Anda di halaman 1dari 2

BAB I

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG
Antibakteri merupakan zat yang dapat mengganggu pertumbuhan
atau bahkan mematikan bakteri dengan cara mengganggu metabolisme
mikroba yang merugikan. Mekanisme kerja dari senyawa antibakteri
diantaranya yaitu menghambat sintesis dinding sel, menghambat
keutuhan permeabilitas dinding sel bakteri, menghambat kerja enzim,
dan menghambat sintesis asam nukleat dan protein (Dwidjoseputro,
1980). Salah satu zat antibakteri yang banyak dipergunakan adalah
antibiotik. Antibiotik adalah senyawa kimia khas yang dihasilkan atau
diturunkan oleh organisme hidup termasuk struktur analognya yang
dibuat secara sintetik, yang dalam kadar rendah mampu menghambat
proses penting dalam kehidupan satu spesies atau lebih mikroorganisme
(Siswando dan Soekardjo, 1995). Antibiotik merupakan obat yang paling
banyak digunakan pada infeksi yang disebabkan oleh bakteri.
Berbagai studi menemukan bahwa sekitar 40-62% antibiotik
digunakan secara tidak tepat antara lain untuk penyakit-penyakit yang
sebenarnya tidak memerlukan antibiotik. Intensitas penggunaan
antibiotik yang relatif tinggi menimbulkan berbagai permasalahan dan
merupakan ancaman global bagi kesehatan terutama resistensi bakteri
terhadap aktivitas kerja antibiotik (Kemenkes RI, 2011). Kombinasi
pengobatan menggunakan antibiotik dapat menghasilkan efek
berkebalikan terhadap pertahanan bakteri dan menyebabkan antibiotik
bersifat antagonistik.
Resistensi adalah perlawanan yang terjadi ketika bakteri, virus dan
parasit lainnya secara bertahap kehilangan kepekaan terhadap obat
yang sebelumnya membunuh mereka. Resistensi terhadap antibakteri
telah menjadi masalah kesehatan yang mendunia, dengan berbagai
dampak merugikan dapat menurunkan mutu pelayanan kesehatan.
Muncul dan berkembangnya resistensi terjadi karena tekanan seleksi
(selection pressure) yang sangat berhubungan dengan penggunaan
antibakteri, dan penyebaran bakteri resisten (spread). Resistensi dapat
dicegah dengan memberikan terapi antibiotik spesifik yang diberikan
berdasarkan kultur dan resistensi kuman, mengkonsumsi antibiotik
sesuai dengan dosis dan jangka waktu yang benar (Ciesla and Guerrant,
2003).
Berbagai cara perlu dilakukan untuk menanggulangi masalah
resistensi antibakteri baik di tingkat perorangan maupun di tingkat
institusi atau lembaga pemerintahan, dalam kerja sama antar-institusi
maupun antar-negara. WHO telah berhasil merumuskan 67 rekomendasi
bagi negara anggota untuk melaksanakan pengendalian resistensi. Di
Indonesia rekomendasi ini tampaknya belum terlaksana secara
institusional.
Penanggulangan masalah resistensi antimikroba di tingkat
internasional hanya dapat dituntaskan melalui gerakan global yang
dilaksanakaan secara serentak, terpadu, dan bersinambung dari semua
negara. Diperlukan pemahaman dan keyakinan tentang adanya masalah
resistensi antimikroba, yang kemudian dilanjutkan dengan gerakan
nasional melalui program terpadu antara rumah sakit, profesi kesehatan,
masyarakat, perusahaan farmasi, dan pemerintah daerah di bawah
koordinasi pemerintah pusat melalui kementerian kesehatan. Gerakan
penanggulangan dan pengendalian resistensi antimikroba secara
paripurna ini disebut dengan Program Pengendalian Resistensi
Antimikroba (PPRA).

B. TUJUAN

Anda mungkin juga menyukai