LANDASAN TEORI
Menurut Hasibuan (2008: 94) Kinerja adalah hasil kerja yang dicapai
seseorang dalam melaksanakan tugas-tugas yang dibebankan kepadanya yang
didasarkan atas kecakapan, pengalaman dan kesungguhan serta waktu.
Menurut Mangkunegara (2007: 67) Kinerja Karyawan adalah hasil kerja
secara kualitas dan kuantitas yang dicapai oleh seseorang karyawan dalam
melaksanakan tugasnya sesuai dengan tanggung jawab yang diberikan kepadanya.
Menurut Cash dan Fischer (1987) dalam Brahmasari (2008), Kinerja sering
disebut dengan performance atau result yang diartikan dengan apa yang telah
dihasilkan oleh individu karyawan.
Jadi Dari beberapa definisi diatas dapat disimpulkan bahwa, kinerja adalah
hasil kerja yang dihasilkan oleh karyawan dalam melaksanakan tugas-tugas dan tolak
ukur dimana karyawan melakukan sesuai dengan dibebankan kepadanya yang
didasari atas tanggung jawab, pengalaman, kecakapan dan kesungguhan karyawan
itu sendiri.
Menurut Mathis dan Jackson (2006, p113-114) ada 3 faktor utama yang
mempengaruhi kinerja karyawan, yaitu :
1) Kemampuan Individual
Kemampuan individual karyawan ini mencakup bakat, minat, dan faktor
kepribadian.Tingkat keterampilan, bahan mentah yang dimiliki seseorang berupa
pengetahuan, pemahaman, kemampuan, kecakapan interpersonal, dan kecakapan
tekhnis. Dengan demikian, kemungkinan seorang karyawan akan mempunyai
kinerja yang baik, jika karyawan tersebut memiliki keterampilan yang baik maka
karyawan tersebut akan menghasilkan kinerja yang baik pula.
2) Usaha yang dicurahkan
Usaha yang dicurahkan dari karyawan bagi perusahaanadalah etika
kerja,kehadiran, dan motivasinya. Tingkat usahanya, merupakan gambaran
motivasi yang diperlihatkan karyawan untuk menyelesaikan pekerjaan dengan
baik. Dari itu, kalaupun karyawan mempunyai tingkat keterampilan untuk
mengerjakan pekerjaan, akan tetapi tidak akan bekerja dengan baik jika hanya
sedikit upaya. Hal ini berkaitan dengan perbedaan antara tingkat keterampilan
dengan tingkat upaya. Tingkat keterampilan merupakan cermin dari apa yang
dilakukan, sedangkan tingkat upaya merupakan cermin apa yang dilakukan.
3) Dukungan Organisasional
Dalam dukungan organisasional, perusahaan menyediakan fasilitas bagi
karyawan meliputi pelatihan, peralatanteknologi, dan manajemen atau rekan
kerja. Kinerja pada dasarnya adalah apa yang dilakukan atau tidak dilakukan
karyawan. Kinerja karyawan adalah apa yang mempengaruhi sebanyak mereka
memberikan kontribusi pada organisasi.
Menurut Mathis dan Jackson (2006), kinerja pada dasarnya adalah apa yang
dilakukan atau tidak dilakukan oleh pegawai. Kinerja pegawai yang umum untuk
kebanyakan pekerjaan meliputi elemen sebagai berikut :
1. Kuantitas dari hasil
Jumlah yang harus diselesaikan atau dicapai. Pengukuran kuantitatif melibatkan
perhitungan keluaran dari proses atau pelaksanaan kegiatan. Ini berkaitan dengan
jumlah keluaran yang dihasilkan.
2. Kualitas dari hasil
Mutu yang harus dihasilkan (baik tidaknya). Pengukuran kualitatif keluaran
mencerminkan pengukuran “tingkat kepuasan”, yaitu seberapa baik penyelesaiannya.
Ini berkaitan dengan bentuk keluaran.
3. Ketepatan waktu dari hasil
Waktu harus dimanfaatkan sebaik mungkin dan secara optimal. Penundaan
penggunaan waktu dapat menimbulkan berbagai konsekuensi biaya besar dan
kerugian.
4. Kehadiran atau absensi
Tingkat kehadiran merupakan sesuatu yang menjadi tolak ukur sebuah perusahaan
dalam mengetahui tingkat partisipasi pegawai pada perusahaan.
5. Kemampuan bekerja sama
Kemampuan bekerja sama dapat menciptakan kekompakan sehingga dapat
meningkatkan rasa kerja sama antar pegawai.
Budaya organisasi menurut Robbins & Coulter (2010, p62) adalah sistem
makna dan keyakinan bersama yang dianut oleh para anggota organisasi yang
menentukan, sebagian besar, bagaimana karyawan bersikap.
Budaya organisasi yang kuat akan lebih mempengaruhi karyawan daripada
kultur yang lemah. Jika kulturnya kuat dan mendorong standar etika yang tinggi, ia
pasti akan berpengaruh kuat dan positif terhadap perilaku karyawan. Bae-Kyoo Joo
and Taejo Liem (2009), misalnya memiliki kultur yang kuat yang sudah lama
menekankan kewajiban perusahaan kepada pelanggan, karyawan, masyarakat dan
para pemegang saham. Kultur kuat dapat mendorong sikap yang sangat agresif dan
dapat menjadi faktor yang dominan dalam membentuk perilaku tidak etis. Joo &
Liem (2009) menyarankan gabungan dari praktik-praktik berikut ini:
1. Jadilah model peran yang visible.
Karyawan akan melihat perilaku manajemen puncak sebagai acuan standar untuk
menentukan perilaku yang semestinya mereka ambil. Ketika manajemen senior
dianggap mengambil jalan yang etis, hal ini memberi pesan positif bagi semua
karyawan.
2. Komunikasi harapan-harapan yang etis.
Ambiguitas etika dapat diminimalkan dengan menciptakan dan mengkomunikasikan
kode etik organisasi. Kode etik ini harus menyatakan nilai-nilai utama organisasi dan
aturan etis yang diharapkan akan dipatuhi para karyawan.
3. Berikan pelatihan etis.
Selenggarakan seminar, lokakarya, dan program-program pelatihan etis. Gunakan
sesi-sesi pelatihan ini untuk memperkuat standar tuntunan organisasi, menjelaskan
praktik-praktik yang diperbolehkan dan dilema etika yang mungkin muncul.
4. Secara nyata, berikan penghargaan atas tindakan etis dan beri hukuman terhadap
tindakan yang tidak etis.
Penilaian kinerja terhadap para manajer harus mencakup evaluasi hal demi hal
mengenai bagaimana keputusan-keputusannya cukup baik menutut kode etik
organisasi.
5. Berikan mekanisme perlindungan.
Organisasi perlu memiliki mekanisme formal sehingga karyawan dapat
mendiskusikan dilema-dilema etika dan melaporkan perilaku tidak etis tanpa takut.
Cara ini bisa meliputi pembentukan konselor etis, badan pengawas (ombudsmen),
atau petugas etika.
Mathis & Jackson (20011, p76) budaya organisasi adalah pola nilai-nilai dan
keyakinan bersama dari tenaga kerja. Nilai-nilai dan keyakinan bersama tersebut
membekali anggota organisasi dengan makna dan aturan untuk berperilaku. Serta
budaya organisasi menurut Andre (2008, p446) merupakan sebuah sistem organisasi
mengenai nilai dan norma bersama oleh karena itu budaya organisasi mendefinisikan
hal yang penting di dalam organisasi serta sikap, keyakinan dan perilaku yang sesuai
bagi anggota organisasi.
Budaya organisasi menurut Robbins & Judge (2008, p17) adalah sebuah persepsi
umum yang dipegang oleh anggota organisasi mengenai suatu sistem yang dianut
bersama.Budaya organisasi bertujuan agar karyawan merasakan karakteristik dari
budaya organisasi itu sendiri.Budaya organisasi menurut Wirawan (2007, p86)
adalah norma, nilai-nilai, asumsi, kepercayaan, filsafat, kebiasaan organisasi, dan
sebagainya. Isi budaya organisasi yang dikembangkan dalam waktu yang lama oleh
pendiri, pemimpin, dan anggota organisasi dalam memproduksi produk, melayani
para konsumen, dan mencapai tujuan organisasi.
Dari pandangan beberapa ahli di atas dapat disimpulkan bahwa budaya
organisasi pada dasarnya akan mewakili norma-norma perilaku yang diikuti oleh
para anggota organisasi, termasuk mereka yang berada dalam hirarki organisasi.
Budaya organisasi merupakan landasan setiap anggota dalam sikap dan perilaku di
setiap aktivitas perusahaan yang menjadikan perekat hubungan diantara anggota
perusahaan.
Calon pekerja yang dipilih adalah mereka yang memiliki nilai-nilai yang
sejalan dengan budaya organisasi yang dikatakan McShane dan Von Glinow (2008)
Budaya organisasi menurut Jones dan Goerge (2008) “organizational culture is the
shared set of beliefs, expectations, values, norms, and work routines that influence
the ways in which individuals, groups, and teams intreract with one another and
cooperate to achieve organizational goals”.
Jones dan Goerge juga mengatakan, bahwa ketika para anggota organisasi
memiliki komitmen yang kuat terhadap keyakinan, harapan, nilai-nilai, norma-
norma, dan kebiasaan-kebiasaan yang digunakannya dalam mencapai tujuan,
menunjukkan budaya organisasi yang kuat. Sebaliknya bila para anggota organisasi
tidak memiliki komitmen yang kuat, menunjukkan budaya organisasinya lemah.
Setiap organisasi memiliki budaya, tetapi budaya organisasi yang satu dengan
organisasi yang lain belum tentu sama. Budaya organisasi dibentuk melalui interaksi
4 (empat) faktor utama, yaitu: Personal and professional characteristics of people
within the organization (characteristics of organizational members), organizational
ethics, the employment relationship, and organizational structure (Jones dan George,
2008).
Inovasi dan mengambil risiko, perhatian pada rincian, orientasi hasil,
orientasi manusia, orientasi tim, agresivitas, dan stabilitas. Inovasi dan pengambilan
risiko berkaitan dengan sejauh mana para anggota organisasi didorong untuk inovatif
dan berani mengambil risiko. Perhatian ke hal yang rinci berkaitan dengan sejauh
mana para anggota organisasi/pegawai diharapkan mau memperlihatkan kecermatan
(presisi), analisis, dan perhatian kepada rincian.
Orientasi hasil mendiskripsikan sejauh mana manajemen fokus pada hasil
bukan pada teknik dan proses yang digunakan untuk mendapatkan hasil tersebut.
Orientasi orang menjelaskan sejauh mana keputusan manajemen memperhitungkan
efek hasil kepada orang-orang di dalam organisasi tersebut. Orientasi tim berkaitan
dengan sejauh mana kegiatan kerja organisasi dilaksanakan dalam tim kerja, bukan
pada individu. Keagresifan menjelaskan sejauh mana orang-orang dalam organisasi
menunjukkan keagresifan dan kompetitif, bukan bersantai. Stabilitas adalah sejauh
mana kegiatan organisasi menekankan dipertahankannya status quo sebagai lawan
dari pertumbuhan atau inovasi.
2.4 Motivasi
2.4.1 Motivasi
Menurut Kreitner dan Kinicki (2003) dalam buku Wibowo (2009, p.326)
terdapat lima faktor yang dapat mempengaruhi timbulnya kepuasan kerja, yaitu :
1. Need fulfillment (pemenuhan kebutuhan)
Model ini mengajukan bahwa kepuasan ditentukan tingkatan karakteristik
pekerjaan yang memungkinkan kesempatan pada individu untuk memenuhi
kebutuhannya.
2. Discrepancies (perbedaan)
Model ini menyatakan bahwa kepuasan merupakan suatu hasil memenuhi
harapan. Pemenuhan harapan mencerminkan perbedaan antara apa yang
diharapkan dan yang diperoleh individu dari pekerjaan. Apabila harapan lebih
besar daripada apa yang diterima, orang akan tidak puas. Sebaliknya
diperkirakan individu akan puas apabila mereka menerima manfaat diatas
harapan.
3. Value attainment (pencapaian nilai)
Gagasan value attainment adalah bahwa kepuasan merupakan hasil dari persepsi
pekerjaan memberikan pemenuhan nilai kerja individual yang penting.
4. Equity (keadilan)
Dalam model ini dimaksudkan bahwa kepuasan merupakan fungsi dari seberapa
adil individu diperlakukan di tempat kerja.Kepuasan merupakan hasil dari
persepsi orang bahwa perbandingan antara hasil kerja dan inputnya relatif lebih
menguntungkan dibandingkan dengan perbandingan antara keluaran dan
masukkan pekerjaan lainnya.
5. Dispositional/genetic components (komponen genetik)
Beberapa rekan kerja atau teman tampak puas terhadap variasi lingkungan kerja,
sedangkan lainnya kelihatan tidak puas.Model ini didasarkan pada keyakinan
bahwa kepuasan kerja sebagian merupakan fungsi sifat pribadi dan faktor
genetik.Model menyiratkan perbedaan individu hanya mempunyai arti penting
untuk menjelaskan kepuasan kerja seperti halnya karakteristik lingkungan
pekerjaan.
Terwujudnya kepuasan kerja karyawan merupakan salah satu faktor
pendorong dari tercapainya tujuan organisasi. Menurut Hasibuan (2008), faktor yang
menimbulkan kepuasan kerja karyawan adalah:
a. Balas jasa yang adil dan layak
b. Penempatan yang tepat sesuai dengan keahlian
c. Berat ringannya pekerjaan
d. Suasana dan lingkungan pekerjaan
e. Peralatan yang menunjang pelaksanaan pekerjaan
f. Sikap pemimpin dalam kepemimpinannya
g. Sadar pekerjaan monoton atau tidak
2.5.3 Teori Kepuasan Kerja