Anda di halaman 1dari 2

PENGARUH BOBOT RIMPANG DAN TEMPAT PENYIMPANAN

TERHADAP MUTU BIBIT RIMPANG JAHE (Zingiber officinale Rosc.)

I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Jahe (Zingiber officinale Rosc.) merupakan salah satu tanaman rempah asli
Indonesia. Jahe sudah lama dibudidayakan dan dikonsumsi oleh masyarakat. Bagian
tanaman jahe yang dikonsumsi adalah bagian rimpangnya. Rimpang jahe berserat
lembut, beraroma tajam, dan berasa pedas. Rimpang jahe memiliki kandungan 58%
pati, 8% protein, 3-5% oleoresin dan 1-3% minyak atsiri (Rukmana, 2000). Jahe
banyak dibudidayakan untuk tujuan obat tradisional seperti jamu dan minuman
penghangat; di bidang farmasi oleoresin dan minyak atsirinya dimanfaatkan sebagai
campuran obat; di rumah tangga biasa digunakan sebagai bumbu masak dan asinan.
Jahe juga memberikan devisa yang cukup besar dari hasil ekspor. Data BPS pada
tahun 2013 menunjukkan bahwa nilai ekspor jahe pada tahun 2011 sebesar US$
1.209.189 dan mengalami kenaikan pada tahun 2012 menjadi sebesar US$ 1.357.846
(Anonim, 2014).
Salah satu permasalahan dalam budidaya jahe di Indonesia adalah masih
rendahnya produktivitas dan mutu jahe. Produktivitas rata-rata jahe nasional adalah
5-6 ton/ha (setara 109-127 gram bobot rimpang per rumpun) (Anonim, 2004).
Rendahnya produktivitas jahe selain disebabkan oleh cara budidaya yang belum
optimal, juga disebabkan oleh penggunaan bahan tanam yang kurang bermutu.
Bahan tanam merupakan pembawa karakter genetik tanaman yang menentukan batas
tertinggi dari potensi hasil dan mempengaruhi efektivitas dari input output pertanian
(Sukarman dan Melati, 2011).
Bahan tanam jahe adalah bibit yang berasal dari perbanyakan vegetatif hasil
panen sebelumnya. Petani jahe biasanya memanen jahe untuk keperluan bibit pada
bulan Juli-Agustus dan menyimpan selama 3-4 bulan untuk keperluan musim tanam
berikutnya pada musim hujan bulan Oktober-November. Bibit jahe berupa rimpang
harus diproses dan disimpan sebaik mungkin agar mutunya dapat dipertahankan
lebih lama dengan menghambat laju kemunduran bibit. Hal ini dilakukan karena
pada prinsipnya setelah masak fisiologis, mutu bibit tidak dapat ditingkatkan lagi,
hanya dapat dipertahankan (Sukarman dan Melati, 2011). Namun di tingkat petani,
penyimpanan masih seadanya. Rimpang untuk bibit hanya ditumpuk di atas lantai
atau dimasukkan ke dalam karung goni, dan disimpan seadanya. Penyimpanan yang
tidak memadai tersebut bisa menurunkan mutu rimpang jahe.
Menurut Hasanah dan Rusmin (2006), jahe termasuk benih rekalsitran,
sehingga tidak dapat disimpan dalam waktu lama, tidak tahan jika disimpan pada
suhu dingin, dan jika kadar airnya diturunkan sampai di bawah kadar air kritis.
Selama di penyimpanan, rimpang akan mengalami penyusutan bobot. Rimpang yang
memiliki bobot awal paling berat akan memiliki pertumbuhan lebih baik dikarenakan
masih memiliki cadangan makanan lebih banyak. Namun semakin berat rimpang,
maka semakin banyak hasil panen yang dialihkan untuk produksi bibit. Hal ini akan
merugikan petani karena rimpang yang digunakan untuk tujuan konsumsi semakin
sedikit.
Sampai saat ini penelitian mengenai mutu bibit jahe hanya untuk mengetahui
pengaruh bobot bibit terhadap komponen hasil. Belum ada penelitian yang bertujuan
mengetahui pengaruh antara bobot bibit pada cara penyimpanan yang berbeda. Oleh
karena itu penelitian ini bertujuan mengetahui hubungan antara bobot bibit saat
penyimpanan dengan cara penyimpanan terhadap mutu bibit jahe dan untuk
mengetahui bobot rimpang yang memiliki berat optimal untuk penyimpanan.

B. Tujuan Penelitian
1. Mengetahui bobot rimpang yang terbaik dan tempat penyimpanan jahe yang
terbaik, agar rimpang memiliki mutu bibit yang terbaik.
2. Mengetahui pengaruh kombinasi bobot rimpang dan tempat penyimpanan
terhadap mutu bibit rimpang jahe.

C. Manfaat Penelitian
Membantu petani menentukan cara penyimpanan jahe yang paling baik,
sehingga dapat memperpanjang masa simpan jahe hingga waktu tanam.

Anda mungkin juga menyukai