Anda di halaman 1dari 23

LAPORAN KASUS

RSUD DR. AGOESDJAM KETAPANG

Dokter Internship : dr. John Esmar Jikow Gultom


Dokter Pembimbing : dr. Theresia, dr. Feria Kowira

1. Identitas
Nama : Tn. U
Jenis kelamin : Laki-laki
Umur : 46 tahun
Alamat : Jl. Rahadi Ismail RT 03/RW 2 Desa Padang Ketapang
Agama : Islam
Tanggal masuk RS : 3 Maret 2018 pukul 14.49 WIB

2. Anamnesis
Keluhan Utama
Nyeri ulu hati
Riwayat Penyakit Sekarang
Pasien datang ke IGD dengan keluhan nyeri ulu hati sejak satu hari sebelum masuk rumah
sakit. Nyeri dirasakan semakin memberat. Nyeri menjalar dari ulu hati ke dada dan bagian
punggung atas. Nyeri sedikit berkurang ketika pasien diberikan makanan. Nyeri dirasakan
seperti ditusuk. Nyeri disertai rasa sesak ringan. Pasien juga merasakan pahit di mulut. Mual
(-), muntah (-), demam (-), BAB (+) warna hitam (-), BAK tidak ada keluhan.
Riwayat penyakit terdahulu
- Pasien belum pernah mengalami penyakit seperti ini sebelumnya.
- Pasien Mengaku pernah berobat ke RS dan di diagnosis pergeseran tulang belakang
dan sedang melakukan fisioterapi
- Riwayat penyakit diabetes mellitus dan penyakit jantung disangkal

Riwayat penyakit dalam keluarga


Tidak ada keluarga yang mengalami keluhan yang sama. Riwayat alergi, sakit jantung,
diabetes, dan penyakit kronik lainnya dalam keluarga tidak diketahui.

1
Riwayat sosial
Pasien sudah menikah dan memiliki dua orang anak laki-laki dan perempuan. Pasien bekerja
sebagai buruh dan berobat menggunakan BPJS. Pasien rutin mengkonsumsi kopi, merokok
kurang lebih satu bungkus per hari, makanan pedas dan bergadang, penggunaan obat-obatan
suntik terlarang disangkal.
3. Pemeriksaan Fisik
Keadaan umum : Tampak sakit sedang
Kesadaran : Compos mentis
Tanda vital : Nadi : 92 x/menit
Napas : 20 x/menit
Tekanan Darah : 120/90 mmHg
Suhu : 36 oC
Status generalis :
Mata : Konjungtiva anemis (-/-), sklera ikterik (-/-),
THT : Faring hiperemis (-), tonsil T1/T1, bibir sianosis (-)
Leher : Pembesaran KGB (-)
Dada : Tidak ada kelainan
Paru-paru :
Inspeksi : Pergerakan dinding dada simetris, retraksi sela iga (-), penggunaan
otot bantu pernapasan (-)
Palpasi : Vokal fremitus sinistra = dekstra
Perkusi : Sonor pada kedua lapang paru
Auskultasi :Suara napas dasar vesikular (+/+), Rhonki (-/-), Wheezing (-/-)
Jantung :
Inspeksi : Iktus kordis terlihat
Palpasi : iktus kordis teraba di 1 jari lateral sela iga 5 MCL Sinistra
Perkusi : batas jantung dalam batas normal
Auskultasi : S1 S2 regular, murmur (-), gallop (-)
Abdomen :
Inspeksi : Datar, kontur tampak simetris , hernia umbilikalis (-), inflamasi
umbilicalis (-), ekskoriasi (-), ulkus (-), striae (-) , skar (-), hematom (-),
gerakan peristaltic tidak tampak, pulsasi di epigastrium tidak tampak

2
Palpasi : Supel, defans muskular tidak ada, hepar dan limpa tidak teraba, Nyeri
tekan (+)

Perkusi : Timpani, shifting dullness tidak ada


Auskultasi : bising usus (+) 12kali/menit, peristaltic normal
Ekstremitas : Akral hangat (+/+), Edema (-/-) CRT <2 detik

4. Pemeriksaan Laboratorium
Pemeriksaan darah (3 Maret 2018)
o Hb : 14,4 gr/dl (N : 13 – 16 g/dl)
o Ht : 44,0 % (N : 40 – 48 %)
o Leukosit : 11.500 /uL (N : 5000 – 10000 / uL)
o Trombosit : 176.000 /uL (N : 150000 – 400000 /uL)
o Eritrosit : 5,40 juta/uL (N : 4,5 – 5,5 juta/uL)
o GDS : 84 mg /dl (N : <140 mg/dl)
o SGOT : 36 IU (N : < 38 IU)
o SGPT : 40 IU (N : < 41 IU)
Pemeriksaan EKG

3
5. Resume
Telah diperiksa seorang laki-laki berusia 46 tahun dengan keluhan keluhan nyeri ulu hati
sejak satu hari sebelum masuk rumah sakit. Nyeri dirasakan semakin memberat. Nyeri
menjalar dari ulu hati ke dada dan bagian punggung atas. Nyeri sedikit berkurang ketika
pasien diberikan makanan. Nyeri dirasakan seperti ditusuk. Nyeri disertai rasa sesak ringan.
Pasien juga merasakan pahit di mulut. Mual (-), muntah (-), demam (-), BAB (+) warna hitam
(-), BAK tidak ada keluhan
Pasien belum pernah mengalami penyakit seperti ini sebelumnya. Pasien Mengaku pernah
berobat ke RS dan di diagnosis pergeseran tulang belakang dan sedang melakukan fisioterapi
Riwayat penyakit keluarga seperti yang dialami pasien juga disangkal. Pasien rutin
mengkonsumsi kopi, merokok kurang lebih satu bungkus per hari, makanan pedas dan
bergadang, penggunaan obat-obatan suntik terlarang disangkal.
Dari hasil pemeriksaan fisik, pada pemeriksaan abdomen, hepar dan limpa tidak teraba,
Nyeri tekan (+) didaerah ulu hati.
Dari hasil pemeriksaan penunjang, didapatkan Hb 14,4 gr/dl, Leukosit 11.500.
6. Diagnosa Kerja
Sindrom Dispepsia e.c susp Gastritis Akut dd Ulkus Pepticum
7. Terapi
- IVFD RL 20 tpm
- Injeksi Omeprazole 40 mg / 12 jam IV
- Injeksi Santalgesik 1 amp / 8 jam IV
- Injeksi Ondansetron 4 mg/ 8 jam / k.p muntah IV
- Oral :
 Ulsafat syr 3x2 cth
8. Prognosis
Ad Vitam : Bonam
Ad functionam : Bonam
Ad sanationam : Bonam

4
9. Follow Up
Hari/ S O A P
Tanggal
Minggu, Nyeri Kes : CM Sindrom - IVFD RL 20 tpm
4-03- masih TD : 120/80 mmHg dispepsia - Injeksi Omeprazole
2018 dirasakan, - Abdomen nyeri 40 mg / 12 jam IV
menjadi tekan (+) - Injeksi Santalgesik
ringan saat daerah ulu hati, 1 amp / 8 jam IV
diberi BU (+) normal, - Injeksi Ondansetron
makan, timpani 4 mg/ 8 jam / k.p
sesak (+) muntah IV
BAB tidak - Oral :
lancar,  Ulsafat syr 3x2 cth
BAK
normal,
Nafsu
makan
turun
Senin, 5- Nyeri Kes : CM Sindrom - IVFD aminofluid 30
03-2018 masih TD : 120/80 mmHg dispepsia tpm
dirasakan, - Abdomen nyeri - Injeksi Omeprazole
sudah tekan (+) 40 mg / 12 jam IV
sedikit daerah ulu hati, - Injeksi Santalgesik
berkurang, BU (+) normal, 1 amp / 8 jam IV
sesak (+) timpani - Injeksi Ondansetron
BAB tidak 4 mg/ 8 jam / k.p
lancar, muntah IV
BAK - Oral :
normal,  Ulsafat syr 3x2 cth

Selasa, 6- Nyeri Kes : CM Sindrom - IVFD aminofluid 30


03-2018 masih TD : 120/80 mmHg dispepsia tpm
dirasakan, Abdomen nyeri tekan - Injeksi Omeprazole

5
sesak (-) (+) daerah ulu hati, BU 40 mg / 12 jam IV
BAB tidak (+) normal, timpani - Injeksi Santalgesik
lancar 3 1 amp / 8 jam IV
hari, BAK - Injeksi Ondansetron
normal, 4 mg/ 8 jam / k.p
muntah IV
- Oral :
 Ulsafat syr 3x2 cth
- Microlax supp

6
SINDROM DISPEPSIA

Definisi
Dispepsia merupakan sindrom atau kumpulan gejala atau keluhan yang terdiri dari
nyeri atau rasa tidak nyaman di ulu hati, kembung, mual, muntah, sendawa, rasa cepat
kenyang, perut rasa penuh atau begah.
Pengertian dispepsia terbagi dua, yaitu :
- Dispepsia organik, bila telah diketahui adanya kelainan organik sebagai
penyebabnya. Sindroma dispepsia organik terdapat kelainan yang nyata terhadap organ tubuh
misalnya tukak (luka) lambung, usus dua belas jari, radang pankreas, radang empedu, dan
lain-lain.
- Dispepsia non organik atau dispepsia fungsional, atau dispesia non ulkus, bila tidak jelas
penyebabnya. Dispepsi fungsional tanpa disertai kelainan atau gangguan struktur organ
berdasarkan pemeriksaan klinis, laboratorium, radiologi, dan endoskopi setelah 3 bulan
dengan gejala dispepsia.
Manifestasi Klinis
Klasifikasi klinis praktis, didasarkan atas keluhan/gejala yang dominan, membagi
dispepsia menjadi tiga tipe :
1. Dispepsia dengan keluhan seperti ulkus (ulkus-like dyspepsia), dengan gejala:
a. Nyeri epigastrium terlokalisasi
b. Nyeri hilang setelah makan atau pemberian antasid
c. Nyeri saat lapar
d. Nyeri episodik
2. Dispepsia dengan gejala seperti dismotilitas (dysmotility-like dyspesia), dengan gejala:
a. Mudah kenyang
b. Perut cepat terasa penuh saat makan
c. Mual
d. Muntah
e. Upper abdominal bloating (bengkak perut bagian atas)
f. Rasa tak nyaman bertambah saat makan
3. Dispepsia nonspesifik (tidak ada gejala seperti kedua tipe di atas).
Etiologi
Gangguan atau penyakit dalam lumen saluran cerna; tukak gaster atau duodenum,
gastritis, tumor, infeksi Helicobacter pylori.

7
Obat – obatan seperti anti inflamasi non steroid (OAINS), aspirin, beberapa antibiotic,
digitalis, teofilin dan sebagainya.
Penyakit pada hati, pankreas, system bilier, hepatitis, pancreatitis, kolesistetis kronik.
Penyakit sistemik: diabetes mellitus, penyakit tiroid, penyakit jantung koroner.
Bersifat fungsional, yaitu dispepsia yang terdapat pada kasus yang tidak terbukti
adanya kelainan atau gangguan organic atau structural biokimia, yaitu dispepsia fungsional
atau dispepsia non ulkus.
Klasifikasi Dispepsia Berdasarkan Etiologi
A. Organik
1. Obat-obatan
Obat Anti Inflamasi Non Steroid (OAINS), Antibiotik (makrolides,
metronidazole), Besi, KCl, Digitalis, Estrogen, Etanol (alkohol), Kortikosteroid,
Levodopa, Niacin, Gemfibrozil, Narkotik, Quinidine, Theophiline
2. Idiosinkrasi makanan (intoleransi makanan)
a. Alergi susu sapi, putih telur, kacang, makanan laut, beberapa jenis produk kedelai
dan beberapa jenis buah-buahan
b. Non-alergi
 Produk alam : laktosa, sucrosa, galactosa, gluten, kafein.
 Bahan kimia : monosodium glutamate (vetsin), asam benzoat, nitrit, nitrat.
Perlu diingat beberapa intoleransi makanan diakibatkan oleh penyakit
dasarnya, misalnya pada penyakit pankreas dan empedu tidak bisa mentoleransi
makanan berlemak, jeruk dengan pH yang relatif rendah sering memprovokasi gejala
pada pasien ulkus peptikum atau esophagitis.
3. Kelainan struktural
a. Penyakit oesophagus
 Refluks gastroesofageal dengan atau tanpa hernia
 Akhalasia
 Obstruksi esophagus
b. Penyakit gaster dan duodenum
 Gastritis erosif dan hemorhagik; sering disebabkan oleh OAINS dan sakit
keras (stres fisik) seperti luka bakar, sepsis, pembedahan, trauma, shock
 Ulkus gaster dan duodenum
 Karsinoma gaster
c. Penyakit saluran empedu

8
 Kholelitiasis dan Kholedokolitiasis
 Kholesistitis
d. Penyakit pankreas
 Pankreatitis
 Karsinoma pankreas
e. Penyakit usus
 Malabsorbsi
 Obstruksi intestinal intermiten
 Sindrom kolon iritatif
 Angina abdominal
 Karsinoma kolon
4. Penyakit metabolik / sistemik
a. Tuberculosis
b. Gagal ginjal
c. Hepatitis, sirosis hepatis, tumor hepar
d. Diabetes melitius
e. Hipertiroid, hipotiroid, hiperparatiroid
f. Ketidakseimbangan elektrolit
g. Penyakit jantung kongestif
5. Lain-lain
a. Penyakit jantung iskemik
b. Penyakit kolagen
B. Idiopatik atau Dispepsia Non Ulkus
Dispepsia fungsional
Keluhan terjadi kronis, tanpa ditemukan adanya gangguan struktural atau organik atau
metabolik tetapi merupakan kelainan fungsi dari saluran makanan.Termasuk ini adalah
dispepsia dismotilitas, yaitu adanya gangguan motilitas diantaranya; waktu pengosongan
lambung yang lambat, abnormalitas kontraktil, abnormalitas mioelektrik lambung, refluks
gastroduodenal. Penderita dengan dispepsia fungsional biasanya sensitif terhadap produksi
asam lambung yaitu kenaikan asam lambung.
Kelainan psikis, stress dan faktor lingkungan juga dapat menimbulkan dispepsia
fungsional.
Kelainan non organik saluran cerna:
o Gastralgia

9
o Dispepsia karena asam lambung
o Dispepsia flatulen
o Dispepsia alergik
o Dispepsia essensial
o Pseudoobstruksi intestinal kronik
o Kelainan susunan saraf pusat (CVD, epilepsi).
o Psikogen : Histeria, psikosomatik
Patofisiologi
Patofisiologi dispepsia non ulkus masih sedikit diketahui, beberapa faktor berikut
mungkin berperan penting (multifaktorial):
 Abnormalitas Motorik Gaster
Dengan studi Scintigraphic Nuklear dibuktikan lebih dari 50% pasien dispepsia non
ulkus mempunyai keterlambatan pengosongan makanan dalam gaster. Demikian pula
pada studi monometrik didapatkan gangguan motilitas antrum postprandial, tetapi
hubungan antara kelainan tersebut dengan gejala-gejala dispepsia tidak jelas.
Penelitian terakhir menunjukkan bahwa fundus gaster yang "kaku" bertanggung
jawab terhadap sindrom dispepsia. Pada keadaan normal seharusnya fundus relaksasi,
baik saat mencerna makanan maupun bila terjadi distensi duodenum. Pengosongan
makanan bertahap dari corpus gaster menuju ke bagian fundus dan duodenum diatur
oleh refleks vagal. Pada beberapa pasien dyspepsia non ulkus, refleks ini tidak
berfungsi dengan baik sehingga pengisian bagian antrum terlalu cepat.
 Perubahan sensifitas gaster
Lebih 50% pasien dispepsia non ulkus menunjukkan sensifitas terhadap distensi
gaster atau intestinum, oleh karena itu mungkin akibat: makanan yang sedikit
mengiritasi seperti makanan pedas, distensi udara, gangguan kontraksi gaster
intestinum atau distensi dini bagian Antrum postprandial dapat menginduksi nyeri
pada bagian ini.
 Stres dan faktor psikososial
Penelitian menunjukkan bahwa didapatkan gangguan neurotik dan morbiditas
psikiatri lebih tinggi secara bermakna pada pasien dispepsia non ulkus daripada
subyek kontrol yang sehat.Banyak pasien mengatakan bahwa stres mencetuskan
keluhan dispepsia. Beberapa studi mengatakan stres yang lama menyebabkan
perubahan aktifitas vagal, berakibat gangguan akomodasi dan motilitas
gaster.Kepribadian dispepsia non ulkus menyerupai pasien Sindrom Kolon Iritatif dan

10
dispepsia organik, tetapi disertai dengan tanda neurotik, ansietas dan depresi yang
lebih nyata dan sering disertai dengan keluhan non-gastrointestinal ( GI ) seperti nyeri
muskuloskletal, sakit kepala dan mudah letih. Mereka cenderung tiba-tiba
menghentikan kegiatan sehari-harinya akibat nyeri dan mempunyai fungsi sosial lebih
buruk dibanding pasien dispepsia organik. Demikian pula bila dibandingkan orang
normal. Gambaran psikologik dispepsia non ulkus ditemukan lebih banyak ansietas,
depresi dan neurotik.
 Gastritis Helicobacter pylori
Gambaran gastritis Helicobacter pylori secara histologik biasanya gastritis non-erosif
non-spesifik. Di sini ditambahkan non-spesifik karena gambaran histologik yang ada
tidak dapat meramalkan penyebabnya dan keadaan klinik yang bersangkutan.
Diagnosa endoskopik gastritis akibat infeksi Helicobacter pylori sangat sulit karena
sering kali gambarannya tidak khas. Tidak jarang suatu gastritis secara histologik
tampak berat tetapi gambaran endoskopik yang tampak tidak jelas dan bahkan normal.
Beberapa gambaran endoskopik yang sering dihubungkan dengan adanya infeksi
Helicobacter pylori adalah:
a. Erosi kronik di daerah antrum.
b. Nodularitas pada mukosa antrum.
c. Bercak-bercak eritema di antrum.
d. Area gastrika yang menonjol dengan bintik-bintik eritema di daerah korpus.
Peranan infeksi Helicobacter pylori pada gastritis dan ulkus peptikum sudah diakui,
tetapi apakah Helicobacter pylori dapat menyebabkan dispepsia non ulkus masih kontroversi.
Di negara maju, hanya 50% pasien dispepsia non ulkus menderita infeksi Helicobacter
pylori, sehingga penyebab dispepsia pada dispepsia non ulkus dengan Helicobacter pylori
negatif dapat juga menjadi penyebab dari beberapa dispepsia non ulkus dengan Helicobacter
pylori positif. Bukti terbaik peranan Helicobacter pylori pada dispepsia non ulkus adalah
gejala perbaikan yang nyata setelah eradikasi kuman Helicobacter pylori tersebut, tetapi ini
masih dalam taraf pembuktian studi ilmiah. Banyak pasien mengalami perbaikan gejala
dengan cepat walaupun dengan pengobatan plasebo. Studi "follow up" jangka panjang sedang
dikerjakan, hanya beberapa saja yang tidak kambuh.
 Kelainan gastrointestinal fungsional
Dispepsia non ulkus cenderung dimasukkan sebagai bagian kelainan fungsional GI,
termasuk di sini Sindrom Kolon Iritatif, nyeri dada non-kardiak dan nyeri ulu hati
fungsional. Lebih dari 80% dengan Sindrom Kolon Iritatif menderita dispepsia dan

11
lebih dari sepertiga pasien dengan dispepsia kronis juga mempunyai gejala Sindrom
Kolon Iritatif. Pasien dengan kelainan seperti ini sering ada gejala extra GI seperti
migrain, myalgia dan disfungsi kencing dan ginekologi. Pada anamnesis dispepsia
jangan lupa menanyakan gejala Sindrom Kolon Iritatif seperti nyeri abdomen mereda
setelah defikasi, perubahan frekuensi buang air besar atau bentuknya mengalami
perubahan, perut tegang, tidak dapat menahan buang air besar dan perut kembung.
Beberapa pasien juga mengalami aerophagia, lingkaran setan dari perut kembung
diikuti oleh masuknya udara untuk menginduksi sendawa, diikuti oleh kembung yang
lebih darah. Ini memerlukan perbaikan tingkah laku.Abnormalitas di atas belum
semua diidentifikasi oleh semua peneliti dan tidak selalu muncul pada semua
penderita. Hasil yang kurang konsisten dari bermacam terapi yang digunakan untuk
terapi dispepsia non ulkus mendukung keanekaragaman kelompok ini.
Gastritis adalah suatu keadaan peradangan atau pendarahan mukosa lambung.
Gastritis karena bakteri H. pylori dapat mengalami adaptasi pada linkungan dengan pH yang
sangat rendah dengan menghasilkan enzim urease yang sangat kuat. Enzim urease tersebut
akan mengubah urea dalam lambung menjadi ammonia sehingga bakteri Helicobacter pylori
yang diselubungi “awan amoniak” yang dapat melindungi diri dari keasaman lambung.
Kemudian dengan flagella Helicobacter pylori menempel pada dinding lambung dan
mengalami multiplikasi. Bagian yang menempel pada epitel mukosa lambung disebut
adheren pedestal. Melalui zat yang disebut adhesin , Helicobacter pylori dapat berikatan
dengan satu jenis gliserolipid yang terdapat di dalam epitel.
Selain urease, bakteri juga mengeluarkan enzim lain misalnya katalase, oksidase,
alkaliposfatase, gamma glutamil transpeptidase, lipase, protease, dan musinase. Enzim
protease dan fosfolipase diduga merusak glikoprotein dan fosfolipid yang menutup mukosa
lambung. H. Pylori juga mengeluarkan toksin yang beperan dalam peradangan dan reaksi
imun local.
Obat anti-inflamasi non-steroid merusak mukosa lambung melalui beberapa
mekanisme. Obat-obat ini menghambat siklooksigenase mukosa lambung sebagai pembentuk
prostaglandin dari asam arakidonat yang merupakan salah satu faktor defensif mukosa
lambung yang sangat penting. Selain itu, obat ini juga dapat merusak secara topikal.
Kerusakan topikal ini terjadi karena kandungan asam dalam obat tersebut bersifat korosif,
sehingga merusak sel-sel epitel mukosa. Pemberian aspirin juga dapat menurunkan sekresi
bikarbonat dan mukus oleh lambung, sehingga kemampuan faktor defensif terganggu.

12
Ulkus peptikum merupakan keadaan di mana kontinuitas mukosa esophagus, lambung
ataupun duodenum terputus dan meluas sampai di bawah epitel. Kerusakan mukosa yang
tidak meluas sampai ke bawah epitel disebut erosi, walaupun seringkali dianggap juga
sebagai ulkus. Ulkus kronik berbeda dengan ulkus akut, karena memiliki jaringan parut pada
dasar ulkus. Menurut definisi, ulkus peptik dapat ditemukan pada setiap bagian saluran cerna
yang terkena getah asam lambung, yaitu esofagus, lambung, duodenum, dan setelah
gastroduodenal, juga jejunum.
Sawar mukosa lambung penting untuk perlindungan lambung dan duodenum. Obat
anti inflamasi non steroid termasuk aspirin menyebabkan perubahan kualitatif mucus
lambung yang dapat mempermudah terjadinya degradasi mucus oleh pepsin. Prostaglandin
yang terdapat dalam jumlah berlebihan dalam mucus gastric dan tampaknya berperan penting
dalam pertahanan mukosa lambung.
Aspirin, alkohol, garam empedu dan zat – zat lain yang merosak mukosa lambung
mengubah permeabilitas sawar epitel, sehingga memungkinkan difusi balik asam klorida
yang mengakibatkan kerosakan jaringan, terutama pembuluh darah. Histamin dikeluarkan,
merangsang sekresi asam dan pepsin lebih lanjut dan meningkatkan permeabilitas kapiler
terhadap protein. Mukosa menjadi edema dan sejumlah besar protein plasma dapat hilang.
Mukosa kapiler dapat rusak, mengakibatkan terjadinya hemoragi interstitial dan perdarahan.
Sawar mukosa tidak dipengaruhi oleh penghambatan vagus atau atropine, tetapi difusi balik
dihambat oleh gastrin.
Destruksi sawar mukosa lambung diduga merupakan faktor penting dalam
patogenesis ulkus peptikum. Ulkus peptikum sering terletak di antrum karena mukosa antrum
lebih rentan terhadap difusi balik disbanding fundus. Selain itu, kadar asam yang rendah
dalam analisis lambung pada penderita ulkus peptikum diduga disebabkan oleh meningkatnya
difusi balik dan bukan disebabkan oleh produksi yang berkurang.
Daya tahan duodenum yang kuat terhadap ulkus peptikum diduga akibat fungsi
kelenjar Brunner (kelenjar duodenum submukosa dalam dinding usus) yang memproduksi
sekret mukoid yang sangat alkali, pH 8 dan kental untuk menetralkan kimus asam. Penderita
ulkus peptikum sering mengalami sekresi asam berlebihan. Faktor penurunan daya tahan
jaringan juga terlibat dalam ulkus peptikum. Daya tahan jaringan juga bergantung pada
banyaknya suplai darah dan cepatnya regenerasi sel epitel (dalam keadaan normal diganti
setiap 3 hari). kegagalan mekanisme ini juga berperan dalam patogenesis ulkus peptikum.

13
2.5 GEJALA KLINIK
Sindroma dispepsia dapat bersifat ringan, sedang, dan berat, serta dapat akut atau
kronis sesuai dengan perjalanan penyakitnya. Pembagian akut dan kronik berdasarkan atas
jangka waktu tiga bulan.
Nyeri dan rasa tidak nyaman pada perut atas atau dada mungkin disertai dengan
sendawa dan suara usus yang keras (borborigmi). Pada beberapa penderita, makan dapat
memperburuk nyeri; pada penderita yang lain, makan bisa mengurangi nyerinya. Gejala lain
meliputi nafsu makan yang menurun, mual, sembelit, diare dan flatulensi (perut kembung).
Dispepsia Organik
a. Dispepsia Ulkus
Dispepsia ulkus merupakan bagian penting dari dispepsia organik. Di negara
negara barat prevalensi ulkus lambung lebih rendah dibandingkan dengan ulkus duodeni.
Sedang di negara berkembang termasuk Indonesia frekuensi ulkus lambung lebih tinggi.
Ulkus lambung biasanya diderita pada usia yang lebih tinggi dibandingkan ulkus
duodeni.
Gejala utama dari ulkus peptikum adalah hunger pain food relief. Untuk ulkus
duodeni nyeri umumnya terjadi 1 sampai 3 jam setelah makan, dan penderita sering
terbangun di tengah malam karena nyeri. Tetapi banyak juga kasus kasus yang gejalanya
tidak jelas dan bahkan tanpa gejala. Pada ulkus lambung seringkali gejala hunger pain
food relief tidak jelas, bahkan kadang kadang penderita justru merasa nyeri setelah
makan.
Penelitian menunjukkan bahwa penyebab utama ulkus duodenum adalah infeksi
H. pylori, dan ternyata sedikitnya 95% kasus ulkus duodeni adalah H. pylori positif,
sedang hanya 70% kasus ulkus lambung yang H. pylori positif.

14
b. GERD
Dahulu GERD dimasukkan dalam dispepsia fungsional tetapi setelah ditemukan
dasar-dasar organik maka GERD dimasukan kedalam dispepsia organik. Penyakit ini
disebabkan Inkompetensi/relaksasi sphincter cardia yang menyebabkan regurgitasi asam
lambung ke dalam esofagus.
Dulu sebelum penyebab GERD diketahui dengan jelas, GERD dimasukkan ke
dalam kelompok dispepsia fungsional. Setelah penyebabnya jelas maka GERD
dikeluarkan dari kelompok tersebut dan dimasukkan ke dalam dispepsia organik.
Gejala GERD , Gejala khas, terdiri dari :
o “Heart Burn”
o Rasa panas di epigastrium
o Rasa nyeri retrosternal
o Regurgitasi asam
o Pada kasus berat : ada gangguan menelan
Gejala tidak khas :
o Nafas pendek
o Wheezing
o Batuk-batuk
Gejala GERD lebih menonjol pada waktu penderita terbaring terlentang dan
berkurang bila penderita duduk.
Dispepsia Fungsional
Gejala dispepsia fungsional (menurut kriteria Roma) :
a. Gejala menetap selama 3 bulan dalam 1 tahun terakhir.
b. Nyeri epigastrium yang menetap atau sering kambuh (recurrent).
c. Tidak ada kelainan organik yang jelas (termasuk endoskopi)
d. Tidak ada tanda-tanda IBS (Irritable Bowel Syndrome)

Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan untuk penanganan dispepsia terbagi beberapa bagian, yaitu:
1. Pemeriksaan laboratorium untuk mengidentifikasi adanya faktor infeksi (leukositosis),
pakreatitis (amylase, lipase), keganasan saluran cerna (CEA, CA 19-9, AFP). Biasanya
meliputi hitung jenis sel darah yang lengkap dan pemeriksaan darah dalam tinja, dan
urine. Dari hasil pemeriksaan darah bila ditemukan lekositosis berarti ada tanda-tanda

15
infeksi. Pada pemeriksaan tinja, jika tampak cair berlendir atau banyak mengandung
lemak berarti kemungkinan menderita malabsorpsi. Seseorang yang diduga menderita
dispepsia tukak, sebaiknya diperiksa asam lambung. Pada karsinoma saluran pencernaan
perlu diperiksa petanda tumor, misalnya dugaan karsinoma kolon perlu diperiksa CEA,
dugaan karsinoma pankreas perlu diperiksa CA 19-9.
2. Barium enema untuk memeriksa esophagus, Lambung atau usus halus dapat dilakukan
pada orang yang mengalami kesulitan menelan atau muntah, penurunan berat badan atau
mengalami nyeri yang membaik atau memburuk bila penderita makan. Pemeriksaan ini
dapat mengidentifikasi kelainan struktural dinding/mukosa saluran cerna bagian atas
seperti adanya tukak atau gambaran ke arah tumor.
3. Endoskopi bisa digunakan untuk memeriksa esofagus, lambung atau usus
halus dan untuk mendapatkan contoh jaringan untuk biopsi dari lapisan lambung. Contoh
tersebut kemudian diperiksa dibawah mikroskop untuk mengetahui apakah lambung
terinfeksi oleh Helicobacter pylori. Endoskopi merupakan pemeriksaan baku emas, selain
sebagai diagnostik sekaligus terapeutik. Pemeriksaan ini sangat dianjurkan untuk
dikerjakan bila dispepsia tersebut disertai oleh keadaan yang disebut alarm symptoms,
yaitu adanya penurunan berat badan, anemia, muntah hebat dengan dugaan adanya
obstruksi, muntah darah, melena, atau keluhan sudah berlangsung lama, dan terjadi pada
usia lebih dari 45tahun.
Pemeriksaan yang dapat dilakukan dengan endoskopi adalah:
a. CLO (rapid urea test)
b. Patologi anatomi (PA)
c. Kultur mikroorgsanisme (MO) jaringan
d. PCR (polymerase chain reaction), hanya dalam rangka penelitian
4. Pemeriksaan penunjang meliputi pemeriksaan radiologi, yaitu OMD dengan
kontras ganda, serologi Helicobacter pylori, dan urea breath test (belum tersedia di
Indonesia). Pemeriksaan radiologis dilakukan terhadap saluran makan bagian atas dan
sebaiknya dengan kontras ganda. Pada refluks gastroesofageal akan tampak peristaltik di
esofagus yang menurun terutama di bagian distal, tampak anti-peristaltik di antrum yang
meninggi serta sering menutupnya pilorus, sehingga sedikit barium yang masuk ke
intestin. Pada tukak baik di lambung, maupun di duodenum akan terlihat gambar yang
disebut niche, yaitu suatu kawah dari tukak yang terisi kontras media. Bentuk niche dari
tukak yang jinak umumnya reguler, semisirkuler, dengan dasar licin). Kanker di lambung
secara radiologis, akan tampak massa yang ireguler tidak terlihat peristaltik di daerah

16
kanker, bentuk dari lambung berubah. Pankreatitis akut perlu dibuat foto polos abdomen,
yang akan terlihat tanda seperti terpotongnya usus besar (colon cut off sign), atau tampak
dilatasi dari intestin terutama di jejunum yang disebut sentina loops.
5. Kadang dilakukan pemeriksaan lain, seperti pengukuran kontraksi esofagus atau respon
esofagus terhadap asam.
.

Diagnosis
Dispepsia melalui simptom-simptomnya sahaja tidak dapat membedakan antara
dispepsia fungsional dan dispepsia organik. Diagnosis dispepsia fungsional adalah diagnosis
yang telah ditetapkan, dimana pertama sekali penyebab kelainan organik atau struktural harus
disingkirkan melalui pemeriksaan. Pemeriksaan yang pertama dan banyak membantu adalah
pemeriksaan endoskopi. Oleh karena dengan pemeriksaan ini dapat terlihat kelainan di
oesophagus, lambung dan duodenum. Diikuti dengan USG (Ultrasonography) dapat
mengungkapkan kelainan pada saluran bilier, hepar, pankreas, dan penyebab lain yang dapat
memberikan perubahan anatomis. Pemeriksaan hematologi dan kimia darah akan dapat
mengungkapkan penyebab dispepsia seperti diabetes, penyakit tyroid dan gangguan saluran
bilier. Pada karsinoma saluran pencernaan perlu diperiksa pertanda tumor.
Kriteria Diagnostik Dispepsia Fungsional berdasarkan Kriteria Rome III yaitu:
1. berasa terganggu setelah makan
2. cepat kenyang
3. nyeri epigastrik
4. panas/ rasa terbakar di epigastrik
Terbukti tidak ada penyakit struktural termasuk endoskopi proksimal yang dapat
menjelaskan penyebab terjadinya gejala klinis tersebut.

17
Kriteria haruslah terjadi dalam masa 3 bulan terakhir dengan onset gejala klinis
sekurang-kurangnya 6 bulan sebelum diagnosis.
Diagnosis Banding
Dispepsia adalah merupakan suatu simptom atau kelompok keluhan atau gejala dan
bukan merupakan suatu diagnosis. Diferensial diagnosis dyspepsia adalah seperti box 1.
Sangat penting mencari clue atau penanda akan gejala dan keluhan yang merupakan etiologi
yang bisa ditemukan berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan fisik. 50%–60% kasus,
didapati tidak ada penyebab yang terdeteksi di mana pasien dikatakan merupakan dispepsia
fungsional. Prevalensi ulkus peptikum adalah 15%- 25% dan prevalensi esofagitis adalah 5%-
15%. Kanker digestif bagian atas < 2%. Disebabkan kanker digestif bagian atas jarang pada
umur <50 tahun, pemeriksaan endoskopi direkomendasi pada pasien yang berusia > 50 tahun.
Juga direkomendasi pada pasien yang mangalami penurunan berat badan yang signifikan,
terjadi pendarahan, dan muntah yang terlalu teruk.2 Diagnosis banding dispepsia antara lain:
 Dispepsia non ulkus
 Gastro-oesophageal reflux disease.
 Ulkus peptikum.
 Obat-obatan: obat anti inflamasi non-steroid, antibiotik, besi, suplemen kalium,
digoxin.
 Malabsorbsi Karbohidrat (lactose, fructose, sorbitol).
 Cholelithiasis or choledocholithiasis.
 Pankreatitis Kronik.
 Penyakit sistemik (diabetes, thyroid, parathyroid, hypoadrenalism, connective tissue
disease).
 Parasit intestinal.
 Keganasan abdomen (terutama kanser pancreas dan gastrik).
Penatalaksanaan
Berdasarkan Konsensus Nasional Penanggulangan Helicobacter pylori 1996,
ditetapkan skema penatalaksanaan dispepsia, yang dibedakan bagi sentra kesehatan dengan
tenaga ahli (gastroenterolog atau internis) yang disertai fasilitas endoskopi dengan
penatalaksanaan dispepsia di masyarakat.
Pengobatan dispepsia mengenal beberapa golongan obat, yaitu:
1. Antasid

18
Golongan obat ini mudah didapat dan murah. Antasid akan menetralisir sekresi asam
lambung. Antasid biasanya mengandungi Na bikarbonat, Al(OH)3, Mg(OH)2, dan Mg
triksilat. Pemberian antasid jangan terus- menerus, sifatnya hanya simtomatis, untuk
mengurangi rasa nyeri. Mg triksilat dapat dipakai dalam waktu lebih lama, juga berkhasiat
sebagai adsorben sehingga bersifat nontoksik, namun dalam dosis besar akan menyebabkan
diare karena terbentuk senyawa MgCl2. Sering digunakan adalah gabungan Aluminium
hidroksida dan magnesium hidroksida.Aluminum hidroksida boleh menyebabkan konstipasi
dan penurunan fosfat; magnesium hidroksida bisa menyebabkan BAB encer. Antacid yang
sering digunakan adalah seperti Mylanta, Maalox, merupakan kombinasi Aluminium
hidroksida dan magnesium hidroksida. Magnesium kontraindikasi kepada pasien gagal ginjal
kronik karena bisa menyebabkan hipermagnesemia, dan aluminium bisa menyebabkan
kronik neurotoksik pada pasien tersebut.
2. Antikolinergik
Perlu diperhatikan, karena kerja obat ini tidak spesifik. Obat yang agak selektif yaitu
pirenzepin bekerja sebagai anti reseptor muskarinik yang dapat menekan seksresi asam
lambung sekitar 28-43%. Pirenzepin juga memiliki efek sitoprotektif.
3. Antagonis reseptor H2
Golongan obat ini banyak digunakan untuk mengobati dispepsia organik atau esensial
seperti tukak peptik. Obat yang termasuk golongan antagonis reseptor H2 antara lain
simetidin, roksatidin, ranitidin, dan famotidin.
4. Penghambat pompa asam (proton pump inhibitor = PPI).
Golongan obat ini mengatur sekresi asam lambung pada stadium akhir dari proses
sekresi asam lambung. Obat-obat yang termasuk golongan PPI adalah omeperazol,
lansoprazol, dan pantoprazol. Waktu paruh PPI adalah ~18jam ; jadi, bisa dimakan antara 2
dan 5 hari supaya sekresi asid gastrik kembali kepada ukuran normal. Supaya terjadi
penghasilan maksimal, digunakan sebelum makan yaitu sebelum sarapan pagi kecuali
omeprazol.
5. Sitoprotektif
Prostoglandin sintetik seperti misoprostol (PGE1) dan enprostil (PGE2). Selain
bersifat sitoprotektif, juga menekan sekresi asam lambung oleh sel parietal. Sukralfat
berfungsi meningkatkan sekresi prostoglandin endogen, yang selanjutnya memperbaiki
mikrosirkulasi, meningkatkan produksi mukus dan meningkatkan sekresi bikarbonat mukosa,
serta membentuk lapisan protektif (site protective), yang bersenyawa dengan protein sekitar
lesi mukosa saluran cerna bagian atas. Toksik daripada obat ini jarang, bisa menyebabkan

19
konstipasi (2–3%). Kontraindikasi pada pasien gagal ginjal kronik. Dosis standard adalah 1 g
per hari.
6. Golongan prokinetik
Obat yang termasuk golongan ini, yaitu sisaprid, domperidon, dan metoklopramid.
Golongan ini cukup efektif untuk mengobati dispepsia fungsional dan refluks esofagitis
dengan mencegah refluks dan memperbaiki bersihan asam lambung (acid clearance).
7. Antibiotik untuk infeksi Helicobacter pylori
Eradikasi bakteri Helicobacter pylori membantu mengurangi simptom pada sebagian pasien dan
biasanya digunakan kombinasi antibiotik seperti amoxicillin (Amoxil), clarithromycin (Biaxin),
metronidazole (Flagyl) dan tetracycline (Sumycin).
Kadang kala juga dibutuhkan psikoterapi dan psikofarmakoterapi (obat anti- depresi dan
cemas) pada pasien dengan dispepsia fungsional, karena tidak jarang keluhan yang muncul
berhubungan dengan faktor kejiwaan seperti cemas dan depresi.
Terapi Dispepsia Fungsional :
1. Farmakologis
Pengobatan jangka lama jarang diperlukan kecuali pada kasus-kasus berat. (regular
medication) mungkin perlu pengobatan jangka pendek waktu ada keluhan. (on demand
medication)
2. Psikoterapi
 Reassurance
 Edukasi mengenai penyakitnya
3. Perubahan diit dan gaya hidup
 Dianjurkan makan dalam porsi yang lebih kecil tetapi lebih sering.
 Makanan tinggi lemak dihindarkan
Pengobatan terhadap dispepsia fungsional adalah bersifat terapi simptomatik. Pasien
dengan dispepsia fungsional lebih dominan gejala dan keluhan seperti nyeri pada abdomen
bagian atas (ulcer - like) bisa diobati dengan PPI (Proton Pump Inhibitors). Pasien dengan
keluhan yang tidak jelas di bagian abdomen atas di mana yang gagal dengan pengobatan PPI,
bisa diobati dengan tricyclic antidepressants, walaupun data yang menyokong masih kurang.
Pasien dengan keluhan dismotility – like symptom bisa diobati dengan sama ada
dengan acid suppressive therapy, prokinetic agents, atau 5-HT1 agonists. Metoclopramide dan
domperidone menunjukkan antara obat placebo dalam pengobatan dispepsia fungsional.

20
Pencegahan
 Makan secara benar. Hindari makanan yang dapat mengiritasi terutama makanan yang
pedas, asam, gorengan atau berlemak. Yang sama pentingnya dengan pemilihan jenis
makanan yang tepat bagi kesehatan adalah bagaimana cara memakannya. Makanlah
dengan jumlah yang cukup, pada waktunya dan lakukan dengan santai.
 Hindari alkohol. Penggunaan alkohol dapat mengiritasi dan mengikis lapisan mukosa
dalam lambung dan dapat mengakibatkan peradangan dan pendarahan.
 Jangan merokok. Merokok mengganggu kerja lapisan pelindung lambung, membuat
lambung lebih rentan terhadap gastritis dan borok. Merokok juga meningkatkan asam
lambung, sehingga menunda penyembuhan lambung dan merupakan penyebab utama
terjadinya kanker lambung. Tetapi, untuk dapat berhenti merokok tidaklah mudah,
terutama bagi perokok berat. Konsultasikan dengan dokter mengenai metode yang
dapat membantu untuk berhenti merokok.
 Lakukan olah raga secara teratur. Aerobik dapat meningkatkan kecepatan pernapasan
dan jantung, juga dapat menstimulasi aktifitas otot usus sehingga membantu
mengeluarkan limbah makanan dari usus secara lebih cepat.
 Kendalikan stress. Stress meningkatkan resiko serangan jantung dan stroke,
menurunkan sistem kekebalan tubuh dan dapat memicu terjadinya permasalahan kulit.
Stress juga meningkatkan produksi asam lambung dan melambatkan kecepatan
pencernaan. Karena stress bagi sebagian orang tidak dapat dihindari, maka kuncinya
adalah mengendalikannya secara effektif dengan cara diet yang bernutrisi, istirahat
yang cukup, olah raga teratur dan relaksasi yang cukup.
 Ganti obat penghilang nyeri. Jika dimungkinkan, hindari penggunaan OAINS, obat-
obat golongan ini akan menyebabkan terjadinya peradangan dan akan membuat
peradangan yang sudah ada menjadi lebih parah. Ganti dengan penghilang nyeri yang
mengandung acetaminophen.
 Ikuti rekomendasi dokter.
Prognosis
Statistik menunjukkan sebanyak 20% pasien dispepsia mempunyai ulkus peptikum,
20% mengidap Irritable Bowel Syndrome, kurang daripada 1% pasien terkena kanker, dan
dispepsia fungsional dan dyspepsia non ulkus adalah 5-40%.
Terkadang dispepsia dapat menjadi tanda dari masalah serius, contohnya penyakit
ulkus lambung yang parah. Tidakk jarang, dispepsia disebabkan karena kanker lambung,
sehingga harus diatasi dengan serius. Ada beberapa hal penting yang harus diperhatikan bila

21
terdapat salah satu dari tanda ini, yaitu: Usia 50 tahun ke atas, kehilangan berat badan tanpa
disengaja, kesulitan menelan, terkadang mual-muntah, buang air besar tidak lancar dan
merasa penuh di daerah perut.

22
DAFTAR PUSTAKA
1. Djojoningrat D. Pendekatan klinis penyakit gastrointestinal. Sudoyo AW, Setiyohadi
B, Alwi I, Simadibrata M, Setiati S, editor. Buku ajar ilmu penyakit dalam, Ed. IV,
2007. Indonesia; Balai Penerbit FKUI. H. 285
2. Jones MP. Evaluation and treatment of dyspepsia. Post Graduate Medical Journal.
2003;79:25-29.
3. Tack J, Nicholas J, Talley, Camilleri M, Holtmann G, Hu P, et al. Functional
Gastroduadenal. Gastroenterology. 2006;130:1466-1479.
4. Dyspepsia. Edition 2013. Available from: http://www.mayoclinic.org/dyspepsia/.
5. Talley N, Vakil NB, Moayyedi P. American Gastroenterological Association
technical review: evaluation of dyspepsia. Gastroenterology. 2005;129:1754
6. Indigestion (Dyspepsia, Upset Stomach). Edition 2010. Available from:
http://www.medicinenet.com/dyspepsia/article.htm, 15 March 2016.
7. Dyspepsia, What It Is and What to Do About It? Edition 2009. Available from:
http://familydoctor.org/online/famdocen/home/common/digestive/disorders/474.html.
8. Greenburger NJ. Dyspepsia. The Merck Manuals Online Medical Library. 2008
March.
9. Ringerl Y. Functional dyspepsia. UNC Division of Gastroenterology and Hepatology.
2005;1:1-3.
10. Dyspepsia. Edition 2011. Available from:
http://mercyweb.org/MICROMEDEX/health_information

23

Anda mungkin juga menyukai