan dan tidak
boleh dipertentangkan. Juga tidak harus dipilih salah satu dengan sekaligus
membuang dan menanggalkan yang lain. Selanjutnya Kiai Achamd Siddiq
menyatakan bahwa salah satu hambatan utama bagi proporsionalisasi ini berwujud
hambatan psikologis, yaitu kecurigaan dan kekhawatiran yang datang dari dua arah
(Zada dan Sjadzili (ed), 2010:79).
Pancasila menjamin umat beragama dalam menjalankan ibadahnya. Dalam
kalimat Menteri Agama (1983-1993), H. Munawir Sjadzali menyatakan, “Kata-kata
‘negara menjamin’ tidak dapat diartikan sekuler karena apabila demikian, negara atau
pemerintah harus hands off dari segala pengaturan kebutuhan hukum bagi para
pemeluk agama/kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa. Di negara sekuler
Pemerintah tidak akan mendirikan tempat-tempat ibadah (Ahmad, 1996: 9-10).
Agama-agama dimandatkan oleh GBHN 1988 bahwa semua golongan
beragama dan kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa secara terus-menerus dan
bersama-sama meletakkan landasan moral, etika dan spiritual yang kokoh bagi
pembangunan nasional sebagai pengalaman Pancasila (Soetarman, 1996: 64). Dalam
konteks pelaksanaan mandat GBHN ini (meskipun GBHN secara formal sudah tidak
berlaku tapi spirit hubungan agama dan pembangunan masih sesuai), maka agama-
agama harus mampu mengembangkan kerja sama dalam rangka menghadapi
masalah-masalah yang dihadapi bersama (Soetarman, 1996: 65).
Pancasila dan agama dapat diaplikasikan seiring sejalan dan saling
mendukung. Agama dapat mendorong aplikasi nilai-nilai Pancasila, begitu pula
Pancasila memberikan ruang gerak yang seluas-luasnya terhadap usaha-usaha
peningkatan pemahaman, penghayatan dan pengamalan agama (Eksan, 2000).
Abdurrahman Wahid (Gusdur) pun menjelaskan bahwa sudah tidak relevan lagi
untuk melihat apakah nilai-nilai dasar itu ditarik oleh Pancasila dari agama-agama
dan kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa, karena ajaran agama-agama juga
tetap menjadi referensi umum bagi Pancasila, dan agama-agama harus
memperhitungkan eksistensi Pancasila sebagai “polisi lalu lintas” yang akan
menjamin semua pihak dapat menggunakan jalan raya kehidupan bangsa tanpa
terkecuali (Oesman dan Alfian, 1990: 167-168).
Moral Pancasila bersifat rasional, objektif dan universal dalam arti berlaku
bagi seluruh bangsa Indonesia. Moral Pancasila juga dapat disebut otonom karena
nilai-nilainya tidak mendapat pengaruh dari luar hakikat manusia Indonesia, dan
dapat dipertanggung-jawabkan secara filosofis. Tidak dapat pula diletakkan adanya
bantuan dari nilai-nilai agama, adat, dan budaya, karena secara de facto nilai-nilai
Pancasila berasal dari agama-agama serta budaya manusia Indonesia. Hanya saja

27
nilai-nilai yang hidup tersebut tidak menentukan dasar-dasar Pancasila, tetapi
memberikan bantuan dan memperkuat (Anshoriy, 2008: 177).
Sejalan dengan pendapat tersebut, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono
(SBY) menyatakan dalam Sambutan pada Peringatan Hari Kesaktian Pancasila pada
1 Oktober 2005. Bangsa kita adalah bangsa yang relijius; juga, bangsa yang
menjunjung tinggi, menghormati dan mengamalkan ajaran agama masing-masing.
Karena itu, setiap umat beragama hendaknya memahami falsafah Pancasila itu
sejalan dengan nilai-nilai ajaran agamanya masing-masing. Dengan demikian, kita
akan menempatkan falsafah negara di posisinya yang wajar. Saya berkeyakinan
dengan sedalam-dalamnya bahwa lima sila di dalam Pancasila itu selaras dengan
ajaran agama-agama yang hidup dan berkembang di tanah air. Dengan demikian, kita
dapat menghindari adanya perasaan kesenjangan antara meyakini dan mengamalkan
ajaran-ajaran agama, serta untuk menerima Pancasila sebagai falsafah negara
(Yudhoyono dalam Wildan (ed.),2010: 172).
Dengan penerimaan Pancasila oleh hampir seluruh kekuatan bangsa,
sebenarnya tidak ada alasan lagi untuk mempertentangkan nilai-nilai Pancasila
dengan agama mana pun di Indonesia. Penerimaan sadar ini memerlukan waktu lama
tidak kurang dari 40 tahun dalam perhitungan Maarif, sebuah pergulatan sengit yang
telah menguras energi kita sebagai bangsa. Sebagai buah dari pergumulan panjang
itu, sekarang secara teoretik dari kelima nilai Pancasila tidak satu pun lagi yang
dianggap berlawanan dengan agama. Sila pertama berupa “Ketuhanan Yang Maha
Esa” dikunci oleh sila kelima “Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia,” dari
sudut pemahaman saya sebagai seorang Muslim, sejalan dan senyawa dengan doktrin
tauhid yang menuntut tegaknya keadilan di muka bumi (Maarif, 2012).
Kaelan (dalam Wahyudi (ed.), 2009: 243-246) memetakan persoalan yang
menyangkut hubungan agama dengan Pancasila, yang dikelompokkan dalam tiga
tahap, yaitu:
Pertama, terjadi ketika kaum “nasionalis” mengajukan Pancasila sebagai dasar filsafat
negara menjelang kemerdekaan Indonesia. Para tokoh pendiri negara dari kelompok
nasionalis Islam dan nasionalis terlibat perdebatan tentang dasar filsafat dan ideologi
Negara Indonesia yang akan didirikan kemudian.
Kedua, respon umat Islam terhadap Pancasila tatkala pada tahun 1978 pemerintah
Orde Baru mengajukan P-4 untuk disahkan. Dalam hubungan ini pada awalnya
banyak tokoh-tokoh Islam merasa keberatan, namun kemudian menerimanya.
Ketiga, ketika tahun 1985 pemerintah mengajukan Pancasila sebagai asas tunggal
bagi semua organsiasi politik dan kemasyarakatan di Indonesia. Kebijakan ini banyak
mendapatkan tantangan dari umat Islam bahkan terdapat beberapa ormas yang
dibekukan karena asas tersebut.
Namun untuk menengahi permasalahan tersebut, Abdurrahman Wahid
(Oesman dan Alfian (ed), 1990: 167-168) secara gamblang menyatakan bahwa
“agama tetap menjadi referensi umum bagi Pancasila, dan agama-agama harus
memperhitungkan eksistensi Pancasila sebagai “polisi lalu lintas” yang menjamin
semua pihak dapat menggunakan jalan raya kehidupan bangsa tanpa terkecuali”.

28
Sejalan dengan pendapat tersebut, tokoh Masyumi, Muhammad Roem, berpendapat
bahwa kita sepakat tentang dasar negara mengenai Ketuhanan Yang Maha Esa,
berarti bahwa masing-masing percaya kepada Tuhan menurut agamanya sendiri-
sendiri, dengan kesadaran bahwa bersama kita dapat mendirikan Negara yang kuat
sentosa karena esensi dari agama, ialah hidup berbakti, menjunjung keadilan, cinta
dan kasih sayang terhadap sesama makhluk (Roem dan Salim, 1977: 116).
Bilamana dirinci, maka hubungan negara dengan agama menurut NKRI yang
berdasarkan Pancasila adalah sebagai berikut (Kaelan, 2012: 215-216):
a. Negara adalah berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa.
b. Bangsa Indonesia adalah sebagai bangsa yang ber- Ketuhanan yang Maha Esa.
Konsekuensinya setiap warga memiliki hak asasi untuk memeluk dan menjalankan
ibadah sesuai dengan agama masingmasing.
c. Tidak ada tempat bagi atheisme dan sekularisme karena hakikatnya manusia
berkedudukan kodrat sebagai makhluk Tuhan.
d. Tidak ada tempat bagi pertentangan agama, golongan agama, antar dan inter
pemeluk agama serta antar pemeluk agama.
e. Tidak ada tempat bagi pemaksaan agama karena ketakwaan itu bukan hasil peksaan
bagi siapapun juga.
f. Memberikan toleransi terhadap orang lain dalam menjalankan agama dalam negara.
g. Segala aspek dalam melaksanakan dan menyelenggatakan negara harus sesuai
dengan nilai-nilai Ketuhanan yang Maha Esa terutama norma-norma Hukum
positif maupun norma moral baik moral agama maupun moral para penyelenggara
negara.
h. Negara pda hakikatnya adalah merupakan “…berkat rahmat Allah yang Maha
Esa”.
Berdasarkan kesimpulan Kongres Pancasila (Wahyudi (ed.), 2009: 58),
dijelaskan bahwa bangsa Indonesia adalah bangsa yang religius. Religiusitas
bangsa Indonesia ini, secara filosofis merupakan nilai fundamental yang
meneguhkan eksistensi negara Indonesia sebagai Negara yang ber-Ketuhanan
Yang Maha Esa. Ketuhanan Yang Maha Esa merupakan dasar kerohanian bangsa
dan menjadi penopang utama bagi persatuan dan kesatuan bangsa dalam rangka
menjamin keutuhan NKRI. Karena itu, agar terjalin hubungan selaras dan
harmonis antara agama dan negara, maka negara sesuai dengan Dasar Negara
Pancasila wajib memberikan perlindungan kepada agama-agama di Indonesia.

29
BAB III
IDENTITAS NASIONAL

3.1.Karakteristik Identitas Nasional

Setiap bangsa memiliki karakter dan identitasnya masing-masing. Apabila


mendengar kata Barat, tergambar masyarakat yang individualis, rasional, dan
berteknologi maju. Mendengar kata Jepang tergambar masyarakat yang berteknologi
tinggi namun tetap melaksanakan tradisi ketimurannya. Bagaimana dengan
Indonesia? Orang asing yang datang ke Indonesia biasanya akan terkesan dengan
keramahan dan kekayaan budaya kita.
Indonesia adalah negara yang memiliki keunikan di banding Negara yang lain.
Indonesia adalah negara yang memiliki pulau terbanyak di dunia, negara tropis yang
hanya mengenal musim hujan dan panas, negara yang memiliki suku, tradisi dan
bahasa terbanyak di dunia. Itulah keadaan Indonesia yang bisa menjadi ciri khas yang
membedakan dengan bangsa yang lain.
Salah satu cara untuk memahami identitas suatu bangsa adalah dengan cara
membandingkan bangsa satu dengan bangsa yang lain dengan cara mencari sisi-sisi
umum yang ada pada bangsa itu. Pendekatan demikian dapat menghindarkan dari
sikap kabalisme, yaitu penekanan yang terlampau berlebihan pada keunikan serta
ekslusivitas yang esoterik, karena tidak ada satu bangsapun di dunia ini yang mutlak
berbeda dengan bangsa lain. 1 Pada bab ini akan dibicarakan tentang pengertian
identitas nasional, identitas nasional sebagai karakter bangsa, proses berbangsa dan
bernegara dan politik identitas.
Identitas nasional (national identity) adalah kepribadian nasional atau jati diri
nasional yang dimiliki suatu bangsa yang membedakan bangsa satu dengan bangsa
yang lain.2 Ada beberapa faktor yang menjadikan setiap bangsa memiliki identitas
yang berbeda-beda. Faktor-faktor tersebut adalah: keadaan geografi, ekologi,
demografi, sejarah, kebudayaan, dan watak masyarakat. Watak masyarakat di negara
yang secara geografis mempunyai wilayah daratan akan berbeda dengan negara
kepulauan.Keadaan alam sangat mempengaruhi watak masyarakatnya.
Bangsa Indonesia memiliki karakter khas dibanding bangsa lain yaitu
keramahan dan sopan santun. Keramahan tersebut tercermin dalam sikap mudah
menerima kehadiran orang lain. Orang yang datang dianggap sebagai tamu yang
harus dihormati. Sehingga banyak kalangan bangsa lain yang datang ke Indonesia
merasakan kenyamanan dan kehangatan tinggal di Indonesia.
Bangsa Indonesia adalah bangsa agraris. Sebagaian besar penduduk Indonesia
bermata pencaharian sebagai petani. Sistem kemasyarakatan secara umum di

1
Darmaputra, 1988, Pancasila Identitas dan Modernitas: Tinjauan Etis dan Budaya, PT.
BPK Gunung Mulia, Jakarta, hal.1.
2
Tim Nasional Dosen Pendidikan Kewarganegaraan, 2011, Pendidikan Kewarganegaraan:
Paradigma Terbaru untuk Mahasiswa, Alfabeta, Bandung, hal.66.

30
sebagian besar suku-suku di Indonesia adalah sistem Gemmeinschaaft
(paguyuban/masyarakat sosial/bersama). Suatu sistem kekerabatan dimana
masyarakat mempunyai ikatan emosional yang kuat dengan kelompoknya etnisnya.
Masyarakat Indonesia mempunyai kecenderungan membuat perkumpulan-
perkumpulan apabila mereka berada di luar daerah, misalnya: Persatuan Mahasiswa
Sulawesi, Riau, Aceh, Kalimantan, Papua dan lain-lain di Yoggjakarta . Ikatan
kelompok ini akan menjadi lebih luas jika masyarakat Indonesia di luar negeri. Ikatan
emosional yang terbentuk bukan lagi ikatan kesukuan, tetapi ikatan kebangsaan.
Masyarakat Indonesia jika berada di luar negeri biasanya mereka akan membuat
organisasi paguyuban Indonesia di mana mereka tinggal. Inilah cirri khas Bangsa
Indonesia yang bisa membangun identitas nasional. Nasional dalam hal ini adalah
dalam kontek bangsa (masyarakat), sedangkan dalam konteks bernegara, identitas
nasional bangsa Indonesia tercermin pada: bahasa nasional, bendera, lagu
kebangsaan, lambing negara gambar Garuda Pancasila dan lain-lain.
Identitas Nasional dalam konteks bangsa (masyarakat Indonesia) cenderung
mengacu pada kebudayaan atau kharakter khas. Sedangkan identitas nasional dalam
konteks negara tercermin dalam sombol-simbol kenegaraan. Kedua unsur identitas ini
secara nyata terangkum dalam Pancasila. Pancasila dengan demikian merupakan
identitas nasional kita dalam bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.
Bangsa Indonesia pada dasarnya adalah bangsa yang religius, humanis,
menyukai persatuan/kekeluargaan, suka bermusyawarah dan lebih mementingkan
kepentingan bersama. Itulah watak dasar bangsa Indonesia. Adapun apabila terjadi
konflik sosial dan tawuran di kalangan masyarakat, itu sesungguhnya tidak
menggambarkan keseluruhan watak bangsa Indonesia.
Secara kuantitas, masyarakat yang rukun dan toleran jauh lebih banyak
daripada yang tidak rukun dan toleran. Kesadaran akan kenyataan bahwa bangsa
Indonesia adalah bangsa yang majemuk adalah sangat penting. Apabila kesadaran
tersebut tidak dimiliki, maka keragaman yang bias menjadi potensi untuk maju justru
bisa menjadi masalah. Keragaman yang ada pada bangsa Indonesia semestinya tidak
dilihat dalam konteks perbedaan namun dalam konteks kesatuan. Analogi kesatuan
itu dapat digambarkan seperti tubuh manusia yang terdiri atas kepala, badan, tangan
dan kaki, yang meskipun masing-masing organ tersebut berbeda satu sama lain,
namun keseluruhan organ tersebut merupakan kesatuan utuh tubuh manusia. Itulah
gambaran utuh kesatuan bangsa Indonesia yang diikat dengan semboyan Bhinneka
Tungkal Ika, meskipun berbeda-beda namun tetap satu, sebagai dasar kehidupan
bersama ditengah kemajemukan.
Selain faktor-faktor yang sudah menjadi bawaan sebagaimana disebut di atas,
identitas nasional Indonesia juga diikat atas dasar kesamaan nasib karena sama-sama
mengalami penderitaan yang sama ketika dijajah.
Kemajemukan diikat oleh kehendak yang sama untuk meraih tujuan yang
sama yaitu kemerdekaan. Dengan demikian ada dua faktor penting dalam
pembentukan identitas yaitu faktor primordial dan faktor kondisional. Faktor
primordial adalah faktor bawaan yang bersifat alamiah yang melekat pada bangsa

31
tersebut, seperti geografi, ekologi dan demografi, sedangan factor kondisional adalah
keadaan yang mempengaruhi terbentuknya identitas tersebut. Apabila bangsa
Indonesia pada saat itu tidak dijajah oleh Portugis, Belanda dan Jepang bisa jadi
negara Indonesia tidak seperti yang ada saat ini.
Identitas nasional tidak bersifat statis namun dinamis. Selalu ada kekuatan
tarik menarik antara etnisitas dan globalitas. Etnisitas memiliki watak statis,
mempertahankan apa yang sudah ada secara turun temurun, selalu ada upaya
fundamentalisasi dan purifikasi, sedangkan globalitas memiliki watak dinamis, selalu
berubah dan membongkar hal-hal yang mapan, oleh karena itu, perlu kearifan dalam
melihat ini. Globalitas atau globalisasi adalah kenyataan yang tidak mungkin
dibendung, sehingga sikap arif sangat diperlukan dalam hal ini. Globalisasi itu tidak
selalu negatif. Kita bisa menikmati HP, komputer, transportasi dan teknologi canggih
lainnya adalah karena globalisasi, bahkan kita mengenal dan menganut enam agama
(resmi pemerintah) adalah proses globalisasi juga. Sikap kritis dan evaluative
diperlukan dalam menghadapi dua kekuatan itu. Baik etnis maupun globalisasi
mempunyai sisi positif dan negatif. Melalui proses dialog dan dialektika diharapkan
akan mengkonstruk ciri yang khas bagi identitas nasional kita. Sebagai contoh adalah
pandangan etnis seperti sikap (nrimo,Jawa) yang artinya menerima apa adanya. Sikap
nrimo secara negatif bias dipahami sikap yang pasif, tidak responsif bahkan malas.
Sikap nrimo secara positif bisa dipahami sebagai sikap yang tidak memburu nafsu,
menerima setiap hasil usaha keras yang sudah dilakukan. Sikap positif demikian
sangat bermanfaat untuk menjaga agar orang tidak stres karena keinginannya tidak
tercapai. Sikap nrimo justru diperlukan dalam kehidupan yang konsumtif kapitalistik
ini.

3.2. Identitas Nasional Sebagai Karakter Bangsa

Setiap bangsa memiliki identitasnya. Dengan memahami identitas bangsa


diharapkan akan memahami jati diri bangsa sehingga menumbuhkan kebanggaan
sebagai bangsa. Dalam pembahasan ini tentu tidak bias mengabaikan pembahasan
tentang keadaan masa lalu dan masa sekarang, antara idealitas dan realitas dan antara
das Sollen dan das Seinnya.
Karakter berasal dari bahasa latin “kharakter, kharassein atau kharax”, dalam
bahasa Prancis “caractere” dalam bahasa Inggris “character. Dalam arti luas
karakter berarti sifat kejiwaan, akhlak, budi pekerti, tabiat, watak yang membedakan
seseorang dengan orang lain.3 Sehingga karakter bangsa dapat diartikan tabiat atau
watak khas bangsa Indonesia yang membedakan bangsa Indonesia dengan bangsa
lain.
Menurut Max Weber4 cara yang terbaik untuk memahami suatu masyarakat
adalah dengan memahami tingkah laku anggotanya. Dan cara memahami tingkah

3
Ibid., hal.67.
4
Dharmaputra, op.cit., hal.3.

32
laku anggota adalah dengan memahami kebudayaan mereka yaitu sistem makna
mereka. Manusia adalah makhluk yang selalu mencari makna terus menerus atas
semua tindakannya. Makna selalu menjadi orientasi tindakan manusia baik disadari
atau tidak. Manusia juga mencari dan berusaha menjelaskan ‘logika’ dari tingkah
laku sosial masyarakat tertentu melalui kebudayaan mereka sendiri.
Dalam masyarakat berkembang atau masyarakat Dunia Ketiga, pada
umumnya menghadsapi tiga masalah pokok yaitu nation-building, stabilitas politik
dan pembangunan ekonomi. Nation-building adalah masalah yang berhubungan
dengan warsian masa lalu, bagaimana masyarakat yang beragam berusaha
membangun kesatuan bersama. Stabilitas politik merupakan masalah yang terkait
dengan realitas saat ini yaitu ancaman disintegrasi.
Sedangkan masalah pembangaunan ekonomi adalah masalah yang terkait
dengan masa depan yaitu (dalam konteks Indonesia) masyarakat adil dan makmur.5
Identitas dan modernitas juga seringkali mengalami tarik menarik. Atas nama
identitas seringkali menutup diri dari perubahan, ada kekhawatiran identitas yang
sudah dibangun oleh para pendahulu tercerabut dan hilang. Sehingga identitas bukan
sesuatu yang hanya dipertahankan namun juga selalu berproses mengalami
perkembangan. Pembentukan identitas Indonesia juga mengalami hal demikian.
Indonesia yang memiliki beribu etnis harus menyatukan diri membentuk satu
identitas yaitu Indonesia, suatu proses yang sangat berat kalau tidak ada
kelapangdadaan bangsa ini untuk bersatu. Bukan hanya etnik yang beragam,
Indonesia juga terdiri atas kerajaan-kerajaan yang sudah establish memiliki wilayah
dan rajanya masing-masing dan bersedia dipersatukan dengan sistem pemerintahan
baru yang modern yaitu demokrasi presidensial.
Dalam konteks ini Soekarno pernah mengatakan: “Saja berkata dengan penuh
hormat kepada kita punja radja-radja dahulu, saja berkata dengan beribu-ribu hormat
kepada Sultan Agung Hanjokrosusumo, bahwa Mataram, meskipun merdeka, bukan
nationale staat. Dengan perasaan hormat kepada Prabu Siliwangi di Padjajaran, saja
berkata, bahwa keradjaannja bukan nationale staat, Dengan perasaan hormat kepada
Prabu Sultan Agung Tirtajasa, saja berkata, bahwa keradjaannja di Banten, meskipun
merdeka, bukan nationale staat. Dengan perasaan hormat kepada Sultan Hasanoeddin
di Sulawesi, jang telah membentuk keradjaan Bugis, saja berkata, bahwa tanah Bugis
jang merdeka itu bukan nationale staat”.6
Negara bangsa adalah negara yang lahir dari kumpulan bangsa-bangsa.
Negara Indonesia sulit terwujud apabila para raja bersikukuh dengan otoritas dirinya
dan ingin mendirikan negaranya sendiri. Keadaan demikian tentu mengindikasikan
ada hal yang sangat kuat yang mampu menyatukan beragam otoritas tersebut.
Keadaan geografis semata tentu tidak cukup mampu menyatukannya karena
secara geografis sulit membedakan kondisi wilayah geografis Indonesia dengan
Malaysia, Pilipina, Singapura dan Papua Nugini.

5
Ibid., hal.5.
6
Ibid.

33
Akan tetapi perasaan yang sama karena mengalami nasib yang sama kiranya
menjadi faktor yang sangat kuat. Selain daripada itu apabila menggunakan
pendekatan Weber sebagaimana tersebut di atas, maka kesatuan sistem makna juga
menjadi salah satu faktor pemersatu.
Sistem makna cenderung bersifat langgeng dan tetap meskipun pola perilaku
dapat berbeda atau berubah. Sistem makna yang membangun identitas Indonesia
adalah nilai-nilai sebagaimana termaktub dalam Pancasila. Nilai-nilai Pancasila
mengandung nilai-nilai yang merupakan sistem makna yang mampu menyatukan
keragaman bangsa Indonesia. Nilai-nilai tersebut hidup dalam sendi kehidupan di
seluruh wilayah Indonesia. Tidak ada literatur yang menunjukkan bahwa ada wilayah
di Indonesia yang menganut paham ateis. Seluruh masyarakat memahami adanya
Realitas Tertinggi yang diwujudkan dalam ritual-ritual peribadatan. Ada
penyembahan bahkan pengorbanan yang ditujukan kepada Zat yang Supranatural
yaitu Tuhan. Masyarakat tidak menolak ketika‘Ketuhanan’ dijadikan sebagai dasar
fundamental negara ini.
Dari penjelasan ini dapatlah dikatakan bahwa identitas bangsa Indonesia
adalah Pancasila itu sendiri, sehingga dapat pula dikatakan bahwa Pancasila adalah
karakter bangsa. Nilai-nilai tersebut bersifat esoterik (substansial), ketika terjadi
proses komunikasi, relasi dan interaksi dengan bangsa-bangsa lain realitas eksoterik
juga mengalami perkembangan.
Pemahaman dan keyakinan agama berkembang sehingga terdapat paham baru
di luar keyakinan yang sebelumnya dianut. Pemahaman kemanusiaan juga
berkembang karena berkembangnya wacana tentang hak asasi manusia. Kecintaan
pada tanah air kerajaannya dileburkan dalam kecintaan pada Indonesia. Pemerintahan
yang monarkhi berubah menjadi demokrasi. Konsep keadilan juga melintasi tembok
etnik.
Para pendiri bangsa melalui sidang BPUPKI berusaha menggali nilai-nilai
yang ada dan hidup dalam masyarakat, nilai-nilai yang existing maupun nilai-nilai
yang menjadi harapan seluruh bangsa. Melalui pembahasan yang didasari niat tulus
merumuskan pondasi berdirinya negara ini maka muncullah Pancasila. Dengan
demikian karena Pancasila digali dari pandangan hidup bangsa, maka Pancasila dapat
dikatakan sebagai karakter sesungguhnya bangsa Indonesia.
Pancasila dirumuskan melalui musyawarah bersama anggota BPUPKI yang
diwakili oleh berbagai wilayah dan penganut agama, bukan dipaksakan oleh suatu
kekuatan/rezim tertentu. Dengan demikian Pancasila betul-betul merupakan nilai
dasar sekaligus ideal untuk bangsa Indonesia. Nilai-nilai yang merupakan identitas
sekaligus karakter bangsa.7
Lima nilai dasar yaitu ketuhanan, kemanusiaan, persatuan, kerakyatan dan
keadilan adalah realitas yang hidup di Indonesia. Apabila kita tinggal di luar negeri
amatlah jarang kita mendengar suara lonceng gereja, adzan magrib atau suara

7
Kaelan; Zubaidi, Achmad, 2007, Pendidikan Kewarganegaraan untuk Perguruan Tinggi
berdasar SK Dirjen Dikti No 43/DIKTI/KEP/2006, Paradigma, Yogyakarta.hal.52.

34
panggilan dari tempat ibadah agama. Suara itu di Indonesia sudah amat biasa. Ada
kesan nuansa religiusitas yang kental yang dalam kehidupan bangsa kita, sebagai
contoh masyarakat Bali setiap saat orang melakukan upacara sebagai bentuk
persembahan kepada Tuhan Yang Maha Kuasa, suasana sakralitas religius amatlah
terasa karena Gotong royong sebagai bentuk perwujudan dari kemanusiaan dan
persatuan juga tampak kental di Indonesia yang tidak ditemukan di negara lain.
Kerjabakti bersama dan ronda, misalnya, adalah salah satu contoh nyata karakter
yang membedakan bangsa Indonesia dengan bangsa lain, bangsa yang komunal tanpa
kehilangan hak individualnya.

3.3. Proses berbangsa dan bernegara

Keberadaan bangsa Indonesia tidak lahir begitu saja, namun lewat proses
panjang dengan berbagai hambatan dan rintangan. Kepribadian, jati diri serta
identitas nasioanl Indonesia dapat dilacak dari sejarah terbentuknya bangsa Indonesia
dari zaman kerajaan Kutai, Sriwijaya serta kerajaankerajaan lain sebelum
kolonialisme dan imperialisme masuk ke Indonesia.
Nilai-nilai Pancasila sudah ada pada zaman itu, tidak hanya pada era colonial
atau pasca kolonial. Proses terbentuknya nasionalisme yang berakar pada budaya ini
menurut Mohammad Yamin diistilahkan sebagai fase nasionalisme lama 8
Pembentukan nasionalisme modern menurut Yamin dirintis oleh para tokoh pejuang
kemerdekaan dimulai dari tahun 1908 berdirinya organisasi pergerakan Budi Utomo,
kemudian dicetuskannya Sumpah Pemuda pada tahun 1928. Perjuangan terus bergulir
hingga mencapai titik kulminasinya pada tanggal 17 Agustus 1945 sebagai tonggak
berdirinya negara Republik Indonesia 9 Indonesia adalah negara yang terdiri atas
banyak pulau, suku, agama, budaya maupun bahasa, sehingga diperlukan satu
pengikat untuk menyatukan keragaman tersebut. Nasionalisme menjadi syarat mutlak
bagi pembentukan identitas bangsa.
Proses bernegara merupakan kehendak untuk melepaskan diri dari penjajahan,
mengandung upaya memiliki kemerdekaan untuk mengatur negaranya sendiri secara
berdaulat tidak dibawah cengkeraman dan kendali bangsa lain. Dua peristiwa penting
dalam proses bernegara adalah sidang-sidang Badan Penyelidik Usaha-usaha
Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) dan sidang-sidang Panitia Persiapan
Kemerdekaan Indonesia (PPKI)
a. Pemerintah Jepang berjanji akan memberikan kemerdekaan kepada bangsa
Indonesia pada tanggal 24 Agustus 1945. Janji itu disampaikan oleh Perdana
menteri Jepang Jenderal Kunaiki Koisu (Pengganti Perdana Menteri Tojo)
dalam Sidang Teikuku Gikoi (Parlemen Jepang). Realisasi dari janji itu maka
dibentuklah BPUPKI (Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan
Kemerdekaan Indonesia) pada 29 April 1945 dan dilantik pada 28 Mei 1945

8
Ibid.
9
Ibid., hal.53.

35
yang diketuai oleh Dr. KRT. Radjiman Wedyodiningrat. Peristiwa inilah yang
menjadi tonggak pertama proses Indonesia menjadi negara.Pada sidang ini
mulai dirumuskan syarat-syarat yang diperlukan untuk mendirikan negara
yang merdeka10
b. Pembentukan PPKI (Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia) setelah
sebelumnya membubarkan BPUPKI pada 9 Agustus 1945.Ketua PPKI adalah
Ir. Soekarno dan wakil ketua adalah Drs. Moh. Hatta. Badan yang mula-mula
buatan Jepang untuk memersiapkan kemerdekaan Indonesia, setelah Jepang
takluk pada Sekutu dan setelah diproklamirkan Kemerdekaan Indonesia, maka
badan ini mempunyai sifat ‘Badan Nasional’ yang mewakili seluruh bangsa
Indonesia. Dengan penyerahan Jepang pada sekutu maka janji Jepang tidak
terpenuhi, sehingga bangsa Indonesia dapat memproklamirkan diri menjadi
negara yang merdeka.
c. Proklamasi kemerdekaan Indonesia 17 Agustus 1945 dan penetapan Undang
undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 pada sidang PPKI
tanggal 18 Agustus 1945. Peristiwa ini merupakan momentum yang paling
penting dan bersejarah karena merupakan titik balik dari negara yang terjajah
menjadi negara yang merdeka.

10
Bakry, Noor Ms, 2009, Pendidikan Kewarganegaraan, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, hal.91.

36
BAB IV
POLITIK DAN STRATEGI

4.1. Sistem Konstitusi


Kajian terhadap hukum dasar (konstitusi) suatu negara, secara teori tidak bisa
dilepaskan dari praktik ketatanegaraan yang telah berjalan, karena sistem
ketatanegaraan Indonesia dijalankan berdasarkan tidak hanya pada konstitusi tertulis
(UUD), tetapi juga didasarkan pada kebiasaan praktik penyelenggaraan pemerintahan
setempat.
Sejarah dari negara-negara yang memiliki konstitusi merupakan sejarah
gerakan perjuangan rakyat melawan tirani dan absolutisme, suatu perjuangan dari
hak-hak dan kebebasan-kebebasan melawan kekuasaan yang sewenang-wenang dan
mutlak. Oleh sebab itu, konstitusi, sekali lagi, bertujuan untuk membatasi kekuasaan
pemerintah dan mengontrol pelaksanaan dari kekuasaan itu, sehingga hak dan
kebebasan rakyat itu dapat mengimbangi kekuasaan dan pelaksanaan
pemerintahannya. Dalam diskursus konstitusi pula, soal kebebasan dan kekuasaan
adalah fungsi yang saling melengkapi secara timbal balik. Diskursus tersebut melihat
sebesar apa hubungan fungsional antara keduanya, tarik ulur antara besar-kecilnya
kewenangan dan luas sempitnya kebebasan adalah suatu dinamika yang tak habis-
habisnya dalam dunia politik. Termasuk keinginan untuk memasukkan pasal-pasal
dalam soal hak asasi manusia dan tanggung jawab negara dalam pemenuhannya.
Tentu, bahwa konstitusi bukanlah sekedar sebagai dokumen atau pasal-pasal
dan ayat-ayat hukum yang positif dan formal sifatnya, konstitusi itu tidak cuma
menyuguhkan apa yang tersurat, melainkan juga menyiratkan ajaran atau doktrin
penting tentang pembebasan dan kebebasan manusia hak-hak warga. Maka, ia juga
menjadi ‘isme’, disebut konstitutionalisme yang mengajarkan keyakinan bahwa
kekuasaan itu hanyalah fungsi kebebasan, dan tidak sebaliknya bahwa kewenangan
itulah yang menjamin terwujudnya kebebasan. Ide konstitutionalisme memiliki dua
esensi doktrinal: Pertama, doktrin kebebasan sebagai hak manusia yang tak hanya
asasi akan tetapi juga kodrati, yang tidak bisa diambil alih kapanpun oleh kekuasaan
manapun dalam kehidupan bernegara (inalienability). Kedua, doktrin rule of law atau
doktrin supremacy state of law, yang mengajarkan otoritas hukum itu secara universal
mestilah mengatasi otoritas politik, dan tidak sebaliknya.11
Meskipun demikian, UUD sebagai hukum tata negara tertulis memiliki ajaran-
ajaran (karena mengandung tinjauan ideologi dan filosofi negara) yang menjadi
pemandu ukuran konstitutionalitas bagi tindakan (tanggung jawab) pemerintah atas
nama negara terhadap rakyatnya. Mengkaji sistem ketatanegaraan belumlah cukup
hanya dengan mengkaji dari sisi asas atau ajaran dalam konstitusi, karena konstitusi
berbeda dengan hukum konstitusi dan ia hanya salah satu sumber dari hukum

11
Soetandyo Wignyosoebroto, Konstitusi, Konstitutionalisme dan Hak Asasi Manusia,
dalam Tolerasi dalam Keragaman : Visi untuk Abad ke-21, Kumpulan Tulisan tentang Hak Asasi
Manusia, Pusham Ubaya dan The Asia Foundation, Surabaya, Januari 2003, h. 16-18.

37
konstitusi. Finer menyatakan, “that these documents are highly incomplete, if not
misleading, guides to actual practice, that is to what is often called the “working
constitution” or the “governance” of a country.”12

4.1.1. Konstitusi dan Undang-Undang Dasar

Kata ‘konstitusi” yang berarti pembentukan, berasal dari kata “constituer”


(Perancis) yang berarti membentuk. Sedangkan istilah “undang-undang dasar”
merupakan terjemahan dari bahasa Belanda “grondwet”. “Grond” berarti dasar, dan
“wet” berarti undang-undang. Jadi Grondwet sama dengan undang-undang dasar.
Namun dalam kepustakaan Belanda dikenal pula istilah “constitutie” yang artinya
juga undang-undang dasar. Dalam kepustakaan hukum di Indonesia juga dijumpai
istilah “hukum dasar”. Hukum memiliki pengertian yang lebih luas dibandingkan
dengan undang-undang. Kaidah hukum bisa tertulis dan bisa tidak tertulis, sedangkan
undang-undang menunjuk pada aturan hukum yang tertulis.
Atas dasar pemahaman tersebut, konstitusi disamakan pengertiannya dengan
hukum dasar, yang berarti sifatnya bisa tertulis dan tidak tertulis. Sedangkan undang-
undang dasar adalah hukum dasar yang tertulis atau yang tertuang dalam suatu
naskah/dokumen. Dengan demikian undang-undang dasar merupakan bagian dari
konstitusi. Sedangkan di samping undang-undang masih ada bagian lain dari hukum
dasar yakni yang sifatnya tidak tertulis, dan biasa disebut dengan konvensi atau
kebiasaan ketatanegaraan. Konvensi ini merupakan aturan-aturan dasar yang timbul
dan terpelihara dalam praktek penyelenggaraan Negara walaupun tidak tertulis.
Berikut ini pengertian yang menggambarkan perbedaan antara undang-undang
dasar dan konstitusi. Bahwa undang-undang dasar adalah suatu kitab atau dokumen
yang memuat aturan-aturan hukum dan ketentuan-ketentuan hukum yang pokok-
pokok atau dasar-dasar yang sifatnya tertulis, yang menggambarkan tentang sistem
ketatanegaraan suatu negara. Sedangkan konstitusi adalah dokumen yang memuat
aturan-aturan hukum dan ketentuan-ketentuan hukum yang pokok-pokok atau dasar-
dasar, yang sifatnya tertulis maupun tidak tertulis, yang menggambarkan tentang
sistem ketatanegaraan suatu negara. (Soehino, 1985:182).
Menurut James Bryce, konstitusi adalah suatu kerangka masyarakat politik
(negara) yang diorganisir dengan dan melalui hukum. (Stong, 2008:15). Dengan
demikian konstitusi merupakan kerangka kehidupan negara yang diatur dengan
ketentuan hukum.
Pendapat lainnya menyatakan bahwa konstitusi memiliki 2 (dua) pengertian,
yaitu pengertian yang luas dan pengertian yang sempit. Namun hampir semua negara
di dunia memberi arti konstitusi dalam pengertian yang sempit, kecuali di Inggris.
(Martosoewignjo, 1981:62).

12
SE Finer (et al.), Comparing Constitutions, 1995, h. 1.

38
Dalam pengertian yang sempit konstitusi hanya mengacu pada ketentuan-
ketentuan dasar yang tertuang dalam dokumen tertulis yaitu undang-undang dasar,
sehingga muncul sebutan seperti, Konstitusi Amerika Serikat, Konstitusi Perancis,
Konstitusi Swiss, dan sebagainya.
Sedangkan dalam pengertian yang luas, konstitusi juga mencakup kebiasaan
ketatanegaraan sebagai suatu kaidah yang sifatnya tidak tertulis. Jadi ketika istilah
“konstitusi” disamakan pengertiannya dengan “undang-undang dasar”, istilah tersebut
hendaknya dipahami dalam pengertian yang sempit.

4.1.2. Unsur-unsur yang Terdapat dalam Konstitusi

Undang-undang dasar atau konstitusi negara tidak hanya berfungsi membatasi


kekuasaan pemerintah, akan tetapi juga menggambarkan struktur pemerintahan suatu
negara. Menurut Savornin
Lohman ada 3 (tiga) unsur yang terdapat dalam konstitusi yaitu:
a. Konstitusi dipandang sebagai perwujudan perjanjian masyarakat (kontrak sosial),
sehingga menurut pengertian ini, konstitusikonstitusi yang ada merupakan hasil
atau konklusi dari persepakatan masyarakat untuk membina negara dan
pemerintahan yang akan mengatur mereka.
b. Konstitusi sebagai piagam yang menjamin hak-hak asasi manusia, berarti
perlindungan dan jaminan atas hak-hak manusia dan warga negara yang sekaligus
penentuan batas-batas hak dan kewajiban baik warganya maupun alat-alat
pemerintahannya.
c. Konstitusi sebagai forma regimenis, yaitu kerangka bangunan pemerintahan.
(Lubis, 1982:48)

Pendapat lain dikemukakan oleh Sri Sumantri, yang menyatakan bahwa


materi muatan konstitusi dapat dikelompokkan menjadi tiga, yaitu:
a. Pengaturan tentang perlindungan hak asasi manusia dan warga negara,
b. Pengaturan tentang susunan ketatanegaraan suatu negara yang mendasar,
c. Pembatasan dan pembagian tugas-tugas ketatanegaraan yang juga mendasar.
(Chaidir, 2007:38).
Menurut CF. Strong, konstitusi memuat hal-hal sebagai berikut:
a. Cara pengaturan berbagai jenis institusi;
b. Jenis kekuasaan yang diberikan kepada institusi-institusi tersebut;
c. Dengan cara bagaimana kekuasaan tersebut dilaksanakan. (Stong, 2008:16).

Dari beberapa pendapat sebagaimana di atas, dapat dekemukakan bahwa


unsur-unsur yang terdapat dalam konstitusi modern meliputi ketentuan tentang:
a. Struktur organisasi negara dengan lembaga-lembaga negara di dalamnya;
b. Tugas/wewenang masing-masing lembaga negara dan hubungan tatakerja antara
satu lembaga dengan lembaga lainnya;
c. Jaminan hak asasi manusia dan warga negara.

39
4.1.3. Perubahan Konstitusi

Betapapun sempurnanya sebuah konstitusi, pada suatu saat konstitusi itu bisa
ketinggalan jaman atau tidak sesuai lagi dengan dinamika dan perkembangan
masyarakat. Karena itulah perubahan atau amandemen konstitusi merupakan sesuatu
hal yang wajar dan tidak perlu dianggap sebagai sesuatu yang istimewa. Yang penting
bahwa perubahan itu didasarkan pada kepentingan negara dan bangsa dalam arti
yangNsebenarnya, dan bukan hanya karena kepentingan politik sesaat dari golongan
atau kelompok tertentu.
Secara teoritik perubahan undang-undang dasar dapat terjadi melalui berbagai
cara. CF. Strong menyebutkan 4 (empat) macam cara perubahan terhadap undang-
undang dasar, yaitu:
a. oleh kekuasaan legislatif tetapi dengan pembatasan-pembatasan tertentu,
b. oleh rakyat melalui referendum,
c. oleh sejumlah negara bagian- khususnya untuk negara serikat,
d. dengan kebiasaan ketatanegaraan, atau oleh suatu lembaga Negara yang khusus
dibentuk untuk keperluan perubahan.

Sedangkan KC. Wheare (2010) mengemukakan bahwa perubahan konstitusi


dapat terjadi dengan berbagai cara, yaitu:
a. perubahan resmi,
b. penafsiran hakim,
c. kebiasaan ketatanegaraan/konvensi.

Tentang perubahan terhadap UUD 1945, sesuai pasal 37 ketentuan tentang


perubahan itu adalah sebagai berikut:
a. Usul perubahan pasal-pasal dalam Undang-Undang Dasar dapat diagendakan
dalam sidang Majelis Permusyawaratan Rakyat apabila diajukan oleh sekurang-
kurangnya 1/3 dari jumlah anggota Majelis Permusyawaratan Rakyat.
b. Setiap usul perubahan pasal-pasal Undang-Undang Dasar diajukan secara tertulis
dan ditunjukkan dengan jelas bagian yang diusulkan untuk diubah beserta
alasannya.
c. Untuk mengubah pasal-pasal Undang-Undang Dasar, sidang Majelis
Permusyawaratan Rakyat dihadiri oleh sekurangkurangnya 2/3 dari jumlah
anggota Majelis Permusyawaratan Rakyat.
d. Putusan untuk mengubah pasal-pasal Undang-Undang Dasar dilakukan dengan
persetujuan sekurang-kurangnya limapuluh persen ditambah satu anggota dari
seluruh anggota Majelis Permusyawaratan Rakyat.
e. Khusus mengenai bentuk Negara Kesatuan Republik Indonesia tidak dapat
dilakukan perubahan. Sejak memasuki era reformasi muncul arus pemikiran
tentang keberadaan UUD 1945, yang sangat berbeda dengan pemikiran yang ada

40
sebelumnya. Secara garis besar arus pemikiran tersebut dapat dikemukakan antara
lain sebagai berikut:
Pertama, bahwa UUD 1945 mengandung rumusan pasal yang membuka peluang
timbulnya penafsiran ganda.
Kedua, bahwa UUD 1945 membawakan sifat executive heavy, yakni memberikan
kekuasaan yang terlalu besar kepada Presiden sebagai pemegang kekuasaan
eksekutif, sehingga kekuasaan yang lain yaitu legislative dan yudikatif
seakan-akan tersubordinasi oleh kekuasaan eksekutif.
Ketiga, sistem pemerintahan menurut UUD 1945 yang tidak tegas di antara sistem
pemerintahan presidensiil dan sistem pemerintahan parlementer, sehingga
ada yang menyebutnya sebagai sistem quasi presidensiil.
Keempat, perlunya memberikan kekuasaan yang luas kepada pemerintah daerah
untuk mengatur dan menyelenggarakan rumah tangganya sendiri, agar
daerah dapat mengembangkan diri sesuai dengan potensinya masing-
masing.
Kelima, rumusan pasal-pasal tentang hak asasi manusia yang ada dalam UUD 1945
dirasa kurang memadai lagi untuk mewadahi tuntutan perlindungan
terhadap hak asasi manusia dan warga negara seiring dengan
perkembangan global.

Arus pemikian sebagaimana dikemukakan di atas kemudian mewarnai


perubahan (amandemen) terhadap UUD 1945. Dengan demikian amandemen
terhadap UUD 1945 pada prinsipnya mengarah pada perubahan untuk menjawab
persoalan-persoalan sebagaimana dikemukakan di atas.
Dengan adanya ketentuan pasal UUD 1945 yang dapat menimbulkan
penafsiran ganda, telah dilakukan amandemen dengan menetapkan rumusan baru
yang lebih jelas dan eksplisit. Misalnya masa jabatan presiden, sebelum amandemen
dinyatakan bahwa “Presiden danWakil Presiden memegang jabatan selama lima
tahun dan sesudahnya dapat dipilih kembali”. Dalam ketentuan tidak menyebutkan
secara tegas dipilih kembali untuk berapa kali masa jabatan.
Dengan demikian dimaknai bahwa seseorang dapat dipilih menjadi Presiden
atau Wakil Presiden untuk beberapa kali masa jabatan tanpa batas. Dalam
amandemen UUD 1945 dirumuskan secara tegas bahwa presiden hanya dapat dipilih
kembali untuk satu kali masa jabatan, yang berarti bahwa orang yang sama akan
dapat memegang jabatan sebagai presiden maksimal dua kali masa jabatan. Terkait
dengan sifat executive heavy yang dibawakan oleh UUD 1945, pada amandemen
pertama telah dilakukan perubahan dan penambahan atas pasal 5 (1), pasal 7, pasal 9,
pasal 13 (2), pasal 14, pasal 15, pasal 17 (2) (3), pasal 20, dan pasal 21, yang pada
intinya mengatur pembatasan jabatan presiden, mengubah kewenangan legislative
yang semula di tangan presiden menjadi kewenangan DPR, serta menambah beberapa
substansi yang membatasi kewenangan prseiden. (Hidayat, 2002:1). Kewenangan-
kewenangan tertentu yang sebelumnya dapat dilakukan sendiri oleh presiden, setelah
amandemen harus dilakukan dengan memperhatikan pertimbangan dari lembaga yang

41
lain, seperti mengangkat duta dan konsul harus dengan pertimbangan DPR, memberi
grasi dan rehabilitasi dengan pertimbangan Mahkamah Agung, dan memberikan
amnesti serta abolisi harus dengan pertimbangan DPR. Hal itu jelas merupakan
pengurangan terhadap kekwenangan presiden.
Berkaitan dengan ketentuan sistem pemerintahan yang tidak tegas antara
presidential dan parlementer, melalui amandemen UUD 1945 ditegaskan system
pemerintahan presidential dengan munculnya ketentuan bahwa presiden dipilih secara
langsung oleh rakyat. (pasal 6A (1)).
Dengan pemilihan secara langsung oleh rakyat, kosekuensinya bahwa
presiden tidak lagi bertanggungjawab kepada MPR. MPR hanya dapat
memberhentikan presiden di tengah masa jabatannya setelah adanya keputusan
melanggar hukum yang dikeluarkan oleh Mahkamah Konstitusi, yakni berupa
pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, atau
perbuatan tercela, dan/atau pendapat bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden tidak
lagi memenuhi syarat menduduki jabatannya. Presiden juga tidak bertanggungjawab
kepada DPR baik langsung maupun tidak langsung, sehingga Presiden dan DPR tidak
dapat saling menjatuhkan. Semua itu merupakan indikasi sistem pemerintahan
presidential.
Menyangkut perlunya kesempatan yang lebih luas bagi daerah untuk
mengatur urusan daerahnya sendiri telah dilakukan amandemen terhadap pasal 18
UUD 1945 dengan menambahkan beberapa ayat serta menambahkan pasal 18 A dan
pasal 18 B. Dengan amandemen tersebut pemerintah daerah diberi kesempatan untuk
nenjalankan otonomi seluas-luasnya, adanya penghargaan dari pemerintah pusat atas
keragaman daerah dan kekhususan yang terdapat pada daerah-daerah tertentu, serta
pembagian kekuangan yang lebih adil antara pemerintah pusat dan pemerintah
daerah.
Sedangkan yang berkait dengan masalah hak asasi manusia sangat jelas
tampak bahwa amandemen terhadap UUD 1945 telah memasukkan cukup banyak
rumusan-rumusan baru tentang hak asasi manusia dan warga negara dengan
menambahkan pasal 28 A sampai dengan pasal 28 J.
Selanjutnya perubahan terhadap UUD dapat ditelaah dari beberapa segi yaitu
menyangkut sistem perubahan dan prosedur/mekanisme perubahannya, bentuk
hukum perubahannya, serta substansi materi yang diubah. (Hidayat, 2002: 4).
Tentang sistem perubahan dan prosedur perubahannya, amandemen terhadap
UUD 1945 menggunakan landasan sistem dan prosedur yang ditentukan pasal 37
UUD 1945. Mengenai bentuk hukumnya, secara teoritis dan praktek ketatanegaraan
dikenal adanya pola perubahan yang secara langsung dituangkan dalam teks UUD
yang lama dengan melakukan perubahan terhadap naskah aslinya (model Eropa
Kontinental). Di samping itu ada pola addendum dimana substansi perubahannya
dituangkan dalam suatu naskah yang terpisah dari naskah aslinya, sedangkan naskah
asli itu sendiri dibiarkan tetap dengan rumusan aslinya (model Amerika Serikat).
Dilihat dari aspek itu amandemen terhadap UUD 1945 dapat dikatakan mengikuti
model Amerika Serikat.

42
4.1.4. Peranan Konstitusi dalam Kehidupan Bernegara

Secara umum dapat dikatakan bahwa konstitusi disusun sebagai pedoman


dasar dalam penyelenggaraan kehidupan negara agar Negara berjalan tertib, teratur,
dan tidak terjadi tindakan yang sewenang-wenang dari pemerintah terhadap
rakyatnya. Untuk itu maka dalam konstitusi ditentukan kerangka bangunan suatu
negara, kewenangan pemerintah sebagai pihak yang berkuasa, serta hak-hak asasi
warga negara.
Menurut CF. Strong (2008:16), tujuan konstitusi adalah membatasi tindakan
sewenang-wenang pemerintah, menjamin hak-hak rakyat yang diperintah, dan
menetapkan pelaksanaan kekuasaan yang berdaulat. Dengan konstitusi tindakan
pemerintah yang sewenang-wenang dapat dicegah karena kekuasaan yang dimiliki
oleh pemerintah telah ditentukan dalam konstitusi dan pemerintah tidak dapat
melakukan tindakan semaunya di luar apa yang telah ditentukan dalam konstitusi
tersebut. Di pihak lain, hak-hak rakyat yang diperintah mendapatkan perlindungan
dengan dituangkannya jaminan hak asasi dalam pasal-pasal konstitusi.
Sedangkan menurut Lord Bryce, motif yang mendasari pembentukan
konstitusi adalah sebagai berikut (Chaidir, 2007:30):
a. The desire of the citizens to secure their own rights when threatened, and to restrain
the action of the ruler;
b. The desire on the part either of the ruled, or of the ruler wishing to please his
people, to set out of the form of the existing system in government, hither to in an
indenifite form, in positive terms in order that in future there shall be no possibility
of arbitrary action.
c. The desire of those creating a new political community to secure the method of
government in a form which shall have permanence and be comprehensible to the
subjects.
d. The desire to secure effective joint action by hither to separate communities, which
at the same time wish to retain certain rights and interest to themselves separately.

Atas dasar pendapat di atas dapatlah dinyatakan bahwa peranan konstitusi


bagi kehidupan negara adalah untuk memberikan landasan dan pedoman dasar bagi
penyelenggaraan ketatanegaraan suatu negara, membatasi tindakan pemerintah agar
tidak bertindak sewenang-wenang, dan memberikan jaminan atas hak asasi bagi
warga negara.

4.2. Sistem politik dan ketatanegaraan Indonesia

Untuk menelusuri sistem ketatanegaraannya, maka kita mengawali dengan


melihat bagaimana tujuan suatu negara itu. Ada dua pembedaan fungsi dan tujuan
negara, yakni fungsi dan tujuan negara klasik dan fungsi dan tujuan negara modern.

43
Fungsi dan tujuan negara klasik ialah hanya memelihara ketertiban dan keamanan
masyarakat, negara hanya merupakan negara penjaga malam (nacht wakerstaat).13
Sedangkan fungsi dan tujuan negara yang modern adalah di samping berfungsi
pemeliharaan ketertiban dan keamanan, negara juga berfungsi dan bertujuan untuk
menyelenggarakan kesejahteraan umum bagi seluruh warganya dalam arti seluas-
luasnya, jasmaniah, rohaniah, di lapangan ekonomi, sosial, kultural, dan lain-lain.14

BAB V
DEMOKRASI INDONESIA

13
J. Barent, Ilmu Politik (terjemahan dari De Wetenschap Der Politiek), PT. Pembangunan,
Jakarta, 1965, h. 152.
14
A. Mukhtie Fadjar, Tipe Negara Hukum, Bayumedia-Intrans, Malang, 2004, h. 34.

44
5.1. Konsep Dan Prinsip Demokrasi

Istilah demokrasi (democracy) berasal dari penggalan kata bahasa Yunani yakni
demos dan kratos/cratein. Demos berarti rakyat dan cratein berarti pemerintahan. Jadi
demokrasi berarti pemerintahan rakyat. Salah satu pendapat terkenal dikemukakan oleh
Abraham Lincoln di tahun 1863 yang mengatakan demokrasi adalah pemerintahan dari
rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat (government of the people, by the people and for
the people).
Lalu apa itu demokrasi? Demokrasi sebagai konsep sesungguhnya memiliki
banyak pengertian dari berbagai sudut pandang atau perspektif. Berbagai pendapat para
ahli banyak mengupas perihal demokrasi. Contoh yang dikemukakan oleh Abraham
Lincoln di atas, hanyalah salah satu contoh pengartian demokrasi. Robert Dahl sampai
pada pernyataan bahwa “ there is no democratic theory, there are only democratic
theories”. Bahkan Harold Laski mengutarakan bahwa demokrasi tidak dapat diberi
batasan, kerena rentang sejarahnya yang amat panjang dan telah berevolusi sebagai
konsep yang menentukan (Hendra Nurtjahjo, 2006: 71).
Berdasar banyak literatur yang ada, diyakini demokrasi berasal dari pengalaman
bernegara orang –orang Yunani Kuno, tepatnya di negara kota (polis) Athena pada
sekitar tahun 500 SM. Yunani sendiri pada waktu itu terdiri dari beberapa negara kota
(polis) seperti Athena, Makedonia dan Sparta. Pada tahun 508 SM seorang warga Athena
yaitu Kleistenes mengadakan beberapa pembaharuan pemerintahan negara kota Athena
(Magnis Suseno, 1997:100). Kleistenes membagi para warga Yunani yang pada waktu itu
berjumlah sekitar 300.000 jiwa kedalam beberapa “suku”, masing-masing terdiri atas
beberapa demes dan demes mengirim wakilnya ke dalam Majelis 500 orang wakil.
Keanggotaan majelis 500 itu dibatas satu tahun dan seseorang dibatasi hanya dua kali
selama hidupnya untuk dapat menjadi anggota. Majelis 500 mengambil keputusan
mengenai semua masalah yang menyangkut kehidupan kota Athena. Bentuk
pemerintahan baru ini disebut demokratia. Istilah demokratia sendiri dikemukakan oleh
sejarawan Herodotus (490-420 SM) untuk menyebut sistem kenegaraan hasil
pembeharuan Kleistenes tersebut. Sistem demokratia Athena akhirnya diambil alih oleh
banyak polis lain di Yunani. Demokrasi di Athena ini bertahan sampai dihancurkan oleh
Iskandar Agung dari Romawi pada tahun 322 SM. Sejak saat itu demokrasi Yunani
dianggap hilang dari muka bumi.
Selanjutnya Eropa memasuki abad kegelapan (Dark Age). Gagasan demokrasi
mulai berkembang lagi di Eropa terutama setelah kemunculan konsep nation state pada
abad 17. Gagasan ini disemai oleh pemikir-pemikir seperti Thomas Hobbes (1588-1679),
John Locke (1632-1704), Montesqiueu (1689-1755), dan JJ Rousseau (1712-1778), yang
mendorong berkembangnya demokrasi dan konstitusionalisme di Eropa dan Amerika
Utara (Aidul Fitriciada Azhari, 2005: 2). Pada kurun waktu itu berkembang ide
sekulerisasi dan kedaulatan rakyat. Berdasar sejarah singkat tersebut, kita bisa
mengetahui adanya demokrasi yang berkembang di Yunani yang disebut demokrasi kuno

45
dan demokrasi yang berkembang selanjutnya di Eropa Barat yang dikenal sebagai
demokrasi modern.

Lalu apakah demokrasi itu sesungguhnya?

Demokrasi bukan berarti kekuasaan di tangan


penguasa, akan tetapi kekuasaan penuh di tangan
rakyat
5.2. Demokrasi Dan Pendidikan Demokrasi
5.2.1. Pengertian Pendidikan Demokrasi
Demokrasi sebagai suatu sistem bermasyarakat, berbangsa dan bernegara
tidak dapat diterapkan secara parsial (sebagian-sebagian). Pemahaman yang utuh
akan demokrasi harus juga dimilliki oleh setiap warga negara baik secara perorangan
maupun kelembagaan. Hal ini mengisyaratkan bahwa siapapun yang berada dan
berkepentingan dalam negara ini (stakeholder) mampu menerapkan prinsip-prinsip
demokrasi dalam setiap kegiatannya.
Negara yang menginginkan sistem politik demokrasi dapat diterapkan dengan
baik membutuhkan dua pilar, yaitu; institusi (struktur) demokrasi dan budaya
(perilaku) demokrasi. Kematangan budaya politik, menurut Gabriel Almond dan
Sidney Verba, akan tercapai bila ada keserasian antara struktur dengan budaya. Oleh
karena itu, membangun masyarakat demokratis berarti usaha menciptakan keserasian
antara struktur yang demokratis dengan budaya yang demokratis juga. Masyarakat
demokratis akan terwujud bila di negara tersebut terdapat institusi dan sekaligus
berjalannya perilaku yang demokratis.
Institusi atau struktur demokrasi menunjuk pada tersedianya lembaga-lembaga
politik demokrasi yang ada di suatu negara. Suatu negara dikatakan negara demokrasi
bila di dalamnya terdapat lembaga-lembaga politik demokrasi. Lembaga itu antara

46
lain pemerintahan yang terbuka dan bertanggung jawab, parlemen, lembaga pemilu,
organisasi politik, lembaga swadaya masyarakat, dan media massa. Membangun
institusi demokrasi berarti menciptakan dan menegakkan lembaga-lembaga politik
tersebut dalam negara.
Perilaku atau budaya demokrasi merujuk pada berlakunya nilai-nilai
demokrasi di masyarakat. Masyarakat yang demokratis adalah masyarakat yang
memiliki perilaku hidup, baik keseharian dan kenegaraannya dilandasi oleh nilai-nilai
demokrasi. Henry B. Mayo menguraikan bahwa nilai-nilai demokrasi meliputi damai
dan sukarela, adil, menghargai perbedaan, menghormati kebebasan, memahami
keanekaragaman, teratur, paksaan yang minimal dan memajukan ilmu. Membangun
budaya demokrasi berarti mengenalkan, mensosialisasikan dan menegakkan nilai-
nilai demokrasi pada masyarakat. Upaya membangun budaya demokrasi jauh lebih
sulit dibandingkan dengan membangun struktur demokrasi. Hal ini menyangkut
kebiasaan masyarakat yang membutuhkan waktu yang relatif lama untuk
merubahnya. Bayangkan, Indonesia yang secara struktur telah merepresentasikan
sebagai negara demokrasi, namun masih banyak peristiwa-peristiwa yang
menggambarkan kebebasan yang semakin liar; kekerasan, bentrokan fisik, konflik
antar etnis/ras dan agama, ancaman bom, teror, rasa tidak aman, dan sebagainya.
Struktur demokrasi tidak cukup untuk membangun negara yang demokratis. Justru,
kunci utama yang menentukan keberhasilan sebuah negara demokratis adalah
perilaku/budaya masyarakatnya.
Untuk membangun budaya/perilaku masyarakat yang demokratis, dibutuhkan
metode pendidikan demokrasi yang efektif. Pendidikan demokrasi pada hakikatnya
adalah sosialisasi nilai-nilai demokrasi agar dapat diterima dan dijalankan oleh warga
negara. Pendidikan demokrasi bertujuan mempersiapkan warga masyarakat
berperilaku dan bertindak demokratis, melalui aktivitas menanamkan pada generasi
muda akan pengetahuan, kesadaran, dan nilai-nilai demokrasi. Pengetahuan dan
kesadaran akan nilai demokrasi itu meliputi tiga hal; pertama, kesadaran bahwa
demokrasi adalah pola kehidupan yang paling menjamin hak-hak warga masyarakat
itu sendiri. Kedua, demokrasi adalah sebuah learning process yang lama dan tidak
sekedar meniru dari masyarakat lain. Ketiga, kelangsungan demokrasi tergantung
pada keberhasilan mentransformasikan nilai-nilai demokrasi pada masyarakat
(Zamroni, 2004).
Pada tahap selanjutnya pendidikan demokrasi akan menghasilkan masyrakat
yang mendukung sistem politik yang demokratis. Sistem politik demokrasi hanya
akan langgeng apabila didukung oleh masyarakat demokratis. Yaitu masyarakat yang
berlandaskan pada nilai-nilai demokrasi serta berpartisipasi aktif mendukung
kelangsungan pemerintahan demokrasi di negaranya. Oleh karena itu setiap
pemerintahan demokrasi akan melaksanakan sosialisasi nilai-nilai demokrasi kepada
generasi muda. Kelangsungan pemerintahan demokrasi bersandar pada pengetahuan
dan kesadaran demokrasi warga negaranya. Pendidikan pada umumnya dan
pendidikan demokrasi pada khususnya akan diberikan seluas-luasnya bagi seluruh
warganya. Warga negara yang berpendidikan dan memiliki kesadaran politik tinggi

47
sangat diharapkan oleh negara demokrasi. Hal ini bertolak belakang dengan Negara
otoriter atau model diktator yang takut dan merasa terancam oleh warganya yang
berpendidikan.
Sosialisasi nilai-nilai demokrasi melalui pendidikan demokrasi adalah bagian
dari sosialisasi politik negara terhadap warganya. Namun demikian, pendidikan
demokrasi tidaklah identik dengan sosialisasi politik itu sendiri. Sosialisasi politik
mencakup pengertian yang luas sedangkan pendidikan demokrasi mengenai cakupan
yang lebih sempit. Sesuai dengan makna pendidikan sebagai proses yang sadar dan
rencana, sosialisasi nilai-nilai demokrasi dilakukan secara terencana, terprogram,
terorganisasi secara baik khususnya melalui pendidikan formal. Pendidikan formal
dalam hal ini sekolah, berperan penting dalam melaksanakan pendidikan demokrasi
kepada generasi muda. Sistem persekolahan memiliki peran penting khususnya untuk
kelangsungan sistem politik demokrasi melalui penanaman pengetahuan, kesadaran
dan nilai-nilai demokrasi.

5.2.2 Sosialisasi Nilai-Nilai Politik Negara

Memang sangat tipis perbedaan antara sosialisasi dengan indoktrinasi. Karena


itu dalam sosialisasi yang dihasilkan haruslah kesadaran bukan keterpaksaan. Adapun
proses yang dijalani adalah dialog bukan monolog. Hal yang sangat penting dalam
pendidikan demokrasi di sekolah adalah mengenai kurikulum pendidikan demokrasi.
Kurikulum pendidikan demokrasi menyangkut dua hal: penataan dan isi materi.
Penataan menyangkut pemuatan pendidikan demokrasi dalam suatu kegiatan
kurikuler (mata pelajaran atau mata kuliah). Sedangkan isi materi berkenaan dengan
kajian atau bahan apa sajakah yang layak dari pendidikan demokrasi. Pendidikan
demokrasi dapat saja merupakan pendidikan yang diintegrasikan ke dalam berbagai
studi, misal dalam mata pelajaran PPKn dan Sejarah atau diintegrasikan ke dalam
kelompok sosial lainnya. Akan tepat bila pendidikan demokrasi masuk dalam
kelompok studi sosial (social studies). Di lain pihak pendidikan demokrasi dapat pula
dijadikan subject matter tersendiri sehingga merupakan suatu bidang studi atau mata
pelajaran. Misalkan dimunculkan mata pelajaran civics yang masa dulu pernah
menjadi mata pelajaran sekolah. Namun, Civics yang sekarang hendaknya dipertegas
dan dbatasi sebagai pendidikan demokrasi di Indonesia. Dapat pula pendidikan
demokrasi dikemas dalam wujud pendidikan Kewarganegaraan.
Indonesia sesungguhnya memiliki pengalaman yang kaya akan pendidikan
demokrasi. Menurut Udin S. Winataputra (2001), sejak tahun 1945 sampai sekarang
instrument perundangan sudah menempatkan pendidikan demokrasi dan HAM
sebagai bagian integral dari pendidikan nasional. Misalnya dalam usulan BP KNIP
tanggal 29 Desember 1945 dikemukakan bahwa: “Pendidikan dan pengajaran harus
membimbing murid-murid menjadi warga negara yang mempunyai rasa tanggung
jawab”, yang kemudian oleh kementerian PPK dirumuskan dalam tujuan pendidikan:
“... untuk mendidik warga negara yang sejati yang bersedia menyumbangkan tenaga
dan pikiran untuk negara dan masyarakat” dengan ciri-ciri sebagai berikut :

48
“Perasaan bakti kepada Tuhan yang Maha Esa; perasaan cinta kepada negara;
perasaan cinta kepada bangsa dan kebudayaan; perasaan berhak dan wajib ikut
memajukan negaranya menurut pembawaan dan kekuatannya; keyakinan bahwa
orang menjadi bagian tak terpisahkan dari keluarga dan masyarakat; keyakinan
bahwa orang yang hidup bermasyarakat harus tunduk pada tata tertib; keyakinan
bahwa pada dasarnya manusia itu sama derajatnya sehingga sesama anggota
masyarakat harus saling menghormati, berdasarkan rasa keadilan dengan
berpegang teguh pada harga diri; dan keyakinan bahwa negara memerlukan warga
negara yang rajin bekerja,mengetahui kewajiban, dan jujur dalam pikiran dan
tindakan”.

Dari kutipan diatas, dapat dilihat bahwa ide yang terkandung dalam butir-butir
rumusan tujuan pendidikan nasional sesungguhnya merupakan esensi pendidikan
demokrasi dan HAM. Dalam Undang-undang No. 20 tahun 2003 tentang Sistem
Pendidikan Nasional dinyatakan pula bahwa Pendidikan Nasional berfungsi
mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang
bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk
berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan
bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, berilmu, cakap, kreatif,
mendiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.
Pendidikan untuk menjadikan warga Negara yang demokratis dan bertanggung jawab
adalah pendidikan demokrasi.

6.2.3 Visi, Misi, Strategi, dan Model Pendidikan Demokrasi

Pendidikan demokrasi, dalam hal ini untuk pendidikan formal (di sekolah dan
perguruan tinggi), nonformal (pendidikan di luar sekolah), dan informal (pergaulan di
rumah dan masyarakat) mempunyai visi sebagai wahana substantif, pedagogis, dan
sosial-kultural untuk membangun cita-cita, nilai, konsep, prinsip, sikap, dan
keterampilan demokrasi dalam diri warga negara melalui pengalaman hidup dan
berkehidupan yang demokratis dalam berbagai konteks. (Kapita Selekta Pendidikan
Kewarganegaraan Depdiknas, 2002).
Visi ini diharapkan dapat membentuk perilaku warga negara yang demokratis
dalam berbangsa, dan bernegara di Indonesia. Inilah makna dari “learning
democracy, through democracy, and for democracy”. Bertolak belakang dari
bermuara pada visi tersebut dapat dirumuskan bahwa misi pendidikan demokrasi
adalah sebagai berikut:
1. Memfasilitasi warga negara untuk mendapatkan berbagai akses kepada dan
menggunakan secara cerdas berbagai sumber informasi (tercetak, terekam,
tersiar, elektronik, kehidupan, dan lingkungan) tentang demokrasi dalam teori
dan praktik untuk berbagai konteks kehidupan sehingga ia memiliki wawasan
yang luas dan memadai (well-informed).

49
2. Memfasilitasi warga negara untuk dapat melakukan kajian konseptual dan
operasional secara cermat dan bertanggung jawab terhadap berbagai cita-cita,
instrumentasi, dan praksis demokrasi guna mendapatkan keyakinan dalam
melakukan pengambilan keputusan individual dan atau kelompok dalam
kehidupannya sehari-hari serta berargumentasi atas keputusannya itu -
Memfasilitasi warga negara untuk memperoleh dan memanfaatkan
kesempatan berpartisipasi secara cerdas dan bertanggung jawab dalam praksis
kehidupan demokrasi di lingkungannya, seperti mengeluarkan pendapat,
berkumpul, dan berserikat, memilih, serta memonitor dan mempengaruhi
kebijakan publik. Merujuk kepada visi dan misi tersebut di atas, maka strategi
dasar pendidikan demokrasi yang seyogyanya dikembangkan adalah strategi
pemanfaatan aneka media dan sumber belajar, kajian interdisipliner,
pemecahan masalah sosial (problem solving), penelitian sosial (social
inquiry), aksi sosial, pembelajaran berbasis portfolio. Sebagai suatu model
selanjutnya disajikan suatu model “portfolio-based learning” yang sudah
diujicobakan di SLTP yang secara konseptual dan operasional dapat
diadaptasi untuk pendidikan demokrasi di SLTP dan di Perguruan Tinggi,
dengan cara meningkatkan kompleksitas masalah yang menuntut taraf
berpikir yang lebih tinggi.

Rangkuman
1. Secara etimologis “demokrasi” terdiri dari dua kata yang berasal dari bahasa
Yunani yaitu “demos” yang berarti rakyat atau penduduk suatu tempat, dan
“cratein” atau “cratos” yang berarti kekuasaan atau kedaulatan.
2. Kekuasaan pemerintahan berada di tangan rakyat mengandung pengertian tiga
hal : pemerintah dari rakyat (government of the people); pemerintahan oleh
rakyat (government by the people); dan pemerintahan untuk rakyat
(government for people)
3. Dasar pijakan tentang prinsip utama demokrasi dalam Islam adalah
musyawarah untuk mufakat dalam menyelesaikan semua persoalan
kemasyarakatan.
4. Unsur-unsur yang dapat menopang tegakknya demokrasi antara lain : Negara
Hukum, Masyarakat Madani, Instrastruktur Politik (partai politik), dan Pers
yang bebas dan Bertanggung jawab.
5. Konsepsi negara hukum mengandung pengertian bahwa negara memberikan
perlindungan hukum bagi warga negara melalui pelembagaan peradilan yang
bebas dan tidak memihak dan penjaminan hak asasi manusia.
6. Masyarakat madani (Civil Society) dicirikan dengan masyarakat terbuka,
masyarakat yang bebas dari pengaruh kekuasaan dan tekanan negara,
masyarakat yang kritis dan berpartisipasi aktif serta masyarakat egaliter.
7. Infrastruktur politik terdiri dari partai politik (political party), kelompok
gerakan (movement group) dan kelompok penekan atau kelompok
kepentingan (pressure/interest group).

50
BAB VI
HAK AZASI MANUSIA DAN RULE OF LAW

6.1. Hak Asasi manusia (HAM)


Penelusuruan terhadap pengakuan hak-hak asasi manusia dalam konstitusi
akan menjadi tema penting dilihat sebagai bagian dari kajian sistem ketatanegaraan
yang ada. Karena pengalaman bangsa Indonesia yang berulang kali mengalami
pergantian dan perubahan UUD, dan pergantian UUD dalam suatu negara, berarti
peralihan dari tertib ketatanegaraan yang lama ke tertib ketatanegaraan yang baru,
yang tentunya (atau seharusnya) menuju ke arah yang lebih sempurna dibandingkan
sebelumnya. Dan ini pulalah yang menjelaskan situasi pendekatan hukumnya
pemerintah dalam hak asasi manusia.
Apa sesungguhnya hak asasi manusia? Banyak ragam pendapat yang
dikemukakan oleh para ahli, aktivis maupun pengambil kebijakan, yang memiliki
titik kesamaan dalam menjelaskan apa itu hak asasi manusia. Menurut G.J. Wolhoff,
hak asasi manusia adalah sejumlah hak yang seakan-akan berakar dalam tabiat setiap
oknum pribadi manusia justru karena kemanusiaannya, yang tak dapat dicabut oleh
siapapun juga, karena bila dicabut hilang juga kemanusiaannya. 15 Mr Soenarko,
merumuskan hak-hak dasar ialah hak-hak manusia yang pokok dan tak dapat
dikurangi oleh siapapun juga dalam negara yang sopan.6 Dari pendapat ini bisa
diambil titik kesamaan bahwa hak asasi manusia itu merupakan hak yang melekat
dalam diri manusia, yang tidak bisa dikurangi atau dicabut hak-haknya oleh
siapapun.16
Hak asasi manusia memiliki prinsip-prinsip utama dan menjadikannya sebagai
bagian penting dalam kehidupan umat manusia. Ada delapan prinsip hak asasi
manusia,17 yakni: Pertama, prinsip universalitas. Prinsip universalitas adalah prinsip
yang dimiliki dalam nilai-nilai etik dan moral yang tersebar di seluruh wilayah di
dunia, dan pemerintah termasuk masyarakatnya harus mengakui dan menyokong hak-
hak asasi manusia. Ini menunjukkan bahwa hak-hak asasi manusia itu ada dan harus
dihormati oleh seluruh umat manusia di dunia manapun, tidak tergantung pada
wilayah atau bangsa tertentu. Ia berlaku menyeluruh sebagai kodrat lahiriah setiap
manusia. Universalitas hak-hak asasi manusia, pada kenyataannya, masih juga tidak
sepenuhnya diterima oleh negara-negara tertentu yang menolak kehadiran prinsip
universalitas. Perdebatan ini sesungguhnya muncul di saat memperbincangkan
apakah Universal Declaration of Human Rights 1948 (Deklarasi Universal Hak-Hak
Asasi Manusia, selanjutnya disingkat DUHAM 1948) itu memiliki prinsip universal,
15
G.J. Wolhoff, Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara RI, Jakarta, Timus Mas, 1955, h. 124.
16
Mr. Soenarko, Susunan Negara Kita I, Penerbit Djambatan, Jakarta, h. 35.
17
Flowers, N., The Human Rights Education Handbook: Effective Practices For Learning,
Action, And Change. Minneapolis, MN: University of Minnesota, 2000, dan Ravindran, D. J.
Human Rights Praxis: A Resource Book for Study, Action and Reflection. Bangkok, Thailand:
The Asia Forum for Human Rights and Development, 1998.

51
ataukah tidak (?). Sebagaimana mantan Perdana Menteri Mahathir Mohammad yang
menyatakan bahwa, DUHAM 1948 itu sangat menganut paham kebebasan yang
bersala dari konsep barat, dimana penandatangan deklarasi tersebut hanya seperempat
negara-negara yang menjadi anggota Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) sekarang,
artinya hanya sekitar 50-an negara yang kebetulan mayoritas dari negara-negara yang
disebut ‘barat’. Ia (Mahathir), mencontohkan soal betapa hak-hak politik dan
kebebasan begitu dominan mewarnai hak-hak asasi manusia, padahal di negara-
negara miskin maupun berkembang (negara dunia ketiga), hak-hak ekonomi sosial
budaya (Hak Ekosob) menjadi hak yang sangat penting. Bagi negara dunia ketiga,
mengisi perut orang yang lapar (hak atas pangan) dan hak pendidikan lebih penting
dibandingkan soal hak pilih dalam pemilu. 18 Begitu juga, mempertentangkan
universalitas dengan relativisme budaya (universality vs. cultural relativism).
Perbincangan ini sebenarnya tidak perlu terjadi bilamana memahami hak-hak asasi
manusia yang universal maupun tidak, didasarkan pada kontekstualisasi tertentu,
yang bisa dipengaruhi oleh kekuasaan politik, kekuatan ekonomi, maupun realitas
sosial budaya yang melahirkan keragaman pendapat soal tersebut. Artinya, HAM
tidak menjadi universal bilamana dilihat dari perspektif tertentu, dari sudut pandang
yang berbeda.19

18
Pandangan dan perdebatan semacam ini (seringpula disebut “Asia/Selatan” versus
“Barat/Utara”) terjadi dan mewarnai saat Konferensi Internasional HAM di Wina tahun 1993.
Empat bulan sebelum konferensi ini, negara-negara Asia telah melakukan Deklarasi Bangkok
yang merupakan pandangan-pandangan HAM dari negara Asia. Lebih lengkap lagi, baca tulisan
Chandra Muzaffar, Hak Asasi Manusia Dalam Tata Dunia Baru, Menggugat Dominasi Global
Barat, Bandung: Penerbit Mizan, 1993, h. 21-22. Ia menulis dan mengkritisi paham kebebasan
sebagai indikator (Indeks Kebebasan Manusia) dalam pembahasan di UNDP, dengan mengkritik,
(1) ia memuat bias Budaya Barat sebagaimana dibuktikan dengan dimasukkannya praktik
‘homoseksualitas antarorang dewasa suka sama suka’ yang tidak dapat diterima secara universal,
sementara di negara dengan tradisi non-barat menolak legitimasi praktik tersebut; (2) indeks itu
lebih cenderung pada kemerdekaan sipil dan politik, sekalipun ia mengklaim “lebih dari sekadar
indeks kebebasan politik”. Bias kecenderungan kea rah kemerdekaan politik dan sipil pada
kenyataannya merupakan ciri sebagian besar kelompok hak-hak asasi manusia barat. Di sisi lain,
negara selatan (terutama Afrika, Asia, dan Amerika Latin) lebih menekankan pentingnya
pemenuhan hak-hak ekonomi, sosial dan budaya, seperti bebas dari kelaparan, kemiskinan,
pendidikan, kesehatan, dan tempat tinggal layak. Bukan berarti hak sipil politik tidak penting,
tetapi tuntutan akan konsep holistic hak-hak asasi manusia dan tanggung jawab hak-hak asasi
manusia yang benar. (3) Indeks kebebasan manusia UNDP juga condong bias ke arah kebebasan
individu dan hak pribadi. Bias ini terjadi karena dalam sejarahnya, Renaissance dan
pemberontakan terhadap campur tangan berlebih Gereja abad pertengahan di Eropa sejak abad
keenambelas-lah yang melahirkan gagasan tentang kesadaran individu dan hak-hak individu. Di
Asia-Afrika, dalam sejarahnya, berbeda karena bukan disebabkan oleh tekanan Gereja melainkan
keinginan pembebasan dari penjajahan atau kolonialisme Barat yang menyebabkan pemelaratan
yang luar biasa. Di sinilah ketiga bias tersebut terjadi.
19
Contoh perdebatan-perdebatan tersebut bisa dilihat dalam kasus-kasus tertentu, misalnya:
kontroversi penerapan pidana mati, orientasi seksual (hak-hak kaum gay, lesbi, atau trans-
seksual), euthanasia, aborsi, dll. Keragaman perdebatan tersebut terjadi lebih disebabkan oleh
kontekstualitas dan intervensi negara, dan komunitas tertentu, dengan varian budaya, sosial-

52
Prinsip yang kedua, pemartabatan terhadap manusia (human dignity). Prinsip
ini menegaskan perlunya setiap orang untuk menghormati hak orang lain, hidup
damai dalam keberagaman yang bisa menghargai satu dengan yang lainnya, serta
membangun toleransi sesama manusia. Tidak dapat dipungkiri bahwa pluralisme
sosial, termasuk di dalamnya keragaman budaya dan hukum-hukum lokal, menjadi
identitas peradaban tertentu yang sangat berharga dalam mengemban amanat saling
menjaga dan mendorong upaya kebersamaan untuk hidup berdampingan, khususnya
manusia sebagai sesama makhluk ciptaan Allah. Penghormatan terhadap manusia,
bukanlah sekedar pekerjaan individual manusia, tetapi juga dalam kolektiva-kolektiva
lebih luas seperti dalam kehidupan masyarakat maupun bernegara. Sehingga
kewajiban untuk menghormati manusia sebagai manusia tersebut merupakan
tanggungjawab hak-hak asasi manusia. Oleh sebabnya, dengan adanya prinsip ini
maka tidak mungkin praktek yang memperkenankan siapapun untuk melakukan
eksploitasi, memperbudak, menyiksa, ataupun bahkan membunuh hak-hak hidup
manusia. Dalam prinsip ini setiap orang harus menghargai manusia tanpa membeda-
bedakan umur, budaya, keyakinan, etnisitas, ras, gender, orientasi seksual, bahasa,
komunitas disable/berbeda kemampuan, atau kelas sosial, sepatutnya dihormati dan
dihargai.
Prinsip yang ketiga, non-diskriminasi. Prinsip non-diskriminasi sebenarnya
bagian integral dengan prinsip persamaan, dimana menjelaskan bahwa tiada
perlakuan yang membedakan dalam rangka penghormatan, perlindungan dan
pemenuhan hak-hak seseorang. Pembedaan, baik berdasarkan kelas/bangsa tertentu,
agama, suku, adat, keyakinan, jenis kelamin, warna kulit dan sebagainya, adalah
praktek yang justru menghambat realisasi hak-hak asasi manusia.10 Jelas dan tegas,
bahwa hak-hak asasi manusia melarang adanya diskriminasi yang merendahkan
martabat atau harga diri komunitas tertentu, dan bila dilanggar akan melahirkan
pertentangan dan ketidakadilan di dalam kehidupan manusia.
Prinsip yang keempat, equality atau persamaan. Prinsip ini bersentuhan atau
sangat dekat dengan prinsip non-diskriminasi. Konsep persamaan menegaskan
pemahaman tentang penghormatan untuk martabat yang melekat pada setiap manusia.
Hal ini terjelaskan dalam pasal 1 DUHAM 1948, sebagai prinsip hak-hak asasi
manusia: “Setiap orang dilahirkan merdeka dan mempunyai martabat serta hak-hak
yang sama.” Konsekuensi pemenuhan persamaan hak-hak juga menyangkut
kebutuhan dasar seseorang tidak boleh dikecualikan. Persamaan, merupakan hak yang
dimiliki setiap orang dengan kewajiban yang sama pula antara yang satu dengan yang
lain untuk menghormatinya. Salah satu hal penting dalam negara hukum, adalah
persamaan di muka hukum, merupakan hak untuk memperoleh keadilan dalam
bentuk perlakuan dalam proses peradilan.

ekonomi, politik, sehingga mengkonstruksi peradaban tertentu di wilayah tertentu pula. Sehingga
perdebatan ini harus dilihat secara lebih menyeluruh sebagai keragaman perspektif, yang
seharusnya, antara perspektif yang satu dengan yang lainnya berada dalam posisi saling
menghormati, bukan menegasikan.

53
Prinsip yang kelima, indivisibility. Suatu hak tidak bisa dipisah-pisahkan antara yang
satu dengan yang lainnya. Hal ini terkait dengan pandangan yang menyesatkan
tentang membeda-bedakan atau pengutamaan hak-hak tertentu dibandingkan hak-hak
lain. Hak sipil dan politik, sangat tidak mungkin dipisahkan dengan hak ekonomi,
sosial, dan budaya, karena keduanya satu kesatuan, tidak bisa dilepaskan satu dengan
yang lainnya. Prinsip yang keenam, inalienability. Pemahaman prinsip atas hak yang
tidak bisa dipindahkan, tidak bisa dirampas atau dipertukarkan dengan hal tertentu,
agar hak-hak tersebut bisa dikecualikan. Misalnya, hak pilih dalam pemilu, tidak bisa
dihilangkan hanya dengan dibeli oleh orang yang mampu dan kemudian
menggantikan posisi hak pilih. Atau juga hak atas kehidupan yang layak, tidak bisa
dipertukarkan dengan perbudakan, meskipun dibayar atau diupahi. Manusia sebagai
makhluk yang memiliki hak-hak asasi tidak bisa dilepaskan dari hak-hak tersebut.
Prinsip yang ketujuh, interdependency (saling ketergantungan). Prinsip ini
juga sangat dekat dengan prinsip indivisibility, dimana setiap hak-hak yang dimiliki
setiap orang itu tergantung dengan hak-hak asasi manusia lainnya dalam ruang atau
lingkungan manapun, di sekolah, di pasar, di rumah sakit, di hutan, desa maupun
perkotaan. Misalnya, kemiskinan, dimana dalam situasi tidak terpenuhinya hak atas
pendidikan, juga sangat bergantung pada penyediaan hak-hak atas pangan atau bebas
dari rasa kelaparan, atau juga hak atas kesehatan yang layak, dan hak atas
penghidupan dan pekerjaan yang layak. Artinya, hak yang satu dengan yang lainnya
sangat tergantung dengan pemenuhan atau perlindungan hak lainnya.
Prinsip yang kedelapan, responsibilitas atau pertanggungjawaban
(responsibility). Prinsip pertanggungjawaban hak-hak asasi manusia ini menegaskan
bahwa perlunya mengambil langkah atau tindakan tertentu untuk menghormati,
melindungi dan memenuhi hak-hak asasi manusia, serta menegaskan kewajiban-
kewajiban paling minimum dengan memaksimalkan sumberdaya yang ada untuk
memajukannya. Pertanggungjawaban ini menekankan peran negara, sebagai bagian
dari organ politik kekuasaan yang harus memberikan perlindungan terhadap warga
negaranya. Termasuk mempertanggungjawabkan setiap langkah atau tindakan yang
diambil sebagai kebijakan tertentu dan memiliki pengaruh terhadap kelangsungan
hak-hak rakyat. Peran negara menjadi vital, bukan soal mengambil tindakan tertentu
(by commission), tetapi ia juga bisa dimintai pertanggungjawaban ketika terjadi
pelanggaran hak-hak asasi manusia, sementara negara sama sekali tidak mengambil
tindakan apapun (by omission). Unsur pertanggungjawaban (terutama negara), adalah
bagian yang tidak terpisahkan dari prinsip hak-hak asasi manusia agar bisa
terwujudkan. Selain negara, aktor non-negara juga mempunyai tanggung jawab yang
sama untuk memajukan hak-hak asasi manusia, baik secara individual maupun
kolektiva sosial dalam organisasi kemasyarakatan. Secara individu, setiap orang
dituntut untuk berani melawan ketidakadilan dan pelanggaran hak-hak asasi manusia
di depan matanya, mengajarkan dan mendorong pemahaman dan penghormatan hak-
hak asasi manusia bagi sesama.

54
Kedelapan prinsip-prinsip tersebut, merupakan hal yang mendasar untuk
mengkaji hak-hak asasi manusia, baik terhadap tekstualitas maupun
kontekstualitasnya, dalam pengertian untuk mempelajari sejarahnya, instrumen
hukum, dan praktek implementasinya di lapangan.

6.1. HAM DI INDONESIA

Bagaimana hak asasi manusia dalam konteks konstitusi Indonesia? Dalam


Undang-Undang Dasar Republik Indonesia (UUD) yang dibuat tahun 1945, jelas
memperlihatkan dalam Pembukaannya: ”penentangan adanya segala bentuk
penjajahan atas semua bangsa, memajukan kesejahteraan umum, keinginan untuk
mencerdaskan kehidupan bangsa, ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan,
perdamaian abadi, dan keadilan sosial”, sangat dipengaruhi oleh situasi politik
Indonesia yang baru saja lepas dari pengalaman pahit dijajah oleh kolonialisme
Belanda. Atau dalam bahasa Ato Masuda, “di dalam UUD Tahun 1945 ini tidak
terdapat ketentuan-ketentuan yang muluk-muluk tetapi tidak berisi seperti dalam
Konstitusi RIS tahun 1949 dan UUDS 1950, akan tetapi di dalamnya cuma terdapat
ketentuan-ketentuan mengenai hubungan di antara orang-orang Indonesia dan
negaranya yang sedang berjuang untuk kemerdekaan nasionalnya. 20 Hampir
sependapat dengan Masuda, adalah Solly Lubis yang menyatakan bahwa, hak-hak
asasi yang dirumuskan dalam UUD lebih menunjukkan asas kekeluargaan, sedangkan
negara-negara lain mendasarkan versianya pada asas liberalisme.21
Umumnya, banyak pengkaji konstitusi melihat UUD yang dibuat
tahun 1945 mengakui hak-hak asasi manusia. Tetapi bagi Moh. Yamin, “sewaktu UU
(yang dimaksudkan adalah UUD) Indonesia dirancang, maka kata pembukaannya
menjamin demokrasi, tetapi pasal-pasalnya benci kepada kemerdekaan diri,
menentang liberalisme dan demokrasi revolusioner. Akibat pendirian ini yaitu hak-
hak asasi tidaklah diakui seluruhnya, melainkan diambil satu dua saja yang kira-kira
sesuai dengan suasana politik dan sosial pada tahun 1945, yang dipengaruhi oleh
peperangan antara negara fasisme melawan negara demokrasi. UU organik yang
menjamin atau membatasi hak asasi yang tersebut dalam Konstitusi 1945 itu belum
dibuat. Bagi Republik Indonesia yang mengakui demokrasi dalam kata
pembukaannya sebagai dasar negara maka mencolok mata benar ke dalam UUD.
Hanya tiga pasal yang menjamin hak itu, dan ketiga pasal (pasal 27, 28, 29) itu berisi
:
1. Kemerdekaan berserikat dan berkumpul;
2. Kemerdekaan fikiran;

20
Ato Masuda, UUD Negara RI Tahun 1945 dan Perbandingannya dengan UUD Jepang,
Universitas, Jakarta, 1962, h. 61.
21
Prof. Dr. Solly Lubis, SH., Pembahasan UUD 1945, Penerbit Alumni, Bandung, 1997, h.
6.

55
3. Hak bekerja dan hidup;
4. Kemerdekaan beragama.
Kemerdekaan pertama dan kedua itu belumlah dipaparkan dengan UU, dan
hak asasi ketiga dan keempat hanyalah jaminan yang tidak diatur lebih lanjut. Waktu
merancang Konstitusi 1945, maka hak asasi yang lebih luas memang dimaksudkan,
tetapi usul itu kandas atas alasan bahwa pada waktu itu hak asasi dipandang sebagai
kemenangan liberalisme yang tidak disukai.”22
Berbeda dengan Yamin, Drs. Soekarno dengan optimisme, menyatakan
“Walaupun UUD 1945 tidak dengan terang mencantumkan hak-hak dan kebebasan-
kebebasan dasar tersebut namun ini tidak berarti bahwa UUD 1945 tidak mengakui
adanya hak-hak dan kebebasan-kebebasan dasar manusia tersebut. Hak-hak dan
kebebasan-kebebasan tersebut memang dilakukan secara sepintas lalu saja, namun
UUD 1945 telah mencakup hak-hak dalam empat lapangan, yakni hak-hak dalam
lapangan politik (pasal 28); hak-hak dalam lapangan ekonomi (pasal 27 ayat 2); hak-
hak dalam lapangan sosial (pasal 34); hak-hak dalam lapangan kebudayaan (pasal
31). 23 Soekarno, mengingatkan bahwa UUD Proklamasi ini disusun dalam tempo
yang mendesak sekali pada tahun 1945, dan segala sesuatunya dapat dilanjutkan
pengaturannya dalam peraturan-peraturan organik oleh pemerintah, eksekutif dan
DPR. Ia, sebagai Ketua Panitia Perancang UUD dengan tegas menyatakan bahwa
UUD Proklamasi yang ditetapkan tanggal 18 Agustus 1945 sebagai “Konstitusi
Ekspres, alias UUD Kilat”. Dalam konteks yang demikian, menurut pandangan Bagir
Manan, peperangan Asia Timur Raya merupakan kenyataan paling dominan
mempengaruhi pada saat penyusunan UUD 1945. Salah satu pengaruhnya adalah
keadaan serba tergesa-gesa dalam penyusunan dan pengesahan UUD 1945, sehingga
didapati berbagai kekurangan.24
Bila dibandingkan dengan Konstitusi RIS dan UUDS 1950, hak-hak asasi
manusia yang diatur dalam Konstitusi RIS jauh lebih lengkap, dan dimasukkan dalam
suatu bagian tersendiri oleh UUDS 1950, yaitu dalam Bagian V yang meliputi 27
pasal (lihat pasal 7 sampai pasal 34). Yamin sendiri mencatat dalam kitabnya
“Proklamasi dan Konstitusi RIS”, sebagaimana dikutip oleh Koentjoro, menyatakan
bahwa “Konstitusi RIS dan UUDS 1950 adalah satu-satunya dari segala konstitusi
yang telah berhasil memasukkan hak asasi manusia seperti putusan UNO itu ke dalam
Piagam Konstitusi”25
Dalam masa pemberlakuan UUDS, krisis yang terjadi sepanjang tahun 1950-
1959, terlebih-lebih setelah Pemilu 1955 tidak menghasilkan partai mayoritas mutlak

22
H. Moh. Yamin, Proklamasi dan Konstitusi, Penerbit Djambatan, Jakarta, 1953, h. 90-91.
23
Drs. Soekarno, Tata Negara Indonesia, h. 145, sebagaimana dikutip oleh Solly Lubis,
1997, h. 271.
24
Prof. Dr. Bagir Manan, SH., MCL., Perkembangan UUD 1945, FH UII Press, Yogyakarta,
2004, h. 13.
25
Prof. Mr. Koetjoro Poerbopranoto, Hak-Hak Manusia dan Pancasila Dasar Negara
Republik Indonesia, Groningen, J.B. Wolters, Jakarta, 1953, h. 92.

56
sehingga gagal melakukan pembentukan pengganti UUDS.26 Setelah melalui Dekrit
Presiden 1959, Soekarno yang saat itu kecewa dengan hasil sidang Dewan
Konstituante, memberlakukan kembali UUD 1945 dan menyatakan adanya
Demokrasi Terpimpin (Guided Democracy), dengan jalan yang sesungguhnya
“inkonstitutional”. 27 Pemberlakukan kembali UUD 1945 yang diharapkan
memberikan proses demokratisasi dan penopang jaminan hak-hak asasi manusia,
sangat berat dilakukan, karena banyak sekali praktek penyalahgunaan kekuasaan
yang justru diawali dari sang pemimpin itu sendiri.
Hal ini diperjelas dengan pandangan Bagir Manan yang menyatakan bahwa
kembali ke UUD 1945 berarti kembali pada produk yang dibuat secara tergesa-gesa
yang mengandung kekosongan. Selain soal hak asasi, sistem check and balances
yang kurang memadai, sistem UUD 1945 sangat menekankan pada kekuasaan
eksekutif (executive heavy). Sehingga ia menyimpulkan potensi menuju sistem
kediktatoran penguasa, sebagaimana terjadi pada rezim Orde Lama dan Orde Baru.28
Dengan uraian di atas, menurut saya, ada tiga hal yang perlu menjadi perhatian dalam
bagian ini, sebagai catatan perkembangan hak-hak asasi manusia dalam konstitusi
Indonesia. Pertama, bahwa senyatanya pengaturan hak asasi manusia dalam UUD
yang dibuat tahun 1945 memang dibuat sangat cepat untuk memanfaatkan
momentum kemerdekaan, sehingga hanya hak-hak tertentu yang menurut
pembentuk/perumus UUD 1945 penting dimasukkan, atau dalam arti lain belum
semua hak tercantum dalam pasal-pasalnya. Ini adalah suatu kewajaran alias
kelaziman, bahwa tiada negara yang baru lahir bisa menghasilkan kesempurnaan
hukum-hukum yang mengatur, jadi pastilah terjadi kekurangan di sana-sini. Ini
pulalah yang nampak terjadi dalam pasal-pasal tentang hak-hak asasi manusia dalam
UUD yang dibuat tahun 1945. Kedua, bahwa pengaturan hak-hak asasi manusia, bila

26
Perbedaan yang tajam di antara para politisi saat itu memang banyak terjadi, dan kabinet
begitu mudah berganti-ganti, ditambah pula pergolakan di daerah yang terus menerus terjadi,
seperti pergolakan dengan PRRI dan Permesta. Sementara partai yang mayoritas mutlak tidak
ada, maka menambah deretan persoalan tidak segera terbentuknya konstitusi baru yang macet
tatkala tidak berhasil menyepakati dasar negara. Meskipun partai mayoritas mutlak bukanlah
syarat untuk bisa mengubah atau mengamandemen UUD, tetapi saat itu quorum sidang tidak
terpenuhi sebagaimana diatur dalam pasal 137 ayat (1) dan (2) UUDS 1950.
27
Pemberian tanda kutip di atas kata inkonstitutional disengaja untuk menjelaskan, bahwa
dalam situasi ketatanegaraan yang macet, buntu, dan tidak segera mendapat jalan keluar,
sementara struktur kelembagaan negara yang seharusnya bekerja untuk menyelesaikannya tidak
bisa melakukan tindakan lebih jauh, maka langkah Soekarno secara hukum bisa dikatakan keliru,
tetapi secara politik (atau tepatnya naluri sebagai politisi) dengan perhitungan resiko-resiko
ketatanegaraan untuk mencari jalan keluar penyelesaian adalah hal yang patut dihargai sebagai
langkah yang menyelamatkan situasi negara akibat perpecahan yang terjadi di level elit politik.
28
Prof. Dr. Bagir Manan, SH., M.C.L., Perkembangan UUD 1945, FH UII Press,
Yogyakarta, 2004, h. 17-18. Potensi ini bisa dilihat dari upaya sakralisasi dan ideologisasi UUD
1945 sebagai cara mencengkeram kekuasaan, sehingga UUD 1945 dinyatakan tidak dapat
diganggu gugat (onchenbaar). Bila ada fikiran atau tindakan untuk mengubahnya maka
dipandang sebagai upaya “merongrong pembangunan” yang mengancam sendi-sendi dasar
bernegara.

57
dibandingkan dan dipersandingkan dengan yang dimiliki Konstitusi RIS 1949 dan
UUDS 1950 yang jauh lebih lengkap, adalah sangat wajar. Kedua konstitusi terakhir
ini diyakini lebih dipengaruhi oleh diskursus hak-hak asasi manusia yang mendunia
pasca ditetapkannya Universal Declaration of Human Rights 1948 oleh United
Nations (Deklarasi Umum Hak Asasi Manusia/DUHAM 1948, Perserikatan Bangsa-
Bangsa/PBB). Hal ini pula sangat dimungkinkan oleh suasana politik internasional
saat itu, yang mana isu tuntutan jaminan hak asasi manusia memang sangat
mengemuka di negara manapun sebagai upaya mengakhiri perang dunia ke-2. Oleh
sebab itu, pandangan hak asasi manusia yang lebih liberal cukup kelihatan dalam dua
konstitusi tertulis di Indonesia tersebut (1949-1950). Ketiga, bahwa konstitusi yang
kurang atau belum lengkap mewadahi pasal-pasal tentang hak-hak asasi manusia,
sangat berpotensi membuka ruang tafsir penguasa untuk melindungi kepentingan-
kepentingannya dibandingkan perlindungan hak-hak rakyatnya.
Pasca amandemen UUD 1945, tujuan negara yang termaktub dalam
Pembukaan UUD 1945, tetap tidak mengalami pengubahan dalam amandemen I-IV
yang dilakukan sejak tahun 1999-2002. Artinya, meskipun pasal-pasal atau dulu
disebut batang tubuh UUD 1945 mengalami banyak perubahan, bahwa konsepsi
tujuan negara tersebut tetap dipergunakan sebagai landasan setiap penyelenggaran
kehidupan negara dan bangsa Indonesia. Tetapi, dalam pasal-pasalnya, pengaturan
hak-hak asasi manusia yang terdapat dalam UUD 1945 pasca amandemen mengalami
banyak sekali perubahan dan tambahan, yang nampak mencolok dan sangat
berkeinginan untuk memasukkan segala hak-hak yang diakui secara universal dalam
Universal Declaration of Human Rights 1948.
Di dalam UUD 1945 tersebut, terselip konsepsi tanggung jawab negara dalam
hak asasi manusia (state responsibilities), sebagaimana terlihat dalam pasal 28I (4)
dan (5), yang menyatakan “Perlindungan, pemajuan, penegakan, dan pemenuhan hak
asasi manusia adalah tanggung jawab negara, terutama pemerintah dan Untuk
menegakkan dan melindungi hak asasi manusia sesuai dengan prinsip negara hukum
yang demokratis, maka pelaksanaan hak asasi manusia dijamin, diatur, dan
dituangkan dalam peraturan perundang-undangan.” 29 Keduanya, merupakan kunci
dalam melihat tanggung jawab konstitutional yang harus dilakukan oleh negara,
dalam hal ini pemerintah, untuk melaksanakan upaya-upaya pemajuan hak asasi
manusia.
Kedua pasal tersebut juga memiliki konsepsi tersendiri sebagai elemen
kewajiban negara. Konsepsi dalam pasal 28I ayat (4), saya sebut sebagai konsep
realisasi progresif (progressive realization), yang secara substansi menegaskan bahwa
negara harus memajukan kondisi hak-hak asasi manusia secara berkelanjutan, maju
(tiada kesengajaan/kelalaian untuk mundur), dan jelas ukuran atau tahapannya.
Sedangkan pasal 28I ayat (5), disebut sebagai konsepsi pendayagunaan kewenangan
dan instrumentasi hukum. Artinya, negara dalam menjalankan kewajibannya, ia bisa

29
Ketentuan pasal 28 (4) dan (5) UUD 1945 dihasilkan dalam Perubahan Kedua, disahkan 18
Agustus 2000.

58
menggunakan segala kewenangannya terutama untuk membangun instrumentasi
hukum sebagai sarana yang melindungi hak-hak masyarakat, baik dalam
pembentukan sarana-sarana kelembagaan yang melindungi hak-hak asasi manusia
maupun proses legislasi.
Bila diperbandingkan, khususnya dalam diskursus hukum tanggung jawab
negara atas hak asasi manusia, terutama bila kita menyimak perdebatan-perdebatan
dalam sidang umum PBB untuk melihat laporan hasil kemajuan rutin masalah hak
asasi manusia di setiap negara, dikenal pula konsepsi tanggung jawab negara dalam
mandat hukum internasional. Konsepsi tersebut disandarkan pada instrumentasi
hukum hak asasi manusia internasional, yakni pasal 2 ayat (1) International Covenant
on Economic, Social and Cultural Rights 1966 (selanjutnya disebut ICESCR 1966),30
dinyatakan: “Each State party to the present Covenant undertakes to take steps,
individually and through international assistance and co - operation, especially
economic and technical, to the maximum of available resources, with a view to
achieving progressively the full realization of the rights recognized in the present
Covenant by all appropriate means, including particularly the adoption of legislative
measures.”
Pasal tersebut mengandung empat konsepsi kewajiban hukum negara di bawah
provisi ICESCR 1966, yakni: (1) undertakes to take steps, (2) to the maximum
available resources, (3) achieving progressively the full realization, and (4) by all
appropriate means including particularly the adoption of legislative measures.
Konsepsi ‘undertakes to take steps’ atau mengambil langkah-langkah, 31
merupakan elemen pertama yang menegaskan bahwa negara akan bertanggungjawab
atas segala tindakan atau tiadanya tindakan dalam upaya perlindungan dan
pemenuhan hak-hak asasi manusia. Konsepsi kedua, adalah ‘to the maximum
available resources’, atau upaya pemaksimalan sumberdaya. Upaya memaksimalkan
ketersedian sumberdaya merupakan elemen penting untuk memahami bahwa negara
memiliki kewajiban untuk memprioritaskan program-programnya dan
mendayagunakan alokasi sumberdayanya secara optimal. Konsepsi ini merupakan
konsepsi yang menghubungkan antara alokasi sumberdaya anggaran dengan
kewajiban negara dalam hak-hak asasi manusia.
Sedangkan konsepsi ‘achieving progressively the full realization’ dan ’by all
appropriate means including particularly the adoption of legislative measures’,
merupakan konsepsi yang hampir sama dengan konstruksi hukum yang diatur dalam
pasal 28I ayat (4) dan (5) UUD 1945. Dalam UU HAM, juga sama dengan kontruksi
hukum yang ada dalam UUD 1945, yakni mendayagunakan kewenangan dan sarana-
sarana hukum, baik pembentukan lembaga dan hukum baru, review perundang-
undangan atau kebijakan, atau juga ratifikasi aturan hukum internasional. Bisa
disimpulkan bahwa, baik UUD 1945 maupun UU HAM tidak mengenal konsep

30
ICESCR sudah diratifikasi dengan UU No. 11 Tahun 2005.
31
Konsepsi ini juga dikenal dalam pasal 2 ayat (2) International Covenant on Civil and
Political Rights (ICCPR) 1966.

59
kewajiban negara yang pertama dan kedua, yakni yang berupa mengambil langkah-
langkah dan upaya pemaksimalan sumberdaya.
Secara konsepsional, tanggung jawab negara yang dimiliki dalam UUD 1945
pasca amandemen dengan hukum HAM internasional masih kurang lengkap,
sehingga faktor ini pulalah yang menyebabkan banyak permasalahan HAM terutama
dalam bidang hak ekonomi, sosial dan budaya kurang diperhatikan. Salah satu
contohnya adalah, ketidakbecusan pemerintah dalam mengalokasikan anggaran untuk
kebutuhan dasar rakyat miskin bukanlah dipandang sebagai bentuk pelanggaran
terhadap kewajiban negara dalam hak-hak asasi manusia, melainkan hanya dilihat
sebagai persoalan programatik prosedural dan kewajaran tanpa ukuran yang jelas,
baik arah maupun dasar perumusannya. 32 Oleh sebab itu, kegagalan negara dalam
mewujudkan hak-hak asasi manusia sesungguhnya telah dimulai dalam kerangka
hukum normatifnya dalam konstitusi yang lemah dan tidak lengkap.
Di sisi lain, konsep tanggung jawab yang diatur dalam UUD 1945 pasca
amandemen, mengenal apa yang disebut kewajiban asasi (human obligations),
sebagaimana diatur dalam pasal 28J ayat (1) dan (2). Dalam pasal tersebut, “Setiap
orang wajib menghormati hak asasi manusia orang lain dalam tertib kehidupan
bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara, dan Dalam menjalankan hak dan
kebebasannya, setiap orang wajib tunduk kepada pembatasan yang ditetapkan dengan
undang-undang dengan maksud semata-mata untuk menjamin pengakuan serta
penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain dan untuk memenuhi tuntutan yang
adil sesuai dengan pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan, dan ketertiban
umum dalam suatu masyarakat demokratis.”
Konsep human obligations ini dimaksudkan untuk melengkapi bahwa
persoalan hak-hak asasi manusia tidak sekedar persoalan di tanggung jawab negara,
tetapi ada pula kewajiban yang harus dilakukan oleh setiap manusia termasuk
wilayah-wilayah yang tidak mungkin seratus persen dijangkau oleh negara. Seperti
contoh persoalan kekerasan dalam rumah tangga, pemaksaan keyakinan atau agama
dalam keluarga, eksploitasi anak-anak dalam ekonomi keluarga, dan masih ada
contoh lainnya yang mana negara tidak bisa terlibat sepenuhnya karena ada faktor
non-negara seperti tradisi atau budaya.
Meskipun demikian, konsep human obligations ini sama sekali tidak
mengajak untuk menegasikan peran negara, melainkan justru sifatnya melengkapi
peran utama negara dalam HAM (state responsibilities).

6.1.1. Sarana Perlindungan Hak Asasi Manusia

Dalam konteks hak-hak asasi manusia, khususnya yang diberlakukan dalam


sistem hukum di Indonesia, kita mengenal adanya lembaga-lembaga yang menjadi

32
R. Herlambang Perdana Wiratraman, Anggaran Berbasis Kebutuhan Dasar Rakyat
Miskin: Sebuah Agenda Advokasi Kebijakan Anggaran dan Perubahan Gerakan Sosial Akar
Rumput, Paper untuk Lokakarya “Pengawasan Anggaran”, 29-31 Januari 2004.

60
sarana perlindungan hak-hak masyarakat. Lembaga-lembaga yang memiliki
kewajiban dalam memberikan sarana perlindungan hukum bisa dilakukan oleh
lembaga peradilan (judicial system) dan lembaga non-peradilan (non-judicial system).
Lembaga peradilan yang menangani persoalan hak-hak asasi manusia,
khususnya terhadap pelanggaran HAM berat dilakukan oleh Pengadilan HAM.
Pengadilan HAM merupakan pengadilan khusus yang berada di lingkungan peradilan
umum, dan khusus hanya menangani persoalan pelanggaran HAM berat (kejahatan
genosida dan kejahatan terhadap kemanusiaan).33 Sedangkan persoalan hak-hak asasi
manusia lainnya, di luar pelanggaran HAM berat, dikategorikan sebagai tindak
kriminal maka akan diselesaikan melalui proses peradilan umum. Dalam perspektif
perlindungan publik atas kebijakan atau keputusan administratif pemerintah, maka
perlindungan hak asasi manusia bisa diselesaikan melalui Pengadilan Tata Usaha
Negara. Ketiga lembaga peradilan tersebut merupakan sarana perlindungan hak-hak
asasi manusia yang dikenal dalam konteks sistem ketatanegaraan di Indonesia.
Sedangkan lembaga non-peradilan yang dibentuk pemerintah untuk
melakukan upaya perlindungan dan pemenuhan hak-hak asasi manusia, antara lain
Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM), Komisi Nasional Anti
Kekerasan Terhadap Perempuan (Komnas Perempuan), Komisi Nasional
Perlindungan Anak (Komnas Anak), dan Komisi Ombudsman Nasional.
Kelembagaan non-peradilan yang juga terkait langsung dengan upaya perlindungan
hak asasi manusia secara koordinatif membangun komunikasinya dengan lembaga
atau departemen pemerintah lainnya, termasuk institusi kepolisian dan TNI.
Meskipun demikian, pandangan terhadap sarana-sarana perlindungan hak
asasi manusia tidak bisa dikerdilkan hanya pada lembaga peradilan dan lembaga non-
peradilan yang disebutkan di atas, tetapi haruslah lintas departemen, dan menjadi
tanggung jawab seluruh jajaran pemerintahan mulai dari Presiden hingga unit
pemerintahan terkecil di bawah tanpa terkecuali. Bahkan bilamana diperlukan sarana-
sarana tersebut membuka terhadap kerjasama internasional untuk mendukung upaya
perlindungan hak-hak asasi manusia, sehingga permasalahan pelanggaran HAM akan
dapat tercegah dan diselesaikan secara komprehensif, koordinatif dan strategis.
Sehingga tidak dimungkinkan lagi adanya sektoralisme penyelesaian masalah-
masalah penegakan hak asasi manusia.

Bagaimanapun, pengaturan selengkap mungkin dan pokok-pokok hak-hak


asasi manusia diperlukan sebagai dasar perlindungan rakyat secara menyeluruh,
karena pergulatan pemikiran yang baik dan dipenuhi optimisme (sebagaimana
tergambar oleh fikiran salah satu pendiri bangsa, Drs. Soekarno, dalam merespon
UUD Tahun 1945) tidak selalu berbanding lurus dengan komitmen politik yang baik
dari generasi rezim yang satu ke rezim berikutnya.

61
-Rule of Law
Para pendiri negara kita telah mengkonsepsikan bahwa negara Indonesia
merupakan negara yang berdasarkan hukum, negara yang demokratis (berkedaulatan
rakyat), berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa, dan berkeadilan sosial, atau disebut
oleh Prof. Mukhtie sebagai “theo-democratische-sozial-rechstaat”.33 Indonesia yang
menegaskan dirinya sebagai negara hukum, memiliki beberapa tujuan sebagaimana
termaktub dalam Pembukaan UUD 1945, yang salah satunya menyebutkan tujuan
untuk memajukan kesejahteraan umum, sehingga ia terkategori sebagai bagian dari
bentuk negara hukum modern (modernsrechtstaat).34
Meskipun demikian, kita harus lebih berhati-hati menggunakan pengistilahan
modern dalam arti tersebut, karena seringkali pemahamannya akan justru terjebak
dalam simplifikasi “normativisme”. Karena istilah modern tidak serta merta berarti
soal hukum harus tertulis, dan atau terundangkan, tetapi secara substansial
mengandung pengertian pembeda dan lebih luas, yakni upaya mencapai tujuan
penyejahteraan warga negaranya.

Membicarakan pendekatan hukum, sebagai sarana perlindungan hukum bagi rakyat,


adalah pendapat Hadjon, yang menyatakan “tindak pemerintahan” sebagai titik
sentral, dibedakan dua macam perlindungan hukum bagi rakyat: perlindungan hukum
yang preventif dan perlindungan yang represif. Pada perlindungan hukum yang
preventif, kepada rakyat diberikan kesempatan untuk mengajukan keberatan
(inspraak) atau pendapatnya sebelum suatu keputusan pemerintah mendapat bentuk
yang definitif, yang sifatnya mencegah sengketa. Adanya perlindungan hukum yang
preventif tentunya akan mendorong pemerintah untuk bersikap lebih berhati-hati
dalam mengambil keputusan yang didasarkan pada diskresi. Sedangkan untuk
perlindungan hukum yang represif adalah berdasarkan penyelesaian suatu sengketa,
dimana terdapat keragaman dalam berbagai sistem hukum di dunia ini. Misalnya,
negara-negara dengan “civil law system” mengakui adanya dua set pengadilan, yaitu
pengadilan umum (biasa) dan pengadilan administrasi; sedangkan negara-negara
dengan “common law system”, hanya mengenal satu set pengadilan, yaitu “ordinary
court”. Di samping kedua sistem tersebut, negara-negara Skandinavia telah

33
A. Mukhtie Fajar, Konsep Negara Hukum dan Pembangunan, master thesis, 1985, dikutip
dari A. Mukhtie Fadjar, Tipe Negara Hukum, Bayumedia-Intrans, Malang, 2004, h. 85.
34
Menarik pula berdasarkan analisis Kuntjoro Purbopranoto bahwa Tujuan Negara yang
dimiliki Indonesia berdasarkan UUD 1945 tersebut memiliki dua arah, yakni ‘tujuan ke dalam’
terhadap seluruh bangsa Indonesia dan juga ‘tujuan ke luar’, yang ditujukan kepada dunia
internasional yakni untuk ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan,
perdamaian abadi, dan keadilan sosial. Tetapi, dalam Mukadimah Konstitusi RIS dan UUDS,
‘tujuan ke luar’ tersebut tidak lagi disebut dan berubah penyusunannya. Lihat, Kuntjoro
Purbopranoto, Hak-Hak Asasi Manusia dan Pancasila, Pradnya Paramita, Jakarta, 1979, h. 45.

62
mengembangkan sendiri suatu lembaga perlindungan hukum bagi rakyat yang dikenal
dengan nama “Ombudsman”.35
Salah satu pemahaman (dari banyak varian konsep) terhadap penyejahteraan
warga negaranya dalam konsep tanggung jawab negara adalah upaya perlindungan
hukum bagi warganya sendiri. Artinya, hukum sebagai sarana dan sistem
perlindungan bagi rakyat yang efektif, terutama dari berbagai upaya pemaksaan
kehendak atau bentuk kekerasan yang dilakukan oleh organ/struktur yang berkuasa.
Pendekatan sistem dalam bidang hukum, sebagaimana dikatakan oleh Victor M.
Tschchikvadse dan Samuel L. Zivs, “It is the system approach that makes it possible
to visualize more clearly the whole of law as a complex series or relationship
between branches of law and legal institutions. The system approach helps to reveal
the special quality of law, considered as a whole in comparison with one of its
branches or with a simple aggregate of branches. The system approach also makes it
possible to reveal more clearly such important features of law as a unity and
differentiation, the interaction and interrelation of the separate parts of elements.”36
Ini berarti, pendekatan sistem dalam bidang hukum memperhatikan pula bagaimana
organ/struktur negara yang memiliki lembaga-lembaga (pembentuk, penegak) hukum
bekerja untuk melindungi dan memenuhi hak-hak dalam ruang kehidupan warga
negaranya.

6.2. RULE OF LAW

35
Philipus M. Hadjon, Perlindungan Hukum Bagi Rakyat di Indonesia, Cetakan Pertama,
PT. Bina Ilmu, Surabaya, 1987, h. 2-5.
36
Victor M. Tschchikvadse cs., The System of Socialist Law, International Encyclopedia of
Comparative Law, Tubingen, Mouton, The Hague, Paris, J.C. Mohr (Paul Siebeck), 1971, vol. II,
Bab 2. h. 115.

63
BAB VII

HAK DAN KEWAJIBAN WARGA NEGARA

7.1. Warga Negara Indonesia

Era reformasi menuntut perubahan paradigma dalam penyelenggaraan negara


yang lebih demokratis dan berdasarkan prinsip negara hukum yang memperkuat
perlindungan hak asasi manusia dan persamaan kesederajatan didepan hukum bagi
setiap warga negara. Wujud perubahan tersebut secara konstitusional terihat dari
adanya amandemen UUD 1945 yang bertujuan untuk menyempurnakan aturan dasar
mengenai tatanan negara dalam mencapai tujuan nasional yang tertuang dalam
pembukaan UUD 1945, menyempurnakan aturan dasar mengenai jaminan dan
pelaksanaan kedaulatan rakyat, menyempurnakan37 Aturan dasar mengenai jaminan
dan perlindungan hak asasi manusia, menyempurnakan aturan dasar penyelenggaraan
negara secara demokratis dan modern, menyempurnakan aturan dasar mengenai
jaminan konstitusional dan kewajiban negara mewujudkan kesejahteraan sosial,

37
Agus Ngadino, Disampaikan pada acara “Sosialisasi UU No.12 Tahu 2006 tentang
kewarganegaraan “ yang diselenggarakan oleh Kanwil hukum dan HAM Sumatra Selatan di hotel
Charisma, 26 April 2011

64
melengkapi aturan dasar yang sangat penting dalam penyelenggaraan negara,
menyempurnakan aturan dasar mengenai kehidupan dan bernegara dan berbangsa. 38
Gagasan tersebut menyentuh pola persoalan kewarganegaraan yang harus
ditata kembali sesuai dengan tuntutan demokratisasi dan kebutuhan reformasi lainnya
agar masalah hak-hak dan perlindungan warga negara dapat diposisikan secara tepat
didalam rangka perlindungan HAM tanpa mengganggu kedaulatan Negara Kesatuan
Republik Indonesia. Gagasan tersebut kemudian diwujudkan dengan adanya
reformasi peraturan perundang-undangan tentang kewarganegaraan yang secara resmi
dituangkan dalam UU No.12 tahun 2006 tentang kewarganegaraan9 . UU tersebut
menggantikan UU No.62 Tahun1958 tentang kewarganegaraan.
Kehadiran UU baru merupakan respon atas permasalahan kewarganegaraan
yang sering terjadi dalam kehidupan berbangsa dan bernegara di Indonesia. Karena
dalam kenyataan dan praktek selama 47 tahun terakhir ini tidak mencerminkan
adanya pengakuan dan penghormatan terhadap hak-hak tersebut. Hal ini terutama
disebabkan karena politik hukum negara khususnya yang tertuang dalam UU No.62
tahun 1958 tentang kewarganegaraan dan kebijakan kebijakan yang mengikutinya
sangat diksriminatif tidak saja atas dasar etnis dan kelas sosial , tetapi juga atas dasar
jenis kelamin dan gender.
Permasalahan yang berkaitan dengan status kewarganegaraan seseorang di
Indonesia, terutama yang berkaitan dengan praktek perolehan dan pembuktian
kepemilikan Surat Bukti Kewarganegaraan Republik Indonesia (SBKRI) telah lama
muncul menjadi masalah nasional dan bahkan mendapat perhatian internasional
karena Indonesia dianggap sebagai negara yang melegalkan praktek diskriminasi
terutama diskriminasi ras/etnis. Praktek dikriminasi ras/etnis terutama dialami oleh
etnis Tionghoa, dialami juga oleh kaum perempuan Indonesia yang kawin dengan
warga negara asing dan anak –anaknya akibat adanya ketentuan yang
mendiskriminasi perempuan dan anak anak UU tersebut menggantikan UU No.62
Tahun1958 tentang kewarganegaraan. Kehadiran UU baru merupakan respon atas
permasalahan kewarganegaraan yang sering terjadi dalam kehidupan berbangsa dan
bernegara di Indonesia. Karena dalam kenyataan dan praktek selama 47 tahun
terakhir ini tidak mencerminkan adanya pengakuan dan penghormatan terhadap hak-
hak tersebut. Hal ini terutama disebabkan karena politik hukum negara khususnya
yang tertuang dalam UU No.62 tahun 1958 tentang kewarganegaraan dan kebijakan
kebijakan yang mengikutinya sangat diksriminatif tidak saja atas dasar etnis dan kelas
sosial , tetapi juga atas dasar jenis kelamin dan gender. Permasalahn yang berkaitan
denga status kewarganegaraan seseorang di Indonesia, terutama yang berkaitan
dengan praktek perolehan dan pembuktian kepemilikan Surat Bukti
Kewarganegaraan Republik Indonesia (SBKRI) telah lama muncul menjadi masalah
nasional dan bahkan mendapat perhatian internasional karena Indonesia dianggap

38
MPR, Panduan Pemasyarakatan Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun
1945(Jakarta :Sekjen MPR,2006), hlm .8 3Moh. Mahmud MD .Konstitusi dan Hukum dalam
kontroversiIsu, (Jakarta : Rajawali Pers,2009),hlm.233.

65
sebagai negara yang melegalkan praktek diskriminasi terutama diskriminasi ras/etnis.
Praktek dikriminasi ras/etnis terutama dialami oleh etnis Tionghoa, dialami juga oleh
kaum perempuan Indonesia yang kawin dengan warga negara asing dan anak –
anaknya akibat adanya ketentuan yang mendiskriminasi perempuan dan anak anak
Hal ini terjadi karena UU No.62 Tahun 1958 menganut asas ius sanguinis hanya dari
garis ayah.Dalam konteks dimana laki laki yang oleh hukum perkawinan ditetapkan
sebagai kepala keluarga maka hanya laki laki yang secara hukum dapat memberikan
kewaganegaraan kepada anaknya (one person doctrine in the family). Inilah bentuk
diskriminasi paling nyata dalam UU kewarganegaraan yang lama tersebut. Ketentuan
yang nyata nyata tidak memberikan hak yang sama kepada laki laki dan perempuan
untuk menentukan kewarganegaraan anak yang dilahirkannya .Sementara itu asas ius
soli meski dianut juga tetap terbatas pada anak anak yang lahir di Indonesia dari
orangtua yang tak jelas orang tuanya atau orang tuanya tidak memiliki
kewarganegaraan.
Ini berarti menurut UU kewarganegaraan yang lama seorang anak yang lahir
dari seorang ayah berkewarganegaraan asing secara otomatis mengikuti
kewarganegaraan ayahnya meskipun ia lahir dari ibu Indonesia, besar dan hidup di
Indonesia.Status kewarganegaraan ini diikuti oleh berbagai peraturan imigrasi dan
pendidikan yang juga sangat tidak responsif terhadap kepentingan anak anak dan
perempuan khususnya bagi perempuan yang tidak mampu apalagi jika perkawinan
mereka putus karena perceraian ataupun karena kematian. Ketentuan ketentuan yang
mendiskriminasi warga negara atas dasar etnis dan gender dan berakibat pula pada
diskriminasi terhadap anak-anak mereka ini jelas bertentangan dengan UUD 1945
khususnya pasal 28D,28E,28G,28I dan peraturan perundang-undangan tentang HAM
lainnya. Khususnya bagi perempuan, ketentuan dalam UU kewarganegaraan yang
lama itu bertentang dengan Pasal 9 UU No.7 Tahun 1984 Tentang pengesahan
konvensi pengapusan segala bentuk diskriminasi terhadap perempuan serta pasal 26
dan 47 UU nomor 39 Tahun 1999 tentang HAM serta konvensi-konvensi HAM
lainnya.
Dalam konteks sekarang maka ketika mengkaji tentang hukum
kewarganegaraan tentu menurut dasar pertimbangan dari UU No. 12 tahun 2006.
Setidaknya ada tiga pertimbangan yang perlu mendapat perhatian yaitu secara
filosofis, yuridis dan sosiologis. Secara filosofis, UU Nop. 62 Tahun 1958 tersebut
masih mengandung ketentuan-ketentuan yang belum sejalan falsafah Pancasila,
antara lain, karena bersifat deskriminatif, kurang menjamin pemenuhan hak asasi dan
persamaan antar warga negara, serta kurang memberi perlindungan terhadap
perempuan dan anak-anak. Secara yuridis, landasan konstitusional pembentukan UU
tersebut adalah UUDS tahun 1950 yang sudah tidak berlaku sejak Dekrit Presiden 5
Juli 1959 yang menyatakan kembali kepada UUD 1945. Dalam perkembangannya,
UUD 1945 telah mengalami perubahan yang lebih menjamin perlindungan terhadap
hak asasi manusia dan hak warga negara. Secara sosiologis, UU tersebut sudah tidak
sesuai dengan perkembangan dan tuntutan warga negara Indonesia sebagai bagian
dari masyarakat internasional dalam pergaulan global, yang menghendaki adanya

66
persamaan perlakuan dan kedudukan warga negara dihadapan hukum serta adanya
kesetaraan dan keadilan gender.
Dalam era reformasi, pembangunan HAM di Indonesia memperoleh landasan
hukum yang signifikan sejak diberlakukannya Keputusan Presiden (Keppres)
Republik Indonesia Nomor 129 Tahun 1998 tentang “Rencana Aksi Nasional Hak-
hak Asasi Manusia Indonesia 1998-2003” atau lebih dikenal denga istilah “RAN
HAM”. Pemberlakuan Keppres Nomor 129 taun 1998 tersebut kemudian diikuti
dengan penerbitan Instruksi Presiden (Inpres) No 26 tahun 1998 tentang
“Menghentikan Penggunaan Istilah Pribumi dan Nonpribumi dalam Semua
Perumusan dan Penyelenggaraan Kebijaksanaan, Perencanaan Program, ataupun
Pelaksanaan Kegiatan Penyelenggaraan Pemerintahan” yang dikeluarkan di Jakarta
pada tanggal 16 September 1998.
UU tentang kewarganegaraan ini telah berhasil merumuskan dan menjabarkan
berbagai asas penting dalam masalah kewarganegaraan seperti asas ius sanguinis, ius
soli, dan asas apatride, tetapi juga mencantumkan asas-asas baru yang tidak dianut
dalam UU Kewarganegaraan yang lama seperti misaln;ya kewarganegaraan terbatas
bagi anak serta asas perlindungan maksimum yang meletakkan kewajiban bagi
pemerintah untuk memberikan perlindungan bagi setiap warga negara Indonesia
dalam keadaan apapun baik di luar negeri maupun didalam negeri. Asas yang terakhir
ini merupakan perubahan paradigma yang telah lama dinantikan oleh bangsa
Indonesia bahwa pemerintah berkewajiban memberikan perlindungan bagi
warganegaranya dan demikian berarti pula bahwa pemerintah wajib secara proaktif
memberikan pelayanan dan perlindungan maksimal terhadap masalah-masalah warga
negara dan kewarganegaraan.
Pokok perhatian karena eksistensinya. Eksistensi ini berkaitan dengan status
warga negara yang memunculkan sekian banyak kewajiban bagi negara untuk
mewujudkan hak yang melekat pada warga negara. Oleh karena itu perlindungan
hukum melalui pengaturan mengenai hak warga negara menjadi persoalan yang
sangat penting pada saat terjadi perubahan UUD 1945. Hal tersebut semakin
diperkuat dengan pengaturan perlindungan warga negara pada level undang-undang
dan peraturan pelaksanaannya. UU No. 12 tahun 2006 tentang kewarganegaraan
menandai adanya perubahan tersebut.
Ada beberapa substansi yang diatur dalam UU no. 12 tahun 2006 yang
memperlihatkan adanya perubahan paradigma dalam pengaturan kewarganageraan.
Perubahan paradigma tersebut sesuai dengan gagasan penguatan prinsip negara
hukum demokratis dan perlindungan hak asasi manusia. Oleh karena itu substansi
pengaturannya berupaya untuk menghilangkan adanya diskriminasi. Substansi
tersebut berkaitan pengertian yuridis orang bangsa Indonesia asli, status
kewarganegaraan bagi anak hasil perkawinan campuran, jaminan status
kewarganegaraan, mekanisme kewarganegaraan, penetapan status kewarganegaraan.

7.1.1. Perubahan konsep Indonesia Asli

67
Pada masa lalu terjadi diskriminasi terhadap kelompok tertentu warga
negara dengan adanya perbedaan warga negara asli dan orang asing (tidak asli)
berdasar ikatan primodial (ras dan etnis). Pada saat ini berdasar UU No. 12 tahun
2006 dianut konsep “Indonesia Asli” . pada masa lalu konsep “Indonesia Asli”
sebagaimana dituangkan dalam UU No.12 Tahun 2006 Pasal 2 dan
Penjelasannya adalah “orang Indonesia yang menjadi warga Indonesia sejak
kelahirannya dan tidak pernah menerima kewarganegaraan lain atas kehendaknya
sendiri, Jadi pembeda Indonesia Asli dan Indonesia tidak asli sekarang ini
dasarnya bukan perbedaan ras, melainkan status kewarganegaraan yang diperoleh
sejak lahir. Siapapun yang sejak telah menjadi warga negara Indonesia dan tidak
pernah menjadi warga Indonesia asli. Namun demikian memang faktor
penjajahan Belanda menimbulkan demarkasi menganai orang Indonesia asli dan
dan tidak asli yang dalam UUD 1945 sebelum amandemen mengenalkan istilah
tersebut untuk syarat pencalonan presiden. Meskipun kemudian tidak siapa yang
bisa dikatakan sebagai orang bangsa Indonesia asli tersebut. Akibatnya
pengertian orang bangsa Indonesia asli sangat subjektif yang kemudian rentan
pada pragmatism politik saja. Oleh karena itu penegasan orang Bangsa Indonesia
asli secara yuridis tentu menjadi patokan untuk menjadi kriterianya sehingga
tidak sekedar pada subjektifitas kepentingan politik yang berkembang.
Pengertian secara yuridis tersebut akan mengubah mindset masyarakat yang
mempunyai ukuran sendiri tentang siapa yang asli dan yang tidak asli.
Pengertian orang Bangsa Indonesia asli menurut UU No. 12 tahun 2006
pada dasarnya selaras dengan amanat konstitusi. Dimana konteks
penyelenggaraan pemerintahantelah sangat tegas dalam pemilihan Presiden
sudah tidak lagi menggunakan terminologi asli namun sudah menggunakan
pengertian istilah “asli” itu sendiri (Pasal 6 ayat (1) UUD 1945). Hal ini tentu
semakin membatasi perdebatan tentang siapa yang masuk sebagai orang asli
dalam pencalonan presiden. Meskipun dalam pasal 26 UUD masih menggunakan
terminologi orang bangsa asli.
Berdasarkan Pasal 26 ayat (1) UUD 1945 “Yang menjadi warga negara
ialah orang-orang bangsa Indonesia asli dan orang-orang bangsa lain yang
disahkan dengan undang-undang sebagai warga negara”. Ketentuan Pasal 26
ayat (1) perlu dihubungkan dengan ketentuan yang mengatur tentang syarat calon
Presiden yang ditentukan dalam Pasal 6 ayat (1) Perubahan Ketiga UUD 1945
yang menyatakan: (1)Calon Presiden dan calon Wakil Presiden harus seorang
warga negara Indonesia sejak kelahirannya dan tidak pernah menerima
kewarganegaraan lain karena kehendaknya sendiri…”. Syarat “warga negara
Indonesia sejak kelahirannya” tersebut merupakan perubahan dari syarat yang
dirumuskan sebelumnya dalam Pasal 6 Ayat (1) asli, yaitu “warga negara
Indonesia asli”. Ketentuan ini jika dihubungkan dengan ide awalnya yang
tercermin dalam pembahasan di sidang-sidang BPUPKI pada tahun 1945, jelas
terkait dengan konsepsi tentang Pribumi, yang diperhadapkan dengan konsepsi
penduduk golongan Timur asing dan golongan Eropa atau yang dipersamakan.

68
Sekarang dengan rumusan baru “Orang-orang bangsa Indonesia asli” harus
dipahami dalam pengertian natural born citizen, yaitu orang yang sudah menjadi
warga negara Indonesia sejak kelahirannya sebagaimana ditentukan sebagai
syarat calon Presiden dalam Pasal 6 ayat (1) UUD 1945 sesudah Perubahan
Ketiga pada 2000. Inilah legal concept dari pengertian orang Indonesia asli
menurut UUD 1945. Perubahan ini menyebabkan terjadinya pergeseran makna
dari perkataan “Indonesia asli” itu dari pengertian yang bersifat antropologis
(anthropological meaning) menjadi pengertian yang bersifat hukum (legal
concept). Dengan perkataan lain, pengertian “orang Indonesia asli” itu mencakup
setiap orang yang sejak kelahirannya sudah berkewarganegaraan Indonesia atau
natural born citizens.39
Perubahan ketentuan mengenai persyaratan calon Presiden dan calon
Wakil Presiden dimaksudkan untuk mengakomodasi perkembangan kebutuhan
bangsa dan tuntutan zaman. Untuk itu persyaratan yang ada sebelumnya dalam
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (“orang
Indonesia asli”) diubah agar sesuai dengan perkembangan masyarakat yang
makin demokratis, egaliter, dan berdasarkan rule of law dan salah satucirinya
adalah pengakuan kesederajatan didepan hukum bagi setiap warga negara.
Rumusan itu konsisten dengan paham kebangsaan Indonesia yang berdasarkan
kebersamaan dengan tidak membedakan warna negara atas dasar keturunan, ras,
dan agama. Kecuali itu, dalam perubahan ini juga terkandung kemauan politik
untuk lebih menetapkan ikatan kebangsaan Indonesia.40
Oleh karena itu dengan berlakunya Undang-Undang Nomor 12 tahun
2006 diharapkan masyarakat Indonesia yang bersifat plural dan multikultur lebih
terjamin keadilan dan kepastian hukum bagi semua pihak terutama dalam
pengakuan akan pluralisme kultural dan keterikatan etnik tertentu terhadap
budaya dan dan komunitas etniknya sendiri tidak lagi mengalami kesulitan
menjadi warga negara Indonesia sebagai identitas Bangsa Indonesia asli
sebagaimana dimaksud dari ketentuan Pasal 2 Undang-Undang Nomor 12 Tahun
2006 menentukan bahwa “Yang menjadi Warga Negara Indonesia adalah orang-
orang Bangsa Indonesia Asli dan orang-orang bangsa lain yang disahkan dengan
undang-undang sebagai Warga Negara”. Kemudian ketentuan Pasal 4
menegaskan bahwa anak yang dilahirkan di wilayah Negara Republik Indonesia
dianggap Warga Negara Indonesia sekalipun status Kewarganegaraan
orangtuanya tidak jelas, hal ini berarti secara yuridis ketentuan ini oleh
pembentuk Undang-Undang dimaksudkan sedapat mungkin mencegah timbulnya
keadaan tanpa kewarganegaraan dan memberi perlindungan terhadap segenap
Warga Negara Indonesia.

39
Jimly Asshiddiqie, Komentar Atas Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945 (Jakarta: Sinar Grafika, 2009), hlm.110.
40
MPR, Panduan Pemesyarakatan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945 (Jakarta: Sekjen MPR.2006) hlm.54.

69
Pemikiran pembentuk Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2006 dilihat dari
segi perspektif hukum kewarganegaraan mengandung makna bahwa kata orang-
orang Bangsa Indonesia Asli ditentukan oleh keaslian berdasarkan tempat
kelahiran. Dengan demikian penjabaran Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2006
mengenai konsep bangsa Indonesia asli tidak didefinisikan berdasarkan etnis,
melainkan berdasarkan pada hukum bahwa keaslian Warga Negara Indonesia
ditentukan berdasarkan tempat kelahiran dalam wilayah Negara Republik
Indonesia.
Hal ini berarti bahwa semua Warga Negara Indonesia dan / atau lahir di
Indonesia, tidak peduli etnis Tionghoa, Arab, India, dan lain-lain. Semuanya
dianggap Warga Negara Indonesia asli. Konsekuensi yuridisnya semua Warga
Negara Indonesia keturunan yang sudah menikah dan mempunyai keturunan
yang sudah lahir di wilayah Negara Republik Indonesia demi hukum menjadi
orang-orang bangsa Indonesia asli karenanya secara yuridis tidak diperlukan lagi
membuat Surat Bukti Kewarganegaraan Republik Indonesia (SBKRI) melainkan
cukup menunjukkan akta kelahiran saja.
Interpretasi tentang pengertian orang-orang Bangsa Indonesia Asli ini,
setidak-tidaknya telah memperjelas pengertian “Asli” yang bersifat yuridis
konstitusional yang tidak dapat kita abaikan sebagaimana dimaksud didalam
Pasal 26 dan Pasal 6 ayat (1) UUD 1945 (sebelum amandemen) dengan Pasal 1
huruf (a) dan (b) Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1946, sehingga mereka yang
menjadi warga negara Republik Indonesia berdasarkan Undang-Undang Nomor
12 Tahun 2006 sama aslinya seperti yang dimaksud asli berdasarkan proklamasi
kemerdekaan 17 Agustus 1945 ditetapkan oleh Konstitusi UUD 1945 dan
Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1946 bahwa Warga Negara Indonesia sejak
kelahirannya adalah orang-orang Bangsa Indonesia Asli dalam negara Republik
Indonesia secara otomatis menjadi warga negara Republik Indonesia.
Landasan konstitusional dan ketegasan siapa orang-orang Bangsa
Indonesia Asli Berdasar UUD 1945 dipertegas secara yuridis dengan berlakunya
Undang-Undang Kewarganegaraan baru sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2
berikut penjelasan dan Pasal 4 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2006 telah
memperjelas dan mempertegas kedudukan dan kepastian hukum bagi setiap
Warga Negara Indonesia yang sejak kelahirannya di wilayah Negara Republik
Indonesia dengan ketentuan yang bersangkutan tidak pernah menerima
kewarganegaraan lain atas kehendak sendiri adalah Bangsa Indonesia Asli, hal
yang sama berlaku juga terhadap anak yang dilahirkan di wilayah Negara
Republik Indonesia dianggap Warga Negara Indonesia sekalipun status
kewargangeraan orang tuanya tidak jelas.
Konsep Bangsa Indonesia Asli yang tertuang dalam Undang-Undang
Nomor 12 Tahun 2006 merupakan upaya pembentuk Undang-Undang untuk
meluruskan makna dan sekaligus mewujudkan nyatakan pemikiran yang
dibangun diatas prinsip konsep harmonisasi yang senafas dari dan sejalan dengan
ketentuan Pasal 26 ayat (1) dan Pasal 6 ayat (1) UUD 1945, batasan yuridis

70
mengenai bangsa Indonesia asli telah saling mendekati dan saling menguatkan
dengan konsep yang tertera pada Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1946,
sehingga dengan demikian sejak berlakunya Undang-Undang 12 Tahun 2006
dilihat pada tataran yuridis konstitusional terutama dalam interpretasi tentang
pengertian Warga Negara Indonesia sejak kelahirannya di wilayah Negara
Republik Indonesia yang bersangkutan tidak pernah menerima kewarganegaraan
lain dan / atau sekalipun; status kewarganegaraan orangtuanya tidak jelas
berdasarkan batasan yuridis dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2006 tetap
diakui sebagai orang-orang Bangsa Indonesia Asli.
Sejak era reformasi kita telah mengalami begitu banyak perubahan
didalam sistem ketatanegaraan Indonesia, Undang-Undang 1945 telah di
amandemen dengan memasukkan semangat kesetaraan antara semua Warga
Negara, tanpa membedakan asal usul keturunannya. Seperti Pasal 6 Undang-
Undang Dasar 1945 sebelum diamandemen mensyaratkan seorang untuk menjadi
Presiden haruslah “orang Indonesia asli” setelah di amandemen perkataan itu
dihapuskan dan diganti dengan kata-kata “Calon Presiden dan calon Wakil
Presiden harus seorang Warga Negara Indonesia sejak kelahirannya dan tidak
pernah menerima Kewarganegaraan lain karena kehendaknya sendiri. Dengan
demikian siapa saja tanpa membedakan asli dan bukan asli, sepanjang yang
bersangkutan memenuhi rumusan ketentuan yang baru ini dapat maju ke
pencalonan Presiden. 41
Secara historis konsep Bangsa Indonesia Asli dari perjalanan panjang
konstitusi UUD 1945 (sebelum dan sesudah perubahan), Undang-undang Nomor
3 tahun 1946, Undang-undang Nomor 62 tahun 1958 sampai berlakunya
Undang-undang Nomor 12 tahun 2006 semestinya dipahami sebagai konsekuensi
logis dari pluralitas kebangsaan kita dalam ikatan kebangsaan Indonesia. Dengan
fakta pluralitas kebangsaan kita maka untuk memperoleh status kewarganegaraan
Indonesia sudah semestinya aparatur negara harus mampu menegakkan prinsip-
prinsip supremasi hukum yang memahami pluralitas kebangsaan kita sehingga
hak-hak dan kewajiban politik tidak diikatkan kepada etnis/etnik/suku/ras,
kepercayaan, adat istiadat, agama, dan kultural tertentu, melainkan kepada
individu yang memiliki kedudukan yang sama dihadapan hukum.

7.1.2. Kekerabatan yang Parental


UU No.12 Tahun 2006 juga menolak diskriminasi berdasar gender
sehingga sistem kekerabatan yang dianut bukan kekerabatan patrilineal (garis

41
Kondisi demikian tentu sangat menarik jika dibandingkan dengan terpilihnya Arnold Swazeneger pada tahun 2003 sebagai Gubernur
California di Amerika Serikat yang merupakan keturunan Austria. Kemudian terpilihnya Barack Obama menjadi Presiden Amerika Serikat. Barack
Obama adalah terlahir dari hasil perkawinan campuran antara ibu warga negara Amerika dan ayah warga negara Kenya. Hal ini agak berbeda
dengan pengalaman di India. Seorang Sonia Gandhi yang keturunan India Italia mundur dari pencalonan Perdana Menteri karena kesadaran diri
bukan asli India. Sonia Gandhi menolak dicalonkan menjadi Perdana Menteri India. Sonia Gandi tadinya adalah orang Italia dan menjadi warga
negara India 24 tahun yang lalu. UUD india tidak menyebut apapun tentang tempat kelahiran seorang clon perdana menteri. Diakses dari
www.voanews.com/indonesian/archive/2004-05/

71
ayah) atau matrilineal (garis ibu) semata-mata melainkan menganut hubungan
kekerabatan yang parental (ayah dan ibu dianggap sama). Berdasar sistem
kekerabatan yang seperti ini maka UU ini mengaitkan kewarganegaraan seorang
anak tidak hanya dengan ayah atau dengan ibunya, melainkan dikaitkan dengan
keduanya secara seimbang yang dalam praktiknya kewarganegaraan itu diberikan
berdasar hubungan yang lebih menguntungkan bagi si anak. Oleh karena itu
seorang anak yang lahir bisa menjadi warga negara Indonesia, selain karena
kedua orangtuanya adalah orang Indonesia, bisa juga karena salah satunya, baik
karena ayahnya orang Indonesia maupun karena ibunya orang Indonesia,
tergantung mana yang menguntungkan. Bahkan untuk menjamin ini seorang
anak masih ditoleransi untuk mempunyai kewarganegaraan ganda secara terbatas
dalam arti dibatasi sampai berusia 18 tahun atau sudah kawin.

7.1.3. Kewarganegaraan Otomatis


Pada saat ini politik hukum kewarganegaraan sudah sangat longgar
dan memberi pintu lebar bagi siapa pun yang berhak dan ingin menjadi warga
negara sesuai dengan tuntutan perlindungan HAM sebagai hati nurani global.
Dengan demikian siapapun boleh dan dipermudah untuk menjadi warga
negara Indonesia sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang juga
memudahkan dan memberi jaminan hukum agar pemerintah tidak
mempersulit.
Untuk menjadi warga negara Indonesia sekarang ini dapat terjadi
secara otomatis (karena keturunan atau karena tempat kelahiran Indonesia)
dan dapat terjadi karena pewarganegaraan (pemohonan dan pemberian). Oleh
karena ada pemberian kewarganegaraan secara otomatis yang sangat longgar
atau mudah meskipun kita menganut asas kewarganegaraan tunggal, tetapi
sampai batas waktu tertentu sesorang dapat memiliki kewarganegaraan ganda.
Dengan kewarganegaraan otomatis berarti seseorang dapat menjadi warga
negara dengan sendirinya secara otomatis. Yang menjadi warga negara Indonesia
secara otomatis ini dibagi dua yakni karena sudah memiliki status itu dan karena
kelahiran. Berdasar Pasal 4 butir (a) UU tentang kewarganegaraan, setiap orang
secara otomatis menjadi warga negara Indonesia apabila sebelum saat
diundangkannya UU No. 12 Tahun 2006 telah menjadi warga negara (memiliki
status kewarganegaraan) Indonesia sesuai dengan peranturan perundang-
undangan atau karena perjanjian dengan negara lain.
Kewarganegaraan yang diperoleh secara otomatis karena kelahiran diatur
di dalam Pasal 4 butir (b) sampai dengan butir (m) dan Pasal 5. Dari keseluruhan
ketentuan Pasal 4 dan Pasal 5 tersebut dapat disimpulkan bahwa UU No.12
Tahun 2006 menganut asas ius sanguinis (berdasar keturunan) dan ius
soli(berdasar tempat kelahiran)sekaligus, tetapi jika dalam penerapannya
menimbulkan kewarganegaraan ganda maka ada toleransi sampai seseorang
berusia 18 tahun. Hal ini terkait dengan prinsip bahwa pada dasarnya Indonesia
menganut asas kewarganegaraan tunggal, tetapi agar ada perlindungan HAM dan

72
kebebasan maka bisa saja orang memiliki dua kewarganegaraan, tetapi setelah
berusia 18 tahun atau sudah kawin harus memilih salah satunya.

7.1.4. Asas-Asas Kewarganegaraan

Adapun asas-asas yang dianut dalam Undang-Undang Nomor 12


Tahun 2006 ialah :
1) Asas Ius sanguinis (law of the blood) adalah asas yang menentukan
kewarganegaraan seseorang berdasarkan keturunan, bukan berdasarkan Negara
atau tempat kelahiran.
2) Asas Ius Soli (law of the soil) secara terbatas adalah asas yang menentukan
kewarganegaraan seseorang berdasarkan Negara tempat kelahiran yang
diberlakukan terbatas bagi anak-anak sesuai dengan ketentuan yang di atur dalam
Undang-Undang ini.
3) Asas kewarganegaraan tunggal, adalah asas yang menentukan satu
kewarganegaraan bagi setiap orang.
4) Asas kewarganegaraan ganda terbatas, adalah asas yang menentukan
kewarganegaraan ganda bagi anak-anak sesuai dengan ketentuan yang di atur
dalam Undang-Undang ini.

Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2006 pada dasarnya tidak mengenal


kewarganegaraan ganda (bipatride) ataupun tanpa kewarganegaraan (apetride).
Kewarganegaraan ganda yang diberikan kepada anak dalam Undang-Undang ini
merupakan suatu pengecualian. Selain azas tersebut di atas, beberapa azas khusus
juga menjadi dasar penyusunan Undang-Undang tentang kewarganegaraan Republik
Indonesia (Penjelasan atas UURI nomor 12 tahun 2006, umum) yaitu :
1) Asas kepentingan nasional, adalah asas yang menentukan bahwa kepentingan
Nasional Indonesia, yang bertekad mempertahankan kedaulatannya sebagai
Negara kesatuan yang memiliki cita-cita dan tujuannya sendiri.
2) Asas perlindungan maksimum adalah asas yang menentukan bahwa pemerintah
wajib memberikan perlindungan penuh kepada setiap warga Negara Republik
Indonesia dalam keadaan apapun baik di dalam maupun di luar negeri.
3) Asas persamaan di dalam hukum dan pemerintahan adalah azas yang menentukan
bahwa setiap warga Negara Indonesia mendapatkan perlakuan yang sama di dalam
Hukum dan pemerintahan.
4) Asas kebenaran substantive adalah prosedur pewarganegaraan seseorang tidak
hanya bersifat administrative, tetapi juga disertai substansi dan syarat-syarat
permohonan yang dapat dipertanggung jawabkan kebenarannya.
5) Asas non diskriminatif adalah azas yang tidak membedakan perlakuan dalam
segala hal ihwal yang berhubungan dengan warga Negara atas dasar suku, ras,
agama, golongan, jenis kelamin dan gender.

73
6) Asas pengakuan dan penghormatan terhadap hak asasi manusia adalah asas yang
dalam segala hal ihwal yang berhubungan dengan warga Negara harus menjamin
melindungi dan memuliakan hak azasi manusia pada umumnya dan hak warga
Negara pada khususnya.
7) Asas keterbukaan adalah asas yang menentukan bahwa dalam segala hal ihwal
yang berhubungan dengan warga Negara harus dilakukan secara terbuka.
8) Asas publisitas adalah asas yang menentukan bahwa seseorang yang memperoleh
atau kehilangan kewarganegaraan Republik Indonesia agar masyarakat
mengetahuinya.

Pokok materi muatan yang di atur dalam Undang-Undang nomor 12 tahun


2006 meliputi:
a. Siapa yang menjadi warga Negara Indonesia
b. Syarat dan tata cara memperoleh kewarganegaraan Republik Indonesia
c. Kehilangan kewarganegaraan Republik Indonesia
d. Syarat dan tata cara memeperoleh kembali kewarganegaraan Republik Indonesia
e. Ketentuan pidana

Dalam Undang-undang ini pengaturan mengenai anak yang lahir di luar


perkawinan yang syah semata-mata hanya untuk memberikan perlindungan terhadap
anak tentang status kewarganegaraan saja.
Tabel 1
Asas kewarganegaraan

Asas-asas Norma (UU No. 12 Tahun 2006) Keterangan


Ius Sanguinis - Pasal 4 Asas ius sanguinis ( law
a. Setiap orang yang berdasarkan of the blood) adalah asas
peraturan perundangundangan yang menentukan
dan/atau berdasarkan perjanjian kewarganegaraan
Pemerintah Republik Indonesia seseorang berdasarkan
dengan negara sebelumnya keturunan, bukan
Undang-Undang ini berlaku sudah berdasarkan Negara
menjadi Warga Negara Indonesia; tempat kelahiran.
b. Anak yang lahir dari perkawinan
yang sah dari seorang ayah dan ibu
Warga Negara Indonesia;
c. Anak yang lahir dari perkawinan
yang sah dari seorang ayah dan ibu
warga negara asing;
d. Anak yang lahir dari perkawinan
yang sah dari seorang ayah warga
Negara asing dan ibu Warga
Negara Indonesia;

74
e. Anak yang lahir dari perkawinan
yang sah dari seorang ibu Warga
Negara Indonesia tetapi ahanya
tidak mempunyai kewarganegaraan
atau hokum Negara asal ayahnya
tidak memberikan
kewarganergaraan kepada anak
tersebut;
f. Anak yang lahir tenggang waktu
300 (tiga ratus) hari setelah ayahnya
meninggal dunia dari perkawinan
yang sah dan ayahnya Warga
Negara Indonesia;
g. Anak yang lahir di luar
perkawinan yang sah dari seorang
ibu Warga Negara Indonesia;
h. Anak yang lahir di luar
perkawinan yang sah dari seorang
ibu warga Negara yang diakui oleh
seseorang ayah Warga Negara
Indonesia sebagai anaknya dan
pengakuan
Itu dilakukan sebelum anak tersebut
berusia 18 (delapan belas) tahun dan
belum kawin;
l. Anak yang dilahirkan diluar
public Indonesia dari seorang ayah
dan ibu Warga Negara Indonesia
yang karena ketentuan dari Negara
tempat anak tersebut dilahirkan
memberikan kewarganegaraan
kepada anak yang bersangkutan;
m. Anak dari seorang ayah dan ibu
yang telah dikabulkan permohonan
kewarganegaraannya, kemudian
ayah atau ibunya meninggal dunia
sebelum
Ius Soli - Pasal 4 Asas Ius soli (law of the
i. Anak yang lahir di wilayah soli) secara terbatas
Negara Republik Indonesia yang adalah asas yang
pada waktu tidak jelas status menentukan
kewarganegaraan ayah ibunya; kewarganegaraan
j. Anak yang baru lahir ditemukan seseorang berdasarkan

75
di wilayah Negara Negara tempat

Kewarganegaraan - Pasal 6 Asas kewarganegaraan


Ganda Terbatas 1) Dalam hal status ganda terbatas adalah
Kewarganegaraan Republik asas yang menentukan
Indonesia terhadap anak kewarganegaraan ganda
sebagaimana dimaksud dalam bagi anak-anak hasil
pasal4 hurufc, huruf d, huruf h, perkawinan campuran,
huruf l dan pasal 5 berakibat anak yang belum mencapai
kewarganegaraan ganda, setelah umur 18 tahun dan asas
berusia 18 (delapan belas) tahun ini merupakan asas
atau sudah kawin anak tersebut pengecualian bagi
harus menyatakan memilih salah mereka sebelum
satu kewarganegaraanya. mencapai umur 18
tahun.
Kewarganegaraan - pasal 6 Asas kewarganegaraan
Tunggal 2) pernyataan unutuk memulih tunggal adalah asas yang
kewarganegaraan sebagaimana menetukan satu
dimaksud pada ayat (1) dibuat kewarganegaraan bagi
secara tertulis dan disampaikan setiap orang.
kepada Pejabat dengan
melampirkan dokumen
sebagaimana ditentukan di dalam
peraturan perundang-undangan.
3) Pernyataan untuk memilih
kewrganegaraan sebagaimana
pada ayat (2) disampaikan
dalam waktu paling lama 3
(tiga) tahun setelah anak
berusia (delapan belas) tahun
atau sudah kawin.

7.1.5. Syarat dan Tata Cara Memperoleh Kewarganegaraan

Pasal 8 UU no. 12 tahun 2006 mengatur bahwa Kewarganegaraan Republik


Indonesia dapat juga diperoleh melalui pewarganegaraan. Menurut Bagir manan
penggunaan ungkapan “dapat juga” menunjukkan pewarganegaraan (disebut juga
naturalisasi) hanya salah satu cara orang asing menjadi warga Negara Indonesia.
Sebetulnya ada berbagai cara orang-orang menjadi warga Negara Indonesia seperti
karena ketentuan Undang-Undang, perkawinan, pengangkatan anak, pengakuan,
atau pernyataan. Bahkan kewarganegaraan mungkin diperoleh melalui inisiatif
Pemerintah.
Dalam pasal 4, pasal 6 dan pasal 7 mengatur mengenai kewarganegaraan
karena Undang-Undang (Van Rechtswege). Undang- Undang yang menentukan

76
mereka sebagai warga Negara. Bahkan untuk “orang-orang bangsa Indonesia Asli”
kewarganegaraan Indonesia ditentukan oleh UUD. Secara konstitusional setiap
orang bangsa Indonesia asli adalah warga Negara, kecuali karena hukum, alas an
tertentu mereka tidak menjadi warga Negara Indonesia. Selanjutnya dijelaskan oleh
Bagirmanan (Bagir Manan, 2009 : 87 – 88) bahwa pewarganegaraan tidak hanya
dilakukan orang asing. Orang atau orang-orang tanpa kewarganegaraan dapat juga
menjadi warga Negara dengan pewarganegaraan. Dalam praktek di Negara
manapun juga pewarganegaraan (naturalisasi) yang paling banyak di atas sebagai
cara menjadi warga Negara (memperoleh kewarganegaraan) Politik
pewarganegaraan tergantung pada pemilihan antara “Immigrant state atau non
immigrant state”. Prinsip immigrant state biasanya dijalankan pada Negara yang
berpenduduk jarang. Menerima imigrasi merupakan cara mempercepat
pertambahan penduduk. Selain menjalankan prinsip “immigrant state”, Negara
semacam itu juga menjalankan azas Ins Soli sebagai dasar kewarganegaraan.
Namun ada Negara walaupun sebagai “immigrant state”, tetapi tidak terbuka
pada semua bangsa. Misalnya tidak begitu terbuka terhadap imigrent yang berasal
dari Asia, kecuali yang benar-benar akan member manfaat sebesar-besarnya.
Upaya mempercepat pertumbuhan penduduk, diperlukan untuk mengisi lapangan
kerja sebaliknya “non immigrant state” biasanya dijalankan Negara yang
berpenduduk padat.
Pewarganegaraan sangat dibatasi. Biasanya yang diterima adalah orang-
orang memiliki potensi menunjang kemajuan Negara yakni mereka yang memiliki
keahlian, memiliki modal dan seterusnya.
Dalam pasal 9 Undang-Undang nomor 12 tahun 2006 mengatur tentang
permohonan pewarganegaraan dapat diajukan oleh pemohon jika memenuhi
persyaratan sebagai berikut:
a. Telah berusia 18 (delapan belas) tahun atau sudah kawin
b. Pada waktu mengajukan permohonan sudah bertempat tinggal di wilayah Negara
Republik Indonesia paling singkat 5 (lima) tahun berturut-turut atau paling singkat
10 tahun tidak berturut-turut.
c. Sehat jasmani dan rohani
d. Dapat berbahasa Indonesia serta mengakui dasar Negara Pancasila dan Undang-
Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945
e. Tidak pernah dijatuhi pidana karena melakukan tindak pidana yang diancam
dengan pidana penjara 1(satu) tahun atau lebih.
f. Jika dengan memperoleh kewarganegaraan Republik Indonesia, tidak menjadi
kewarganegaraan ganda
g. Mempunyai pekerjaan dan/atau berpenghasilan tetap, dan
h. Membayar uang pewarganegaraan ke Kas Negara.

Ketentuan pasal 9 tersebut jelas mengatur mengenai persyaratan


pewarganegaraan atau naturalisasi biasa sebagaimana dimaksud oleh pasal 8 telah
diungkapkan di atas perolehan status warga Negara Indonesia ada bebrbagai cara
lain yang diatur dalam pasal 4, pasal 5 dan pasal 6.
Menurut ketentuan pasal 5 dijelaskan.

77
(1) Anak warga Negara Indonesia yang lahir di luar perkawinan yang sah, belum
berusia 18 tahun atau belum kawin diakui secara syah oleh ayahnya yang
berkewarganegaraan asing tetap diakui sebagai warga Negara Indonesia.
(2) Anak warga Negara Indonesia yang belum berusia 5 tahun diangkat secara
resmi sebagai anak oleh warga Negara asing berdasarkan penetapan
pengadilan tetap diakui sebagai warga Negara Indonesia.

Sedangkan pasal 6 UU no. 12 tahun 2006 mengatur tentang :


(1) Dalam hal status kewarganegaraan Republik Indonesia terhadap anak
sebagaimana dimaksud dalam pasal 4 huruf c, huruf d, huruf i dan pasal 5
berakibat anak berkewarganegaraan ganda, setelah berusia 18 tahun atau
sudah kawin anak tersebut harus menyatakan memilih salah satu
kewarganegaraannya.
(2) Pernyataan untuk memilih kewarganegaraan sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) dibuat secara tertulis dan disampaikan kepada pejabat dengan melampirkan
dokumen sebagaimana ditentukan di dalam peraturan perundang-undangan.
(3) Pernyataan untuk memilih kewarganegaraan sebagaimana dimaksud pada ayat
(2) disampaikan dalam waktu paling lambat tiga tahun setelah anak berusia 18
tahun atau sudah kawin.

Namun dalam ketentuan-ketentuan di atas tidak diatur secara jelas mana di


antara status kewarganegaraan Indonesia yang bersifat otomatis dan mana yang
masih harus di daftarkan sebagaimana mestinya.
Pada pasal 22 Undang-Undang nomor 12 tahun 2006 hanya ditentukan
bahwa : “Ketentuan lebih lanjut mengenai tatacara mengajukan dan memperoleh
kewarganegaraan Republik Indonesia di atas dalam Peraturan Pemerintah”
Ketentuan ini telah ditindak lanjuti dengan terbitnya Peraturan Pemerintah
Republik Indonesia nomor 2 tahun 2007 tentang tata cara memperoleh kehilangan,
pembatalan dan memperoleh kembali kewarganegaraan Republik Indonesia.
Adapun prosedur pengajuan Pewarganegaraan telah diatur dalam pasal 10
dan 11 Undang-Undang nomor 12 tahun 2006 Menurut pasal 10 dan 11
permohonan pewarganegaraan diajukan di Indonesia oleh pemohon secara tertulis
dalam bahasa Indonesia di atas kertas bermeterai cukup kepada Presiden melalui
menteri, berkas permohonan pewarganegaraan itu disampaikan kepada pejabat.
Selanjutnya menteri meneruskan permohonan dimaksud disertai dengan
pertimbangan kepada Presiden dalam waktu paling lambat tiga bulan terhitung sejak
tanggal permohonan diterima.
Selanjutnya dalam pasal 13 dijelaskan bahwa Presiden dapat mengabulkan
atau menolak permohonan pewarganegaraan. Pengabulan permohonan tersebut
ditetapkan dengan keputusan Presiden paling lambat tiga bulan terhitung sejak
permohonan diterima oleh menteri dan diberitahukan kepada pemohon paling
lambat 14 hari terhitung sejak keputusan Presiden ditetapkan.apabila pemohon
ditolak maka penolakan tersebut harus disertai alasan dan diberitahukan oleh
menteri kepada yang bersangkutan paling lambat tiga bulan terhitung sejak tanggal
permohonan diterima oleh menteri. Pasal 14 Undang-Undang no.12 tahun 2006
menyatakan bahwa keputusan Presiden mengenai pengabulan terhadap

78
pemohonan kewarganegaraan berlaku efektif terhitung sejak tanggal pemohon
mengucapkan sumpah atau janji setia untuk pengucapan sumpah atau janji setia itu,
pejabat terkait memanggil pemohon paling lambat tiga bulan terhitung sejak
keputusan presiden dikirim kepada pemohon. Dalam hal setelah dipanggil secara
tertulis oleh pejabat untuk mengucapkan sumpah ataumengucapkan jani setia pada
waktu yang telah ditentukan ternyata pemohon tidak hadir tanpa alasan yang sah
keputusan Presiden tersebut batal demi hukum.
Dalam hal pemohon tidak dapat mengucapkan sumpah atau menyatakan
janji setia
pada waktu yang telah ditentukan sebagai akibat kelalaian pejabat, pemohon
dapat mengucapkan sumpah atau menyatakan janji setia dihadapan pejabat lain
yang ditunjuk oleh menteri. Sesuai pasal 15 pengucapan sumpah ataupun
pernyataan janji setia tersebut dilakukan dihadapan pejabat yang membuat berita
acara pelaksanaan pengucapan sumpah atau pernyataan janji setia tersebut. Paling
lambat 14 hari terhitung sejak tanggal pengucapan sumpah atau pernyataan janji
setia, pejabat yang bersangkutan menyampaikan berita acara pengucapan sumpah
atau pernyataan janji setia kepada menteri.
Adapun bunyi sumpah atau janji setia telah dirumuskan dalam pasal 16 UU
no. 12 tahun 2006. Kemudian setelah mengucapkan sumpah atau menyatakan janji
setia pemohon sesuai bunyi pasal 17 wajib menyerahkan dokumen atau surat-surat
keimigrasian atas namanya kepada kantor imigrasi dalam waktu paling lambat 14
hari kerja terhitung sejak tanggal pengucapan sumpah atau pernyataan janji setia.
Dan selanjutnya menurut pasal 18 bahwa salinan keputusan Presiden tentang
pewarganegaraan di maksud dan berita acara pengucapan sumpah atau pernyataan
janji setia dari pejabat tersebut menjadi bukti syah kewarganegaraan Republik
Indonesia seseorang yang memperoleh kewarganegaraan. Kemudian menteri
mengumumkan nama orang yang telah memperoleh kewarganegaraan itu ke dalam
Berita Negara Republik Indonensia.
Bagi warga Negara asing yang menikah dengan warga Negara Indonesia di
atur dalam pasal 19 UU no. 12 tahun 2006, bahwa warga negara asing yang kawin
secara syah dengan warga Negara Indonesia dapat memperoleh kewarganegaraan
Republik Indonesia dengan menyampaikan pernyataan menjadi warga Negara di
hadapan pejabat. Pernyataan dimaksud dilakukan apabila yang bersangkutan telah
bertempat tinggal di wilayah Negara Republik Indonesia paling singkat lima tahun
berturut-turut atau paling singkat 10 tahun tidak berturut-turut kecuali dengan
perolehan kewarganegaraan tersebut mengakibatkan berkewarganegaraan ganda.
Dalam hal yang bersangkutan tidak memperoleh kewarganegaraan Republik
Indonesia yang diakibatkan oleh kewarganegaraan ganda tersebut yang
bersangkutan dapat diberi izin tinggal tetap sesuai dengan peraturan perundang-
undangan. Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara menyampaikan pernyataan
untuk menjadi warga Negara Indonesia di atur dengan Peraturan Menteri. Bagi
orang-orang yang telah berjasa kepada Negara diatur dalam pasal 20 UU no. 12/
2006 yaitu : orang-orang yang telah berjasa kepada Negara Republik Indonesia atau
dengan alasan kepentingan Negara dapat diberi kewarganegaraan Republik
Indonesia oleh Presiden setelah memperoleh pertimbangan Dewan Perwakilan

79
Rakyat Republik Indonesia, kecuali dengan pemberian kewarganegaraan tersebut
mengakibatkan yang bersangkutan berkewarganegaraan ganda.
Selain itu menurut pasal 21 ayat (1) anak yang belum berusia 18 tahun atau
belum kawin, berada dan bertempat tinggal di wilayah Negara Republik Indonesia
dari ayah atau ibu yang memperoleh kewarganegaraan Republik Indonesia dengan
sendirinya berkewarganegaraan Republik Indonesia.
Selanjutnya ayat (2) dan (3) menentukan bahwa anak warga Negara asing
yang belum berusia 5 tahun yang diangkat secara sah menurut penetapan
pengadilan sebagai anak oleh warga Negara Indonesia memperoleh
kewarganegaraan Republik Indonesia. Dalam hal anak seperti dimaksud
memperoleh kewarganegaraan ganda, anak tersebut harus menyatakan memilih
salah satu kewarganegaraannya sesuai ketentuan pasal 6.

7.1.6.. Hilangnya Kewarganegaraan

Warga negara Indonesia dapat kehilangan kewarganegaraan karena


beberapa alasan sebagaimana yang diatur dalam pasal 23 dimana seseorang warga
negara dapat kehilangan kewarganegaraannya jika yang bersangkutan : (ps 23 UU
no.22 tahun 2006).
a. Memperoleh kewarganegaraan lain atas kemauannya sendiri.
b. Tidak menolak atau tidak melepaskan kewarganegaraan lain, sedangkan orang
yang bersangkutan mendapat kesempatan untuk itu.
c. Dinyatakan hilang kewarganegaraannya oleh Presiden atas permohonannya
sendiri, yang bersangkutan sudah berusia 18 tahun atau sudah kawin, bertempat
tinggal di luar negeri dan dengandinyatakan hilang kewarganegaraan Republik
Indonesia tidak menjadi tanpa kewarganegaraan.
d. Masuk dalam dinas tentara asing tanpa izin terlebih dahulu dari Presiden.
e. Secara sukarela masuk dalam dinas Negara asing yang jabatan dalam dinas
semacam itu di Indonesia sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-
undangan hanya dapat dijabat oleh warga Negara Indonesia.
f. Secara sukarela menyangkut sumpah atau menyatakan janji setia kepada negara
asing atau bagian dari negara asing tersebut.
g. Tidak diwajibkan tetapi turut serta dalam pemilikan sesuatu yang bersifat
ketatanegaraan untuk suatu negara asing.
h. Mempunyai paspor atau surat yang bersifat paspor dari negara asing atau surat
yang dapat diartikan sebagai tanda kewarganegaraan yang masih berlaku dari
negara lain atas namanya atau
i. Bertempat tinggal di luar wilayah Negara Republik Indonesia selama 5 tahun terus
menerus bukan dalam rangka dinas Negara tanpa alasan yang sah dan dengan
sengaja tidak menyatakan keinginannya untuk tetap menjadi warga negara
Indonesia sebelum jangka waktu 5 (lima) tahun itu berakhir dan setiap tahun
berikutnya yang bersangkutan tidak mengajukan pernyataan untuk tetap menjadi
warga negara Indonesia kepada Perwakilan Republik Indonesia yang wilayah
kerjanya meliputi tempat tinggal yang bersangkutan padahal Perwakilan Republik
Indonesia tersebut telah memberitahukan secara tertulis kepada yang

80
bersangkutan sepanjang yang bersangkutan tidak menjadi tanpa
kewarganegaraan.

Suatu hal yang patut disyukuri bahwa kehilangan kewarganegaraan orang


tua tidak secara otomatis berdampak pada hilangnya kewarganegaraan anak-
anak mereka sebagai diatur dalam pasal 25 UU no.12 tahun 2006 yang
menyatakan : kehilangan kewarganegaraan Republik Indonesia bagi seorang
ayah tidak dengan sendirinya berlaku terhadap anaknya yang mempunyai
hubungan hukum dengan ayahnya sampai dengan anak tersebut berusia 18
tahun atau sudah kawin. Kehilangan kewarganegaraan Republik Indonesia
karena memperoleh kewarganegaraan lain bagi seorang ibu yang putus
perkawinannya, tidak dengan sendirinya berlaku terhadap anaknya sampai
dengan anak tersebut berusia 18 tahun atau sudah kawin.
Dalam hal status kewarganegaraan Republik Indonesia terhadap anak
seperti dimaksud di atas berakibat anak berkewarganegaraan ganda, setelah
berusia 18 tahun atau sudah kawin anak tersebut diharuskan memilih salah satu
kewarganegaraannya sebagaimana dimaksud dalam pasal 6.
Lebih dari itu pasal 26 ayat (1) sampai dengan (4) mengatur perempuan
warga negara Indonesia yang kawin dengan laki-laki warga negara asing
kehilangan kewarganegaraan Republik Indonesia jika menurut hukum negara
asal suaminya kewarganegaraan istri mengikuti kewarganegaraan suami sebagai
akibat perkawinan tersebut.
Laki-laki warga negara Indonesia yang kawin dengan perempuan warga
Negara asing kehilangan kewarganegaraan Republik Indonesia jika menurut
hukum negara asal isterinya, kewarganegaraan suami mengikuti
kewarganegaraan istri sebagai akibat perkawinan tersebut. Perempuan atau laki-
laki sebagaimana dimaksud di atas jika ingin tetap menjadi warga negara
Indonesia dapat mengajukan surat pernyataan mengenai keinginannya kepada
pejabat atau perwakilan Republik Indonesia yang wilayahnya meliputi tempat
tinggal perempuan atau laki-laki tersebut, kecuali pengajuan tersebut
mengakibatkan kewarganegaraan ganda. Surat pernyataan tersebut di atas dapat
diajukan oleh perempuan atau laki-laki seperti dimaksud di atas setelah tiga tahun
sejak tanggal perkawinannya berlangsung.
Menurut pasal 27 kehilangan kewarganegaraan bagi suami atau istri yang
terikat perkawinan yang sah tidak mengakibatkan hilangnya status
kewarganegaraan dari istri atau suami. Sementara ini , menurut pasal 28, setiap
orang yang memperoleh kewarganegaraan Republik Indonesia berdasarkan
keterangan yang kemudian hari dinyatakan palsu atau dipalsukan, tidak benar,
atau terjadi kekeliruan mengenai orangnya oleh instansi yang berwenang,
dinyatakan batal kewarganegaraannya.
Bagi mereka yang kehilangan status kewaraganegaraannya harus
diumumkan secara resmi dalam Berita Negara Republik Indonesia. Dan menurut
ketentuan pasal 29 menteri mengumumkan nama orang yang kehilangan
kewarganegaraan Republik Indonesia dalam Berita Negara Republik Indonesia.
Ketentuan mengenai persyaratan dan tata cara kehilangan dan pembatalan

81
kewarganegaraan diatur dalam pasal 30 yang diatur lebih lanjut dalam Peraturan
Pemerintah.

7.1.7. Syarat dan Tata Cara memperoleh kembali kewarganegaraan

Bagi seseorang yang telah kehilangan kewaraganegaraan Republik


Indonesia , sesuai pasal 31 UU nomor 12 tahun 2006 , dapat memperoleh kembali
status kewarganegaraannya itu melalui prosedur pewarganegaraan sebagaimana
yang telah diatur dalam pasal 9 sampai dengan 18 dan pasal 22. Lebih lanjut
ketentuan tersebut di atas diatur dalam pasal 32 ayat (1) yang berbunyi
warganegara Indonesia yang kehilangan kewarganegaraan Republik Indonesia
sebagaimana yang dimaksud dalam pasal 23 huruf i, pasal 25, pasal 26 ayat (1) dan
ayat (2) dapat memperoleh kembali kewarganegaraan Republik Indonesia dengan
menggunakan permohonan tertulis kepada menteri tanpa melalui prosedure
sebagaimana dimaksud dalam pasal 9 sampai dengan 17 yang dimaksudkan di sini
adalah orang-orang:
a. orang yang bertempat tinggal di luar wilayah negara Republik Indonesia selama 5
tahun terus menerus bukan dalam rangka dinas negara tanpa alasan yang sah
dan dengan sengaja tidak menyatakan keinginannya untuk tetap menjadi warga
negara Indonesia sebelum jangka waktu lima tahun itu berakhir, dan setiap lima
tahun berikutnya yang bersangkutan tidak mengajukan pernyataan ingin tetap
menjadi warga Negara Indonesia kepada perwakilan Republik Indonesia yang
wilayah kerjanya meliputi tempat tinggal yang bersangkutan padahal Perwakilan
Republik Indonesia tersebut telah memberitahukan secara tertulis kepada yang
bersangkutan sepanjang yang bersangkutan tidak menjadi tanpa
kewarganegaraan seperti dimaksud dalam pasal 23 huruf i ( lihat penjelasan
pasal 23 UU no.12 / 2006 ).
b. pasal 25
c. pasal 26 ayat ( 1 )
d. Pasal 26 ayat ( 2 )

Selain itu, permohonan untuk memperoleh kembali kewarganegaran


Republik Indonesia
juga dapat diajukan oleh perempuan atau laki-laki yang kehilangan
kewarganegaraannya sejak putusnya perkawinan sebagai akibat ketentuan
sebagaimana dimaksud dalam pasal-pasal
a) Pasal 26 ayat (1)
b) Pasal 28 ayat (2) sejak putusannya perkawinan Dalam hal pemohon dimaksud
bertempat tinggal di luar wilayah negara Republik Indonesia, permohonan untuk
memperoleh kembali kewarganegaraan itu disampaikan melalui perwakilan
Republik Indonesia yang wilayah kerjanya meliputi tempat tinggal pemohon.
Selain itu permohonan untuk memperoleh kembali kewarganegaraan Republik
Indonesia dapat diajukan oleh perempuan atau laki-laki yang kehilangan
kewarganegaraannya akibat ketentuan sebagaimana dimaksud dalam pasal 26
ayat (1) dan ayat (2) sejak putusnya perkawinan Kepala Perwakilan Republik
Indonesia meneruskan permohonan tersebut kepada Menteri dalam waktu 14

82
(empat belas) hari setelah menerima permohonan. Persetujuan atau penolakan.
Permohonan memperoleh kembali kewarganegaraan Republik Indonesia
diberikan paling lambat tiga bulan oleh Menteri atau Pejabat terhitung sejak
tanggal diterimanya permohonan.
Menurut ketentuan pasal 34 Menteri terkait mengumumkan nama orang yang
memperoleh kembali kewarganegaraan Republik Indonesia dalam Berita Negara
Republik Indonesia.

7.2. Hak Dan Kewajiban Warga Negara Indonesia

Setelah Indonesia menjadi Negara merdeka yang ditandai dengan Proklamasi


Kemerdekaan 17 Agustus 1945 hal ihwal mengenai kewarganegaraan mulai diatur
dengan Undang-Undang Republik Indonesia yaitu diawali dari Undang-Undang
nomor 3 Tahun 1946 tentang warga Negara dan penduduk,dimana sebelumnya diatur
dengan Peraturan Perundang-undangan produk colonial seperti misalnya Undang-
Undang Tahun 28 Juli 1850 yang diubah dengan Undang-Undang 3 Mei 1851 dan
Pasal 5 BW Belanda tahun 1838 dan seterusnya.42
Mengikuti perkembangan selanjutnya UU nomor 3 tahun 1948 kemudian di
ubah dengan Undang-Undang nomor 6 tahun 1947 tentang memperpanjang waktu
untuk mengajukan pernyataan berubungan dengan kewarganegaraan Indonesia dan
Undang-Undang nomor 11 tahun 1948 tentang memperpanjang waktu lagi untuk
mengajukan pernyataan berhubung dengan kewarganegaraan Indonesia.
Kemudian diubah lagi dengan Undang-Undang nomor 62 tahun 1958 tentang
kewarganegaraan Republik Indonesia sebagaimana telah diubah dengan Undang-
Undang nomor 3 tahun 1976 tentang perubahan pasal 18 Undang-Undang nomor 2
tahun 1958 tentang kewarganegaraan Republik Indonesia.
Undang-undang nomor 62 tahun 1958 tersebut secara filosofis, yuridis dan
sosiologis telah tidak sesuai lagi dengan perkembangan masyarakat dan ketata
negaraan Indonesia. Secara fisolofis, Undang-Undang tersebut masih mengandung
ketentuan-ketentuan yang belum sejalan dengan falsafah Pancasila misalnya masih
bersifat diskriminatif, kurang menjamin perubahan hak asasi dan persamaan antar
warga Negara, serta kurang memberikan perlindungan terhadap perempuan dan anak.
Secara yuridis, landasan konstitusional pembentukan Undang-undang tersebut
adalah Undang-Undang Dasar sementara tahun 1950 yang sudah tidak berlaku sejak
Dekrit Presiden 5 Juli 1959 yang menyatakan kembali kepada Undang-Undang Dasar
1945.
Secara sosiologis, Undang-Undang tersebut sudah tidak sesuai lagi dengan
perkembangan dan tuntutan masyarakat Indonesia sebagai bagian dari masyarakat
Internasional dalam pergaulan global, yang menghendaki adanya persamaan
42
Hukum Kewarganegaraan Indonesia Menurut Undang - Undang Nomor 12 Tahun 2006
Oleh : M. Pujo Darmo Lihat Hukum Kewarganegaraan Indonesia Menurut Undang –
Undang, Magistra No. 74 Th. XXII Desember 2010, hal. 55, ISSN 0215-9511.

83
perlakuan dan kedudukan warga Negara dihadapan hukum serta adanya kesetaraan
dan keadilan Jender Keadaan ini mendorong untuk melakukan perubahan terhadap
Undang-undang tersebut lalu lahirlah Undang-undang terbaru tentang
kewarganegaraan yaitu Undang-Undang nomor 12 tahun 2006 sebagai pelaksanaan
pasal 26 ayat 13 UUD 1945 yang mengamanatkan agar hal-hal mengenai warga
Negara dan penduduk di atur dengan Undang-Undang.
Sebagaimana diuraikan di atas bahwa menjadi warga Negara Republik
Indonesia menurut UUD 1945 mempunyai arti yang sangat penting dalam system
Hukum dan Pemerintahan Indonesia UUD 1945 memberikan pengakuan sekaligus
menghormati hak asasi setiap individu manusia yang berada dalam wilayah Negara
Republik Indonesia. Penduduk Indonesia yang berstatus sebagai warga Negara
mendapatkan perlakuan yang sama yaitu sebagai manusia yang mempunyai hak-hak
dasar yang diakui secara universal. Pengakuan terhadap hak asasi manusia
merupakanreaktis yang meliputi seluruh warga Negara bahkan lebih dari itu menurut
UUD 1945 diberikan pula hak konstitusional, selain ketentuan terhadap hak azasi
manusia tertentu yang hanya berlaku bagi warga Negara atau disebut sebagai
keutamaan tertentu misalnya : hak atas pekerjaan, hak atas pendidikan dan lain-lain
yang secara timbal balik menimbulkan kewajiban kepada Negara untuk memenuhi
hak-hak tersebut yang hanya berlaku bagi warga begara Indonesia.
Menurut Jimly Asshiddiqee (Jimly Asshiddiqee, 2007 : 685-689) hak-hak
tertentu yang dapat dikategorikan sebagai hak-hak warga Negara misalnya :
a. Hak-hak asasj manusia tertentu yang hanya berlaku sebagai hak konstitusi
bagi warga Negara Indonesia saja. Umpamanya (1) hak yang tercantum dalam
Pasal 28D ayat (3) UUD 1945 yang menyatakan, “Setiap warga Negara
berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan,
(iii) Pasal 27 ayat (23) berbunyi, “Setiap warga Negara berhak dan wajib ikut
serta dalam pembelaan Negara”, (iv) Pasal 30 ayat (1) berbunyi, “Tiap-tiap
warga Negara berhak dan wajib ikut serta dalam usaha pertahanan dan
keamanan Negara”, (v) Pasal 31 ayat (1) menentukan, “Setiap warga Negara
berhak mendapat pendidikan”.
Ketentuan-ketentuan tersebut khusus berlaku bagi warga Negara Indonesia,
bukan bagi setiap orang yang berada di Indonesia.
b. Hak-hak asasi manusia tertentu yang meskipun berlaku bagi setiap orang,
tetapi dalam kasus-kasus tertentu, khusus bagi warga Negara Indonesia
berlaku keutamaankeutamaan tertentu. Misalnya, (1) Pasal 28D ayat (2) UUD
1945 menentukan,”Setiap orang berhak untuk bekerja …..” . Namun Negara
dapat membatasi hak orang asing untuk bekerja di Indonesia. Misalnya, turis
asing untuk bekerja di Indonesia. Misalnya, turis asing dilarang
memanfaatkan visa kunjungan untuk mendapatkan penghidupan atau imbalan
dengan cara bekerja di Indonesia selama masa kunjungannya itu,
(ii) Pasal 28E ayat (3) UUD 1945 menyatakan, “Setiap orang berhak atas
kebebasan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat.” Meskipun
ketentuan ini bersifat universal, tetapi dalam implementasinya, orang

84
berkewarganegaraan asing dan warga Negara Indonesia tidak mungkin
disamakan hak-haknya secara persis. Orang-orang tidak berhak ikut
campur dalam urusan dalam negeri Indonesia, misalnya, secara bebas
menyatakan pendapat yang dapat menimbulkan ketegangan sosial tertentu.
Demikian pula orang warga negara asingtidak berhak mendirikan partai
politik di Indonesia untuk tujuan memengaruhi kebijakan politik Indonesia,
(iii) Pasal 28H ayat (2) menentukan, “Setiap orang berhak untuk mendapat
kemudahan dan perlakuan khusus untuk memperoleh kesempatan dan
manfaat yang sama guna mencapai persamaan dan keadilan.” Hal ini juga
diutamakan bagi warga negara Indonesia, bukan bagi orang asing yang
merupakan tanggung jawab Negara asalnya sendiri untuk memberikan
perlakuan khusus itu.
c. Hak-hak warga Negara untuk menduduki jabatan-jabatan yang diisi melalui
prosedur pemilihan (elected officials), seperti presiden dan wakil presiden,
gubernur dan wakil walikota, kepala desa, hakim konstitusi, hakim agung,
anggota Bada Pemeriksa Keuangan, anggota lembaga permusyawaratan dan
perwakilan yaitu MPR, DPR, DPD dan DPRD, Panglima TNI, Kepala
Kepolisian RI, Dewan Gubernur Bank Indonesia, anggota-anggota komisi-
komisi negara dan jabatan-jabatan lain yang diisi melalui prosedur
pemilihan, baik secara langsung atau secara tidak langsung oleh rakyat.
d. Hak-hak warga Negara untuk diangkat dalam jabatan-jabatan tertentu
(appointed officials) seperti tentara nasional Indonesia, polisi Negara, jaksa,
pegawai negeri sipil serta jabatan-jabatan structural dan fungsional dalam
lingkungan kepegawaian, dan jabtan-jabatan lain yang diisi melalui
pemilihan.
e. Hak untuk melakukan upaya hukum dalam melawan atau menggugat
keputusan-keputusan Negara yang dinilai merugikan hak konstitusional
warga Negara yang bersangkutan. Upaya hukum dimaksud dapat dilakukan
(i) terhadap keputusan administrasi Negara (beschikkiingsdaad van de
administratie). (ii) terhadap ketentuan pengaturan (regelensdaad van staat
organ), baik materiil maupun formil, dengan cara melakukan substantive
judicial review (materille toetsing) atau procedural judicial review (formale
toesting), ataupun (iii) terhadap putusan hakim (vonnis) dengan cara
mengajukannya ke lembaga pengadilan yang lebih tinggi, yaitu tingkat
banding, kasasi, atau peninjauan kembali. Misalnya, Pasal 51 ayat (1) hurus
a Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi”
menentukan bahwa perorangan warga Negara Indonesia dapat menjdi
pemohon perkara pengujian undang-undang terhadap undang-undang dasar,
yaitu dalam hal yang bersangkutan menganggap bahwa hak (dari/atau
kewenangan) konstitusionalnya dirugikan oleh berlakunya sesuatu undang-
undang yang dimohonkan pengujiannya
Sebagai imbangan terhadap adanya jaminan hak-hak konstitusional
warga Negara tersebut di atas, UUD 1945 juga mengatur dan menentukan

85
adanya kewajiban-kewajiban konstitusional setiap warga Negara. Serupa
dengan hak-hak, kewajiban-kewajiban dimaksud juga terdiri atas (i)
kewajiban sebagai manusia atau kewajiban asasi manusia, dan (ii) kewajiban
sebagai warga Negara. Bahkan, jika dibedakan lagi antara hak dan
kewajiban asasi manusia dengan hak dan kewajiban konstitusional warga
Negara, maka seperti halnya hak-hak, kewajiban-kewajiban dimaksud juda
dapat dibedakan anatara (i) kewajiban asasi manusia, (ii) kewajiban asasi
warga Negara, dan (iii) kewajiban konstitusional warga Negara. Yang
dimaksud dengan kewajiban asasi manusia dan warga Negara adalah :
a. Kewajiban setiap orang untuk menghormati hak asasi manusia orang lain dalam
tertib kehidupan bermasyarakat berbangsa, dan bernegara seperti yang tercantum
dalam Pasal 28J ayat (1) UUD 1945.
b. Kewajiban setiap orang dalam menjalankan hak dan kebebasannya untuk tunduk
kepada pembatasan yang ditetapkan dengan undang-undang dengan maksud
semata-mata untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak dan
kebebasan orang lain dan untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan
pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan, dan ketertiban umum dalam
suatu masyarakat demokratis, sebagaimana yang ditentukan dalam Pasal 28J ayat
(2) UUD 1945.
c. Kewajiban setiap orang dan setiap warga negara untuk membayar pajak dan
pungutan lain yang bersifat memaksa sebagaimana ditentukan dalam Pasal 23A
UUD 1945.
d. Kewajiban setiap warga negara untuk ikut serta dalam upaya pembelaan Negara
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 ayat (3) dan untuk ikut serta dalam usaha
pertahanan dan keamanan negara sebagaimana dalam Pasal 30 ayat (1) UUD 1945.

Subyek kedua macam kewajiban pertama tersbut di atas adalah “setiap


orang”. Karena itu, kedua kewajiban pertama di atas adalah kewajiban asasi
manusia atau kewajiban setiap orang. Terlepas dari apakah ia berstatus sebagai
warga negara Indonesia atau bukan. Kedua kewajiban itu, berlaku juga bagi setiap
warga negara Indonesia, sehingga oleh karenanya dapat sekaligus disebut sebagai
kewajiban konstitusional warga negara Indonesia.
Namun di samping kedua kewajiban di atas, setiap warga Negara dan juga
orang asing dibebani pula kewajiban lain yang secara implisit lahir karena adanya
kekuatan negara untuk memaksakan kehendaknya melalui instrument pajak dan
pengutan lain sebagaimana yang ditentukan dalam Pasal 23A UUD 1845. Pasal ini
menentukan : “Pajak dan pungutan lain yang bersifat memanksa untuk
keperluan Negara di atur dengan undang-undang”
Kekuatan Negara untuk memaksa itu melahirkan kewajiban kepada setiap
subjek wajib pajak dan subjek pungutan non pajak berupa retribusi untuk
membayarkannya kepada negara.

86
Oleh karena itu, kewajiban membayar pajak dan pungutan lainnya
merupakan kewajiban asasi setiap orang yang hidup di Indonesia sekaligus
merupakan kewajiban konstitusional setiap warga negara Indonesia.
Yang juga merupakan kewajiban setiap warga Negara adalah untuk ikut
serta dalam upaya pembelaan Negara dan usaha pertahanan dan keamanan negara.
Di samping sebagai kewajiban, upaya pembelaan negara dan usaha pertahanan dan
keamanan negara ini juga adalah hak setiap warga negara Indonesia secara
seimbang dan bertimbal-balik. Karena itu, Pasal 27 ayat (1) UUD 1945 berbunyi :
“Setiap warga negara berhak dan wajib ikut serta dalam upaya pembelaan
negara”.
Sementara itu, Pasal 30 ayat (1) UUD 1945 berbunyi : “Tiap-tiap warga
negara berhak dan wajib ikut serta dalam usaha pertahanan dan keamanan
negara “.
Kedua ketentuan ini secara sepintas seperti pengulangan belaka, sehingga
menimbulkan kritik mengapa tidak diintegrasikan saja atau setidaknya dirumuskan
dalam satu pasal. Namun karena perumusannya sudah demikian adanya, maka
keduanya harus dapat dibedakan satu dengan yang lain. Pasal 27 ayat (1) mengatur
tentang pembelaan Negara yang bersifat umum, sedangkan Pasal 30 ayat (1)
mengatur tentang pertahanan dan keamanan Negara. Yang terakhir ini
menekankan pembedaan antara usaha pertahanan yang terkait dengan peran TNI
dan usaha keamanan Negara yang terkait dengan peran POLRI.
Di samping keempat macam kewajiban yang tersebut di atas, ada pula
kewajibankewajiban konstitusional lainnya yang terkait dengan jabatan-jabatan
tertentu dalam kegiatan bernegara dan ditujukan kepada subjek warga Negara
tertentu yang menduduki jabatan kenegaraan itu dalam arti luas. Oleh Logeman
dikatakan bahwa Negara itu tidak lain merupakan organisasi jabatan-jabatan atau
“ambten organitatie”. Orgnisasi Negara terdiri atas susunan jabatan-jabatan
tunggal dan jabatan-jabatan majemuk yang tersusun baik secara vertical,
horizontal, hirarkis, dan subordinatif mulai dari yang terendah sampai ke yang
tertinggi, terpisah dan terbagi secara horizontal dan koordinatif dan kiri sampai ke
kanan, dan bahkan terkait satu dengan yang lain secara diagonal dan koordinatif.
Dalam setiap jabatan bernegara dan berpemrintahan itu selalu ada warga
Negara yang memegang atau mendudukinya. Jabatan itu disebut fungsi (funtie),
affice (Inggris), atau ambt (Belanda); sedangkan orang yang menduduki atau
memegangnya disebut fungsionaris (functionaries), official (Inggris), atau
ambtsdruge (Belanda). Ada jabatan-jabatan yang bersifat tunggal yaitu dipegang
oleh satu orang, dan ada pada jabatan-jabatan yang dipegang banyak orang dan
sebagai satu kesatuan seperti Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Para anggota DPR
secara sendiri-sendiri adalah pemegang jabatan Negara (staat functie) dan secara
bersama-sama juga adalah jabatan kenegaraan, sehingga dapat disebut
staatsorgaan. Jabatan-jabatan kenegaraan atau kepemerintahan itu semuanya
adalah jabatan kenegaraan, meskipun secara teknis sehari-hari dibedakan dalam

87
berbagai sebutan atau istilah, seperti jabatan administrasi, jabatan politik, jabatan
pemerintahan.
Karena penyebutan istilah yang berbeda-beda ini maka pemegangnya juga
dibedakan antara pejabat Negara dan pejabat dalam konteks kepegawainegerian
yang terdiri atas jabatan sipil dan TNI serta POLRI. Jabatan kepegawai negerian
juga dibedakan lagi antara jabatan structural dan jabatan fungsional. Di luar itu,
jabatan-jabatan lain disebut sebagai jabatan Negara seperti presiden, wakil
presiden, para menteri, anggota DPR dan DPD, hakim konstitusi, hakim agung dan
hakim pada umumnya, dan lain sebagainya.
Timbul persoalan, misalnya, apakah anggota DPRD (Dewan Perwakilan
Rakyat Daerah) di seluruh Indonesia adalah pejabat Negara atau bukan. Undang-
Undang tentang Pemerintahan Daerah berusaha menghindar untuk menyebut
anggota DPRD sebagai pejabat Negara, karena dianggap dapat menimbulkan
kesulitan dalam pelaksanaannya di lapangan. Akibatnya, tidak disebut sebagai
pegawai negeri, tetapi statusnya tidak diakui secara eksplisit dan resmi sebagai
pejabat Negara yang kepadanya diberikan hak-hak sebagai pejabat Negara.
Sebenarnya , semua fungsi bernegara, mulai dari yang terendah sampai
yang tetinggi adalah jabatan-jabatan kenegaraan yang secara bersama-sama
tersusun membentuk suatu organisasi yang bernama Negara. Karena itu, seperti
dikemukakan oleh Logemann, Negara itu tidak lain merupakan organisasi jabatan
atau ambten organisatie.” Bahwa jabatan –jabatan Negara itu perlu dipilah-pilah
dan para pemegang jabatan itu perlu dibedakan satu sama lain, hal itu tentu dapat
dimengerti karena memang sesuai dengan keperluannya masing-masing. Namun,
perbedaan semacam itu tidak mengurangi hakikat dari setiap jabatan sebagai
jabatan dalam rangka organisasi bernegara, dan para pemegang jabatan itu harus
tetap diakui sebagai pejabat Negara dalam arti luas.
Setiap pejabat (affier, ambt, functie) itu berisi atau mengandung hak dan
kewajiban serta tugas dan wewenang yang bersifat melekat dan yang pelaksanaan
atau perwujudannya terkait erat dengan pejabatnya masing-masing (official,
ambtsdragger, fungsionaris) sebagai subjek yang menjalankan jabatan tersebut.
Jabatan-jabatan ada yang ditentukan dalam Undang-Undang Dasar dan ada pula
yang diatur dan dibentuk berdasarkan undang-undang ataupun berdasarkan
peraturan yang lebih rendah lainnya. Pada pokoknya, semua jabatan yang
dimaksud di atas hanya berlaku dan hanya dapat diduduki oleh warga Negara
Indonesia sendiri sesuai dengan maksud ketentuan Pasal 27 ayat (1) dan Pasal 28D
ayat (3). Pasal 27 ayat (1) menentukan : “Segala warga Negara bersamaan
kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung
hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya.” Pasal 28D ayat (3)
berbunyi : “Setiap warga Negara berhak memperoleh kesempatan yang sama
dalam pemerintahan”
Dengan demikian, setiap warga Negara Indonesia berhak untuk menduduki
jabatan-jabatan kenegaraan dan pemerintahan Republik Indonesia seperti yang
dimaksud di atas. Penekanan status sebagai warga Negara ini penting untuk

88
menjamin bahwa jabatan-jabatan tersebut tidak akan diisi oleh orang-orang yang
bukan warga Negara Indonesia.

89
BAB VIII
GEOPOLITIK INDONESIA

8.1. Wilayah Sebagal Ruang Hidup

Wilayah suatu negara pada umumnya meliputi wilayah darat, wilayah laut,
dan wilayah udara. Walaupun ada negara tertentu yang karena letaknya di tengah
benua sehingga tidak memiliki wilayah laut, seperti Afganistan, Mongolia, Austria,
Hungaria, Zambia, Bolivia, dan sebagainya.
Di samping wilayah darat, laut, dan udara dengan batas-batas tertentu, ada
juga wilayah yang disebut ekstra teritorial. Yang termasuk wilayah ekstra teritorial
adalah kapal di bawah bendera suatu negara dan kantor perwakilan diplomatik suatu
negara di negara lain.
Batas wilayah negara Indonesia ditetapkan dalam perjanjian dengan negara
lain yang berbatasan. Batas wilayah negara Indonesia ditentukan dalam beberapa
perjanjian internasional yang dulu diadakan oleh pemerintah Belanda dengan
beberapa negara lain. Berdasarkan pasal 5 Persetujuan perpindahan yang ditetapkan
dalam Konferensi Meja Bundar (KMB), perjanjian-perjanjian internasional itu
sekarang berlaku juga bagi Negara Indonesia. Perjanjian-perjanjian tersebut adalah
Konvensi London 1814 di mana Inggris menyerahkan kembali wilayah Hindia
Belanda kepada Kerajaan Belanda, dan beberapa traktat lainnya berkenaan dengan
wilayah negara (Utrecht, 1966: 308).
Berkenaan dengan wilayah perairan ada 3 (tiga) batas wilayah laut Indonesia.
Batas- batas tersebut adalah:

a) Batas Laut Teritorial

Laut teritorial adalah laut yang merupakan bagian wilayah suatu negara dan
berada di bawah kedaulatan negara yang bersangkutan. Batas laut teritorial tersebut
semula diumumkan melalui Deklarasi Djuanda 13 Desember 1957. Sesuai
pengumuman tersebut, batas laut territorial Indonesia adalah 12 mil yang dihitung
dari garis dasar, yaitu garis yang menghubungkan titik-titik terluar dari pulau-pulau
terluar Indonesia, di mana jarak dari satu titik ke titik lain yang dihubungkan tidak
boleh lebih dari 200 mil. Pokok-pokok azas negara kepulauan sebagaimana termuat
dalam deklarasi diakui dan dicantumkan dalam United Nation Convention on The
Law of The Sea (UNCLOS) tahun 1982. Indonesia meratifikasi UNCLOS 1982
melalui UU. No. 17 tahun 1985 pada tanggal 31 Desember 1985.

b) Batas Landas Kontinen

Landas kontinen (continental shelf) adalah dasar lautan, baik dari segi geologi
maupun segi morfologi merupakan kelanjutan dari kontinen atau benuanya. Pada
tahun 1969 pemerintah Indonesia mengeluarkan pengumuman tentang Landas

90
Kontinen Indonesia sampai kedalaman laut 200 meter, yang memuat pokok-pokok
sebagai berikut:

1) Segala sumber kekayaan alam yang terdapat dalam kontinen Indonesia adalah
milik eksklusif negara Republik Indonesia;
2) Pemerintah Indonesia bersedia menyelesaikan garis batas landas kontinen dengan
negara-negara tetangga melalui perundingan;
3) Jika tidak ada perjanjian garis batas, maka batas landas kontinen Indonesia adalah
suatu garis yang ditarik di tengah-tengah antara pulau terluar Indonesia dan titik
terluar wilayah negara tetangga;
4) Tuntutan (claim) di atas tidak mempengaruhi sifat dan status perairan di atas
landas kontinen serta udara di atas perairan itu.

Batas landas kontinen dari garis dasar tidak tentu jaraknya, tetapi paling jauh
200 mil. Kalau ada dua negara atau lebih menguasai lautan di atas landas kontinen,
maka batas landas kontinen negara-negara itu ditarik sama jauhnya dari garis dasar
masing-masing. Sebagai contoh adalah batas landas kontinen Indonesia dan Malaysia
di Selat Malaka sebelah selatan.
Kewenangan atau hak suatu negara dalam landas kontinen adalah kewenangan
atau hak untuk memanfaatkan sumber daya alam yang terdapat di dalam dan di
bawah wilayah landas kontinen tersebut.

c) Batas Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE)

Pada tanggal 21 Maret 1980 pemerintah Indonesia mengumumkan Zona


Ekonomi Eksklusif (ZEE). Pengumuman pemerintah ini kemudian disahkan dengan
Undang-undang No. 5 tahun 1983. Batas ZEE adalah 200 mil dari garis dasar ke arah
laut bebas. Kewenangan negara di wilayah ZEE adalah kewenangan memenfaatkan
sumber daya, baik di laut maupun di bawah dasar laut. Dalam Konperensi Hukum
laut tercapai kesepakatan bahwa di ZEE ini negara tidak memiliki kedaulatan penuh
tetapi memiliki hak dan yurisdiksi terbatas pada bidang-bidang tertentu.
Dalam pasal 56 Konvensi Hukum Laut tahun 1982 ditentukan bahwa negara
pantai memiliki hak berdaulat untuk melakukan eksplorasi, eksploitasi sumber-
sumber kekayaan alam hayati dan non hayati, dan kegiatan yang berhubungan dengan
kegiatan eksplorasi dan eksploitasi tersebut seperti pembuatan energi arus dan angin.
Sedangkan kewajiban negara di kawasan ZEE merupakan kewajiban yang
berkaitan dengan status ZEE sebagai perairan laut lepas, di mana negara pantai tidak
boleh menghalangi kebebasan berlayar, penerbangan di atas ZEE, dan pemasangan
kabel-kabel di bawah laut.
Negara pantai juga berkewajiban melakukan konservasi kekayaan laut, yaitu
menjaga keseimbangan hidup sumber daya yang ada di laut. Sedangkan wilayah
udara suatu negara meliputi wilayah udara yang berada di atas wilayah laut dan
wilayah perairan negara yang bersangkutan. Berkaitan dengan pemanfaatan ruang

91
udara khususnya penerbangan, oleh masyarakat internasional telah disusun perjanjian
internasional utama yaitu Convention on International Civil Aviation 1944 atau
secara singkat dikenal sebagai Konvensi Chicago 1944. Perjanjian internasional yang
diprakarsai Amerika Serikat ini bersifat publik dan mengatur kepentingan umum
yang merupakan tanggungjawab pemerintah dalam kegiatan penerbangan sipil
internasional.

Dalam perkembangan hukum laut internasional dikenal


beberapa konsepsi mengenai pemilikan dan penggunaan wilayah laut
sebagai berikut :
1. Res Nullius, menyatakan bahwa laut itu tidak ada yang
memilikinya.
2. res Cimmunis, menyatakan bahwa laut itu adalah milik
masyarakat dunia karena itu tidak dapat dimiliki oleh masingm,
asing Negara
128
3. Mare Liberum, menyatakan bahwa wilayah laut adalah bebas
untuk semua bangsa
4. Mare Clausum (the right and dominion of the sea),
menyatakan bahwa hanya laut sepanjang pantai saja yang
dimiliki oleh suatu Negara sejauh yang dapat dikuasai dari
darat (waktu itu kira-kira sejauh tiga mil)
5. Archipelagic State Pinciples (Asas Negara Kepulauan) yang
menjadikan dasar konvensi PBB tentang hokum laut.
Saat ini Konvensi PBB tentang Hukum Laut (United Nation
Convention on the Law of the sea UNCLOS) mengakui adanya
keinginan untuk membentuk tertib hokum laut dan samudra yang
dapat memudahkan komunikasi internasional dan memajukan
penggunaan laut dan samudra secara damai. Di samping itu ada
keinginan pula untuk mendayagunakan kekayaan alamnya secara adil
dan efesien, konservasi dan pengkajian hayatinya, serta perlindungan
lingkungan laut.
Sesuai dengan hukum laut Internasional, secara garis besar
Indonesia sebagai Negara kepulauan memiliki Teritorial, Perairan
Pedalaman, Zona Ekonomi Eksklusif, dan Landasan Kontinental.
Masing-masing dapat dijelaskan sebagai berikut :
1. Negara kepulauan adalah suatu Negara yang seluruhnya
terdiri atas satu atau lebih kepulauan dapat mencakup pulaupulau
lain. Pengertian kepulauan adalah gugusan pulau,
termasuk bagian pulau, perairan diantaranya dan lain-lain
wujud alamiah yang hubungannya satu sama lain demikian
erat sehingga pulau-pulau perairan dan wujud alamiah
lainnya merupakan satu kesatuan geografi, ekonomi dan

92
politik yang hakiki, atau yang secara histories dianggap
demikian.
2. laut territorial adalah salah satu wilayah laut yang lebarnya
tidak melebihi 12 nil laut diukur dari garis pangkal,
129
sedangkan garis pangkal adalah garis air surut terendah
sepanjang pantai, seperti yang terlihat pada peta laut skala
besar yang berupa garis yang menghubungkan titik-titik
terluar dari dua pulau dengan batasan-batasan tertentu sesuai
konvensi ini. Kedaulatan suatu Negara pantai mencakup
daratan, perairan pedalaman dan laut territorial tersebut.
3. perairan pedalaman adalah wilayah sebelah dalam daratan
atau sebelah dalam dari garis pangkal.
4. zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) tidak boleh melebihi 200 mil
laut dari garis pangkal. Di dalam ZEE Negara yang
bersangkutan memiliki hak berdaulat untuk keperluan
eksplorasi, eksploitasi, konservasi, dan pengelolaan sumber
daya alam hayati dari perairan.
5. landasan kontinen suatu Negara berpantai meliputi dasar laut
dan tanah dibawahnya yang terletak di luar laut teritorialnya
sepanjang merupakan kelanjutan alamiah wilayah
daratannya. Jarak 200 mil laut dari garis pangkal atau dapat
lebih dari itu dengan tidak melebihi 350 mil, tidak boleh
melebihi 100 mil dari garis batas kedalaman dasar laut
sedalam 2500 m.
d). Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE)
Pengumuman Pemerintah Negara tentang Zona Ekonomi
Eksklusif terjadi pada 21 Maret 1980. Batas ZEE adalah sekitar 200
mil yang dihitung dari garis dasar laut wilayah Indonesia. Alasanalasan
yang mendorong pemerintah mengumumkan ZEE adalah :
1. Persediaan ikan yang semakin terbatas
2. Kebutuhan untuk pembangunan nasional Indonesia
3. ZEE memiliki kekuatan hokum internasional
Melalui perjuangan panjang di forum Internasional, akhirnya
Konferensi PBB tentang Hukum Laut II di New York 30 April 1982
menerima “The United Nation Convention on the Law of the sea”
130
(UNCLOS), yang kemudian ditandatangani pada 10 Desember 1982
di Montego Bay, Jamaica oleh 117 negara termasuk Indonesia.
Konvensi tersebut mengakui atas asas Negara Kepualauan serta
menetapkan asas-asas pengukuran ZEE. Pemerintah dan DPR RI
kemudian menetapkam UU No.5 tahun 1983 tentang ZEE, serta UU
No. 17 tahun 1985 tentang Ratifikasi UNCLOS. Sejak 3 Februari
1986 indonesia telah tercatat sebagai salah satu dari 25 negara yang

93
telah meratifikasinya.
e). Karakteristik Wilayah Nusantara
Nusantara berarti Kepulauan Indonesia yang terletak diantara
benua Asia dan benua Australia dan diantara samudra Pasifik dan
Samudra Hindia, yang terdiri dari sekitar 17.508 pulau besar maupun
kecil. Jumlah pulau yang sudah memiliki nama adalah 6.044 buah.
Kepulauan Indonesia terletak pada batas-batas astronomi sebagai
berikut :
Utara : 60 08’ LU
Selatan : 110 15’ LS
Barat : 940 45’ BT
Timur : 1410 05’ BT
Jarak utara selatan sekitar 1.888 km, sedangkan jarak barat
timur sekitar 5.110 km. bila diproyeksikan pada peta benua Eropa,
maka jarak barat timur tersebut sama dengan jarak antara London
dengan Ankara, Turki. Bila diproyeksikan pada peta Amerika Serikat,
maka jarak teresbut sama dengan jarak antara pantai barat dan pantai
timur Amerika Serikat.
Luas wilayah Indonesia seluruhnya adalah 5.193.250 km2,
yang terdiri atas daratan seluas 2.027.087 km2 dan perairan
127.166.163 km2. luas wilayah daratan Indonesia jika dibandingkan
dengan Negara-negara Asia Tenggara merupakan yang terluas.
f). Perkembangan wilayah Indonesia dan Dasar Hukumnya.
a. Sejak 17 Agustus 1945 sampai dengan 13 Desember 1957.
131
Wilayah Negara Republik Indonesia ketika merdeka
meliputi wilayah bekas hindia belanda berdasarkan ketentuan
dalam “Teritoriale Zee en Maritieme Kringen Ordonantie” tahun
1939 tentang batas wilayah laut territorial Indonesia. Ordonisasi
tahun 1939 tersebut menetapkan batas wilayah laut teritorialsejauh
3 mil dari garis pantai ketika surut, dengan asas pulau demi pulau
secara terpisah-pisah.
Pada masa tersebut wilayah Negara Indonesia bertumpu
pada wilayah daratan pulau-pulau yang terpisah-pisah oleh perairan
atau selat antara pulau-pulau itu. Wilayah laut territorial masih
sangat sedikit karena untuk setiap pulau hanya ditambah perairan
sejauh 3 mil disekelilingnya. Sebagian besar wilayah perairan
dalam pulau-pulau merupakan perairan bebas. Hal ini tentu tidak
sesuai dengan kepentingan keselamatan dan keamanan Negara
Kesatuan RI.
b. Dari Deklarasi Juanda (13 Desember 1957) sampai dengan 17
Februari 1969
Pada tanggal 13 Desember 1957 dikeluarkan deklarasi
Juanda yang dinyatakan sebagai pengganti Ordonansi tahun 1939

94
dengan tujuan sebagai berikut:
1. Perwujudan bentuk wilayah Negara Kesatuan RI yang utuh
dan bulat.
2. Penentuan batas-batas wilayah Negara Indonesia disesuaikan
dengan asas Negara kepulaauan (Archipelagic State
Principles).
3. Pengaturan lalu lintas damai pelayaran yang lebih menjamin
keselamatan dan keamanan Negara Indonesia.
Asas kepulauan itu mengikuti ketentuan Yurespundensi
Mahkamah Internasional pada tahun 1951 ketika menyelesaikan
kasus perbatasan antara Inggris dengan Norwegia. Dengan
berdasarkan asas kepulauan maka wilayah Indonesia adalah satu
132
kesatuan kepulauan nusantara termasuk peraiarannyayang utuh dan
bulat. Disamping itu, berlaku pula ketentuan “point to point theory
“ untuk menetapkan garis besar wilayah antara titik-titik terluar
dari pulau-pulau terluar.
Deklarasi Juanda kemudian dikukuhkan dengan Undang-
Undang No. 4/Prp?1960 tanggal 18 Februari 1960 tentang Perairan
Indonesia. Sejak itu terjadi perubahan bentuk wialayh nasional dan
cara perhitungannya. Laut territorial diukur sejauh 12 mil dari titiktitik
pulau terluar yang saling dihubungkan, sehingga merupakan
satu kesatuan wilayah yang utuh dan bulat. Semua perairan diantara
pulau-pulau nusantara menjadi laut territorial Indonesia. Dengan
demikian luas wilayah territorial Indonesia yang semula hanya
sekitar 2 juta km2 kemudian bertambah menjadi 5 juta km2 lebih.
Tiga per lima wilayah Indonesia berupa perairan atau lautan. Oleh
karena itu, Negara Indonesia dikenal sebagai Negara maritime.
Untuk mengatur lalu lintas perairan maka dikeluarkan
Peraturan Pemerintah No.8 tahun 1962 tentang lalu lintas damai di
perairan pedalaman Indonesia, yang meliputi :
1. Semua pelayaran dari laut bebas ke suatu pelabuhan
Indonesia,
2. Semua pelayaran dari pelabuhan Indonesia ke laut bebas,
3. Semua pelayaran dari dan ke laut bebas dengan melintasi
perairan Indonesia.
4. Pengaturan demikian sesuai dengan salah satu tujuan
Deklarasi Juanda tersebut, sebagai upaya menjaga
keselamatan dan keamanan Negara.
c. Dari 17 Februari 1969 (Deklarasi Landas Kontinen) sampai
sekarang
Deklarasi tentang landas kontinen Negara RI merupakan
konsep politik yang berdasarkan konsep wilayah. Deklarasi ini
dipandang pula sebagai upaya untuk mengesahkan Wawasan

95
133
Nusantara. Disamping dipandang pula sebagai upaya untuk
mewujudkan Pasal 33 ayat 3 UUD 1945. konsekuensinya bahwa
sumber kekayaan alam dalam landas kontinen Indonesia adalah
milik eksklusif Negara.
Asas pokok yang termuat di dalam Deklarasi tentang landas
kontinen adalah sebagai berikut :
1. Segala sumber kekayaan alam yang terdapat dalam landasan
kontinen Indonesia adalah milik eksklusif Negara RI
2. Pemerintah Indonesia bersedia menyelesaikan soal garis
batas landas kontinen dengan Negara-negara tetangga
melalui perundingan
3. Jika tidak ada garis batas, maka landas kontinen adalah
suatu garis yang di tarik ditengah-tengah antara pulau
terluar Indonesia dengan wilayah terluar Negara tetangga.
4. Claim tersebut tidak mempengaruhi sifat serta status dari
perairan diatas landas kontinen Indonesia maupun udara
diatasnya.
Demi kepastian hukum dan untuk mendukung kebijaksanaan
Pemerintah, asas-asas pokok tersebut dituangkan dalam Undang-Undang
Nomor 1 tahun 1973 tentang Landas Kontinen Indonesia. Disamping itu
UU ini juga memberi dasar bagi pengaturan eksplorasi serta penyidikan
ilmiah atas kekayaan alam di landas kontinen dan masalah-masalah yang
ditimbulkannya.

Indonesia yang terletak di benua Asia bagian Tenggara (Asia Tenggara) pada
koordinat 6°LU - 11°08'LS dan dari 95°'BB - 141°45'BT, melintang di antara benua Asia
dan Australia/Oseania serta antara Samudra Pasifik dan Samudra Hindia (terbentang
sepanjang 3.977 mil).
Karena letaknya yang berada di antara dua benua, dan dua samudra, ia disebut
juga sebagai Nusantara (Kepulauan Antara). Indonesia adalah negara kepulauan terbesar
di dunia, dengan jumlah pulau sebanyak 18.110 buah pulau besar dan kecil, 6000 pulau
di antaranya tidak berpenghuni, menyebar di sekitar khatulistiwa, yang memberikan
cuaca tropis.
Luas daratan Indonesia adalah 1.922.570 km² dan luas perairannya 3.257.483
km². Pulau terpadat penduduknya adalah pulau Jawa, di mana setengah populasi
Indonesia hidup. Indonesia terdiri dari 5 pulau besar, yaitu: Jawa dengan luas 132.107
km², Sumatra dengan luas 473.606 km²,
Kalimantan dengan luas 539.460 km², Sulawesi dengan luas 189.216 km², dan Papua
dengan luas 421.981 km². Batas wilayah Indonesia searah
penjuru mata angin, yaitu:
Utara : Negara Malaysia, Singapura, Filipina, dan Laut China Selatan
Selatan : Negara Australia, Timor Leste, dan Samudera Hindia

96
Barat : Samudera Hindia
Timur : Negara Papua Nugini, Timor Leste, dan Samudera Pasifik

Lokasi Indonesia juga terletak di lempeng tektonik, yang berarti Indonesia rawan
terkena gempa bumi dan dapat menimbulkan tsunami. Indonesia juga banyak memiliki
gunung berapi, salah satu yang sangat terkenal adalah gunung Krakatau, terletak di selat
Sunda antara pulau Sumatra dan Jawa.
Upaya untuk mempertahankan keutuhan wilayah Negara Kesatuan Republik
Indonesia (NKRI) ini menjadi kewajiban seluruh rakyat Indonesia, terutama
pemerintahan yang tengah berkuasa. Mengingat bahwa sejak proklamasi 17 Agustus
1945, Para pendiri negara ini telah mengamanahkan setiap jengkal Republik Indonesia ini
kepada para penerusnya untuk dipelihara, dikembangkan, dan dikelola untuk sebesar-
besarnya kesejahteraan rakyatnya. Berbagai kasus persengketaan yang menginginkan
wilayah Indonesia di beberapa perbatasan semakin menyadarkan bahwa betapa
pentingnya memahami kondisi geografis Indonesia, sehingga tetap menjadi ruang hidup
yang menjadikan masyarakat Indonesia yang aman, damai dan sejahtera.
Beberapa contoh kasus perbatasan yang berakhir pada lepasnya sebagian wilayah
NKRI. Pulau Sipadan dan Ligitan dari wilayah Republik Indonesia setelah dibawa ke
Mahkamah Internasional akan mengancam persatuan dan kesatuan bangsa. Perselisihan
antara Indonesia dan Malaysia mengenai sengketa pulau Ambalat, yang menyebabkan
ketegangan diplomatik, militer serta sosial masyarakat dalam bentuk demonstrasi, dan
lainnya menjadi kasus berikutnya. Selanjutnya kasus Aceh dan Papua yang saat ini belum
selesai secara tuntas. Bisa jadi kasus-kasus serupa akan terus terjadi, jika pemerintah
tidak mengantisipasi sejak dini.
Konsep penguasaan wilayah geografis harus menyatu dengan sistem politik yang
dianut oleh Indonesia, sehingga penjagaan terhadap sejengkal wilayah NKRI juga sama
bobotnya dengan kedaulatan Negara ini. Konsep Geopolitik digunakan untuk
memperkaya wawasan dan kesadaran akan arti penting wilayah NKRI sebagai ruang
hidup seluruh rakyat Indonesia.
Berdasarkan Undang-Undang No. 6 Tahun 1996 tentang Perairan Indonesia,
negara Indonesia merupakan negara kepulauan. Dalam Negara kepulauan diterima asas
bahwa segala perairan di sekitar, di antara, dan yang menghubungkan pulau-pulau atau
bagian pulau-pulau yang termasuk daratan Negara Republik Indonesia, dengan tidak
memperhitungkan luas atau lebarnya merupakan bagian integral dari wilayah daratan
Negara Republik Indonesia sehingga merupakan bagian dari perairan Indonesia yang
berada di bawah kedaulatan Negara Republik Indonesia. Pernyataan dalam undang-
undang ini didasarkan pada fakta sejarah dan cara pandang bangsa Indonesia bahwa
Negara Republik Indonesia yang diproklamasikan pada tanggal 17 Agustus 1945 secara
geografis adalah negara kepulauan.
Kedaulatan Negara Republik Indonesia di perairan Indonesia meliputi laut
teritorial, perairan kepulauan, dan perairan pedalaman serta ruang udara di atas laut
teritorial, perairan kepulauan, dan perairan pedalaman, serta dasar laut dan tanah di
bawahnya termasuk sumber kekayaan alam yang terkandung di dalamnya. Berdasarkan

97
hak ini, maka wilayah negara Kesatuan Republik Indonesia meliputi tanah (daratan) dan
air (lautan) serta udara di atasnya.

a) Wilayah Daratan
Wilayah daratan adalah daerah di permukaan bumi dalam batas-batas tertentu dan di
dalam tanah permukaan bumi. Untuk menentukan batas wilayah daratan biasanya
dilakukan dengan negara-negara yang berbatasan darat. Batas-batas dapat dibuat
dengan sengaja atau dapat pula ditandai dengan benda-benda alam, seperti gunung,
hutan, dan sungai. Indonesia memiliki wilayah daratan yang berbatasan dengan
Malaysia (Serawak dan Sabah), Papua Nugini, dan Timor Leste.
b) Wilayah Perairan
Wilayah Perairan Indonesia meliputi laut teritorial Indonesia, perairan kepulauan, dan
perairan pedalaman. Laut Teritorial Indonesia adalah jalur laut selebar 12 (dua belas)
mil laut yang diukur dari garis pangkal kepulauan Indonesia. Perairan kepulauan
Indonesia adalah semua perairan yang terletak pada sisi dalam garis pangkal lurus
kepulauan tanpa memperhatikan kedalaman atau jaraknya dari pantai.
Perairan pedalaman Indonesia adalah semua perairan yang terletak pada sisi darat dari
garis air rendah dari pantai-pantai Indonesia, termasuk ke dalamnya semua bagian dari
perairan yang terletak pada sisi darat dari suatu garis penutup. Penentuan batas
perairan khususnya yang berbatasan dengan negara tetangga dilakukan dengan
perjanjian bilateral. Contoh; Indonesia dengan Malaysia, Indonesia dengan Filipina
c) Wilayah Udara
Wilayah udara adalah wilayah yang berada di atas wilayah daratan dan lautan
(perairan) negara itu. Dalam menentukan seberapa jauh kedaulatan negara terhadap
wilayah udara di atasnya, terdapat banyak aliran atau teori. Batas udara wilayah
Indonesia ditentukan oleh garis tegak lurus 90o yang ditarik dari batas wilayah daratan
dan perairan

Sebagai negara kepulauan dengan masyarakatnya yang berbhineka, negara


Indonesia memiliki unsur – unsur kekuatan sekaligus kelemahan. Kekuatannya
terletak pada posisi dan keadaan geografi yang strategis dan kaya akan sumber daya
alam (SDA). Sementara kelemahannya terletak pada wujud kepulauan dan
keanekaragaman masyarakat yang harus disatukan dalam satu bangsa, satu negara
dan satu tanah air. Dalam kehidupannya, bangsa Indonesia tidak terlepas dari
pengaruh interaksidan interelasi dengan lingkungan sekitarnya (regional atau
internasional) Dalam hal ini bangsa Indonesia memerlukan prinsip – prinsip dasar
sebagai pedoman agar tidak terombang – ambing dalam memperjuangkan
kepentingan nasional untuk mencapai cita – cita serta tujuan nasionalnya. Salah satu
pedoman bangsa Indonesia wawasan nasional yang berpijak pada wujud wilayah
nusantara sehingga disebut WAWASAN NUSANTARA. Karena hanya dengan
upanya inilah bangsa dan Negara Indonesia tetap eksis dan dapat melanjutkan
perjuangan menuju mayarakat yang adil,makmur dan sentosa.

98
8.1.1. Dasar Pemikiran Wawasan Nusantara

Dasar pemikiran wawasan nusantara ditinjau dari latar belakang pemikiran


aspek kewilayahan nusantara, aspek social budaya bangsa Indonesia dan aspek
kesejarahan bangsa Indonesia adalah :
1. Pemikiran Aspek Kewilayahan Indonesia
Geografi adalah wilayah yang tersedia dan terbentuk secara alamiah, dan
merupakan ruang atau wadah yang harus dipedomani sebagai aspek hidup dan
kehidupan suatu bangsa yang di dalamnya terdapat sumber kekayaan alam dan
manusia atau penduduk yang bermukim di wilayah tersebut.Kondisi objektif geografi
nusantara merupakan untaian ribuan pulau dan kecil (±17.508) dan tersebar di
khatulistiwa serta terletak pada posisi silang yg sangat strategis.
2. Pemikiran Aspek Sosial Budaya
Budaya atau kebudayaan dalam arti etimologis adalah segala sesuatu yang
dihasilkan oleh kekuatan budi manusia (berasal dari bahasa Sansekerta yang berarti
kekuatan budi).Karena manusia tidak hanya bekerja dengan kekuatan budinya
melainkan juga dengan perasaan fantasia tau imajinasi dan dengan kehendaknya,
maka lebih lengkap jika kebudayaan diungkapkan sebagai cita, rasa, cipta, karsa dan
karya (budi perasaan pemikiran kehendak dan tindakan.
Sosial budaya sebagai salah satu aspek kehidupan nasional di samping politik,
ekonomi, dan hankam adalah faktor dinamik masyarakat yang terbentuk oleh
keseluruhan pola tingkah laku lahir batin yang memungkinkan hubungan sosial di
antara anggota-anggota nya, di antaranya :
1) Kebhinekaan budaya Indonesia
2) Budaya sebagai bangsaIndonesia yang bersatu
3) Budaya toleransi Indonesia yang bersatu
4) Budaya toleransi dan saling menghargai

3. Pemikiran Aspek Kesejarahan Indonesia


Perjuangan suatu bangsa dalam meraih cita-cita pada umumnya tumbuh dan
berkembang dari latar belakang sejarahnya.Begitu pula sejarah Indonesia diawali dari
negara-negara kerajaan tradisional yang pernah ada di wilayah Nusantara melalui
kerajaan Sriwijaya dan kerajaan Majapahit.Landasan kedua kerajaan tersebut adalah
mewujudkan kesatuan wilayah.Dengan semangat kebangsaan, melalui perjuangan
berikutnyamenghasilkan Proklamasi 17 Agustus 1945 yakni Indonesia mulai
menegara.

8.1.2. Pengertian Wawasan nusantara

Wawasan nusantara adalah cara pandang bangsa Indonesia tentang diri dan
lingkungannya, di dalam eksistensinya yang sarwa nusantara serta pemekarannya di

99
dalam mengekspresika diri di tengah-tengah lingkungan nasionalnya (Lemhanas,
1992).
Wawasan nusantara adalah wawasan nasional yang bersumber pada Pancasila
dan berdasarkan UUD 1945 yaitu cara pandang dan sikap bangsa Indonesia mengenal
diri dan lingkungannya dengan mengutamakan persatuan dan kesatuan bangsa serta
kesatuan wilayah dalam menyelenggarakan kehidupan bermasyarakat dan bernegara
untuk mencapai tujuan nasional (Tap MPR, 1993 dan 1998).

8.1.3. Tujuan Wawasan Nusantara

1. Tujuan wawasan nusantara ke dalam, yaitu terwujudnya kesatuan aspek


kehidupan nasional. Di dalam aspek kehidupan nasional terdapat aspek alamiah dan
aspek sosial.
a. Aspek alamiah meliputi tiga (Trigatra) yaitu :
1) Gatra kondisi geografis
2) Gatra keadaan dan kekayaan alam
3) Gatra keadaan dan kemampuan penduduk
b. Aspek social terdiri lima (Pancagatra) yaitu :
1) Gatra ideology
2) Gatra politik
3) Gatra ekonomi
4) Gatra sosial budaya
5) Gatra pertahanan dan keamanan

2. Tujuan wawasan nusantara ke luar, yaitu ikut serta mewujudkan kesejahteraan,


ketertiban, dan perdamaian seluruh umat manusia di dunia

8.1.4. Unsur Dasar Wawasan Nusantara

Sebagai cara pandang bangsa dan negara Indonesia yang berdasar Pancasila
dan UUD 1945 serta dinamika politik kenegaraan maupun gejala sosial, wawasan
nusantara mengandung tiga unsur pokok yaitu wadah (countour), isi (content), dan
tata laku (conduct)

a. Wadah

Wawasan nusantara mewujudkan diri dalam bentuk Nusantara yang


manunggal secara bulat dan utuh.Untuk membahas batas dan wujud ini perlu diingat
bahwa asas wilayah negara kita adalah asas negara kepulauan (archipelagic state).
Dalam konsepsi berpikir atau paradigm Nusantara, negara kepulauan adalah sebagai
berikut :
1) Pulau dan perairan merupakan kesatuan yang utuh
2) Lautan diseraki pulau atau perairan sebagai unsur pokok, bukan daratan

100
Jadi Nusantara adalah laut yang diseraki atau ditebari pulau-pulau, bukan
rangkaian pulau-pulau dalam laut. Adapun batas negara kepulauan adalah sebagai
berikut :
1) Adanya garis dasar yang menghubungkan titik terluar dari pulau-pulau terluar
2) Sejauh atau seluas dua belas mil dari garis dasar merupakan laut territorial
3) Sejauh atau seluas dua ratus mil dari garis dasar merupakan zona ekonomi
eksklusif

Sehubungan dengan beberapa konsekuensi negative, maka agar dapat


mempertahankan kelangsungan hidupnya, bangsa Indonesia harus cukup kuat lahir
dan batin serta harus dapat bersikap bebas aktif. Hal ini berarti bahwa bangsa
Indonesia harus memilikikemampuan untuk mengelola, memanfaatkan, dan
mengendalikan segala kekuatan yang melintasinya
Sifat pokok wawasan nusantara ialah kesatuan dan persatuan di bidang wilayah,
bangsa, ideology, politik, ekonomi, social budaya, psikologi, pertahanan
keamanan.Di samping itu, wawasan nusantara harus berkeseimbangan, artinya
berimbang antara dunia dan akhirat, antara jiwa dan pikiran, antara mental dan
spiritual, serta antara peri kehidupan darat, laut, dan udara.

b. Isi

Cita-cita wawasan nusantara selaras dengan cita0cita bangsa Indonesia yang


dirumuskan dalam Pembukaan UUD1945. Berdasarkan kesadaran terhadap letak
negara pada posisi silang, wawasan nusantara tercermin pada perspektif kehidupan
manusia Indonesia dalam eksistensinya yang meliputi dua komponen dasar yang
terpadu, yaitu cita-cita dan asas sebagai berikut:
a. Cita-cita bangsa Indonesia tertuang dalam Pembukaan UUD 1945
b. Asas yang berciri manunggal, utuh menyeluruh, mengarah kepada persatuan dan
kesatuan serta keserasian dan keseimbangan antarsegenap aspek kehidupan yg
tertuang dalam enam asas yang meliputi :
1) Satu kesatuan ruang wilayah
2) Satu kesatuan politik
3) Satu kesatuan social budaya
4) Satu kesatuan ekonomi
5) Satu kesatuan pertahanan keamanan
6) Pemerataan pembangunan dan hasil-hasilnya pada seluruh aspek dan dimensi
kehidupan

c. Tata laku

Unsur tata laku wawasan nusantara dapat dibedakan sebagai tata laku batiniah
dan tata laku lahiriah.Tata laku batiniah berwujud sebagai landasan falsafah dan sikap
mental bangsa serta dipengaruhi juga oleh kondisi lingkungan hidupnya.Tata laku

101
lahiriah terlihat pada tata laksana yang mencakup tata perencanaan, tata pelaksanaan
dan tata pengawasan. Tata laku tersebut berupa UUD 1945 berdasarkan Wawasan
Nusantara yang melahirkan ketahanan nasional yang tangguh
Baik letak/kondisi geografis maupun pembangunan yang sedang berlangsung,
mengakibatkan perubahan-perubahan yang sering membawa dampak negative
terhadap kehidupan. Perkenalan dengan kebudayaan lain melalui berbagai cara sering
menimbulkan perubahan dan pergeseran nilai-nilai budaya. Dalam menanggapi
pengaruh kebudayaan asing itu, seperti yang telah kita lihat, masyarakat selama ini
kurang selektif. Masyarakat kurang dapat memilih dan memilah budaya mana yang
diperlukan atau yang cocok dengan kepribadian . Selain itu , pembangunan yang
dilaksanakan dalam bidang ekonomi dapat menyebabkan manusia menjadi
materialistis dan individualis.

8.1.5. Paham Geopolitik Bangsa Indonesia

Istilah geopolitik semula diartikan oleh Frederic Ratzel (1844- 1904) sebagai
ilmu bumi politik (Political Geogrephy). Istilah ini kemudian dikembangkan dan
diperluas oleh sarjaan ilmu politik Swedia, Rudolph Kjellen (1864-1922) dan Karl
Haushofer (1869-1964) dari Jerman menjadi Geographical Politic dan disingkat
Geopolitik.
Perbedaan dari dua istilah di atas terletak pada titik perhatian dan tekanannya,
apakah pada bidang geografi ataukah politik. Ilmu bumi politik (Political Geography)
mempelajari fenomena geografi dari aspek politik, sedangkan geopolitik mempelajari
fenomena politik dari aspek geography.
Geopolitik memaparkan dasar pertimbangan dalam menentukan alternative
kebijaksanaan nasional untuk mewujudkan tujuan tertentu. Prinsip-prinsip dalam
geopolitik menjadi perkembangan
suatu wawasan nasional. Pengertian geopolitik telah dipraktekan sejak abad XIX,
tetapi pengertiannya baru tumbuh pada awal abad XX sebagai ilmu penyelenggaraan
Negara yang setiap kebijakannya dikaitkan dengan masalah-masalah geografi
wilayah yang menjadi tempat tinggal suatu bangsa.
Geopolitik secara etimologi berasal dari kata geo (bahasa Yunani) yang
berarti bumi yang menjadi wilayah hidup. Sedangkan politik dari kata polis yang
berarti kesatuan masyarakat yang berdiri sendiri atau negara; dan teia yang berarti
urusan (politik) bermakna kepentingan umum warga negara suatu bangsa (Sunarso,
2006: 195).
Sebagai acuan bersama, geopolitik dimaknai sebagai ilmu penyelenggaraan
negara yang setiap kebijakannya dikaitkan dengan masalah-masalah geografi wilayah
atau tempat tinggal suatu bangsa. Frederich Ratzel mengenalkan istilah ilmu bumi
politik (politicalgeography), Rudolf Kjellen menyebut geographical politic dan
disingkat geopolitik.
Geopolitik diartikan sebagai sistem politik atau peraturan-peraturan dalam
wujud kebijaksanaan dan strategi nasional yang didorong oleh aspirasi nasional

102
geografik (kepentingan yang titik beratnya terletak pada pertimbangan geografi,
wilayah atau territorial dalam arti luas) suatu Negara, yang apabila dilaksanakan dan
berhasil akan berdampak langsung kepada system politik suatu Negara. Sebaliknya,
politik Negara itu secara langsung akan berdampak pada geografi Negara yang
bersangkutan.
Geopolitik bertumpu pada geografi sosial (hukum geografis), mengenai
situasi, kondisi, atau konstelasi geografi dan segala sesuatu yang dianggap relevan
dengan karakteristik geografi suatu Negara.
Sebagai Negara kepulauan, dengan masyarakat yang berbhinneka, Negara
Indonesia memiliki unsur-unsur kekuatan sekaligus kelemahan. Kekuatannya terletak
pada posisi dan keadaan geografi yang strategis dan kaya sumber daya alam.
Sementara kelemahannya terletak pada wujud kepulauan dan keanekaragaman
masyarakat yang harus disatukan dalam satu bangsa dan satu tanah air, sebagaimana
telah diperjuangkan oleh para pendiri Negara ini. Dorongan kuat untuk mewujudkan
persatuan dan kesatuan Indonesia tercermin pada momentum sumpah pemuda tahun
1928 dan kemudian dilanjutkan dengan perjuangan kemerdekaan yang puncaknya
terjadi pada saat proklamasi kemerdekaan Indonesia 17Agustus 1945.
Penyelenggaraan Negara kesatuan Republik Indonesia sebagai system
kehidupan nasional bersumber dari dan bermuara pada landasan ideal pandangan
hidup dan konstitusi Undang-Undang Dasar 1945. Dalam pelaksanaannya bangsa
Indonesia tidak bebas dari pengaruh interaksi dan interelasi dengan lingkungan
sekitarnya, baik lingkungan regional maupun internasional. Dalam hal ini bangsa
Indonesia perlu memiliki prinsip-prinsip dasar sebagai pedoman agar tidak
terombang-ambing dalam memperjuangkan kepentingan nasional untuk mencapai
cita-cita dan tujuan nasionalnya. Salah satu pedoman bangsa Indonesia adalah
wawasan nasional yang berpijak pada wujud wilayah nusantara sehingga disebut
dengan wawasan nusantara. Kepentingan nasional yang mendasar bagi bangsa
Indonesia adalah upaya menjamin persatuan dan kesatuan wilayah, bangsa, dan
segenap aspek kehidupan nasionalnya. Karena hanya dengan upaya inilah bangsa dan
Negara Indonesia dapat tetap eksis dan dapat melanjutkan perjuangan menuju
masyarakat yang dicita-citakan.
Pandangan geopolitik bangsa Indonesia yang didasarkan pada nilai-nilai
Ketuhanan dan Kemanusiaan yang luhur dengan jelas tertuang di dalam Pembukaan
UUD 1945. bangsa Indonesia adalah bangsa yang cinta damai, tetapi lebih cinta
kemerdeklaan. Bangsa Indonesia menolak segala bentuk penjajahan, karena tidak
sesuai dengan peri kemanusiaan dan peri keadilan.
Berdasarkan uraian di atas, konsepsi Wawasan Nusantara dibangun atas
geopolitik bangsa Indonesia. Bangsa Indonesia memiliki pandangan sendiri mengenai
wilayah yang dikaitkan dengan politik/kekuasaan.
Wawasan Nusantara sebagai wawasan nasional dibentuk dan dijiwai oleh
paham kekuasaan dan geopolitik bangsa Indonesia (HAN, Sobana : 2005). Wawasan
Nusantara dapat dikatakan sebagai penerapan teori geopolitik dari bangsa Indonesia.
(Chaidir Basrie : 2002).

103
Oleh karena itu, bangsa Indonesia juga menolak paham ekspansionisme dan
adu kekuatan yang berkembang di Barat. Bangsa Indonesia juga menolak paham
rasialisme, karena semua manusia mempunyai martabat yang sama, dan semua
bangsa memiliki hak dan kewajiban yang sama berdasarkan nilai-nilai Ketuhanan dan
Kemanusiaan yang universal.
Dalam hubungan internasional, bangsa Indonesia berpijak pada paham
kebangsaaan atau nasionalisme yang membentuk suatu wawasan kebangsaan dengan
menolak pandangan Chauvisme.
Bangsa Indonesia selalu terbuka untuk menjalin kerjasama antar bangsa yang saling
menolong dan saling menguntungkan. Semua ini dalam rangka ikut mewujudkan
perdamaian dan ketertiban dunia. Oleh karena itu, wawasan nusantara adalah
geopolitik Indonesia.
Hal ini dipahami berdasarkan pengertian bahwa dalam wawasan nusantara
terkandung konsepsi geopolitik Indonesia, yaitu unsur ruang, yang kini berkembang
tidak saja secara fisik geografis, melainkan dalam pengertian secara keseluruhan
(Suradinata; Sumiarno: 2005).
Salah satu kepentingan nasional Indonesia adalah bagaimana menjadikan
bangsa dan wilayah ini senantiasa satu dan utuh. Kepentingan nasional itu merupakan
turunan lanjut dari cita-cita nasional, tujuan nasional maupun visi nasional. Cita-cita
nasional bangsa Indonesia sebagaimana tertuang dalam pembukaan UUD 1945 alinea
II adalah untuk mewujudkan Negara Indonesia, yang merdeka, bersatu, berdaulat,
adil, dan makmur. Adapun tujuan nasional Indonesia sebagaimana tertuang dalam
pembukaan UUD 1945 alinea IV, salah satunya adalah melindungi segenap bangsa
Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia. Visi nasional Indonesia menurut
ketetapan MPR No. VII/MPR/2001 tentang Visi Indonesia Masa Depan adalah
adalah terwujudnya masyarakat Indonesia yang religius, manusiawi, bersatu,
demokratis, adil, sejahtera, maju, mandiri, serta baik dan bersih dalam
penyelenggaraan negara. Sejalan dengan hal tersebut, bangsa Indonesia
berkepentingan untuk mewujudkan hal-hal di atas. Upaya untuk terus membina
persatuan dan keutuhan wilayah adalah dengan mengembangkan wawasan nasional
bangsa. Wawasan nasional bangsa Indonesia itu adalah WawasanNusantara.
Prinsip geopolitik Indonesia sebagaimana tersebut di atas menandakan bahwa
dalam hal wilayah, bangsa Indonesia tidak ada semangat untuk mempeluas wilayah
sebagai ruang hidup (lebensraum). Secara historis, kesepakatan para pendiri negara
Republik Indonesia adalah wilayah Indonesia merdeka hanyalah wilayah bekas
jajahan Belanda atau eks Hindia Belanda. Wilayah yang bangsanya memiliki “Le
desir d’etre ensemble dan Character-gemeinschaft” – menurut Soekarno – itulah
yang harus kita satukan dan pertahankan. Upaya membangun kesadaran untuk
bersatunya bangsa dalam satu wilayah adalah dengan konsepsi Wawasan Nusantara.
Ciri nasionalisme Indonesia adalah nasionalisme yang tidak chauvisnisme dan juga
bukan kosmopolitanisme.
Nasionalisme Indonesia tumbuh dalam internasionalisme, mengembangkan
hubungan baik dengan bangsa lain secara sederajat. Sejalan dengan hal tersebut,

104
bangsa Indonesia berkepentingan untuk mewujudkan hal-hal di atas. Upaya untuk
terus membina persatuan dan keutuhan wilayah adalah dengan mengembangkan
wawasan nasional bangsa. Wawasan nasional bangsa Indonesia itu adalah Wawasan
Nusantara.

8.1.6. WAWASAN NUSANTARA (PENERAPAN GEOPOLITIK INDONESIA

Latar belakang muculnya konsep Wawasan Nusantara adalah Karakteristik


wilayah Nusantara sebagai suatu wilayah Negara yang berasaskan Negara Kepualauan.
Konsep Negara Kepulauan pada awalnya dianggap asing oleh kebanyakan Negara di
dunia ini, namun melalui usaha yang gigih dan konsisten, pada akhirnya Konsepsi
Negara Kepulauan diakui oleh Banyak Negara dalam Konvensi Hukum Laut
Internasional di akui sebagai bagian ciri khas tersendiri dari Yurisdiksi Suatu Negara,
meliputi laut Terotorial, Perairan Pedalaman, ZEE dan Landas Kontinen.
Selain itu pemikiran Wawasan Nusantara juga diilhami oleh aspek sejarah
perjuangan Bangsa, aspek filosophis dari Pancasila sebagai Ideologi Negara serta Jati diri
bangsa Indonesia.
Dengan keberhasilan diplomasi luar Negeri Indonesia di dukung oleh Negara
Lain terhadap konsepsi ini, maka potensi Kekayaan Alam Indonesia menjadi semakin
berlimpah. Dalam kondisi demikian maka Tantangan pemberdayaan Kelautan di
Indonesia harus lebih dioptimalisasikan guna memenuhi kesejahteraan dan kemakmuran
bagi Masyarakat Indonesia. Wawasan Nusantara sebagai Pancaran Falsafah Pancasila
dan UUD 1945 yang merupakan pondasi kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan
bernegara kesatuan RI memberikan kaedah nilai, moral dan etika serta tuntunan sikap
Bangsa Indonesia yang harus mengedepankan Persatuan dan Kesatuan Bangsa di segala
aspek kehidupan nasional sebagai Visi Bangsa yang harus dijunjung Tinggi dan ditaati
bersama. Kesadaran Ruang Negara , bahwa matra kehidupan darat, la.ut dan Udara
adalah merupakan Wadah Bangsa yang harus dijaga kelestariannya, dijaga ekssitensinya
dan didayagunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran Rakyat , dijaga dari berbagai
potensi kemungkinan ancaman yang dapat menjurus pada terkikisnya nilai-nilai
kebangsaan, Jati diri atau kepribadian Bangsa. Terlebih dalam era globalisasi dan
otonomi daerah pada saat ini.

8.1.7. Pengertian Wawasan Nusantara

Istilah wawasan berasal dari kata ‘wawas’ yang berarti pandangan, tinjauan, atau
penglihatan indrawi. Akar kata ini membentuk kata ‘mawas’ yang berarti memandang,
meninjau, atau melihat, atau cara melihat.sedangkan istilah nusantara berasal dari kata
‘nusa’ yang berarti diapit diantara dua hal. Istilah nusantara dipakai untuk
menggambarkan kesatuan wilayah perairan dan gugusan pulau-pulau Indonesia yang
terletak diantara samudra Pasifik dan samudra Indonesia, serta diantara benua Asia dan
benua Australia.
Secara umum wawasan nasional berarti cara pandang suatu bangsa tentang diri
dan lingkungannya yang dijabarkan dari dasar falsafah dan sejarah bangsa itu sesuai

105
dengan posisi dan kondisi geografi negaranya untuk mencapai tujuan atau cita-cita
nasionalnya. Sedangkan wawasan nusantara memiliki arti cara pandang bangsa Indonesia
tentang diri dan lingkungannya berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945
serta sesuai dengan geografi wilayah nusantara yang menjiwai kehidupan bangsa dalam
mencapai tujuan dan cita-cita nasionalnya.

8.1.8. Faktor Kewilayahan yang Mempengaruhi Wawasan Nusantara


a). Asas Kepulauan (Archipelagic Principle)
Kata ‘Archipelago’ dan ‘Archipelagic’ berasal dari kata Italia ‘Archipelagos’.
Akar katanya adalah ‘archi’ yang berarti terpenting, terutama, dan ‘pelagos’ berarti laut
atau wilayah lautan. Jadi, ‘Archipelago’ berarti lautan terpenting.
Istilah ‘Archipelago’ adalah wilayah lautan dengan pulau-pulau di dalamnya. Arti
ini kemudian menjadi pulau-pulau saja tanpa menyebut unsur lautnya sebagai akibat
penyerapan bahasa barat, sehingga Archipelago selalu diartikan kepulauan atau
kumpulan pulau.
Lahirnya asas Archipelago mengandung pengertian bahwa pulau-pulau tersebut
selalu dalam kesatuan utuh, sementara tempat unsur perairan atau lautan antara pulau-
pulau berfungsi sebagai unsur penghubung dan bukan unsur pemisah. Asas dan wawasan
kepulauan ini dijumpai dalam pengertian the Indian Archipelago. Kata Archipelago
pertama kali dipakai oleh Johan Crawford dalam bukunya the history of Indian
Archipelago (1820). Kata Indian Archipelago diterjemahkan kedalam bahasa Belanda
Indische Archipel yang semula ditafsirkan sebagai wilayah Kepulauan Andaman sampai
Marshanai.
b). Kepulauan Indonesia
Bagian wilayah Indische Archipel yang dikuasai Belanda dinamakan
Nederlandsch oostindishe Archipelago. Itulah wilayah jajahan Belanda yang kemudian
menjadi wilayah Negara Republik Indonesia. Sebagai sebutan untuk kepulauan ini sudah
banyak nama yang dipakai, yaitu ‘Hindia Timur’, ‘Insulinde’ oleh Multatuli, ‘nusantara’.
‘indonesia’ dan ‘Hindia Belanda’ (Nederlandsch-Indie) pada masa penjajahan Belanda.
Bangsa Indonesia sangat mencintai nama ‘Indonesia’ meskipun bukan dari bahasanya
sendiri, tetapi ciptaan orang barat. Nama Indonesia mengandung arti yang tepat, yaitu
kepulauan Indonesia. Dalam bahasa Yunani, ‘Indo’ berarti India dan ‘nesos’ berarti
pulau. Indonesia mengandung makna spiritual yang didalamnya terasa ada jiwa
perjuangan menuju cita-cita luhur, Negara kesatuan, kemerdekaan dan kebebasan.

8.2. Otonomi daerah


Kata otonomi daerah berasal dari otonomi dan daerah. Dalam bahasa Yunani,
kata otonomi berasal dari autos dan nomos. Autos yang memiliki arti “sendiri” serta
nomos yang berarti “aturan” atau undang-undang”. Sehingga otonomi daerah dapat
diartikan sebagai kewenangan untuk mengatur diri sendiri atau kewenangan guna
membuat aturan untuk mengurus rumah tangga sendiri.

106
Indonesia adalah negara kesatuan yang berbentuk Republik. 43 Konsekuensi
logis dari didirikannya suatu negara adalah terbentuknya pemerintah negara yang
berlaku sebagai pemerintah pusat. Kemudian, pemerintah pusat membentuk daerah-
daerah sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan. Kedaulatan hanya berada di
pemerintah pusat (absolutisme). Keseluruhan kebijakan yang dibuat dan dilaksanakan
oleh daerah merupakan bagian integral dari kebijakan nasional. Perbedaannya,
terletak pada pemanfaatan kearifan, potensi, inovasi, daya saing, dan kreativitas
daerah yang diharapkan mampu mendukung pencapaian tujuan pembangunan
nasional secara keseluruhan.
Indonesia adalah negara kesatuan 44 dan negara hukum. 45 Ketentuan
konstitusional ini memberikan pesan bahwa negara ini dibangun dalam bentuk
kesatuan, bukan negara federasi. Oleh karena itu, pemerintahan di Indonesia
menganut sistem desentralisasi yang dijalankan atas dasar otonomi yang seluas-
luasnya. 46 . Daerah mempunyai kewenangan mengatur dan mengurus rumah
tangganya sendiri tanpa lepas dari bingkai negara kesatuan. Tujuan negara adalah
untuk menyelenggarakan kesejahteraan dan kebahagiaan rakyatnya, atau
menyelenggarakan masyarakat adil dan makmur. 47 Kedaulatan berada di tangan
rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar 1945 (UUD 1945). 48
Presiden memegang kekuasaan pemerintahan menurut UUD 1945.49
Wilayah Indonesia terbagi atas daerah-daerah provinsi yang dibagi atas kota
atau kabupaten. Tiap-tiap provinsi, kabupaten, dan kota mempunyai pemerintahan
daerah yang diatur dengan undang-undang. 50 Pemerintahan daerah tidak memiliki
kedaulatan secara sendiri-sendiri dan terlepas dari kedaulatan negara kesatuan,
kedudukan pemerintahan daerah merupakan bagian dari sistem hierarki pemerintah
negara kesatuan yang51 berarti segala organ pemerintahan mulai dari pusat sampai

43
Pasal 1 Undang-Undang Dasar 1945.
44
Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945
45
Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Dasar 1945.
46
M. Laica Marzuki, “Hakekat Desentralisasi dalam system Ketatanegaraan Republik
Indonesia”, Jurnal Konstitusi Majalah Konstitusi RI, Vol. 4, No. 1, Maret 2007, hlm. 3.
47
Soehino, Ilmu Negara, Yogyakarta: Liberty, 2005, hlm. 148.
48
Pasal 1 ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945.
49
Pasal 4 ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945.
50
Pasal 18 ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945.
51
Mohammad Hatta, Uraian Pancasila, Jakarta: Mutiara, 1977, hlm 7. UUD 1945 ditetapkan
oleh PPKI tanggal 18 Agustus 1945 merupakann hasil rancangan BPUPKI tanggal 28 Mei 1945
sampai dengan tanggal 16 Juni 1945. Diundangkan dalam berita Republik Tahun II No. 7,
Percetakan Republik Indonesia, tanggal 15 Februari 1946. Pasal 1 ayat (1) UUD 1945
menegaskan bahwa Republik Indonesia yang Merdeka dan Berdaulat ialah suatu Negara Hukum
yang Demokratis dan Berbentuk Federasi. Pasal 1 ayat (1) UUD Sementara 1950 menegaskan,
“Republik Indonesia yang merdeka dan berdaulat adalah suatu negara hukum yang demokratis
dan berbentuk kesatuan”. Sebagaimana dikutip oleh Agussalim Andi Gadjong, Pemerintahan
Daerah, Kajian Politik dan Hukum, Bogor: Ghalia Indonesia, 2007, hlm. 5.

107
daerah berada di bawah kendali pemerintah pusat. Keberadaan pemerintah daerah
hanya sebagai sub-divisi pemerintahan nasional.52
Secara teoretis, negara kesatuan menempatkan rakyat sebagai sumber
kekuasaan dan kedaulatan negara. Oleh sebab itu, rakyat senantiasa konsisten sebagai
pihak yang mempercayakan kepentingannya kepada penguasa sebagai penyelenggara
negara yang menempatkan persepsi pada diktum kedaulatan di tangan rakyat. 53
Kekuasaan yang berada pada satu tangan akan bertentangan dengan prinsip
demokrasi, hal ini membuka peluang terjadinya kesewenang-wenangan dan
memperbesar kemungkinan tindakan korupsi. Lord Acton mengatakan “power tends
to corrupt, absolute power corrupts absolutely” yang bermakna kekuasaan cenderung
buruk dan pemegang kekuasaan absolute cenderung mudah menyelewengkan
kekuasan secara absolut.54
Otonomi daerah lebih menitikberatkan aspirasi dan kondisi daerah, oleh sebab
itu otonomi mencakup empat aktivitas. Pertama, membentuk perundangan sendiri
(zelf wet'geving). Kedua, melaksanakan sediri (zelf uit'voering). Ketiga, melakukan
peradilan sendiri (zelf recht'spraak). Keempat, melakukan tugas kepolisian sendiri
(zelf poli'tie).
Pada Pasal 1 angka 6 UU Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah,
definisi “Otonomi Daerah adalah hak, wewenang, dan kewajiban daerah otonom
untuk mengatur dan mengurus sendiri Urusan Pemerintahan dan kepentingan
masyarakat setempat dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia.”
Penyelenggaraan pemerintahan daerah selalu mengalami pasang surut,
ditandai dengan berbagai problematika otonomi dan hubungan kerja kelembagaan
antara pusat dengan daerah yang kurang harmonis. Kehadiran Undang-Undang
Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah (UU Pemda 2014) ternyata
belum mampu menyelesaikan problematika tersebut, namun justru menambah rumit
hubungan kewenangan pusat dengan daerah. Hal ini tidak sesuai dengan harapan dari
tujuan pembuatan peraturan perundang-undangan yaitu untuk menciptakan ketertiban
dan legitimasi yang mempertimbangkan kompetensi. 55
Apabila mencermati substansi UU Pemda 2014, hal yang paling mendasar
adalah hilangnya prinsip otonomi yang menyebabkan daerah otonom kehilangan
dasar pandangan hukum. Namun demikian, dari UU Pemda 2014 terdapat hal yang
sangat kontras dengan adanya pengaturan mengenai urusan konkuren sebagai dasar
pelaksanaan otonomi daerah melalui penentuan secara rinci atau rigid.

52
Hanif Nurcholis, Teori dan praktik Pemerintahan dan Otonomi Daerah, Jakarta: PT.
Gramedia Widiasarana Indonesia, 2005, hlm. 60.
53
Eddy Purnama, Negara Kedaulatan Rakyat Analisis terhadap Sistem Pemerintahan Daerah
di Indonesia dan Perbandingannya dengan Negara-negara Lain. Bandung: Nusamedia, 2007,
hlm. 41.
54
Mahfud M.D., Membangun Politik Hukum Menegakkan Konstitusi, Jakarta: PT. Raja
Grafindo Persada Pers, 2010, hlm. 215.
55
Sabian Utsman, Menuju Penegakan Hukum Responsif, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2008,
hlm. 37.

108
Sebagaimana dirumuskan dalam Pasal 9 ayat (1) yang menyatakan bahwa
urusan pemerintahan terdiri atas urusan pemerintahan absolut, urusan pemerintahan
konkuren, dan urusan pemerintahan umum.
Dasar dari lahirnya UU Pemda 2014 adalah mengoreksi permasalahan yang
terjadi dalam penyelengaraan pemerintahan daerah (pemda) selama sepuluh tahun
terakhir sebagaimana diatur dalam undang-undang sebelumya, yaitu Undang-Undang
Nomor 32 Tahun 2004 (UU Pemda 2004). Adapun materi muatan revisi mencakup
22 isu strategis,56 sebagai berikut:
1. Masalah pembentukan dan penataan daerah otonom;
2. Masalah pembagian urusan pemerintahan;
3. Masalah daerah berciri kepulauan;
4. Masalah pemilihan kepala daerah;
5. Masalah peran gubernur sebagai wakil pemerintah pusat;
6. Masalah musyawarah pimpinan daerah;
7. Masalah perangkat daerah;
8. Masalah kecamatan;
9. Masalah aparatur daerah;
10. Masalah peraturan daerah (perda);
11. Masalah pembangunan daerah;
12. Masalah keuangan daerah;
13. Masalah pelayanan publik;
14. Masalah partisipasi masyarakat;
15. Masalah kawasan perkotaan;
16. Masalah kawasan khusus;
17. Masalah kerjasama antar daerah;
18. Masalah desa;
19. Masalah pembinaan dan pengawasan;
20. Masalah tindakan hukum terhadap aparatur pemerintah daerah;
21. Masalah inovasi daerah; dan
22. Masalah dewan pertimbangan otonomi daerah.

Berbagai permasalahan tersebut menandakan bahwa pemerintah menyadari


terdapat banyak kekurangan dalam UU Pemda 2004 yang sering kali multi tafsir antar
pemangku kepentingan, yang pada akhirnya menjadi salah satu sumber konflik dalam
struktural pemerintahan. Misalnya terkait dengan pembagian urusan, ketidakjelasan
antara susunan pemerintahan yang masih merupakan masalah yang secara serius
dihadapi dalam pelaksanaan desentralisasi, terutama urusan pemerintahan yang
berbasis ekologis.
Pada akhir tahun 2014, pemerintah mengeluarkan UU Pemda 2014.
Kehadiran undang-undang ini justru mengabaikan kehendak otonomi daerah dan
lebih mengedepankan semangat efisiensi dan efektivitas penyelenggaraan

56
UU Nomor 23 Tahun 2014.

109
pemerintahan daerah, dengan lebih memperhatikan aspek-aspek hubungan antara
pusat-daerah dan antar daerah, potensi dan keanekaragaman daerah, serta peluang dan
tantangan persaingan global dalam sistem penyelenggaraan pemerintahan negara. Di
sini terlihat karakter desentralisasi dengan balutan otonomi daerah telah tergantikan
dengan sentralisasi dengan balutan dekonsentrasi. Pembuat undang-undang (Dewan
Perwakilan Rakyat) dan pelaksana undang-undang (pemerintah pusat) berusaha
dengan sengaja menstabilkankan kontekstualitas dan eksistensi pemerintah daerah
yang lebih prudent antara pusat, provinsi, dan kota atau kabupaten, atau sebaliknya
kembali dalam skema shadow sentralisasi.
Pengaturan hubungan pusat dengan daerah sebagian besar mereduksi
kewenangan bupati atau walikota untuk membangun daerah dan melayani rakyatnya.
Kewenangan tersebut ditarik dan diberikan kepada gubernur, bahkan umtuk beberapa
kewenangan dikembalikan kepada pemerintah pusat. Hal ini memiliki tendensi upaya
resentralisasi kewenangan penyelenggaraan pemerintahan daerah yang sangat
berlawanan dengan semangat amendemen Pasal 18 UUD 1945. Akhirnya, perubahan
Undang-Undang Pemerintahan Daerah tergantung pada arah politik hukum
pemerintahan yaitu arah yang hendak membatasi kebebasan gerak unit pemerintahan
di tingkat bawah dan memberikan kebebasan gerak pada unit pemerintahan diatasnya.
Pola penyeragaman kewenangan antar _ngkatan pemerintahan negara antara (pusat-
provinsi-kota atau kabupaten) mengindikasikan pandangan filosofis otonomi daerah
yang dilaksanakan secara nyata, luas dan bertanggungjawab di daerah otonom
menjadi kabur.
Menurut UU Pemda 2014, kewenangan absolute pemerintah pusat meliputi
lima bidang, yaitu: 1) politik luar negeri; 2) pertahanan; 3) keamanan; 4) justisi; 5)
moneter dan fiskal nasional; dan 6) agama.³¹ Kewenangan tercantum lainnya
menyangkut pemberdayaan masyarakat, menumbuhkan prakarsa dan kreativitas,
meningkatkan peran dan fungsi DPRD dan lain-lain. Daerah otonom adalah kesatuan
masyarakat hukum yang mempunyai batas-batas wilayah yang berwenang mengatur
dan mengurus urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat menurut
prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat dalam sistem Negara Kesatuan
Republik Indonesia.

110
BAB IX
GEOSTRATEGI INDONESIA

9.1. Konsep Asta Gatra


9.1.1. Landasan Pemikiran Ketahanan Nasional
Dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara khususnya dalam
upaya mencapai tujuan nasional, setiap bangsa secara terus menerus berinteraksi
dengan lingkungannya. Lingkungan tersebut meliputi lingkungan alamiah maupun
lingkungan social dan lingkungan dalam negeri maupun lingkungan luar negeri atau
sering dinamakan lingkungan regional , nasional maupun internasional.
Proses interaksi dengan lingkungan dapat menimbulkan dampak yang
menguntungkan dan merugikan. Dampak yang menguntungkan akan dapat
mendorong dan memperkuat laju pencapaian tujuan nasional. Sebaliknya, dampak
yang merugikan berupa ancaman-ancaman akan menghambat pencapaian tujuan
nasional. Maka untuk mencapai tujuan yang telah disepakati bersama, suatu bangsa
senantiasa akan menghadapi berbagai tantangan dengan ketahanan nasional yang
memiliki landasan pemikiran sebagai berikut :
a. Manusia berbudaya
Manusia berbudaya akan selalu melakukan hubungan-hubungan :
1) Dengan Tuhan melahirkan agama
2) Dengan cita-cita melahirkan ideology
3) Dengan kekuatan/kekuasaan melahirkan politik
4) Dengan pemenuhan kebutuhan melahirkan ekonomi
5) Dengan manusia melahirkan social
6) Dengan rasa keindahan melahirkan kesenian
7) Dengan penguasaan/pemanfaatan fenomena alam melahirkan IPTEK
8) Dengan rasa aman melahirkan pertahanan keamanan

b. Tujuan nasional, falsafah bangsa dan ideology negara

Tujuan nasional menjadi pokok pemikiran dalam ketahanan nasional karena


suatu organisasi apapun bentuknya, dalam proses kegiatan untuk mencapai tujuan
yang telah ditetapkan akan selalu berhadapan dengan masalah-masalah internal dan
eksternal. Oleh karena itu, diperlukan kondisi yang siap untuk menghadapinya.
Selanjutnya falsafah dan ideology menjadi pokok pemikiran karena dalam pencapaian
tujuan nasional pasti aka nada masalah yang dihadapi, hal ini dapat dipahami dari
makna falsafah dan ideology dalam Pembukaan UUD 1945

9.1.2. Ciri-ciri, Asas-asas dan Sifat-sifat Ketahanan Nasional

9.1.2.1. Ciri-ciri ketahanan nasional

1) Merupakan kondisi sebagai persyaratan utama bagi negara berkembang

111
2) Difokuskan untuk mempertahankan kelangsungan hidup dan mengembangkan
kehidupan
3) Diwujudkan sebagai kondisi dinamis bangsa yang berisi keuletan dan ketangguhan
bangsa untuk mengembangkan kekuatan nasional
4) Tidak hanya pertahanan, tapi juga menghadapi dan mengatasi tantangan, ancaman
dan hambatan serta gangguan
5) Didasarkan pada metode astagatra
6) Berpedoman kepada wawasan nasional
7) Pola umum operatifnya harus didasari flsafah negara dan wawasan nasional,
dilaksanakan secara realistis dengan sikap percaya pada diri sendiri

9.1.2.2. Asas-asas ketahanan nasional

Asas ketahanan nasional Indonesia adalah tata laku yang didasari oleh nilai-
nilai yang tersusun berlandaskan Pancasila, UUD 1945, dan Wawasan Nusantara.
Asas-asas tersebut adalah:
1) Asas kesejahteraan dan keamanan
2) Asas menyeluruh terpadu (komprehensif integral)
3) Asas mawas ke dalam dan mawas ke luar
4) Asas kekeluargaan

9.1.2.3.. Sifat-sifat ketahanan nasional

Ketahanan Nasional memiliki sifat-sifat yang terbentuk dari nilai-nilai yang


terkandung dalam landasan asas-asasnya. Sifat-sifat ketahanan nasional adalah
sebagai berikut :

1) Mandiri, artinya ketahanan nasional bersifat percaya pada kemampuan dan


kekuatan sendiri dengan keuletan dan ketangguhan yang mengandung prinsip
tidak mudah menyerah serta bertumpu pada identitas, integritas dan kepribadian
bangsa.
2) Dinamis, artinya ketahanan nasional tidaklah tetap, melaikan dapat meningkat atau
menurun bergantung pada situasi dan kondisi bangsa dan negara, serta kondisi
lingkungan strategisnya
3) Manunggal, artinya ketahanan nasional memiliki sifat integrative yang diartinkan
terwujudnya kesatuan dan perpaduan yang seimbang, serasi, dan selaras di antara
seluruh aspek kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara
4) Wibawa, artinya ketahanan nasional sebagai hasil pandangan yang bersifat
manunggal dapat mewujudkan kewibawaan nasional yang akan diperhitungkan
oleh pihak lain sehingga dapat menjadi daya tangkal suatu negara
5) Konsultasi dan kerja sama, artinya ketahanan nasional Indonesia tidak
mengutamakan sikap konfrontatif dan antagonis, tidak mengadakan kekuasaan dan
kekuatan fisik semata, tetapi lebih pada sikap konsultatif dan kerjasama serta

112
saling menghargai dengan mengandalkan pada kekuatan moral dan kepribadian
bangsa.

9.3. Ketahanan Nasional dalam Kehidupan Berbangsa dan Bernegara

Berdasarkan konsepsi ketahanan nasional, seluruh aspek kehidupan nasional


tercermin dalam sistematika astagatra (delapan aspek) yang terdiri dari tiga aspek
alamiah (trigatra) dan lima aspek social (pancagatra). Aspek alamiah meliputi
geografi, kekayaan alam, dan kependudukan, sedangkan aspek social meliputi
ideology, politik, ekonomi, social budaya, dan pertahanan keamanan.
Negara Indonesia terdiri dari suku-suku bangsa yang masing-masing memiliki
kebudayaannya. Hal ini terjadi karena suku bangsa di Indonesia mendiami daerah-
daerah tertentu sehingga kebudayaannya sering disebut kebudayaan daerah sebagai
system nilai yang menuntun sikap, perilaku, dan gaya hidup merupakan identitas dan
menjadi kebanggaan suku bangsa yang bersangkutan. Dalam setiap kebudayaan
daerah terdapat nilai-nilai budaya yang tidak dapat dipengaruhi oleh budaya asing,
atau sering disebut sebagai local genius.Local genius ini merupakan pangkal segala
kemampuan budaya daerah untuk menetralisasi pengaruh budaya asing.
Ketahanan nasional Indonesia pada aspek pertahanan dan keamanan menurut
Lemhannas (2001) menganut prinsip-prinsip sebagai berikut:
a. Pertahanan dan keamanan harus dapat mewujudkan kesiapan serta upaya bela
negara yang berisi keuletan dan ketangguhan serta kemampuan melalui
penyelenggaraan system pertahanan keamanan rakyat semesta guna menjamin
kesinambungan pembangunan nasional dan kelangsungan hidup bangsa
berdasarkan Pancasila dan UUD 1945.
b. Bangsa Indonesia cinta damai, akan tetapi lebih cinta kemerdekaan dan
kedaulantannya. Mempertahankan kemerdekaan bangsa dan mengamankan
kedaulatan negara yang mencakup wilayah tanah air beserta segenap isinya
merupakan salah satu kehormatan demi martabat bangsa dan negara

9.1.3. Pemahaman Ketahanan Nasional.

9.1.3.1. Ketahanan Nasional di Laut.


Ketahanan Nasional dapat diatasi dengan baik oleh bangsa Indonesia, maka
tercapailah suatu keadaan yang dinamakan ketahanan nasional untuk mencapai
keadaan tersebut, terdapat suatu pemahaman yang dinamakan "geostrategi" secara
umum, geostrategi merupakan upaya untuk memperkuat ketahanan diberbagai bidang
yaitu bidang ideologi, politik, ekonomi, sosial, budaya, militer, kehidupan beragama
dan pembangunan. Lingkungan laut atau maritim mempunyai lima dimensi strategi
Militer yang saling berhubungan meliputi :
a) Dimensi ekonomi. Penggunaan laut sebagai media perhubungan, transportasi dan
perdagangan telah dimanfaatkan sejak dahulu hinga sekarang, dan hampir 99,5 %
pergerakan roda perekonomian di dunia adalah melewati jalur laut, volume muatan

113
meningkat delapan kali sejak tahun 1945 dan kecenderungan semakin meningkat
sampai sekarang. Telah diyakini bahwa perdagangan lewat laut yang terpadat
adalah melalui Selat Malaka atau melalui jalur alternatif lain.
b) Dimensi Politik. Perubahan dimensi politik dari lingkungan maritim berkembang
sangat tajam semenjak tahun 1970-an. Bagi sejumlah besar Negara pantai,
khususnya bagi dunia ketiga, perairan yang berbatasan dengan pantai memberikan
prospek satu- satunya untuk perluasan. Tuntutan kedaulatan sering merupakan
tindakan politik untuk mendapatkan konsekuensi ekonomi daripada sekedar
perhitungan jangka panjang tentang untung dan ruginya. Perselisihan atas
perbatasan laut seringkali lebih dimotivasi oleh simbol politik dari perhitungan
biaya dan manfaatnya.
c) Dimensi Hukum. Basis dimensi hukum dalam lingkungan maritim adalah
Konvensi PBB tentang Hukum Laut Internasional (UNCLOS 1982).
Kecenderungan dari penekanan hukum di laut sekarang lebih banyak dipokuskan
pada masalah lingkungan hal mana dapat berakibat pembatasan gerakan kapal dan
mengurangi hak Negara bendera, disamping itu ada kebutuhan untuk penertiban
lebih efektif atas rezim yang ada khususnya yang berhubungan masalah perikanan
dan perdagangan narkoba secara illegal.
d) Dimensi Militer. Di laut dimensi militer selalu berkembang mengikuti
perkembangan teknologi, sehingga profesionalisme Angkatan Laut suatu Negara
selalu dikaitkan dengan penguasaan dan penggunaan teknologi yang mutakhir.
Filosofi Angkatan Laut adalah "senjata yang diawaki", berbeda dengan filosofi
"manusia yang dipersenjatai".
e) Dimensi Fisik. Pemahaman terhadap lingkungan fisik menyeluruh dimana
kekuatan maritim akan beroperasi sangat penting, seperti kondisi geografi, hidro
oseanografi. Daerah Operasi kekuatan maritim mulai dari perairan dalam laut
bebas (Blue Waters) ke perairan yang lebih dangkal (Green Waters) sampai ke
perairan pedalaman, muara dan sungai (Brown Waters). Corong strategis
berbatasan atau dimiliki oleh negara-negara pantai yang berdekatan. Seperti selat
Malaka, dimiliki oleh Indonesia, Malaysia dan Singapura. Oleh karena itu konsep
"Joint Security" akan mudah diterima dan diterapkan di antara negara-negara
pantai tersebut.
Dari berbagai dimensi tersebut diatas apabila disinergikan secara baik maka
akan dapat menciptakan suatu kekuatan laut yang tangguh (sea power), dimana
parameternya mengarah pada tiga elemen operasional yaitu unsur kekuatan militer
(fighting instruments), penggerak roda perekonomian di laut (merchant shipping)
dan pangkalan atau pelabuhan (bases).

9.1.4. PENGERTIAN DAN SEJARAH KETAHANAN NASIONALINDONESIA

Ketahanan nasional merupakan istilah khas Indonesia yang muncul pada


tahun 1960-an. Istilah ketahanan nasional dalam bahasa Inggris bisa disebut sebagai
national resillience. Dalam terminologi Barat, terminologi yang kurang lebih

114
semakna dengan ketahanan nasional, dikenal dengan istilah national power (kekuatan
nasional).
Teori national power telah banyak dikembangkan oleh para ilmuwan dari
berbagai negara. Hans J Morgenthau dalam bukunya Politics Among Nation ia
menjelaskan tentang apa yang disebutnya sebagai “The elements of National Powers”
yang berarti beberapa unsur yang harus dipenuhi suatu negara agar memiliki kekuatan
nasional. Secara konsepsional, penerapan teori tersebut di setiap negara berbeda,
karena terkait dengan dinamika lingkungan strategis, kondisi sosio kultural dan aspek
lainnya, sehingga pendekatan yang digunakan setiap negara juga berbeda. Demikian
pula halnya dengan konsepsi Ketahanan Nasional Indonesia, yang unsur-unsurnya
mencakup Asta Gatra dan pendekatannya menggunakan Pendekatan Asta Gatra. Dari
sini terlihat jelas bahwa konsep Ketahanan Nasional (National Resillience) dapat
dibedakan dengan konsepsi Kekuatan Nasional (National Power).
Secara etimologis, istilah ketahanan berasal dari kata dasar “tahan” yang
berarti tahan penderitaan, tabah, kuat, dapat menguasai diri, gigih, dan tidak
mengenal menyerah. Ketahanan memiliki makna mampu, tahan dan kuat menghadapi
segala bentuk tantangan dan ancaman yang ada guna menjamin kelangsungan
hidupnya.
Sebagai konsepsi yang khas Indonesia, gagasan tentang ketahanan nasional
muncul di awal tahun 1960-an sehubungan dengan adanya ancaman yang dihadapi
bangsa Indonesia, yakni meluasnya pengaruh komunisme dari Uni Sovyet dan Cina.
Pengaruh mereka terus menjalar sampai ke kawasan Indo Cina, sehingga satu persatu
Negara di kawasan Indo Cina, seperti Laos, Vietnam dan Kamboja menjadi Negara
komunis. Infiltrasi komunis tersebut bahkan mulai masuk ke Thailand, Malasyia dan
Singapura. Apakah efek domino itu akan terus ke Indonesia ?
Gejala tersebut mempengaruhi para pemikir militer di lingkungan SSKAD
(Sekolah Staf Komando Angkatan Darat) atau sekarang SESKOAD (Sunardi,
1997:12). Mereka mengadakan pengamatan dan kajian atas kejadian tersebut. Tahun
1960-an gerakan komunis semakin masuk ke wilayah Philipina, Malaysia, Singapura
dan Thailand. Di tahun 1965 komunis Indonesia bahkan berhasil mengadakan
pemberontakan (Gerakan 30 September 1965) yang akhirnya dapat diatasi.
Menyadari akan hal tersebut, maka gagasan tentang masalah kekuatan dan unsur-
unsur apa saja yang ada dalam diri bangsa Indonesia serta apa yang seharusnya
dimiliki agar kelangsungan hidup bangsa Indonesia terjamin di masa-masa
mendatang terus menguat.
Pada tahun 1968 pemikiran tersebut dilanjutkan oleh Lemhanas (Lembaga
Pertahanan Nasional). Kesiapan menghadapi tantangan dan ancaman itu harus
diwujudkan dalam bentuk ketahanan bangsa yang dimanifestasikan dalam bentuk
perisai (tameng) yang terdiri dari unsur-unsur ideologi, ekonomi, sosial budaya dan
militer. Tameng yang dimaksud adalah sublimasi dari konsep kekuatan dari SSKAD.
Secara konseptual pemikiran Lemhanas merupakan langkah maju disbanding
sebelumnya, yaitu ditemukannya unsur-unsur dari tata kehidupan nasional yang
berupa ideologi, politik, ekonomi, sosial dan militer.

115
Pada tahun 1969 lahir istilah Ketahanan Nasional, yang dirumuskan sebagai :
“Keuletan dan daya tahan suatu bangsa yang mengandung kemampuan
mengembangkan kekuatan nasional yang ditujukan untuk menghadapi segala
ancaman yang membahayakan kelangsungan hidupnegara dan bangsa Indonesia”.
Kesadaran akan spektrum ini pada tahun 1972 diperluas menjadi hakekat
ancaman, tantangan, hambatan dan gangguan (ATHG). Saat itu konsepsi Ketahanan
Nasional diperbaharui dan diartikan sebagai : “Kondisi dinamis suatu bangsa yang
berisi keuletan dan ketangguhan yang mengandung kemampuan untuk
mengembangkan kekuatan nasional, didalam menghadapi dan mengatasi segala
tantangan, ancaman, hambatan dan gangguan baik yang datang luar maupun dari
dalam, yang langsung maupun tidak langsung yang membahayakan identitas,
integritas, kelangsungan hidup bangsa dan negara, serta perjuangan mengejar
tujuan perjuangan nasional”.
Dari sini kita mengenal tiga konsepsi Ketahanan Nasional Indonesia. yakni
konsepsi tahun 1968, tahun 1969 dan tahun 1972. Menurut konsepsi tahun 1968 dan
1969 ketahanan nasional adalah keuletan dan daya tahan, sedang pada konsepsi 1972
ketahanan nasional merupakan suatu kondisi dinamik yang berisi keuletan dan
ketangguhan. Jika pada dua konsepsi sebelumnya dikenal istilah IPOLEKSOM
(Panca Gatra), dalam konsepsi tahun 1972 diperluas dan disempurnakan berdasar asas
Asta Gatra (Haryomataraman dalam Panitia Lemhanas, 1980: 95-96).
Pada tahun-tahun selanjutnya konsepsi ketahanan nasional dimasukkan ke
dalam Garis Besar Haluan Negara (GBHN), yakni mulai GBHN 1973 sampai dengan
GBHN 1998. Adapun rumusan konsep ketahanan nasional dalam GBHN tahun 1998
adalah sebagai berikut;
1. Untuk tetap memungkinkan berjalannya pembangunan nasional yang selalu harus
menuju ke tujuan yang ingin dicapai dan agar dapat secara efektif dielakkan dari
hambatan, tantangan, ancaman dan gangguan yang timbul baik dari luar maupun
dari dalam, maka pembangunan nasional diselenggarakan melalui pendekatan
Ketahanan Nasional yang mencerminkan keterpaduan antara segala aspek
kehidupan nasional bangsa secara utuh dan menyeluruh.
2. Ketahanan Nasional adalah kondisi dinamis yang merupakan integrasi dari kondisi
tiap aspek kehidupan bangsa dan negara. Pada hakekatnya Ketahanan Nasional
adalah kemampuan dan ketangguhan suatu bangsa untuk dapat menjamin
kelangsungan hidup menuju kejayaan bangsa dan negara. Berhasilnya
pembangunan nasional akan meningkatkan Ketahanan Nasional. Selanjutnya
Ketahanan Nasional yang tangguh akan mendorong pembangunan nasional.
3. Ketahanan Nasional meliputi ketahanan ideologi, ketahanan politik, ketahanan
ekonomi, ketahanan sosial budaya dan ketahanan pertahanan keamanan.
a. Ketahanan ideologi adalah kondisi mental bangsa Indonesia yang berlandaskan
keyakinan akan kebenaran ideologi Pancasila yang mengandung kemampuan
untuk menggalang dan memelihara persatuan dan kesatuan nasional dan
kemampuan menangkal penetrasi ideologi asing serta nilai-nilai yang tidak
sesuai dengan kepribadian bangsa

116
b. Ketahanan politik adalah kondisi kehidupan politik bangsa Indonesia yang
berlandaskan demokrasi politik berdasarkan Pancasila dan Undang Undang
Dasar 1945 yang mengandung kemampuan memelihara sistem politik yang
sehat dan dinamis serta kemampuan menerapkan politik luar negeri yang bebas
dan aktif
c. Ketahanan ekonomi adalah kondisi kehidupan perekonomian bangsa yang
berlandaskan demokrasi ekonomi yang berdasarkan Pancasila yang
mengandung kemampuan memelihara stabilitas ekonomi yang sehat dan
dinamis serta kemampuan menciptakan kemandirian ekonomi nasional dengan
daya saing yang tinggi dan mewujudkan kemakmuran rakyat yang adil dan
merata
d. Ketahanan sosial budaya adalah kondisi kehidupan sosial budaya bangsa yang
dijiwai kepribadian nasional berdasarkan Pancasila yang mengandung
kemampuan membentuk dan mengembangkan kehidupan sosial budaya
manusia dan masyarakat Indonesia yang beriman dan bertakwa terhadap Tuhan
Yang Maha Esa, rukun, bersatu, cinta tanah air, berkualitas, maju dan sejahtera
dalam kehidupan yang serba selaras, serasi seimbang serta kemampuan
menangkal penetrasi budaya asing yang tidak sesuai dengan kebudayaan
nasional.
e. Ketahanan pertahanan keamanan adalah kondisi daya tangkal bangsa yang
dilandasi kesadaran bela negara seluruh rakyat yang mengandung kemampuan
memelihara stabilitas pertahanan keamanan negara yang dinamis,
mengamankan pembangunan dan hasil-hasilnya serta kemampuan
mempertahankan kedaulatan negara dan menangkal segala bentuk ancaman
Apabila menyimak rumusan mengenai konsepsi Ketahanan Nasional dalam
GBHN tersebut, kita mengenal adanya tiga wujud atau wajah konsepsi
Ketahanan Nasional, yaitu ;
1. Ketahanan nasional sebagai metode, tercermin dari rumusan pertama
2. Ketahanan nasional sebagai kondisi, tercermin dari rumusan kedua
3. Ketahanan nasional sebagai doktrin dasar nasional, tercermin dari rumusan
ketiga
Rumusan pertama menunjuk Ketahanan Nasional sebagai suatu
metode berfikir sekaligus sebagai suatu pendekatan, yaitu suatu pendekatan
khas Ketahanan Nasional yang membedakannya dengan metoda-metoda
berfikir lainnya. Dalam dunia akademis dikenal ada dua metoda berfikir,
yakni metoda berfikir induktif dan deduktif. Metoda yang sama juga
digunakan dalam Ketahanan Nasional, tetapi dengan tambahan bahwa seluruh
bidang (gatra) dilihat dan dipertimbangkan secara utuh dan menyeluruh
(komprehensif integral). Oleh sebab itu metoda berfikir Ketahanan Nasional
disebut juga dengan metoda berfikir secara sistemik atau pemikiran
kesisteman Sebagai kondisi dinamis, Ketahanan Nasional mengacu kepada
pengalaman empirik, artinya pada keadaan nyata yang berkembang dalam
masyarakat dan dapat diamati dengan panca indera manusia. Dalam hubungan

117
ini yang menjadi fokus perhatian adalah adanya ancaman, tantangan,
hambatan dan gangguan (ATHG) di satu pihak, serta adanya keuletan dan
ketangguhan untuk mengembangkan kekuatan dan kemampuan di pihak lain.
Ketahanan Nasional sebagai kondisi amat tergantung dari unsur-unsur yang
mendukungnya. Untuk itu kita akan mempelajari lebih lanjut mengenai unsur-
unsur yang mempengaruhi Ketahanan Nasional.
Ketahanan sebagai doktrin dasar nasional, menunjuk pada konsepsi
pengaturan bernegara. Fokus perhatian diarahkan pada upaya menata
hubungan antara aspek kesejahteraan dan keamanan dalam arti luas. Artinya,
suatu bangsa dan negara akan memiliki Ketahanan Nasional yang kuat dan
kokoh jika bangsa tersebut mampu menata atau mengharmonikan
kesejahteraan dan keamanan rakyatnya secara baik.
Dengan dimasukkannya Ketahanan Nasional ke dalam GBHN (dalam
hal ini sebagai modal dasar pembangunan nasional) maka konsepsi Ketahanan
Nasional telah menjadi doktrin pelaksanaan pembangunan. Artinya, dia
memberikan tuntunan dalam penerapan program-program pembangunan serta
bagaimana memadukannya menjadi satu kesatuan yang bulat pada benang
merah yang ditunjukkan oleh konsepsi Wawasan Nusantara. Di lain pihak,
dipandang dari segi kepentingan pemeliharaan stabilitas maka Ketahanan
Nasional berfungsi sebagai kekuatan penangkalan.
Sebagai daya tangkal Ketahanan Nasional tetap relevan untuk masa
sekarang maupun nanti, karena setelah berakhirnya Perang Dingin hakekat
ancaman lebih banyak bergeser kearah non fisik, antara lain ; budaya dan
kebangsaan (Edi Sudradjat, 1996: 1-2).
Inti dari ketahanan Indonesia pada dasarnya berada pada tataran
“mentalitas” bangsa Indonesia dalam menghadapi dinamika masyarakat yang
menuntut kompetisi di segala bidang. Oleh sebab itu kita diharapkan agar
memiliki ketahanan yang benar-benar ulet dan tangguh, mengingat Ketahanan
Nasional dewasa ini sangat dipengaruhi oleh kondisi ketidakadilan sebagai
“musuh bersama”. (Armaidy Armawi dalam Kapita Selekta, 2002: 90).
Konsep ketahanan juga bukan hanya Ketahanan Nasional semata-
mata, tetapi juga merupakan suatu konsepsi yang berlapis atau Ketahanan
Berlapis. Artinya, juga sebagai ketahanan individu, ketahanan keluarga,
ketahanan daerah, ketahanan regional dan ketahanan nasional (Chaidir Basrie
dalam Kapita Selekta, 2002:59). Selain itu “ketahanan” juga mencakup
berbagai ragam aspek kehidupan atau bidang dalam pembangunan, misalnya
ketahanan pangan, ketahanan energi dan lain-lain.
Perlu diketahui bahwa saat ini Garis Besar Haluan Negara (GBHN)
sebagai dokumen perencanaan pembangunaan nasional tidak lagi digunakan.
Sebagai penggantinya adalah Rencana Pembangunan Jangka Menengah
Nasional (RPJMN), yang pada hekekatnya merupakan penjabaran dari visi,
misi dan program presiden terpilih. Misalnyam dokumen RPJMN 2010-2014
yang tertuang dalam Peraturan Presiden RI No. 5 Tahun 2010. Pada dokumen

118
tersebut tidak lagi ditemukan konsepsi Ketahanan Nasional. Kalau demikian,
apakah konsepsi Ketahanan Nasional tidak lagi relevan untuk masa sekarang?
Dengan kata lain dapat dikatakan bahwa konsepsi Ketahanan Nasional
tidak lagi dijadikan doktrin pembangunan nasional. Namun jika merujuk pada
pendapat-pendapat sebelumnya, dapat disimpulkan bahwa konsepsi
Ketahanan Nasional sebagai kondisi dinamik bangsa yang ulet dan tangguh
dalam menghadapi berbagai ancaman masih tetap relevan untuk dijadikan
kajian ilmiah. Hal ini dikarenakan bentuk ancaman di era modern semakin
luas dan kompleks. Ancaman yang sifatnya non fisik dan non militer,
cenderung meningkat dan secara masif amat mempengaruhi kondisi
Ketahanan Nasional. Contohnya : musim kemarau yang panjang di suatu
daerah akan mempengaruhi kondisi “ketahanan pangan” di daerah yang
bersangkutan.
Dengan demikian penting bagi kita untuk mengetahui : dalam kondisi
yang bagaimana suatu wilayah negara atau daerah memiliki tingkat ketahanan
tertentu. Tinggi rendahnya Ketahanan Nasional amat dipengaruhi oleh unsure-
unsur ketahanan nasional itu sendiri.

9.1.5. Metode Astagatra

Dalam usaha mencapai tujuan nasional senantiasa menghadapi ATHG


sehingga diperlukan suatu ketahanan yang mengandung kemampuan
mengembangkan kekuatan nsional yang didasarkan pokok-pokok pirkiran sebagai
berikut:
Manusia berbudaya, sebagai makhluk Tuhan pertama-tama berusaha
mempertahanakan kelangsungan hidupnya. Secara antropologis budaya manusia
merupakan makhluk Tuhan paling sempurna Mempunyai akal budi sehingga lahir
manusia berbudaya. Sebagai manusia berbudaya mengadakan hubungan dengan alam
sekitarnya dalam usaha mempertahankan eksistensinya dan kelangsungan hidupnya.
Kita mengenal hubungan-hubungan itu adalah:

- Hubungan manusia dengan Tuhannya, dinamakan “agama”


- Hubungan manusia denggan cita-citanya, dinamakan “ideologi”
- Hubungan manusia dengan kekuasaan, dinamakan “politik”
- Hubungan manusia dengan pemenuihan kebutuhan, dinamakan “ekonomi”
- Hubungan manusia dengan manusia lainnya, dinamakan “sosial”
- Hubungan manusia dengan rasa keindahan, dinamakan “seni/budaya”
- Hubunggan manusia dengan pemanfaatan alam, dinamakan “IPTEK’
- Hubungan manusia dengan rasa aman, dinamakan “Hankam”

Hubungan manusia dengan lingkungannya pada hakekatnya dimaksudkan


untuk memenuhi kebutuhan hidupnya yaitu kesejahteraan dan keamanan. Untuk
menjamin kelangsungan hidup suatu bangsa diperlukan suatu konsep pangaturan dan

119
penyelenggaraan kesejahteraan dan keamanan serasi dalam semua aspek kehidupan
nasional. Ketahanan Nasional pada hakekatnya merupakan konsepsi dalam
pengaturan dan penyelenggaraan kesejahteraan dan keamanan dalam kehidupan
nasional. Kehidupan nsional dapadt dibagi dalam berbagai aspek sebaggai berikut: l.
Aspek Nasional meliputi Sikaya Mampu:
a. Posisi lokasi geografi
b. Keadaan dan kekayaan alam
c. Kemampuan Penduduk

Aspek alamiah terdiri dari 3 aspek, maka dikenal dengan istilah “Trigatra” 2.
Aspek sosial meliputi IPOLEKSOSBUD-Hankam; yaitu a. Ideologi, b. Poliltik, c. .
Sosial, d. Budaya dan e. Hankam atau dikenal dengan istilah Pancagatra
Kehiduapan nasional merupakan gabungan antara Trigatra dan Pancagatra, maka
disebut juga dengan istilah Astagatra. Antara gatra satu dengan lainnya terdapt
hubungantimbal balik (korelasi) dan saling ketergantungan (interdependensi) antara
satu dengan lainnya. (Bandingkan dengan konsep Hans Morgenthau dalam Politik
among Nations; unsur-unsur kehidupan nasional terdiri dari; geografi, sumber alam,
kapasits industri, kesipaan militer, penduduk, karakter nasional, semangat nasional,
kualitas diplomasi, dan kualitas pemerintah).

9.1.5.1. ASPEK TRIGATRA

1. Posisi dan Lokasi Geografi Negara


Secara geografis wujud negara dapat berupa:
a. Negara dikelilingi daratan seperti Laos, Swis, Afganistan
b. Negara daratan dengan sebagaian perairan laut, seperti Irak, Brunai Darusalam.
c. Negara pulau, seperti Australia, Malagasi.
d. Negara kepulauan (Archipelagic state), misalnya Indonesia.

Bentuk, keadaan dan lokasi geografi suatu negara sangat mempengaruhi


kehidupan bangsa yang mendiaminya, dalam menyelenggarakan dan pengaturan
kesejahteraan dan keamanan. Negara kepulauan dalam membina ketahanan
nasionalnya akan lebih banyak memanfatkan potensi lautnya. Posisi letak geografis
suatu negara akan sangat menentukan peran negara tersebut dalam percaturan lalu
lintas dunia, sehingga akan menghadapi bentuk-bentuk ancaman berbeda. Dapat
ditarik kesimpulan letak geografis suatu negara akan berpengaruh terhadap ketahanan
nasional suatu bangsa. Pengaruh letak geografis terhadap politik melahirkan
geopolitik, geostrategi, sehingga dikenal dengan wawasan nasional suatu bangsa
yang tumbuh karena pengaruh tersebut. Pengaruh tersebut dikenal dengan istilah
Wawasan Benua, Samodra, atau kombinasi. Bangsa Indonesia berpendapat bahwa
wawasan-wawasan tersebut di atas bersifat rawan dan tidak kekal. Namun justru
pemanfaatan tanah, air, dan ruang yang diintegrasikan dengan unsur-unsur sosial
secara simultan didalam suasana yang serasi, seimbang dan dinamis dapat menunjang

120
penyelenggaraan dan peningkatan ketahanan nasional. Dengan demikian setiap
negara dapat mengembangkan wawasan nasionalnya sendiri-sendiri sesuai dengan
kondisi geografisnya.

2. Keadaan dan Kekayaan Alam


Kekayaan alam suatu negara adalah segala sumber dan potensi alam yang
didapatkan di bumi, di laut, di udara yang berada di wilayah suatu negara, dan dapat
dirinci sebagai berikut:
a. Kekayaan alam digolongkan dalam; flora, fauna dan tambang
b. Sifat kekayaan alam; dapat diperbaharuai dan tidak dapat diperbaharui.
c. Keberadaan kekayaan alam; di atmosfir, di permukaan bumi, di dalam bumi.

Sifat kekayaan alam di bumi didistribusikan tidak merata, tidak teratur


sehingga ada negara kaya sumber daya alam, dan miskin sumber daya alam. Hal
demikian menyebabkan ketergantungan antar negara yang dapat menimbulkan
problem hubungan internasional yang kompleks. Apabila kebutuhan suatu negara
tidak terpenuihi, maka negara tersebut dengan berbagai cara akan berusaha
memenuhinya, sehingga dapat menimbulkan masalah ekonomi, politik, sosial, budaya
dan Hankam. Oleh karena itu kekayaan alam sebagai kekuatan nasional harus dapat
dikembangkan dan dimanfaatkan untuk menunjang pembangunan nasional. Agar
dapat mengatasi kerawanan dan ancaman yang mungkin timbul, maka diperlukan
menejemen pengelolaan SDA yang berdasarkan asas maksimal, lestari dan berdaya
saing. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa faktor kekayaan alam apabila
dikelola dengan baik, dapat meningkatkan ketahanan nasional. Namun jika tidak
dapat mengelolanya akan mengganggu ketahanan nasional.

3. Keadaan dan Kemampuan Penduduk


Penduduk adalah manusia yang mendiami suatu wilayah negara. Manusia
adalah faktor penentu dalam melakukan suatu tindakan, dengan demikian manusia
menentukan apa yang harus dilakukan untuk meningkatkan ketahanan nasional.
Dalam arti bahwa pengusahaan penyelenggaraan negara untuk kesejahteraan dan
keamananan tergantung pada manusia. Masalah yang terkait denggan kemampuan
penduduk dalah:
a. Jumlah penduduk yang berubah karena fertilitas, mortalitas dan migrasi.
b. Komposisi penduduk adalah susunan penduduk menurut umur, dan jenis kelamin.
c. Persebaran penduduk yang berpengaruh terhadap penyediaan tenaga kerja untuk
mengelola kekayaan alam, dan berpengaruh terhadap personal yang mampu
mengelola Hankam. Oleh karena itu perlu penyebaran penduduk merata, agar dapat
menyelenggarakan kesejateraan dan keamanan.

Segi positif dari pertumbuhan penduduk adalah pertambahan angkatan kerja (man
power) jadi juga bertambahnya tenaga kerja (labour force) sebagai potensi
peningkatan kapasitas produksi, tetapi harus disertai dengan bertambahnya

121
kesempatan kerja. Persoalan yang dihadapi bangsa Indonesia tenaga kerja kita kurang
berkualitas, berdasarkan Human Development Index (HDI) pada tahun 2002 berada
pada rengking 110 dan pada tahun 2003 berada posisi 112 dibawah Vitnam (109),
Filipina (85), Thailand (74), Brunai Darusalem (31), Korea Selatan (30), Singapura
(28). Menurut Ibrahim berdasarkan hasil penelitian oleh International Institute for
Menegement Development (IMD), yang berkedudukan di Lausanne Swiss
menempatkan Indonesia sebagai negara berdaya saing terendah dari 49 negara yang
diteliti. Mengingat posisi Indonesia tersebut kita dituntut untuk bekerja keras dalam
pengembangan SDM agar mampu bersaing (Noor Fitrihana, 2004: 21).
Pengembangan SDM merupakan kunci dalam menghadapi globalisasi karena di satu
sisi akan memberi peluang besar jika kita mampu menyiapkan diri dengan baik,
seperti diungkapkan oleh Beny Sutrisno Direktur PT. Apac Inti Corpora “ SDM
merupakan aset penting dalam upaya meningkatkan daya saing yang semakin ketat.
Kenyataan ini menuntut program pembinaan SDM yang komperhensif dan holistik.
Oleh karena itu pengembangan SDM merupakan prioritas utama dalam menghadapi
globalisasi. Dalam era global terutama sektor ekonomi akan terjadi perang harga,
kualitas dan pelayanan tanpa batas negara, termasuk bidang tenaga kerja. Tenaga
kerja inilah yang menjadi sarana untuk menghasilkan nilai kompetitif dengan
produktifitasnya mengahasilkan barang jasa berkualitas, inovatif dengan ketrampilan
(skills), pengetauan dan memberikan pelayanan prima dengan sikapnya. Dengan
demikian SDM harus digarap secara serius agar memiliki daya saing. Pertumbuhan
penduduk yang cepat bila tidak disertai dengan pertumbuhan lapangan kerja akan
menimbulkan penggangguran. Pengangguran yang diakibatkan oleh krisis moneter
dapat menimbulkan dampak sosial ekonomi dan Hankam. Pertumbuhan penduduk
yang tidak disertai kualitas sumber daya manusia akan mengakibatkan ketimpangan
sosial ekonomi, akhirnya akan melemahkan ketahanan nasional. Oleh karena itu
diperlukan cam pur tangan pemerintah untuk meningkatkan keseimbangan
pertumbuhan, penyebaran penduduk. Pertumbuhan ekonomi yang seimbang dapat
meningkatkan ketahanan nasional. 4

122
9.1.5.2. ASPEK PANCAGATRA

1. Aspek Ideologi
Pengertian ideologi diartikan sebagai (guiding of principles) yang dijadikan
dasar atau pemberi arah dan tujuan yang hendak dicapai dalam melangsungkan dan
mengembangkan hidup dan kehidupan nsional suatu bangsa (negara). Ideologi adalah
ilmu pengetahuan tentang dasar atau dapat disamakan dengan cita-cita. Dengan lain
perkataan bahwa ideologi merupakan konsep yang mendalam mengenai kehidupan
yang dicita-citakan serta yang ingin diperjuangkan dalam kehidupan nyata (Endang
Zaelani Sukaya, 200: 105). Sesuai dengan kompleksitas kehidupan manusia maka
ideologi menjabarkan diri ke dalam sistem nilai. Sistem nilai adalah serangkaian nilai
yang tersusun secara sistematis dan merupakan kebulatan ajaran dan doktrin. Faktor
yang mempengaruhi ketahananideologi adalah nilai dan sistem nilai. Ideologi yang
baik harus mampu menampung aspirasi masyarakat baik secara individu dan makhluk
sosial. Agar dapat mencapai ketahanan nasional di bidang ideologi diperlukan
penghayatan dan pengamalan ideologi secara sungguh-sungguh. Agar Bangsa
Indonesia memiliki ketahanan di bidang ideologi maka Pancasila harus dijadikan
pandangan hidup bangsa, dan diperlukan pengamalan Pancasila secara obyektif dan
sobyektif. Semakin tinggi kesadaran suatu bangsa untuk melaksanakan ideologi,
maka akan semakin tinggi ketahanan di bidang ideologi. Dalam strategi pembinaan
ideologi ada beberapa prinsip antara lain:
a. Ideologi harus diaktualisasikan dalam bidang kenegaraan dan oleh WNI.
b. Ideologi sebagai perekat pemersatu harus ditanamkan pada seluruh WNI.
c. Ideeologi harus dijadikan panglima bukan sebaliknya (Abdulkadir Besar, l988).
d. Akatualisasi ideologi dikembangkan ke arah keterbukaan dan kedinamisan.
e. Ideologi Pancasila mengakui keanekaragaman dalam hidup berbangsa, dan
dijadikan alat menyejaterakan, mempersatukan masyarakat.
f. Kalangan elit eksekutif, legeslatif, yudikatif, harus mewujudkan cita-cita bangsa
dengan melaksanakan GBHN, mengedepankan kepentingan bangsa.
g. Mensosialisasikan idologi Pancasila sebagai ideologi humanis, religius,
demokratis, nasionalis, berkeadilan. Proses sosialisasi Pancasila secara obyektif,
ilmiah bukan doktriner, dengan metode sesuai dengan perkembangan jaman.
h. Tumbuhkan sikap positif terhadap warga negara dengan meningkatkan motivasi
untuk mewujukan cita-cita bangsa. Perlunya perbaikan ekonomi untuk mengakhiri
krisis moltidemesional (Endang Zaelani Sukaya, 2000: 109).

2. Politik
a. Pengertian
Politik dalam hal ini diartikan sebagai asas, halun, kebijaksanaan yang
digunakan untuk mencapai tujuan dan kekuasaan. Oleh karena itu masalah politik
sering dihubungkan dengan masalah kekuasaan dalam suatu negara yang berada
ditangan pemerintah. Kehidupan politik dapat dibagi ke dalam dua sektor:

123
1) Sektor masyarakat yang berfungsi memberikan masukan (input), terwujud dalam
pernyataan keinginan dan tuntutan kebutuhan masyarakat.
2) Sektor pemerintahan berfungsi sebagai keluaran (out-put) yang berupa
kebijaksanan dan melahirkan peraturan perundang-undangan, yang merupakan
keputusan politik.

Sistem politik menentukan kehidupan politik dilaksanakan sebagai pencerminan


interaksi antara masukan dan keluaran. Keseimbangan antara masukan dan keluaran
selalu berubah-ubah secara dinamis sesuai dengan tingkat stabilitas nasional. Upaya
bangsa Indonesia untuk meningkatkan ketahanan di bidang politik adalah upaya
mencari keseimbangan dan keserasian antara masukan dan keluaran berdasarkan
Pancasila yang merupakan pencerminan dari demokrasi Pancasila, dimana dalam
penyelenggaraannya diatur sebagai berikut:
1) Kebebasan individu tidak bersifat mutlak, tetapi harus dilaksanakan secara
bertanggungjawab, dan kebebasan harus melekat pada kepentingan bersama.
2) Tidak akan terjadi “dominasi mayoritas” sebab tidak selaras dengan semangat
kekeluargaan yang mengutamakan musyawarah untuk memperoleh mufakat.

b. Ketahanan Politik Dalam Negeri


Dalam rangka mewujudkan ketahanan politik, diperlukan kehidupan politik
bangsa yang sehat, dinamis, mempu memelihara stabilitas politik berdasakan
ideologi Pancasila, UUD l945 yang menyangkut:
1) Sistem pemerintahan berdasarkan hukum tidak berdasarkan kekuasaan bersifat
absolut, dan kedaulatan ditanggan rakyat.
2) Dalam kehidupan politik dimungkinkan terjadinya perbedaan pendapat, namun
perbedaan tersebut bukan menyangkut nilai dasar, sehingga tidak antagonis yang
menjurus ke arah konflik.
3) Kepemimpinan nasional diharapkan mampu mengakomodasikan aspirasi yang
hidup dalam masyrakat, dengan tetap memegang teguh nilai-nilai Pancasila.
4) Terjalin komunikasi timbal balik antara pemerintah dan masyarakat, antara
kelompok kepentingan dan golongan-golongan untuk mewujudkan tujuan nasional.

c. Ketahanan Aspek Politik Luar Negeri


1) Hubungan politik luar negeri ditujukan untuk meningkatkan kerjasama
internasional di berbagai bidang atas dasar saling menguntungkan, dan meningkatkan
citra politik Indonesia dan memantabkan persatuan dan kesatuan.
2) Politik luar negeri dikembambangkan berdasarkan skala prioritas dalam rangka
meningkatkan persahabatan dan kerjasama antar negara berkembang dan negara
maju, sesuai dengan kepentingan nasional. Kerja sama antara negara ASEAN dalam
bidang sosial, ekonomi dan budaya, Iptek dan kerjasama dengan negara Non Blok.
3) Citra positif bangsa Indonesia perlu ditingkatkan melalui promosi, diplomasi, dan
lobi internasional, pertukaran pemuda dan kegiatan olah raga.

124
4) Perjuangagn Bangsa Indonesia untuk meningkatkan keentingan nasional seperti
melindungi kepentingan Indonesia dari kegiatan diplomasi negatif negara lain, dan
hak WNI di luar negeri perlu ditingkatkan (Sumarsono, 2000: 116).

3. Aspek Ekonomi Kegiatan ekonomi adalah seluruh kegiatan pemerintah dan


masyarakat dalam mengelola faktor produksi (SDA, tenaga kerja, modal, teknologi,
dan menejemen) dan distribusi barang serta jasa untuk kesejahteraan rakyat. Upaya
meningkatkan ketahanan ekonomi adalah upaya meningkatkan kapasitas produksi
dan kelancaran barang serta jasa secara merata ke seluruh wilayah negara, Ketahan di
bidang ekonomi sangat erat sekali dengan ketahanan nasional. Tekat bangsa
Indonesia untuk mewujudkan tujuan nasional yang termuat dalam Pembukaan UUD
l945, dituangkan dalam pembangunan nasional. Oleh karena pembangunan tidak
dapat dilakukan menyeluruh dalam waktu bersamaan, maka diperlukan pembangunan
yang menitik beratkan di bidang ekonomi dengan tidak mengabaikan bidang-bidang
lainnya. Dalam pembangunan ekonomi meningkatkan pendapatan nasional, namun
harus menjamin pemerataan dan keadilan. Hal ini berarti harus mencegah semakin
lebarnya jurang pemisah antara sikaya dan simiskin. Dampak pelaksanaan
pembangunan ekonomi diharapkan dapat mempercepat pertumbuhan perluasan
lapangan kerja. Dalam usaha mewujudkan ketahan ekonomi bangsa diperlukan
stabilitas ekonomi yang sehat dan dinamis, dan mampu meciptakan kemandirian
dengan daya saing tinggi serta muaranya untuk kemakmuran rakyat yang adil dan
merata. Pembangunan diharapkan memantabkan ketahanan ekonomi, melalui iklim
usaha yang sehat serta pemanfaatan Iptek, tersedianya barang dan jasa dan
meningkatkan daya saing dalam lingkup perekonomian global. Agar dapat
terciptanya ketahanan ekonomi yang diinginkan perlu upaya pembinaan terhadap
berbagai hal yang menunjang antara lain:
1) Sistem ekonomi diarahkan untuk kemakmuran rakya melalui ekonomi kerakyatan
untuk menjamin kelangsungan hidup bangsa.
2) Ekonomi kerakyatan harus menghindari: a) free fight lieberalism yang
menguntungkan pelaku ekonomi kuat, b) sistem etatisme dimana negara berserta
aparatur ekonomi negara bersifat dominan serta mematikan potensi daya kreasi unit-
unit ekonomi di luar sektor negara. c) tidak dibenarkan adanya pemusatan kekuatan
ekonomi pada suatu kelompok dalam bentuk monopoli yang bertentangan cita-cita
keadilan.
3) Struktur ekonomi dimantapkan secara seimbang dan saling menguntungkan dalam
keselarasan, keterpaduan antar sektor pertanian, industri dan jasa.
6

125
4) Pembangunan ekonomi dilaksanakan sebagai usaha bersama atas dasar asas
kekluargaan, serta mendorong peran masyarakat secara aktif. Perlu diusahakan
kemitraan antara pelaku ekonomi dalam wadah kegiatan antara Pemerintah, BUMN,
Koperasi, Badan Usaha Swasta, Sektor Informal untuk mewujudkan pertumbuhan,
pemerataan dan stabilitas ekonomi.
5) Pemerataan pembangunan dan hasil-hasilnya harus senantiasa dilaksanakan
melalui keseimbangan dan keselarasan pembangunan antar wilayah dan sektor.
6) Kemampuan bersaing harus ditumbuhkan dalam meningkatkan kemandirian
ekonomi dengan memanfaatkan sumber daya nasional memakai sarana Ipteks dalam
menghadapi setiap permasalahan serta tetap memperhatikan kesempatan kerja
(Sumarsono, 2000: 120).

Perlu disadari hubungan antara Utara dan Selatan; Utara diwakili negara-negara maju
sedang Selatan diwakili negara-negara berkembang cenderung terjadi hubungan yang
timpang. Bahan-bahan baku milik negara Selatan atau negara barkembang cenderung
dibeli dengan harga murah, namun sesudah diolah menjadi barang jadi dijual ke
selatan dengan harga yang mahal. Jadi negara-negara Selatan cenderung dieksploitasi
oleh negara maju dan selalu dipihak yang kalah dalam posisi tawar. Perlu diwaspadai
New Neokolonialisme baru, seperti diungkapkan Presiden Sukarno dan dikutip oleh
Mubyarto “ Colonialism has also its modern dress in the form of economic control,
intellectual control, (and) actual physical control by a small but alien community
with a nation” (Kolonialisme juga mempunyai pakaian yang baru dalam bentuk
penguasaan ekonomi, penguasaan intelektual, (dan) penguasaan fisik oleh
sekolompok kecil masyarakat dalam lingkup bangsa (sendiri) tetapi terasing.
Limapuluh tahun kemudian ramalan Bung Karno ternyata terbukti, 26 Februari 2005,
3 hari menjelang pemerintah menaikan harga BBM, 36 cendekiawan yang digiring
Freedom Institue memasang iklan 1 halaman penuh mendukung kenaikan harga
BBM. Cendekiawan itu menggunkan alasan ilmiah “hasil penelitian”, yang segera
dibantah oleh penelitian lain sebagai hasil yang keliru. Hal ini berarti bahwa 36
cendekiawan “Freedom Institute” telah mengorbankan kepentingan rakyat demi
kepentingan ekonomi asing yang tak henti-hentinya menguasai ekonomi Indonesia.
Inilah kolonialisme dengan baju baru, yang justru diwakili oleh cendekiawan bangsa.
Cendekiawan ini telah terasing dari bangsanya sendiri. Kondisi ekonomi dan poliltik
sekarang khsusunya Asia dan Afrika dikuasai oleh paham “Corporatocracy”, paham
penguasaan dunia melalui kegiatan-kegiatan korporat (usaha-usaha korporat). Dr.
Ruslan Abdulgani Sekjen Konfrensi Asia Afrika (AA) waktu itu mempertanyakan
peringatan 50 tahun Konfrensi AA, karena tidak terlalu banyak dapat berharap untuk
memperbarui dan meningkatkan solidaritas negara-negara AA. Oleh karena
kepentingan mereka sudah menjadi sangat berbeda-beda dan kekuatan negara
kapitalis neoliberal sangat kuat, sedang negara AA hampir semua terjebak utang luar
negeri yang “tidak dapat dilunasi”. Tebitnya buku “Confessions of an Economic Hit
Man” (Penggakuan dosa seorang penembak ekonomi) yang ditulis John Parkins,

126
dalam isi buku tersebut “agar negara-negara kaya sumber daya alam seperti
Indonesdia diberi hutang sebanyak-banyaknya, sampai negara itu tidak dapat
membayar utangnya. Negara pertama yang dijerat ekonominya masuk “Global
empire” Amerika yaitu Indonesia, pada awal pemerintahan ORBA 1971. Bahaya
neokolonialisme ini tidak diwaspadai bahkan dianggap sebagai “penyelamat”
ekonomi kita dari kemiskinan. Tanda-tanda neokolonialisme di Indonesia amat jelas,
muncul ketika ORBA runtuh diganti Orde Reformasi yang berkembang tidak
terkendali. Dalam konstitusi terlihat jelas ketika pasal 33 UUD 1945 diangap perlu
untuk diganti karena berbau sosialisme, pada hal paham ini telah bangkrut dengan
kemenangan kolonialisme yang dipimpin Amerika. Asas ekonomi kekluargaan yang
jelas-jelas merupakan ideologl nasional diancam digusur dengan menggantikan asas
pasar. Meskipun MPR memutuskan mempertahankan asas kekluargaan, namun
kemudian Mahkamah Konstitusi telah berhasil mengobrak abrik lagi UUD 1945
dengan Amandemennya dan bersemangat menghapus asas kekluargaan. Peringatan
50 tahun Konfrensi Asia Afrika (KAA) sangat memilukan karena segala bahaya
kolonialisme waktu itu , dianggap musuh telah “berbaju baru”. Cendekiawan dan
Pengusaha saat ini mendukung paham neokolonialisme dan liberalisme, dengan
keserakahannya yang tidak berubah tanpa disadari intelektual kita tidak membantu
menyejahterakan rakyat kecil, tetapi justru menyengsarakannya (Mubyarto,
Kedaulatan Rakyat, 20 April 2005: 1 dan 20). Semangat baru dalam membrantas
neokolonialisme khusunya di bidang ekonomi dan perdagangan harus degelorakan
bagi peserta KAA meskipun mempunyai kepentingan berbeda, tetapi dengan
semangat untuk maju bersama dan membangunan “networking” yang kuat antar
negara peserta KAA. 7

127
Indonesia sebagai tuan rumah dapat mengambil keuntungan atas berlangsung KAA
tersebut dengan mengusung agenda kerjasama di bidang ekonomi dan perdagangan
yang saling menguntungkan dengan negara maju dan peserta konfrensi. Komoditas-
komoditas unggulan seperti Tekstil dan Produk Tekstil (TPT), tembaga, aluminium,
batubara, semen, kertas, produkuk kimia, dan produk hewan dapat dijadikan
unggulan untuk masuk dalam perdagangan Asia dan Afrika. Di masa dapan ekspor
komoditas tersebut seharusnya berkembang tidak hanya pasar tradisional ekspor ke
AS tetapi menyebar ke pasar potensial seperti Malaysia, Thailand, Hongkong, dan
Taiwan. Apalagi mulai tahun ini untuk pasar AS, komoditas TPT dudah dihapuskan
kuota perdagangannya, sehingga komoditas TPT Indonesia jika hanya mengandalkan
pasar AS akan semakin berat untuk diaraih. Kemandegan investasi infrastruktur di
Indonesia selama ini terjadi dan sangat mengganggu sektort riil kita, akan dapat
dipecahkan jika KAA dapat dijadikan sarana menjual potensi investasi kepada negara
investor misalnya Jepang, Arab Saudi, China. Beberapa Sektor ekonomi khususnya
untuk pelayanan publik yaitu energi dan transpotasi dapat ditawarkan kepada negara-
negara potensial lainnya dalam pertemuan tersebut. Pemerintah dapat mendorong
peran swasta lebih tinggi dengan mengajak mereka masuk dalam aktivitas KAA
untuk langsung melakukan negosiasi bisnis dengan beberapa negara Asia dan Afrika
poensial. Namun demikian pemerintah tidak hanya memberikan kesempatan kepada
perusahaan swasta besar, tetapi juga memberi kesempatan bagi Usaha Mikro Kecil
Mengah (UMKM). UMKM harus dirangkul dan dibantu untuk dapat menjual produk-
produknya ke negara-negara tersebut. Segmen pasar yang berbeda dan saling
melengkapi antara pedangan besar, menengah dan kecil akan menjadi potensi
perdagangan yang ada dapat dijalan semakin luas dan besar. Pemerintah juga harus
mulai memperhatikan dan menghentikan proses deindustrialisasi yang muncul di
negara ini. Majunya perdangangan seharusnya dapat menjadi ujung tombak majunya
industri-industri unggulan, bukan sebaliknya. Melalui perdagangan yang maju akan
meningkatkan permintaan terhadap produk, yang akhirnya akan mendorong
peneingkatan volume produksi dan penyerapan tenaga kerja. Jangan sampai terjadi
perdagangan yang maju hanya memunculkan pedagang-pedagang sebagai penjual
produk import, sedang industri dalam negeri justru mati karena produkny kalah
bersaing dengan produk import tersebut. Grand design penataan industri Indonesia
harus segera dipikirkan, dirumuskann dan diimplementasikan oleh pemerintah untuk
menyelamatkan industri kita. Indostri unggulan yang didukung dari hulu ke hilir
harus diprioritaskan agar kemandirian dan daya saing yang kuat dapat tercipta.
Melalui 50 tahun KAA tersebut, akses perjanjian kerjasama antar negara Asia Afrika
semakin terbuka dan dapat dimanfaatkan setiap negara peserta untuk saling
membangun network yang saling menguntungkan. Bagi Indonesia yang lebih penting
dari kesuksesan penyelenggaraan 50 th. KAA adalah realisasi peningkatan ekonomi
perdagangan setelah KAA berakhir harus dapat dirasakan oleh semua Stake holder
negara kita. Keberhasilan ini bukan hanya untuk kepentingan segelintir orang atau
kelompok saja yang mengatasnamakan wakil Indonesia (Nur Feriyanto, Kedaulatan
Rakyat, 23 April 2005: 1 dan 20). Ketahanan di bidang ekonomi dapat ditingkatkan

128
melalui pembangunan nasional yang berhasil, namun tidak dapat dilupakan faktor-
faktor non teknis dapat mempengaruhi, karena saling terkait dan berhubungan,
misalnya stabilitas ekonomi. Jadi faktor-faktor yang terkait dengan faktor-faktor non
teknis harus diperhatikan. Dengan demikian ketahanan ekonomi diharapkan mampu
memelihara stabilitas ekomomi melalui keberhasilan pembangunan, sehinga
menghasilkan kemandirian perekonomian nasional dengan daya saing yang tinggi. 4.
Aspek Sosial Budaya Ketahan sosial budaya diartikan sebagai kondisi dinamik
budaya bangsa yang berisi keuletan untuk mengembangkan kekuatan nasional dalam
menghadapi dan mengatasi ATHG baik yang datang dari dalam dan luar yang
langsung dan tidak langsung membahayakan kelangsungan hidup sosial NKRI
berdasarkan Pancasila dan UUD l945.
Wujud ketahanan sosial budaya tercermin dalam kondisi sosial budaya manusia yang
dijiwai kepribadian nasional berdasarkan Pancasila, yang mengandung kemampuan
untuk mengembangkan kehidupan sosial budaya manusia dan masyarakat Indonesia
beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, rukun bersatu, berkualitas,
maju dan sejahtera, dalam kehidupan selaras, serasi, seimbang serta kemampuan
menangkal budaya asing yang tidak sesuai budaya nasional. Esensi ketahan budaya
adalah 8

129
pengaturan dan penyelenggaraan kehidupan sosial budaya, dengan demikian
ketahanan budaya merupakan pengembangan sosial budaya dimana setiap warga
masyarakat dapat mengembangkan kemampuan pribadi dengansegenap potensinya
berdasarkan nilai-nilai Pancasila (Sumarsono, 2000: 124). Nilai-nilai yang
terkandung dalam Pancasila akan diwujudkan sebagai aturan tuntutan sikap dan
tingkah laku bangsa dan akan memberikan landasan, semangat, jiwa secara khas yang
merupakan ciri pada elemen-elemen sosial budaya bangsa Indonesia. Dalam negara
berkembang, ada fenomena perubahan sosial yang disebabkan adanya faktor-faktor
fisik geografis, bioleogis, teknologis dan kultural, terutama faktor teknologis kultural
memegang peranan penting untuk perubahan sosial. Dari faktor di atas yang
memegang peranan penting adalah faktor teknologi dan kebudayaan. Hal ini
disebabkan karena perubahan di bidang teknologi dan kebudayaan berjalan sangat
cepat. Perlu diketahui bahwa perubahan sosial budaya disebabkn oleh fator yang
datangnya dari luar dan dari dalam, dan faktor dari luar biasanya jauh lebih dominan.
Oleh karena itu faktor dari luar perlu mendapatkan perhatian khusus. Untuk dapat
memahami perubahan sosial perlu dipelajari bagaimana perubahan itu diterima oleh
masyarakat. Apabila hal ini dihungkan dengan ketahan sosial budaya, maka pengaruh
budaya seperti budaya konsumtif, hedonisme, pornografi, sex bebas, kejahatan dunia
maya, sendikat narkoba dapat membahayakan kelangsungan hidup dalam bidang
budaya nasional. Disadari atau tidak pengaruh budaya luar pasti sulit ditolak, namun
hal yang perlu diwaspadai adalah pengaruh dampak negatif yang mungkin akan
terjadi yang dapat membahayakan kepribadian bangsa. Tidak menutup kemungkinan
bahwa pihak luar sengaja menyebarkan pengaruhnya melalui sarana teknologi
kominikasi yang akan menguntungkan bagi negaranya. Terhadap pengaruh semacam
ini bangsa Indonesia harus waspada dan memiliki daya tahan untuk
menanggulanginya. Dengan demikian persoalan yang harus dipecahkan adalah
bagaimana caranya mengarahkan perubahan sosial, mengingat bahwa pengaruh
kebudayaan asing tidak dapat dicegah sehingga tidak merusak kehidupan masyarakat
dan kepribadian bangsa Indonesia. Mengenai perubahan sosial Lukman Sutrisno
peranah menawarkan adanya Sosial Enggenering yaitu konsep mesin sosial yang
sangat berguna untuk meminimalisasi akibat terjadinya perubahan sosial. Oleh karena
perubahan sosial pasti terjadi seperti akibat adanya globalisasi, pasar bebas,
modernisasi, revolusi transpotasi, revolusi komunikasi. Dalam usaha meningkatkan
ketahanan sosial budaya perlu disosialisasikan pengembangan budaya lokal,
mengembangkan kehidupan beragama yang serasi, meningkatkan pendidikan
kepramukaan yang mencintai budaya nusantara, dan menolak budaya asing yang
bertentangan dengan nilai-nilai luhur bangsa. Mengenai budaya yang harus
dipertahanakan adalah menjaga harmoni dalam kehidupan sebagai nilai esensi
manusia; menjaga keseimbangan dan keselarasan dengan alam, sesaman manusia
(masyarakat), Tuhan dan keseimbangan lahir, batin (fisik dn mental spiritual). Faktor
di atas bila dihubungkan dengan ketahan budaya; pengaruh budaya luar yang negatif
dapat membahayakan kelangsungan hidup budaya nasional. Untuk mencegahnya
diperlukan “filter” dimana unsur-unsur tradisi bangsa, pendidikan nasional,

130
kepribadian nasional, memegang peranan penting dalam menepis ancaman tersebut.
Dalam pembangunan di bidang ekonomi faktor non ekonomis dapat mempercepat
pembangunan yang harus dikembangkan. Menurut para ahli faktor non ekonomis itu
mencakup: demografis, struktur masyarakat, dan mental. Pembahasan sosial-budaya
secara sempit, maka faktor yang relevan adalah struktur masyarakat dan mental.
Masyarakat Indonesia dapat dibagi baik secara vertikal dan horisontal. Secara vertikal
dapat menghasilkan golongan sosial seperti golongan tani, buruh dan pegawai,
sedang secara horisontal disebut stratifikasi sosial yang menghasilkan lapisan bawah
(pedesaan), menengah dan tinggi. Pada masyarakat Eropa Barat ketika terjadi
“revolusi lndustri”, yang diawali dengan “revolusi hijau” peranan kelas menengah
sangat dominan untuk melakukan modernisasi sehingga menghasilkan masyarakat
Eropa yang maju. Faktor mental bangsa sangat mempengaruhi keberhasilan
pembangunan. Menurut Koentjaraningrat, ciri mental manusia Indonesia dapat dibagi
dalam 3 golongan, yaitu: - Ciri mental Asli (ciri mental petani) - Ciri mental yang
berkembang sejak zaman penjajahan ( cirri mental priyayi) - Ciri mental yang
berkembang sejak Perang Dunia II Menurut sarjana tersebut mentalitas bangsa
Indonesia belum memiliki mentalitas yang cocok untuk pembangunan. Oleh karena
itu tiga ciri mentalitas di atas harus ditinggalkan dan diganti ciri mental baru yang
dikemukakan oleh J. Tinbergen. Bangsa yang ingin maju harus memiliki sifat-sifat:
1. Menaruh perhatian besar dan menilai tinggi benda materi
9

131
2. Menilai tinggi tekonologi dan berusaha untuk menguasainya
3. Berorientasi ke masa depan yang lebih cerah
4. Berani mengambil resiko
5. Mempunyai jiwa yang tabah dalam usaha
6. Mampu bekerjasama dengan sesamanya secara berdisiplin dan bertanggung jawab.

Dengan memperhatikan kedua sarjana tersebut, maka dapat disimpulkan jika bangsa
Indonesia ingin maju maka ciri mental yang lama harus ditinggalkan dan diganti
dengan cirri mental yang cocok namun tatap memiliki kepribadian bangsa
(Lemhanas, 1988: 101). Mengenai hakekat hidup ini Koetjaraningrat berpendapat
bahwa nilai yang paling cocok dalam pembangunan adalah nilai yang memandang
aktif terhadap hidup. Sedang mengenai hakekat karya ada yang bertujuan bahwa
karya untuk hidup, karya untuk mencapai kehidupan, dan karya untuk menghasilkan
karya lebih banyak lagi. Menurut Magnis Suseno (1978) bangsa Indonesia telah
memiliki etos kerja yang baik; kerja keras, efisien, mengembangkan prestasi, rajin,
rapi, sederhana, jujur, mengunakan rasio dalam mengambil keputusan dan tindakan,
bersedia melakukan perubahan, dapat melakukan setiap kesempatan, bekerja mandiri,
percaya pada kekuatan sendiri mau bekerjasama yang saling menguntungkan. Namun
etos kerja di atas hanya dimiliki oleh kalangan elit saja. Kurang berkembangnya
potensi yang sesuai dengan mental pembangunan yang bermuara pada etos kerja itu
dikarenakan perkejaan mereka belum mendapatkan imbalan yang sepantasnya,
kurangnya penghargaan dan kesempatan untuk maju. Apabila manusia dihargai
semestinya, mereka akan bekerja dengan rajin, teliti, setia dan inovatif. Dalam usaha
mengadakan perombakan mental bangsa, pendidikan memegang peran penting. Oleh
karena fungsi pendidikan bersifat mengubah secara tertib ke arah tujuan yang
dikehendaki. Mendidik dalam arti luas adalah mendewasakan manusia agar dapat
berpartisipasi penuh dan mengembangkan bakatnya menumbuhkan kehidupan sosial
sesuai dengan tuntutan jaman. Oleh karena itu diperlukan sistem pendidikan yang
mempu membawa masyarakat ketujuan nasionalnya. Menurut Ahmad Syafii Maarif
Guru Besar Filsafat Sejarah UNY (2004), Pendidikan yang diperlukan bangsa
Indonesia adalah Peningkatan moralitas bangsa. Hal ini diungkapkan karena
Indonesia mengalami bencana krisis moral dalam bidang ekonomi yang mengancam
kepentingan hidup orang banyak. Krisis ini semakin dahsyat tidak hanya akibat
depresi ekonomi. Wabah korupsi yang sudah demikian kronis akan berakibat
kehancuran dan kebangkrutan negara. Dengan demikian harus sesegera mungkin
mengingatkan dan menyadarkan para pejabat dari budaya korup. Akibat dari
krisis moral adalah budaya rakus, mereka akan menggunakan dan menghalalkan
segala cara untuk mengikuti nafsu hewani, demi tujua yang diinginkan. Dalam usaha
untuk mengatasinya budaya KKN diperlukan kesabaran yang tinggi, tanpa kesabaran
tidak mungkin ada penyembuhan. Kombinasi tiga unsure yaitu; Ilmu, amal dan
sabar, hal inilah yang dapat menghapus sifat manusia. Tugas untuk pencerahan dan
pencerdasan moral adalah tanggung jawab Depdikbud, Depag, elit politik, dan setipa

132
WNI karena pendidikan yang langsung ditatap, diserap, ditiru dan selanjutnya kita
tidak boleh menyerah pada kepengapan dan keboborokan (A Syafii Maarif, 2004: 3).
Pembaruan di bidang pendidikan di dasarkan atas falsafah negara Pancasila dan
diarahkan untuk membentuk manusia pembangunan yang ber-pancasila dan untuk
membentuk manusia Indonesia yang sehat jasmani dan rohani. Dalam hal ini perlu
dikembangkan sistem pendidikan yang cocok untuk keperluan pembangunan; sistem
pendidikan yang dimaksudkan harus dapat menghasilkan tenaga pembangunan yang
trampil, menguasai IPTEKS, sekaligus memilki pandangan hidup berdasarkan
Pancasila serta kuat jasmani dan rohani. Dalam era reformasi bangsa kita kurang
memperhatikan ketahanan di bidang sosial budaya, hal ini dapat dilihat adanya
penafsiran keliru terhadap kebebasan yang justru mengakibatkan konflik berbau
SARA yang dahulu dikritik oleh ORBA dan LSM. Dalam ketahanan di bidang
budaya harus diingat bahwa demokrasi harus menyentuh seluruh sendi-sendi
kehidupan masyarakat, tidak hanya di bidang politik saja, melainkan bidang ekonomi,
budaya dan agama. Oleh karena itu sudah saatnya kalangan intelektual kampus
mengembangkan ketahanan nasional bukan hanya untuk kepentingan kekuasaan,
sekelompok penguasa, namun untuk kepentingan keamanan dan kesejahteraan
seluruh bangsa agar dapat hidup aman dan damai yang mengedepankan nilai-nilai
ketuhanan, kemanusiaan, persatuan, kerakyatan dan keadilan.
5. Aspek Pertahanan dan Keamanan
a. Pengertian

133
Ketahanan Pertahanan dan Keamanan diartikan sebagai kondisi dinamik kehidupan
pertahan dan keamanan bangsa Indonesia berisi keuletan dan ketangguhan yang
mengandung kemampuan mengembangkan kekuatan nasional dalam menghadapi dan
mengatasi ATHG yang datang dari luar dan dalam, yang langsung dan tidak langsung
membahayakan identitas, integritas, dan kelangsungan hidup bangsa dan negara
berdasarkan Pancasila dan UUD l945. Ujud ketahanan dibidang keamanan tercermin
dalam kondisi daya tangkal bangsa Indonesia yang dilandasi bela negara seluruh
rakyat yang mengandung kemampuan memelihara stabilitas pertahanan dan
keamanan negara yang dinamis, mengamankan pembangunan dan hasil-hasilnya serta
kemampuan mempertahanankan kedaulatan negara dan menangkal segala bentuk
ancaman (Sumarsono, 2000: 125). Dengan demikian ketahanan di bidang keamanan
adalah keuletan dan ketangguhan bangsa dalam mewujudkan kesiapsiagaan serta
upaya bela negara atau suatu perjuangan rakyat semesta; dimana seluruh kekuatan
IPOLEKSOSBUD-HANKAM disusun, dikerahkan secara terpimpin, terintegrasi,
terkoordinasi, untuk menjamin penyelenggaraan Sistem Ketahanan Nasional,
menjamin kesinambungan pembangunan nasional dan kelangsungan NKRI
berdasarkan Pancasila dan UUD l945 yang ditandai dengan prinsip-prinsip sebagai
berikut:
1) Bangsa Indonesia cinta damai tetapi lebih cinta kemerdekaan, perang merupakan
pilihan terakhir untuk mempertahankan NKRI dan integrasi nasional.
2) Pertahanan Keamanan dilandasi landasan ideal Pancasila, landasan konstitusional
UUD l945, landasan visional Wawasan Nusantara. Pertahanan dan keamanan negara
merupakan hak dan kewajiban bangsa Indonesia untuk mewujudkannya.
3) Pertahanan keamanan negara merupakan upaya terpadu yang melibatkan segenap
potensi dan kekuatan nasional. Setiap WNI wajib ikut bela negara, dilakukan dengan
kesadaran dan tanggungjawab rela berkorban, mengabdi kepada bangsa-negara,
pantang menyerah.Upaya pertahanan dan keamanan negara yang melibatkan
kekuatan nasional dirumuskan dalam doktrin pertahanan dan keamanan NKRI.
4) Pertahanan dan keamanan diselenggarakan dengan Sishankamnas (Sishankamrata).
Hal ini bersifat total, kerakyatan, kewilayahan. Pendayagunaan dalam mengelola
Pertahanan dan Keamanan dilakukan secara optimal, terkoordinasi untuk
mewujudkan kekuatan dan kemampuan pertahanan dan keamanan negara dalam
keseimbangan, keserasian, antara kepentingan kesejahteraan dan keamanan.
5) Segenap kekuatan dan kemampuan pertahanan dan keamanan rakyat semesta,
diorganisasikan ke dalam TNI dan Polri. Pembangunan APRI yang jati dirinya
sebagai tentara rakyat, tentara pejuang, tentara nasional. Perannya tetap diabdikan
untuk kepentingan bangsa Indonesia dan keutuhan NKRI (Sumarsono, 2000: 127).

b. Postur Kekuatan Pertahanan dan Keamanan

Postur kekuatan Hankam mencakup struktur kekuatan, tingkat kemampuan dan gelar
kekuatan. Dalam membangun kekuatan Hankam terdapat empat pendekatan yaitu
pendekatan ancaman, misi, kewilayahan dan politik. Pada konteks ini perlu ada

134
pembagian tugas dan fungsi yang jelas antara masalah keamanan dan pertahanan.
Pertahanan diserahkan kepada TNI, sedang keamanan dalam negeri diserahkan
kepada POLRI. TNI dapat dilibatkan untuk menangani masalah dalam negeri jika
POLRI tidak mampu karena eskalasi ancaman yang meningkat ke keadaan darurat.
Pembangunan kekuatan Hankam harus mengacu kepada konsep Wawasan Nusantara,
dimana Hankam diarahkan untuk seluruh wilyah RI disamping kekuatan Hankm
harus mampu mengatisipasi prediksi ancaman dari luar sejalan dengan kemajuan
IPTEK militer, yang menghasilkan daya gempur jarak jauh. Hakekat ancaman,
rumusan hakekat ancaman akan mempengaruhi kebijakan dan stategi kekuatan
Hankam. Kesalahan dalam merumuskan hakekat ancaman akan mengakibatkan
postur kekuatan tidak efektif dalam menghadapi gejolak dalam negeri. Dalam
merumuskan hakekat ancaman perlu pertimbangan konstelasi geografi dan kemajuan
IPTEK. Musuh (ancaman) yang datang dari luar akan menggunakan sarana laut,
udara, karena Indonesia merupakan negara kepulauan. Oleh karena itu perlu adanya
pembangunan Hankam secara proporsional dan seimbang antara AD, AL, dan AU
serta keamanan POLRI. Pesatnya kemajuan IPTEK perlu diantisipasi dan diwaspadai
serangan langsung lewat udara oleh kekautan asing yang memiliki kepentingan
terhadap Indonesia. Sebagai contoh isu-isu yang akan dilakukan Australia akan
membangun pangkalan peluncuran satelit di Pulau Chrismas sebelah selatan Pulau
Jawa yang berjarak kurang 500 km, hal ini merupakan serangan potensial untuk
meluncurkn rudal jarak menenggah menghancurkan kota Jakarta. C. Gejolak Dalam
Negeri 11
Dalam masa globalisasi saat ini kondisi dalam negeri yang kacau dapat mengundang
campur tngan asing. Intervensi pihak asing dapat berdalih untuk menegakkan nilai-
nilai HAM, demokratisasi, Penegakaan Hukum, dan Lingkunggan Hidup, namun
semuanya itu dilakukan untuk kepentingan nasional mereka. Situasi kacau dapat
terjadi jika unsur utama kekuatan Hankam dan kompunen bangsa tidak mampu
mengatasi permasalahan dalam negeri. Oleh karena itu perlu diwaspadai hubungan
antara kekuatan dalam negeri dan kemungkinan intervensi asing (Sumarsono, 2000:
129). Dalam era sekarang telah terjadi pergeseran geopolitik ke arah geoekonomi, hal
ini akan terjadi perubahan dalam penerapan kebijaksanaan dan strategi negara dalam
mewujudkan kepentingan nasional. Penerapan secara baru dalam penerapan
kebijakan akan meningkatkan eskalasi konflik regional dan konflik dalam negeri
yang akan mendorong keterlibatan super power di dalamnya. Oleh karena itu perlu
membangun postur kekuatan Hankam yang memiliki profesionalisme untuk
melaksanakan: 1) Kegiatan intel strategis dalam semua aspek kehidupan nasional. 2)
Melaksanakan pertahanan udara, darat dan laut. 3) Memelihara dan menegakkan
keamanan dalam negeri, 4) Membina potensi kekuatan wilayah dalam semua aspek
kehidupan untuk meningkatkan TANNAS. 5) Memelihara stabilititas nasional
menyeluruh dan berlanjut. Dalam usaha untuk melindungi diri sendiri dari ancaman
luar dan dalam dengan anggaran sangat terbatas maka perlu dikembangkan kekuatan
Hankam yang meliputi: 1) Perlawanan bersenjata terdiri dari bala nyata merupakan
kekuatan TNI yang selalu siap dan dibina sebagai kekuatan cadangan dan bala

135
potensial yang terdiri atas POLRI dan RATIH sebagai fungsi WANRA. 2)
Perlawanan tidak bersenjata yang terdiri dari RATIH dengan fungsi TIBUM, LINRA,
KAMRA, dan LINMAS. 3) Kompunen pendukung perlawanan bersenjata dan tidak
bersenjata sesuai dengan bidang potensinya dengan pemanfaatan semua sumber daya
nasional, sarana dan prasaran serta perlindungan masyarakat terhadap perang dan
bencana lainnya. Dengan demikianketahan Pertahanan dan keamnan yang diinginkan
adalah kondisi daya tangkal bangsa dilandasi kesadaran bela negara oleh seluruh
rakyat yang mengandung kemampuan memelihara stabilitas pertahanan dan
ketahanan yang dinamis, mengamankan pembangunan dan hasil-hasilnya,
mengamankan kedaulatan negara, menangkal segala bentuk ancaman.

D. Indonesia dan perdamaian dunia

Perdamaian dunia merupakan tanggungjawab dari seluruh negara maupun


manusia yang tinggal didalamnya. Bagi bangsa Indonesia kontribusi dalam misi
perdamaian yang digelar oleh PBB tidak dapat dilepaskan dari idealisme bangsa
Indonesia untuk turut serta dalam menciptakan perdamaian dunia seperti yang
tertuang dalam Pembukaan UUD 1945. Disamping itu platform politik luar negeri
bebas aktif memberikan dorongan agar Indonesia terlibat secara aktif untuk ikut serta
dan berkontribusi bagi upaya perdamaian di seluruh dunia.
Peran serta Indonesia dalam operasi pemeliharaan perdamaian merupakan
amanat pembukaan UUD 1945, yaitu dalam rangka mewujudkan perdamaian dunia
yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial. Harapan
untuk hidup damai tampaknya masih menjadi impian yang sulit bagi sebagian bangsa
disebagian kawasan. Berakhirnya perang dunia II dan perang dingin yang di tandai
dengan pembubaran uni Sovyet tahun 1991, ternyata tidak membuat dunia bebas dari
konflik bersenjata. Perang besar antara kedua negara raksasa – AS dan – US memang
tidak terjadi, namun perang kecil dan konflik justru berkecamuk di mana-mana. Di
wilayah Balkan dan bekas Uni Sovyet, Afrika, Timur Tengah, perang dan berbagai
jenis konflik lain terus berkecamuk.

Untuk menjaga perdamaian kawasan konflik PBB membentuk pasukan


perdamaian dalam rangka operasi pemeliharaan perdamaian (OPP). Beberapa contoh
pasukan perdamaian tersebut. Keikutsertanan Indonesia dalam upaya perdamaian
dunia adalah dengan menjadi anggota pasukan perdamaian pada tahun 1957. pasukan
perdamaian Indonesia dinamakan kontingen Garuda. Selain keikutsertaan melalui
kontingen Garuda dalam upaya pemeliharaan perdamaian PBB, Indonesia tercatat
sebagai anggota tidak tetap Dewan Keamanan PBB sebanyak tiga kali57 yaitu:

1. Periode 1973 – 1974

57
http://mahasiswa.ung.ac.id/411412144/home/2013/2/22/partisipasi_indonesia_bagi_perdam
aian_dunia.html, diakses tanggal 31 Agustus 2016 pukul 18.27. WIB.

136
2. Periode 1995 – 1996
3. periode 2007 – 2008

Indonesia termasuk negara paling aktif dalam turut menjaga perdamaian


dunia. Berdasarkan laporan PBB, Indonesia menempati urutan 15 dari 177 negara
yang paling banyak mengirimkan pasukan penjaga perdamaian dunia. Selain
Indonesia, dalam daftar 15 besar tersebut di antaranya Bangladesh, Pakistan, India,
Nigeria, Etiopia, Jordan, Ghana, dan Afrika Selatan.58

Indonesia tidak berhenti berpartisipasi dalam perdamaian dunia. Komitmen


pemerintah mengirimkan pasukan semata-mata sebagai penjaga perdamaian
(peacekeeping) yaitu Pasukan Perdamaian Indonesia di bawah naungan PBB telah
mulai mengirimkan pasukannya ke daerah-daerah konflik di dunia sejak tahun 1957.
Pasukan Perdamaian Indonesia atau lebih dikenal sebagai Kontingen Garuda
Indonesia beranggotakan TNI dan POLRI.

Kehadiran suatu operasi perdamaian dalam suatu Negara atau kawasan


dilaksanakan setelah upaya-upaya perdamaian yang lain gagal dilaksanakan. “..Peace
operations embrace confict prevention and peacemaking, peace-keeping and peace-
building. If the frst trio is successful, violent confict can be avoided and deployment of
peace-keeping troops is not needed”. 59 Artinya bahwa operasi perdamaian itu
dilaksanakan setelah upaya pencegahan yang dilakukan oleh sejumlah pihak itu gagal
dicapai. Sebenarnya pemeliharaan perdamaian tidak tercantum di dalam Piagam PBB.
Namun untuk alasan tertentu, maka hal tersebut dapat dilakukan: ”.. Peacekeeping
seperti hal tersebut tidak secara khusus diatur dalam Bab ini, kecuali untuk ketentuan
bahwa 'Dewan Keamanan dapat membentuk organ pendukung bila dianggap perlu
dalam melakukan fungsinya (Artikel 29)”.60

Selanjutnya tugas-tugas Operasi Pemeliharaan Perdamaian Dunia tersebut dapat


diklasifkasikan menjadi:

a. Pencegahan konflik (Confict Prevention), yakni langkah-langkah politis,


diplomatis, non-militer yang proaktif melalui cara-cara dan saluran yang tepat
untuk mencegah timbulnya pertikaian antara dua pihak di suatu Negara/kawasan
agar tidak berkembang menjadi besar.
b. Upaya Perdamaian (Peace Making), yakni cara-cara penyelesaian sengketa secara
damai sesuai dengan piagam PBB.

58
Http://nasional.kompas.com/read/2012/05/17/05155750/Indonesia.Termasuk.Paling.Aktif.
Menjaga.Perdamaian.Dunia, diakses 31 Agustus 2016 pukul 18.27 WIB.
59
Eldaners Gorab, Challenges of Peace Operations into the 21st Century (Concluding Report
1997-2002, Stockholm, Sweden, 2002) hal 266.
60

137
c. Pemeliharaan Perdamaian (Peace Keeping), yakni kegiatan penggelaran personel
di negara/kawasan yang bertikai atas seizin pihak-pihak terkait.
d. Pengokohan Perdamaian (Peace Building), yakni kegiatan untuk mengenali dan
mendukung hal-hal yang dapat membuat/memperkokoh landasan perdamaian.
e. Operasi Masa Damai (Peace Time Operation), yakni kegiatan operasi dalam
menanggulangi bencana alam dan sebagainya.
f. Operasi Penegakan (Peace Enforcement), yakni operasi penegakan yang sesuai
dengan resolusi Dewan Keamanan PBB dan hukum internasional yang berlaku,
serta asas-asas partisipasi Indonesia.61

Operasi penjaga perdamaian multidimensi saat ini dilakukan tidak hanya untuk
menjaga perdamaian dan keamanan, tetapi juga untuk memfasilitasi proses politik,
melindungi warga sipil, membantu pelucutan senjata, demobilisasi dan reintegrasi
mantan kombatan, mendukung pelaksanaan Pemilu, melindungi dan mempromosikan
Hak Asasi Manusia, dan membantu memulihkan aturan hukum.
Operasi penjaga perdamaian PBB dikerahkan dengan persetujuan para pihak utama
dalam konflik. Hal ini memerlukan komitmen pihak terkait menuju proses politik.
Persetujuan mereka atas operasi penjaga perdamaian memberikan kebebasan bagi PBB
untuk melakukan tindakan yang diperlukan baik politik maupun hal-hal nyata lainnya,
yaitu untuk melaksanakan tugas-tugas yang dimandatkan.
Ketidakberpihakan sangat penting untuk mempertahankan kesepakatan dan
kerjasama dari pihak terkait. Pasukan penjaga perdamaian PBB tidak seharusnya
memihak dalam hubungannya dengan para pihak yang terlibat konflik, bukan berarti
netral dalam memahami dan melaksanakan mandat mereka. Sebagai wasit dalam
pelaksaan peraturan, operasi penjaga perdamaian seharusnya tidak dapat membiarkan
tindakan pelanggaran yang dilakukan oleh pihak-pihak terlibat konflik, sehingga usaha
proses perdamaian yang tercantum dalam perjanjian PBB dapat dijunjung tinggi.
Meskipun membangun dan memelihara hubungan baik dengan para pihak terkait konflik
diperlukan, operasi penjaga perdamaian harus juga menghindari kegiatan yang mungkin
dipandang memihak salah satu partai. Hal tersebut sangatlah penting untuk menghindari
kesalahan persepsi pihak lain.Jika hal tersebut gagal dilaksanakan akan dapat merusak
kredibilitas dan legitimasi operasi penjaga perdamaian, yang menyebabkan ditariknya
kembali kesepakatan perdamaian.

61
Bambang Kismono Adi dan Machmud Syafrudin, Pasukan Penjaga Perdamaian dan
Reformasi Sektor Keamanan (Jakarta, DCAF, 2009), hal.3.

138

Anda mungkin juga menyukai