Anda di halaman 1dari 24

ISLAM MENGATUR BAGAIMANA KOMUNIKASI EFEKTIF ANTARA

SUAMI DAN ISTRI

Posted on April 7, 2017

ISLAM MENGATUR BAGAIMANA KOMUNIKASI EFEKTIF ANTARA SUAMI DAN


ISTRI

Oleh : Ustadzah Dedeh Wahidah Achmad

Suami-istri bukanlah relasi atasan-bawahan, juga bukan seperti hubungan pemerintah dengan
rakyatnya. Kehidupan suami-istri mesti diliputi rasa cinta dan kasih-sayang.

Pergaulan di antara keduanya adalah pergaulan persahabatan. Keduanya akan saling memberikan
kedamaian dan ketenteraman.

Allah SWT menjelaskan bahwa ketentuan dasar dalam sebuah perkawinan adalah kedamaian dan
dasar dari kehidupan suami-istri adalah ketenteraman. (QS ar-Rum [30]:21)

Supaya ketenteraman, kesakinahan dan kedamaian itu terwujud dalam kehidupan suami-istri,
Allah SWT pun telah menetapkan aturan yang harus dipenuhi, yaitu berupa pemberian hak dan
kewajiban yang harus dijalankan oleh masing-masing pasangan.

Namun dalam praktiknya, ketenangan dan kedamaian tidaklah mudah untuk diraih. Tak sedikit
pernikahan mengalami konflik dan permasalahan yang bisa mengancam keharmonisan rumah
tangga, bahkan tak jarang berujung perpisahan dan perceraian.

Salah satu yang memicu munculnya prahara ini adalah buruknya komunikasi di antara suami-
istri.

Romantika dalam Pernikahan :

Kehidupan rumah tangga tak seindah bayangan dan tak semulus harapan. Kadang masalah
muncul silih berganti karena perbedaan visi dan misi keluarga, ketidakcocokan karakter di antara
pasangan, intervensi pihak keluarga, masalah anak, kesulitan ekonomi, dll. Bahkan pengaturan
aktivitas dakwah pun bisa dianggap sebagai masalah.

Seharusnya sebanyak dan sesulit apapun masalah yang dihadapi tidak akan menjadi beban yang
memberatkan apalagi mengantarkan pada perpecahan keluarga.

Syaratnya, suami-istri mampu mendudukkan persoalan secara proposional sesuai dengan


tuntutan syariah, bisa menyatukan pandangan atas semua permasalahan tersebut, serta memiliki
komitmen yang sama dalam penyelesaiannya.
Sebaliknya, jika mereka tetap bersikukuh pada kehendak dan pendapat masing-masing yang
didorong oleh dominasi emosi dan egoisme, maka bukan tidak mungkin permasalahan sepele
pun akan berubah menjadi badai yang bisa memporakporandakan bangunan rumah tangga.

Pada titik inilah pentingnya dibangun komunikasi yang harmonis dan efektif di antara suami-
istiri. Komunikasi ini akan mampu menyatukan dua hati yang berbeda, mencari titik temu
pendapat yang tidak sama dan melahirkan komitmen untuk sama-sama menyelesaikan masalah
demi mempertahankan keutuhan rumah tangga dalam suasana sakinah, mawaddah dan rahmah.

Komunikasi Efektif :

Dalam teori komunikasi dikenal beberapa karakter yang bisa menentukan komunikasi efektif
yaitu :

(1) Respek
Sikap, tatapan, intonasi, sapaan serta kalimat yang digunakan suami/istri ketika berkomunikasi
dengan pasangannya harus menunjukkan rasa hormat, tidak melecehkan apalagi menjatuhkan.

(2) Empati
Kemampuan suami/istri untuk menempatkan diri pada situasi atau kondisi yang dihadapi oleh
pasangan sehingga keduanya akan memahami apa yang sedang dirasakan pasangannya.
Tak akan menunjukkan suka-cita ketika pasangan sedang kesal atau bersedih. Tak akan
menghukumi kesalahan yang dilakukan karena ketidaktahuan.

(3) Audible
Komunikasi suami/istri dapat didengarkan atau dimengerti dengan baik oleh pasangannya.
Karena itu penting diperhatikan frekuensi suara dan jarak di antara keduanya (berbicara dengan
tatap muka); tidak saling teriak, pembicaraan fokus; tidak mengajak bicara serius saat pasangan
sedang sibuk dengan urusan lain yang tidak mungkin ditinggalkan.

(4) Clarity
Keterbukaan dan transparasi. Suami-istri harus menjauhkan kecurigaan terhadap pasangan.

(5) Humble
Rendah hati. Suami-istri tidak bersikap arogan kepada pasangan.

Penghambat Keberhasilan Komunikasi :

Berikut adalah beberapa faktor penghambat yang sering terjadi dalam komunikasi suami-istri:

(1) Suami/istri menyalahkan pasangan (blaming partner), bukan menunjukkan kesalahannya


secara spesifik.
Akhirnya, pasangan akan tetap menganggap dirinya benar dan tak menyadari kesalahan yang
telah dia lakukan.
Salah satu contoh adalah tuduhan bahwa suami/istri telah melanggar hukum syariah karena telah
mengabaikan kewajibannya, namun tidak disertai penjelasan letak kesalahannya.

(2) Saling menyalahkan dan biasa mencari-cari kesalahan pasangan.


Biasanya diawali dengan persepsi bahwa pasangannya salah, padahal boleh jadi dia benar.
Karena gaya saling menyalahkan ini, komunikasi tidak akan mampu mengungkap kebenaran.
Yang terjadi sebaliknya, mereka akan terus bersitegang serta menganggap pasangan-nya keras
kepala dan tidak bisa dinasihati

(3) Antipati terhadap kritik atau nasihat yang disampaikan pasangan.


Perkataan apapun yang disampaikan pasangan akan diterima sebagai hujatan yang menyakitkan.
Mereka sulit menyadari kesalahan bahkan yang terjadi malah ketersinggungan.

(4) Qiyasy-syumuly. Menganggap salah semua yang dilakukan atau dikatakan pasangan, padahal
boleh jadi kesalahan yang dilakukan hanya satu atau beberapa kali saja.

(5) Tidak mencari akar masalah.


Ketika komunikasi harmonis tidak terjalin di antara suami-istri, sering keduanya menghindari
komunikasi yang berkelanjutan.
Demi mengakhiri perdebatan, tidak jarang muncul pengakuan semu, “Ya, saya yang salah.”
Pernyataan ini bukanlah pengakuan sebenarnya. Jauh di lubuk hati yang paling dalam dia tetap
tak menerima perlakuan pasangannya dan cenderung menyalahkannya. Alih-alih menuntaskan
permasalahan, yang terjadi bisa saja makin menumpuk masalah dan mendatangkan sengketa
yang lebih besar.

(6) Jangkauan pendek, tidak ke masa depan. Perbedaan karakter suami-istri sangat membutuhkan
kesabaran untuk mempertemukannya. Kesalahan yang dilakukan pasangan sekarang insya Allah
ke depan akan bisa diperbaiki dengan upaya yang sungguh-sungguh dan disertai kesabaran.

Panduan Komunikasi Efektif Suami-Istri :

(1) Tanamkan dalam hati bahwa suami/istri adalah bagian dari kita; bukan orang lain, bukan
saingan, apalagi musuh yang mengancam. Dengan pemahaman ini maka kita akan senantiasa
menerima masukan, kritikan dan nasihat pasangan sebagai sesuatu yang baik untuk keutuhan
keluarga.

(2) Mengedepankan hukum syariah, bukan keinginan dan kepentingan pribadi. Ketundukan
terhadap hukum syariah akan meringankan kita untuk menerima kebenaran yang disampaikan
suami/istri sekalipun bertentangan dengan keinginan kita.

(3) Berupaya memperlakukan suami/istri dengan makruf.

Bagi suami terdapat hadis Rasulullah saw.:

‫َخي ُْر ُك ْم َخي ُْر ُك ْم أِل َ ْه أل أه َوأَنَا َخي ُْر ُك ْم أِل َ ْه ألي‬
“Orang yang paling baik di antara kalian adalah yang paling baik kepada keluarganya. Aku
adalah orang yang paling baik kepada keluargaku”. (HR Tirmidzi dan Ibn Majah).

Untuk para istri ada hadis Rasulullah saw.:

‫لَ ْو ُك ْنتُ أآم ًرا أ َ َحدًا أ َ ْن يَ ْس ُجدَ أِل َ َح ٍد َِل َ َم ْرتُ ْال َم ْرأَة َ أ َ ْن تَ ْس ُجدَ ألزَ ْو أج َها‬

“Andai aku boleh memerintahkan seseorang bersujud kepada seseorang yang lain, niscaya aku
akan memerintahkan wanita bersujud kepada suaminya.” (HR Tirmidzi).

Dorongan meraih derajat terbaik di sisi Allah SWT akan membantu suami/istri memperlakukan
pasangannya dengan sebaik-baiknya.

“Service Excelent” menjadi cita-citanya. Karena itu seorang istri akan berupaya keras menaati
suaminya dan memasukkan kebahagiaan ke dalam hati suaminya meski harus mengorbankan
istirahat atau rileks atau kesenangannya sendiri.

Sebaliknya, seorang suami akan menjadi orang yang paling lembut, paling perhatian dan paling
bertanggung jawab di hadapan istri dan keluarganya meski harus memupus sebagian
keinginannya.

(4) Tidak kaku dalam komunikasi. Kehidupan suami-istri adalah ketenteraman dan ketenangan
serta cinta dan saling percaya. Sikap keras hati suami/istri kadang bisa diluluhkan dengan
kelembutan.
Arogansi mampu ditundukkan dengan ketataan dan keikhlasan. Prasangka akan hilang dengan
keterbukaan. Rasa kesal dan putus-asa sirna dengan kesabaran.

(5) Mendudukan suami/istri sebagai manusia biasa yang tidak luput dari kesalahan sekalipun
mereka ustadz/ustadzah atau aktivis dakwah yang senantiasa mengajak orang menegakkan
kebenaran.
Kesadaran ini akan membantu kita menerima kesalahan yang dilakukan pasangan, namun tidak
membiarkan kesalahan terus terjadi. Kesalahan dan kelalaian harus diisertai dengan sikap saling
menasihati.
Pemahaman bahwa suami/istri bukan manusia sempurna tanpa cela dan cacat akan memupuk
kesabaran menghadapi kelemahan dan kekurangan pasangan (Lihat: QS an-Nisa [4]:19).

Wallahu A’lam.

Komunikasi Efektif Suami Istri

Cahyadi Takariawan
dakwatuna.com – Dalam kehidupan sehari-hari, banyak dijumpai pasangan suami istri yang terjebak
dalam konflik berkepanjangan, hanya karena sebab yang sepele dan remeh. Mereka tidak mampu
mengungkapkan keinginan dan perasaan secara lancar kepada pasangannya, yang berdampak muncul
salah paham dan memicu emosi serta kemarahan pasangan. Ini menunjukkan adanya komunikasi yang
tidak lancar, sehingga berpotensi merusak suasana hubungan antara suami dengan istri.

Ternyata, komunikasi memiliki peran yang sangat penting dalam menciptakan keharmonisan kehidupan
rumah tangga. Gagal berkomunikasi bisa mengancam keutuhan sebuah keluarga, bahkan sampai ke
tingkat perceraian. Sebenarnya apakah maksud komunikasi, dan bagaimana agar bisa berkomunikasi
secara efektif kepada pasangan?

Makna Komunikasi

Komunikasi adalah aktivitas menyampaikan apa yang ada dalam pikiran, konsep yang kita miliki dan
keinginan atau perasaan yang ingin kita sampaikan pada orang lain. Komunikasi juga bermakna sebagai
seni mempengaruhi orang lain untuk memperoleh apa yang kita inginkan. (B S Wibowo, 2002).

Yang dimaksud dengan komunikasi efektif adalah sebuah bentuk komunikasi dimana pesan yang
disampaikan berhasil mencapai sasaran dengan feedback (respon) yang sesuai dengan tujuan. Jika suami
menghendaki “Aku ingin dibuatkan teh panas manis”, maka istri mengerti persis setingkat apa panasnya
dan seperti apa tingkat kemanisannya. Jika istri membuatkan kopi pahit, maka jelas ini bentuk
komunikasi yang terdistorsi secara berlebihan.

Jika istri menghendaki, “Aku ingin engkau perhatikan”, maka suami mengerti persis bentuk perhatian
seperti apa yang diinginkan istri dan menyenangkan hati istri. Jika suami justru pergi meninggalkan
rumah dengan marah, ini menandakan proses komunikasi yang terlalu jauh menyimpang.

Pondasi Utama

Jauh sebelum berpikir tentang upaya membangun komunikasi efektif, hal yang pertama kali harus
dimiliki adalah menciptakan visi keluarga yang jelas. Suami dan istri harus memiliki cita-cita besar
(vision) yang terang benderang, dan menjadi sebuah ikatan moral yang kokoh untuk diwujudkan dalam
kehidupan. Visi inilah yang akan menuntun arah perjalanan kehidupan keluarga agar tidak menyimpang
dan tidak berbalik arah.

Visi keluarga adalah surga. Ingin mendapatkan kebahagiaan kehidupan di dunia dan kebahagiaan hidup
di akhirat. Mendapatkan surga dunia dalam rumah tangga, dan mendapatkan surga akhirat di taman
keabadian yang dijanjikan-Nya. Inilah visi yang sangat kokoh, yang mengikat kehidupan keluarga menuju
kepada muara yang sangat jelas dan indah.

Dengan visi ini, suami dan istri akan selalu berusaha membahagiakan pasangannya. Selalu berusaha
untuk menciptakan keluarga yang bahagia, dan bersama masuk surga.

10 Prinsip Komunikasi Efektif

Ada banyak orang berkomunikasi, namun tidak mendapatkan tanggapan seperti yang diharapkan.
Ternyata pesan tidak sampai kepada pasangan, atau pesan sampai kepada pasangan tetapi dengan
terdistorsi. Dampaknya komunikasi tidak pernah nyambung dan masing-masing merasa tidak nyaman
dalam berkomunikasi. Hal ini akan mengakibatkan kemalasan dalam komunikasi dan memilih pasif.

Agar komunikasi antara suami dan istri bisa efektif, ada beberapa hal yang harus diperhatikan oleh
kedua belah pihak:

Mengetahui ragam komunikasi, dari berbicara, menulis, hingga menyampaikan pesan lewat berbagai
media

Bersikap empati. Memposisikan diri Anda pada situasi perasaan dan pikiran yang sedang dialami
pasangan.

Fleksibel, komunikasi kadang memerlukan suasana dan gaya serius, namun ada kalanya lebih efektif
menggunakan suasana dan gaya yang santai

Memahami bahasa nonverbal. Kadang ekspresi wajah dan bahasa tubuh pasangan Anda sudah
mengisyaratkan sesuatu pesan

Jadilah pendengar yang baik. Jangan menguasai komunikasi dengan terlalu banyak bicara dan tidak
mau mendengar
Egaliter, hilangkan sekat pembatas antara Anda dengan pasangan yang menghalangi kehangatan
komunikasi

Hindarkan kalimat dan gaya yang menyakiti hati pasangan, atau menyinggung perasaannya

Sampaikan pesan dengan lembut dan bijak. Jangan berlaku kasar dalam komunikasi

Gunakan bahasa dan media yang tepat, sesuai dengan situasi dan kondisi saat melakukan komunikasi

Pilih waktu, suasana dan tempat yang tepat untuk mendukung kelancaran berkomunikasi.

Demikianlah sepuluh prinsip komunikasi efektif antara suami dan istri. Semoga kita semua mampu
menciptakan keluarga yang sakinah, mawaddah dan rahmah. Aamiin.

Sumber: https://www.dakwatuna.com/2011/11/29/16878/komunikasi-efektif-suami-
istri/#ixzz57OCebeJt

Follow us: @dakwatuna on Twitter | dakwatunacom on Facebook

Wahai Suami-Istri, Berbicaralah dengan Hati


Jum'at, 16 Januari 2015 - 08:00 WIB

Ingatlah, pasangan kita adalah anugerah-Nya. Bersamanya kita akan bahagia hingga ke surga
atau sebaliknya
iMUSLIM

ilustrasi

Terkait

 Suami-Istri Diingatkan Tidak ‘Berselingkuh’ dengan HP


 Janda Medsos 2017
 Istri Ingin Tahu Gaji Suami, Salahkah?
 Kisah Perjuangan Pasutri Hindari Operasi Caesar

KEHIDUPAN keluarga adalah miniatur dari kehidupan masyarakat. Namun, di dalam


keluargalah segala aturan syariat bisa diamalkan. Mulai dari yang sederhana, seperti memberi
senyum, berprasangka baik, hingga yang paling kompleks, komunikasi hingga kepemimpinan.

Seringkali karena kesibukan, pekerjaan atau bahkan mungkin anak-anak, suami istri mengalami
kendala komunikasi, sehingga saling menuntut perhatian. Bahkan ketika perhatian yang
diharapkan tak kunjung datang, masing-masing mengambil kesimpulan keegoan, yang
ditunjukkan dengan sikap diam dan tak mau memulai komunikasi.

Peristiwa semacam itu, setiap keluarga hampir pasti pernah mengalaminya. Akan tetapi,
pernahkah kita berpikir bahwa cara-cara yang demikian itu tidak diajarkan oleh Nabi yang kita
cintai? Dan, apakah kita berpikir langkah-langkah itu akan mendatangkan kebaikan dunia
akhirat? Tentu tidak!
Dengan demikian, penting bagi setiap pasangan, yakni suami istri untuk terus berupaya
membaikkan rumah tangganya dengan komunikasi yang baik. Berbicaralah, karena semua akan
jelas dengan saling berbicara dan mendengarkan.

Perlahan dan Jelas

Berbicara yang seperti apa? Tentu seperti Nabi Muhammad Shallallahu alayhi wasallam
melakukannya.

Seperti diriwayatkan oleh Sayyidah Aisyah Radhiyallahu ‘anha, “Rasulullah tidaklah berbicara
seperti yang biasa kamu lakukan (yaitu berbicara dengan nada cepat). Namun beliau berbicara
dengan nada perlahan dan dengan perkataan yang jelas dan terang lagi mudah dihafal oleh
orang yang mendengarnya.” (HR. Abu Daud).

Suami dan istri harus sama-sama punya niat yang sama untuk mengamalkan tauladan Rasulullah
ini. Berbicaralah dengan perlahan dan jelas. Jangan terburu-buru, sehingga apa yang diucapkan
menjadi tidak jelas didengar oleh pasangan. Sebab, tidak sedikit pertengkaran terjadi karena
salah paham yang bermula dari pembicaraan yang tidak jelas.

“Tutur kata Rasulullah sangat teratur, untaian demi untaian kalimat tersusun dengan rapi,
sehing- ga mudah dipahami oleh orang yang mendengar-kannya.” (HR. Abu Dawud).

Bahkan, jika ada suatu pembicaraan yang bersifat sangat penting, tidak mengapa diulang sampai
tiga kali. Tetapi, dengan catatan, perkara tersebut memang bersifat sangat penting agar tidak
terjadi salah paham.

Anas bin Malik Radhiyallahu ‘anhu mengatakan: “Rasulullah sering mengulangi perkataannya
tiga kali agar dapat dipahami.” (HR. Al-Bukhari).

Betapa indah, jika suami istri bisa mengamalkan tauladan mulia ini. Jika itu terjadi, maka
sungguh kebahagiaan rumah tangga akan semakin sempurna.

Berbicara yang Baik

Kadangkala, karena lelah, seorang suami atau mungkin juga seorang istri tidak mampu
mengendalikan diri, sehingga keluar kata-kata yang tidak seharusnya. Hal ini tentu sangat tidak
baik dan bisa menimbulkan pertengkaran berkelanjutan. Lebih-lebih jika salah satu pihak
termasuk orang yang suka mengungkit-ungkit kesalahan.

Kaitannya dengan hal ini Rasulullah bersabda, “Barangsiapa yang beriman kepada Allah dan
hari akhir maka hendaklah ia berkata baik atau hendaklah ia diam.” (HR. Bukhari-Muslim).

Meskipun hadits ini bersifat umum, jika diamalkan dengan baik akan sangat bermanfaat bagi
kehidupan keluarga.
Lihatlah bagaimana Rasulullah tidak memanggil istri-istrinya kecuali dengan panggilan yang
baik lagi indah.

Terhadap Sayyidah Aisyah Rasulullah tidak memanggil nama, melainkan dengan panggilan
mesra yakni “Ya Khumairah” (yang kemerah-merahan). Jika soal panggilan saja Rasulullah
memilih yang terbaik, mengapa terhadap suami atau istri kita sendiri kita enggan melakukannya?

Jadi, jauhilah keinginan untuk berbicara yang tidak baik, terutama terhadap pasangan sendiri.
Apalagi, sampai bercerita kemana-mana soal keburukan pasangan kita, ini benar-benar tidak
perlu dilakukan. Jangan sampai dengan orang lain, rekan kerja kita bisa berbicara baik. Tetapi
terhadap istri atau suami, justru tidak diperhatikan, na’udzubillah.

Sebaik-baik Manusia

Jika kita bisa mengamalkan ajaran Nabi, dalam konteks berbicara saja, terutama di dalam
berumah tangga, sungguh langkah kita untuk menjadi manusia yang baik, bahkan sebaik-baik
manusia akan semakin terbuka.

Rasulullah bersabda, “Sebaik-baik kalian adalah yang paling baik terhadap keluarganya. Dan
akulah yang paling baik di antara kalian dalam bermuamalah dengan keluargaku.” (HR:
Tirmidzi).

Dengan demikian, mari kita biasakan diri berbicara dengan hati. Ingatlah, pasangan kita adalah
anugerah-Nya. Bersamanya kita akan bahagia hingga ke surga atau sebaliknya. Oleh karena itu,
adalah suatu kebaikan jika suami istri senantiasa memperhatikan kualitas komunikasinya
terhadap sesama. Apakah lebih banyak berbicara dengan hati atau emosi?.*

10 Langkah Suami dalam Membuka Komunikasi Efektif dengan Istri

Ditulis Oleh Administrator Dibaca 23165 Kali


Bagaimana langkah suami dalam membuka komunikasi efektif dengan istri?

Sukses tidaknya sebuah pernikahan bergantung dari lancar atau tidaknya komunikasi.
Kebanyakan masalah yang terjadi dalam sebuah pernikahan justru bermula dari buruknya
komunikasi yang ada di antara suami dengan istri.

Kalau selama ini kita mengira komunikasi adalah saat suami dan istri saling bicara, sebenarnya
inti komunikasi sendiri justru saat kita fokus mendengar, dimana mendengar disini maksudnya
tentu saja bukan hanya duduk diam menyimak pasangan kita berbicara namun kemampuan
mendengar yang dapat mengantarkan kita pada sebuah pemahaman tentang apa yang sebenarnya
diharapkan pasangan dari diri kita.
Namun yang terjadi pada kebanyakan suami istri pola komunikasi yang dilakukan adalah saling
berbicara dan sulit untuk mendengar, sehingga endingnya masing-masing pihak hanya sibuk
mengutarakan harapannya tanpa mampu memahami harapan pasangannya. Jika sudah terjadi
seperti itu maka tentu saja konflik akan sering terjadi atau justru sebaliknya keduanya akan
semakin menjauh, karena merasa saat melakukan komunikasi harapan-harapannya tidak
dipahami oleh pasangannya.

Lalu apa sih yang menjadi penghalang terbesar kemampuan mendengar itu begitu sulit
dilakukan? Benteng terbesarnya yaitu ego. Saat masing-masing pihak sibuk menegakkan ego
saat berkomunikasi maka dia akan sulit sekali fokus mendengar apa yang dikatakan
pasangannya.

Menurut berbagai sumber, pihak suami ternyata memiliki kadar ego jauh lebih besar
dibandingkan pihak istri, walau tidak menutup kemungkinan, istri mungkin juga kadar egonya
tinggi, namun yang banyak terjadi pada kebanyakan pasutri, ego suami lah yang sering
mendominasi.

Hal ini sebenarnya wajar karena fitrah laki-laki sendiri adalah memiliki logika tinggi, dimana
efek dari kekuatan logika berpengaruh juga dengan meningkatnya ego. Dalam batas wajar ego
laki-laki sangat dibutuhkan karena tanggung jawab seorang suami sebagai pemimpin keluarga
mengharuskan dia memiliki fokus yang tinggi, dimana ini bisa diraih oleh orang yang memiliki
ego yang kuat.

Namun semua akan menjadi bumerang saat berlebihan, karena dapat mematahkan komunikasi
yang ada, sehingga istri merasa terluka dan menjadi malas membuka komunikasi dengan suami.

Menurut Cahyadi Takariawan dalam buku best sellernya yang berjudul "Wonderful Husband" 10
langkah yang dapat dilakukan suami agar mampu memimpin komunikasi dengan istri supaya
tetap efektif ;

1.Pilih waktu dan suasana yang tepat untuk memulai percakapan

Waktu yang disediakan tidak harus lama, yang penting keduanya dalam kondisi tenang dan tidak
tergesa-gesa, sehingga pembicaraan yang ringan dan segar akan saling mendekatkan.

2.Berbicaralah dengan Bergiliran

Dengan memberi kesempatan istri berbicara lebih dulu dimana dia bebas mengeluarkan isi
hatinya, akan membuat suasana menjadi tenang, sehingga istri pun akan siap mendengar apa
yang diinginkan suaminya.

3.Dengarkan Pembicaraan Istri

Jangan mendominasi istri. Bagi para istri, suami yang menyediakan waktu dan kesempatan
untuknya berbicara ibarat diberi hadiah yang luar biasa.
4.Jangan cepat memberi nasihat

Walaupun maksudnya baik, namun kurang bijaksana apabila suami terlalu cepat memberi
nasihat. Dalam komunikasi dengan istri, mendengarkan dan memahami isi pembicaraan istri jauh
lebih penting daripada respons berupa nasihat.

5.Tunjukkan Minat yang Tulus

Saat mendengarkan pembicaraan istri, jangan melakukannya sambil memainkan handphone


atau membaca majalah. Berbicaralah dengan istri dalam posisi santai dan nyaman. Yang sangat
diperlukan adalah sikap yang menampakkan minat dengan pembicaraan istri, mimik wajah yang
tulus akan membuat istri senang.

6.Berikan respons empati

Berikan respons empati walau hanya dengan ungkapan sederhana atau dengan isyarat anggota
badan, seperti anggukan kepala atau kedipan mata, bisa juga dengan memegang kedua tangan
istri erat-erat, karena semua itu menunjukkan respon suami, sehingga istri tidak merasa
ditinggalkan, sekaligus merasakan kehangatan cinta suaminya.

7.Berpihaklah kepada pasangan anda

Berpihaklah kepada istri saat istri menyampaikan masalahnya. Dengan cara itu istri akan merasa
nyaman berbincang dengan suami dan merasa mendapat dukungan, sehingga jiwa nya pun
menjadi tenang.

8.Ungkapkan sikap "kita hadapi bersama"

Misalnya istri mengeluhkan sikap mertua, hendaknya suami berada di pihak istri dengan
mengatakan "Mari Kita hadapi bersama, ini masalah kita bersama." Sikap "kita hadapi bersama"
akan membuat suasana hati istri sangat lega dan nyaman.

9.Ungkapan kasih sayang

Saat mengalami permasalahan, dukunglah istri dengan mengungkapkan "Percayalah Dik, aku
sangat menyayangimu. Biarkan saja orang berkata apa, nanti kita cari solusinya bersama."
Ungkapan sayang seperti itu membuat istri merasa nyaman dan disayang. Banyak istri yang
sangat menginginkan kata "I Love You" keluar dari mulut suaminya, ungkapan semisal kalimat
di atas bisa jadi sebagai salah satu bentuk ucapan "I Love You" juga.

10.Pertegas emosinya

Jangan mengingkari emosi istri saat dia mengungkapkan masalahnya pada suami, lebih baik beri
penegasan tentang emosi yang sedang dia rasakan, sehingga dia tidak merasa sendirian, misalnya
" Aku mengerti mengapa engkau demikian marah."
Demikianlah 10 langkah yang dapat dilakukan seorang suami agar dapat memimpin komunikasi
dengan istrinya menjadi efektif. Meskipun suami diberi anugerah ego yang kuat, namun saat bisa
ditundukkan komunikasi akan semakin cair. Dan saat komunikasi sudah cair, maka sumbatan
masalah yang ada pelan-pelan akan terbuka sehingga membuat hubungan antara suami dengan
istri semakin hangat.

Peran Komunikasi (Suami-Istri) dalam Membina Keluarga Sakinah

Mukadimah

Jika ada surga di dunia , maka itu adalah pernikahan yang bahagia. Tetapi jika ada neraka di
dunia itulah rumah tangga yang penuh pertengkaran. Semua pasangan yang menikah tentu
mengidamkan keluarga sakinah yang dikaruniai Allah SWT mawaddah dan rahmah. Maka
merealisasikan moto baiti jannati (rumahku surgaku) tak pelak lagi menjadi impian pasangan
suami istri.

Komunikasi suami istri akhirnya menjadi bagian yang sangat penting. Sebuah studi terhadap 264
pasangan suami istri melaporkan bahwa unsur paling penting bagi kaum wanita –tetapi bukan
bagi pria- dalam kepuasan akan hubungan mereka adalah adanya perasaan bahwa pasangan
suami istri mempunyai komunikasi yang bagus. Dan sebaliknya , sebagianbesar ketidakpuasan
perkawinan ternyata bersumber dari kegagalan berkomunikasi, demikian dilaporkan oleh
Prochaska & DiClemente dari Texas Research Institute of Mental Sciences. Komunikasi tidak
hanya berperan penting terhadap kebahagian atau keretakan keluarga tetapi juga mempunyai
pengaruh-walaupun bukan sebagai the only factor- terhadap pendidikan anak.

Kebutuhan akan Komunikasi Kita menghabiskan sebagian besar jam jaga kita dengan
berkomunikasi. Mengapa? Karena berkomunikasi sebuah kebutuhan .Dengan komunikasi kita
mengekspresikan apa yang kita rasakan/pikirkan, dengan komunikasi kita memahami cara
pandang pasangan kita, ikut merasakan kesedihan/kegembiraan anak kita, utamanya dengan
komunikasi , kita saling bertukar informasi. Akan tetapi seringkali dalam kehidupan suami-istri ,
komunikasi lebih bertujuan untuk memenuhi kebutuhan psikis daripada informatif.

Ketika seorang suami menceritakan kisah masa kecilnya, boleh jadi semua informasi dalam
noltalgianya itu sudah kita ketahui dengan jelas(karena begitu seringnya diceritakan), akan tetapi
persoalannya bukan pada substansinya semata, persoalannya lebih kepada bagaimana
meperhatikan dan diperhatikan, lebih kepada kebutuhan untuk didengar dan mendengarkan.
Apakah kita telah menjadi pendengar yang baik?

Komunikasi Suami Istri Leslie Brody & Judith Hall yang meringkas penelitian tentang
perbedaan2 emosi antara pria dan wanita mencatat bahwa anak perempuan lebih cepat trampil
berbahasa, lebih cakap dalam mengutarakan perasaannya daripada anak laki2. Ratusan studi
menemukan bahwa terdapat perbedaan emosi antargender dalam melihat suatu masalah.
Sesungguhnya masalah2 seperti bagaimana mendidik anak2, berapa banyak utang atau berapa
tabungan yang pas bagi pasangan bukanlah hal2 yang memperkuat atau menghancurkan sebuah
perkawinan. Namun bagaimana pasangan tersebut membahas masalah2 yang tidak mengenakkan
itulah yang lebih berpengaruh terhadap nasib perkawinan. Bagaimana membuka komunikasi
hingga tercapai kata sepakat tentang bagaimana untuk tidak bersepakat merupakan kunci
kelangsungan perkawinan.

Ketika ada masalah, kita masing2 cenderung berpikir kita melihat segala sesuatu sebagaimana
adanya, bahwa kita obyektif. Akan tetapi kenyataanya tidak demikian. Kita melihat dunia bukan
sebagaimana dunia adanya, melainkan sebagaimana kita adanya. Bahwa paradigma(cara kita
melihat dunia) atau istilah lainnya persepsi adalah sumber sikap dan perilaku kita. Sikap mudah
menyalahkan pasangan muncul lantaran perbedaan persepsi. Contoh sederhana masalah ini,
misalnya suami menduga istri tidak setia,istri menyangka suami sudah bosan kepadanya.
Komunikasi antara pasangan tersebut akan gagal (communication breakdowns) karena masing2
menafsirkan pernyataan orang lain dengan kerangka persepsinya. Ketika suami pulang terlambat
dari kantor dan istri menyambut dengan gembira setelah cemas menunggu, karena persepsi di
atas suami menganggap ucapan istrinya hanya kamuflase dari ketidak setiaannya dan berkata
keras, "Ah bilang saja kamu tidak senang aku pulang cepat. "Istri pasti terkejut dan menduga
suami mencari gara2 untuk menceraikannya.

Menyalahkan Pasangan Sikap menyalahkan pasangan (patner blaming) merupakan bentuk


pertahanan diri, ketidakmauan dikoreksi atau karena ingin menunjukkan "jika aku bisa
salah,sesungguhnya kamu juga sangat bisa salah, karenanya jangan salahkan aku." Atau istilah
suami saya" saya memang salah, tapi kesalahanmu lebih besar,jadi aku lebih
benar."(melegitimasi kesalahan).

Apa yang dipersalahkan bisa jadi memang tepat, tetapi bukan tidak mungkin apa yang
dipersalahkan pasangan adalah perkara yang tidak salah, hanya kita belum melakukan
tabayyun(mencari kejelasan), memandang perkara tersebut dari paradigma pasangan kita atau
memang kita tidak mau mendengar bayan(penjelasan) yang disampaikan. Menyalahkan
pasangan lebih dekat kepada tindakan menilai negatif pada pribadinya, bukan menunjukkan pada
tindakan yang keliru secara spesifik. Oleh karenanya tindakan ini mudah menyulut kemarahan-
tersembunyai atau terbuka- karena orang menjadi mudah tersinggung.

Ada kalanya kita tidak bermaksud menyalahkan , tetapi ditafsirkan sebagai sikap menyalahkan
karena pasangan kita sedang sensitif emosinya, atau cara kita berbicara yang bisa menimbulkan
efek kursif(memaksa). Misalnya: kita seharian capek mengasuh anak dan mendiamkannya dari
kerewelan dengan seluruh kasih sayang. Suami kita tidak banyak tahu tentang apa yang kita
kerjakan. Menjelang Isya' ia baru pulang , ketika kita sedang kecapekan sementara anak masih
menangis. Anda sengaja membiarkannya dulu karena ingin menyelesaikan masak. Suami
berkata"Seorang Ibu harus menyayangi anak, kalau ibu sendiri tidak mau memperhatikan apakah
ia harus mencari perhatian dari ibu teman2nya. Cobalah kamu beri perhatian." Kalimat suami
tidak salah sama sekali. Kesalahannya adalah waktu penyampaian dan tujuan penggunaannya
yang tidak tepat. Walaupun kita menyayangi anak sepenuh hati , kita bisa merasa terpaksa saat
memeluknya gara2 ucapan suami, bahkan kita bisa meledak pada anak "Diam kamu, kamu
kenapa sih dari tadi nangis terus? Bapakmu yang seharian tidak menggendongmu , marah2 sama
ibu gara2 kamu menangis. Ibu ini capek." Jika suami mendengar kalimat ini , kemarahannya bisa
tersulut karena ia merasa tidak marah pada kita.Suami merasa kita menyalahkannya, sementara
kita sebenarnya hanya ingin memberitahu bahwa kita menyayangi dan memperhatikan anak.

Saling Menyalahkan Komunikasi suami istri akan bertambah runyam jika keduanya sudah saling
menyalahkan. Kebanyakan dari kita mudah sekali terpancing oleh sikap yang ditunjukkan oleh
pasangan kita. Kita mudah mereaksi sehingga berbalas menyalahkan. Masing2 merasa sebagai
pihak yang benar, sedang yang lain tidak mau mengerti,meskipun kita sebenarnya belum
mencoba untuk saling terbuka dan saling memahami.

Sikap saling menyalahkan ini rentan terhadap percekcokan, bahkan menimbulkan sikap saling
menyarang antar pasangan. John Gottman, ahli psikologi dari University of Washington
melakukan analisis tentang perekat emosionl yang mengikat pasangan dan "karat2" yang dapat
menghancurkan keluarga, menyatakan bahwa isyarat awal dari titik kritis adalah kritik tajam.
Ketika kita tidak lagi mengeluh berdasarkan nalar tetapi kritik tajam terhadap pribadi pasangan
kita, kita membuka serangan yang mempunyai pengaruh emosional yang merusak.

Perbedaan antara keluhan dan kritik pribadi amat sederhana. Dalam keluhan, istri secara
spesisifik mengungkapkan apa yang membuatnya tidak senang dan mengkritik tindakan suami,
bukan pribadinya, dengan menyatakan mengapa tindakan suaminya tidak menyenangkan."
Ketika Mas terlambat menjemputku , aku jadi merasa bahwa Mas tidak memperdulikanku."
Ungkapan tegas, tidak berang atau pasif ini jauh lebih efektif daripada kritik pribadi yang
memaklumkan perang global terhadap pasangan. " Mas selalu mementingkan diri sendiri. Mas
tidak pernah memperhatikan aku. Memang Mas egois." Kritik semacam ini akan membuat orang
yang terkena merasa malu, tidak disukai, dipersalahkan dan tidak cakap-semuanya cenderung
menimbulkan respons yang defensif daripada upaya untuk memperbaiki situasi.

Diam adalah Emas? Ketika komunikasi suami istri sudah pada taraf saling menyalahkan ,
masing2 akan memilih cara untuk menyelesaikan pertempuran dengan mekanisme bertempur
atau kabur(hit or run). Yang paling sering terjadi adalah respons "bertempur", marah2 dengan
adu teriak yang tidak ada gunanya. Tetapi tanggapan alternatifnya-"kabur"- dapat menjadi lebih
berbahaya, terutama apabila "pelarian" itu adalah menarik diri ke arah diam seribu bahasa. Sikap
diam adalah benteng terakhir . Orang yang melakukannya benar2 diam saja, caranya adalah
menarik diri dari percakapan dengan respons yang ditandai oleh wajah tanpa ekspresi dan tak
memberi tanggapan apapun. Sikap diam mengirimkan pesan yang kukuh dan membingungkan ,
mirip2 gabungan antara dinginnya sikap menjauh, merasa menang dan melecehkan. Kebiasan
respons bersikap diam dapat menghancurkan kesehatan suatu hubungan, tindakan tersebut
memutuskan semua kemungkinan untuk menyelesaikan perselisihan.

Tetapi sikap diam untuk menenangkan diri adalah suatu cara meredakan marah yang paling
fisiologis(sesuai dengan fungsi tubuh). Ketika kita marah terjadi lonjakan adrenal yang memicu
sikap untuk "bertempur". Menunggu habisnya lonjakan adrenal dengan mencari kondisi yang
besar kemungkinannya tidak ada pemicu2 amarah lebih lanjut memberi kesempatan pada orang
yang marah untuk dapat mengerem siklus meningkatnya pikiran jahat dengan mencari selingan
yang menyenangkan.Dolf Zillmann, ahli psikologi dari University of Alabama menentang teori
Katarsis(melampiaskan amarah) sebagai metode yang efektif untuk meredakan amarah.
Melampiaskan amarah tidak ada, atau sedikit sekali hubungannya dengan meredakannya-
walaupun terasa memuaskan.Bahkan Diane Tice menemukan bahwa katarsis adalah cara
terburuk meredakan amarah. Cara yang lebih efektif adalah menenangkan diri terlebih dahulu ,
kemudian dengan cara yang konstruktif menghadapi pasangan kita untuk menyelesaikan
perbantahan. Rasulullah SAW mengajarkan kepada kita agar ketika kita marah , kita mengambil
air wudhu-hal ini mungkin untuk menenangkan diri, memberi waktu bagi tubuh untuk
menurunkan lonjakan adrenal-Wallahu 'alam.

Komunikasi Suami Istri dari Tauladan Kita Komunikasi adalah ketrampilan paling penting
dalam kehidupan kita. Islam memerintahkan umatnya agar selalu berbuat baik kepada sesama
manusia, terlebih kepada pasangan hidup kita. Allah SWT berfirman di Al Qur'an surah Al
Qoshosh: 77:

"Dan berbuat baiklah kamu sebagaimana Allah telah berbuat baik kepadamu."

Rasulullah SAW mengajarkan: "Ucapkanlah (kata2) yang baik atau diamlah."

Kita biasanya berusaha untuk dimengerti terlebih dahulu, kebanyakan dari kita tidak berusaha
untuk mendengarkan dengan maksud untuk mengerti lebih dahulu. Prinsip komunikasi yang
efektif adalah semua pihak berusaha untuk mendengarkan secara empatik(mendengarkan dengan
maksud untuk mengerti). Kita mungkin mendengarkan selektif(mendengar hanya bagian2
tertentu dari percakapan) atau mendengar atentif(memfokuskan energi pada kata2 yang
diucapkan), sesungguhnya kedua cara tersebut mungkin mengabaikan atau bahkan tidak benar2
mendengarkan pasangan kita sama sekali

Rasulullah mencontohkan metode mendengarkan empatik ini ketika datang seorang pemuda
yang minta izin untuk berzina.Jika kita perhatikan betapa jitu jawaban yang Rasulullah
sampaikan untuk meredam gejolak si pemuda. "Sukakah kamu jika apa yang ingin kamu lakukan
itu menimpa ibumu...adikmu...kakakmu", Tidak jawab pemuda tersebut. "Jika demikian ,maka
orang lain pun tidak berbeda denganmu." SubhanaLLah. Islam memerintahkan umatnya untuk
berbicara yang baik , maka ia juga memerintahkan mereka agar menjadi pendengar yang baik.
Sabda Rasulullah SAW "Dengarlah baik2(perkataan) orang lain."

Rasulullah SAW adalah suami tauladan, jika kita dengar cerita rumah tangga beliau tentulah
ingin kita hidup di masa beliau .Berbahagialah Aisyah yang suaminya tak pernah memberi
perlakuan kepadanya kecuali yang baik, bahkan saat terjadi perselisihan. Bukhari meriwayatkan
bahwa Rasulullah SAW pernah berselisih dengan Aisyah dan meminta Abu Bakar-ayah Aisyah-
sebagai penengah. Ketika itu Rasulullah SAW berkata" Berbicaralah atau saya yang bicara."
Aisyah menjawab dengan lantang "Berbicaralah Anda! Jangan mengucapkan yang tidak!"
Mendengar perkataan itu Abu Bakar menampar muka putrinya hingga mulutnya mengeluarkan
darah dan berkata:"Engkau ini memusuhi dirimu sendiri. Apakah beliau pernah mengucapkan
yang tidak benar?" Maka Aisyah duduk berlindung di belakang Rasul yang mulia. Kemudian
Rasulullah SAW bersabda "Kami tidak mengundangmu untuk melakukan ini. Kami tidak
menginginkan tindakan seperti ini darimu. "Tidak ada yang tercela padaRasulullah tetapi betapa
sulitnya meniru.
Komunikasi Suami Istri dan Pendidikan Anak Prof.Dr.dr. Hernomo Ontoseno Koesoemobroto ,
Kabag Sentra Pengobatan Keracunan RSUD dr.Soetomo Surabaya mengungkapkan hasil
penelitian lembaganya bahwa sebagian besar pelaku bunuh diri yang dikirim ke SPK RSUD dr.
Soetomo adalah perempuan yang memiliki sifat manja.

Apa yang menyebabkan anak menjadi manja? Sering kali sifat manja dihubungkan dengan kasih
sayang yang berlebihan. Sehingga seringkali orang tua menjadi ekstra hati2 dalam memberikan
kasih sayang, bahkan kadang bersikap keras yang tidak padatempatnya. Ketika ada yang seorang
ibu merenggut anaknya secara kasar dari gendongan Rasulullah SAW lantaran malu karena
anaknya pipis di pangkuan beliau, Rasulullah SAW bahkan menegur :" Pakaian yang basah ini
dapat dibersihkan dengan air, tetapi apa yang dapat menghilangkan kekeruhan jiwa anak akibat
renggutanmu yang kasar itu?" Manja sebenarnya tidak berhubungan dengan banyak sedikitnya
kasih sayang yang diterima anak. Rasulullah bahkan sampai memanjangkan sujudnya agar
cucunya dapat puas menaiki lehernya saat bersujud. Tetapi Hasan dan Husain tidak menjadi
cengeng dan manja, mereka bahkan menjadi pahlawan yang harum namanya .

Sikap manja –menurut hipotesa Mohammad Fauzil Adhim, mahasiswa Psikologi UGM,- lebih
banyak berhubungan dengan komunikasi orang tua -anak. Secara sederhana komunikasi orang
tua- anak ada dua macam yaitu komunikasi kepada anak( secara langsung, berupa nasehat,
teguran, dsb) dan komunikasi bersama anak(komunikasi suami istri yang ikut didengar oleh
anak). Gaya bicara istri yang merajuk manja dan berisi keluh kesah bisa membawa anak untuk
cengeng dan manja. Misalnya : "Aduuh panas ya Mas. Kenapa sih kok panas ..." Dari cara
pengucapan anak akan belajar cengeng dan manja, terlebih lagi isi keluhan membuat anak
menghayati hidup sehari-hari sebagai beban, tidak mensyukuri karunia Allah, anak belajar
memaknai rasacapek, ganjalan dsb sebagaimana ia mengidentifikasi dari orangtuanya. Tentu saja
hipotesis ini adalah simplifikasi dari kompleksitas faktor-faktor yang mempengaruhi sikap anak
menjadi manja. Tetapi perlu kitacermati bahwa apa yang kita(baca: orang tua) lakukan,katakan
adalah cermin pertama bagi anak unruk mengidentifikasi,belajar memaknai apa yang terjadi di
sekelilingnya.

Wallahu 'alam.

Menciptakan Kenyamanan Komunikasi Suami-istri

14 Oktober 2013 16:59 Diperbarui: 24 Juni 2015 06:32 5055 0 0

Menciptakan Kenyamanan Komunikasi Suami-istri

13817447492081747941

Di antara hal yang sangat vital perannya dalam menjaga keharmonisan kehidupan rumah tangga adalah
interaksi dan komunikasi yang sehat antara seluruh anggotanya. Suami dan isteri harus mampu
membangun komunikasi yang indah dan melegakan, demikian pula orang tua dengan anak, serta
sesama anggota keluarga.

Banyak permasalahan kerumahtanggaan muncul akibat tidak adanya komunikasi yang aktif dan intensif
antara suami dengan isteri. Banyak hal yang didiamkan tidak dibicarakan, sehingga menggumpal
menjadi permasalahan yang semakin membesar dan sulit diselesaikan. Padahal Allah Ta’ala telah
memerintahkan kepada para suami agar berkomunikasi dan berinteraksi secara bijak kepada isterinya:

"Dan bergaullah dengan mereka secara makruf. Kemudian bila kamu tidak menyukai mereka, (maka
bersabarlah) karena mungkin kamu tidak menyukai sesuatu padahal Allah menjadikan padanya kebaikan
yang banyak" (An Nisa': 19).

Syaikh Muhammad Abduh menjelaskan maksud ayat di atas, "Artinya wajib bagi kalian wahai orang-
orang mukmin untuk mempergauli isteri-isteri kalian dengan bijak, yaitu menemani dan mempergauli
mereka dengan cara yang makruf (baik) yang mereka kenal dan disukai hati mereka, serta tidak
dianggap mungkar oleh syara', tradisi dan kesopanan”.

“Maka mempersempit nafkah dan menyakitinya dengan perkataan atau perbuatan, banyak cemberut
dan bermuka masam ketika bertemu mereka, semua itu menafikan pergaulan secara makruf.
Diriwayatkan dari salah seorang salaf bahwa dia memasukkan ke dalam hal ini perihal laki-laki berhias
untuk isteri dengan sesuatu yang layak baginya, sebagaimana isteri berhias untuknya", tulis Abduh.

Termasuk dalam kategori ini adalah ketrampilan berbicara, mendengarkan, bergurau atau bercanda,
tertawa, respon dan empati, juga ketrampilan berlaku romantis. Demikian pula ketrampilan
mengungkapkan perasaan, menyatakan kecintaan dan kasih sayang, memahami perasaan pasangan.
Karena ini semua akan menyenangkan hati dan perasaan isteri.

Komunikasi yang Menyenangkan

Komunikasi dianggap berhasil apabila pesan yang diinginkan sampai dengan tepat kepada pasangan, dan
menimbulkan suasana menyenangkan. Bukan komunikasi yang membuat takut, tegang, sehingga pesan-
pesan inti tidak bisa sampai dengan tepat kepada pasangan. Bukan pula komunikasi formalitas, sekedar
menyampaikan pesan tanpa mempertimbangkan kenyamanan pasangan. Semestinyalah suami dan
isteri berada dalam suasana yang santai, nyaman, tenang dan senang saat melakukan komunikasi.

Ada banyak faktor yang berpengaruh dalam membangun komunikasi yang menyenangkan antara suami
dan isteri. Namun dalam kesempatan kali ini, saya hanya akan menyampaikan tiga faktor saja, yaitu
pengetahuan, kultur (kebiasaan) dan ketrampilan.

1. Faktor Pengetahuan

Ini bukan hanya menyangkut ilmu komunikasi, namun lebih penting dari itu adalah pengetahuan yang
mendalam tentang pasangan. Semakin kita mengetahui kondisi pasangan kita, akan semakin
memudahkan dalam melakukan komunikasi.

Untuk bisa berkomunikasi dengan baik, diperlukan pengenalan; sebagaimana kata orang bijak tak kenal
maka tak sayang. Maka hendaklah kita selalu belajaruntuk mengenali pasangan hidup masing-masing.
Apa yang menyenangkan dirinya, apa yang membuat sedih dan marah. Apa yang disukainya, dan apa
yang membuatnya benci dan jijik. Apa tanda ia suka, apa tanda ia benci. Apa tanda ia gembira, apa
tanda ia sedih. Apa indikasi ketenangannya, dan apa indikasi kegelisahannya. Kata-kata apa yang ingin
didengar, dan kalimat apa yang tak ingin didengar.

Namun darimana pasangan hidup mengetahui tentang diri kita? Banyak orang yang membiarkan
pasangan hidupnya membaca dan menebak sendiri segala sesuatu, hingga ia akan paham dan mengerti
dengan sendirinya tanpa harus diberitahu. Cara seperti ini merupakan proses pengenalan yang kelewat
panjang dan menghabiskan energi.

Semestinyalah suami dan isteri selalu berusaha terbuka kepada pasangan, menyampaikan segala
sesuatu secara leluasa, apa adanya, tentang makanan dan buah-buahan kesukaan, tentang warna baju
kesayangan, tentang lagu yang disukai, dan hobi yang ditekuni. Satu persatu, berbicara dan
menyampaikan kepada pasangan, dari merk shampo, sabun mandi cair, sikat dan pasta gigi, make up,
pembersih kulit, lulur dan alas bedak. Tentang hobi renang dan mendaki gunung. Tentang tokoh-tokoh
kenegaraan, artis kesayangan, penulis-penulis besar dunia. Soal jumlah anak, nama-nama anak, dan
jenis kelamin yang dikehendaki.
Apa saja bisa diobrolkan bersama, bahkan afiliasi organisasi dan partai politik, dan apapun lah yang ingin
diceritakan. Lepaskan kendala yang menekan perasaan, ceritakan semua yang perlu diketahui pasangan.

Kita bisa dengan cepat belajar mengetahui kondisi pasangan dari proses keterbukaan yang melegakan.
Jika suami dan isteri mengetahui dengan detail kondisi pasangan, akan semakin membuatnya mengerti
bagaimana cara yang tepat untuk berkomunikasi. Tak selamanya harus menggunakan komunikasi
verbal, kadang kita bahkan harus menggunakan komunikasi non verbal untuk menyampaikan pesan
tertentu. Semakin intensif keterbukaan antara suami dan isteri, akan membuat mereka semakin
mengetahui situasai dan kondisi pasangan.

Jika suami dan isteri tidak saling mengenal, tidak saling mengetahui dan mengerti kondisi pasangan,
akan membuat mereka kaku dan formalistik dalam berkomunikasi. Sering terjadi komunikasi searah,
atau komunikasi yang tidak efektif karena pesan tidak sampai dengan tepat, terjadi bias, dan bahkan
berada dalam suasana yang tidak menyenangkan karena ketidaktepatan komunikasi.

2. Faktor Kultur dan Kebiasaan

Ada banyak realitas yang menggambarkan betapa kultur masyarakat di sebuah tempat berbeda dengan
tempat lainnya. Konstruksi budaya masyarakat yang tercipta dari hasil interaksi antara manusia yang
satu dengan lainnya, antara manusia dengan alam, dan respon mereka atas gejala-gejala kehidupan di
alam sekitar, telah mempengaruhi corak dan karakter kemanusiaan dalam berbagai sisinya. Bukan hanya
warna kulit, postur tubuh, bahasa maupun makanan mereka yang berbeda, akan tetapi cara pandang,
pola hidup, hingga cara berkomunikasi dan mengemukakan pendapat serta keinginan, yang juga tidak
sama.

Sangat mudah untuk memahami pernyataan-pernyataan di atas. Di Indonesia, ada sekelompok


masyarakat yang memiliki kultur ewuh pekewuh (sungkan) yang sangat tinggi. Dampaknya, mereka
tidak terbiasa dengan ungkapan-ungkapan vulgar, akan tetapi lebih suka menggunakan simbol-simbol
dalam menyatakan keinginan. Ada pula masyarakat yang terbiasa menyatakan keinginan apa adanya,
tanpa harus dibuat-buat atau ditutup-tutupi. Seakan-akan mereka tidak mengenal istilah sungkan atau
perasaan tidak enak.

Kita dengan mudah dan jelas mengenal adanya perbedaan cara dan gaya komunikasi dari suku atau
etnis yang berbeda. Antara orang Jawa, Sunda, Batak, Madura, Bugis, Buton, Makassar, Melayu, Betawi
dan suku-suku lainnya, semua memiliki corak yang khas dalam berkomunikasi. Hal ini harus dikenali dan
dimengerti, agar tidak menimbulkan salah paham ketika berkomunikasi antara suami dan isteri yang
berbeda suku.

Pada sekelompok masyarakat Barat, tampak budaya komunikasi yang ekspresif. Mereka terbiasa
mengungkapkan perasaan hati secara verbal, seperti kebiasaan mengucapkan kalimat “I love you”
kepada pasangannya. Mereka mengungkapkan hal itu sebagai sebuah kebiasaan tanpa perasaan
canggung, karena adanya pembiasaan yang terjadi dalam waktu yang lama. Sebagaimana juga mereka
bisa mengatakan “I hate you” secara ekspresif, atau “I’m sorry”.

Pada sebagian masyarakat baik di Indonesia maupun di tempat lainnya, tampak ada kondisi yang sedikit
berbeda. Seseorang yang mengetahui dan merasa dirinya salah, belum tentu bisa mengungkapkan
permintaan maaf secara tulus ikhlas. Seorang suami yang merasa dirinya salah, belum tentu mau dan
mampu mengatakan permintaan maaf kepada isterinya, apalagi ketika sang isteri secara ketus
menuduhnya melakukan kesalahan. Rupanya, banyak pula masyarakat yang berkategori “hard to say I’m
sorry”. Amat sulit meminta maaf.

Pada sebagian masyarakat, lebih mudah menampakkan ekspresi marah dan tersinggung, daripada
ekspresi rindu atau tersanjung. Sebagaimana seorang suami yang merasakan luapan kecintaan kepada
isteri, belum tentu ia bisa mengungkapkan perasaan tersebut secara tepat. Kadang perasaan rindu,
cinta, gembira dan lain sebagainya disimpan saja di dalam hati, tanpa berusaha mengekspresikan secara
verbal, misalnya dengan mengungkapkan “Dik, aku sangat mencintaimu”, atau, “Dik, aku sangat
merindukanmu. Aku kangen banget padamu”, atau ungkapan lain semacam itu. Namun tiba giliran
marah, ia sangat ekspresif dalam menampakkan kemarahan.

Perbedaan-perbedaan tersebut, ada yang disebabkan oleh karena kultur makro yang memang tidak
sama antara suatu daerah dengan daerah lainnya, atau kultur mikro di rumah tangga tempat ia
dibesarkan, namun ada pula yang disebabkan oleh karena perbedaan sudut pandang “laki-laki dan
perempuan”. Karakter kedaerahan dalam membentuk pola komunikasi ini, telah ditemukan sejak zaman
kenabian. Ada perbedaan antara wanita-wanita Makah dengan Madinah dalam hal komunikasi
terhadap suami mereka.

Ibnu Abbas r.a. meriwayatkan dari Umar bin Khathab r.a., bahwa Umar r.a. berkata, “Kami—kaum
Quraisy—dapat menguasai kaum wanita, tetapi ketika kami bertemu kaum Anshar, ternyata mereka
kaum yang terkalahkan oleh kaum wanitanya. Maka istri-istri kami mulai meniru adab wanita-wanita
Anshar. Ketika misalnya aku membentak istriku, ia balik mengkritikku….”

Umar bin Khathab menjelaskan bahwa para wanita Makah cenderung “didominasi” oleh kaum lelaki,
sebaliknya para wanita Madinah cenderung “mendominasi” suami mereka. Inilah corak kultural yang
berbeda antara Makah dengan Madinah. Rata-rata wanita Madinah bersifat ekspresif dalam
mengungkapkan pendapat dan keinginan. Mereka mengungkapkan dengan vulgar, sehingga berbagai
pendapat mereka dengan mudah bisa ditangkap dan dijadikan rujukan. Telah banyak riwayat yang
menunjukkan kecenderungan ini.

Umar bin Khathab ra menunjukkan kecenderungan tersebut, “Maka istri-istri kami mulai meniru adab
wanita-wanita Anshar. Ketika misalnya aku membentak istriku, ia balik mengkritikku….” Ungkapan ini
menunjukkan, bahwa selama isteri Umar masih di Makah dan belum berinteraksi dengan wanita
Madinah, ketika dimarahi atau dibentak, ia cenderung diam dan menerima begitu saja perlakuan
suaminya. Akan tetapi setelah berinteraksi dengan kultur Madinah, isteri Umar mulai berani
menampakkan reaksi atas bentakan suami, sebagaimana rata-rata perilaku wanita Madinah terhadap
suami mereka.

Para sahabiyat Nabi saw memiliki pola komunikasi suami isteri yang berbeda karena adanya kebiasaan
yang tidak sama antara Makah dengan Madinah. Hal ini memberikan petunjuk kepada kita bahwa corak
komunikasi sangat dipengaruhi oleh kebiasaan-kebiasaan yang berkembang di masyarakat secara turun
temurun. Akan tetapi, kebiasaan ini bisa berubah oleh karena interaksi multikultur, sehingga terbentuk
kebiasaan-kebiasaan baru dalam kehidupan manusia.

Demikian juga, corak komunikasi bisa dipengaruhi oleh sudut pandang “laki-laki dan perempuan”. Ada
karakter yang tidak sama antara rata-rata lelaki dan perempuan dalam berkomunikasi dan
mengungkapkan pendapat. Kebanyakan wanita memiliki kecenderungan yang lebih ekspresif dalam
mengungkapkan keinginan dibandingkan lelaki, dan kebutuhan mereka akan komunikasi verbal lebih
tinggi daripada lelaki.

Pada sisi yang lain, lelaki lebih cenderung menggunakan potensi akalnya, sedangkan wanita lebih
cenderung menggunakan potensi perasaan dalam berkomunikasi. Tentu saja pilihan kosa kata dan
pemaknaannya tidak selalu sama persis: antara pikiran lelaki dengan perasaan wanita. Kadang mereka
menggunakan kosa kata yang sama, akan tetapi memiliki pemaknaan yang berbeda. Jika perbedaan
kecenderungan ini tidak dipahami dengan baik, akan bisa menjadi pemicu pertengkaran yang hebat,
bahkan konflik yang berkepanjangan antara suami dengan isteri.

3. Faktor Ketrampilan

Sangat penting bagi kita untuk memiliki ketrampilan berkomunikasi. Yang dimaksud dengan komunikasi
bukan hanya bab ketrampilan berbicara, maka termasuk kategori ketrampilan komunikasi adalah
ketrampilan mendengar pembicaraan, ketrampilan merespon secara positif, ketrampilan memahami
pembicaraan pasangan, ketrampilan memahami mimik wajah dan ekspresi dalam komunikasi. Semua
hal itu bisa dipelajari dan bisa dipraktekkan sehingga tumbuh menjadi ketrampilan.

Namun pembelajaran yang paling cepat adalah dengan mempraktekkan dalam kehidupan sehari-hari.
Mulailah dari diri anda, tidak perlu menunggu pasangan anda memintanya. Ucapkan kalimat yang
disenanginya. Lakukan perbuatan yang disenanginya. Itulah awal ketrampilan berkomunikasi, dan akan
membuat ketrampilan anda meningkat dari satu waktu ke waktu berikutnya.

Mulailah membuka diri, menyatakan perasaan, menyampaikan keinginan di hadapan pasangan.


Bertanyalah tentang segala sesuatu yang perlu anda ketahui dari pasangan. Mendengarkan dengan
seksama pembicaraan pasangan. Mencoba mengerti pesan apa yang disampaikan dari tangisan isteri.
Mengetahui bagaimana cara berkomunikasi saat sedang berada dalam kondisi tidak nyaman berbicara,
dan seterusnya. Semua ketrampilan itu bisa dimiliki dengan pembiasaan sehari-hari. Terus belajar, terus
berusaha, terus berupaya menguasai ketrampilan berkomunikasi.

Semuanya mudah kita dapatkan, asalkan kita mau mengupayakan. Kuncinya tetap berada dalam diri kita
sendiri. Maka, mulailah dari diri sendiri. Mari menciptakan komunikasi yang menyenangkan bersama
pasangan.

Anda mungkin juga menyukai