PENDAHULUAN
2.1 Etiologi
Fistula enterokutan (ECF) dapat terjadi sebagai komplikasi pembedahan pada
saluran cerna dimana lebih dari 75% merupakan komplikasi pasca operasi, sedangkan
sekitar 15-25% disebabkan oleh trauma abdomen atau terjadi secara spontan yang
berkaitan dengan kanker, radiasi, inflammatory bowel disease (IBD), atau disebabkan
oleh suatu keadaan iskemik atau infektif. Etiologi ECF dapat dikelompokkan menjadi
postoperatif, traumatis, atau spontan.4
a. Postoperatif
Penyebab ECF postoperatif meliputi:
Gangguan pada anastomosis
Inadvertent enterotomy, terutama pada pasien dengan adhesi.
Inadvertent small-bowel injury, yang biasa terjadi ketika dilakukan
penutupan rongga abdomen
Gangguan anastomosis dapat disebabkan oleh aliran darah yang tidak adekuat
karena pengelolaan vaskular yang tidak tepat, terutama jika dilakukan ligasi arteri
mesenterika. Tension yang berlebihan ketika dilakukan reseksi kolon, mobilitias usus
yang kurang baik, atau adanya infeksi dapat menyebabkan pembentukan abses
perianastomik, yang dapat menyebabkan kelainan ini. Selain itu, jika anastomosis
dilakukan pada usus yang tidak bagus juga dapat menyebabkan ECF.4,5
Inadvertent small-bowel injury ketika dilakukan penutupan rongga abdomen
dapat menimbulkan fistula pada usus kecil. Hal ini terutama terjadi pada pasien yang
dilakukan open inlay mesh atau intraperitoneal onlay mesh repair secara laparoskopi.
Jika viscera bersentuhan dengan mesh tersebut, dapat menyebabkan adhesi dan juga
menyebabkan terjadinya gangguan.4
b. Traumatis
Adanya ECF traumatis akibat trauma bedah iatrogenik biasanya jarang ditemukan.
Kecelakaan lalu lintas dengan trauma pada usus juga dapat menyebabkan terjadinya
ECF.
c. Spontan
ECF spontan dapat ditemukan pada sekitar 15-25% kasus, yang disebabkan oleh
hal-hal berikut:
• Keganasan
• Radiasi
• Sepsis intra-abdomen
• IBD (Crohn disease)
Ulcerative colitis (UC) juga dapat menyebabkan ECF spontan, namun kebanyakan
kasus merupakan sebagai komplikasi dari proctocolectomy restoratif.
Fistula enterokutan bisa timbul secara spontan dari usus yang sudah tidak sehat
akibat proses keganasan, tetapi kebanyakan timbul paska operatif akibat kebocoran
anastomosis atau trauma operasi pada usus. 5
Kebocoran anastomosis usus dapat terjadi akibat :
1. Teknik operasi yang tidak baik
2. Jahitan yang terlalu tegang
3. Obstruksi bagian distal
4. Penyakit malignansi pada sisi anastomose
5. Malnutrisi, Sepsis .
Late
• Terjadi diatas 5 hari post-operatif
• Disebabkan oleh gangguan penyembuhan luka, Nutrisi, post-radiasi, dan
penyebab lainnya
2.3 Komplikasi
Pasien dengan ECF dapat memiliki komplikasi terkait, seperti sepsis, imbalance
cairan dan elektrolit, serta malnutrisi. Keadaan seperti kontaminasi peritoneal ekstensif
atau peritonitis generalisata dapat menyebabkan terjadinya sepsis berat.7,8
Kebocoran cairan enterik yang kaya akan protein, sepsis intra-abdomen, atau
ileus paralitik akibat imbalance elektrolit, menyebabkan berkurangnya asupan gizi
pasien, yang dapat mengakibatkan terjadinya malnutrisi. Hampir 70% pasien dengan
ECF dalam keadaan malnutrisi. Sepsis, malnutrisi, dan imbalance elektrolit merupakan
faktor utama penyebab kematian pada pasien dengan ECF. Semakin besar output dari
fistula tersebut akan meningkatkan kemungkinan imbalance cairan dan elektrolit serta
malnutrisi.8
2.4 Pemeriksaan Laboratorium
Penelitian laboratorium berikut dilakukan dalam evaluasi fistula enterokutan (ECF):1
2.5 Imaging
a. Fistulografi
Ketika dilakukan fistulografi, kontras akan disuntikkan ke dalam fistel tersebut.
Gambar 1. Fistulografi
b. Computed tomography
Computed tomography (CT) berguna dapat memperlihatkan rongga abses intra-
abdominal. Jika ECF berkaitan dengan sepsis intra-abdominal, abses interloop juga
dapat ditemukan.
c. Pemeriksaan lainnya
Selain pemeriksaan diatas, juga dapat dilakukan pemeriksaan sederhana per oral
yang dapat digunakan sebagai upaya mengkonfirmasi adanya ECF. Metilen blue yang
diencerkan dalam larutan garam dapat diberikan melalui tabung nasogastrik untuk
memastikan adanya ECF, terutama pada pasien dengan fistula duodenal-gastrokutan.
Namun, dikarenakan metilen blue dapat diencerkan oleh sekresi usus, perannya dalam
mengidentifikasi ECF distal menjadi terbatas.
2.6 Tatalaksana
Terapi konvensional ECF pada fase awal selalu konservatif. Terapi bedah
biasanya dilakukan setelah terapi konservatif gagal karena mayoritas ECF dapat
menutup secara spontan setelah mendapatkan terapi konservatif. Penanganan penderita
FEK dimulai dengan tindakan konservatif, kecuali ada indikasi untuk dilakukan
tindakan operasi segera, yaitu peritonitis umum dan perdarahan. Tindakan operatif
diperlukan apabila terdapat obstruksi bagian distal, kantong abses, kontinuitas terputus,
fistula mukokutaneus atau dengan perawatan konservatif selama lebih dari 6 minggu
atau tidak sembuh . Tindakan operatif berupa laparatomi eksplorasi, reseksi
anastomosis, atau dengan diversi eksterna.1,8,9
a. Terapi Konservatif
Tatalaksana awal fistula enterokutan berfokus pada koreksi imbalance cairan dan
elektrolit, drainase abses dan manajemen infeksi, koreksi malnutrisi, dan kontrol fistula
dan perawatan kulit . Sekitar sepertiga fistula enterokutan akan sembuh secara spontan
setelah lima sampai enam minggu mendapatkan terapi konservatif.9
Lamanya penutupan fistula spontan bervariasi tergantung dari penyebab dan volume
fistula serta tergantung pada vaskularisasi organ. Obstruksi distal, terjadinya epitelisasi
fistel, infeksi, dan keganasan merupakan penghambat penutupan spontan.
Koreksi hipovolemia agresif harus dilakukan pada beberapa jam pertama
pengobatan. Pengukuran elektrolit dalam cairan fistula juga akan membantu untuk
menyusun rencana koreksi. Hipokalemia merupakan kelainan elektrolit yang paling
umum. Kehilangan cairan akibat fistula keluarnya cairan enteric dalam jumlah yang
besar harus diganti dengan suplementasi isotonik sesuai dengan kadar elektrolit. Selain
itu fistula duodenum atau pankreas dapat memerlukan pemberian bikarbonat karena
dapat menyebabkan terjadinya asidosis metabolik.
Drainase biasanya dipasang pada dinding anterior abdomen. Namun, adanya abses
jauh di dalam panggul atau tertutup oleh organ lain dapat diakses dengan berbagai
pendekatan, termasuk transgastric, transrectal, transvaginal, dan transgluteal. Kateter
drainase biasanya dipasang hingga produksi drainase kurang dari 10 mL dalam 24 jam
yang dapat dicapai dalam waktu 30 hari. Fistulogram melalui kateter selama periode ini
dapat memberikan gambaran serta penilaian resolusi fistula. Intervensi bedah
diperlukan jika perbaikan tidak terjadi.
b. Pembedahan
Jika setelah lima atau enam minggu pasien tidak mencapai resolusi fistula
menggunakan manajemen konservatif, dapat dipertimbangkan untuk dilakukan
pembedahan. Tujuan pembedahan pada pasien dengan fistula enterokutan adalah untuk
membangun kembali kontinuitas usus dan penutupan abdomen secara sempurna.
Sebelum dilakukan tindakan operatif, pasien tersebut harus memiliki nutrisi yang
cukup, bebas dari infeksi, dan memiliki cakupan jaringan lunak yang baik. Penting
untuk memperhatikan bahwa secara teknis pasien layak untuk dilakukan prosedur ini
tanpa menimbulkan risiko cedera yang lebih tinggi pada usus atau struktur penting
lainnya. 9
Perencanaan tindakan pembedahan dapat berbeda berdasarkan lokasi anatomis
dari fistula tersebut. Waktu rata-rata dilakukan penutupan fistula sebagai berikut:
Esophagus : 15-25 hari
Duodenum : 30-40 hari
Kolon : 30-40 hari
Jejunum : 40-60 hari
2.7 Prognosis
ECF merupakan kondisi umum yang banyak ditemukan di bangsal bedah umum.
Mortalitas keadaan ini telah berkurang secara signifikan akibat kemajuan perawatan
intensif, dukungan nutrisi, terapi antibiotik, perawatan luka, dan teknik operasi. Meski
begitu, mortalitas ECF masih tinggi berkisar antara 30-35%, terutama pada pasien
dengan ECF output tinggi.6,7
Morbiditas terkait prosedur operasi atau penyakit primer akan mengalami
peningkatan, yang dapat mempengaruhi kualitas hidup pasien, memperpanjang masa
rawatan, serta meningkatkan biaya perawatan secara keseluruhan. Malnutrisi, sepsis,
dan imbalance elektrolit merupakan penyebab utama kematian pada pasien dengan
ECF.6
Jika sepsis tidak dapat dikontrol, dapat menimbulkan kemunduran progresif
yang akan menyebabkan septikemia. Komplikasi terkait sepsis lainnya meliputi abses
intra-abdomen, infeksi jaringan lunak, dan peritonitis generalisata. Akan tetapi pasien
yang mengalami penutupan spontan memiliki prognosis yang baik dan serta mortalitas
yang lebih rendah.
Daftar Pustaka