Anda di halaman 1dari 19

SISTEM HUKUM INTERNASIONAL DAN PERADILAN

INTERNASIONAL

Kt. Diara Astawa


Jurusan Hukum dan Kewarganegaraan, Universitas Negeri Malang
Jl. Semarang No.5 Malang
email:ktut.diara.astawa.fis@um.ac.id

Abstract: In this globalization era, cooperative relationships spread. The relationship between one
country and another is as if no border. Problems arousing are also more complicated as the increas-
ing of the people’s needs. Law has very important roles in regulating those relationships. Interna-
tional law is crucially needed in maintaining harmonious relationships among people and countries.
This writing is focusing in the definition of international legal system; principles, source, and subject
of international legal system; causative factors and ways how to solve international disputes.

Abstrak: Di era globalisasi saat ini hubungan kerjasama semakin meluas, antar negara satu dengan
lainnya seolah-oleh tanpa sekat (batas). Permasalahan yang muncul semakin rumit seiring
meningkatnya berbagai kebutuhan. Hukum memiliki peranan yang sangat penting untuk mengatur
berbagai kerjasama atau hubungan yang semakin kompleks dan melampaui batas-batas negara
tersebut. Kedudukan hukum internasional sangat diperlukan dalam menjaga ketertiban dan
kelangsungan hubungan yang harmonis antar manusia maupun antar negara. Kajian tulisan dalam
artikel ini difokuskan pada bahasan mengenai pengertian sistem hukum internasional, asas-asas
hukum internasional, sumber hukum internasional, subyek hukum internasional, faktor penyebab
timbulnya sengketa internasional, cara penyelesaian sengketa internasional.

Kata Kunci: sistem hukum internasional, peradilan internasional

Pemahaman terhadap sistem hukum dan peradilan adanya hukum Internasional yang berfungsi
internasional ini sangat penting baik dalam konteks sebagai pedoman untuk mengatur hubungan
nasional maupun internasional. Dalam hukum antar bangsa atau antar negara, dan
perkembangan global sekarang ini, hubungan mengatur hubungan hukum dua atau lebih subyek
hukum tidak lagi terbatas pada hubungan hukum hukum yang berbeda kewarganegaraannya.
intern warganegara, tetapi sudah jauh melampaui Dalam hubungan hukum tersebut, tidak menutup
batas yurisdiksi hukum nasional, baik dilakukan kemungkinan terjadinya pelanggaran yang
dengan sengaja, maupun tidak sengaja, secara menimbulkan kerugian pihak lain, sehingga untuk
langsung maupun tidak langsung. Apabila memulihkan hubungan itu perlu dilakukan melalui
hubungan hukum sudah masuk dalam kawasan proses peradilan internasional.
yuridiksi hukum yang berbeda atau sistem hukum Sistem hukum internasional merupakan
negara lain, maka hubungan hukum itu sudah sistem hukum yang tertulis yang mengatur pola
masuk dalam kawasan hukum internasional. interaksi antar negara. Sistem hukum internasional
Dalam perspektif negara kesejahteraan (wel- berkaitan erat dengan pengadilan internasional.
fare state), setiap bangsa atau negara tidak dapat Fungsi Hukum Internasional adalah mengatur
mencukupi kebutuhan dirinya sendiri, maksudnya, hubungan antar subyek hukum internasional dan
untuk mencukupi kebutuhan diri perlu bantuan menyelesaikan sengketa internasional. Segala
bangsa atau negara lain, akibatnya timbullah sengketa antarbangsa atau antarnegara yang tidak
hubungan antar bangsa atau antar negara. Agar dapat diselesaikan oleh bangsa-bangsa yang
hubungan antara bangsa atau antar negara berjalan bersengketa itu sendiri di bawah ke pengadilan
dengan tertib, teratur dan lancar, maka diperlukan internasional. Sebagai bagian dari satu keluarga

24
Astawa, Sistem Hukum Internasional dan Peradilan Internasional 25

besar negara-negara di dunia ini, Bangsa Indone- satu kesatuan yang terdiri dari unsur-unsur yang
sia juga secara bebas dan aktif terlibat dalam mempunyai interaksi satu sama lain dan bekerja
kancah pergaulan antar bangsa yang seyogyanya sama untuk mencapai tujuan kesatuan tersebut.
juga mematuhi ketentuan-ketentuan hukum Kesatuan tersebut diterapkan terhadap kompleks
internasional dan pengadilan internasional. unsur-unsur yuridis seperti peraturan hukum, asas
Pengkajian sistem hukum dan peradilan hukum dan pengertian hukum. Masing-masing
internasional dalam tulisan ini difokuskan pada: (1) bagian harus dilihat dalam kaitannnya dengan
pengertian sistem hukum internasional; (2) asas- bagian-bagian lain dan dengan keseluruhannya
asas hukum internasional; (3) sumber hukum seperti gambar mozaik; suatu gambar yang
internasional; (4) subyek hukum internasional; (5) dipotong-potong menjadi bagian kecil-kecil untuk
faktor penyebab timbulnya sengketa internasional; kemudian dihubungkan lagi sehingga tampak utuh
(6) cara penyelesaian sengketa internasional. kembali gambar semula. Masing-masing bagian
tidak bediri sendiri lepas hubungannya dengan yang
PENGERTIAN SISTEM HUKUM DAN lain, tetapi kait-mengkait dengan bagian-bagian
HUKUM INTERNASIONAL lainnya. Tiap bagian tidak mempunyai arti di luar
kesatuan. Di dalam kesatuan itu tidak dikehendaki
Pengertian Sistem Hukum adanya konflik, pertentangan atau kontradiksi
antara bagian-bagian. Kalau sampai terjadi konflik
Pengertian sistem hukum sudah saya maka akan segera diselesaikan oleh dan di dalam
sampaikan dalam materi diklat sistem hukum dan sistem itu sendiri dan tidak dibiarkan berlarut-larut.
peradilan nasional. Dalam materi diklat sistem Selanjutnya, Sudikno Mertokusumo menyatakan:
hukum dan peradilan nasional, dalam kaitan keseluruhan tata hukum nasional dapat disebut
dengan pengertian sistem hukum saya sistem hukum nasional. Kemudian masih dikenal
deskripsikan sebagai berikut. Dalam kajian sistem hukum perdata, sistem hukum pidana,
mengenai azas hukum dapat diketahui, bahwa sistem hukum administrasi. Di dalam hukum
peraturan-peraturan hukum yang tampaknya perdata sendiri terdapat sistem hukum kelurga,
berdiri sendiri, sesungguhnya diikat oleh beberapa sistem hukum benda, sistem hukum harta
pengertian yang lebih umum sifatnya yang kekayaan dan sebagainya.
mengandung tuntutan etis. Paul Scholten Sementara itu, Soerjono Soekanto (1988)
mengatakan bahwa azas hukum dengan tuntutan menyatakan bahwa hukum yang ada dalam
etisnya itu terdapat dalam hukum positif tetapi ia masyarakat terhimpun dalam suatu sistem yang
sekaligus melampaui hukum positif dengan cara disusun dengan sengaja, yang sesuai dengan
menunjuk kepada suatu penilaian etis (Scholten, pembidangannya. Misalnya di Indonesia, hukum
1954). Agar azas hukum dapat memberikan yang mengatur perdagangan terhimpun dalam
penilaian etis terhadap hukum positif, maka azas kitab undang-undang hukum dagang, hukum yang
hukum itu harus ada di luar hukum positif itu. mengatur kegiatan-kegiatan agraris dalam
Keberadaan di luar hukum positif tersebut untuk masyarakat, terhimpun dalam UUPA beserta
menunjukkan, betapa azas hukum itu mengandung peraturan pelaksanaannya, hukum yang mengatur
nilai etis yang self evident bagi yang mempunyai masalah pidana sebagian terbesar terhimpun
hukum positif itu. Karena adanya ikatan oleh azas- dalam kitab undang-undang hukum pidana dan
azas hukum itu, maka hukumpun merupakan suatu seterusnya. Sistem hukum tersebut biasanya
sistem (Satjipto Rahardjo, 1986). Peraturan- menurut Soekanto, biasanya mencakup hukum
peraturan hukum yang berdiri sendiri-sendiri itu substantif dan hukum ajektifnya yang mengatur
lalu terikat dalam satu susunan kesatuan hubungan antar manusia, antar kelompok manusia,
disebabkan karena mereka itu bersumber pada satu dan hubungan antar manusia dengan kelompoknya.
induk penilaian tertentu. Bagaimana sifat sistem hukum itu? Scholten
Sudikno Mertokusumo (1991) menyatakan (dalam Mertokusumo, 1991) menyatakan bahwa
hukum merupakan sistem berarti bahwa hukum hukum itu merupakan sistem terbuka karena berisi
itu merupakan tatanan, merupakan satu kesatuan peraturan-peraturan hukum yang sifatnya tidak
yang utuh yang terdiri dari bagian-bagian atau lengkap dan tidak mungkin lengkap. Istilah-istilah
unsur-unsur yang saling berkaitan erat satu sama seperti “itikad baik”, “sebagai keluarga yang baik”
lain. Dengan perkataan lain sistem hukum adalah mengandung pengertian yang luas memungkinkan
26 Jurnal Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan, Th. 27, Nomor 1, Pebruari 2014

penafsiran yang bermacam-macam. Karena karena perubahan peta bumi politik (setelah perang
sifatnya yang umum maka merupakan istilah dunia II), muncullah negara-negara baru, yang
“terbuka”, terbuka untuk penafsiran yang luas. dikenal sebagai negara-bangsa (nation-state).
Dengan menggunakan istilah-istilah yang bersifat Oleh karena itu, digunakanlah istilah hukum
terbuka tersebut hukum berhubungan dengan antarbangsa atau hukum antarnegara sebagai
sistem lain seperti kesusilaan dan sopan santun. kaidah-kaidah dan asas-asas yang mengatur
Meskipun dikatakan oleh Scholten bahwa hubungan antara anggota-anggota masyarakat
sistem hukum itu bersifat terbuka, namun di dalam bangsa-bangsa atau negara-negara, dalam
sistem hukum itu ada bagian-bagian yang sifatnya pengertian nama negara-bangsa yang kita kenal
tertutup. Hal ini berarti bahwa pembentuk undang- sekarang ini, termasuk Indonesia sebagai salah
undang tidak memberi kebebasan untuk satu negara-bangsa. Perkembangan selanjutnya,
pembentukan hukum. Dalam hal ini dapat ketika subjek hukum internasional tidak hanya
dikatakan hukum keluarga dan hukum benda negara, tetapi juga mencakup orang perorangan
merupakan sistem tertutup. Artinya lembaga- (individu), takhta suci, palang merah internasional,
lembaga hukum dalam hukum kelurga dan hukum dan organisasi internasional, istilah yang dipakai
benda jumlah dan jenisnya tetap. Tidak pun menjadi hukum internasional. Hukum
dimungkinkan orang menciptakan hak-hak internasional merupakan suatu tertib hukum
kebendaan baru kecuali oleh pembentuk undang- koordinasi antar anggota masyarakat internasional
undang. Sebaliknya hukum perikatan sistemnya yang sederajat.
terbuka, artinya setiap orang bebas untuk membuat J.G. Starke, menyatakan bahwa hukum
jenis perjanjian apapun di luar yang ditentukan interna­sional adalah sekumpulan hukum (body
dalam undang-undang. Karena itulah maka dalam of law) yang sebagian besar terdiri dari asas-asas
hukum perdata menentukan bahwa setiap dan oleh karena itu ditaati dalam hubungan negara
perjanjian yang dibuat oleh para pihak berlaku yang satu dengan yang lain. Kemudian, Charles
sebagai undang-undang bagi yang membuatnya. Cheney Hyde, menyatakan bahwa hukum
interna­sional meliputi: (a) Peraturan­peraturan
Pengertian Hukum Internasional hukum mengenai pelaksanaan fungsi lembaga-
lembaga atau organisasi-organisasi internasional,
Hukum internasional, juga disebut hukum hubungan-hubungan lembaga-lembaga, dan
bangsa-bangsa, hukum antarbangsa, atau hukum organisasi-organisasi itu masing-masing, serta
antarnegara, yang merupakan terjemahan dari hubungan dengan negara-negara dan individu-
bahasa asing, seperti law of nations (Inggris) droit individu; (b) Peraturan-peraturan hukum tersebut
de gens (Perancis) atau Voelkerrecht (Belanda). menge­nai individu­individu dan kesatuan­
Hukum bangsa-bangsa (law of nations, droit de kesatuan bukan negara, sejauh hak-hak atau
gens, Voelkerrecht) yang berasal dari istilah kewajiban-kewajiban individu dan kesatuan itu
dalam hukum Romawi, “ius gentium”. Utrecht merupakan masalah persekutuan internasional.
(1961) menyatakan, bahwa dalam hukum Romawi, Hukum Internasional adalah suatu kaidah atau
istilah “ius gentium” digunakan untuk menyatakan norma yang mengatur hak-hak dan kewajiban-
dua pengertian yang berlainan, yaitu: (a) ius gen- kewajiban subyek hukum internasional, yaitu
tium itu hukum yang mengatur hubungan antara negara, lembaga dan organisasi serta individu
orang warga kota Roma dengan orang asing, yaitu dalam hal tertentu.
orang bukan warga kota Roma; (b) ius gentium Mochtar Kusumaatmadja (1982),
adalah hukum yang diturunkan dari tata tertib alam menyatakan: hukum internasional publik, yang
yang mengatur masyarakat segala bangsa, yaitu sering juga disebut hukum bangsa-bangsa atau
hukum alam. hukum antar negara, adalah keseluruhan kaidah
Dengan demikian, hukum alam itu menjadi dan asas yang mengatur hubungan atau persoalan
dasar perkembangan hukum internasional di Eropa yang melintasi batas-batas negara yang bukan
Barat dari dulu sampai sekarang. Dari hal tersebut bersifat perdata, antara negara dan negara, negara
timbul suatu pertanyaan: apakah yang dijadikan dengan subjek lain yang bukan negara atau subjek
dasar perkembangan hukum internasional di luar hukum bukan negara. Dalam kesempatan lain juga
Eropa Barat?. Silahkan anda mengkaji lebih Mochtar Kusumaatmadja mengatakan, bahwa
mendalam!. Dalam perkembangannya, terutama yang dimaksud dengan hukum internasional adalah
Astawa, Sistem Hukum Internasional dan Peradilan Internasional 27

keseluruhan kaidah-kaidah dan asas-asas yang negara (internasional), sedangkan perbedaannya


mengatur hubungan atau persoalan yang melintasi terletak dalam sifat hukum dari hubungan atau
batas-batas negara-negara antara: (a) negara persoalan yang diaturnya (objeknya).
dengan negara; (b) negara dengan subjek hukum Di pihak lain juga menunjukkan bahwa hukum
lain bukan negara atau subjek hukum bukan internasional merupakan suatu tertib hukum
negara satu sama lain. koordinasi yang mengatur hubungan antara
Sementara itu, Schwarzenberger, membagi masyarakat internasional yang sederajat. Hukum
hukum internasional dalam tiga bagian, yaitu: (1) inter­nasional berlaku umum. Namun, di samping
hukum internasional sebagai law of power, hukum internasional yang berlaku umum, terdapat
merupakan alat yang digunakan untuk pula hukum internasional regional dan hukum
merumuskan kekuasaan dari suatu negara yang internasional khusus. Hukum internasional regional
telah dapat mencapai tujuannya dengan memaksa berlaku terbatas pada lingkungan atau kawasan
negara lain untuk tunduk kepadanya; (2) hukum tertentu, misalnya hukum internasional bagi negara-
internasional sebagai law of reciprocity, yaitu negara Amerika latin atau bagi negara-negara
hukum internasional yang memberi perumusan ASEAN. Hukum internasional khusus berlaku bagi
bagi setiap negara di seluruh dunia dalam negara-negara tertentu yang tidak terbatas pada
keanggotaan PBB (Perserikatan Bangsa-Bangsa), wilayah tertentu.
baik negara kecil maupun negara besar, sama-
sama mempunyai hak suara yang sama; (3) hukum 1. Hubungan Hukum Internasional dengan
internasional sebagai law of coordination Hukum Nasional
merumuskan kerja sama antarnegara di dunia
untuk menyelenggarakan kepentingan bersama Dari segi teoretis, masalah hubungan hukum
dalam bidang ilmiah, kebudayaan, kesehatan dan nasional dengan hukum internasional sangat
sebagainya. tergantung pada dari mana kita memandang
Dari beberapa pengertian atau definisi hukum persoalan itu, atau sangat tergantung dari sudut
internasional tersebut di atas, dapat disimpulkan pandang pembahas (Kusumaatmadja, 1982).
bahwa hukum internasional merupakan norma Dalam teori ada dua pandangan tentang hukum
hukum yang mengatur hubungan hukum antara internasional, yaitu pandangan voluntarisme dan
negara dan negara, negara dan subjek hukum lain obyektivis. Voluntarisme mendasarkan berlakunya
bukan negara, atau subjek hukum bukan negara hukum internasional pada kemauan negara.
satu sama lain. Hukum internasional dapat Sedangkan pandangan obyektivis menganggap ada
dibedakan menjadi hukum internasional publik dan dan berlakunya hukum internasonal ini lepas dari
hukum perdata internasional. Hukum internasional kemauan negara. Pandangan yang berbeda
publik itulah yang dimaksud dengan hukum tersebut akan membawa akibat yang berbeda,
internasional dalam pengertian ini, sehingga hukum pandangan pertama mengakibatkan adanya hukum
internasional publik cukup disebut hukum nasional dan hukum internasional sebagai dua
internasional saja. Hukum perdata internasional perangkat hukum yang hidup berdampingan dan
adalah keseluruhan kaidah-kaidah dan asas-asas terpisah, sedangkan pandangan obyektif
hukum yang mengatur hubungan perdata yang menganggapnya sebagai dua bagian dari satu
melintasi batas-batas negara-negara. Hukum ini kesatuan perangkat hukum. Menurut pandangan
mengatur hubungan hukum perdata antara pelaku- pertama di atas, bahwa ketentuan hukum
pelaku hukum yang masing-masing tunduk pada internasional memerlukan transformasi menjadi
hukum perdata (nasional) yang berlainan. hukum nasional sebelum dapat berlaku di dalam
Sementara hukum internasional publik adalah lingkungan hukum nasional. Kusumaatmadja
keseluruhan kaidah-kaidah dan asas-asas hukum menyimpulkan, bahwa apabila kita menghendaki
yang mengatur hubungan atau persoalan yang adanya masyarakat internasional yang aman dan
melintasi batas-batas negara-negara (hubungan sejahtera, maka kita harus mengakui adanya
internasional) yang bukan bersifat perdata. Dengan hukum internasional yang mengatur masyarakat
demikian, persamaan antara hukum internasional internasional. Konsekuensinya adalah hukum
(publik) dan hukum perdata internasional ialah nasional mau tidak mau harus tunduk pada hukum
keduanya mengatur hubungan-hubungan atau internasional. Dengan demikian berlakunya hukum
persoalan yang melintasi batas-batas negara- internasional tergantung pada kemauan negara.
28 Jurnal Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan, Th. 27, Nomor 1, Pebruari 2014

Dalam hubungan antaranegara secara empirik, Hukum Perdata Internasional bukan hukum
apabila ada perkembangan hukum baru, negara- perdata, karena ini terdiri-dari kaedah-kaedah
negara diharapkan melakukan ratifikasi hukum penunjuk, jadi tidak memuat kaedah-kaedah
baru tersebut ke dalam hukum nasionalnya masing- hukum materiil. Terhadap pandangan ini, Schnitzer
masing. Demikian sebaliknya, hukum internasional mengemukakan, bahwa kini makin lama makin
dalam pelaksanaannya bersifat komplementer, banyak terdapat kaedah tersendiri yang mengatur
artinya untuk menangani masalah tertentu hubungan-hubungan internasional secara materiil
mengutamakan berlakunya hukum nasional. dan khusus, secara berbeda dengan hukum perdata
Apabila dalam kasus tertentu hukum internasional intern, dan tidak hanya menunjuk kepada kaedah
tidak mengatur, maka hukum internasional salah satu sistem hukum yang ada. Hal ini terutama
mempersilahkan menyelesaiakan menurut hukum terdapat di bidang hukum perjanjian internasional
nasional masing-masing. Pada umumnya setiap seperti hukum perdagangan internasional,
hukum nasional mengandung dimensi hubungan pengangkutan internasional, devisa dan
hukum internasional, demikian juga hukum sebagainya. Jadi dapat dikatakan bahwa hukum
internasional memberi peluang berlakunya hukum perdata internasional timbul karena adanya unsur
nasional. Secara praktis dalam hubungan asing dalam suatu peristiwa hukum perdata.
antarbangsa, para pihak yang terlibat dalam suatu Karena adanya unsur asing itu, maka timbul
perjanjian internasional, pada umumnya setiap pertanyaan: kaedah hukum mana yang harus
perjanjian memuat klausul terutama tentang berlaku? Bagaimana perkembangan Hukum
hukum mana yang digunakan, bila terjadi Perdata Internasional Indonesia sekarang?
pelanggaran terhadap hak dan kewajiban dalam Hukum Perdata Internasional Indonesia sudah
perjanjian internasional itu. Dalam hal ini nampak mulai berkembang, sebagai akibat bertambah
ada hubungan yang sangat erat antara hukum rumitnya pergaulan (terutama hubungan
nasional dengan hukum internasional. perdagangan) antara orang Indonesia dengan or-
ang asing, khususnya setelah terbuka kembali
2. Ruang Lingkup Hukum Internasional kemungkinan orang asing menanamkan modalnya
di Indonesia.
Secara garis besar, hukum internasional Hukum Publik Internasional, merupakan
dapat dibagi menjadi dua, yaitu Hukum Perdata asas, kaidah, aturan hukum yang mengatur
Internasional dan Hukum Publik Internasional. hubungan antarnegara, badan-badan internasional
Hukum Perdata Internasional, merupakan asas, dan bangsa (gejala perkembangan hukum
kaidah, aturan hukum yang mengatur hubungan internasional sedang berproses terus, misalnya
antarnegara, badan-badan internasional dan hukum diplomatik, hukum laut, hukum ruang
bangsa dalam bidang perdata, khususnya angkasa, hukum humaniter, dan hukum hak azasi
perdagangan. Secara lebih gamblang van Brakel manusia). Hukum Pidana Internasional sebagai
(Sunaryati Hartono, 1976), mengatakan: bagian dari Hukum Publik Internasional
“Internationaal Privaatrecht is nationaal recht perkembangannya sangat pesat, dengan komitmen
voor internationaal rechtsverhoudingen negara-negara yang menjadi anggota PBB untuk
geschreven” (Hukum Perdata Internasional memberikan jaminan perlindungan terhadap hak
adalah hukum nasional yang didakan untuk azasi manusia.
hubungan-hubungan internasional). Juga Gou Giok Setelah Perang Dunia II berakhir dengan
Siong (1961) mengatakan, bahwa Hukum Perdata kekalahan Jerman dan sekutunya, pihak negara-
Internasional bukanlah hukum internasional, tetapi negara yang menang mengeluarkan piagam
hukum nasional. Jadi Hukum Perdata Internasional tentang peradilan penjahat perang dan
bukan sumber hukumnya internasional, tetapi kemanusiaan, yang dikenal dengan Charter of the
materinya yaitu hubungan-hubungan atau international Military Tribunal tahun 1945,
peristiwa-peristiwa yang merupakan obyeknyalah sebagai landasan untuk mendirikan Peradilan
yang internasional. Bahkan ada pandangan yang Militer Internasional (International Milaitary
agak berlainan, misalnya, Niboyet (Sunaryati Tribunal). Setelah Perang Dunia II cukup banyak
Hartono, 1976) menganggap bahwa Hukum Peradilan Militer Internasional yang dibentuk untuk
Perdata Internasional termasuk hukum publik. mengadili para penjahat perang, antara lain: In-
Selain ini ada pula yang berpendapat bahwa ternational Military Nuremberg, tahun 1945,
Astawa, Sistem Hukum Internasional dan Peradilan Internasional 29

International Military Tribunal for the far East sehubungan dengan perbuatan. Kejahatan untuk
(IMTFE) Tokyo 1946, International Tribunal for itu yang bersangkutan telah diputus bersalah atau
the prosecution of persons responsible for se- di bebaskan, kecuali apabila dalam statuta karena
rious violations of International Humanitar- keadaan tertentu ada ketentuan yang
ian Law Commited in the Territory of the former memungkinkan untuk itu; (2) Tidak seorang pun
Yugoslavia since 1991 (ICTY), International dapat diadili di pengadilan lain untuk kejahatan
Criminal Tribunal For Rwanda (ICTR) sesuai yang dirumuskan dalam Pasal 5 di mana orang
dengan Resolusi DK PBB No. 955 tahun 1994. tersebut telah dihukum atau dibebaskan oleh
Dalam hal terjadinya pelanggaran HAM di Indo- pengadilan pidana internasional; (3) Tidak
nesia, khususnya di Timor Timur, berdasarkan seorang pun yang telah diadili oleh suatu
Report of the Commission of Inquiry dalam UN pengadilan di suatu negara mengenai perbuatan
Doc.5/2000/59 direkomendasikan pembentukan yang dilarang berdasarkan Pasal 6, Pasal 7, dan
“International Human Right Tribunal” ad hoc, Pasal 8 boleh diadili berkenaan dengan perbuatan
untuk mengadili para pelaku kejahatan yang sama, kecuali kalau proses perkara dalam
kemanusiaan di Timor Timur. pengadilan oleh negara tertentu: (a) Adalah
dengan tujuan untuk melindungi orang yang
Asas-asas Hukum Internasional bersangkutan dari pertanggungjawaban pidana
untuk kejahatan yang berbeda di dalam yurisdiksi
Setiap hukum yang berlaku di suatu negara, Mahkamah Pidana Internasional (International
termasuk hukum internasional, baik yang bersifat Criminal Court); (b) Perbuatan tidak dilakukan
publik maupun perdata, memiliki asas-asas atau mandiri dan dilakukan dengan cara yang tidak
prinsip-prinsip yang tegas dan jelas. Asas-asas sesuai dengan alasan diajukannya yang
hukum internasional yang dimaksud antara lain bersangkutan ke depan pengadilan dan tidak
asas teritorial, asas kebangsaan, asas kepentingan, selaras dengan kaidah hukum internasional
ne bis in idem, Pacta sunt servanda, Jus (Pasal 20). Selain ne bis in idem, hukum pidana
Cogens, Inviolability dan Immunity internasional pun mengenai asas-asas, antara lain
Asas Teritorial, yang didasarkan pada nullum crirnen sine lege, nullapoena sine lege,
kedaulatan atau kekuasaan negara atas daerah ratione personae non retraktif, dan
atau wilayahnya. Jadi, negara mempunyai hak pertanggungjawaban pidana pribadi.
untuk menerapkan hukum yang berlaku di Pacta Sunt Servanda. Pacta sunt servanda
wilayahnya terhadap semua orang dengan merupakan asas yang dikenal dalam perjanjian
sepenuh-penuhnya tanpa tekanan kekuasaan dari Internasional. Asas ini menjadi kekuatan hukum
negara lain. Karena itu setiap subyek hukum harus dan moral bagi semua negara yang mengikatkan
menghormatinya. Siapa yang melakukan diri dalam perjanjian internasional. Asas ini dapat
kesalahan di wilayah negara itu, maka negara itu diartikan bahwa setiap perjanjian internasional
berhak untuk menindaknya dengan seadil-adilnya yang telah disepakati bersama harus ditaati dan
sesuai dengan sistem hukumnya. dilaksanakan oleh semua pihak tanpa ada
Asas Kebangsaan, yang didasarkan pada pengingkaran (Pasal 26 Konvensi Wina 1969). Hal
kekuasaan negara untuk warga negaranya. ini dimaksudkan agar tidak menimbulkan kerugian
Artinya, hukum itu berlaku bagi warga negaranya bagi negara yang mengikatkan diri.
di mana pun berada walaupun perbuatan melawan Jus Cogens maksudnya adalah suatu
hukum yang dilakukan di luar negeri atau di negara perjanjian internasional dapat batal demi hukum
lain. jika pada pembentukannya bertentangan dengan
Asas Kepentingan Umum, maksud hukum suatu kaidah dasar dari hukum internasioanl umum
internasional diciptakan ialah untuk kehidupan atau (Pasal 53 Konvensi Wina 1969). Hal ini sesuai
kepentingan bersama, bukan hanya untuk negara dengan asas jus cogens, yaitu suatu kaidah yang
besar atau kaya saja, tetapi juga harus benar-benar telah diterima dan diakui oleh masyarakat
mengabdi pada kepentingan umum masyarakat internasional secara keseluruhan sebagai suatu
internasional. norma yang tidak boleh dilanggar dan hanya dapat
Ne Bis In Idem, merupakan salah satu asas diubah oleh norma dasar hukum internasional yang
dalam hukum pidana internasional yang maksud baru dan memiliki sifat sama (Pasal 64 Konvensi
adalah: (1) Tidak seorang pun dapat diadili Wina 1969). Jika dalam perkembangan kemudian
30 Jurnal Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan, Th. 27, Nomor 1, Pebruari 2014

timbul jus cogens baru, maka perjanjian hukum itu mengikat. Untuk menjawab pertanyaan
internasional yang mengandung jus cogens tidak ini ada dua aliran, yaitu naturalis dan positivisme.
berlaku lagi dan para negara dibebaskan dari Aliran naturalis berpandangan bahwa prinsip-
kewajiban-kewajiban untuk melaksanakan prinsip hukum dalam semua sistem hukum berasal
ketentuan-ketentuan perjanjian tersebut. Namun dari prinsip-prinsip hukum alam (hukum Tuhan)
demikian, hak dan kewajiban hukum serta keadaan yang berlaku universal. Menurut aliran ini, Tuhan
hukum tertentu yang telah diperoleh negara mengajarkan bahwa umat manusia dilarang
peserta berdasarkan perjanjian tersebut tidak berbuat jahat dan sebaliknya harus berbuat baik
langsung menjadi batal, kecuali bila hak, kewajiban, antara yang satu dan yang lainnya demi
dan keadaan tersebut jelas bertentangan dengan keselamatan bersama. Tokoh utama aliran ini ialah
jus cogens yang baru itu (Pasal 7 Konvensi Wina Hugo de Groot (Grotius), sedangkan tokoh-tokoh
1969). lainnya, yaitu Fransisco de Vittoria, Fransisco
Inviolability dan Immunity. Dalam hukum Suarez, dan Alberico Gentilis. Aliran positivisme
diplomatik dan konsuler dikenal asas inviolabil- mendasarkan berlakunya hukum internasional
ity dan immunity. Dalam pedoman tertib diplomatik pada persetujuan negara-negara untuk
dan protokoler, “inviolability” merupakan mengikatkan diri pada kaidah-kaidah hukum
terjemahan dari istilah “inviolable” yang artinya internasional tersebut. Aliran positivis
seorang pejabat diplomatik tidak dapat ditangkap berpandangan bahwa hukum yang mengatur
atau ditahan oleh alat perlengkapan negara hubungan-hubungan antarnegara merupakan
penerima dan sebaliknya, negara penerima prinsip-prinsip yang dibuat oleh negara-negara
berkewajiban untuk mengambil langkah-langkah atas kemauan mereka sendiri.
demi mencegah serangan atas kehormatan dan
kekebalan dari pribadi pejabat diplomatik yang Sumber Hukum Formal
bersangkutan. Dengan asas immunity, hal ini
berarti bahwa pejabat diplomatik kebal terhadap Sumber hukum formal membahas asal
yurisdiksi dari hukum negara penerima atau tempat ketentuan-ketentuan hukum yang dapat diterapkan
bertugas, baik hukum pidana, hukum perdata, sebagai kaidah dalam suatu persoalan yang
maupun hukum administrasi. Asas Imunitas ini konkret. Menurut Mochtar Kusumaatmadja
dalam pedoman tertib diplomatik dan protokoler (1982), sumber hukum internasional dalam arti
diperinci menjadi tiga bagian, yaitu kekebalan formal adalah sumber dari mana kita mendapatkan
pribadi pejabat diplomatik, kekebalan kantor atau menemukan ketentuan-ketentuan hukum
perwakilan dan rumah kediaman, serta kekebalan internasional.
terhadap korespondensi perwakilan diplomatik. Sumber hukum internasional dalam arti for-
mal merupakan sumber hukum internasional yang
Sumber Hukum Internasional paling utama dan memiliki otoritas tertinggi serta
otentik yang dapat dipergunakan oleh Mahkamah
Sumber hukum internasional dapat Internasional di dalam memutuskan suatu
dibedakan menjadi dua, yaitu sumber hukum mate- sengketa internasional sebagaimana tercantum
rial dan sumber hukum formal. Sumber hukum dalam Pasal 38 ayat (1) Statuta Mahkamah
dalam arti material berusaha untuk menjelaskan Internasional, yaitu: (a) Perjanjian-perjanjian
apakah yang pada hakikatnya menjadi dasar internasional, baik yang bersifat umum maupun
kekuatan mengikatnya hukum internasional, khusus, yang mengandung ketentuan-ketentuan
sedangkan sumber hukum dalam arti formal hukum yang diakui secara tegas oleh negara-
memberi jawaban dari pertanyaan di manakah kita negara yang bersangkutan; (b) Kebiasaan-
mendapatkan ketentuan-ketentuan hukum yang kebiasaan internasonal sebagai bukti dari suatu
dapat diterapkan sebagai kaidah dalam suatu kebiasaan umum yang telah diterima sebagai
persoalan yang konkret. hukum; (c) Asas-asas hukum umum yang diakui
oleh bangsa-bangsa yang beradab; (d) Keputusan
Sumber Hukum Material pengadilan dan ajaran sarjana-sarjana yang pal-
ing terkemuka dari berbagai negara sebagai
Sumber hukum dalam arti material sumber hukum tambahan dalam menetapkan
membahas dasar berlakunya hukum, mengapa kaidah-kaidah hukum.
Astawa, Sistem Hukum Internasional dan Peradilan Internasional 31

Subyek Hukum Internasional arti yang sangat penting. Tanpa ratifikasi, perjanjian
internasional atau traktat tidak akan efektif. Lord
Dalam hukum internasional, di samping Stowell mengatakan bahwa ratifikasi hanya
manusia sebagai subyek hukum, yang juga sebuah bentuk yang sangat esensial, karena tanpa
termasuk subyek hukum adalah negara dan badan ratifikasi, dokumen itu tidak sempurna.
hukum swasta. Dalam hukum internasional Pada umumnya ratitifikasi hukum
manusia adalah subyek hukum yang utama. internasional ke dalam hukum nasional dilakukan
Karena sebagian besar pelanggaran atau kejahatan dengan alasan-alasan, yaitu: (a) Negara-negara
yang terjadi pelakunya adalah individu baik sendiri berhak untuk menyelidiki dan meninjau kembali
maupun bersama-sama atau berkelompok sesuai dokumen-dokumen yang ditandatangani oleh
dengan peran masing-masing. Demikian pula utusan-utusannya sebelum menjalankan
negara, sudah sangat umum diketahui dan diakui kewajiban-kewajiban yang dibebankan oleh
bahwa negara adalah subyek hukum internasional. dokumen itu; (b) Berdasarkan ketentuan tersebut,
Dalam hubungan internasional memang sering maka setiap negara berwenang menarik diri dari
terjadi konflik antarnegara dan konflik itu banyak traktat apabila dikehendaki; (c) Sering kali traktat
dilakukan dengan cara kekerasan. Misalnya harus diubah (amandemen) atau disesuaikan
negara yang lebih kuat secara militer dan politik, dengan hukum nasional. Periode antara
menyerang lawannya yang lebih lemah sehingga penandatanganan dan ratifikasi negara-negara
menimbulkan banyak korban nyawa dan kerugian untuk mengadakan undang-undang yang
harta benda. Sebaliknya bila negara yang diserang diperlukan atau untuk memperoleh persetujuan
melakukan balasan, maka terjadi konflik bersenjata parlemen sehingga traktat dapat kemudian
yang tidak jarang melibatkan sekutunya, sehingga diratifikasi; (d) Asas demokrasi di mana
skala konflik meluas. Bisa juga suatu negara pemerintah harus memperhatikan pendapat umum,
memata-matai negara lain, atau menyadap sumber dalam hal ini ialah pendapat rakyat sebelum traktat
informasi dari negara lain, atau melakukan itu ditegaskan. Karena mungkin pendapat rakyat
pelanggaran hak azasi manusia. Semua perbuatan tidak menyetujui traktat itu yang mengakibatkan
dalam konteks negara di atas yang dalam traktat tidak dapat dilaksanakan.
kenyataannya dilakukan oleh pejabat-pejabat Dalam proses perkembangannya, penge-
negara dapat dipandang sebagai pelanggaran atau sahan (ratifikasi) perjanjian internasional
kejahatan baik dari segi hukum nasional maupun diwujudkan melalui dua tahapan, yaitu tahapan
hukum internasional. nasional dan tahapan hukum internasional. Dalam
Jadi negara sebagai subyek hukum dapat juga suatu negara yang menganut sistem pemerintahan
melakukan pelanggaran atau kejahatan yang demokratis, pengesahan perjanjian
Internasional, hanya saja cara penyelesaiannya internasional oleh pemerintah baru dapat
tidak berdasarkan ketentuan hukum pidana dilaksanakan setelah mendapat persetujuan
internasional yang berlaku untuk individu melainkan parlemen (DPR), untuk kemudian dimuat dalam
berdasarkan hukum internasional pada umumnya. dokumen ratifikasi. Sementara pada tahapan
Badan-badan hukum swasta, baik nasional hukum internasional untuk perjanjian bilateral, yaitu
maupun transnasional dapat menjadi subyek pertukaran dokumen ratifikasi antarnegara peserta
hukum internasional. Misalnya badan hukum perjanjian internasional. Untuk perjanjian multilat-
swasta negara lain yang melakukan pencemaran eral, dokumen ratifikasi diserahkan kepada negara
terhadap lingkungan melakukan pembajakan peserta perjanjian yang ditunjuk untuk menyimpan
terhadap hak cipta dari orang-orang di suatu negara dokumen ratifikasi.
sehingga menimbulkan kerugian bagi orang-orang Apakah sistem ratifikasi perjanjian
dan negara tersebut, merupakan pelanggaran internasional bersifat seragam di semua negara?
hukum internasional. Dalam praktik pada umumnya, sistem ratifikasi
Proses Ratifikasi Hukum Internasional perjanjian internasional di setiap negara memiliki
Bagi negara-negara yang menjadi anggota prosedur yang berbeda-beda. Ada yang
PBB, mempunyai kewajiban untuk melakukan menggunakan sistem ratifikasi lembaga legislatif,
ratifikasi hukum internasinal ke dalam hukum ada yang menggunakan ratifikasi badan eksekutif,
nasional masing-masing. Ratifikasi sebagai suatu dan ada pula yang menggunakan sistem campuran.
pengesahan perjanjian internasional, mempunyai Secara lebih rinci dapat dideskripsikan sebagai
32 Jurnal Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan, Th. 27, Nomor 1, Pebruari 2014

berikut, yaitu: (1) Sistem Ratifikasi Lembaga (1) dilakukan dengan undang-undang atau
Legislatif. Pada sistem ratifikasi ini, suatu perjanjian keputusan presiden. Pasal 10, UU No. 14/2000
internasional baru mengikat apabila telah disahkan mengatur, bahwa Pengesahan perjanjian
oleh badan legislatif negara yang bersangkutan. internasional dilakukan dengan undang-undang
Biasanya masing-masing negara yang mengnut apabila berkenaan dengan: (a) masalah politik,
sistem ratifikasi ini sudah mengatur dengan jelas perdamaiam, pertahanan dan keamanan; (b)
dalam sistem hukumnya. Contohnya ialah Hondu- perubahan wilayah atau penetapan batas wilayah
ras, Turki, dan El Salvador; (2) Sistem Ratifikasi negara Republik Indonesia; (c) kedudukan atau
Badan Eksekutif. Pada umumnya sistem ratifikasi hak berdaulat negara; (d) hak asasi manusia dan
ini dilakukan oleh kepala negara atau kepala lingkungan hidup; (e) pembentukan kaidah hukum
pemerintahan saja, tanpa melibatkan lembaga baru, (f) pinjaman dan/atau hibah luar negeri.
legislatif (DPR atau Parlemen) dari negara yang Pasal 11, UU No. 14/2000 mengatur, (1)
bersangkutan. Pada umumnya praktik-praktik Pengesahan perjanjian internasional yang
semacam ini dilakukan oleh negara-negara sistem materinya tidak termasuk materi sebagaimana
diktatur-otoriter atau monarkhi absolut, dan (3) dimaksud Pasal 10 dilakukan dengan keputusan
Sistem Campuran atau Gabungan. Sistem ratifikasi presiden; (2) Pemerintah Republik Indonesia
Campuran ini merupakan gabungan antara badan menyampaikan salinan setiap keputusan presiden
eksekutif dan badan legislatif. Misalanya, di Amerika yang mengesahkan suatu perjanjian internasional
Serikat, sistem ratifikasi yang dterapkan lebih kepada Dewan Perwakilan Rakyat. Pasal 12, UU
menonjolkan peran presiden sebagai badan No. 14/2000 mengatur, yaitu: (1) Dalam
eksekutif, tetapi dalam melakukan ratifikasi harus mengesahkan suatu perjanjian internasional,
tetap memperhatikan saran yang dikemukakan oleh lembaga pemrakarsa yang terdiri atas lembaga
senat, terutama mengenai hal-hal yang sangat negara dan lembaga pemerintah, baik departemen
penting bagi kehidupan negara. Sementara itu di maupun nondepartemen, menyiapkan salinan
Inggris, mengenai hal yang penting atau fundamen- naskah perjanjian, terjemahan, rancangan undang-
tal, biasanya ratifikasi dilakukan oleh kepala negara undang atau rancangan keputusan presiden
dan untuk hal-hal yang materi traktat kurang penting tentang pengesahan perjanjian internasional
ratifikasi bisa dilakukan atau diwakili oleh menteri dimaksud serta dokumen-dokumen lain yang
luar negeri. Prinsipnya bahwa mahkota bebas diperlukan; (2) Lembaga pemrakarsa yang terdiri
secara konstitusional untuk meratifikasi setiap atas lembaga negara dan lembaga pemerintah, baik
traktat tanpa persetujuan parlemen. Walaupun departemen maupun nondepartemen,
demikian, ada juga traktat yang materinya mengkoordinasikan pembahasan rancangan dan/
diharuskan untuk mendapatkan persetujuan atau materi permasalahan dimaksud dalam ayat
parlemen. Misalnya traktat persekutuan. .(1) yang pelaksanaannya dilakukan bersama
Bagaimana pelaksanaan ratifikasi di Indone- dengan pihak-pihak terkait. (3) Prosedur
sia? Di Indonesia praktik ratifikasi diatur dalam pengajuan pengesahan perjanjian internasional
Pasal 11 UUD 1945 yang intinya menyatakan dilakukan melalui menteri untuk disampaikan
bahwa dalam hal menyatakan perang, membuat kepada Presiden. Pasal 13, UU No, 14/2000
perdamaian dan perjanjian dengan negara lain menyatakan bahwa Setiap undang-undang atau
dilakukan oleh Presiden dengan persetujuan DPR. keputusan presiden tentang pengesahan perjanjian
Ketentuan tersebut menjadi acuan dalam sistem internasional ditempatkan dalam lembaran negara
ratifikasi perjanjian internasional. Dalam Negara Republik Indonesia. Sedangkan Pasal 14, UU No.
Indonesia, mekanisme pengesahan perjanjian 14/2000 menyatakan: Menteri menandatangani
internasional diatur dalam Bab III Pasal 9 sampai piagam pengesahan untuk mengikatkan
dengan Pasal 14, UU No. 24 Tahun 2000 tentang Pemerintah Republik Indonesia pada suatu
Perjanjian Internasional. perjanjian internasional untuk dipertukarkan
Pasal 9, UU No.14/2000 mengatur, (1) dengan negara pihak atau disimpan oleh negara
Pengesahan perjanjian internasional oleh atau lembaga penyimpan pada organisasi
Pemerintah Republik Indonesia dilakukan internasional.
sepanjang dipersyaratkan oleh perjanjian Sementar a pember lakuan per janjian
internasional tersebut, (2) Pengesahan perjanjian internasional diatur dalam Bab IV Pasal 15 dan
internasional sebagaimana dimaksud dalam ayat Pasal 16 UU No. 24 tahun 2000. Pasal 15, UU
Astawa, Sistem Hukum Internasional dan Peradilan Internasional 33

No. 14/2000 menyatakan: (1) Setelah perjanjian SISTEM PERADILAN INTERNASIONAL


internasional yang perlu disahkan dengan
undang-undang atau keputusan presiden, Lembaga Peradilan Internasional
Pemerintah Republik Indonesia dapat membuat
perjanjian internasional yang berlaku setelah Secara yuridis-historis, lembaga peradilan
penandatanganan atau pertukaran dokumen internasional dibentuk setelah perang dunia
perjanjian/nota diplomatik atau melalui cara- pertama. Lembaga peradilan internasional yang
cara lain sebagaimana disepakati oleh para dibentuk oleh dan atas nama Liga Bangsa-Bangsa
pihak pada perjanjian tersebut; (2) Suatu (LBB), antara lain: (a) Arbitrase Internasional, (b)
perjanjian internasional mulai berlaku dan International Court of Justice (Mahkamah
mengika t p ar a p iha k s et ela h memenu hi Internasional); (c) International Military Tribu-
ketentuan sebagaimana ditetapkan dalam nal Nuremberg; (d) International Military Tri-
perjanjian tersebut. bunal for the Far East di Tokyo, Jepang.
Pasal 16, UU No. 14/2000 menyatakan: (1) Sedangkan lembaga peradilan internasional yang
Pemerintah Republik Indonesia melakukan dibentuk oleh PBB antara lain: (a) Internasional
perubahan atas ketentuan suatu perjanjian Criminal Tribunal for the Former Yugoslavia,
internasional berlandaskan kesejahteraan antara dibentuk pada tanggal 25 Mei 1993 berkedudukan
para pihak dalam perjanjian tersebut; (2) di Den Haag, berdasarkan resolusi No. 827; (b)
Perubahan perjanjian internasional mengikat para International Tribunal for Rwanda, dibentuk
pihak melalui tata cara sebagaimana ditetapkan pada tanggal 8 Nopember 1994, yang
dalam perjanjian tersebut; (3) Perubahan atas berkedudukan di Arusha, Tanzania, dengan resolusi
suatu perjanjian internasional yang telah disahkan No. 995; (c) International Criminal Court of
oleh Pemerintah Republik Indonesia dilakukan Justice berdasarkan statuta Roma 1998.
dengan peraturan perundang-undangan yang
setingkat; (4) Dalam hal perubahan perjanjian Faktor Penyebab Sengketa Internasional
internasional yang hanya bersifat teknis adminis-
tratif, pengesahan atas perubahan tersebut Pada hakikatnya sengketa internasional
dilakukan melalui prosedur sederhana. merupakan sengketa yang terjadi antarnegara.
Dalam pelaksanaan proses ratifikasi, pada Munculnya sengketa ini sebenarnya bukanlah
umumnya berjalan lancar, tetapi tidak menutup sesuatu masalah yang baru, karena sengketa
kemungkinan adanya hambatan khususnya internasional tersebut sudah sering muncul jauh
ratifikasi perjanjian multilateral sehingga ratifikasi sebelum lahirnya negara-negara modern.
mengalami keterlambatan. Pada umumnya Mengamati sengketa internasional yang pernah
keterlambatan proses ratifikasi perjanjian multi- terjadi selama ini, sumber masalah yang
lateral disebabkan oleh: (1) faktor birokrasi, yaitu menyebabkan terjadinya sengketa internasional
berbelit-belitnya struktur pemerintahan modern secara garis besar karena dipicu oleh beberapa
sehingga pelaksanaan ratifikasi harus melalui faktor, yaitu: (1) Faktor ideologi, yaitu
tahap-tahap birokratis yang panjang; (2) kurang pertentangan atau sengketa internasional yang
adanya persiapan yang matang sebelum penutupan dipicu oleh perbedaan ideologi. Masing-masing
traktat sehingga sering timbul kekurangan- pihak ingin berebut pengaruh agar ideologinya
kekurangan tertentu yang menyebabkan negara- berlaku di dunia. Misalnya pertentangan antara
negara menunda proses ratifikasi perjajian negara pendukung ideologi liberal dan negara
internasional multilateral; (3) masalah substansial, pendukung ideologi sosialis-komunis; (2) Faktor
yaitu terlalu peliknya isi traktat sehingga Politik, yaitu pertentangan atau sengketa
membutuhkan waktu yang cukup lama untuk antarnegara yang dipicu oleh adanya kepentingan
mempelajarinya, dan (4) masalah substansi yang untuk menguasai bagian wilayah negara atau
diatur dalam traktat multilateral, pengaturannya perbatasan wilayah negara. Misalnya sengketa
lebih lanjut sering memerlukan undang-undang antara Malaysia dan Indonesia mengenai masalah
baru, konsekuensinya di samping menambah pulau Sipadan dan Ligitan, antara Jepang dan Rusia
pengeluaran negara, juga memerlukan waktu yang tentang status kepulauan Kuril, Israel ingin
relatif lama. menguasai wilayah Palestina, Irak pernah
menduduki Kuwait, dan sebagainya; (3) Faktor
34 Jurnal Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan, Th. 27, Nomor 1, Pebruari 2014

Ekonomi, yaitu pertentangan atau sengketa Penyelesaian Sengketa melalui Lembaga


antarnegara yang dipicu oleh adanya perebutan Peradilan
sumber daya alam. Misalnya ketika Amerika
Serikat menyerang Irak, banyak pengamat politik Penyelesaian Sengketa melalui Mahkamah
yang mensinyalir (menduga) bahwa disamping Arbitrase
faktor politik, juga faktor ekonomi, yaitu ingin
menguasai minyak di kawasan Timur Tengah; (4) Dalam hukum publik internasional, lembaga
Faktor Sosial Budaya, yaitu sengketa yang arbitrase sebagai sarana dan cara menyelesaian
terjadi karena perbedaan sosial budaya. Misalnya sengketa antaranegara sudah dikenal sejak abad
fanatisme budaya Arab terhadap dunia non-Arab pertengahan sampai sekarang. Para pihak yang
sehingga terjadi pemberontakan dan teror (Mesir, bersepakat, bahwa sengketanya akan diselesaikan
Iran, Aljazair, dan Libya); (5) Faktor Pertahanan melalui lembaga arbitrase dapat dituangkan dalam
dan Keamanan, yaitu pertentangan atau sengketa perjanjian (Konvensi Den Haag: Pacifict Settle-
yang terjadi karena masing-masing pihak ment of International Disfutest). Perjanjian yang
mempertahankan daerahnya atau kekuasaannya. dibuat oleh para pihak bisa dilakukan sebelum dan
Misalnya saat Irak menduduki dan sesudah terjadinya sengketa. Apabila perjanjian
mempertahankan wilayah Kuwait, kemudian dibuat setelah terjadi sengketa, maka perrjajian itu
diserang oleh pasukan Amerika Serikat dengan hanya berlaku untuk menyelesaikan sengketa yang
pasukan multinasional dari berbagai negara. bersangkutan. Perjajian penyelesaian sengketa
yang dibuat sebelum terjadi sengketa disebut
Penyelesaian Sengketa Internasional arbitrase wajib.
Perjanjian Arbitrase biasanya memuat
Sengketa atau konflik antarbangsa atau masalah yang disengketakan, syarat-syarat
antarnegara sering bersifat latens (semu, pengangkatan arbiter, prosedur persidangan,
terselubung) dan manifest (terbuka). Konflik yang kewenangan arbiter, dan kondisi khusus yang
bersifat terbuka, yang paling dahsyat adalah dalam disetujui para pihak (Pasal 52-53 Konvensi).
bentuk perang. Penyelesaian sengketa Penunjukan Arbiter didasarkan atas kesepakatan
antarnegara dapat dilakukan dengan cara-cara para pihak yang bersengketa. Seorang arbitrator
damai maupun perang. Perang dipandang sebagai pada tahap awal harus memastikan bahwa
upaya terakhir untuk menyelesaiakan konflik, yang penunjukkan untuk melakukan tugas sudah sesuai
bersifat menang-kalah atau kalah-kalah. dengan prosedur yang disepakati para pihak, dan
Masyarakat Internasional telah membuat berbagai hanya akan menjawab pertanyaan yang diajukan
instrumen internasional untuk menyelesaiakan kepadanya sesuai dengan kewenangannya.
sengketa internasional. Apabila seorang arbitrator memutus perkara di
Pasal 33 Piagam PBB telah menentukan luar kewenangannya, maka keputusannya akan
berbagai cara menyelesaikan sengketa dikesampingkan (Priyatna, 2002).
internasional yang meliputi penyelesaian sengketa Demikian juga prosedur arbitrase ditentukan
internasional melalui pengadilan, arbitrase, atau berdasarkan kesepakatan para pihak yang
cara penyelesaian lain yang dipilih sendiri oleh para bersengketa. Perumusan masalah yang disetujui
pihak yang bersengketa. Pasal 95 Piagam PBB para pihak untuk diserahkan ke Arbitrase sangat
menetapkan bahwa tidak ada suatu hal dalam penting, karena akan menentukan yurisdiksi
Piagam yang menghalang-halangi anggota PBB arbitrase dan menghindari terjadinya sengketa
untuk mempercayakan tercapainya penyelesaian dikemudian hari.
sengketa mereka kepada badan-badan peradilan Keputusan Arbitrase dibuat setelah sidang
lain berdasarkan jiwa persetujuan yang sudah ada tertutup antara Arbitrator, kemudian sidang
atau yang akan dibuat di masa yang akan datang. memberikan suaranya, mayoritas dari suara
Dari ketentuan tersebut dapat dipahami menentukan keputusan Mahkamah Arbitrase.
bahwa penyelesaian sengketa dapat dilakukan baik Keputusan Mahkamah Arbitase mengikat para
melalui lembaga peradilan, maupun lembaga di luar pihak, artinya harus dipatuhi dan dilaksanakan.
peradilan. Para pihak yang bersengketa yang harus Keputusan Mahkamah Arbitase bersifat final dan
menentukan cara yang paling baik untuk tanpa banding (pasal 81 Konvensi). Tetapi apabila
menyelesaiakan sengketa. ada penafsiran yang berbeda dari para pihak
Astawa, Sistem Hukum Internasional dan Peradilan Internasional 35

tentang isi keputusan, maka kepada para pihak sebagaimana kita melihat bahwa Statuta
dibuka kemungkinan mengajukan pada mahkamah Mahkamah Internasional merupakan bagian inte-
yang memutuskan sengketa tersebut (Pasal 82 gral dari Piagam PBB. Ketentuan prosedural
Konvensi). Untuk mengubah keputusan dalam kegiatan Mahkamah Internasional sama
dimungkinkan kalau ada fakta baru, alasan sekali berada di luar kekuasaan negara-negara
menolak suatu keputusan bisa terjadi karena yang bersengketa, karena kertentuan-ketentuan
adanya cacat hukum dalam keputusan. Karena yang dimaksud sudah ada sebelum timbulnya
itu ada kemungkinan para pihak untuk menolah sengketa.
keputusan tersebut yang didasarkan pada doktrin
pembatalan. Menurut Sri Setianingsih (2006), Wewenang Mahkamah Internasional
alasan-alasan yang dapat diajukan sebagai dasar
pembatalan putusan adalah: (a) Mahkamah Wewenang Mahkamah Internasional
Arbitrase tidak mempunyai kewenangan atau berdasarkan statuta ICJ adalah: (a) membuat
belum mempunyai kekuatan berlaku atau berakhir; peraturan tata tertib yang mengikat negara-negara
(b) Arbitator yang dipilih telah melebihi wewenang yang bersengketa (pasal 30 statuta ICJ); (b)
yang diberikan para pihak kepadanya dalam kaitan memberikan keputusan atas sengketa yang
dengan hukum yang harus diterapkan atau diminta diajukan oleh para pihak kepadanya (Pasal 36
untuk memilih alternatif yang harus diputuskan Statuta ICJ); (c) memberikan nasihat hukum (ad-
sendiri; (c) mahkamah melampaui aturan dasar visory opinion) untuk persoalan hukum atas
prosedur hkum dalam memutuskan perkara. permintaan badan-badan sesuai dengan Pasal 96
Misalnya satu aturan dasar dalam hukum bahwa piagam PBB dan Pasal 65 statuta ICJ
seseorang tidak boleh menjadi hakim dalam Menurut Pasal 34 ayat (1) Statuta
perkaranya sendiri. Oleh karena itu, anggota Mahkamah Internasional, hanya Negara negara
mahkamah arbitrase tidak diperkenankan yang boleh menjadi pihak dalam perkara-perkara
menerima instruksi dari salah satu pihak yang di hadapan Mahkamah Internasional (Ratione
mungkin merugikan pihak lain; (d) prinsip bahwa Personae). Dengan demikian, subjek-subjek
kepada kedua belah pihak harus diberikan hukum internasional, yang bukan negara, tidak
kesempatan yang sama untuk mempresentasikan dapat menjadi pihak dalam perkara-perkara yang
kasusnya mengenai masalah yang mendasar; (e) diajukan tersebut. Sementara mengenai
gagal untuk memberikan alasan atau keputusan kewenangannya, berdasarkan Pasal 36 ayat (1)
dapat dijadikan dasar untuk menolak keputusan Statuta Mahkamah Internasional, wewenang
arbitrase. Alasan suatu keputusan sangat penting Mahkamah Internasional meliputi semua perkara
bagi para pihak karena para pihak ingin yang diajukan pihak-pihak yang bersengketa
mengetahui tanggapan dari mahkamah atas kepadanya dan semua hal, terutama yang terdapat
argumen yang diajukan lebih mendasar sehingga dalam Piagam PBB atau dalam perjanjian-
suatu alasan putusan menjamin bahwa mahkamah perjanjian dan konvensi-konvensi yang berlaku
menentang godaan untuk menyederhanakan (Ratione Materiae). Pada prinsipnya, wewenang
perbedaan dan dasar keputusan pada merits of Mahkamah Internasional bersifat fakultatif, yang
the case; (f) suatu putusan merupakan putusan berarti bila terjadi suatu sengketa antara dua
yang curang. Termasuk ketidak jujuran dalam negara, intervensi Mahkamah Internasional baru
mempresentasikan suatu kasus di depan dapat terjadi bila negara-negara yang bersengketa
mahkamah atau korupsi oleh salah satu anggota tersebut dengan persetujuan bersama membawa
mahkamah dan kesalahan mendasar (essential perkaranya ke Mahkamah Internasional. Tanpa
error). adanya persetujuan antar pihak yang bersengketa,
wewenang Mahkamah Internasional tidak berlaku
Penyelesaian Sengketa melalui Mahkamah terhadap sengketa tersebut. Namun demikian,
Internasional menurut Pasal 36 ayat (2) Statuta Mahkamah
Internasional, negara-negara pihak, dapat setiap
Mahkamah Internasional (International saat menyatakan untuk menerima wewenang
Court of Justice) merupakan salah satu organ wajib Mahkamah Internasional tanpa persetujuan
hukum utama PBB. Dengan demikian, Mahkamah khusus dalam hubungannya dengan negara lain
Internasional ini merupakan bagian dari PBB dan yang menerima kewajiban yang sama, dalam
36 Jurnal Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan, Th. 27, Nomor 1, Pebruari 2014

sengketa hukum mengenai: (1) penafsiran suatu Internasional atau Antarorganisasi Internasional
perjanjian, (2) setiap persoalan hukum pada tanggal 21 Maret 1986.
internasional, (3) adanya suatu fakta yang bila Pasal 35 (1) negara yang dapat berperkara
terbukti akan merupakan pelanggaran terhadap di depan ICJ adalah negara-negara pihak dalam
kewajiban internasional, dan (4) jenis atau besarnya statuta. Pasal 35(2) terbuka bagi negara lain sesuai
ganti rugi yang harus dilaksanakan karena dengan ketentuan khusus yang tertera dalam
pelanggaran dari suatu kewajiban internasional. perjanjian yang berlaku, ditetapkan oleh Dewan
Ketentuan yang terdapat dalam Pasal 36 ayat Keamanan. Pasal 35(3) bila negara yang bukan
(2) Statuta Mahkamah Internasional tersebut anggota PBB menjadi pihak dalam perkara, maka
merupakan klausula opsional. Pernyataan ICJ akan menetapkan jumlah yang akan dibayar
negara tentang penerimaan klausula ini dapat
dibuat tanpa syarat atau dengan syarat Prosedur Berperkara
resiprositas (timbal balik) oleh negara-negara lain
atau untuk kurun waktu tertentu. Pernyataan Sementara prosedur pengajuan perkara,
seperti itu didepositkan kepada Sekretaris Jenderal menurut Pasal 43 Statuta ICJ, dilakukan secara
PBB yang copynya disampaikan kepada negara- tertulis dan atau lisan. Prosedur secara tertulis
negara pihak dan kepada Panitera Mahkamah dilakukan dengan jalan menyampaikan memori-
Internasional. Klausula dimaksud hanya akan als dan counter-memorials, sedangkan prosedur
berlaku bagi negara-negara yang telah menerima secara lisan dilakukan dengan jalan mendengarkan
hal yang sama. saksi-saksi, para ahli, agen-advokat yang mewakili
pihak (negara) yang bersangkutan. Dalam hal
Pihak yang dapat berperkara perkara diajukan secara tertulis, dan jika ada
yurisdiksi memaksa ICJ dalam arti Pasal 36 (2)
Berdasarkan Pasal 34 (1) statuta ICJ, hanya statuta ICJ, maka pihak pemohon akan hanya
negara yang dapat menjadi pihak di Mahkamah mendasarkan tuntutannya berdasarkan deklarasi
Internasional. Artinya, bahwa organisasi yang dibuat oleh para pihak berdasarkan Pasal 36
internasional, individu, dan organisasi non- (2) statuta ICJ. Bila suatu perkara diajukan
pemerintahan tidak dapat berperkara di berdasarkan Pasal 40 (1) statuta ICJ, maka
Mahkamah Internasional. Hal ini sesuai dengan berdasarkan Pasal 38 (1) rules procedure ICJ,
tujuan semula pembentukan ICJ, yaitu untuk maka pemohon harus menyebutkan kepada siapa
menyelesaikan sengketa antarnegara. Pertanyaan tuntutan dan subjek dari tuntutan tersebut diajukan.
yang muncul adalah bagaimanakah, bila individu Pihak pemohon juga harus menyebutkan secara
ingin membela kepentingannya di depan tepat apa yang menjadi dasar hukum dan pangkal
Mahkamah Internasional? Dalam kasus ini, maka tuntutannya, serta fakta yang menjadi dasar
negara di mana individu menjadi warganegaranya tuntutannya.
dapat bertindak mengajukan klaim berdasarkan Permohonan yang diajukan harus
hukum internasional, dimana suatu negara ditandatangani oleh pejabat yang berwenang dari
mempunyai hak melindungi warganegaranya. negara yang mengajukan permohonan atau oleh
Dengan cara demikian, maka perkara tersebut perwakilan diplomatik negara yang bersangkutan
menjadi perkara antar negara, dan individu tidak di tempat kedudukan ICJ. Jika pihak Panitera ICJ
menjadi pihak dalam perkara di Mahkamah sudah menerima permohonan, maka akan
Internasional. meneruskan salinan permohonan kepada pihak
Pasal 34 (2) statuta ICJ, Mahkamah yang bersangkutan (Pasal 38 ayat 4) ICJ.
Internasional dimungkinkan untuk meminta Permohonan tertulis belum dapat dipublikasikan
keterangan dari organisasi internasional, atau atas ke publik sampai dengar pendapat secara oral (oral
inisiatif sendiri organisasi internasional dapat proceedings), jika para pihak menghendaki atau
memberi keterangan kepada Mahkamah bahkan sampai akhir proses. Keadaan ini
Internasional. Masalah sengketa antarnegara dan dimaksudkan untuk mencegah terjadinya polemik
negara-negara dengan organisasi internasional yang tidak kondusif untuk administrasi pengadilan
atau antara organisasi telah diselesaiakan dengan dari ICJ.
melalui Konvensi PBB tentang perjanjian Tata cara yang digunakan oleh Mahkamah
internasional antara Negara dan Organisasi Internasional, sebagaimana dalam Pasal 39 Statuta
Astawa, Sistem Hukum Internasional dan Peradilan Internasional 37

ICJ, khususnya dalam penggunaan bahasa, bahasa dari kedua belah pihak dengan cara Written
resmi yang digunakan adalah bahasa Perancis dan Pleadings and Oral Hearing. Pada Written
bahasa Inggris. Jika para pihak menyetujui bahwa Hearing Process, hal-hal yang disampaikan terdiri
kasusnya akan menggunakan bahasa Perancis, dari memorial, counter memorial dan reply ke
maka keputusannya akan menggunakan bahasa Mahkamah Internasional. Proses ini ditarget akhir
Perancis. Demikian halnya jika para pihak Maret 2002, sedangkan penyampaian Oral Hear-
menyetujui bahwa kasusnya akan menggunakan ing oleh Malaysia pada tanggal 6-7 Juni 2002 dan
bahasa Inggris, maka keputusannya akan Indonesia pada tanggal 12 Juni 2002; (4)
menggunakan bahasa Inggris. Dalam ketentuan Mahkamah Internasional menampung dan
itu pula disebutkan, jika kedua pihak ternyata tidak mempelajari pembuktian yang dilakukan oleh
menyetujui bahwa kasusnya akan menggunakan kedua belah pihak dan selambat-lambatnya 6 bulan
kedua bahasa itu (bahasa Perancis dan bahasa setelah Oral Hearing harus sudah menjadi
Inggris), maka keputusannya akan menggunakan keputusan; (5) tahap terakhir adalah tahap
bahasa Perancis dan bahasa Inggris. Keputusan keputusan yang dilakukan oleh Mahkamah
yang menggunakan kedua bahasa tersebut Internasional (kasus pulau Sipadan dan Ligitan
mempunyai kekuatan hukum. Ketidakhadiran diputuskan pada pertengahan Desember 2002).
salah satu pihak dalam persidangan, Pasal 53
statuta ICJ menentukan: bila salah satu pihak tidak Pelaksanaan Putusan
hadir dalam persidangan atau tidak dapat
mempertahankan perkaranya, pihak lain dapat Dalam hal pelaksanaan keputusan,
meminta berdasarkan Pasal 90 (2) Piagam PBB menetukan
Proses persidangan pada Mahkamah keputusan ICJ dalam perkara apapun di mana
Internasional tampaknya mempunyai kesamaan- anggota tersebut menjadi salah satu pihak; (1)
kesamaan dengan yurisdiksi intern suatu negara. Apabila suatu pihak dalam perkara tidak memenuhi
Prosedur tertulis dan perdebatan lisan diatur kewajiban yang dibebankan kepadanya oleh suatu
sedemikian rupa untuk menjamin sepenuhnya keputusan ICJ, pihak yang lain dapat meminta
masing-masing pihak dalam mengemukakan perhatian Dewan Keamanan, jika perlu dapat
pendapatnya. Selain itu, sidang-sidang Mahkamah memberikan rekomendasi atau menentukan
Internasional dilaksanakan terbuka untuk umum tindakan yang akan diambil untuk terlaksananya
dan tentunya rapat hakim-hakim Mahkamah keputusan itu.
Internasional diadakan dalam sidang tertutup.
Secara singkat dan konkret, kita dapat a. Penyelesaian Sengketa melalui Mahka-
mencontohkan prosedur penyelesaian sengketa mah Pidana Internasional
internasional kasus pulau Sipadan dan Ligitan
antara Indonesia dan Malaysia, sebagai berikut: Mahkamah Pidana Internasional didirikan
(1) Indonesia dan Malaysia bersepakat untuk berdasarkan Statuta Roma 1998, sebagai hasil dari
mengajukan penyelesaian sengketa ini ke konperensi diplomatik yang berlangsung di Roma
Mahkamah Internasional dengan menandatangani pada tanggal 15-17 Juli 1998, yang dihadiri oleh
Special Agreement for the Submission to the wakil-wakil dari negara-negara di dunia, utusan
International Court of Justice on the Dispute organisasi-organisasi antar pemerintah dan non-
between Indonesia and Malaysia concerning pemerintah. Dengan demikian Mahkamah secara
the souvereignity over pulau Ligitan and pulau sah sudah berdiri sebagai badan pengadilan pidana
Sipadan. Agreement ini dilakukan di Kuala internasional yang bersifat permanen, yang
Lumpur pada tanggal 31 Mei 1997 dan berkedudukan di Den Haag, Negeri Belanda.
disampaikan kepada Mahkamah Internasional Menurut Pasal 4 ayat 1 Statuta, Mahkamah
pada tanggal 2 November 1998 melalui Joint Let- memiliki kepribadian hukum internasional. Artinya,
ter atau notifikasi bersama; (2) masalah pokok Mahkamah berkedudukan sebagai subyek hukum
yang diajukan ke Mahkamah Internasional, yaitu internasional dengan kemampuannya memiliki hak-
“Apakah kedaulatan atas pulau Sipadan dan hak dan memikul kewajiban-kewajiban
Ligitan berdasarkan perjanjian yang ada, bukti, berdasarkan hukum internasional dalam ruang
serta dokumen yang tersedia merupakan milik lingkup tugas dan kewenangannya serta maksud
Indonesia atau Malaysia”; (3) pembuktian klaim dan tujuannya.
38 Jurnal Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan, Th. 27, Nomor 1, Pebruari 2014

Mahkamah Pidana Internasional memiliki lintas batas teritorial yang sudah menjadi peserta
empat macam yurisdiksi, yaitu yurisdiksi personal, pada statuta, Mahkamah dapat menerapkan
yurisdiksi kriminal, yurisdiksi teritorial dan yurisdiksi teritorialnya.
yurisdiksi temporal. Yurisdiksi Personal adalah
Mahkamah menganut tanggungjawab secara 1. Proses Pemeriksaan
pribadi dari individu. Menurut Pasal 25 (1) Statuta,
yurisdiksi Mahkamah adalah terhadap orang-or- a) Pemeriksaan Pendahuluan
ang atau individu-individu yang harus
bertanggungjawab atas kejahatan yang dilakukan Jaksa Penuntut, setelah menerima adanya
sebagaimana ditentukan dalam statuta. Dengan laporan atau pengaduan dari salah satu negara
demikian, Mahkamah hanya memiliki yurisdiksi peserta mengenai suatu kejahatan dalam yurisdiksi
personal terhadap individu, jadi tidak terhadap pengadilan, melakukan evaluasi atas laporan
negara maupun subyek hukum internasional tersebut. Menurut Pasal 53 ayat 1, Jaksa Penuntut
lainnya selain daripada individu. setelah melakukan evaluasi atas semua informasi
Yurisdiksi Kriminal, adalah atas empat jenis yang tersedia dapat melakukan penyelididkan atas
kejahatan atau tindak pidana yang dinyatakan kasus yang bersangkutan. Apabila Jaksa Penuntut
dalam Pasal 5 Statuta, yakni kejahatan genosida, menyimpulkan bahwa ada dasar yang beralasan
kejahatan terhadap kemanusiaan, kejahatan untuk menindaklanjuti dengan penyidikan, dia akan
perang, dan kejahatan agresi. Masing-masing mengajukan kepada Majelis Pra-Peradilan
kejahatan itu harus ditetapkan definisi dan ruang permintaan kewenangan untuk melakukan
lingkupnya, seperti dalam pasal 6, 7 dan 8 Statuta. penyidikan dengan dilengkapi bahan-bahan
Lembaga yang berwenang merumuskan adalah pendukung yang telah dikumpulkan.
Majelis Negara-negara peserta berdasarkan Dalam melakukan penyelidikan, tugas dan
persetujuan dari dua pertiga negara-negara wewenang Jaksa Penuntut adalah: (a)
anggotanya. Yurisdiksi Temporal, ditegaskan mengumpulkan dan memeriksa bukti-bukti; (b)
dalam pasal 11 ayat 1 dan 2. Menurut Pasal 11 meminta kehadiran dan menanyai orang yang
ayat 1, Mahkamah hanya memiliki yurisdiksi atas sedang diselidiki, korban dan saksi; (c)
kejahatan yang dilakukan setelah mulai berlakunya mengadakan kerjasama dengan setiap negara atau
statuta. Mahkamah tidak memiliki yurisdiksi atas organisasi antar pemerintah sesuai dengan
kejahatan yang terjadinya sebelumnya. Hal ini kewenangan; (d) membuat persiapan atau
selaras dengan asas non-retroactives dalam Pasal kesepakatan yang tidak bertentangan dengan
24 ayat 1 yang menyatakan, bahwa tiada undang-undang untuk mempermudah kerjasama
seorangpun yang akan dimintakan dengan negara, organisasi antar pemerintah atau
pertanggungjawaban pidana berdasarkan statuta orang; (e) menjaga kerahasiaan dokumen dan
atas perbuatan yang dilakukukannya sebelum informasi yang diperoleh, kecuali ada izin dari yang
mulai berlakunya statuta. Yurisdiksi temporal bersangkutan. Untuk kepentingan penyidikan
Mahkamah ini hanya berlaku atas kejahatan yang Jaksa Penuntut melakukan penahanan atas izin
terjadi di dalam wilayah negara-negara pesertanya, Majelis Pra-Peradilan. Setelah surat dakwaan
yaitu negara-negara yang sudah meratifikasi dan tersusun, Majelis Pra-Peradilan mengadakan
dengan demikian sudah terikat pada statuta. pemeriksaan untuk menentukan persetujuan atas
Negara yang belum terikat pada statuta dan di dakwaan, dengan dasar mana Jaksa Penuntut
wilayahnya terjadi kejahatan seperti ditentukan bermaksud mengajukan dakwaan di persidangan.
dalam statuta, Mahkamah tidak memiliki yurisdiksi. Pemeriksaan diadakan dengan dihadiri Jaksa
Dalam konteks yurisdiksi temporal, Statuta tidak Penuntut dan orang yang didakwa beserta
mengenal pembatasan waktu untuk menggugurkan pengacaranya; (f) Sebelum pemeriksaan, Jaksa
yurisdiksinya. Pasal 25, secara tegas menyatakan, Penuntut boleh melanjutkan penyidikan dan dapat
bahwa tidak ada satu atau lebih kejahatan dalam mengubah atau mencabut setiap dakwaan, dan hal
yurisdiksi Mahkamah yang tunduk pada itu juga harus dberitahukan kepada tersangka dan
pembatasan waktu untuk melakukan penuntutan Majelis Pra-Peradilan.
terhadap pelakunya. Yurisdiksi Teritorial, dalam Pasal 55 ayat 1 dan 2 menegaskan tentang
statuta tidak ada pasal yang menegaskan. hak-hak yang dimiliki oleh setiap orang yang terkait
Terhadap kejahatan yang terjadinya di dalam atau dalam suatu kasus yang sedang dalam
Astawa, Sistem Hukum Internasional dan Peradilan Internasional 39

penyelidikan yang dilakukan oleh Jaksa Penuntut, kembali dakwaannya. (3) Setelah dakwaan
apakah individu itu sebagai saksi, sebagai korban dikonfirmasikan, Dewan Pimpinan mengangkat
atau sebagai tersangka. Hak-hak tersebut dirinci Majelis Pemeriksa (Trial Chamber), yang
dalam ayat 1, yaitu: (a) hak untuk tidak dipaksa bertanggungjawab terhadap pelaksanan setiap
dalam memberikan keterangan, atau dipaksa persidangan selanjutnya. (4) Terdakwa harus hadir
mengakui bahwa dirinya bersalah; (b) hak untuk selama pemeriksaan. Bila terdakwa hadir di
tidak boleh dijadikan sasaran dari suatu bentuk Pengadilan terus-menerus mengganggu
kekerasan, paksaan, ancaman, siksaan atau yang persidangan, Majelis Pemeriksa dapat
menurunkan martabat sebagai manusia; (c) hak mengeluarkan terdakwa dan membuat penetapan
untuk mendapat bantuan secara cuma-cuma baginya untuk mematuhi persidangan dan
seorang penerjemah yang memiliki kompetensi memberikan instruksi kepada pengacaranya dari
dalam bidang penerjemahan; (d) hak untuk tidak luar ruang sidang dengan teknologi komunikasi.
ditangkap maupun ditahan secara sewenang- (5) Dalam mulai persidangan, Majelis Pemeriksa
wenang serta hak untuk tidak kehilangan membacakan dakwaan yang sebelumnya telah
kebebasannya sesuai dengan statuta. dikonfirmasikan oleh Majelis Pra-Peradilan.
Sedangkan ayat 2 secara khusus mengatur Majelis Pemeriksa memberi kesempatan kepada
hak-hak orang yang diduga melakukan kejahatan, terdakwa untuk menyampaikan pernyataan
yaitu: (a) hak untuk diberitahukan kepadanya, bersalah atau tidak bersalah. Dalam persidangan,
bahwa ada alasan yang cukup kuat dan Hakim Ketua dapat memberi petunjuk
meyakinkan atas keterlibatannya dalam suatu pelaksanaan persidangan termasuk menjamin
kejahatan; (b) hak untuk diam, dan sikap diamnya bahwa persidangan dilaksanakan secara adil dan
itu akan dijadikan suatu pertimbangan dalam tidak memihak; (6) Majelis Pemeriksa, antara lain
menentukan bersalah tidaknya; (c) hak untuk memiliki wewenang atas permohonan pihak atau
mendapatkan bantuan hukum sesuai dengan atas usulnya sendiri untuk (a) mengatur mengenai
pilihannya sendiri; (d) hak untuk diperiksa dengan diterimanya atau relevansinya suatu bukti, dan (b)
didampingi atau dihadiri oleh penasihat hukumnya, mengambil segala tindakan yang perlu untuk
kecuali ia tidak menggunakan haknya untuk menjaga ketertiban selama berlangsungnya
didampingi oleh penasihat hukumnya. pemeriksaan. (7) Bila Majelis Pemeriksa
berpendapat bahwa diperlukan adanya fakta-fakta
b) Pemeriksaan Pengadilan yang lebih lengkap untuk kepentingan keadilan,
terutama untuk kepentingan korban, Majelis
Dalam pasal 61 ICC ditentukan sebagai Pemeriksa dapat: (a) meminta Jaksa Penuntut
berikut: (1) Pada waktu pemeriksaan, Jaksa mengajukan bukti tambahan termasuk keterangan
Penuntut harus mendukung setiap dakwaan saksi-saksi, dan (b) memerintahkan agar
dengan bukti yang cukup, untuk menetapkan pemerisaan dilanjutkan menurut prosedur
alasan-alasan substansi yang kuat dan dapat persidangan biasa.
dipercaya bahwa tersangka telah melakukan Langkah-langkah yang harus ditempuh untuk
kejahatan yang didakwakan kepadanya. (2) Dalam menuju ke persidangan, yakni jika surat dakwaan
proses pemeriksaan tersangka boleh: (a) menolak sudah ditetapkan sesuai dengan ketentuan pasal
dakwaan; (b) membantah bukti yang diajukan oleh 61, Kepresidenan akan mengangkat Kamar
Penuntut Umum, dan (c) mengajukan bukti. Peradilan yang bertanggungjawab atas proses
Setelah dakwaan dikonfirmasikan oleh Majelis jalannya perkara selanjutnya serta dapat
Pra-Peradilan kepada Penuntut Umum dan melaksanakan setiap fungsi dari Kamar Pra-
sebelum pemeriksaan dimulai, Penuntut Umum, Peradilan yang relevan serta mampu
dengan izin Majelis Pra-Peradilan dan setelah menerapkannya dalam proses perkara yang
memberi tahu terdakwa, boleh merubah dakwaan. terkait.
Apabila Penuntut Umum perlu menambah atau Tempat persidangan harus dilakukan di
mengganti dakwaan dengan yang lebih berat, tempat kedudukan Mahkamah yaitu di Den Haag,
harus diadakan pemeriksaan untuk kecuali diputuskan lain oleh Mahkamah. Pasal 63
mengkonfirmasi dakwaan-dakwaan itu. Setelah ayat 1 mengharuskan kehadiran tedakwa selama
persidangan dimulai, Penuntut Umum dengan dalam persidangan. Ayat 2, berkenaan dengan
seizin Majelis Pra-Peradilan dapat mencabut perilaku terdakwa dalam persidangan. Apabila
40 Jurnal Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan, Th. 27, Nomor 1, Pebruari 2014

terdakwa terus-menerus mengacaukan 2. Upaya Banding


persidangan Kamar Pra-Peradilan dapat
memindahkan terdakwa dan akan membuat Menurut Pasal 74 ICC, Putusan Pengadilan
ketentuan bagi terdakwa supaya mematuhi dapat diajukan banding sebagai berikut: (a)
persidangan serta memerintahkan kepada Penuntut Umum dapat melakukan banding
penasihat hukumnya untuk keluar persidangan. berdasarkan alasan-alasan berikut ini: (i) kesalahan
Kamar Peradilan selama dalam persidangan, prosedur; (ii) kesalahan fakta; (iii) kesalahan
terdakwa diberikan kesempatan untuk membuat hukum; (b) Orang yang dihukum, atau Penuntut
pengakuan bersalah. Kemudian Kamar Peradilan Umum atas nama orang itu, dapat mengajukan
harus mempertimbangkan pengakuan bersalah banding berdasarkan alasan-alasan berikut: (i)
dari terdakwa tersebut, dengan semua alat bukti kesalahan prosedur; (ii) kesalahan fakta; (iii)
dan fakta-fakta yang diajukan. Kamar Peradilan kesalahan hukum, (iv) alasan-alasan lain yang
dapat menjatuhkam hukuman terhadap terdakwa mempengaruhi keadilan, tidak dapat dipercayakan
atas kejahatan yang didakwakan terhadapnya. pemeriksaan dipersidangan atau putusan.
Apabila Kamar Peradilan tidak yakin atas
pengakuan bersalah dari terdakwa, maka Kamar 3. Pelaksanaan Putusan Mahkamah
Peradilan akan memandang bahwa pengakuan
bersalah tidak pernah ada atau tidak pernah Dalam konteks hubungan antarabangsa atau
dilakukan. Kemudian persidangan akan dilanjutkan antarnegara, bahwa hukum internasional
dengan pembuktian. mempunyai sifat mengikat setiap negara dan sifat
mengikat tersebut bukanlah kehendak mereka satu
c) Pengambilan Keputusan per satu, melainkan karena adanya suatu kehendak
bersama yang sifatnya lebih tinggi dari kehendak
Setelah melalui proses persidangan sesuai masing-masing negara untuk tunduk pada hukum
dengan statuta dan hukum acara dan pembuktian, internasional. Pemahaman ini didasarkan atas
Mahkamah harus mengambil keputusan atas kasus kepentingan dan kemauan masing-masing agar
yang diperiksanya. Putusan tersebut bisa dapat kepentingan mereka dalam hubungan internasional
berupa putusan pembebasan dari segala tuduhan memperoleh jaminan hukum.
dan tuntutan dari Jaksa Penuntut, karena tidak Mengenai tempat terhukum menjalani
terbukti, atau bukti-bukti yang diajukan sangat hukuman, Pasal 103 ayat 1 butir a menyatakan
lemah. Sebaliknya, dapat berupa keputusan bahwa Mahkamah yang menetapkan negara
penghukuman jika dalam persidangan terdakwa tempat terhukum menjalani hukuman. Negara
terbukti melakukan kejahatan yang dituduhkan oleh tersebut adalah negara-negara peserta statuta
Jaksa Penuntut. Putusan Majelis Pemeriksa harus yang dipilih dan ditetapkan oleh Mahkamah dari
berdasarkan evaluasi bukti dan seluruh daftar negara-negara yang menyatakan
persidangan. Putusan tidak melebihi dari fakta dan kesediaannya untuk menerima terhukum untuk
keadaan yang dijelaskan dalam dakwaan dan menjalani hukumannya.
perubahan terhadap dakwaan itu. Pengadilan
hanya boleh mendasarkan putusannya pada fakta b. Penyelesaian Sengketa di luar Peradilan
yang diajukan dan yang dibahas dimuka
persidangan. Berdasarkan Pasal 77 Statuta, ada Penyelesaian di luar peradilan yang
dua jenis hukuman yang dapat diterapkan terhadap dimaksudkan adalah penyelesaian sengketa
seorang terdakwa yang terbukti melakukan dengan cara damai dengan para pihak yang
kejahatan yang tunduk pada yurisdiksi Mahkamah bersengketa dan cara damai dengan perantaraan
sebagaimana diatur dalam pasal 5, yakni: (a) pihak ketiga.
hukuman penjara untuk selama jangka waktu
tertentu tetapi tidak boleh melebihi dari maksimum 1) Cara penyelesaian sengketa secara damai
30 tahun; (b) hukuman penjara seumur hidup atas
pertimbangan beratnya kejahatan yang dilakukan Cara Penyelesaian sengketa secara damai
dan keadaan-keadaan individual dari terdakwa ini meliputi negosiasi dan konsultasi. Negosiasi
sebagai orang yang akan dijatuhi hukuman seumur adalah cara penyelesaian sengketa secara
hidup itu. langsung oleh para pihak yang bersengketa dengan
Astawa, Sistem Hukum Internasional dan Peradilan Internasional 41

melalui saluran diplomatik biasa. Para pihak yang diusut dari mana asalnya. Mahkamah berpendapat
bersengketa secara langsung dapat berhubungan bahwa lewatnya kapal-kapal itu di selat Corfu dalam
dan saling memberi pengertian tentang apa yang bulan Oktober ialah mempergunakan hak lewat yang
dikehendakinya, sehingga mereka dapat tak sepantasnya tidak diberikan oleh Albania dan
menyelesaikan sengketa dengan bijaksana. dengan mengingat kelakuan Albania karena telah
Apabila para pihak yang bersengketa telah sepakat bersiap-siap akan membela diri yang telah berakibat
mengenai fakta-fakta yang menjadi sengketa, maka fatal. Hal tersebut menurut Mahkamah Internasional,
kedua belah pihak akan lebih mudah untuk Albania wajib menggantinya. Operasi menyapu
menyelesaikan sengketa. Sri Setianingsih Suwardi ranjau yang dilakukan oleh Inggris menurut
(2006) menyatakan negoisasi adalah suatu teknik Mahkamah Internasional merupakan pelanggaran
penyelesaian sengketa secara damai dan penting, terhadap kedaulatanAlbania. Oleh karena itu, menurut
karena negoisasi adalah suatu usaha untuk hukum internasional modern, penggunaan angkatan
mencegah timbulnya sengketa yang lebih serius. bersenjata sah hanya untuk membela diri.
Dimana telah diakui bahwa pencegahan adalah Kasus sengketa antara Indonesia dan Ma-
lebih penting dari pengobatan. Salah satu bentuk laysia tentang Pulau Sipadan dan Ligitan dapat
negoisasi adalah konsultasi. menjadi contoh nyata peran Mahkamah
Konsultasi, jika suatu negara telah mengambil Internasional dalam menjaga dan mewujudkan
suatu kebijakan yang kemungkinan mempunyai perdamaian dunia. Kasus tersebut muncul
dampak negatif pada negara lain. Perundingan pertama kali pada waktu dilangsungkannya
atau diskusi dengan negara yang terkena dampak perundingan mengenai batas landas kontinen
kebijakan itu merupakan cara yang terbaik untuk antara Indonesia dan Malaysia di Kuala Lumpur
menghindari terjadinya sengketa antara kedua pada tanggal 9 -22 September 1969. Kurang lebih
belah pihak. Sudah tentu dari hasil diskusi tersebut 33 tahun, kasus tersebut baru dapat diselesaikan
diharapkan negara pembuat kebijakan dapat setelah kedua belah pihak bersepakat untuk
memperbaiki kebijakannnya sehingga tidak mengajukan penyelesaian sengketa ke Mahkamah
merugikan kepentingan negara lain. Internasional dengan menandatangani Special
Beberapa contoh kasus yang ditangani oleh Agreement for the Submission to the International
Mahkamah Internasional antara lain adalah Kasus Court of Justice on the Dispute between Indone-
Selat Corfu dan Kasus Pulau Sipadan dan Ligitan. sian and Malaysia concerning the Souvereignity
Putusan Mahkamah Internasional dalam perkara over Pulau Ligitan and Pulau Sipadan di Kuala
Selat Corfu berisi petunjuk tentang batas-batas yang Lumpur tanggal 31 Mei 1997 dan Special Agree-
di dalam ketentuan undang-undang modern ment ini disampaikan kepada Mahkamah
membatasi kesempatan bagi penggunaan angkatan Internasional pada tanggal 2 November 1998
bersenjata yang sah oleh negara-negara. Dalam melalui suatu Joint Letter atau notifikasi bersama.
bulan Mei 1946, dua kapal penjelajah Inggris berlayar Setelah melalui serangkaian sidang pertengahan
melewati selat Corfu utara dan ditembaki dengan Desember tahun 2002, Mahkamah Internasional
meriam-meriam oleh Albania. Pemerintah Inggris memutuskan bahwa Malaysia memiliki kedaulatan
memperingatkan kepada Pemerintah Albania, jika atas Pulau Sipadan dan Ligitan.
meriam-meriam pantainya ditembakkan lagi kepada
kapal-kapal perang Inggris yang melewati selat itu, SIMPULAN
tembakannya akan dibalas. Pada bulan Oktober 1946,
dua penjelajah dan dua perusak dikirimkan untuk Hukum internasional merupakan norma
menguji sikap Albania. Tetapi kapal-kapal perusak hukum yang mengatur hubungan hukum antara
itu melanggar ranjau-ranjau laut yang mengakibatkan negara dan negara, negara dan subjek hukum lain
korban jiwa. Mahkamah memperoleh bukti bahwa bukan negara, atau subjek hukum bukan negara
ranjau-ranjau laut itu belum lama dipasang dan tidak satu sama lain. Pada umumnya setiap hukum
mungkin dipasang di sana tanpa sepengetahuan nasional mengandung dimensi hubungan hukum
pemerintah Albania. Pada bulan November 1946, internasional, demikian juga hukum internasional
tanpa disetujui Pemerintah Albania, angkatan laut memberi peluang berlakunya hukum nasional.
Inggris melaksanakan operasi menyapu ranjau di Dalam hukum internasional, di samping manusia
perairan teritorial Albania dengan tujuan untuk sebagai subyek hukum, yang juga termasuk
memperoleh ranjau itu agar dapat diperiksa dan subyek hukum adalah negara dan badan hukum
42 Jurnal Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan, Th. 27, Nomor 1, Pebruari 2014

swasta. Secara garis besar, hukum internasional Sengketa atau konflik antarbangsa atau
dapat dibagi menjadi dua, yaitu Hukum Perdata antarnegara sering bersifat latens (semu,
Internasional dan Hukum Publik Internasional. terselubung) dan manifest (terbuka). Penyelesaian
Setiap hukum yang berlaku di suatu negara, sengketa antarnegara dapat dilakukan dengan
termasuk hukum internasional, baik yang bersifat cara-cara damai maupun perang. Dari ketentuan
publik maupun perdata, memiliki asas-asas atau tersebut dapat dipahami bahwa penyelesaian
prinsip-prinsip yang tegas dan jelas. Asas-asas sengketa dapat dilakukan baik melalui lembaga
dalam hukum Internasional tersebut meliputi, Asas peradilan, maupun lembaga di luar peradilan.
Teritorial, Asas Kebangsaan, Asas Penyelesaian Sengketa melalui lembaga peradilan
Kepentingan Umum, Ne Bis In Idem, Pacta Sunt dapat melalui Mahkamah Arbitrase, Mahkamah
Servanda, Jus Cogens, Inviolability dan Immu- Internasional, dan Mahkamah Pidana
nity. Sumber hukum internasional dapat dibedakan Internasional. Sedangkan Penyelesaian
menjadi dua, yaitu sumber hukum material dan Sengketa di luar Peradilan meliputi negosiasi dan
sumber hukum formal. konsultasi.

DAFTAR PUSTAKA

Achmad Ali. 2002. Keterpurukan Hukum di Husei, Ali Sofyan & Eggi Sudjana. 1997. Hak
Indonesia (Penyebab dan solusinya). Asasi Manusia dalam Bingkai
Jakarta: Ghalia Indonesia. Demokrasi. Jakarta: CIDES
Adolf, Huala. 1990. Aspek-aspek Negara Dalam Idjehar, Muh. Budairi. 2003. HAM versus
Hukum Internasional. Jakarta: Raja Kapitalisme. Yogyakarta: Insist Press.
Grafindo YLBHI. 1996. Tahun Kekerasan, Potret
Ardhiwisastra, Yudha Bhakti. 2003. Hukum Pelanggaran HAM di Indonesia. Jakarta:
Internasional, Bunga Rampai. Bandung: YLBHI
Alumni. Karnasudirdja, Eddy Djunaedi. 2003. Dari
Awuy, Tommy F. 1997. Diskursus HAM yang Pengadilan Internasional Nuremberg ke
Berubah, Jurnal Dinamika HAM. Pengadialn Hak Asasi Manusia Indone-
Jakarta: Gramedia. sia. Jakarta:Tata Nusa.
Bahar, Saafroeddin. 1997. Hak Asasi Manusia, Kusumaatmadja, Mochtar. 1982. Pengantar
Analisis Komnas HAM, dan Jajaran Hukum Internasional. Jakarta: Binacipta.
Hankam ABRI. Jakarta: Pustaka Sinar Lubis, Todung Mulya. 1993. HAM dalam
harapan. Masyarakat Dunia, Isu dan Tindakan.
Djaali,dkk. 2003. Hak Asasi Manusia (Suatu Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.
Tinjauan Teoritis dan Aplikasi). Restu Muhammad, Rusjdi Ali. 2004. Hak Asasi
Agung. Manusia dalam Perspektif Syariat Islam.
Effendi, A.Masyhur. 1980. Tempat Hak Azasi Jakarta:Mihrab.
Manusia Dalam Hukum Internasional/ Muhtaj, Majda El. 2007. Hak Asasi Manusia
Nasional. Bamdung: Alumni. dalam Konstitusi Indonesia.
Gassesse, Antonio. 1994. Hak Asasi Manusia Jakarta:Kencana.
di Dunia yang Berubah. Jakarta: Yayasan Parthiana, I Wayan. 2006. Hukum Pidana
Obor Indonesia. Internasional. Bandung:Yrama Widya.
Gautama, Chandra dan BN Marbun (ed). 2000. Undang-Undang Perlindungan Anak.
Hak Asasi Manusia, Penyelenggaraan Yogyakarta: Pustaka Widyatama.
negara yang baik dan Masyarakat Sunggono, Bambang, dkk. 1994. Bantuan Hukum
Warga. Jakarta: Komnas HAM. dan Hak Asasi Manusia. Bandung:
Hartono, C. F. G. Sunarjati. 1976. Pokok-Pokok Mandar Maju.
Hukum Perdata Internasional. Jakarta: Sri Setianingsih Suwardi. 2006. Penyelesaian
Bina Cipta. Sengketa Internasional. Jakarta:
Iniversitas Indonesia.

Anda mungkin juga menyukai