Bab V
Bab V
Muncul
percekcokan dan tidak menutup kemungkinan terjadi KDRT yang menjadi pemicu perceraian
juga. Dan perceraian juga terkadang muncul dari hal-hal yang kecil awalnya, akan tetapi
Menurut Bapak Jamalaba, seharusnya pasangan suami istri itu sebelum memutuskan
untuk menikah, perkuat dahulu agama, dan banyak belajar dari orang-orang yang terdahulu
dalam membina bahtera rumah tangga. Secara hukum juga sudah dianjurkan dalam
memutuskan pernikahan itu ada yang harus dipenuhi yaitu salah satunya usia. Harus terlebih
dahulu matang dalam hal sikap dan usia itu mungkin sangat penting dimiliki oleh pasangan
yang ingin menikah. Karena ketika perceraian terjadi akan banyak yang dirugikan kepada
menikah itu harus di usia yang telah ditetapkan dan memiliki kematangan rohani ya. Jadi
sebenarnya harus dilandasi oleh agama masing-masing. Adapun juga dampak yang
ditimbulkan dalam perceraian ini saya kira ada 4 hal yaitu ke pasangan suami istri itu
Citra ideal kehidupan keluarga adalah sebuah kehidupan yang dipenuhi kehangatan,
kasih sayang, dan sikap saling menghormati. Sudah merupakan kodrat dan fitrahnya manusia
sebagai makhluk sosial yang diciptakan Tuhan untuk hidup berpasang-pasangan dan bekerja
sama antara satu dengan yang lainnya yang diwujudkan dalam pernikahan.
suami istri dengan tuuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal
Dari batasan atau definisi tentang perkawinan tersebut dapat ditemukan konsepsi
perkawinan yang juga merupakan asas-asas atau prinsip yaitu bahwa tujuan perkawinan ialah
membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal, karena itu perkawinan itu harus
merupakan ikatan lahir dan batin saja. Karena itu suami istri itu saling membantu dan saling
Tetapi kenyataannya memperlihatkan bahwa tujuan perkawinan tidak seperti apa yang
Pernikahan yang dahulunya dianggap sebagai sesuatu yang sangat sakral, dengan melihat
Penelitian yang penulis lakukan sesuai dengan penelitian Dariyo pada tahun 2004
yang menyatakan bahwa salah satu penyebab perceraian itu adalah adanya kekerasan verbal.
Kekerasan verbal (verbal violence) merupakan sebuah penganiayaan yang dilakukan oleh
seorang pasangan terhadap pasangan lainnya. Bentuk kekerasan verbal yaitu menggunakan
menghina, menyakiti perasaan dan merendahkan harkat dan martabat. Hal ini seperti
pemaparan Ibu V (informan pertama) kepada peneliti dalam wawancara sebagai berikut :
“Kekerasan secara fisik tidak saya dapatkan, tetapi verbal. Verbalnya selalu menyedihkan
lah hmm misalnya ancaman talak dan mengungkit-ungkit apa yang diberikan, mengungkit-
ungkit keluarga kita, menjelek-jelekkan keluarga kita. Itu yang akhirnya buat saya gak
tahan.”
Hal ini senada dengan yang diungkapkan Ibu Hafni (informan IV) dalam wawancara sebagai
berikut :
”Bahwasanya dari dulu pun Ma, Aswin itu ya tempramen tinggi katanya, maunya maunya
Menurut Krauss dan Krauss (dalam Krahe, 2005: 244), kekerasan domestik atau
kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) mengacu pada bentuk-bentuk perilaku yang
dilakukan dengan niat menyakiti atau mencederai salah seorang anggota keluarga seperti
memukul, menyiksa, menunjang, dan menganiaya. Hal ini diutarakan juga oleh Ibu Meydina
“Setelah beradaptasi orangnya tempramental (mikir), kasar gitu ya. Dari awal pernikahan
sudah ketahuan gimana orangnya. Tetapi ya saya coba terus beradaptasi, mengurus rumah
tangga dan anak-anak. Terus di sekolah anak saya juga saya pernah dikejar sampai kemaren
Hal ini juga senada dengan wawancara bersama Ibu Maya (informan ketiga) sebagai
berikut :
“Kekerasan yang pernah dia lakukan ke saya itu pemukulan kak. Terus itulah, aku minta
uang belanja dia marah-marah karena gak ada uang. Itulah kena lagi aku kak. Aku juga
Dalam temuan penulis dilapangan bahwa yang mengalami tindak kekerasan dalam
rumah tangga tidak hanya dialami oleh pasangan saja, tetapi juga anak ikut mengalami
kekerasan yang seharusnya tidak ia dapatkan. Hal ini disampaikan oleh Ibu Meydina yang
“Dari kecil, dari Yoga TK mendapat kekerasan dari bapaknya. Kalau ada konflik di kami kan
dia susah fokus belajarnya. Karena Yoga gak bisa fokus, jadi punggungnya di pukul dari
belakang sama bapaknya (mengucapkan kata gubrak). Akhirnya tahun 2011 dia melakukan
penganiayaan berat kepada anak saya. Anak saya yang paling besar itu kelas 1 SD itu hmmm
pulang dari sekolah dapat surat teguran karena tidak mengerjakan PR, saya kebetulan di
kantor sedang bekerja hmmm mantan suami itu posisinya dirumah karena dia juga kan
bekerjanya tidak menentu. Dia dirumah langsung emosi dan langsung menganiyaya anak
saya gitu pokoknya babak belur la. Ini (menunjukkan ke arah kepala) sampai badan dilibas
pakai kepala ikat pinggang gitu, telinganya juga hancur, perut juga ditunjang.”
Hal ini juga diperkuat oleh Yoga (informan IV), yang menyatakan sebagai berikut :
“Gak mau diungkit-ungkit lagi tentang itu. Udah cukuplah membahas dia setelah kejadian
tangga kerap sekali menjadi pemicu retaknya sebuah rumah tangga. Kekerasan yang dialami
salah satu pihak dalam rumah tangga memberikan trauma dan bekas yang membuat
2. Ekonomi
Menurut Friedman (2004: 31), keadaan ekonomi merupakan kondisi atau fakta sosial
yang terjadi bagaimana seseorang bertahan hidup dengan kondisi ekonomi yang dimiliki.
Kebutuhan-kebutuhan hidup akan dapat tercukupi dengan baik bila pasangan suami istri
memiliki sumber finansial yang memadai. Sebaliknya jika sumber finansial kekurangan akan
memicu juga terjadinya perceraian. Dalam penelitian yang dilakukan oleh Novie Oktary yang
menyatakan bahwa faktor ekonomi merupakan salah satu penyebab terjadinya perceraian.
Semakin rendah pendapatan maka semakin tinggi peluang terjadinya perceraian. Hal ini
sesuai dengan penelitian yang penulis lakukan dalam wawancara dengan Ibu Maya (informan
“Terus itulah, aku minta uang belanja dia marah-marah karena gak ada uang. Itulah kena
lagi aku kak. Stress la ya kak, namanya berumah tangga pasti ada yang harus dipenuhi
sementara aku gak kerja. Darimana lah aku dapat uang kalau gak dari dia kan kak.”
Pernyataan ini diperkuat dengan hasil wawancara bersama Ibu Meydina (informan 2),
“dia eksploitasi saya secara ekonomi gitu. Jadi dia selalu banyak minta dan dia memaksa
kita untuk berhutang yang mengharuskan kita bayar gitu kan karena dia gak memikirkan
hutangnya. Kalau gak dituruti kembali lagi kalap bukan hanya ke saya, tetapi juga ke anak-
anak. Jadi secara ekonomi kami itu juga hancur lah sebenarnya karena hutang itu banyak
Keadaan yang lain ada keluarga yang berkecukupan secara finansial, namun suami
memiliki perilaku buruk yaitu berupaya membatasi sumber keuangan kepada istrinya yang
disebut sebagai kekerasan ekonomi. Kekerasan ekonomi yaitu suatu kondisi kehidupan
finansial yang sulit dalam melangsungkan kegiatan rumah tangga, akibat perlakuan sengaja
dari pasangan hidupnya, terutama suami. Walaupun seorang suami berpenghasilan secara
memadai, akan tetapi ia membatasi pemberian uang untuk kegiatan ekonomi rumah tangga,
sehingga keluarga merasa kekurangan dan menderita secara finansial. Hal ini sesuai dengan
“Salah satunya mungkin sebetulnya dari sepanjang 9 (sembilan) tahun pernikahan tidak
dipungkiri (mikir) rutinitas atau kualitas ekonomi keluarga memegang peranan penting
karena bagaimanapun menikah ada kewajiban-kewajiban yang harus dipenuhi. Saya juga
gak pernah dikasih nafkah cash sama dia. Jadi biasanya saya harus minta, kita belanja yog,
ditemenin ya beliau yang ngeluarin uangnya gitu. Atau (sambil mikir) misalkan belanja
bulanan, ya kita ke supermarket nanti bayarnya pakai kartunya dia gitu. Jadi memang untuk
Dari hasil pemaparan tersebut dapat disimpulkan bahwa ekonomi memegang peranan
penting dalam keluarga karena berbicara tentang ekonomi juga berbicara tentang
keberlangsungan hidup sebuah keluarga. Jika ekonomi tidak terpenuhi, maka kemungkinan
besar konflik dalam keluarga akan muncul yang pada akhirnya sampai kepada perceraian.
Malik, 2009: 58) menyatakan bahwa jika suami atau istri melalaikan kewajiban masing-
masing dapat mengajukan gugatan kepada Pengadilan. Artinya memang antara suami dan
istri harus ada pembagian tugas dalam melaksanakan kewajiban membina keluarga bahagia
dan sejahtera. Namun pada kenyataanya hal tersebut tidak dipenuhi oleh salah satu pihak
sehingga keharmonisan dan keselarasan dalam rumah tangga pun tidak didapatkan. Hal ini
sesuai dengan pemaparan Ibu Maya (informan 3) yang menyatakan dalam wawancara
sebagai berikut :
“Ada kak. Dia bilang, udah kau dirumah aja jaga rumah dan anak baru aku yang cari uang.
Aku turuti kemauannya, sebaliknya dia enggak. Malah dia malas-malasan kerja. Terus kalau
kami konflik dia pergi dari rumah bisa sampai 2 bulan terus tiba-tiba pulang dengan alasan
mau ketemu anak. Kan lama-lama kalau gitu palak lah kak.”
Pernyataan ini juga diperkuat dengan hasil wawancara dengan Hakim (informan VII)
”Faktor-faktor perceraian juga dapat terjadi karena tidak ada tanggung jawab. Tidak
tanggug jawab itu artinya tidak melaksanakan kewajiban masing-masing pihak. Didalam
Undang-undang Perkawinan pasal 34 ayat 1 dan 2 juga dicantumkan hak dan kewajiban
suami istri dan itu yang sering sekali tidak dipenuhi baik oleh istri maupun suami sehingga
Hak dan kewajiban antara suami dan istri hendaknya dilaksanakan agar terjadi
keselarasan didalam keluarga. Dapat dilihat dari pemaparan tersebut yang menjadi pemicu
mempertanggungjawabkan kewajiban oleh salah satu pihak, pihak lain tidak mampu untuk
mempertanggungjawabkannya.
4. Perselingkuhan
orang lain yang bukan menjadi pasangan hidup yang sah, padahal ia telah terikat dalam
perkawinan secara resmi dengan pasangan hidupnya. Jadi perselingkuhan sebagai aktivitas
hubungan seksual di luar perkawinan (extra-marital sexual relationship) dan mungkin semula
tidak diketahui oleh pasangan hidupnya, akan tetapi lama kelamaan diketahui secara pasti.
Penyataan seperti ini sejalan dengan wawancara bersama Ibu Meydina (informan II) sebaga
berikut :
“kami disuruh pindah dari Sibolga sama suami saya dengan tiba-tiba. Ternyata dia
selingkuh dengan perempuan lain. Dengar-dengar dia juga menghamili anak orang. Saya
mencoba untuk tetap ikut dengan dia demi anak-anak saya. Tetap bertahan yang lama-
kelamaan saya gak tahan karena dia berulah terus dan buat karir saya mati.”
Hal ini senada dengan hasil wawancara bersama Ibu Maya (informan III) yang
“Terus dia juga masih menjalin hubungan dengan mantan istrinya kak. Kemaren waktu kami
asalkan konflik pasti dia lari dari rumah. Nah setelah beberapa hari balik lagi ke rumah. Aku
lihatlah handphone dan itulah ada komunikasi mereka. Apa-apa yang menjadi konflik di
kami, dia ceritakan ke mantan istrinya. Terus sangkin penasarannya aku, aku hubungi lah
perempuan itu dan dia bilang memang orang ini masih sering ketemuan dan berhubungan
kak.”
Penelitian ini sesuai dengan yang dilakukan oleh Nur’awni dan Retno, dimana
seseorang akan merasa sangat kecewa, sakit hati, sedih, stress dan depresi setelah mengetahui
bahwa pasangan hidupnya melakukan perselingkuhan, sebab dirinya telah dikhianati secara
diam-diam. Akibat semua itu, kemungkinan seseorang memilih untuk bercerai dari pasangan
5. Komunikasi
Menurut Rogers bersama dengan D. Lawrence Kincaid (dalam Cangara, 2006: 19),
komunikasi adalah suatu proses di mana dua orang atau lebih membentuk atau melakukan
pertukaran informasi dengan satu sama lainnya, yang pada gilirannya akan tiba pada saling
pengertian yang mendalam. Berbicara komunikasi dalam rumah tangga juga berbicara
tentang keterbukaan. Keterbukaan dalam rumah tangga itu sangat penting yang tujuannya
menghindari yang namanya kecurigaan satu sama lainnya. Ketika dalam rumah tangga sudah
tidak ada lagi yang namanya saling terbuka, maka saat itulah perpecahan dalam rumah tangga
akan dimulai. Pernyataan ini penulis temukan dengan Ibu V (informan 1) dalam wawancara
sebagai berikut :
“Sejauh itu ya bagus,tetapi yang sifatnya bagus dalam arti yang fine-finenya aja gitu. Banyak
yang beliau tutupin dari saya, sisi lain misalnya tentang dia yang risign karena apa dia gak
pernah cerita ke saya, sehingga saya tidak pernah dikasih kesempatan untuk membuat
kebijakan bersama untuk kelangsungan rumah tangga kami. Sehingga sepanjang 9 tahun itu
Hal ini juga senada dengan pernyataan Ibu Maya (informan 3) yang menyatakan
sebagai berikut :
“Suami ku itu gak jujur orangnya kak. Dia juga kadang gak pulang terus aku tanya ke suami
ku, dia gak mau jujur sama aku ya palak la aku kak. Ya sudah lah disitu aku mantap untuk
bercerai kak.”
penting dalam menjalin sebuah hubungan. Karena dari komunikasi yang baik akan
membangun relasi yang baik juga diantara satu pihak dengan pihk yang lainnya. Ketika
komunikasi yang berjalan dalam sebuah hubungan tidak berjalan dengan baik tidak menutup
6. Pendidikan
Penelitian yang dilakukan oleh Nur Bainah menyatakan bahwa penyebab terjadinya
perceraian dikarenakan faktor pendidikan yang rendah (Bainah, 2013: 82). Akan tetapi,
ketika penulis melakukan penelitian di lapangan didapati bahwa tidak hanya pasangan yang
memiliki pendidikan yang rendah yang mengalami perceraian. Namun, pasangan yang
Hal ini diungkapkan oleh Ibu V (informan utama 1) dalam hasil wawancara sebagai
berikut :
“Suami saya Sarjana Sosial dan saya Magister Psikologi. Jadi perbedaan starat pendidikan
pada akhirnya juga menjadi pemicu retaknya rumah tangga kami. Sifat egois laki-laki itu
mulai muncul ketika istri lebih dari suaminya. Padahal yang menyarankan saya untuk
melanjutkan perkuliahan adalah suami saya dan ketika saya sudah menyelesaikan
pendidikan saya, pada saat itulah konflik rumah tangga kami semakin memuncak.”
Perceraian yang terjadi akan ada banyak pihak yang akan merasakan dampak dari
perceraian itu sendiri. Meskipun perceraian di satu sisi dapat menyelesaikan suatu masalah
rumah tangga yang tidak mungkin lagi dikompromikan, tetapi perceraian itu juga
menimbulkan dampak negatif. Adapun dampak-dampak yang terjadi dalam sebuah
a. Dampak negatif
Perasaan hancur karena dipisahkan dari anak oleh salah satu pihak. Hal ini sesuai
“Hancur pasti, rindu banget (suara gemetar). Kalau lagi kerja ya berusaha untuk tidak ingat
anak-anak supaya kerjanya gak hancur. Ya tapi ketika dirumah ya mulai kecarian. Karna
biasanya kalau pulang kerja anak-anak ya aaaauu mulai ngerusuhin kan apalagi yang kecil
itu suka apa namanya, Umi duduk sini sini adek sisirin adek ini pijitin. Kecarian pasti yang
begitu-begitu.”
Dampak lain yang dirasakan oleh pasangan yang sudah bercerai adalah depresi karena
sudah gagal dalam membina rumah tangga. Hal ini sesuai dengan hasil wawancara bersama
“Makin stress la aku kak, aku harus kerja cari uang sendiri untuk keperluan kehidupan, terus
dibilang gak becus ngurus anak, depresi lah aku kak. Gak pun rumah tangga ku udah
berantakan.”
2. Terhadap Keluarga
Putusnya hubungan keluarga antara kedua belah pihak. Hal ini sesuai dengan
“ Karna kalau sampai hari ini memang merasa dekat dan kalau mereka merasa sebagai
seorang ibu, apa iya tega memisahkan anak dari ibunya. Itu aja sih kalau saya. Sekarang
saya baru bisa menyimpulkan ternyata mereka berhati kejam. Dan hari ini hak saya sebagai
Pernyataan ini juga senada dengan Ibu Hafni (informan 4) yang menyatakan :
“Jangan kan mau kontek, kita ke rumahnya mau silaturahim pun pintu pagarnya udah
Hal ini diperkuat lagi dengan pernyataan Ibu Meydina (informan 2) yang menyatakan
sebagai berikut :
“Waktu dalam proses perceraian hubungannya masih bagus. Dan ketika anaknya dalam
penjara itu, mertua saya, adik-adiknya mohon ke saya untuk beliau dibebaskan dan berjanji
akan di bawa ke Jakarta dan tidak akan mengganggu kalian lagi. Ternyata begitu anaknya
orangtuanya, orangtuanya lepas tangan. Saya bilang, “Anda penipu”. Kalian semua penipu
saya bilang. Adiknya yang perempuan itu sudah statusnya janda, ngakunya anak gadis kawin
sama anak lajang. Saya tahu bagaimana keluarga dan kebusukan keluarganya itu setelah
saya menikah.”
3. Terhadap anak
berani atau tindakan pengecut, atau bukan pilihan sama sekali. Perceraian bisa berbuah baik,
bisa juga berbuah buruk, kadang tidak keduanya. Tetapi, untuk anak-anak perceraian adalah
Penelitian yang penulis temukan dilapangan sesuai dengan penelitian yang dilakukan
oleh Putri Rosalia Ningrum yang menyatakan bahwa dampak yang muncul pada diri anak
ketika orangtuanya bercerai adalah tidak mampu menyesuaikan diri pada lingkungan karena
subjek belum mampu menerima keadaan yang terjadi pada dirinya dengan masalah bahwa
orang tuanya telah bercerai, dan tidak dapat megendalikan emosi dengan baik serta
mengalami kesulitan dalam bergaul karena malu pada teman jika mengetahui orang tuanya
bercerai (Ningrum, 2013: 78). Adapun hasil wawancara dengan Ibu Meydina (informan 2)
dengan temannya, gampang emosi. Dia cerita kalau dia emosi itu sudah merah lah matanya
sudah gak nampaknya lagi semua orang gitu lah. Sama pelajaran juga gak perduli, disuruh
mengahapal Al-Quran juga gak mau terus sama orang biasanya gak mau diskusi dan apalagi
Tidak dipungkiri juga dampak yang dirasakan anak ketika terjadi perceraian adalah
tidak bisa merasakan kasih sayang kedua orangtuanya dan bahkan anak tidak dapat bertemu
dengan salah satu orangtuanya. Pernyataan ini juga sesuai dengan yang disampaikan Ibu V
“Tepat bulan dua ini setahun anak-anak tidak bertemu dengan saya karena dibawa oleh
bapaknya.”
b. Dampak Positif
ketegangan dalam masyarakat, juga mencegah agar ketegangan tersebut tidak terus
perubahan (Bachtiar, 2006: 107). Seperti dalam penelitian Sudarto & Wirawan (dalam
Nura’eni dan Dwiyanti, 2009: 19) yang menyatakan bahwa sebelum perceraian, individu
hadir dalam pernikahan dan mulai membahayakan pernikahan, kehidupan dipandang sebagai
suatu kepahitan yang mendalam dan penuh penderitaan serta perjuangan. Namun dalam
penelitian ini muncul perasaan bahagia, lega, tenang karena merasa terlepas dari belenggu
Hal ini sesuai dengan hasil wawancara dengan Ibu Meydina (informan II) yang
menyatakan :
“Banyak memang diluar sana yang menyesali perceraiannya, akan tetapi saya tidak
menyesal. Saya merasa lebih lega dan bahagia dengan kehidupan saya sekarang dengan
anak-anak.”
Hal ini juga senada dengan hasil wawancara dengan Ibu Maya (informan III) yang
“Setelah bercerai ini saya merasa lebih tenangan karena tidak lagi menjadi korban
Pernyataan ini juga diperkuat oleh hasil wawancara dengan Ibu Nurcahaya (informan
“Apa lah yang mau saya bilang dek, orangtua mana yang gak sedih lihat rumah tangga
anaknya gagal. Tapi ya sekarang saya senang lah karena anak saya sudah bebas dari