Pembelaannya itu membuat Belanda makin marah. Sehingga pada Juli 1930,
PNI pun dibubarkan. Setelah bebas pada tahun 1931, Soekarno bergabung dengan
Partindo dan sekaligus memimpinnya. Akibatnya, beliau kembali ditangkap
Belanda dan dibuang ke Ende, Flores, tahun 1933. Empat tahun kemudian
dipindahkan ke Bengkulu.
Setelah melalui perjuangan yang cukup panjang, Bung Karno dan Bung Hatta
memproklamasikan kemerdekaan RI pada 17 Agustus 1945. Dalam sidang BPUPKI
tanggal 1 Juni 1945, Ir.Soekarno mengemukakan gagasan tentang dasar negara yang
disebutnya Pancasila. Tanggal 17 Agustus 1945, Ir Soekarno dan Drs. Mohammad
Hatta memproklamasikan kemerdekaan Indonesia. Dalam sidang PPKI, 18 Agustus
1945 Ir.Soekarno terpilih secara aklamasi sebagai Presiden Republik Indonesia yang
pertama.
Tokoh Kontroversial
Sebagai sosok yang memiliki prinsip tegas, Bung Karno kerap dianggap
sebagai tokoh kontroversial. Maka tak heran jika dia memiliki lawan maupun kawan
yang berani secara terang-terangan mengritik maupun membela pandangannya. Di
mata lawan-lawan politiknya di Tanah Air, ia dianggap mewakili sosok politisi
kaum abangan yang “kurang islami”. Mereka bahkan menggolongkannya sebagai
gembong kelompok “nasionalis sekuler”.
Akan tetapi, di mata Syeikh Mahmud Syaltut dari Cairo, penggali Pancasila
itu adalah Qaida adzima min quwada harkat al-harir fii al-balad al-Islam (Pemimpin
besar dari gerakan kemerdekaan di negeri-negeri Islam). Malahan, Demokrasi
Terpimpin, yang di dalam negeri diperdebatkan, justru dipuji oleh syeikh al-Azhar
itu sebagai, “lam yakun ila shuratu min shara asy syuraa’ allatiy ja’alha al-Qur’an
sya’ana min syu’un al-mu’minin” (tidak lain hanyalah salah satu gambaran dari
permusyawaratan yang dijadikan oleh Al Quran sebagai dasar bagi kaum beriman).
Memang, pembelaan Bung Karno terhadap kaum tertindas tidak hanya untuk
negerinya namun juga negeri lain. Itulah sebabnya, mengapa ia dipuja habis oleh
bangsa Arab yang tengah menghadapi serangan Israel kala itu. Bung Karno
dianggap sebagai pemimpin kaum Muslim. Padahal, di dalam negeri sendiri ia
kerap dipandang lebih sebagai kaum abangan daripada kaum santri.
Dalam hal ini elok dikutip pendapat Clifford Geertz Islam Observed (1982):
“Gaya religius Soekarno adalah gaya Soekarno sendiri.” Betapa tidak? Kepada
Louise Fischer, Bung Karno pernah mengaku bahwa ia sekaligus Muslim, Kristen,
dan Hindu. Di mata pengamat seperti Geertz, pengakuan semacam itu dianggap
sebagai “bergaya ekspansif seolah-olah hendak merangkul seluruh dunia”.
Sebaliknya, ungkapan semacam itu-pada hemat BJ Boland dalam The Struggle of
Islam in Modern Indonesia (1982)- “hanya merupakan perwujudan dari perasaan
keagamaan sebagian besar rakyat Indonesia, khususnya Jawa”. Bagi penghayatan
spiritual Timur, ucapan itu justru “merupakan keberanian untuk menyuarakan
berbagai pemikiran yang mungkin bisa dituduh para agamawan formalis sebagai
bidah”.
Sistem Politik
Soekarno memiliki pandangan
mengenai sistem politik yang didukungnya
adalah yang paling “cocok” dengan
“kepribadian” dan “budaya” khas bangsa
Indonesia yang konon mementingkan kerja
sama, gotong-royong, dan keselarasan.
Dalam retorika, ia mengecam
“individualisme” yang katanya lahir dari
liberalisme Barat. Individualisme itu
melahirkan egoisme, dan ini terutama
dicerminkan oleh pertarungan antarpartai.
Kenyataan ini membuat Soekarno makin curiga pada partai politik karena dia
menganggap Masyumi, dan juga PSI, terlibat dalam beberapa pemberontakan
daerah.
Kemudian, Soekarno mendekritkan kembalinya Indonesia pada UUD 1945 karena
kegagalan Konstituante untuk memutuskan UUD baru untuk Indonesia, akibat
perdebatan berlarut-larut, terutama antara kekuatan nasionalis sekuler dan
kekuatan Islam mengenai dasar Negara
Dengan kata lain, sebagai guru bangsa ia tak suka hanya berkutat di dunia
teori, tetapi juga menceburkan diri ke realitas kehidupan sehari-hari bangsanya.
Bung Karno selalu berupaya keras mempertemukan “buku” dengan “bumi,”
menatapkan teori-teori sosial-politik dengan realitas keseharian manusia Indonesia
yang sedang ia perjuangkan.
Bung Karno terus mempererat kaitan teori dan praksis, refleksi dan aksi.
Mungkin inilah salah satu faktor yang membedakannya dari pemimpin lain, baik
yang sezamannya maupun sesudahnya.
Perlu diingat, lepas dari apakah orang setuju atau tidak dengan uraian dan
gagasannya, satu hal tak dapat diragukan tentang Soekarno: ia bukan seorang
pejabat yang korup. Sulit dibayangkan, Soekarno suka menduduki posisi-posisi
tertentu di pemerintahan karena ingin mencuri uang rakyat atau menumpuk
kekayaan untuk diri sendiri.
1. Kita bangsa besar, kita bukan bangsa tempe. Kita tidak akan mengemis, kita
tidak akan minta-minta apalagi jika bantuan-bantuan itu diembel-embeli
dengan syarat ini syarat itu ! Lebih baik makan gaplek tetapi merdeka, dari
pada makan bestik tetapi budak. [Pidato HUT Proklamasi, 1963]
2. Bangsa yang besar adalah bangsa yang menghormati jasa pahlawannya.
(Pidato Hari Pahlawan 10 Nop.1961)
3. Perjuanganku lebih mudah karena mengusir penjajah, tapi perjuanganmu
akan lebih sulit karena melawan bangsamu sendiri.
4. Jadikan deritaku ini sebagai kesaksian, bahwa kekuasaan seorang presiden
sekalipun ada batasnya. Karena kekuasaan yang langgeng hanyalah kekuasaan
rakyat. Dan diatas segalanya adalah kekuasaan Tuhan Yang Maha Esa.
5. Apabila di dalam diri seseorang masih ada rasa malu dan takut untuk berbuat
suatu kebaikan, maka jaminan bagi orang tersebut adalah tidak akan
bertemunya ia dengan kemajuan selangkah pun.
6. Bangsa yang tidak percaya kepada kekuatan dirinya sebagai suatu bangsa,
tidak dapat berdiri sebagai suatu bangsa yang merdeka.
7. ……….Bangunlah suatu dunia di mana semua bangsa hidup dalam damai dan
persaudaraan……
8. Janganlah mengira kita semua sudah cukup berjasa dengan segi tiga warna.
Selama masih ada ratap tangis di gubuk-gubuk pekerjaan kita selesai !
Berjuanglah terus dengan mengucurkan sebanyak-banyak keringat.
9. Berikan aku 1000 orang tua, niscaya akan kucabut semeru dari akarnya,
berikan aku 1 pemuda, niscaya akan kuguncangkan dunia
10. Tidak seorang pun yang menghitung-hitung: berapa untung yang kudapat
nanti dari Republik ini, jikalau aku berjuang dan berkorban untuk
mempertahankannya
11. Janganlah melihat ke masa depan dengan mata buta! Masa yang lampau
adalah berguna sekali untuk menjadi kaca bengala dari pada masa yang akan
datang.