Anda di halaman 1dari 19

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Konsep Peran Perawat

2.1.1 Pengertian Peran Perawat

Peran merupakan seperangkat tingkah laku yang diharapkan oleh

orang lain terhadap seseorang, sesuai kedudukannya dalam suatu

system. Peran perawat di pengaruhi oleh keadaan sosial yang baik dari

dalam maupun dari luar profesi keperawatan dan bersifat konstan

(kusnanto,2008).

2.1.2 Peran Perawat

Doheny (1982) mengidentifikasi beberapa elemen peran perawat

yang meliputi:

1. Sebagai Edukator

Sebagai pendidik klien, perawat membantu klien meningkatkan

kesehatannya melalui pemberian pengetahuan yang terkait dengan

keperawatan dan tindakan medik yang diterima sehingga klien/keluarga

dapat menerima tanggung jawab terhadap hal-hal yang diketahuinya.

Sebagai pendidik, perawat juga dapat memberikan pendidikan kesehatan

kepada kelompok keluarga yang berisiko tinggi, kader kesehataan, dan

lain sebagainya (kusnanto,2008).

2. Sebagai Care Giver

Sebagai pelaku/pemberi asuhan keperawatan, perawat dapat

memberikan pelayanan keperawatan secara langsung dan tidak langsung

kepada pasien, menggunakan pendekatan proses keperawatan yang

meliputi: melakukan pengkajian dalam upaya mengumpulkan data dan

informasi yang benar, menegakkan diagnosis keperawatan berdasarkan

8
9

hasil analisis data, merencanakan intervensi keperawatan sebagai upaya

mengatasi masalah yang muncul dan membuat langkah/cara pemecahan

masalah, melaksanakan tindakan keperawatan sesuai dengan rencana

yang ada, melakukan evaluasi berdasarkan respons pasien terahadap

tindakan keperawatan yang telah dilakukan.

3. Sebagai Client advocate

Sebagai advokat klien, perawat berfungsi sebagai penghubung

antara klien dengan tim kesehatan lain dalam upaya pemenuhan

kebutuhan klien, membela kepentingan klien dan membantu klien

memahami semua informasi dan upaya kesehatan yang diberikan oleh

tim kesehatan dengan pendekatan tradisional maupun professional.

4. Sebagai Counsellor

tugas utama perawat adalah mengidentifikasi perubahan pola

interaksi klien terhadap keadaan sehat sakitnya. Sebagai pemberi

bimbingan/konseling klien, keluarga dan masyarakat tentang masalah

kesehatan sesuai prioritas. Konseling diberikan kepada individu/keluarga

dalam mengintegrasikan pengalaman kesehatan dengan pengalaman

yang lalu, pemecahan masalah difokuskan pada masalah keperawatan,

mengubah perilaku ke arah perilaku hidup sehat.

5. Sebagai collaborator

perawat bekerja sama dengan tim kesehatan lain dan keluarga

dalam menentukan rencana maupun pelaksanaan asuhan keperawatan

guna memenuhi kebutuhan kesehatan klien.

6. Sebagai Coordinator
10

Perawat memanfaatkan semua sumber-sumber dan potensi yang

ada, baik meteri maupun kemampuan klien secara terkoordinasi sehingga

tidak ada intervensi yang terlewatkan maupun tumpang tindih.

7. Sebagai Change agent

Sebagai pembaru, perawat mengadakan inovasi dalam cara

berfikir, bersikap, bertingkah laku dan meningkatkan keterampilan

klien/keluarga agar menjadi sehat. Elemen ini mencakup perencanaan,

kerja sama, perubahan yang sistematis dalam berhubungan dengan klien

dan cara memberilan perawatan kepada klien.

8. Sebagai Consultant

Elemen ini secara tidak langsung berkitan dengan permintaan

klien terhadap informasi tentang tujuan keperawatan yang diberikan.

Dengan peran ini dikatakan, perawat adalah sumber informasi yang

berkaitan dengan kondisi spesifik klien.

2.1.3 Kemampuan yang Harus Dimiliki Perawat Sebagai Edukator

Menurut Asmadi (2008), perawat sebagai pendidik harus memiliki

kemampuan sebagai syarat utama antara lain:

1. ilmu pengetahuan yang luas. Pendidikan kesehatan merupakan upaya

yang dilakukan oleh seorang pendidik secara sadar untuk membujuk

orang lain agar dapat berperilaku dan mempunyai pengetahuan dan

pemahaman yang sesuai. Ketika pendidik melaksanakan tugasnya, maka

terjadi transfer ilmu pengetahuan yang mendukung agar perannya

sebagai edukator dapat terlaksana dengan baik dan benar.

2. komunikasi. Keberhasilan proses pendidikan pada pasien dan keluarga

dipengaruhi oleh kemampuan perawat dalam berkomunikasi.

Kemampuan berkomunikasi ini merupakan aspek yang penting dalam


11

asuhan keperawatan. Perawat berinteraksi dengan pasien selama 24 jam

dan akan selalu berkomunikasi dengan pasien. Interaksi yang terjadi

antara perawat dengan pasien merupakan bagian dari komunikasi.

Perawat dapat memberikan penjelasan kepada pasien, memberi motivasi,

menghibur pasien, dan menjalankan tugas lainnya dengan komunikasi.

Komunikasi perawat yang baik secara verbal dan non verbal akan

meningkatkan pula citra profesionalisme yang baik pada perawat.

3. pemahaman psikologis. Perawat harus mampu memahami psikologis

seseorang agar dapat membujuk orang lain untuk berperilaku sesuai

yang diharapkan. Perawat harus meningkatkan kepeduliannya dan

kepekaan hatinya. Ketika perawat dapat memahami hati dan perasaan

pasien maka informasi yang diberikan oleh perawat akan dapat langsung

diterima oleh pasien sehingga tujuan pendidikan kesehatan dapat

tercapai.

4. menjadi model/contoh. Upaya yang dapat dilakukan perawat untuk

meningkatkan profesionalisme perawat dilakukan melalui pembuktian

secara langsung yaitu perawat dapat memberikan contoh atau model

dalam pengajaran.

Menurut standar perawat profesional dari College of Nurses in

Ontario (CNO) tahun 2009, perawat sebagai pendidik di lingkungan

klinik harus mampu:

a. memberikan penjelasan kepada pasien

b. mendukung kemampuan pasien

c. memfasilitasi pengajaran

d. memberikan model/contoh

2.1.4 FUNGSI PERAWAT


12

Fungsi adalah suatu pekerjaan yang harus dilaksanakan sesuai

dengan perannya, fungsi dapat berubah dari suatu keadaan ke keadaan

yang lain. Ruang lingkup dan fungsi keperawatan semakin berkembang

dengan fokus manusia tetap sebagai sentral pelayanan keperawatan.

Bentuk asuhan yang menyuruh dan utuh, dilandasi keyakinan tentang

manusia sebagai makhluk bio-psiko-sosio-spiri-tual yang unik dan utuh.

Ilmu keperawatan memfokuskan pada fenomena kasus dengan

menggunakan cara khusus dalam memberlandasan teoristik dari

fenomena keperawatan yang teridentifikasi. Dengan demikian, perawat

bertanggung jawab dan bertanggung gugat terhadap hal-hal yang

dilakukanya dalam praktik keperawatan. Dalam hal ini praktik

keperawatan harus berlandaskan prinsip ilmiah dan kemanusiaan serta

berilmu pengetahuan dan terampil melaksanakan pelayanan keperawatan

dan bersedia dievakuasi. Inilah ciri-ciri yang menunjukkan profesionalisme

perawat yang sangat vital bagi pelaksanaan fungsi keperawatan mandiri,

ketergantungan dan kolaboratif (kozier, 2008). Pengertian fungsi

keperawatan mandiri, ketergantungan dan kolaboratif kerap digunakan

untuk menggambarkan suatu tindakan keperawatan atau strategi

keperawatan yang diperankan oleh perawat.

2.1.5 Pelaksanaan fungsi keperawatan mandiri

Tindakan keperawatan mandiri (independen) adalah aktivitas

keperawatan yang dilaksanakan atas inesiatif perwat itu sendiri dengan

dasar pengetahuan dan keterampilannya Mundinger (2008) menyebutnya

sebagai “ autonomous nursing practice to independent nursing”. Ia

menuliskan mengenai mengapa, kapan dan bagaimana posisi serta

kondisi klien, dan melakukan suatu tindakan dengan keterampilan penuh

adalah fungsi dari terapi “autonomous”. Dalam hal ini perawatan bahwa
13

klien membutuhkan intervensi keperawatan yang pasti, salah satunya

adalah membantu memecahkan masalah yang dihadapi atau

mendelegasikan pada anggota keperawatan yang lain, bertanggung

jawab atas keputusan dan tindakannya (akuntabilitas). Contoh dari

tindakan keperawatan mandiri adalah seseorang perawat merencanakan

dan mempersiapkan perawatan khusus pada mulut klien setelah

mengkaji keadaan mulutnya.

2.1.6 Pelaksanaan fungsi keperawatan ketergantungan

Tindakan keperawatan ketergantungan (dependent) adalah

aktifitas keperawatan yang dilaksanakan atas intruksi dokter dalam

mekasanakan tindakan rutin yang spesifik. Contoh dari tindakan fungsi

ketergantungan dalam praktik keperawatan dilaksanakan dengan

penyakit klien dan hal ini sangat penting untuk mengurangi keluhan yang

diderita klien.

2.1.7 Pelaksanaan fungsi keperawatan kolaboratif

Tindakan leperawatan kolaboratif (interdependen) adalah aktivitas

yang dilaksanakan atas kerja sama dengan pihak lain atau tim kesehatan

lain. Tindakan kolaboratif terkadang menimbulkan adanya tumpang tindih

pertanggungjawaban diantara personal kesehatan ada hubungan

langsung kolega antar–profesi keshatan. Sebagai contoh, perawat dan

ahli terapi pernafasan bersama-sama membuat jadwal latihan bernafas

pada seorang klien. Seorang terapi pada awalnya mengajarkan latihan

pada klien dan perawat menguatkan pemahaman dan membantu klien

pada saat terapi tidak ada. American nurses association (kozier, 2009)

menggambarkan bahwa kolaboratif merupakan “kerjasama sejati”,

didalammya terdapat kesamaan kekuatan dan nilai-nilai dari kedua pihak,

dengan pengakuan dan penerimaan terpisah serta kombinasi dari lingkup


14

aktifitas dan pertanggungjawaban bersama-sama mencapai tujuan yang

telah disepakati oleh setiap bagian. Untuk melaksanakan parktik

keperawatan kolaboratif secara efektif perawat harus mempunyai

kemampuan klinis, mempunyai pengetahuan dan keterampilan yang

memadai dan rasa pertanggungjawaban yang tinggi dalam setiap

tindakan (koesnanto, 2008).

2.1.8 Tanggung jawab perawat

Secara umum perawat mempunyai tanggung jawab dalam

memberikan asuhan/pelayanan keperawatan, meningkatkan ilmu

pengetahuan dan meningkatkan diri sebagai profesi. Tanggung jawab

dalam memberikan asuhan keperawatan kepada klien mencakup aspek

bio-psiko-sosial-kultural dan spiritual, dalam upaya pemenuhan

kebutuhan dasarnya dengan menggunakan pendekatan proses

keperawatan yang meliputi:

1. Membantu klien memperoleh kembali kesehatannya.

2. Membantu klien yang sehat untuk memelihara kesehatannya.

3. Membantu klien yang tidak dapat disembuhkan untuk menerima

kondisinya.

4. Membantu klien yang mengahadapi ajal untuk diperlakukan secara

manusiawi sesuai martabatnya sampai meninggal dengan tenang

(koesnanto, 2008).

2.2 Konsep TB paru

2.2.1 Definisi TB paru

Tuberculosis paru merupakan penyakit infeksi yang menyerang

parenkim paru-paru, disebabkan oleh Mycobacterium tuberculosis.


15

Penyakit ini dapat juga menyebar ke bagian tubuh lain seperti meningen,

ginal, tulang, dan nodus limfe (Somantri Irman,2009)

2.2.2 Etiologi TB paru

Penyakit ini disebabkan oleh bakteri mycobacterium tuberculosis.

Bakteri atau kuman ini berbentuk batang, dengan ukuran panjang 1-4 um

dan tebal 0,3-0,6 um. Sebagian besar kuman berupa lemak/lipid,

sehingga kuman tahan terhadap asam dan lebih tahan terhadap kimia

atau fisik. Sifat lain dari kuman ini adalah aerob yang menyukai daerah

dengan banyak oksigen, dan daerah yang memiliki kandungan oksigen

tinggi yaitu apical/apeks paru. Daerah ini menjadi predileksi pada penyakit

tuberculosis (Somantri irman,2009).

2.2.3 Klasifikasi Tb paru

Tuberculosis pada manusia ditemukan dalam dua bentuk, yaitu:

1. Tuberculosis primer, jika terjadi infeksi yang pertama kali.

2. Tuberculosis sekunder, kuman yang dorman pada tuberculosis primer

akan aktif selama bertahun-tahun kemudian sebagai infeksi endogen

menjadi tuberculosis dewasa. Mayoritas terjadi karena adanya

penurunan imunitas, misalnya karena malnutrisi, penggunaan alcohol,

penyakit maligna, diabetes, AIDS, dan gagal ginjal (Somantri

irman,2009).

2.2.4 Maniefestasi Klinis

Keluhan yang dirasakan pasien tuberculosis dapat bermacam-

macam atau malah banyak pasien ditemukan TB paru tanpa keluhan


16

sama sekali dalam pemeriksaan kesehatan, keluhan yang terbanyak

adalah :

1. Demam, biasanya subfebril menyerupai demam influenza. tetapi

kadang-kadang panas badan dapat mencapai 40-41oC. keadaan ini

dipengaruhi oleh daya tahan tubuh pasien dan berat ringannya infeksi

kuman tuberculosis yang masuk.

2. Batuk/Batuk Darah, gejala ini banyak ditemukan. Batuk terjadi karena

adanya iritasi pada bronkus. Batuk ini diperlukan untuk membuang

produk-produk radang keluar. Karena terlibatnya bronkus pada setiap

penyakit tidak sama, mungkin saja batuk ada setelah penyakit

berkembang dalam jaringan paru yakni setelah berminggu-minggu

atau berbulan-bulan peradangan bermula. Sifat batuk dimulai dari

batuk kering (non-produktif) kemudian setelah timbul peradangan

menjadi produktif (menghasilkan sputum). Keadaan yang lanjut

adalah berupa batuk darah karena terdapat pembuluh darah yang

pecah.

3. Sesak napas, pada penyakit yang ringan (baru tumbuh) belum

dirasakan sesak napas. Sesak napas akan ditemukan pada penyakit

yang sudah lanjut, yang infiltrasinya sudah meliputi setengah bagian

paru-paru.

4. Nyeri dada, gejala ini jarang ditemukan. Nyeri dada timbul bila infiltrasi

radang sudah sampai ke pleura sehingga menimbulkan pleuritis.

Terjadi gesekan kedua pleura sewaktu paisen menarik/melepaskan

napasnya.

5. Malaise, penyakit tuberculosis bersifat radang yang menahun. Gejala

malaise sering ditemukan berupa anoreksia tidak ada nafsu makan,

badan makin kurus (berat badan menurun), sakit kepala, meriang,


17

nyeri otot, keringat malam dll. Gejala malaise ini makin lama makin

berat dan terjadi hilang timbul secara tidak teratur (Amin Zulkifli &

Bahar Asril, 2009).

2.2.5 Patofisiologi

Seseorang yang dicurigai menghirup basil mycobacterium

tuberculosis akan menjadi terinfeksi. Bakteri menyebar melalui jalan nafas

ke alveoli, dimana pada daerah tersebut bakteri bertumpuk dan

berkembang biak. Penyebaran basil ini bisa juga melalui system limfe dan

aliran darah kebagian tubuh lain (ginjal, tulang, korteks serebri) dan area

lain dari paru-paru (lobus atas).

Sistem kekebalan tubuh berespon dengan melakukan reaksi

inflamasi. Neutrofil dan makrofag memfagositosis (menelan) bakteri.

Limfosit yang spesifik terhadap tuberculosis menghancurkan (meliliskan)

basil dan jaringan normal. Reaksi jaringan ini mengakibatkan

terakumulasinya eksudat dalam alveoli dan terjadilah bronkopneumonia.

Infeksi awal biasanya timbul dalam waktu 2-10 minggu setelah terpapar.

Massa jaringan baru disebut granuloma, yang berisi gumpalan

basil yang hidup dan yang sudah mati, dikelilingi oleh makrofag yang

membentuk dinding. Granuloma berubah bentuk menjadi massa jaringan

fibrosa. Bagian tengah dari massa tersebut disebut Ghon Tubercle.

Materi yang terdiri atas makrofag dan bakteri yang menjadi nekrotik,

membentuk perkijauan (necrotizing caseosa). Setelah itu akan terbentuk

klasifikasi, membentuk jaringan kolagen. Bakteri menjadi non- aktif.

Penyakit akan berkembang menjadi aktif setelah reaksi awal,

karena respon sistem imun yang tidak adekuat. Penyakit aktif dapat juga

timbul akibat infeksi ulang atau aktifnya kembali bakteri yang tidak aktif.
18

Pada kasus ini, terjadi ulserasi pada ghon tubercle, dan akhirnya menjadi

perkijuan. Tuberkel yang ulserasi mengalami proses penyembuhan

membentuk jaringan parut. Paru-paru yang terinfeksi kemudian

meradang, mengakibatkan bronkopneumonia, pembentukan tuberkel, dan

seterusnya. Pneumonia seluler ini dapat sembuh dengan sendirinya.

Proses ini berjalan terus dan basil terus difagosit atau berkembang biak di

dalam sel. Basil juga menyebar melalui kelenjar getah bening. Makrofag

yang mengadakan infiltrasi menjadi lebih panjang dan sebagian bersatu

membentuk sel tuberkel epiteloid yang dikelilingi oleh limfosit

(membutuhkan 10-20 hari). Daerah yang mengalami nekrosis serta

jaringan granulasi yang dikelilingi sel epiteloid dan fibroblast akan

menimbulkan respon berbeda dan akhirnya membentuk suatu kapsul

yang dikelilingi oleh tuberkel (Somantri Irman,2009).

2.2.6 Komplikasi

Penyakit tuberculosis paru bila tidak ditangani dengan benar akan

menimbulkan komplikasi. Komplikasi dibagi atas komplikasi dini dan

komplikasi lanjut.

1. Komplikasi dini: pleuritis, efusi pleura, empiema, laringitis, poncet’s

arthoropathy.

2. Komplikasi lanjut: obstruksi jalan napas, SOPT (Sindrom Obstruksi

Pasca Tuberkulosis), kerusakan parenkim berat, fibrosis paru, kor

pulmonal, amiloidosis, karsinoma paru, sindrom gagal napas dewasa

(ARDS), sering terjadi pada TB milier dan kavitas TB (Amin Zulkifli &

bahar asril,2009).

2.2.7 Pemeriksaan Penunjang

1. Kultur sputum: menunjukkan hasil positif untuk mycobacterium

tuberculosis pada stadium aktif.


19

2. Zhiel neelsen (acid-fast staind applied to smear of body fluid): positif

untuk bakteri tahan asam (BTA).

3. Skin test (PPD, Mantoux, Tine, Vollmer Patch): reaksi positif ( area

indurasi 10 mm atau lebih, timbul 48-72 jam setelah injeksi antigen

intradermal) mengindikasikan infeksi lama dan adanya antibody tetapi

tidak mengidikasiakan penyakit sedang aktif.

4. Foto rontgen dada (chest x-ray): dapat memperlihatkan infiltrasi kecil

pada lesi awal di bagian paru-paru bagian atas, deposit kalsium pada

lesi primer yang membaik atau cairan pada efusi. Perubahan

mengindikasikan TB paru yang lebih berat, dapat mencakup area

berlubang dan fibrosa.

5. Histologi atau kultur jaringan (kumbah lambung, urine dan CSF, serta

biopsi kulit): menunjukkan hasil positif untuk mycobacterium

tuberculosis.

6. Needle biopsy of lung tissue: positif untuk granuloma TB , adanya sel

sel besar yang mengindikasikan nekrosis.

7. Elektrolit: mungkin abnormal bergantung pada lokasi dan beratnya

infeksi, misalnya hiponatremia mengakibatkan retensi air, mungkin

ditemukan pada TB paru kronik lanjut.

8. ABGs: mungkin abnormal, bergantung pada lokasi, berat, dan sisa

kerusakan paru.

9. Bronkografi: merupakan pemeriksaan khusus untuk melihat

kerusakan bronkus atau kerusakan paru karena TB.

10. Darah: leukositosi, laju endap darah (LED) meningkat.

11. Tes fungsi paru: VC menurun, dead space meningkat, TLC

meningkat, dan saturasi oksigen menurun yang merupakan gejala


20

sekunder dari fibrosis/infiltrasi parenkim paru dan penyakit pleura

(Somantri Irman,2009).

2.2.8 Penatalaksanaan TB paru

Penatalaksanaan yang diberikan pada pasien TB paru berupa

metode preventif dan kuratif meliputi cara-cara sebagai berikut ini:

1. Penyuluhan

2. Pencegahan

3. Pemeberian obat-obatan, seperti:

a. OAT (Obat anti-Tuberkulosis)

b. Bronkodilator

c. Ekspektoran

d. OBH, dan

e. Vitamin

4. Fisioterapi dan rehabilitasi

5. Konsultasi secara teratur (Somantri Irman,2009)

2.3 Konsep Kepatuhan

2.3.1 Definisi kepatuhan

Kepatuhan adalah tingkat perilaku individu (misalnya: minum obat,

mematuhi diet, atau melakukan perubahan gaya hidup) sesuai anjuran

terapi atau kesehatan. Tingkat kepatuhan dapat dimulai dari tindak

mengindahkan setiap setiap aspek anjuran hingga mematuhi semua

rencana terapi ada berbagai alasan mengapa sebagian orang patuh dan

yang lain tidak (fundamental ,2011).

Patuh berobat adalah tingkah perilaku penderita dalam mengambil

suatu tindakan atau upaya untuk secara teratur menjalani pengobatan


21

(Muzaham, 2002). Menurut penelitian Rusmani (2008) menyebutkan

bahwa kepatuhan adalah suatu perbuatan untuk bersedia melaksanakan

aturan pengambilan dan minum obat sesuai jadwal yang telah di

tetapkan.

Penderita yang patuh berobat adalah yang menyelesaikan

pengobatannya secara teratur dan lengkap tanpa terputus selama 6 bulan

sampai dengan 8 bulan (Depkes RI, 2012), sedangkan penderita yang

tidak patuh datang berobat dan minum obat bila frekuensi minum obat

tidak dilaksanakan sesuai dengan rencana yang ditetapkan (Depkes RI,

2012). Menurut snider dikutip Aditama (2002) menyatakan bahwa salah

satu indicator kepatuhan penderita adalah datang atau tidaknya penderita

setelah mendapat anjuran kembali untuk control. Seorang penderita

dikatakan patuh menjalani pengobatan apabila berobat sesuai dengan

ketepatan waktu mengambil obat sampai selesai masa pengobatannya.

Penderita dikatakan tidak patuh atau lalai jika tidak datang lebih 3

hari – 2 bulan dari tanggal yang telah ditentukan dan dikatakan drop out

jika lebih dari 2 bulan berturut-turut tidak datang berobat setelah

dikunjungi petugas kesehatan ( Depkes RI, 2012).

2.3.2 Cara miningkatkan kepatuhan

Untuk meningkatkan kepatuhan, perawat perlu memastikan

bahwa klien mampu melakukan terapi yang diprogramkan. Memahami

instruksi yang penting menjadi partisipan yang mau berusaha mencapai

tujuan terapi, dan menghargai hasil perubahan perilaku yang

direncanakan. Contoh pertanyaan yang dapat disertakan dalam

pengkajian dapat dilihat di wawancara pengkajian.

2.3.3 Cara mengidentifikasi ketidakpatuhan


22

Ketika mengidentifikasi adanya ketidakpatuhan, perlu mengambil

langakah berikut:

1. Memastikan alasan klien tidak mematuhi program

Berdasarkan alasan klien, perawat dapat memberikan informasi,

mengoreksi kesalahpahaman, mencoba mengurangi biaya, atau

menganjurkan konseling bila masalah psikologis menghambat kepatuhan.

Perawat juga perlu mengevaluasi ulang kesesuaian anjuran kesehatan

yang diberikan. Jika kepercayaan budaya klien atau usia bertentangan

dengan rencana terapi, perawat perlu mempertimbangkan cara untuk

menyusun ulang pola dan merestruksisasi ulang perawatan yang akan

diberikan dan mengakomodasi praktik klien.

2. Menunjukkan kepedulian

Perlihatkan perhatian yang tulus terhadap masalah dan keputusan

klien serta pada saat yang sama mengakui hak-hak pasien terhadap

rangkaian tindakan. Misalnya, perawat memberitahu pasien yang tidak

meminum obat untuk penyakit jantungnya. “saya mengerti perasaan anda

tentang hal ini, tetapi saya sangat khawatir dengan jantung anda”.

3. Mendorong perilaku sehat melalui penguatan positif

Apabila seseorang pria yang tidak meminum obat untuk penyakit

jantungnya berjalan-jalan setiap hari, perawat dapat mengatakan, “bagus

sekali, anda berjalan-jalan”.

4. Menggunakan alat bantu untuk membantu penyuluhan.

Sebagai contoh, perawat dapat meninggalkan pamflet untuk

dibaca klien setelah penyuluhan.

2.3.4 Faktor yang mempengaruhi kepatuhan

1. motivasi klien untuk sembuh.

2. tingkat perubahan gaya hidup yang dibutuhkan.


23

3. persepsi keparahan masalah kesehatan.

4. nilai upaya mengurangi ancaman penyakit.

5. kesulitan memahami dan melakukan perilaku khusus

6. tingkat gangguan penyakit atau rangkaian terapi

7. keyakinan bahwa terapi atau rejimen yang di programkan akan

membantu atau tidak membantu.

8. kerumitan, efek samping dan durasi terapi yang diajukan.

9. warisan budaya tertentu yang membuat kepatuhan menjadi sulit

dilakukan.

10. tingkat kepuasan dan kualitas serta jenis hubungan dengan penyedia

pelayanan kesehatan.

11. seluruh biaya terapi yang diprogramkan.

2.3.5 Penyebab kegagalan pengobatan

Sebab-sebab kegagalan dan pengobatan, antara lain :

Obat :

1. Panduan obat tidak adekuat

2. Dosis obat tidak cukup

3. Minum obat tidak teratur atau tidak sesuai dengan petunjuk yang

diberikan

4. Janga pengobatan kurang dari semestinya

5. Terjadi riterasi obat yang sudah diwaspadai yakni bila dalam 1-2 bulan

pengobatan tahap intensif, tidak terlihat perbaikan.

Di Amerika serikat prevalensi pasien yang resisten terhadap OAT makin

meningkat dan sudah mencapai 9%. Di Negara yang sedang berkembang

seperti di afrika diperkirakan lebih tinggi lagi . BTA yang yang sudah

diresisten terhadap OAT saat ini sudah dapat diteksi dengan cara PRC-
24

SSCP (Polymerase Chain Reaction-Single Staranted Confirmation

Polymorphism) dalam waktu 1 hari.

Drop out :

1. Kekurangan biaya pengobatan

2. Merasa sudah sembuh

3. Malas berobat atau kurang motivasi.

Penyakit :

1. Lesi paru yang sakit terlalu luas atau skit berat

2. Penyakit lain yang menyertai tuberkuiosis seperti dibetes mellitus,

alkoholisrae

3. Adanya gangguan imunologis

Sebab-sebab kegagalan pengobatan yang terbanyak adalah karena

kekurangan biaya pengobatan atau merasa sudah sembuh. Kegagalan

pengobatan ini dapat mencapai 50% pada terapi jangka panjang, karena

sebagian besar pasien tuberkuiosis adalah golongan yang tidak mampu

sedangkan pengobatan tuberculosis memerlukan waktu lama dan biaya

banyak.

Untuk mencegah kegagalan pengobatan ini perlu bekerjasama yang baik

dari dokter dan paramedik lainnya serta motivasi pengobatan tersebut

terhadap pasien. Penangguan terhadap kasus-kasus yang gagal ini adalah :

Terhadap pasien yang sudah berobat secara teratur.

1. Menilai kembali apakah panduan obat sudah adekuat mengenai dosis

dan cara pemberiannya.

2. Lakukan pemeriksaan uji kepekaan atau tes resistensi kuman terhadap

obat.
25

3. Bila sudah dicoba dengan obat-obat yang masih peka, tetapi ternyata

gagal juga, maka pertimbangkan terapi dengan pembedahan terutama

pada pasien kavitas atau destroyet lung.

Terhadap pasien dengan riwayat pengobatan tidak teratur:

1. Teruskan pengobatan lama selama +3 bulan dengan evakuasi

bakteriologis tiap - tiap bulan

2. Nilai kembali tes resistensi kuman terhadap obat

3. Bila ternyata terdapat resistensi terhadap obat, ganti dengan panduan

obat yang masih sensitive.

2.4 Konsep Hubungan

2.4.1 Peran Perawat sebagai edukator berhubungan dengan Kepatuhan

untuk berobat

Kepatuhan menjadi suatu permasalahan bagi semua perawat

dalam memberikan asuhan keperawatan pada pasien. Fisher (1992

dalam Bastable, 2002) mengemukakan bahwa perspektif ahli farmasi

terhadap pengukuran kepatuhan yang dilakukan pada program

pengobatan lebih efektif dengan model komunikasi untuk pendidikan yang

diberikan kepada pasien. Perawat sebagai pendidik dapat memilih salah

satu atau kombinasi perspektif teoritis dengan tujuan kepatuhan atas

program yang berkaitan dengan pendidikan kesehatan (Bastable, 2002).

Kesadaran diri pendidik berhubungan dengan karakteristik peserta didik

dalam hal ini pasien dan riwayat kepatuhan terdahulu pada program

kesehatan memainkan peran penting dalam proses pendidikan. Harapan

akan kepatuhan total pada bidang apapun dan kapan pun merupakan

harapan yang tidak realistis, kadang-kadang perilaku ketidakpatuhan


26

mungkin diinginkan dan dapat dianggap sebagai respons defensif yang

diperlukan terhadap situasi yang penuh tekanan (Bastable, 2002).

Adanya jangka waktu yang lama disertai efek samping

pengobatan, memunculkan beberapa jenis kepatuhan klien yaitu

kepatuhan tinggi (high adherence) adalah klien yang mengkonsumsi obat

secara teratur sesuai petunjuk, kepatuhan sedang (medium adherence)

adalah klien yang riwayat putus obat atau kepatuhan rendah (low

adherence) adalah klien yang tidak minum obat sama sekali ( Osteberg,

2007). Peran tenaga kesehatan yang paling tepat untuk memberikan

edukasi tentang program pengobatan (dosis,lamanya pengobatan,rute

dan waktu pemberian obat maupun obat samping obat) adalah perawat

adalah untuk menetapkan tingkat kepatuhan terhadap terapi pengobatan

(potter dan erry, 2005).

Tugas utama tenaga kesehatan yakni perawat adalah pemberian

informal terkait efek samping terapi, biaya terapi, dan terapi yang

kompleks dan berkepanjangan. Hal ini sesuai dengan peran perawat

sebagai pendidik (edukator) yang mempengaruhi motivasi dan kepatuhan

klien untuk meningkatkan kesehatan melalui pemberian pengetahuan

yang terkait dengan keperawatan dan tindakan medis yang diterima

(bastble, 2008 : susanto, 2012).

Anda mungkin juga menyukai