Anda di halaman 1dari 13

dipenuhi oleh baik istri maupun suami sehingga jalannya yaitu bercerai.

Muncul

percekcokan dan tidak menutup kemungkinan terjadi KDRT yang menjadi pemicu perceraian

juga. Dan perceraian juga terkadang muncul dari hal-hal yang kecil awalnya, akan tetapi

karena terus-menerus terjadi makanya jadi memuncak.”

Menurut Bapak Jamalaba, seharusnya pasangan suami istri itu sebelum memutuskan

untuk menikah, perkuat dahulu agama, dan banyak belajar dari orang-orang yang terdahulu

dalam membina bahtera rumah tangga. Secara hukum juga sudah dianjurkan dalam

memutuskan pernikahan itu ada yang harus dipenuhi yaitu salah satunya usia. Harus terlebih

dahulu matang dalam hal sikap dan usia itu mungkin sangat penting dimiliki oleh pasangan

yang ingin menikah. Karena ketika perceraian terjadi akan banyak yang dirugikan kepada

pasangan suami istri itu sendiri, anak, keluarga, bahkan ke masyarakat.

“Sebenarnya secara hukum sudah mempersyaratkan dalam undang-undang yang dapat

menikah itu harus di usia yang telah ditetapkan dan memiliki kematangan rohani ya. Jadi

sebenarnya harus dilandasi oleh agama masing-masing. Adapun juga dampak yang

ditimbulkan dalam perceraian ini saya kira ada 4 hal yaitu ke pasangan suami istri itu

sendiri, kemudian ke anak, keluarga, dan masyarakat.”

5.2 Analisis Data

Citra ideal kehidupan keluarga adalah sebuah kehidupan yang dipenuhi kehangatan,

kasih sayang, dan sikap saling menghormati. Sudah merupakan kodrat dan fitrahnya manusia

sebagai makhluk sosial yang diciptakan Tuhan untuk hidup berpasang-pasangan dan bekerja

sama antara satu dengan yang lainnya yang diwujudkan dalam pernikahan.

Sesuai dengan konsepsi perkawinan menurut Undang-Undang Perkawinan No. 1

Tahun 1974, pasal 1 yang berbunyi :


“Perkawinan ialah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai

suami istri dengan tuuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal

berdasarkan ke-Tuhanan Yang Maha Esa.”

Dari batasan atau definisi tentang perkawinan tersebut dapat ditemukan konsepsi

perkawinan yang juga merupakan asas-asas atau prinsip yaitu bahwa tujuan perkawinan ialah

membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal, karena itu perkawinan itu harus

merupakan ikatan lahir dan batin saja. Karena itu suami istri itu saling membantu dan saling

melengkapi, agar masing-masing dapat mengembangkan kepribadiannya membantu dan

mencapai kesejahteraan spiritual dan materiil.

Tetapi kenyataannya memperlihatkan bahwa tujuan perkawinan tidak seperti apa yang

diharapkan dahulu. Hubungan perkawinan harus kandas dengan terjadinya perceraian.

Pernikahan yang dahulunya dianggap sebagai sesuatu yang sangat sakral, dengan melihat

kenyataannya mulai terkisis kesakralannya.

5.2.1 Faktor-Faktor Penyebab Perceraian

Ada beberapa faktor yang menyebabkan terjadinya perceraian diantaranya :

1. Kekerasan Dalam Rumah Tangga

Penelitian yang penulis lakukan sesuai dengan penelitian Dariyo pada tahun 2004

yang menyatakan bahwa salah satu penyebab perceraian itu adalah adanya kekerasan verbal.

Kekerasan verbal (verbal violence) merupakan sebuah penganiayaan yang dilakukan oleh

seorang pasangan terhadap pasangan lainnya. Bentuk kekerasan verbal yaitu menggunakan

kata-kata, ungkapan kalimat yang kasar, tidak menghargai, mengejek, mencaci-maki,

menghina, menyakiti perasaan dan merendahkan harkat dan martabat. Hal ini seperti

pemaparan Ibu V (informan pertama) kepada peneliti dalam wawancara sebagai berikut :
“Kekerasan secara fisik tidak saya dapatkan, tetapi verbal. Verbalnya selalu menyedihkan

lah hmm misalnya ancaman talak dan mengungkit-ungkit apa yang diberikan, mengungkit-

ungkit keluarga kita, menjelek-jelekkan keluarga kita. Itu yang akhirnya buat saya gak

tahan.”

Hal ini senada dengan yang diungkapkan Ibu Hafni (informan IV) dalam wawancara sebagai

berikut :

”Bahwasanya dari dulu pun Ma, Aswin itu ya tempramen tinggi katanya, maunya maunya

dia, saya juga pernah di talak. Subhanallah saya bilang.”

Menurut Krauss dan Krauss (dalam Krahe, 2005: 244), kekerasan domestik atau

kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) mengacu pada bentuk-bentuk perilaku yang

dilakukan dengan niat menyakiti atau mencederai salah seorang anggota keluarga seperti

memukul, menyiksa, menunjang, dan menganiaya. Hal ini diutarakan juga oleh Ibu Meydina

sebagai informan kedua dalam wawancara sebagai berikut :

“Setelah beradaptasi orangnya tempramental (mikir), kasar gitu ya. Dari awal pernikahan

sudah ketahuan gimana orangnya. Tetapi ya saya coba terus beradaptasi, mengurus rumah

tangga dan anak-anak. Terus di sekolah anak saya juga saya pernah dikejar sampai kemaren

kepala saya juga dikaratenya (menunjukkan ke arah kepala).”

Hal ini juga senada dengan wawancara bersama Ibu Maya (informan ketiga) sebagai

berikut :

“Kekerasan yang pernah dia lakukan ke saya itu pemukulan kak. Terus itulah, aku minta

uang belanja dia marah-marah karena gak ada uang. Itulah kena lagi aku kak. Aku juga

pernah dicekeknya dan ditamparnya kak.”

Dalam temuan penulis dilapangan bahwa yang mengalami tindak kekerasan dalam

rumah tangga tidak hanya dialami oleh pasangan saja, tetapi juga anak ikut mengalami
kekerasan yang seharusnya tidak ia dapatkan. Hal ini disampaikan oleh Ibu Meydina yang

menjadi informan kedua, sebagai berikut :

“Dari kecil, dari Yoga TK mendapat kekerasan dari bapaknya. Kalau ada konflik di kami kan

dia susah fokus belajarnya. Karena Yoga gak bisa fokus, jadi punggungnya di pukul dari

belakang sama bapaknya (mengucapkan kata gubrak). Akhirnya tahun 2011 dia melakukan

penganiayaan berat kepada anak saya. Anak saya yang paling besar itu kelas 1 SD itu hmmm

pulang dari sekolah dapat surat teguran karena tidak mengerjakan PR, saya kebetulan di

kantor sedang bekerja hmmm mantan suami itu posisinya dirumah karena dia juga kan

bekerjanya tidak menentu. Dia dirumah langsung emosi dan langsung menganiyaya anak

saya gitu pokoknya babak belur la. Ini (menunjukkan ke arah kepala) sampai badan dilibas

pakai kepala ikat pinggang gitu, telinganya juga hancur, perut juga ditunjang.”

Hal ini juga diperkuat oleh Yoga (informan IV), yang menyatakan sebagai berikut :

“Gak mau diungkit-ungkit lagi tentang itu. Udah cukuplah membahas dia setelah kejadian

kemarin itu (penolakan).

Berdasarkan pernyataan diatas dapat disimpulkan bahwa kekerasan dalam rumah

tangga kerap sekali menjadi pemicu retaknya sebuah rumah tangga. Kekerasan yang dialami

salah satu pihak dalam rumah tangga memberikan trauma dan bekas yang membuat

seseorang tidak dapat mempertahankan untuk tetap hidup bersama.

2. Ekonomi

Menurut Friedman (2004: 31), keadaan ekonomi merupakan kondisi atau fakta sosial

yang terjadi bagaimana seseorang bertahan hidup dengan kondisi ekonomi yang dimiliki.

Kebutuhan-kebutuhan hidup akan dapat tercukupi dengan baik bila pasangan suami istri

memiliki sumber finansial yang memadai. Sebaliknya jika sumber finansial kekurangan akan

memicu juga terjadinya perceraian. Dalam penelitian yang dilakukan oleh Novie Oktary yang

menyatakan bahwa faktor ekonomi merupakan salah satu penyebab terjadinya perceraian.
Semakin rendah pendapatan maka semakin tinggi peluang terjadinya perceraian. Hal ini

sesuai dengan penelitian yang penulis lakukan dalam wawancara dengan Ibu Maya (informan

3) dengan menyatakan sebagai berikut:

“Terus itulah, aku minta uang belanja dia marah-marah karena gak ada uang. Itulah kena

lagi aku kak. Stress la ya kak, namanya berumah tangga pasti ada yang harus dipenuhi

sementara aku gak kerja. Darimana lah aku dapat uang kalau gak dari dia kan kak.”

Pernyataan ini diperkuat dengan hasil wawancara bersama Ibu Meydina (informan 2),

yang menyatakan sebagai berikut :

“dia eksploitasi saya secara ekonomi gitu. Jadi dia selalu banyak minta dan dia memaksa

kita untuk berhutang yang mengharuskan kita bayar gitu kan karena dia gak memikirkan

hutangnya. Kalau gak dituruti kembali lagi kalap bukan hanya ke saya, tetapi juga ke anak-

anak. Jadi secara ekonomi kami itu juga hancur lah sebenarnya karena hutang itu banyak

(menegaskan). Karena terus-terusan kelakuannya seperti itu, saya juga lelah.”

Keadaan yang lain ada keluarga yang berkecukupan secara finansial, namun suami

memiliki perilaku buruk yaitu berupaya membatasi sumber keuangan kepada istrinya yang

disebut sebagai kekerasan ekonomi. Kekerasan ekonomi yaitu suatu kondisi kehidupan

finansial yang sulit dalam melangsungkan kegiatan rumah tangga, akibat perlakuan sengaja

dari pasangan hidupnya, terutama suami. Walaupun seorang suami berpenghasilan secara

memadai, akan tetapi ia membatasi pemberian uang untuk kegiatan ekonomi rumah tangga,

sehingga keluarga merasa kekurangan dan menderita secara finansial. Hal ini sesuai dengan

pemaparan Ibu V (informan 1) dalam wawancara sebagai berikut :

“Salah satunya mungkin sebetulnya dari sepanjang 9 (sembilan) tahun pernikahan tidak

dipungkiri (mikir) rutinitas atau kualitas ekonomi keluarga memegang peranan penting

karena bagaimanapun menikah ada kewajiban-kewajiban yang harus dipenuhi. Saya juga

gak pernah dikasih nafkah cash sama dia. Jadi biasanya saya harus minta, kita belanja yog,
ditemenin ya beliau yang ngeluarin uangnya gitu. Atau (sambil mikir) misalkan belanja

bulanan, ya kita ke supermarket nanti bayarnya pakai kartunya dia gitu. Jadi memang untuk

cash itu gak pernah dikasih gitu.”

Dari hasil pemaparan tersebut dapat disimpulkan bahwa ekonomi memegang peranan

penting dalam keluarga karena berbicara tentang ekonomi juga berbicara tentang

keberlangsungan hidup sebuah keluarga. Jika ekonomi tidak terpenuhi, maka kemungkinan

besar konflik dalam keluarga akan muncul yang pada akhirnya sampai kepada perceraian.

3. Tidak bertanggung jawab

Undang-Undang No. 1 Tentang Perkawinan Tahun 1974 Pasal 34 ayat 3 (dalam

Malik, 2009: 58) menyatakan bahwa jika suami atau istri melalaikan kewajiban masing-

masing dapat mengajukan gugatan kepada Pengadilan. Artinya memang antara suami dan

istri harus ada pembagian tugas dalam melaksanakan kewajiban membina keluarga bahagia

dan sejahtera. Namun pada kenyataanya hal tersebut tidak dipenuhi oleh salah satu pihak

sehingga keharmonisan dan keselarasan dalam rumah tangga pun tidak didapatkan. Hal ini

sesuai dengan pemaparan Ibu Maya (informan 3) yang menyatakan dalam wawancara

sebagai berikut :

“Ada kak. Dia bilang, udah kau dirumah aja jaga rumah dan anak baru aku yang cari uang.

Aku turuti kemauannya, sebaliknya dia enggak. Malah dia malas-malasan kerja. Terus kalau

kami konflik dia pergi dari rumah bisa sampai 2 bulan terus tiba-tiba pulang dengan alasan

mau ketemu anak. Kan lama-lama kalau gitu palak lah kak.”

Pernyataan ini juga diperkuat dengan hasil wawancara dengan Hakim (informan VII)

dengan menyatakan sebagai berikut :

”Faktor-faktor perceraian juga dapat terjadi karena tidak ada tanggung jawab. Tidak

tanggug jawab itu artinya tidak melaksanakan kewajiban masing-masing pihak. Didalam

Undang-undang Perkawinan pasal 34 ayat 1 dan 2 juga dicantumkan hak dan kewajiban
suami istri dan itu yang sering sekali tidak dipenuhi baik oleh istri maupun suami sehingga

jalannya yaitu bercerai.”

Hak dan kewajiban antara suami dan istri hendaknya dilaksanakan agar terjadi

keselarasan didalam keluarga. Dapat dilihat dari pemaparan tersebut yang menjadi pemicu

perceraian termasuk di dalamnya adalah karena tidak bertanggung jawab. Melalaikan

tanggung jawab yang telah disepakati sehingga ketika diminta untuk

mempertanggungjawabkan kewajiban oleh salah satu pihak, pihak lain tidak mampu untuk

mempertanggungjawabkannya.

4. Perselingkuhan

Perselingkuhan merupakan sebuah perzinaan yang dilakukan oleh seseorang terhadap

orang lain yang bukan menjadi pasangan hidup yang sah, padahal ia telah terikat dalam

perkawinan secara resmi dengan pasangan hidupnya. Jadi perselingkuhan sebagai aktivitas

hubungan seksual di luar perkawinan (extra-marital sexual relationship) dan mungkin semula

tidak diketahui oleh pasangan hidupnya, akan tetapi lama kelamaan diketahui secara pasti.

Penyataan seperti ini sejalan dengan wawancara bersama Ibu Meydina (informan II) sebaga

berikut :

“kami disuruh pindah dari Sibolga sama suami saya dengan tiba-tiba. Ternyata dia

selingkuh dengan perempuan lain. Dengar-dengar dia juga menghamili anak orang. Saya

mencoba untuk tetap ikut dengan dia demi anak-anak saya. Tetap bertahan yang lama-

kelamaan saya gak tahan karena dia berulah terus dan buat karir saya mati.”

Hal ini senada dengan hasil wawancara bersama Ibu Maya (informan III) yang

menyatakan sebagai berikut :

“Terus dia juga masih menjalin hubungan dengan mantan istrinya kak. Kemaren waktu kami

asalkan konflik pasti dia lari dari rumah. Nah setelah beberapa hari balik lagi ke rumah. Aku

lihatlah handphone dan itulah ada komunikasi mereka. Apa-apa yang menjadi konflik di
kami, dia ceritakan ke mantan istrinya. Terus sangkin penasarannya aku, aku hubungi lah

perempuan itu dan dia bilang memang orang ini masih sering ketemuan dan berhubungan

kak.”

Penelitian ini sesuai dengan yang dilakukan oleh Nur’awni dan Retno, dimana

seseorang akan merasa sangat kecewa, sakit hati, sedih, stress dan depresi setelah mengetahui

bahwa pasangan hidupnya melakukan perselingkuhan, sebab dirinya telah dikhianati secara

diam-diam. Akibat semua itu, kemungkinan seseorang memilih untuk bercerai dari pasangan

hidupnya (Nur’aeni dan Retno D, 2009: 17).

5. Komunikasi

Menurut Rogers bersama dengan D. Lawrence Kincaid (dalam Cangara, 2006: 19),

komunikasi adalah suatu proses di mana dua orang atau lebih membentuk atau melakukan

pertukaran informasi dengan satu sama lainnya, yang pada gilirannya akan tiba pada saling

pengertian yang mendalam. Berbicara komunikasi dalam rumah tangga juga berbicara

tentang keterbukaan. Keterbukaan dalam rumah tangga itu sangat penting yang tujuannya

menghindari yang namanya kecurigaan satu sama lainnya. Ketika dalam rumah tangga sudah

tidak ada lagi yang namanya saling terbuka, maka saat itulah perpecahan dalam rumah tangga

akan dimulai. Pernyataan ini penulis temukan dengan Ibu V (informan 1) dalam wawancara

sebagai berikut :

“Sejauh itu ya bagus,tetapi yang sifatnya bagus dalam arti yang fine-finenya aja gitu. Banyak

yang beliau tutupin dari saya, sisi lain misalnya tentang dia yang risign karena apa dia gak

pernah cerita ke saya, sehingga saya tidak pernah dikasih kesempatan untuk membuat

kebijakan bersama untuk kelangsungan rumah tangga kami. Sehingga sepanjang 9 tahun itu

akhirnya saya lelah ”

Hal ini juga senada dengan pernyataan Ibu Maya (informan 3) yang menyatakan

sebagai berikut :
“Suami ku itu gak jujur orangnya kak. Dia juga kadang gak pulang terus aku tanya ke suami

ku, dia gak mau jujur sama aku ya palak la aku kak. Ya sudah lah disitu aku mantap untuk

bercerai kak.”

Berdasarkan pemaparan tersebut dapat disimpulkan bahwa komunikasi itu adalah

penting dalam menjalin sebuah hubungan. Karena dari komunikasi yang baik akan

membangun relasi yang baik juga diantara satu pihak dengan pihk yang lainnya. Ketika

komunikasi yang berjalan dalam sebuah hubungan tidak berjalan dengan baik tidak menutup

kemungkinan perceraian akan terjadi seperti yang dialami informan tersebut.

6. Pendidikan

Penelitian yang dilakukan oleh Nur Bainah menyatakan bahwa penyebab terjadinya

perceraian dikarenakan faktor pendidikan yang rendah (Bainah, 2013: 82). Akan tetapi,

ketika penulis melakukan penelitian di lapangan didapati bahwa tidak hanya pasangan yang

memiliki pendidikan yang rendah yang mengalami perceraian. Namun, pasangan yang

memiliki pendidikan yang tinggi juga mengalami proses perceraian.

Hal ini diungkapkan oleh Ibu V (informan utama 1) dalam hasil wawancara sebagai

berikut :

“Suami saya Sarjana Sosial dan saya Magister Psikologi. Jadi perbedaan starat pendidikan

pada akhirnya juga menjadi pemicu retaknya rumah tangga kami. Sifat egois laki-laki itu

mulai muncul ketika istri lebih dari suaminya. Padahal yang menyarankan saya untuk

melanjutkan perkuliahan adalah suami saya dan ketika saya sudah menyelesaikan

pendidikan saya, pada saat itulah konflik rumah tangga kami semakin memuncak.”

5.2.2 Dampak-Dampak Perceraian

Perceraian yang terjadi akan ada banyak pihak yang akan merasakan dampak dari

perceraian itu sendiri. Meskipun perceraian di satu sisi dapat menyelesaikan suatu masalah

rumah tangga yang tidak mungkin lagi dikompromikan, tetapi perceraian itu juga
menimbulkan dampak negatif. Adapun dampak-dampak yang terjadi dalam sebuah

perceraian yaitu sebagai berikut :

a. Dampak negatif

1. Terhadap pasangan yang bercerai

Perasaan hancur karena dipisahkan dari anak oleh salah satu pihak. Hal ini sesuai

dengan pernyataan Ibu V (informan 1) sebagai berikut :

“Hancur pasti, rindu banget (suara gemetar). Kalau lagi kerja ya berusaha untuk tidak ingat

anak-anak supaya kerjanya gak hancur. Ya tapi ketika dirumah ya mulai kecarian. Karna

biasanya kalau pulang kerja anak-anak ya aaaauu mulai ngerusuhin kan apalagi yang kecil

itu suka apa namanya, Umi duduk sini sini adek sisirin adek ini pijitin. Kecarian pasti yang

begitu-begitu.”

Dampak lain yang dirasakan oleh pasangan yang sudah bercerai adalah depresi karena

sudah gagal dalam membina rumah tangga. Hal ini sesuai dengan hasil wawancara bersama

Ibu Maya (informan 3) sebagai berikut :

“Makin stress la aku kak, aku harus kerja cari uang sendiri untuk keperluan kehidupan, terus

dibilang gak becus ngurus anak, depresi lah aku kak. Gak pun rumah tangga ku udah

berantakan.”

2. Terhadap Keluarga

Putusnya hubungan keluarga antara kedua belah pihak. Hal ini sesuai dengan

pemaparan wawancara bersama Ibu V (informan 1) yang menyatakan :

“ Karna kalau sampai hari ini memang merasa dekat dan kalau mereka merasa sebagai

seorang ibu, apa iya tega memisahkan anak dari ibunya. Itu aja sih kalau saya. Sekarang

saya baru bisa menyimpulkan ternyata mereka berhati kejam. Dan hari ini hak saya sebagai

seorang ibu sedang dirampas. Tapi itu lah yang terjadi.”

Pernyataan ini juga senada dengan Ibu Hafni (informan 4) yang menyatakan :
“Jangan kan mau kontek, kita ke rumahnya mau silaturahim pun pintu pagarnya udah

ditutup tidak dibukain.”

Hal ini diperkuat lagi dengan pernyataan Ibu Meydina (informan 2) yang menyatakan

sebagai berikut :

“Waktu dalam proses perceraian hubungannya masih bagus. Dan ketika anaknya dalam

penjara itu, mertua saya, adik-adiknya mohon ke saya untuk beliau dibebaskan dan berjanji

akan di bawa ke Jakarta dan tidak akan mengganggu kalian lagi. Ternyata begitu anaknya

dibebaskan, anaknya menteror saya dan saya tanya dimana pertanggungjawaban

orangtuanya, orangtuanya lepas tangan. Saya bilang, “Anda penipu”. Kalian semua penipu

saya bilang. Adiknya yang perempuan itu sudah statusnya janda, ngakunya anak gadis kawin

sama anak lajang. Saya tahu bagaimana keluarga dan kebusukan keluarganya itu setelah

saya menikah.”

3. Terhadap anak

Menurut Viscoot (dalam Coloroso, 2010:132), perceraian bisa menjadi tindakan

berani atau tindakan pengecut, atau bukan pilihan sama sekali. Perceraian bisa berbuah baik,

bisa juga berbuah buruk, kadang tidak keduanya. Tetapi, untuk anak-anak perceraian adalah

hal yang pasti mengakibatkan kekacauan dan munculnya rasa kehilangan.

Penelitian yang penulis temukan dilapangan sesuai dengan penelitian yang dilakukan

oleh Putri Rosalia Ningrum yang menyatakan bahwa dampak yang muncul pada diri anak

ketika orangtuanya bercerai adalah tidak mampu menyesuaikan diri pada lingkungan karena

subjek belum mampu menerima keadaan yang terjadi pada dirinya dengan masalah bahwa

orang tuanya telah bercerai, dan tidak dapat megendalikan emosi dengan baik serta

mengalami kesulitan dalam bergaul karena malu pada teman jika mengetahui orang tuanya

bercerai (Ningrum, 2013: 78). Adapun hasil wawancara dengan Ibu Meydina (informan 2)

yang menyatakan sebagai berikut :


“Anak juga sangat susah dikendalikan gitu kan. Ketika masa SD itu Yoga suka bertengkar

dengan temannya, gampang emosi. Dia cerita kalau dia emosi itu sudah merah lah matanya

sudah gak nampaknya lagi semua orang gitu lah. Sama pelajaran juga gak perduli, disuruh

mengahapal Al-Quran juga gak mau terus sama orang biasanya gak mau diskusi dan apalagi

sama laki-laki dewasa dia paling benci.”

Tidak dipungkiri juga dampak yang dirasakan anak ketika terjadi perceraian adalah

tidak bisa merasakan kasih sayang kedua orangtuanya dan bahkan anak tidak dapat bertemu

dengan salah satu orangtuanya. Pernyataan ini juga sesuai dengan yang disampaikan Ibu V

(Informan 1) yang menyatakan sebagai berikut :

“Tepat bulan dua ini setahun anak-anak tidak bertemu dengan saya karena dibawa oleh

bapaknya.”

b. Dampak Positif

Konflik mempunyai fungsi-fungsi positif. Salah satunya adalah mengurangi

ketegangan dalam masyarakat, juga mencegah agar ketegangan tersebut tidak terus

bertambah dan menimbulkan kekerasan yang memungkinkan terjadinya perubahan-

perubahan (Bachtiar, 2006: 107). Seperti dalam penelitian Sudarto & Wirawan (dalam

Nura’eni dan Dwiyanti, 2009: 19) yang menyatakan bahwa sebelum perceraian, individu

memandang kehidupannya sebagai masa yang menyenangkan. Namun ketika ketegangan

hadir dalam pernikahan dan mulai membahayakan pernikahan, kehidupan dipandang sebagai

suatu kepahitan yang mendalam dan penuh penderitaan serta perjuangan. Namun dalam

penelitian ini muncul perasaan bahagia, lega, tenang karena merasa terlepas dari belenggu

kehidupan rumah tangganya yang dirasa sangat menyakitkan hati.

Hal ini sesuai dengan hasil wawancara dengan Ibu Meydina (informan II) yang

menyatakan :
“Banyak memang diluar sana yang menyesali perceraiannya, akan tetapi saya tidak

menyesal. Saya merasa lebih lega dan bahagia dengan kehidupan saya sekarang dengan

anak-anak.”

Hal ini juga senada dengan hasil wawancara dengan Ibu Maya (informan III) yang

menyatakan sebagai berikut :

“Setelah bercerai ini saya merasa lebih tenangan karena tidak lagi menjadi korban

pemukulan dari suami saya itu.”

Pernyataan ini juga diperkuat oleh hasil wawancara dengan Ibu Nurcahaya (informan

VI) yang menyatakan sebagai berikut :

“Apa lah yang mau saya bilang dek, orangtua mana yang gak sedih lihat rumah tangga

anaknya gagal. Tapi ya sekarang saya senang lah karena anak saya sudah bebas dari

suaminya yang ringan tangan itu.”

Anda mungkin juga menyukai