Anda di halaman 1dari 2

Kajian Sosiologis Fenomena Mudik

Gumilar R. Somantri

Mudik merupakan fenomena sosial yang rutin setiap tahun terjadi. Mudik di
sini di fahami sebagai liburan massal warga kota-kota besar di daerah asal mereka
(desa atau kota-kota yang lebih kecil). Kegiatan ini biasanya di lakukan menjelang
hari raya Idul Fitri, natal dan tahun baru. Jumlah warga kota yang mudik setiap tahun
diperkirakan berkisar sekitar sepuluh hingga enampuluh persen. Hal ini dapat dilihat
pada bukti empiris: saat liburan di atas jalan-jalan dan pusat-pusat keramaian kota
besar seperti Jakarta, Surabaya, Bandung, Semarang dan sebagainya, menjadi relatif
sepi. Hal ini sejalan dengan pendapat yang mengatakan bahwa kota-kota besar
Indonesia dibangun oleh keberadaan para “pendatang” (Abeyasekere 1989; Jelinek
1991; Evers dan Korff 2000: Somantri 2001).
Fenomena mudik muncul dan menjadi trend menarik sejak kota-kota di
Indonesia berkembang pesat sebagai imbas integrasi pada sistem ekonomi kapitalis di
awal tahun 1970-an. Dinamika sosial, politik, ekonomi dan kebudayaan di kota-kota
besar menjadi “enersi” pertambahan penduduk, terutama yang berasal dari migrasi.
Warga kota yang banyak diantaranya para pendatang melakukan aktivitas mudik pada
kesempatan-kesempatan tertentu, yaitu pada hari libur kerja yang panjang dan
bermakna kultural (lebaran, natal, dan tahun baru).
Berbicara mengenai motif mudik warga kota besar, kita dapat melihat melalui
konteks rasionalisasi masyarakat. Di awal integrasi masyarakat Indonesia pada sistem
ekonomi kapitalis dunia, di mana tingkat rasionalisasi relatif belum berkembang,
mudik mempunyai motif tradisionalistik. Yaitu, warga kota mengisi kembali “ruh”
pola-pola kehidupan tradisional yang terkikis dalam persentuhan dengan modernisasi
di kota-kota besar. Mudik dapat dipandang sebagai penegasan rutin keanggotaan
warga kota besar pada komunal daerah asal di desa atau kota-kota yang lebih kecil.
Mudik pun sarat simbol kultural mengenai cerita sukses warga desa berjuang di
kerasnya kehidupan kota-kota besar. Pada konteks ini, warga yang tidak mudik
biasanya diinterpretasikan berdasarkan alasan yang familiar seperti berhalangan
(positif) atau mulai “lupa” asal-usul (negatif).
Tampaknya kini, di awal abad ke-21, setelah masyarakat Indonesia lebih dari
tiga dasawarsa berkiprah dalam dunia ekonomi berorientasi pasar, motif mudik telah
bergeser ke arah yang lebih rasional. Warga kota-kota besar mudik pada umumnya
karena alasan praktis sebagai berikut: 1) rekreasi keluarga dalam suasana
kekeluargaan; 2) pertemuan keluarga luas yang praktis, efisien, dan pada saat yang
tepat secara sosio-kultural. Bahkan, untuk beberapa kasus, mudik dapat bertalian
dengan lobi sosial dan ekonomi dalam kerangka penguatan dan perluasan modal
sosial. Warga yang tidak mudik mulai mendapat ruang toleransi sosial. Mereka
difahami dalam penjelasan rasional seperti sibuk dengan pekerjaan, masalah
transportasi, keamanan rumah, dan sebagainya.
Akankah fenomena mudik di masa yang akan datang hilang? Kota-kota besar
Indonesia mempunyai konteksnya sendiri-sendiri yang tipikal. Namun demikian,
kenyataan bahwa secara umum kota- kota besar berperan penting dalam dinamika
sistem ekonomi kapitalis secara umum, adalah sulit untuk dipungkiri (Smith dan
Feagin 1991; Sassen 1994). Dalam kaca mata ini, kota-kota besar merupakan “locus”
dari rasionalisasi. Dalam kaitan ini, tampaknya kita dapat memprediksi beberapa hal
sebagai berikut. Pertama, di masa datang akan terjadi pengurangan jumlah warga
yang mudik sebagai konsekuensi dari efisiensi. Kedua, mudik akan menjadi semacam
gaya hidup yang bersifat rasional dan dilakukan tidak hanya pada even hari raya
namun pada saat cuti kerja. Ketiga, mudik dapat bertalian dengan aspek
pengembangan jaringan ekonomi. Dengan kata lain, mudik akan tetap ada meskipun
dalam format berbeda, yaitu menjadi instrumen ekonomi.
Terlepas dari diskusi mudik di masa datang di atas, tampaknya fenomena
mudik yang terjadi kini secara sistemik mempunyai sisi untung dan rugi. Keuntungan
pertama adalah ia merupakan moda alternatif pemerataan sosial-ekonomi yang secara
formal, melalui peran negara dan swasta dirasakan banyak kekurangannya. Orang
mudik biasanya membawa cukup uang yang dibelanjakan dan didistribusikan
dikalangan keluarga dekat di daerah asal. Sehingga, aktivitas ini mampu menyumbang
pada bertambahnya jumlah perputaran uang di daerah
Keuntungan kedua bertalian dengan reproduksi ekonomi warga kota besar.
Mudik juga dapat dilihat sebagai bagian dari proses untuk memulihkan enersi
produktif (lihat Saunders 1995). Keuntungan lain diantaranya adalah modal sosial
(jaringan ekonomi diantara anggota keluarga luas dan kenalan) dapat terpupuk yang
kemudian diharapkan dapat menopang produktivitas ketika kembali lagi ke kota.
Kerugian sistemik mudik pun dapat kita identifikasi. Ia terkait dengan
melonjaknya masalah transportasi, keamanan, lingkungan (polusi), dan ekonomi
rumah tangga. Namun demikian, masalah ini dapat dilihat sebagai tantangan bagi
negara untuk melakukan fasilitasi: 1) pengembangan sistem transportasi cepat dan
massal yang bersifat luas dan lintas daeral/pulau; 2) keamanan berbasis kesejahteraan
warga; 3) pembangunan sistem keamanan sosial dan kerja termasuk cuti. Melalui
peran negara di atas, mudik akan menjadi perilaku warga Jakarta yang nyaman dan
berdimensi sosial-ekonomi rasional-produktif.

Anda mungkin juga menyukai