PENDAHULUAN
A. Persoalan HAM dalam Dunia Pendidikan
Sekolah seharusnya menjadi tempat aman dan nyaman kedua
setelah keluarga bagi anak/peserta didik dalam bersosialisasi,
mengembangkan potensinya, bahkan menemukan jati dirinya.
Namun sangat disayangkan dalam lima tahun terakhir fenomena
tindak kekerasan di sekolah makin marak terjadi, bukan saja
kekerasan dalam bentuk fisik namun juga psikis dan seksual, yang
dilakukan secara langsung maupun tidak langsung. Pelakunya bukan
hanya guru namun juga tenaga kependidikan, pegawai di lingkungan
sekolah dan peserta didik sendiri. Komisi Perlindungan Anak
Indonesia (KPAI) pada tahun 2012 telah merilis hasil surveinya
terhadap 1.026 responden peserta didik yang menunjukkan 87,6%
anak mengaku pernah mengalami kekerasan di lingkungan
sekolah dalam berbagai bentuk, di mana dari angka tersebut 29,9%
kekerasan dilakukan oleh guru, 42,1% dilakukan teman sekelas dan
28,0% dilakukan oleh teman dari kelas lain.1
Maraknya tindak kekerasan yang terjadi di lingkungan sekolah
ditengarai berawal dari lingkaran kekerasan yang berasal dari
internal dunia pendidikan sendiri yakni pola pembelajaran yang
mengedepankan kekerasan dengan berdalih pada alasan
menegakkan disiplin, bentuk dari sanksi atau hukuman atas
pelanggaran tata tertib, menunjukkan rasa solidaritas atau bahkan
dianggap sebagai bagian dari proses pencarian jati diri peserta
didik. Kekerasan juga muncul dalam bentuk simbolik melalui buku-
buku pelajaran yang justru dampaknya sangat luas karena hal
tersebut diajarkan di dalam kelas sehingga mempengaruhi peserta
didik dan seolah menjadi legitimasi atas tindak kekerasan.
Undang-undang No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan
Nasional mengatur bahwa yang dimaksud dengan pendidikan adalah
usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan
proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif
mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual
keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak
mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat,
bangsa dan negara. Pada pasal 4 ayat (1) ditegaskan “Pendidikan
diselenggarakan secara demokratis dan berkeadilan serta tidak
diskriminatif dengan menjunjung tinggi hak asasi manusia, nilai
keagamaan, nilai kultural, dan kemajemukan bangsa”. Artinya,
pendidikan yang dilakukan di Indonesia harus mengedepankan hak
asasi manusia, tidak boleh ada tindakan diskriminatif apalagi
kekerasan, karena kekerasan apapun bentuknya adalah sebuah
tindakan yang melanggar hak asasi manusia (HAM), apalagi
kekerasan yang jelas-jelas dilakukan di lingkungan pendidikan
oleh pihak-pihak yang memiliki tanggung jawab untuk
memberikan perlindungan atas diri anak sebagai peserta didik.
PENUTUP
ekolah sebagai basis perubahan karakter manusia Indonesia
menjadi sangat penting
untuk memperhatikan setiap proses pembelajaran yang
S
mengedepankan upaya-
upaya membentuk pengetahuan ), keterampilan (skill) dan
(knowledge karakter
atau nilai (value). Guru sebagai tenaga pendidik diharapkan tidak hanya
memerankan diri sebagai pusat (center) dari pembelajaran baik dalam
kelas, namun harus mampu menjadi fasilitator pembelajaran di dalam
kelas sekaligus contoh atau teladan baik di dalam maupun di luar kelas,
khususnya dalam pembentukan karakter peserta didik.
Daftar Pustaka
3. Lubis, Yusnawan & Mohamad Sodeli; Buku Guru Pendidikan Pancasila dan Kewar-
ganegaraan Kelas X; Pusat Kurikulum dan Perbukuan, Balitbang, Kemendikbud;
Jakarta; 2014;
5. The Indonesian Legal Resource Center (ILRC); Metode Pembelajaran HAM : Panduan
Praktis bagi Pengajar HAM di Perguruan Tinggi; Jakarta; Maret 2010;
Sumber Pembelajaran
Instrumen Internasional
Instrumen Nasional