Jelajahi eBook
Kategori
Jelajahi Buku audio
Kategori
Jelajahi Majalah
Kategori
Jelajahi Dokumen
Kategori
Jawaban:
Assalamu 'alaikum warahmatullahi wa barakatuh
Al-hamdulillah, wash-shalatu wassalamu 'ala rasulillah, wa ba'du
Sebelum kami menjawab kesimpulan keliru dari tokoh yang anda sebut sesuai
dengan disiplin ilmu syariah, kami ingin sedikir memberi gambaran tentang sikap
kita dalam menerima sebuah pendapat. Setiap ilmu ada ahlinya dan tunggulah
kehancurannya manakala kita menyerahkan sebuah masalah kepada orang yang
bukan ahlinya. Sementara tokoh yang anda sebutkan itu bukanlah seorang yang
punya latar belakang ilmu syariah, melainkan lebih kepada bidang filsafat,
tasawwuf dan kajian-kajian teologis lainnya. Sehingga bila dia bicara tentang
hukum syariah, sebenarnya bukan pada tempatnya bagi kita untuk menerimanya.
Orang betawi bilang, `bukan maqomnya`.
Dari sudut pandang disiplin ilmu saja, sebenarnya kita dengan mudah bisa
menilai kualitas dan bobot pendapat seseorang. Lain halnya kalau yang bicara
demikian misalnya ketua MUI atau rektor Al-Azhar Mesir, mungkin kita boleh
merasa gerah atau resah. Tapi kalau orang yang bukan bidangnya berbicara
tentang suatu masalah, lalu di sana sini ada kekeliruan atau hal-hal yang tidak
tepat, sejak awal kita bisa maklum. Namanya saja bukan ahlinya, pastilah ujung-
ujungnya tidak benar. Meski pernah duduk di bangku Al-Azhar sekalipun. Sebab
di Mesir sendiri pun orang yang menyeleweng dari aqidah Islam tidak sedikit.
Bahkan yang jadi Fir'aun pun banyak. Dan di Al-Azhar sendiri ada banyak
fakultas, sedangkan yang bersangkutan hanyalah duduk dalam fakultas filsafat
(ushuluddin), sama sekali tidak ada kaitannya dengan ilmu syariah. Lalu dia
sekarang berbicara hal-hal yang terkait dengan ilmu syariah. Di sinilah letak
ketidaktepatannya.
Sebagai contoh, kalau anda punya BMW keluaran terbaru lalu ditangani oleh
tukang gali jalanan yang biasa menanam pipa atau kabel di jalan-jalan, wajarlah
kalau hasilnya mobil kesayangan anda itu jadi hancur-hancuran bentuknya.
Sebab tukang gali itu hanya tahu urusan menggali, merusak aspal jalan,
mencongkel dan mengebor. Ituah keahliannya dan itulah profesinya. Yang salah
bukan tukang itu, tapi kitalah yang teledor mempercayakan penanganan mobil
canggih kepada orang yang salah.
Adapun tokoh kita yang satu ini pastilah merasa bangga bila lontaran
pendapatnya bisa memancing reaksi dari kalangan ummat, sebab paradigma ilmu
yang dipelajarinya adalah berdebat masalah filsafat itu sendiri. Semakin tegang
dan ramai perdebatan itu, maka semakin berhasil menurutnya pengajaran atau
kuliahnya. Sebab intinya hanya ingin menguras logika dan perdebatan saja, tidak
untuk mendapatkan manhaj Rasulullah SAW yang lurus dan benar.
Lucunya, sebagian orang menafsirkan gaya seperti itu hanya sekedar gaya dan
retorika belaka. Intinya untuk memancing kreatifitas berpikir umat. Lontaran
pemikiran yang menghebohkan diharapkan bisa mejadikan umat makin kritis.
Padahal kenyataannya, dalam kehidupan sehari-hari pun semua pendapatnya
tercermin dalam tindak tanduk dan perilakunya. Sehingga berlindung di balik
kepura-puraan bukanlah sebuah apologi yang benar.
Misalnya dia sering mengatakan bahwa orang yang sangat cerdas, tinggi ilmunya
dan mendalam IQ-nya bisa menjadi nabi, atau selevel dengan nabi. Atau
misalnya bahwa Aristoteles, Socrates dan Plato itu juga sebenarnya nabi. Dan
orang semacam itu masih punya berjuta lontaran pendapat yang aneh bin ajaib
alias menyeleweng dari aqidah. Kalau seseorang punya nurani dan aqidah yang
bersih, pastilah tidak akan sampai hati mengucapkan hal itu. Sebab hati
nuraninya pasti menjerit dan tidak akan bisa menerima.
Dan bila kita konsekuen dengan metode pembinaan Rasulullah SAW, rasa-
rasanya beliau SAW tidak pernah mengajarkan agama ini dengan metode debat
atau memancing perselisihan atau dengan gaya melemparkan keresahan sebagai
diskursus dan segala embel-embelnya. Rasulullah SAW mengajarkan Islam ini
dengan mudah, jelas, terang, damai dan sejuk. Sebaiknya jangan dengarkan dan
jangan ditanggapi, nanti dia akan capek sendiri. Sebab makin ditanggapi dia akan
makin bahagia. Dan anda akan semakin bingung.
Sedangkan tuduhan bahwa tidak ada ayat Al-Quran yang mengharamkan wanita
muslimah menikah dengan laki-laki kafir justru semakin menjelaskan
kegagapannya terhadap ayat Al-Quran itu sendiri. Sebab seluruh ulama
sepanjang zaman telah sepakat menyatakan bahwa keharamnnya justru
ditegaskan dengan ayat Al-Quran.
Dan janganlah kamu menikahi wanita-wanita musyrik, sebelum mereka beriman.
Sesungguhnya wanita budak yang mu'min lebih baik dari wanita musyrik,
walaupun dia menarik hatimu. Dan janganlah kamu menikahkan orang-orang
musyrik sebelum mereka beriman. Sesungguhnya budak yang mu'min lebih baik
dari orang musyrik, walaupun dia menarik hatimu. Mereka mengajak ke neraka,
sedang Allah mengajak ke surga dan ampunan dengan izin-Nya. Dan Allah
menerangkan ayat-ayat-Nya kepada manusia supaya mereka mengambil
pelajaran. (QS Al-Baqarah: 221)
Dan para fuqaha sepanjang zaman telah menyatakan keharamannya. Mana
mungkin seorang yang mendalami masalah filsafat lalu tiba-tiba mengeluarkan
fatwa bahwa pernikahan itu hukumnya halal?
Wallahu a'lam bish-shawab, Wassalamu 'alaikum warahmatullahi wa barakatuh
Ahmad Sarwat, Lc.
Bolehkah Menjual Tanah Waqaf atau
Memindahkannya?
Publikasi: 30/05/2005 15:18 WIB
Assalamu'alaikum,
Saya mempunyai masalah. Di depan rumah saya ada tanah wakaf dari kakek
untuk kepentingan masjid. Di sebelah tanah wakaf ada masjid. Pihak masjid akan
mendirikan bangunan untuk madrasah namun bingung karena jika dibangun akan
menutupi rumah saya. Ada saran kalau tanah tersebut sebaiknya dibeli saya
sehingga uangnya dapat dipakai untuk membeli tanah lagi di tempat lain dan bisa
dibangun madrasah tanpa mengganggu orang lain.
Bolehkah saya membeli tanah tersebut namun tidak ada niat untuk memilikinya?
Jika sudah saya beli, sertifikat tanah tersebut atas nama siapa? Kata orang tidak
boleh atas nama pribadi tapi atas nama Departemen Agama.
Mohon bantuan dari Bapak Ustadz. Terima kasih sebelumnya.
Hormat saya,
Hidayat
Jawaban:
Assalamu 'alaikum warahmatullahi wa barakatuh
Al-hamdulillah, wash-shalatu wassalamu 'ala rasulillah, wa ba'du
Ada sebuah hadits yang secara nashnya menyebutkan bahwa tanah wakaf itu
tidak boleh dijual atau dihibahkan lagi atau tidak bisa diwariskan. Di antaranya
yang kita dapati pada hadits Umar bin Al-Khattab berikut ini:
Dari Ibnu Umar r.a. bahwa Umar r.a. mendapat tanah di Khaibar, maka beliau
menghadap kepada Nabi SAW dan bertanya,"Aku mendapat tanah di Khaibar
yang belum pernah aku miliki sebelumnya yang lebih berharga. Apakah yang
Anda perintahkan?" Beliau SAW menjawab, "Bila kamu mau, kamu bisa menahan
pokoknya dan bersedekah dengan hasilnya, dengan syarat tidak dijual, tidak
dihibahkan dan juga tidak diwariskan, kepada para fuqara, kerabat, budak,
sabilillah, para tetamu, ibnu sabil. Orang yang memeliharanya boleh memakan
sebagian hasilnya secara makruf dan menyuguhkan kepada temannya, tapi tidak
menjualnya." (HR An-Nasai, Ahmad, Ad-Dairimy)
Namun nash ini tidak berarti berlaku secara kaku, karena para ulama setelah
melakukan kajian yang mendalam dan meneliti kasusnya satu persatu,
membolehkan menjual tanah wakaf asalkan dengan beberapa persyaratan.
Apabila sebuah barang yang telah diwaqafkan telah kurang berfungsi lagi, seperti
masjid yang telah menjadi sempit untuk orang-orang yang shalat, maka Jumhur
ulama membolehkan menjualnya asalkan diganti dengan masjid lainnya. Kecuali
mazhab Al-Malikiyah yang membedakan antara yang jenisnya 'aqar dan yang
bukan. Yang dimaksud dengan 'aqar adalah harta yang punya pokok seperti
tanah atau rumah. Al-Malikiyah mengatakan bila yang diwaqafkan itu berbentuk
'aqar tidak boleh dijual, kecuali bila tujuannya untuk sekedar meluaskan masjid.
Maka dibolehkan untuk maslahat umum.
Al-Kharsyi dari fuqaha kalangan mazhab Al-Malikiyah mengatakan bahwa bila
bukan berbentuk 'aqar seperti baju yang sudah usang atau kuda yang sakit,
maka dibolehkan untuk dijual dan uang dibelikan lagi dengan yang baru.
Sedangkan bila berbentuk 'aqar seperti tanah atau masjid tidak boleh dijual,
kecuali sekedar untuk meluaskannya saja.
Sedangkan bila kita melihat ke mazhab Asy-Syafi'iyah, kita akan mendapati
mereka agak sedikit ketat dalam masalah penggantian barang waqaf. Nyaris
mereka menolak kebolehannya secara mutlak, karen takut hilangnya nilai
kewaqafannya. Imam An-Nawawi mengatakan tidak boleh menjual masjid waqaf
kecuali hanya menjual tikarnya yang sudah usang atau tiangnya bila telah patah.
Adapun pendapat di kalangan ulama Hanabilah tidak membedakan apaka jenis
harta yang diwaqafkan itu 'aqar atau bukan. Mereka pada umumnya
membolehkan menjual tanah yang sudah diwaqafkan asalkan dibelikan tanah lagi
yang masih bisa bermanfaat. Demikikan juga kuda-kuda waqaf yang sudah tua
dan sakit-sakitan, boleh ijual untuk dibelikan lagi dengan kuda yang baru dan
masih segar.
Ibnu Qudamah mengatakan barang waqaf telah kurang bermanfaat lagi seperti
rumah yang runtuh atau tanah yang telah ditinggalkan orang tanpa ada yang
merawatnya, atau masjid yang orang-orang di sekitarnya telah pindah sehingga
tidak ada lagi yang shalat di dalamnya, atau sudah sangat sempit untuk dilakukan
shalat di dalamnya dan tidak ada lagi yang mengurusnya, kecuali dengan menjual
sebagiannya, maka hal itu dibolehkan. Bahkan bila sudah sama sekali tidak ada
manfaatnya, boleh dijual semuanya.
Namun ada juga riwayat lagi dalam mazhab ini yang mengatkan bahwa masjid itu
tidak boleh dijual, karena ada riwayat Ali bin Said bahwa masjid tidak boleh dijual
kecuali dijual perabotnya saja. Namun Ibnu Qudamah merajihkan pendapat yang
pertama.
Sedangkan pendapat kalangan fuqaha Al-Hanafiyah umunya mengatakan tidak
boleh menjual masjid meski sudah roboh sama sekali bangunannya. Baik karena
ditelan usia, atau gempa atau hal-hal lain. Muhammad, salah satu tokokh ulama
di mazbah ini mengatakan bahwa sisa-sisanya menjadi hak pewaqafnya bila
masih hidup atau menjadi hak ahli waris pewaqafnya bila telah meninggal.
Sedangkan tokoh lainnya yaitu Abu Yusuf mengatakan bahwa sisanya sama sekali
tidak perlu dikembalikan kepada pewaqaf, karena yang namanya masjid itu milik
Allah. Dan beliau berpendapat bahwa menjualnya tidak boleh, demikian juga
dengan memindahkannya.
Wallahu a'lam bish-shawab, Wassalamu 'alaikum warahmatullahi wa barakatuh
Ahmad Sarwat, Lc.
05 11:37 WIB (Terbaca: 671)
hanaan
u Hilal
Tahun 1986, sewaktu di SMA 13 dulu, ada seorang teman sekelas dari kalangan
beberapa kali mengenakan pakaian seragam sekolah dengan satu atau dua
bagian bahu dan lengan. Beberapa teman lain, sering mengingatkannya agar
eragamnya dengan yang baru. Tapi, sambil tersenyum, teman itu berkata,
h, sebentar lagi juga lulus!”
nakan pakaian bertambal, teman saya ini tidak merasa malu, risih, atau rendah
an-teman yang lain pun tidak memandang rendah atau menganggapnya miskin,
ang dia bukan orang miskin. Ketika sebagian besar siswa lainnya berangkat
an berjalan kaki, bersepeda, atau naik kendaraan umum, teman yang satu ini
sepeda motor. Pada waktu itu, hanya beberapa siswa saja yang ke sekolah
da motor. Belum ada yang membawa mobil seperti anak SMA sekarang.
ungkin, akan lain bila yang mengenakan seragam bertambal itu adalah saya, yang
, berasal dari keluarga sederhana. Barangkali teman-teman lain tidak ada yang
ngatkan saya agar membeli seragam baru. Dan mungkin juga teman-teman
aya, jika waktu itu saya menegenakan seragam bertambal. Dan saya pun,
an merasa malu, risih, atau rendah diri.
h, nasihat Khalifah Umar bin Abdul Aziz di atas. Bahwa gaya hidup sederhana
lkan orang kaya, sedikit pun tidak akan membuatnya rendah atau hina. Orang-
ak akan mencibirnya. Bahkan sebaliknya, bisa jadi orang lain kagum melihat gaya
ana orang kaya tersebut. Seperti komentar raja Romawi terhadap perilaku
halifah Umar bin Abdul Aziz.
engar kabar Umar bin Abdul Aziz wafat, Kaisar Romawi yang paling sengit
lam pada waktu itu berkata, ”Aku tidak heran bila melihat seorang rahib yang
nia dan melulu beribadah. Tapi, aku betul-betul heran ketika melihat seorang raja
i kekayaan begitu besar, lalu dibuangnya jauh-jauh, sehingga ia hanya berjalan
h memilih kehidupan seperti layaknya fakir miskin.”
dul Aziz adalah cermin yang tak pernah pudar. Sejarah hidupnya abadi, dan
rasi bagi orang-orang yang senantiasa mendambakan kemudahan ketika dihisab
ir kelak. Kedudukan, kekuasaan, dan kekayaan yang ada di tangannya tidak
nya berpenampilan perlente, meskipun pejabat-pejabat lain yang merupakan
banyak yang berpenampilan mewah. Tak sedikit pun ada di benak Khalifah Umar
z kekhawatiran kalau-kalau rakyat, para pejabat, atau kepala negara lain
nya atau menganggapnya kere lantaran berpenampilan sederhana.
an kekayaan pasti akan menjadi ganjalan dan memperlambat hisab pada hari
a manusia harus mempertanggungjawabkan perbuatannya di depan Pengadilan
ngadilan Allah Swt. sangat berbeda dengan pengadilan manusia di dunia. Di
unia masih sering terjadi bias dan kekeliruan, sehingga seseorang dapat lepas dari
Sementara di pengadilan akhirat, tak seorang pun yang bisa lolos dari hukum
ang ditampilkan di pengadilan dunia juga kurang detil dan tidak rinci, sehingga
pat berkilah, berdalih, dan menghilangkan barang bukti. Sebaliknya, di pengadilan
a perilaku manusia dibentangkan, seperti keping VCD yang sedang menampilkan
man sepak terjang manusia selama hidup di dunia. Kalau di pengadilan dunia,
ka-angka masih mengenal pembulatan, maka di pengadilan akhirat istilah
angka itu tidak berlaku. Semuanya ditampilkan secara detil dan terperinci.
antara mereka, lanjut sang ustadz, mulai berusaha mendapatkan proyek dengan
an akses politiknya. Alasan mereka, ”Daripada proyek itu diambil oleh kaum
n para petualang politik, lebih baik proyek itu diberikan kepada kader dakwah.
bih bermanfaat.”
n serupa diangkat oleh salah seorang ustadz pada pertemuan anggota ahli se-Kota
Asih. Sang ustadz yang menjadi pembicara pada waktu itu menengarai adanya
us bii al-maal di beberapa kalangan kader dakwah.
gingatkan, kalau dulu dalam setiap majelis-majelis pertemuan, para ikhwah atau
u membawa Al-Qur`an di sakunya. Sekarang Al-Qur`an sering teringgal di rumah,
ng dengan perkembangan teknologi, kini Al-Qur`an sudah bisa masuk dalam
sebagian besar ikhwah maupun akhwat kerap memanfaatkan waktu rehatnya
baca dan menghafal Al-Qur`an. Sekarang sebagian ikhwah maupun akhwat sering
mengutak-atik handphone-nya di saat-saat jeda acara, atau bahkan di saat acara
ngsung.
nya sekedar untuk mengingatkan tentang fitnah harta, jabatan, dan kekuasaan
yang dijelaskan di dalam Al-Qur`an al-Karim dan Hadits Rasulullah Saw. Harta,
kekuasaan itu pasti akan menyibukkan seseorang dan menyita waktu dan
ehingga akan mengurangi kekhusyu’an dalam beribadah kepada Allah Swt.
h sahabat Nabi Saw. yang bernama Tsa’labah. Ketika dalam kondisi miskin, ia
ng yang rajin shalat berjamaah bersama Rasulullah Saw., akan tetapi ketika Allah
ugerahinya harta, maka mulailah hartanya itu menggerogoti keimannya. Ia mulai
alat, lantaran hewan-hewan ternaknya butuh waktu dan perhatiannya. Tsa’labah
menghitung-hitung harta dan tabungannya. Sibuk membuat perencanaan-
masa depan diri dan keluarganya. Pikirannnya mulai mengkhayalkan rumah dan
aru. Sibuk merencanakan bisnis dan proyek baru. Akhirnya, Tsa’labah tidak pernah
halat berjamaah bersama Rasulullah Saw.
lai terbiasa dengan pola hidupnya yang baru, seakan-akan tidak ada perubahan
hidupnya. Ia mulai terbiasa shalat di tempat kerjanya, dekat dengan hewan-
knya. Dia mulai memperhitungkan setiap detik waktu yang dilaluinya dengan
s money. Dalam kisah tersebut, akhirnya Tsa’labah benar-benar menginggalkan
a kepada Allah, hingga Allah Swt. menenggelamkan Tsa’labah bersama seluruh
olusi
ahimahullah dalam kitabnya ”Al-Fawaid” menjelaskan tentang jebakan-jebakan
unia. Beliau menjelaskan bahwa setiap perbuatan manusia, selalu diawali oleh
san (khawatir) atau gagasan. Faktor inilah yang mengundang munculnya tashawur
Dari sini kemudian muncul iradah (kemauan) yang selanjutnya mendorong
rbuatan (’amal). Apabila perbuatan itu terjadi berulang kali, maka ia akan menjadi
tu, Ibnu Qayim menegaskan, ”Lawanlah setiap lintasan buruk. Karena jika
akan berubah mejadi fikrah (gagasan) buruk. Singkirkanlah fikrah buruk itu,
ibiarkan, ia akan berubah menjadi iradah atau ’azimah (tekad) yang buruk.
kad yang buruk itu, karena kalau dibiarkan, ia akan berubah menjadi perbuatan
ka perbuatan buruk itu tidak dilawan, bahkan dilakukan secara berulang-ulang,
berubah menjadi kebiasaan buruk. Bila perbuatan buruk itu sudah menjadi
aka kita akan sulit untuk meninggalkannya.”
dak terbawa arus pusaran gaya hidup Qarusnisme – meminjam istilah ustadz
– maka setiap kader dakwah yang sering bersentuhan dengan pola hidup
s atau kaum elit, apakah itu di legislatif, eksekutif, atau yudikatif harus sering-
(turun ke bawah) menemui kader-kader dakwah yang beraktifitas di kalangan
erti Khalifah Umar bin Khathtab yang keliling kampung untuk melihat secara
idupan rakyatnya. Penting juga untuk para kader dakwah yang saat ini
n amanah dakwah di lingkungan elit untuk mencari tahu tentang kader-kader
ass root yang masih bermasalah dalam ma’isyah. Atau menanyakan ke sekolah-
at para ikhwah menyekolahkan anak-anaknya tentang siapa saja yang sering
SPP. Atau solusi lain yang membuat para kader dakwah di kalangan elit tidak
terus ke angkasa” sehingga melupakan yang di bawah. Wallahu a’lam