Anda di halaman 1dari 10

INSAN Vol. 7 No.

3, Desember 2005

Mengembangkan Industri Kecil Menengah


Melalui Pendekatan Kluster

Kacung Marijan
Fakultas Ilmu Sosial dan Politik Universitas Airlangga

ABSTRAK
Industrial sector in Indonesia has been dominated by small and medium enterprises
(SMEs). Many of them are clustered in particular areas. Unfortunately, most of
them are passive cluster industries. As a consequence, they only enjoyed external econo-
mies. They will be active clusters when they are able to carry out joint action in over-
coming their commond problems. This paper argues that in order to develop SMEs, we
can apply cluster approach that supports the existence of an active cluster. Therefore,
SMEs would be able to compete in international market.

mengalami menurunan kalau dibandingkan


Keywords: sebelum krisis.
cluster industry, collective efficiency Meskipun demikian, harapan bagi
bangkitnya kembali sektor industri
sebagaimana terjadi antara 1970an sampai
Transformasi struktur perekonomian sebelum krisis ekonomi 1997, tidak ikut
Indonesia, dari yang berbasis agraria ke yang stagnan. Pintu masuk bagi harapan demikian
berbasis industri, khususnya industri adalah relatif resistensinya kelompok
manufaktur, telah mengalami stagnansi industri kecil menengah, termasuk di
setelah krisis ekonomi yang melilit tajam dalamnya adalah industri berskala mikro,
Indonesia pada medium 1997. Bahkan, kalau ketika krisis berlangsung. Kalau jumlah
dilihat dari industri berkatagori besar, In- industri besar mengalami penurunan, jumlah
donesia telah mengalami de-industrialisasi. industri kecil menengah justru justru
Penurunan jumlah industri besar ini mengalami kenaikan. Yang menjadi masalah
disebabkan karena sebagian collapse, ada pula adalah, mampukah industri kecil menengah
yang melakukan relokasi ke negara-negara ini berfungsi sebagai break-through bagi
lain. Pada saat yang sama, salah satu big push bangkitnya kembali sektor indusri di Indo-
factor bagi tumbuhnya industri, yaitu arus nesia? Pertanyaan demikian dikemukakan
investasi, baik PMA maupun PMDN, juga setelah melihat realitas bahwa pesaing

© 2005, Fakultas Psikologi Universitas Airlangga INSAN Vol. 7 No. 3, Desember 2005
216
Kacung Marijan

industri Indonesia saat ini adalah industri- di negara-negara industri. (Hughes, 1984).
industri besar berskala internasional (multi- Realitas memang menunjukkan bahwa
nasional) yang memiliki daya saing (competi- tingkat kemakmuran rakyat negara-negara
tiveness) tinggi industri memang jauh lebih tinggi daripada
Tulisan ini dibangun dari argumentasi negara-negara yang mengandalkan sektor
bahwa upaya mengembangkan industri kecil pertanian.
menengah yang mampu bersaing di pasar Usaha pemerintah Orde Baru itu
internasional bisa dilakukan melalui memang tidak sia-sia. Sejak pemerintahan
pendekatan kluster (cluster approach). Sebelum Orde Baru telah terjadi transformasi yang
membahas apa itu pendekatan kluster dan cukup besar struktur ekonomi Indonesia.
bagaimana pendekatan ini menggerakkan Pada 1960-an, misalnya, sumbangan sektor
berkembangnya industri kecil menengah, pertanian kepada GDP masih mencapai 53
terlebih dahulu dikemukakan potret industri persen. Pada awal 1990-an, sumbangan
kecil menengah dan kluster industri di In- sektor pertanian kepada GDP turun menjadi
donesia. 19 persen. Sebaliknya, sumbangan sektor
industri manufaktur mengalami pelonjakan
IKM dan Kluster sampai tiga kali lipat, yakni dari hanya 8
Secara historis, industrialisasi di Indo- persen mencapai 24 persen pada kurun
nesia sebenarnya telah dimulai pada masa waktu yang sama (Aswicahyono, 1997:2;
penjajahan Belanda, tepatnya setelah Hill, 2000:5).
pemerintah kolonial Belanda Sebagaimana di negara-negara yang
mengintrodusir sistem tanam paksa (cultiva- sedang berproses di dalam industrialisasi,
tion system) pada 1830-an (Maddison, 1989). tidak semua industri yang ada itu merupakan
Pada periode ini, sejumlah industri seperti industri besar. Yang terkatagori industri
industri makanan dan minuman, tekstile dan besar biasanya adalah industri-industri yang
rokok kretek telah ditemukan. Meskipun muncul karena proyek-proyek PMA atau
demikian, Pangestu dan Sato (1997:xi) proyek-proyek PMDN yang didirikan oleh
berpendapat bahwa industrialisasi modern keluarga-keluarga kaya. Tetapi, sebagian
di Indonesia dimulai ketika Presiden besar industri yang muncul adalah yang
Soeharto berkuasa pada pertengahan 1960- berkatagori kecil menengah. Kelompok ini
an. Pemerintah Orde Baru secara sengaja muncul bukan semata-mata karena kita
bermaksud merombak struktur ekonomi sedang berproses di dalam industrialisasi.
Indonesia, dari yang berbasis pada sektor Kemunculan industri kecil menengah tidak
pertanian ke yang berbasis pada sector jarang merupakan multiplier effects dari
industri. Sebagaimana di negara-negara industri-industri besar.
sedang berkembang lainnya, industrialisasi Sampai tahun 2000-an, kelompok
telah dipandang sebagai instrument penting industri yang terkatagori mikro, kecil dan
untuk mencapai standard kehidupan menengah tergolong yang paling besar di
masyarakat yang tinggi sebagaimana terjadi Indonesia. Sebagaimana terlihat pada table

INSAN Vol. 7 No. 3, Desember 2005


217
Mengembangkan Industri Kecil Menengah Melalui Pendekatan Kluster

1, kalau kelompok industri mikro dan kecil Belanda yang serius mengkaji kluster di In-
sangat mendominasi struktur industri di donesia, Weijland, memperkirakan bahwa
Indonesia. Bahkan, sekiranya data tentang lebih dari 40 persen kluster industri di In-
industri menengah itu dipisahkan dari donesia berada di Jawa Tengah (Weijland,
kelompok industri besar, jumlah industri 1999:1518). Perkiraan demikian didukung
besar akan menjadi minoritas. oleh data yang lain. Misalnya, Klapwijk

Table 1. Jumlah industri di Indonesia Th. 2000-2003

Type of Year
Establishment 2000 2001 2002 2003

Household 2,358,616 2,307,562 2,490,118 2,672,864


Small 240,088 230,721 238,582 255,144
Large and Medium 22,174 21,396 21,146 21,126

Sumber: Biro Pusat Statistik, Statistical Year Book of Indonesia 2002 and 2003.

Yang menarik adalah, tidak sedikit (1997:45) menemukan bukti bahwa dari
industri kecil menengah itu cenderung 4,400 sentra-sentra industri di Jawa pada
mengelompok di dalam wilayah tertentu 1989, 90,9 persen di antaranya terkatagori
(clustered). Kecenderungan demikian bukan kluster industri yang ada di pedesaan.
kahs Indonesia. Sebagaimana dikemukakan Melihat banyaknya industri-industri
oleh Boadway et al. (2004:623) ‘kegiatan yang meng-kluster itu, pemerintah Indone-
ekonomi pada dasarnya cenderung meng- sia sudah berusaha melakukan pembinaan.
kluster’, khususnya aktivitas ekonomi yang Sebagaimana terlihat pada table 2.
bergerak di sektor serupa. Pembinaan itu, khususnya yang berkaitan
Di Indonesia, sebagian besar dengan bantuan teknis dan keuangan.
kelompok-kelompok industri (cluster) itu
muncul secara spontan, yang dirangsang Bantuan teknis, misalnya, dalam
oleh banyaknya bahan baku dan tenaga kerja bentuk pendirian UPT (Unit Pelaksana
yang trampil (Klapwijk, 1997; Poot et al., Teknis) tertentu, seperti UPT yang berkaitan
1990; Sandee, 1995; Tambunan, 2000; dengan industri kulit, kayu dan yang lain.
Weijland, 1999). Yang unik, banyak kluster Melalui UPT ini pemerintah juga sekaligus
ada di Jawa Tengah. Dari 5,715 kluster di memperkenalkan teknologi dan knowledge
Jawa pada 1998, 53,6 persen berada di Jawa baru guna memperbaiki kualitas produksi
Tengah. Besaran persentase demikian setara yang dihasilkan industri-industri yang ada
dengan 25,2 persen dari seluruh kluster di di lingkungan kluster itu (Thee, 1989:20).
Indonesia. Bahkan, seorang ekonom Selain itu, UPT juga berfungsi untuk

INSAN Vol. 7 No. 3, Desember 2005


218
Kacung Marijan

Tabel 2. Jumlah Kluster yang Memperoleh Pembinaan dari Pemerintah


Th. 1992, 1994, dan 1998

Proponsi 1992 1994 1998

D.I. Aceh 192 192 441


Sumatra Utara 613 639 636
Sumatra Barat 313 313 590
Riau 151 180 292
Jambi 83 83 88
Bengkulu 97 107 126
Sumatra Selatan 175 175 196
Lampung 108 108 142
DKI Jakarta 127 127 92
Jawa Barat 921 921 1089
Jawa Tengah 970 970 3061
D.I. Yogyakarta 520 520 264
Jawa Tengah 1007 1204 1209
Kalimantan Selatan 250 313 417
Kalimantan Barat 121 121 121
Kalimantan Tengah 151 151 253
Kalimantan Timur 193 215 388
Bali 577 677 782
Nusa Tenggara Barat 275 275 504
Nusa Tenggara Timur 169 238 27
Sulawesi Selatan 453 538 538
Sulawesi Utara 253 253 253
Sulawesi Tenggara 83 83 189
Maluku Tengah 172 172 83
Maluku 219 257 257
Papua 85 110 124
Timor Timur 69 101 *

Total 8329 9022 12162

* Pada 1998 Timor Timur tidak dimasukkan karena dalam proses merdeka.
Sumber: Tulus Tambunan, Development of Small-Scale Industries during the New
Order Government in Indonesia, Ashgate, Singapore, 2000:116-117; Deperindag,
Industri Kecil dalam Angka tahun 2000, Deperindag, Jakarta, 2000:79.

memberikan pelatihan manajemen dan Sementara itu, bantuan finansial


menambah ketrampilan tenaga kerja yang mencakup pemberian konsesi kredit. Untuk
tersedia. Di tempat tertentu, UPT bahkan itu, pemerintah telah memperkenalkan pro-
bisa berfungsi untuk menyediakan bahan- gram Kredit Investasi Kecil (KIK) dan
bahan material untuk keperluan produksi Kredit Modal Kerja Permanen (KMKP).
(Thee 1993:14) Kedua jenis kredit ini dikoordinasikan oleh

INSAN Vol. 7 No. 3, Desember 2005


219
Mengembangkan Industri Kecil Menengah Melalui Pendekatan Kluster

Bank Indonesia. Tetapi, dalam pertama sering dipakai di dalam literatur


pelaksanaannya dilakukan oleh bank-bank secara bergantian.
komersial, baik milik pemerintah maupun Kluster industri sendiri sering dibatasi
swasta (Bolnick, 1982; Levitsky, 2001). melalui dua cara yang berbeda. Pertama
Caranya, BI menyediakan kredit dengan adalah dibatasi secara fungsional.
bunga rendah kepada bank-bank tersebut Sebagaimana dikemukakan oleh Michael
(sekitar tiga sampai enam persen pertahun), Porter (1990; 2000) kluster industri lebih
dan kemudian bank-bank tersebut dipandang sebagai sekelompok perusahaan
memberikan kredit dengan bunga yang lebih yang berkaitan dengan kegiatan yang serupa
rendah di pasaran kepada perusahaan- di dalam suatu ekonomi nasional daripada
perusahaan kecil menengah yang hanya sekadar terletak di dalam lokasi
membutuhkannya (Pangestu, 1996). tertentu. Karena itu, faktor yang paling
Sayangnya, tidak semua program penting di dalam kluster industri adalah
pembinaan yang dilakukan oleh pemerintah adanya keterkaitan (linkages) antara
itu berlangsung secara baik. Program konsesi perusahaan-perusahaan di dalam sektor
kredit, misalnya, tidak berlangsung secara tertentu atau dengan sektor-sektor yang lain
efektif (Grizzell 1988; Hamid 1991; Hayashi tetapi saling mendukung. Aspek kewilayahan
2002; Hill 2001; Thee 1993). Hal ini terlihat tidak dibatasi secara kaku. Kedua, kluster
dari tingginya tingkat default dari para industri ditekankan pada sekelompok
peminjam. Konsekuensinya, tidak sedikti industri yang ada di dalam wilayah tertentu.
kredit KIK/KMKP itu yang macet. Hal ini, misalnya terlihat dari batasan
Schmitz dan Nadvi yang melihat kluster
Pendekatan Kluster: Apa dan industri sebagai ‘sectoral and spatial concentra-
Mengapa? tion of firms’ (Schmitz and Nadvi 1999:1503).
Di dalam literatur, ada tiga konsep Dalam perkembangannya, pemaham-
yang berkaitan dengan lokalisasi industri, an tentang kluster mencakup dua hal
yaitu kluster industri (cluster industry), industri sekaligis, yakni secara fungsional dan
berbasis daerah (industrial district) dan geografis. Studi tentang kluster di banyak
aglomerasi ekonomi (agglomeration economy). negara, baik di negara-negara maju maupun
Dua konsep yang pertama sering dipakai sedang berkembang, menunjukkan bahwa
secara bergantian (interchangeably). Konsep- kluster pada dasarnya tidak sekadar
konsep itu dikaitkan dengan kumpulan perusahaan-perusahaan yang
pengelompokan industri secara sektoral dan berada pada suatu tempat tertentu (spasial).
secara geografis. Konsep aglomerasi Lebih dari itu, kluster berarti adanya
ekonomi dikaitkan dengan industri-industri keterkaitan (linkages) di antara perusahaan-
yang memperoleh keuntungan akibat perusahaan itu, baik vertikal maupun
urbanisasi ekonomi (urbanisation economies) horisontal. Melalui linkages, perusahaan-
dan lokalisasi ekonomi (localisation economies). perusahaan yang ada itu tidak sekadar
Hanya saja, secara umum, dua konsep bersaing (competition) antara yang satu dengan

INSAN Vol. 7 No. 3, Desember 2005


220
Kacung Marijan

yang lain, melainkan juga melakukan perusahaan itu sendiri, termasuk adanya
kersajama (cooperation). efisiensi.
Karakter kluster yang seperti itu dilihat Hanya saja, adanya external economies itu
memiliki potensi di dalam usaha tidak serta merta melahirkan adanya kluster
pengembangan ekonomi. Karena itu, pola industri yang dinamis. Huber Schmitz
kluster kemudian menjadi salah satu (1995b) mengemukakan bahwa kluster
pendekatan (approach) yang menjadi industri bisa berlangsung secara dinamis dan
rekomendasi sejumlah ilmuwan dan dipakai menguntungkan unit-unit usaha yang ada di
oleh pengambil kebijakan di dalam dalamnya kalau mampu melahirkan apa yang
mengembangkan industri di suatu daerah disebut ‘collective efficiency’ (efisiensi kolektif).
atau negara. Yang dia maksud sebagai ‘collective efficiency’
Alfred Marshall merupakan ekonom adalah keung gulan kompetitif yang
generasi pertama yang serius melihat potensi disebabkan oleh external economies dan joint
kluster industri bagi terdorongnya action (aksi bersama).
pertumbuhan ekonomi suatu negara, Efesiensi kolektif yang disebabkan
khususnya setelah dia mencermati oleh external economies, dalam pandangan
berkembangnya sentra-sentra industri di Schmitz, pada dasarnya bersifat pasif.
Inggris, Jerman dan di negara-negara lain di Keuntungan yang diperoleh lebih banyak
Eropa pada peralihan abad ke-19 menuju disebabkan oleh lokasi yang sama. Melalui
abad ke-20. Dalam pandangan Marshall, lokasi yang sama ini, perusahaan-perusahaan
sentra-sentra industri itu, yang di dalamnya yang ada di dalamnya secara mudah bisa
terdapat industri kecil dan menengah (IKM), memperoleh tenaga kerja yang dibutuhkan.
telah memperoleh keuntungan karena Lokasi yang sama juga akan memudahkan
berada di dalam suatu wilayah yang perusahaan-perusahaan itu berhubungan
berdekatan (geographical proximity). Di dengan para suppliers dan buyers.
antaranya adalah tersedianya tenaga kerja Relasi antar perusahaan yang ada di
yang memiliki ketrampilan khusus dan dalam kluster itu akan bersifat dinamis
sangat dibutuhkan oleh perusahaan- manakala perusahaan-perusahaan yang ada
perusahaan (labour pool) dan adanya di dalamnya mengadakan aksi bersama. Aksi
pertukaran informasi dan gagasan (knowledge bersama itu, khususnya, berkaitan dengan
spill-over) (Marshall, 1920:267-277). upaya untuk mengatasi masalah bersama.
Keuntungan-keuntungan yang didapat Ketika IKM itu menghadapi masalah
dari kedekatan dengan perusahaan- permodalan, misalnya, mereka bisa
perusahaan lain itu disebut penghematan membentuk kelompok dan membuat
eksternal (external economies). Keuntungan kerangka kerja penjaminan bersama ketika
demikian berbeda dengan keuntungan harus berhubungan dengan bank-bank yang
akibat penghematan internal (internal econo- akan memberi pinjaman. Demikian juga
mies), yakni penghematan-penghematan ketika menghadapi masalah-masalah lain
biaya yang terjadi di dalam suatu unit seperti masalah teknologi dan pemasaran

INSAN Vol. 7 No. 3, Desember 2005


221
Mengembangkan Industri Kecil Menengah Melalui Pendekatan Kluster

hasil-hasil produksi. Supratikno, lebh dari 90 persen kluster


Di dalam aksi bersama itu tidak berarti industri di Indonesia terkatagori di dalam
bahwa semua perusahaan-perusahaan yang kelompok ini. Kedua adalah ‘active cluster’.
ada di dalam kluster industri itu serentak Kelompok kedua ini mulai mampu
melakukan hal yang sama. Aksi bersama itu memperbaiki teknologi yang dimiliki dan
bisa dilakukan oleh sekelompok kecil memperbaiki kualitas produksinya. Tetapi
perusahaan. Di dalam proses produksi, produk-produknya masih cenderung
misalnya, ada perusahaan-perusahaan yang dipasarkan di dalam negeri. Ketiga adalah
melakukan penggarapan sampai setengah ‘dynamic cluster’. Di samping mulai mampu
jadi, sedangkan proses penyelesiannya (fin- memperbaiki teknologi dan kualitas
ishing) bisa dilakukan oleh perusahaan- teknologi, kluster kelompok ini mulai
perusahaan yang lain. Dengan demikian, mampu membangun jaringan di dalam
antara perusahaan yang satu dengan memasarkan produknya di luar negeri.
perusahaan yang lain terdapai relasi yang Terakhir adalah ‘modern or advanced cluster’.
saling menguntungkan. Kelompok demikian telah mampu
Di Indonesia, sebagian besar kluster menerapkan teknologi tingkat tinggi guna
industri yang ada lebih cenderung hanya memproduksi barang-barang yang
sampai pada perolehan keuntungan yang berkualiats dan mampu memasarkan
disebabkan oleh lokasi yang sama (external produknya, baik di pasar domestik maupun
economies). Sementara itu, tambahan internasional.
keuntungan lainnya, yaitu adanya joint action Melihat realitas seperti itu, upaya
antara perusahaan yang satu dengan mengembangkan sektor industri melalui
perusahaan yang lain masih jarang pendekatan kluster masih memerlukan kerja
ditemukan. Studi yang dilakukan oleh Hastu keras. Hal ini terjadi karena sebagian besar
Prabatmodjo (1999) di industri kerajinan kluster industri di Indonesia masih bercorak
kulit di Cibaduyut, misalnya, menemukan pasif dan lebih mengandalkan external econo-
fakta bahwa kompetisi di antara industri- mies. Upaya yang perlu dilakukan adalah
industri yang ada itu lebih mengedepan bagaimana mengangkat kluster industri itu
daripada kerjasama. Konsekuensinya, terjadi sehingga bisa bercorak yang lebih dinamis,
persaingan yang tidak sehat. Implikasi dari kalaupun tidak sampai yang bercorak mod-
realitas demikian adalah bahwa kluster ern.
industri yang ada di Indonesia masih Tetapi, upaya itu jelas tidak mudah
cenderung pasif dan belum dinamis. dilakukan. Untuk menumbuhkan
Supratikno (2004:124-25) terdapatnya joint action, misalnya, dibutuhkan
mengklasifikasikan kluster industri di Indo- adanya modal sosial (social capital) yang kuat,
nesia ke dalam empat kelompok. Yang yakni adanya saling percaya (trust) antara
pertama adalah apa yang dia sebut sebagai perusahaan yang satu dengan perusahaan
‘dormant cluster’, yang sebagian besar yang lain. Dengan demikian, masing-masing
didominasi oleh sektor informal. Menurut perusahaan tidak hanya berpikir bagaimana

INSAN Vol. 7 No. 3, Desember 2005


222
Kacung Marijan

memajukan diri sendiri, malainkan berpikir dimilikinya, di samping memiliki


tentang bagaimana maju bersama-sama. kemampuan mengembangkan jaringan (net-
Perasaan demikian mungkin bisa working) dengan para pelaku di pasar
terbangkitkan manakala masing-masing internasional.
menyadari bahwa mereka harus bersaing Memahami saran terakhir Schmitz itu,
dengan perusahaan-perusahaan besar yang upaya mengembangkan kluster industri
ada di luar kluster dan produk-produk semakin berat. Pemerintah perlu secara terus
impor. Melalui joint action, mereka bisa menerus mendorong adanya teknologi baru
mendiskusikan permasalahan-permasalahan bagi kluster industri yang ada, di samping
yang mereka hadapi dan merumuskan tersedianya kualitas tenaga kerja yang
langlah bersama tentang bagaimana memadai. Meperintah juga perlu terus
memecahkannya. menerus mengingatkan pada pelaku industri
Secara kultural, kita sebenarnya di kluster tentang pentingnya modal sosial
memiliki landasan untuk mengembangkan di dalam berusaha. Kalau tidak, industri-
modal sosial seperti itu. Misalnya saa, kita industri yang ada di Indonesia bukan hanya
pernah memiliki budaya gotong royong, kita tidak akan mampu bersaing di pasar
juga menganut agama yang menganjurkan internasional, melainkan juga akan tergilas
berbuat jujur, saling menghormati, dan suka di negeri sendiri. Yang terakhir ini terjadi
tolong menolong antara satu dengan yang seiring dengan masuknya produk-produk
lain. Sayangnya, nilai-nilai yang impor secara besar-besaran, baik yang legal
memungkinkan munculnya joint action itu maupun yang illegal.
justru sering kita abaikan. Konsekuensinya,
seperti yang terjadi di Cibaduyut itu, kluster Penutup
industri di Indonesia kurang mampu Potensi IKM di Indonesia sebenarnya
berkembang secara baik. Konsekuensinya, sangat besar. Hanya saja, potensi yang besar
IKM di Indonesia akan terus kesulitan itu belum termaksimalkan. Salah satu
berkembang menjadi industri-industri yang kelemahan dari sektor industri yang
mampu bersaing di pasar internasional. mengelompok (clustered) adalah bahwa
Belakangan Huber Schimitz (1995a) mereka cenderung hanya menikmati
sendiri menyadari bahwa kluster industri itu keuntungan-keuntungan akibat lokasi yang
tidak hanya membutuhkan apa yang disebut sama (external economies). Mereka belum
sebagai efisiensi kolektif guna menjadikan maksimal memanfaatkan jaringan untuk
dirinya sebagai kluster yang dinamis. bekerjasama (joint action) guna memecahkan
Bagaimanapun juga, kluster industri itu permasalahan-permasalahan yang mereka
harus mampu bersaing di pasar internasional hadapi.
untuk memasarkan produk-produknya. Ke depan, agar IKM itu bisa terus
Untuk itu, kluster industri itu perlu selalu tumbuh berkembang, langkah strategis yang
melakukan perbaikan (upgrading) terhadap perlu dilakukan adalah mendorong
teknologi dan kualitas produk yang munculnya modal sosial di antara pelaku

INSAN Vol. 7 No. 3, Desember 2005


223
Mengembangkan Industri Kecil Menengah Melalui Pendekatan Kluster

usaha di kelompok kluster, upgrading Levitsky, J., 2001. ‘Innovations in the Financ-
teknologi dan kualitas produk, dan network- ing of Small and Microenterprises in
ing di pasar internasional. Developing Countries’, SED Working
Paper No 22/E, Geneva.
Daftar Pustaka Maddison, A., 1989. ‘Dutch income in and
from Indonesia, 1700-1938’, dalam A.
Aswicahyono, H., 1997. ‘Transformation and Maddison and G. Prince (eds), Economic
Structural Change in Indonesia’s Manu- Growth in Indonesia, 1820-1940, Foris
facturing Sector’, dalam M.E. Pangestu Publications, Dordrecht:15-41.
and Y. Sato (eds), Waves of Change in Marshall, A., 1920. Principles of Economics, 8,
Indonesia’s Manufacturing, Institute of De- MacMilland and Co., London.
veloping Economies, Tokyo:1-28. Pangestu, M.E., 1996. ‘Financing Small Sscale
Bolnick, B.R., 1982. ‘Concessional Credit for Business: the Indonesian Experience’,
Small Scale Enterprise’, Bulletin of Indo- dalam M.E. Pangestu (ed.), Small Scale
nesian Economics Studies, 18(2):65-85. Business Development and Competition Policy,
Grizzell, S., 1988. ‘Promoting Small Scale CSIS, Jakarta:27-46.
Manufacturing in Indonesia: What Pangestu, M.E. and Sato, Y., 1997. ‘Introduc-
Works?’ DPS Research Memo No. 17, tion’, dalam M.E. Pangestu and Y. Sato
Jakarta. (eds), Waves of Change in Indonesia’s Manu-
Hamid, A., 1991. ‘The Development of Small facturing Industry, Institute of Develop-
Scale Industries in Indonesia: View on ing Economies, Tokyo:xi-xvi.
Central Government Policies,’ V.R.F. Poot, H., Kuyvenhoven, A. and Jansen, J.C.,
Series No 184, Yokyo. 1990. Industrialisation and Trade in Indone-
Hayashi, M., 2002. ‘SME Development and sia, Gadjah Mada University Press,
Subcontracting in Indonesia : A Com- Yogyakarta.
parison with Japan’s Historical Experi- Porter, M.E., 1990. The Competitive Advantage
ence,’ PhD Thesis, The Australian Na- of Nations, Free Press, New York.
tional University, Canberra. Prabatmodjo, H., 1999. ‘Prospects for Flex-
Hill, H., 2001. ‘Small and Medium Enterprises ible Specialisation in Less Developed
in Indonesia’, Asian Survey, 41(2):248-70. Countries: the Case of Small Scale of
Fotwear Production in Cibaduyut,
Hughes, H., 1984. ‘Industrialization and De- Bandung, Indonesia,’ PhD Thesis, Uni-
velopment: A Stocktaking’, dalam P.K. versity of Queensland, Queensland.
Gosh (ed.), Industrialization and Develop- Sandee, H., 1995. ‘Innovation Adoption in
ment, Greenwood Press, Westport:5-29. Rural Industry: Technological Change
Klapwijk, M., 1997. ‘Rural Industry Clusters in Roof Tile Clusters in Central Java,’
in Central Java, Indonesia: An Empiri- PhD Thesis, Vrije Univrsiteit, Vrije.
cal Assessment of Their Role in Rural Schmitz, H., 1995a. ‘Small Shoemakers and
Industrialization,’ PhD Thesis, Vrije Fordist Giants: Tale of a Supercluster’,
Universiteit, Amsterdam. World Development, 23(1):9-28.

INSAN Vol. 7 No. 3, Desember 2005


224
Kacung Marijan

Schmitz, H., 1995b. ‘Collective Efficiency: Thee, K.W., 1989. Cooperation in Small and
Growth Path for Small Scale Industry’, Medium Scale Industries in Asean Technol-
The Jour nal of Development Studies, ogy, Part B, PEP-LIPI.
31(4):529-66. Thee, K.W., 1993. ‘Industrial Structure and
Schmitz, H. and Nadvi, K., 1999. ‘Clustering Small and Medium Enterprises Devel-
and Industrialization: Introduction’, opment in Indonesia’, EDI Working Pa-
World Development, 27(9):1503-14. pers, Washington.
Supratikno, H., 2004. ‘The development of Weijland, H., 1999. ‘Microenterprise Clusters
SME Clusters in Indonesia’, dalam D. in Rural Indonesia: Industrial Seedbed
Hew and L.W. Nee (eds), Entrepreneur- and Policy Target’, World Development,
ship and SMEs in Southeast Asia, ISEAS, 27(9):1515-30.
Singapore:119-30.
Tambunan, T., 2000. Development of Small-Scale
Industries During the New Order Government
in Indonesia, Ashgate, Singapore.

INSAN Vol. 7 No. 3, Desember 2005


225

Anda mungkin juga menyukai