Anda di halaman 1dari 22

BAB 2

LANDASAN TEORI

2.1 Kajian Teori


2.1.1 Manajemen Sumber Daya Manusia

Menurut Mathis dan Jackson (2011), “Manajemen Sumber Daya Manusia


(MSDM) adalah suatu sistem formal dalam sebuah organisasi untuk memastikan
penggunaan bakat dan kompentensi manusia secara efektif dan efisien guna
mencapai tujuan-tujuan organisasi.”
Berdasarkan Veithzal Rivai (2009), “Manajemen Sumber Daya Manusia
merupakan salah satu bidang dari manajemen umum yang meliputi segi-segi
perencanaan, pengorganisasian, pelaksanaan dan pengendalian. Proses ini terdapat
dalam fungsi atau bidang produksi, pemasaran, keuangan, maupun kepegawaian.
Karena sumber daya manusia dianggap semakin penting perannya dalam pencapaian
tujuan perusahaan, maka berbagai pengalaman dan hasil penelitian dalam bidang
SDM dikumpulkan secara sistematis dalam apa yang disebut manajemen sumber
daya manusia.”
Menurut Dessler (2003) “Sumber daya manusia adalah kebijakan dari praktik
yang dibutuhkan seseorang untuk menjalankan aspek orang atau SDM dari posisi
seorang manajemen, meliputi perekrutan, penyaringan, pelatihan, pengimbalan dan
penilaian”.
Jadi, berdasarkan beberapa definisi yang diatas, manajemen sumber daya
manusia dapat disimpullkan sebagai proses perencanaan, pengorganisasian,
pelaksanaan, dan pengontrolan terhadap sumber daya manusia dalam organisasi
untuk mencapai tujuan secara efektif dan efisien.

2.2 Kinerja Karyawan


2.2.1 Pengertian Kinerja Karyawan

Menurut Hasibuan (2008: 94) Kinerja adalah hasil kerja yang dicapai
seseorang dalam melaksanakan tugas-tugas yang dibebankan kepadanya yang
didasarkan atas kecakapan, pengalaman dan kesungguhan serta waktu.
Menurut Mangkunegara (2007: 67) Kinerja Karyawan adalah hasil kerja
secara kualitas dan kuantitas yang dicapai oleh seseorang karyawan dalam
melaksanakan tugasnya sesuai dengan tanggung jawab yang diberikan kepadanya.
Menurut Cash dan Fischer (1987) dalam Brahmasari (2008), Kinerja sering
disebut dengan performance atau result yang diartikan dengan apa yang telah
dihasilkan oleh individu karyawan.
Jadi Dari beberapa definisi diatas dapat disimpulkan bahwa, kinerja adalah
hasil kerja yang dihasilkan oleh karyawan dalam melaksanakan tugas-tugas dan tolak
ukur dimana karyawan melakukan sesuai dengan dibebankan kepadanya yang
didasari atas tanggung jawab, pengalaman, kecakapan dan kesungguhan karyawan
itu sendiri.

2.2.2 Faktor-Faktor yang mempengaruhi Kinerja

Menurut Mathis dan Jackson (2006, p113-114) ada 3 faktor utama yang
mempengaruhi kinerja karyawan, yaitu :
1) Kemampuan Individual
Kemampuan individual karyawan ini mencakup bakat, minat, dan faktor
kepribadian.Tingkat keterampilan, bahan mentah yang dimiliki seseorang berupa
pengetahuan, pemahaman, kemampuan, kecakapan interpersonal, dan kecakapan
tekhnis. Dengan demikian, kemungkinan seorang karyawan akan mempunyai
kinerja yang baik, jika karyawan tersebut memiliki keterampilan yang baik maka
karyawan tersebut akan menghasilkan kinerja yang baik pula.
2) Usaha yang dicurahkan
Usaha yang dicurahkan dari karyawan bagi perusahaanadalah etika
kerja,kehadiran, dan motivasinya. Tingkat usahanya, merupakan gambaran
motivasi yang diperlihatkan karyawan untuk menyelesaikan pekerjaan dengan
baik. Dari itu, kalaupun karyawan mempunyai tingkat keterampilan untuk
mengerjakan pekerjaan, akan tetapi tidak akan bekerja dengan baik jika hanya
sedikit upaya. Hal ini berkaitan dengan perbedaan antara tingkat keterampilan
dengan tingkat upaya. Tingkat keterampilan merupakan cermin dari apa yang
dilakukan, sedangkan tingkat upaya merupakan cermin apa yang dilakukan.
3) Dukungan Organisasional
Dalam dukungan organisasional, perusahaan menyediakan fasilitas bagi
karyawan meliputi pelatihan, peralatanteknologi, dan manajemen atau rekan
kerja. Kinerja pada dasarnya adalah apa yang dilakukan atau tidak dilakukan
karyawan. Kinerja karyawan adalah apa yang mempengaruhi sebanyak mereka
memberikan kontribusi pada organisasi.

2.2.3 Aspek-Aspek Kinerja

Mangkunegara (2007: 17-18) mengemukakan aspek-aspek yang dinilai


dalam kinerja mencakup: kesetiaan, hasil kerja, kejujuran, kedisiplinan, kerjasama,
kepemimpinan, kepribadian, prakarsa, kecakapan, dan tanggung jawab.
Sedangkan menurut Husein Umar dalam Mangkunegara (2007: 18),
membagi aspek-aspek kinerja sebagai berikut:
1) Mutu Pekerjaan 6) Kerja Sama
2) Kejujuran Karyawan 7) Keandalan
3) Inisiatif 8) Pengetahuan tentang pekerjaan
4) Kehadiran 9) Tanggung Jawab
5) Sikap 10) Pemanfaatan waktu kerja
Setelah menjelaskan pengertian dan teori dari kinerja karyawan, Faktor-Faktor yang
mempengaruhi Kinerja, dan Aspek-Aspek Kinerja maka dapat diambil keputusan
dalam menentukan kerangka pemikiran tersebut.

2.2.4 Elemen-Elemen Pengukuran kinerja

Menurut Mathis dan Jackson (2006), kinerja pada dasarnya adalah apa yang
dilakukan atau tidak dilakukan oleh pegawai. Kinerja pegawai yang umum untuk
kebanyakan pekerjaan meliputi elemen sebagai berikut :
1. Kuantitas dari hasil
Jumlah yang harus diselesaikan atau dicapai. Pengukuran kuantitatif melibatkan
perhitungan keluaran dari proses atau pelaksanaan kegiatan. Ini berkaitan dengan
jumlah keluaran yang dihasilkan.
2. Kualitas dari hasil
Mutu yang harus dihasilkan (baik tidaknya). Pengukuran kualitatif keluaran
mencerminkan pengukuran “tingkat kepuasan”, yaitu seberapa baik penyelesaiannya.
Ini berkaitan dengan bentuk keluaran.
3. Ketepatan waktu dari hasil
Waktu harus dimanfaatkan sebaik mungkin dan secara optimal. Penundaan
penggunaan waktu dapat menimbulkan berbagai konsekuensi biaya besar dan
kerugian.
4. Kehadiran atau absensi
Tingkat kehadiran merupakan sesuatu yang menjadi tolak ukur sebuah perusahaan
dalam mengetahui tingkat partisipasi pegawai pada perusahaan.
5. Kemampuan bekerja sama
Kemampuan bekerja sama dapat menciptakan kekompakan sehingga dapat
meningkatkan rasa kerja sama antar pegawai.

2.3 Budaya Organisasi

2.3.1 Definisi Budaya Organisasi

Budaya organisasi menurut Robbins & Coulter (2010, p62) adalah sistem
makna dan keyakinan bersama yang dianut oleh para anggota organisasi yang
menentukan, sebagian besar, bagaimana karyawan bersikap.
Budaya organisasi yang kuat akan lebih mempengaruhi karyawan daripada
kultur yang lemah. Jika kulturnya kuat dan mendorong standar etika yang tinggi, ia
pasti akan berpengaruh kuat dan positif terhadap perilaku karyawan. Bae-Kyoo Joo
and Taejo Liem (2009), misalnya memiliki kultur yang kuat yang sudah lama
menekankan kewajiban perusahaan kepada pelanggan, karyawan, masyarakat dan
para pemegang saham. Kultur kuat dapat mendorong sikap yang sangat agresif dan
dapat menjadi faktor yang dominan dalam membentuk perilaku tidak etis. Joo &
Liem (2009) menyarankan gabungan dari praktik-praktik berikut ini:
1. Jadilah model peran yang visible.
Karyawan akan melihat perilaku manajemen puncak sebagai acuan standar untuk
menentukan perilaku yang semestinya mereka ambil. Ketika manajemen senior
dianggap mengambil jalan yang etis, hal ini memberi pesan positif bagi semua
karyawan.
2. Komunikasi harapan-harapan yang etis.
Ambiguitas etika dapat diminimalkan dengan menciptakan dan mengkomunikasikan
kode etik organisasi. Kode etik ini harus menyatakan nilai-nilai utama organisasi dan
aturan etis yang diharapkan akan dipatuhi para karyawan.
3. Berikan pelatihan etis.
Selenggarakan seminar, lokakarya, dan program-program pelatihan etis. Gunakan
sesi-sesi pelatihan ini untuk memperkuat standar tuntunan organisasi, menjelaskan
praktik-praktik yang diperbolehkan dan dilema etika yang mungkin muncul.
4. Secara nyata, berikan penghargaan atas tindakan etis dan beri hukuman terhadap
tindakan yang tidak etis.
Penilaian kinerja terhadap para manajer harus mencakup evaluasi hal demi hal
mengenai bagaimana keputusan-keputusannya cukup baik menutut kode etik
organisasi.
5. Berikan mekanisme perlindungan.
Organisasi perlu memiliki mekanisme formal sehingga karyawan dapat
mendiskusikan dilema-dilema etika dan melaporkan perilaku tidak etis tanpa takut.
Cara ini bisa meliputi pembentukan konselor etis, badan pengawas (ombudsmen),
atau petugas etika.

Mathis & Jackson (20011, p76) budaya organisasi adalah pola nilai-nilai dan
keyakinan bersama dari tenaga kerja. Nilai-nilai dan keyakinan bersama tersebut
membekali anggota organisasi dengan makna dan aturan untuk berperilaku. Serta
budaya organisasi menurut Andre (2008, p446) merupakan sebuah sistem organisasi
mengenai nilai dan norma bersama oleh karena itu budaya organisasi mendefinisikan
hal yang penting di dalam organisasi serta sikap, keyakinan dan perilaku yang sesuai
bagi anggota organisasi.
Budaya organisasi menurut Robbins & Judge (2008, p17) adalah sebuah persepsi
umum yang dipegang oleh anggota organisasi mengenai suatu sistem yang dianut
bersama.Budaya organisasi bertujuan agar karyawan merasakan karakteristik dari
budaya organisasi itu sendiri.Budaya organisasi menurut Wirawan (2007, p86)
adalah norma, nilai-nilai, asumsi, kepercayaan, filsafat, kebiasaan organisasi, dan
sebagainya. Isi budaya organisasi yang dikembangkan dalam waktu yang lama oleh
pendiri, pemimpin, dan anggota organisasi dalam memproduksi produk, melayani
para konsumen, dan mencapai tujuan organisasi.
Dari pandangan beberapa ahli di atas dapat disimpulkan bahwa budaya
organisasi pada dasarnya akan mewakili norma-norma perilaku yang diikuti oleh
para anggota organisasi, termasuk mereka yang berada dalam hirarki organisasi.
Budaya organisasi merupakan landasan setiap anggota dalam sikap dan perilaku di
setiap aktivitas perusahaan yang menjadikan perekat hubungan diantara anggota
perusahaan.
Calon pekerja yang dipilih adalah mereka yang memiliki nilai-nilai yang
sejalan dengan budaya organisasi yang dikatakan McShane dan Von Glinow (2008)
Budaya organisasi menurut Jones dan Goerge (2008) “organizational culture is the
shared set of beliefs, expectations, values, norms, and work routines that influence
the ways in which individuals, groups, and teams intreract with one another and
cooperate to achieve organizational goals”.
Jones dan Goerge juga mengatakan, bahwa ketika para anggota organisasi
memiliki komitmen yang kuat terhadap keyakinan, harapan, nilai-nilai, norma-
norma, dan kebiasaan-kebiasaan yang digunakannya dalam mencapai tujuan,
menunjukkan budaya organisasi yang kuat. Sebaliknya bila para anggota organisasi
tidak memiliki komitmen yang kuat, menunjukkan budaya organisasinya lemah.
Setiap organisasi memiliki budaya, tetapi budaya organisasi yang satu dengan
organisasi yang lain belum tentu sama. Budaya organisasi dibentuk melalui interaksi
4 (empat) faktor utama, yaitu: Personal and professional characteristics of people
within the organization (characteristics of organizational members), organizational
ethics, the employment relationship, and organizational structure (Jones dan George,
2008).
Inovasi dan mengambil risiko, perhatian pada rincian, orientasi hasil,
orientasi manusia, orientasi tim, agresivitas, dan stabilitas. Inovasi dan pengambilan
risiko berkaitan dengan sejauh mana para anggota organisasi didorong untuk inovatif
dan berani mengambil risiko. Perhatian ke hal yang rinci berkaitan dengan sejauh
mana para anggota organisasi/pegawai diharapkan mau memperlihatkan kecermatan
(presisi), analisis, dan perhatian kepada rincian.
Orientasi hasil mendiskripsikan sejauh mana manajemen fokus pada hasil
bukan pada teknik dan proses yang digunakan untuk mendapatkan hasil tersebut.
Orientasi orang menjelaskan sejauh mana keputusan manajemen memperhitungkan
efek hasil kepada orang-orang di dalam organisasi tersebut. Orientasi tim berkaitan
dengan sejauh mana kegiatan kerja organisasi dilaksanakan dalam tim kerja, bukan
pada individu. Keagresifan menjelaskan sejauh mana orang-orang dalam organisasi
menunjukkan keagresifan dan kompetitif, bukan bersantai. Stabilitas adalah sejauh
mana kegiatan organisasi menekankan dipertahankannya status quo sebagai lawan
dari pertumbuhan atau inovasi.

2.3.2 Dimensi-Dimensi Budaya Organisasi


Menurut Wibowo (2011, p34), budaya organisasi dalam suatu organisasi yang
satu dapat berbeda dengan yang ada dalam organisasi yang lain, namun budaya
organisasi menunjukkan ciri-ciri, sifat, karakteristik tertentu yang menunjukkan
kesamaannya.Terminologi yang dipergunakan para ahli untuk menunjukkan
karakteristik budaya organisasi sangat bervariasi.Hal tersebut menunjukkan
beragamnya ciri, sifat dan elemen yang terdapat dalam budaya organisasi.
Robbins (dalam Wibowo 2011, p37) mengemukakan adanya tujuh
karakteristik budaya organisasi, yaitu:
a. Inovasi dan keberanian mengambil risiko
Sejauh mana karyawan didorong untuk bersikap inovatif dan berani mengambil
risiko.
b. Perhatian pada hal-hal rinci
Sejauh mana karyawan diharapkan menunjukkan ketepatan, analisis, dan
perhatian pada hal-hal detail.
c. Orientasi pada hasil
Sejauh mana manajemen berfokus lebih pada hasil atau manfaat daripada teknik
dan proses yang digunakan untuk mencapai hasil tersebut.
d. Orientasi pada orang
Sejauh mana keputusan-keputusan manajemen mempertimbangkan efek dari hasil
tersebut terhadap orang yang ada di dalam organisasi.
e. Orientasi pada tim
Sejauh mana aktivitas kerja di organisir berdasarkan tim daripada individual.
f. Agresivitas
Sejauh mana orang bersikap agresif dan kompetitif ketimbang santai.
g. Stabilitas
Sejauh mana kegiatan-kegiatan organisasi menekankan dipertahankannya status
quo sebagai lawan dari perkembangan.
2.3.3 Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Budaya Organisasi

Budaya organisasi terus berkembang seiring berjalannya waktu. Menurut


Chatman & Cha (dikutip Ng’ang’a& Nyongesa, 2012) ada beberapa faktor yang
berperan penting dalam mempengaruhi perkembangan sebuah budaya organisasi,
diantaranya yaitu:
a. Sejarah
Alasan dan cara bagaimana organisasi ini awalnya terbentuk. Usia, filosofi dan
nilai-nilai dari pemilik dan manajer senior akan mempengaruhi budaya yang
terbentuk
b. Teknologi dan fungsi utama
Sifat bisnis organisasi dan fungsi utamanya memiliki pengaruh penting pada
budaya.Ini termasuk jangkauan dan kualitas produk dan layanan yang diberikan,
pentingnya reputasi dan jenis pelanggan. Fungsi utama dari lembaga akan
menentukan sifat dari proses teknologi dan metode kerja, yang pada gilirannya
juga mempengaruhi struktur dan budaya.
c. Strategi
Organisasi harus memberikan perhatian pada tujuan di semua bidang utama
operasinya. Kombinasi tujuan dan strategi yang dihasilkan akan mempengaruhi
budaya atau mungkin kombinasi tujuan dan strategi yang dihasilkan itu sendiri
dipengaruhi oleh budaya.
d. Ukuran organisasi
Organisasi yang besar biasanya memiliki struktur dan budaya organisasi yang
lebih formal.Meningkatnya ukuran sebuah organisai biasanya berdampak pada
pemisahan departemen. Peningkatan ataupun penurunan ukuran dan tingkat
pertumbuhan akan mempengaruhi jumlah anggota (karyawan) dalam sebuah
organisasi, sehingga perubahan tersebut secara tidak langsung akan
mempengaruhi struktur dan budaya organisasi.
e. Lokasi
Lokasi geografis dan karakteristik fisik dapat memiliki pengaruh besar pada
budaya. Misalnya apakah perusahaan terletak di pedesaan yang tenang atau
pusat kota yang sibuk sehingga dapat mempengaruhi jenis pelanggan dan
karyawan yang dipekerjakan. Lokasi juga dapat mempengaruhi sifat layanan
(program) yang ditawarkan oleh suatu perusahaan.
f. Manajemen dan kepemimpinan
Eksekutif puncak dapat memiliki pengaruh yang besar terhadap sifat budaya
perusahaan.Akan tetapi, semua anggota staf membantu dalam membentuk
budaya dominan yang ada disebuah organisasi.Budaya juga ditentukan oleh sifat
staf yang dipekerjakan dan sejauh mana mereka menerima filosofi manajemen
dan kebijakan yang diterapkan.
g. Lingkungan
Agar menjadi efektif, sebuah organisasi harus responsif terhadap pengaruh
lingkungan eksternal.

2.3.4 Tipe-Tipe Budaya Organisasi


Menurut Robbins (dikutip Wibowo, 2011, p27) bahwa budaya dapat
dikelompokkan berdasarkan hubungan antara tingkat sosiabilitas dan
solidaritas.Dimensi sosiabilitas dapat ditandai dengan tingkat persahabatan yang
ditemukan antara anggota organisasi. Dimensi solidaritas dapat ditandai dengan
tingkat di mana orang di dalam organisasi berbagi pengertian bersama tentang tugas
dan tujuan untuk apa mereka bekerja. Tipe-tipe budaya organisasinya yaitu:
a. Networked culture
Organisasi memandang anggota sebagai suatu keluarga dan teman.Budaya ini
ditandai dengan tingkat sosiabilitas atau kesenangan bergaul tinggi dan tingkat
solidaritas atau kesetiakawanan rendah. Karakteristik dari budaya ini adalah para
anggota saling mengenal satu sama lain dengan cepat dan merasa bahwa mereka
adalah bagian dari kelompok. kebiasaan informal serta menggunakan banyak waktu
untuk bersosialisasi.
b. Mercenary culture
Organisasi berfokus pada tujuan.Budaya organisasi ini ditandai dengan tingkat
sosiabilitas yang rendah dan tingkat solidaritas yang tinggi. Karateristik dari budaya
ini adalah komunikasi cenderung cepat, langsung dan dikendalikan dengan cara yang
tidak ada yang tidak mungkin. Kemenangan adalah segalanya dan orang didorong
melakukan suatu hal tanpa memperdulikan berapa lama waktu yang diperlukan untuk
membuatnya terwujud.
c. Fragmented culture
Organisasi yang dibuat dari para individualis.Budaya organisasi ini ditandai dengan
solidaritas dan sosiabilitas yang rendah.Karakteristik dari budaya ini adalah antar
anggota sedikit melakukan kontak dalam banyak hal, bahkan bisa tidak saling
mengenal.Anggota tidak menunjukkan identifikasi dengan organisasi di mana
mereka bekerja, melainkan menunjukkan identifikasi dengan profesi di mana mereka
menjadi bagian di dalamnya.
d. Communal culture
Organisasi menilai baik persahabatan dan kinerja.Budaya ini ditandai dengan
sosiabilitas dan solidaritas yang tinggi. Karakteristik budaya ini adalah antar anggota
sangat bersahabat satu sama lain dan bergaul dengan baik secara pribadi dan
profesional. Setiap anggota sangat bersahabat sehingga perbedaan antara pekerjaan
dan bukan pekerjaan dalam praktik menjadi kabur.Komunikasi dalam semua bentuk
mengalir dengan sangat mudah di antara orang pada semua tingkatan organisasi.Para
anggota sangat kuat dalam menunjukkan identifikasi terhadap organisasi.

2.3.5 Elemen Dasar Budaya Organisasi


Budaya organisasi yang dibentuk dari faktor-faktor yang terkandung di dalam
perusahaan sangat dipengaruhi oleh beberapa elemen kunci yang cukup dominan.
Adapun elemen-elemen dari budaya perusahaan menurut Deal dan Kennedy yang
dikutip oleh Pabundu (2006 : 16) adalah:
5.1 Lingkungan Usaha
Kelangsungan hidup organisasi di tentukan oleh kemampuan perusahaan memberi
tanggapan yang tepat terhadap peluang dan tantangan lingkungan. Lingkungan
usaha merupakan unsur yang menentukan terhadap apa yang harus dilakukan
perusahaan agar bisa berhasil. Lingkungan usaha yang berpengaruh antara lain
meliputi produk yang dihasilkan, pesaing, pelanggan, teknologi, pemasok,
kebijakan pemerintah, dan lain-lain. Sehubungan dengan itu, perusahaan harus
melakukan tindakan-tindakan untuk mengatasi lingkungan tersebut antara lain
seperti kebijakan penjualan, penemuan baru, atau pengelolaan biaya dalam
mengahadapi realitas pasar yang berbeda dengan lingkungan usahanya.
5.2 Nilai-nilai
Elemen nilai merupakan konsep dasar dan kepercayaan dari suatu organisasi.
Nilai-nilai tersebut menitik beratkan kepada suatu keyakinan untuk mencapai
kesuksesan. Nilai-nilai atau keyakinan agar dapat mendorong karyawan untuk
mencapai kinerja yang baik, hendaknya harus disampaikan secara terbuka oleh
para manajer kepada seluruh lapisan sumber daya manusia (SDM) yang ada, hal
ini dimaksudkan agar tidak terjadinya penyimpangan-penyimpangan dari standar
yang telah ditetapkan oleh perusahaan.
5.3 Pahlawan
Pahlawan adalah tokoh yang dipandang berhasil mewujudkan nilai-nilai budaya
dalam kehidupan nyata.Pahlawan bisa berasal dari pendiri perusahaan, para
manajer, kelompok organisasi atau perorangan yang berhasil menciptakan nilai-
nilai organisasi, mereka bisa menumbuhkan idealisme, semangat dan tempat
mencari petunjuk bila terjadi kesulitan atau masalah dalam organisasi.
5.4 Ritual
Kegiatan upacara di suatu perusahaan pada umumnya bentuk penghargaan
terhadap kinerja sumber daya manusianya atau dapat berupa laporan aktivitas-
aktivitas yang dilakukan oleh perusahaan dalam kurun waktu tertentu.Dengan
seringnya frekuensi kegiatan tersebut di perusahaan diharapkan akan menciptakan
budaya secara tidak sadar.
5.5 Jaringan Budaya
Elemen ini secara informal dapat dikatakan sebagai jaringan komunikasi di dalam
perusahaan, dapat dijadikan sebagai pembawa atau penyebaran nilai-nilai budaya
perusahaan.Elemen ini merupakan hierarki dari kekuatan yang tersembunyi di
dalam organisasi, oleh karena itulah efektivitas jaringan ini hanya sebagai cara
untuk mendapatkan informasi tentang apa yang terjadi di perusahaan, dapat
dikatakan juga bentuk jaringan kultural adalah informal.

2.4 Motivasi
2.4.1 Motivasi

Herzberg (1966) dalam Robbins & Judge (2008) memperkenalkan teori


motivasi higiene atau yang sering disebut dengan teori dua faktor, yang berpendapat
bahwa hubungan individu dengan pekerjaannya merupakan hubungan dasar dan
bahwa sikap seseorang terhadap kerja sangat menentukan kesuksesan atau
kegagalan individu tersebut.
Herzberg (1966) dalam Robbins & Judge (2008) juga menyatakan bahwa
terdapat faktor yang diinginkan seseorang terhadap pekerjaan mereka. Dari respon
yang dikategorikan, diketahui bahwa respon mereka yang merasa senang berbeda
dengan respon mereka yang tidak merasa senang. Beberapa faktor tertentu
cenderung secara konsisten terkait dengan kepuasan kerja dan yang lain terkait
dengan kerja.
Menurut Jones dan Goerge (2008) Motivasi adalah kekuatan psikologis yang
menentukan arah tingkat seseorang usaha, dan tingkat seseorang ketekunan. Jones
dan George juga mengatakan, bahwa motivasi merupakan sentral manajemen, sebab
menjelaskan bagaimana orang berperilaku dan cara mereka melakukan pekerjaan di
dalam organisasi. Motivasi ada yang berasal dari dalam (intrinsic) dan ada yang
berasal dari luar (extrinsic).
Perilaku dengan motivasi intrinsik adalah perilaku yang ditunjukkan untuk
kepentingannya sendiri, dengan kata lain sumber motivasi biasanya datang dari
penunjukkan perilaku itu sendiri. Sedangkan perilaku dengan motivasi ekstrinsik
adalah perilaku yang ditunjukkan untuk memperoleh materi atau penghargaan sosial
atau untuk menghindari hukuman. Perilaku tersebut ditunjukkan bukan untuk
kepentingannya sendiri tetapi lebih kepada konsekuensinya. Contoh dari motivasi
ekstrinsik termasuk bayaran, pujian, status. (Jones dan George, 2008).
Menurut Mc.Shane dan Von Glinow (2008), motivation refers to the forces
within aperson that affect the direction, intensity, and persistenceof voluntary
behavior. McShane dan Von Glinow juga mengatakan, bahwa motivasi merupakan
salah satu dari empat faktor yang menggerakkan seseorang berperilaku dan
menunjukan kinerjanya. Empat faktor tersebut adalah: motivation, ability, role
perception, and situationalfactors of individual behavior and results (MARS model).
Menurut hasil penelitian McClelland dalam McShane, Von Glinow dan Mary Ann
(2008) terdapat tiga kebutuhan yang mendorong motivasi, yaitu: Need for
achievement, need for affiliation, dan need for power. Bila kebutuhan-kebutuhan
tersebut dapat dipenuhi akan berakibat meningkatkan kinerja.
Menurut Malayu S.P Hasibuan (2006) “bahwa motivasi adalah pemberian
daya pengerak yang menciptakan kegairahan kerja seseorang, agar mereka mau
bekerja sama, bekerja efektif dan terintegrasi dengan segala daya upayanya untuk
mencapai kepuasan”.
Dimensi motivasi menurut Sutrisno Edy (2009) dibagi menjadi dua, yaitu :
1. Faktor Intern : keinginan untuk hidup, penghargaan, pengakuan.
2. Faktor Ekstern : kondisi lingkungan kerja (cahaya yang cukup, bersih, strategis)
dan adanya jaminan pekerjaan.

2.4.2 Teori Motivasi

Untuk mencapai keefektivan motivasi, maka diperlukan teori-teori motivasi


dari para ahli sebagai pendukungnya. Teori-teori motivasi dalam Malayu S.P
Hasibuan (2006) adalah sebagai berikut :
a) Teori Motivasi Mc Cleland
Menurut David Mc Cleland terdapat tiga macam kebutuhan yang perlu diperhatikan
pegawai yaitu : Kebutuhan akan prestasi (needs for achievement = nAch), kebutuhan
akan kelompok pertemanan (needs for affliliation = nAff) dan kebutuhan akan
kekuasaan (needs for power = nPower), dimana apabila kebutuhan seseorang terasa
sangat mendesak, maka kebutuhan itu akan memotivasi orang tersebut untuk
berusaha keras memenuhinya. Berdasarkan teori ini kebutuhan-kebutuhan tersebut
dapat dibangun dan dikembangkan melalui pengalaman dan pelatihan. Orang yang
tinggi dalam nAch akan lebih menyukai pekerjaan dengan tanggung jawab individu,
umpan balik dari kinerja, dan tujuan yang menantang.
b) Teori Herzberg
Teori Dua Faktor (Two-Factor Theory) yang dikemukakan oleh Frederick Herzberg
merupakan kerangka kerja lain untuk memahami implikasi motivasional dari
lingkungan kerja dan ada dua faktor di dalam teori ini yaitu faktor-faktor higienis
(sumber ketidakpuasan) dan faktor-faktor pemuas (sumberkepuasan) dalam teorinya
Herzberg menyakini bahwa kepuasan kerja memotivasi pada kinerja yang lebih baik.
Faktor higienis seperti kebijakan organisasi, supervisi dan gaji dapat menghilangkan
ketidakpuasan. Faktor ini berhubungan erat dengan pekerjaan. Perbaikan hubungan
pekerjaan tidak mengarah pada kepuasan yang lebih besar, tetapi diharapkan akan
mengurangi ketidakpuasan. Dilain pihak, motivator atau pemuas seperti pencapaian,
tanggung jawab dan penghargaan mendukung pada kepuasan kerja. Motivator
berhubungan erat dengan kerja itu sendiri atau hasil langsung yang diakibatkannya,
seperti peluang promosi, peluang pertumbuhan personal, pengakuan tanggung jawab
dan prestasi. Perbaikan dalam isi pekerjaan mendorong pada peningkatan kepuasan
dan motivasi untuk bekerja lebih baik.

2.4.3 Langkah-Langkah Memotivasi

Dalam memotivasi bawahan, ada beberapa petunjuk atau langkah-langkah


yang perlu diperhatikan oleh setiap pemimpin, yaitu:
 Pemimpin harus tahu apa yang harus dilakukan oleh bawahan.
 Pemimpin harus berorientasi kepada kerangka acuan orang.
 Tiap orang berbeda-beda di dalam memuaskan kebutuhan.
 Setiap pemimpin harus memberikan contoh yang baik bagi karyawan.
 Pemimpin mampu mempergunakan keahlian dalam berbagai bentuk.
 Pemimpin harus berbuat dan berlaku realitas.

2.4.4 Tujuan Motivasi

Motivasi mempunyai tujuan sebagaimana dalam Hasibuan (2005)


mengungkapkan bahwa :
 Mendorong gairah dan semangat kerja pegawai
 Meningkatkan moral dan kepuasan kerja pegawai
 Meningkatkan produktivitas kerja pegawai
 Mempertahankan loyalitas dan kestabilan pegawai perusahaan
 Meningkatkan kedisiplinan dan menurunkan tingkat absensi Pegawai
 Mengefektifkan pengadaan pegawai
 Menciptakan suasanan dan hubungan kerja yang baik
 Meningkatkan kreatifitas dan partisipasi pegawai
 Meningkatkan tingkat kesejahteraan pegawai
 Mempertinggi rasa tanggung jawab pegawai terhadap tugas-tugasnya
 Meningkatkan efisiensi penggunaan alat-alat dan bahan baku

2.4.5 Jenis-Jenis Motivasi

Menurut Hasibuan (2012: 150), Mengatakan bawah jenis-jenis motivasi


adalah sebagai beriku:
1. Motivasi Positif
Motivasi positif maksudnya manajer memotivasi (merangsang) bawahan
dengan memberikan hadiah kepada mereka yang berprestasi di atas prestasi
standar. Dengan motivasi positif, semangat kerja bawahan akan meningkat
karena umumnya manusia senang menerima yang baik-baik saja.
2. Motivasi Negatif
Motivasi negatif maksudnya manajer memotivasi bawahan dengan standar
mereka akan mendapat hukuman. Dengan motivasi negatif ini semangat
bekerja bawahan dalam jangka waktu pendek akan meningkat karena mereka
takut dihukum, tetapi untuk jangka waktu panjang dapat berakibat kurang
baik.
Menurut Winardi (2007: 7), Mengatakan bawah jenis-jenis motivasi adalah
sebagai berikut:
1. Motivasi Intrinsik
Motivasi intrinsik adalah motivasi yang tercakup di dalam situasikerja dan
memenuhi kebutuhan dan tujuan-tujuan staf. Motivasi ini seringjuga disebut motivasi
murni, yakni motivasi yang sebenarnya timbul daridalam diri sendiri.Motivasi ini
timbul tanpa pengaruh dari luar.Motivasi intrinsik didefinisikan juga sebagai
motivasi yang hidup dalam diri individu dan berguna dalam situasikerja yang
fungsional. Dalam hal ini pujian atau hadiah atau sejenisnyatidak diperlukan karena
tidak akan menyebabkan individu bekerja untukmendapatkan pujian atau hadiah itu.
2. Motivasi Ekstrinsik
Motivasi ekstrinsik adalah motivasi yang disebabkan oleh faktor-faktor dari luar.
Motivasi ekstrinsik tetap diperlukan sebab tidak semuapekerjaan dapat menarik
minat bawahan atau sesuai dengan kebutuhan.Dalam keadaan ini motivasi terhadap
pekerjaan perlu dibangkitkan olehmanajer agar mereka maudan ingin bekerja secara
lebih baik.

2.4.6 Teori Dua Faktor (Frederick Herzberg)

Frederick Herzberg (1950) dalam Hasibuan (2012: 157), seorang profesor


ilmu jiwa pada Universitas di Cleveland, Ohio, mengemukakan Teori Motivasi Dua
Faktor atau Herzberg's Two Factors Motivation Theory. Menurut Frederick Herzberg
(1996) dalam Robbins (2008: 218) ada dua jenis faktor yang mempengarhi motivasi
kerja, yaitu faktor instrinsik dan faktor ekstrinsik.
1) Faktor-Faktor Intrinsik yang berkaitan dengan isi pekerjaan, antara lain:
a. Tanggung Jawab (Responsibility), besar kecilnya tanggung jawab yang dirasakan
dan diberikan kepada seorang karyawan.
b. Kemajuan (Advancement), besar kecilnya kemungkinan karyawan dapat maju
dalam pekerjaannya.
c. Pekerjaan Itu Sendiri (the work itself), besar kecilnya tantangan yang dirasakan
oleh karuawan dari pekerjaannya.
d. Pencapaian (achievement), besar kecilnya kemungkinan karyawan mendapatkan
prestasi kerja, mencapai kinerja tinggi.
e. Pengakuan (Recognition), besar kecilnya pengakuan yang diberikan kepada
karyawan atas kinerja yang dicapai.
2) Faktor-Faktor Ekstrinsik yang menimbulkan ketidakpuasan serta berkaitan dengan
konteks pekerjaan, antara lain:
a. Kebijakan dan Administrasi perusahaan (company policy and administration),
derajat kesesuaian yang dirasakan karyawan dari semua kebijakan dan
peraturan yang berlaku dalam organisasi.
b. Kondisi kerja (working condition), derajat kesesuaian kondisi kerja dengan
pelaksanaan tugas pekerjaannya.
c. Gaji dan Upah (wagesand salaries), derajat kewajaran dari gaji yang diterima
sebagai imbalan kinerjanya.
d. Hubungan Antar Pribadi (interpersonal relation), derajat kesesuaian yang
dirasakan dalam berinteraksi dengan karyawan lain.
e. Kualitas supervisi (Quality supervisor), derajat kewajaran penyeliaan yang
dirasakan dan diterima oleh karyawan.
(Michael dan Intan, 2010: 25-26)
Dari faktor motivasi tersebut umumnya motivasi yang tinggi dihubungkan kinerja
dengan kinerja yang baik.Sebaliknya, motivasi yang rendah dihubungkan dengan
kinerja yang buruk.Kinerja karyawan kadang-kadang tidak berhubungan dengan
kompetensi yang dimiliki, karena terdapat faktor dari mempengaruhi kinerja.

2.5 Kepuasan Kerja


2.5.1 Definisi Kepuasan Kerja

Kepuasan kerja merupakan bentuk perasaan seseorang terhadap


pekerjaannya, situasi kerja dan hubungan dengan rekan kerja.Dengan demikian
kepuasan kerja merupakan sesuatu yang penting untuk dimiliki oleh seorang
pegawai, dimana mereka dapat berinteraksi dengan lingkungan kerjanya sehingga
pekerjaan dapat dilaksanakan dengan baik dan sesuai dengan tujuan perusahaan.
1. Robbins dan Judge (2008) menyatakan bahwa kepuasan kerja adalah perasaan
positif sebagai hasil evaluasi karakter-karakter pekerjaan tersebut.Definisi ini
tentu sangat luas maknanya.Sedangkan Menurut Colquitt, LePine, dan Wesson
(2009,p.105), kepuasan kerja adalah suatu pernyataan emosi yang menyenangkan
yang dihasilkan dari penghargaan terhadap pekerjaan seseorang dan apa yang
anda pikirkan tentang pekerjaan anda.
2. Menurut Mathis dan Jackson (2011), kepuasan kerja dalam arti yang paling
mendasar adalah keadaan emosional yang positif yang merupakan hasil dari
evaluasi pengalaman kerja seseorang.Sedangkan Menurut Kreitner dan Kinicki
(2001, p.170), kepuasan kerja adalah suatu respon yang mempengaruhi atau
respon emosional terhadap berbagai segi dari pekerjaan seseorang.
Maka dapat disimpulkan bahwa kepuasan kerja merupakan perasaan
karyawan terhadap pekerjaannya. Perasaan itu mencerminkan dari persesuaian antara
apa yang diharapkan karyawan dengan apa yang didapatkan karyawan dari
pekerjaannya. Dari definisi diatas, akhirnya dapat diambil suatu garis besar
pengertian bahwa kepuasan kerja adalah pandangan karyawan terhadap
pekerjaannya, mencakup perasaan karyawan dan penilaian karyawan terhadap
peranan pekerjaan dalam pemenuhan kebutuhannnya.

2.5.2 Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Kepuasan Kerja

Menurut Kreitner dan Kinicki (2003) dalam buku Wibowo (2009, p.326)
terdapat lima faktor yang dapat mempengaruhi timbulnya kepuasan kerja, yaitu :
1. Need fulfillment (pemenuhan kebutuhan)
Model ini mengajukan bahwa kepuasan ditentukan tingkatan karakteristik
pekerjaan yang memungkinkan kesempatan pada individu untuk memenuhi
kebutuhannya.
2. Discrepancies (perbedaan)
Model ini menyatakan bahwa kepuasan merupakan suatu hasil memenuhi
harapan. Pemenuhan harapan mencerminkan perbedaan antara apa yang
diharapkan dan yang diperoleh individu dari pekerjaan. Apabila harapan lebih
besar daripada apa yang diterima, orang akan tidak puas. Sebaliknya
diperkirakan individu akan puas apabila mereka menerima manfaat diatas
harapan.
3. Value attainment (pencapaian nilai)
Gagasan value attainment adalah bahwa kepuasan merupakan hasil dari persepsi
pekerjaan memberikan pemenuhan nilai kerja individual yang penting.
4. Equity (keadilan)
Dalam model ini dimaksudkan bahwa kepuasan merupakan fungsi dari seberapa
adil individu diperlakukan di tempat kerja.Kepuasan merupakan hasil dari
persepsi orang bahwa perbandingan antara hasil kerja dan inputnya relatif lebih
menguntungkan dibandingkan dengan perbandingan antara keluaran dan
masukkan pekerjaan lainnya.
5. Dispositional/genetic components (komponen genetik)
Beberapa rekan kerja atau teman tampak puas terhadap variasi lingkungan kerja,
sedangkan lainnya kelihatan tidak puas.Model ini didasarkan pada keyakinan
bahwa kepuasan kerja sebagian merupakan fungsi sifat pribadi dan faktor
genetik.Model menyiratkan perbedaan individu hanya mempunyai arti penting
untuk menjelaskan kepuasan kerja seperti halnya karakteristik lingkungan
pekerjaan.
Terwujudnya kepuasan kerja karyawan merupakan salah satu faktor
pendorong dari tercapainya tujuan organisasi. Menurut Hasibuan (2008), faktor yang
menimbulkan kepuasan kerja karyawan adalah:
a. Balas jasa yang adil dan layak
b. Penempatan yang tepat sesuai dengan keahlian
c. Berat ringannya pekerjaan
d. Suasana dan lingkungan pekerjaan
e. Peralatan yang menunjang pelaksanaan pekerjaan
f. Sikap pemimpin dalam kepemimpinannya
g. Sadar pekerjaan monoton atau tidak
2.5.3 Teori Kepuasan Kerja

Teori kepuasan kerja mengungkapkan apa yang membuat sebagian orang


lebih puas terhadap pekerjaannya daripada beberapa lainnya. Greenberg dan Baron
(2000, p. 153) menjelaskan dua pendekatan dari teori kepuasan kerja ada sebagai
berikut:
a. Two-Factor Theory
Teori dua faktor merupakan teori kepuasan kerja yang menganjurkan bahwa
satisfaction (kepuasan) dan dissatisfaction (ketidakpuasan) merupakan bagian
dari kelompok variabel yang berbeda, yaitu motivators dan hygienefactors.
Motivators factors menjelaskan bahwa kepuasan ditarik dari faktor yang terkait
dengan pekerjaan itu sendiri atau hasil langsung daripadanya, seperti sifat
pekerjaan, prestasi dalam pekerjaan, peluang promosi dan kesempatan untuk
pegembangan diri dan pengakuan. Sedangkan hygiene atau maintance factors
menjelaskan bahwa ketidakpuasan dihubungkan dengan kondisi di sekitar
pekerjaan (seperti kondisi kerja, pengupahan, keamanan, kualitas pengawasan,
dan hubungan dengan orang lain), dan bukannya dengan pekerjaan itu sendiri.
b. Value Theory
Teori ini memfokuskan pada hasil manapun yang menilai orang tanpa
memperhatikan siapa mereka.Kunci menuju kepuasan dalam pendekatan ini
adalah perbedaan antara aspek pekerjaan yang dimiliki dan diinginkan
seseorang.Semakin besar perbedaan, semakin rendah kepuasan seseorang.

2.5.4 Cara Karyawan Mengungkapkan Ketidakpuasan Kerja

Menurut Robbins dan Judge (2008) ketidakpuasan kerja karyawan dapat


dinyatakan dengan sejumlah cara, diantaranya:
a. Keluar (Exit): Perilaku yang mengarah untuk meninggalkan organisasi.
Mencakup pencarian suatu posisi baru maupun meminta berhenti.
b. Suara (Voice): Dengan aktif dan konstruktif mencoba memperbaiki kondisi.
Mencakup saran perbaikan, membahas problem-problem dengan atasan, dan
beberapa bentuk kegiatan serikat buruh.
c. Kesetiaan (Loyalty): Pasif tetapi optimis menunggu membaiknya kondisi.
Mencakup berbicara membela organisasi menghadapi kritik luar dan
mempercayai organisasi dan manajemennya untuk melakukan hal yang tepat.
d. Pengabaian (Neglect): Secara pasif membiarkan kondisi memburuk, termasuk
kemangkiran atau datang terlambat secara kronis, upaya yang dikurangi, dan
tingkat kekeliruan yang meningkat.
Hal-hal diatas dapat digambarkan dalam diagram berikut
Gambar 2.1 Response to Job Dissatisfaction

Sumber : Robbins dan Judge (2008)

2.5.5 Panduan Meningkatkan Kepuasan Kerja


Menurut Greenberg dan Baron (2000, p. 159) ada beberapa cara untuk
meningkatkan kepuasan dan mencegah ketidakpuasan pada pekerjaan, antara lain
sebagai berikut:
a. Membuat pekerjaan menyenangkan
Karyawan akan lebih puas dengan pekerjaan yang mereka senangi ketimbang
dengan pekerjaan yang membosankan. Meskipun beberapa pekerjaan secara
instrinsik membosankan, pekerjaan tersebut masih mungkin meningkatkan
kesenangan ke dalam setiap pekerjaan.
b. Karyawan dibayar secara adil
Karyawan yang meyakini bahwa sistem pengupahan organisasinya tidak adil
akan cenderung tidak puas dengan pekerjaannya. Hal ini diberlakukan tidak
hanya untuk gaji dan upah per jam, tetapi juga fringe benefit. Konsisten dengan
value theory, karyawan yang merasakan dibayar secara adil dan apabila
karyawan diberi peluang untuk memilih fringe benefit yang paling mereka
inginkan, maka kepuasan kerjanya cenderung akan meningkat.
c. Mencocokan karyawan dengan pekerjaan yang sesuai dengan minatnya.
Semakin banyak karyawan menemukan bahwa dirinya dapat memenuhi
minatnya pada pekerjaan mereka, maka mereka akan lebih puas terhadap
pekerjaannya. Perusahaan dapat menawarkan jasa konseling individu kepada
pekerja sehingga kepentingan pribadi dan professional dapat diidentifikasi dan
disesuaikan.
d. Menghindari kebosanan dan pekerjaan yang berulang-ulang.
Kebanyakan karyawan cenderung mendapat sedikit kepuasan apabila mereka
dihadapi dengan pekerjaan yang membosankan dan berulang-ulang. Sesuai
dengan two-factor theory, karyawan jauh lebih puas dengan pekerjaan yang
meyakinkan mereka memperoleh sukses dengan secara bebas melakukan kontrol
atas bagaimana cara mereka melakukan sesuatu.

2.5.6 Dimensi Kepuasan kerja

Menurut Hariandja (2002, p.291) mengemukakan bahwa kepuasan kerja


meliputi enam dimensi yaitu :
a. Gaji
sejumlah bayaran yang diterima seseorang akibat dari pelaksanaan kerja apakah
sesuai dengan kebutuhan dan dirasakan adil sesuai dengan ketrampilan dan
pengorbanan yang diberikan.
b. Pekerjaan itu sendiri
Salah satu faktor kepuasan kerja adalah pekerjaan yang menantang, bervariasi
dan memberikan kesempatan kepada karyawan untuk menggunakan kemampuan
dan keterampilan yang dimilikinya sehingga tidak menimbulkan kejenuhan dan
kebosanan bagi karyawan dalam mengerjakannya.
c. Atasan
Seseorang yang senantiasa memberikan perintah atau petunjuk dalam
pelaksanaan pekerjaan.Cara atasan memberi perintah kepada bawahan bisa
berdampak menyenangkan atau tidak menyenangkan bagi karyawan sehingga
dapat mempengaruhi tingkat kepuasan kerja seseorang.
d. Rekan kerja
Rekan kerja yang ramah, hubungan kerja sama dan komunikasi dengan rekan
kerja yang terjalin dengan baik akan mendatangkan kepuasan kerja yang tinggi.
e. Promosi
Pemberian kesempatan kepada karyawan untuk mengembangkan
karirnya.Seseorang dapat merasakan adanya kemungkinan yang besar untuk naik
jabatan atau tidak. Proses kenaikan jabatan yang kurang terbuka dapat
mempengaruhi tingkat kepuasan kerja seseorang.
f. Lingkungan kerja
Terdiri dari lingkungan kerja fisik dan psikologis. Karyawan akan mudah
mengerjakan dan menyelesaikan pekerjaannya bila kondisi seakan sekitarnya
bersih, terang,tidak terlalu sempit dan bising. Sehingga karyawan akan mudah
mengerjakan dan menyelesaikan pekerjaan dalam suasana atau kondisi yang
mendukung atau harmonis.

2.6 Kerangka Pemikiran

Menurut Sugiyono (2012: 89) Kerangka berfikir merupakan sintesa tentang


hubungan antara variabel yang disusun dari berbagai teori yang telah dideskripsikan.
Variabel dibedakan menjadi dua, yaitu variabel independen atau variable
bebas (X) dan variable dependen atau variabel terikat (Y).Variabel independen atau
variabel bebas adalah variabel yang mempengaruhi atau yang menjadi sebab
perubahannya atau timbulnya variabel dependen (variabel terikat).Sedangkan
variabel dependen atau variabel terikat adalah variabel yang dipengaruhi atau
menjadi akibat karena adanya variabel bebas (Sugiyono, 2012: 59).Dalam penelitian
ini yang menjadi variabel independennya adalah Budaya Organisasi(X1) dan
Motivasi Kerja (X2), sedangkan yang menjadi variabel dependennya adalah Kinerja
Karyawan (Z) dan variabel mediasi Kepuasan kerja (Y).

Gambar 2.1 Kerangka Pemikiran


Sumber : Hasil indetifikasi masalah
2.7 Hipotesis
Menurut Sugiyono (2012: 93), Hipotesis adalah jawaban sementara terhadap
rumusan masalah penelitian, dimana rumusan masalah penelitian telah dinyatakan
dalam bentuk kalimat pertanyaan. Dikatakan sementara, karena jawaban yang
diberikan baru didasarkan pada teori yang relevan, belum didasarkan pada fakta-
fakta empiris yang diperoleh melalui pengumpulan data.Jadi Hipotesis juga dapat
dinyatakan sebagai jawaban yang empiris dengan data. Hipotesis dalam penelitian ini
adalah:
1. Hipotesis 1
Budaya organisasi berpengaruh langsung terhadap kinerja karyawan di PT.
Waru Abadi Sukabumi
2. Hipotesis 2
Budaya organisasi berpengaruh tidak langsung terhadap kinerja karyawan
melalui kepuasan kerja di PT. Waru Abadi Sukabumi
3. Hipotesis 3
Budaya organisasi berpengaruh langsung terhadap kepuasan kerja di PT.
Waru Abadi Sukabumi
4. Hipotesis 4
Motivasi kerja berpengaruh langsung terhadap kinerja karyawan di PT. Waru
Abadi Sukabumi
5.Hipotesis 5
Motivasi kerja berpengaruh tidak langsung terhadap kinerja karyawan
melalui kepuasan kerja di PT. Waru Abadi Sukabumi.
6.Hipotesis 6
Motivasi kerja berpengaruh langsung terhadap kepuasan kerja di PT. Waru
Abadi Sukabumi.
7.Hipotesis 7
Kepuasan kerja berpengaruh langsung terhadap kinerja karyawan di PT. Waru
Abadi Sukabumi.

Anda mungkin juga menyukai