Anda di halaman 1dari 4

PERIODE KEBANGKITAN

A. Kondisi awal pada masa kebangkitan fikih


Periode ini, menurut Hasbi ash-Shidiqy, disebut juga dengan periode Renaissance,
berlangsung sejak abad ke-7 H sampai sekarang (abad ke-20 M). bid’ah dan mengajak umat
Islam untuk kembali kepada al-Quran dan as-Sunnah, Disebut periode kebangkitan fiqih karena
pada masa ini, timbul ide, usaha, dan gerakan-gerakan pembebasan dari sikap taklid yang
terdapat dalam uamat Islam dan dalam ilmu pengetahuan Islam, Gerakan ini timbul setelah
munculnya kesadaran umat Islam akan adanya kelemahan dan kemunduran kaum muslimin
yang disebabkan oleh adanya penetrasi Barat dalam berbagai bidang kehidupan sehingga
menimbulkan gerakan-gerakan keagamaan diberbagai negeri islam. Diantaranya di Hijaz, pada
abad ke-13 H/18 M, muncul suatu gerakan yang dipelopori oleh Muhammad bin Abdul Wahhab
(w 1206 H). Gerakan ini menyerukan pembasmianserta amalan-amalan ulama sahabat dalam
mengamalkan ajaran-ajaran agama Islam. Gerakan ini kemudian diikuti oleh sejumlah gerakan
yang dipelopori beberapa ulama, seperti Muhammad bin Sanusi di Libiya dan Afrika Utara,
Jamaliddin al-Afghani dan Muhammad Abduh di Mesir, al-Mahdi di Sudan, K.H. Muhammad
Dahlan, H.A. Karim Amrullah, dan T.M. Hasbi ash-Shiddieqy di Indonesia, dan masih banyak
lagi.[1]
Pada dasarnya, gerakan ini menyeru pada kebangkitan umat Islam, pengusiran terhadap
penjajah, pengembangan ilmu pengetahuan islam, meninggalkan taklid buta dan bid’ah, dan
kembali pada ajaran al-Quran dan as-Sunnah, serta mengikuti metode ulama salaf (ulama sahat
dan ulama-ulama sebelum masa kemunduran). Seruan ini senada dengan apa yang telah
dikumandangakan oleh Ibnu Taimiyah dan Ibnu Qayyim pada periode yang lalu. Dengan usaha
mereka inilah, muncul corak baru dalam mempelajari fikih, yaitu kembali pada al-Quran dan as-
Sunnah dalam menyelesaikan masalah-masalah hokum sesuai dengan hajat dan perkembangan
masyarakat.
Majalah al-Urwat al-Wutsqa dan majalah al-Manar digunakan sebagai alat untuk
menyebarluaskan gagasan-gagasan tersebut keseluruh dunia Islam sehingga lahirlah ualam-
alama merdeka disetiap negeri Islam yang dianggap dapat memenuhi segala kebutuhan
masyarakat didalam masalah-masalah keagamaan.
Pengaruh yang ditinggalkan pada periode ini adalah
1. Usaha pengkajian dan penulisan kitab-kitab fiqih
2. Usaha menyusun hokum-hukum fiqihsecara system undang-undang tanpa membatasi diri
dengan suatu mazhab tertentu.
Metode pengkajian umumnya melalui system perbandingan, yaitu mempelajari pendapat
semua semua fuqaha dari semua mazhab, kemudian membandingkan satu sama lainnya dan
dipilih sayu pendapat yang dianggaplebih benar. Adapun cara penulisan pada periode ini
umumnya terpokus pada kajian hokum tertentu, seperti kitab kusus mengenai muamalat, jinayat,
dan sebagainya.
Usaha menyusun secara undang-undang sebenarnya sudah dilakukan sejak pemerintahan
Abbasiyah. Sebagai contoh, UU tentang keuangan (perpajakan) yang dikenal dengan kitab al-
Kharaj yang disusun oleh Abu Yusuf atas permintaan Khalifah Harun al-Rasyd. Usaha tersebut
pada masa ini lahir kembali dalam bentuk yang lebih nyata. Sebagai contoh, pada tahun 1293 H,
panitia pengodifikasian yang dibentuk oleh pemerintah kerajaan Usmani telah berhasil menyusun
kitab UU perdata yang terdiri dari 1985 pasal. Pada tahun 1328 H, disusun pula UU keluarga
yang diambil dari mazhab Hambali.

2.Aktifitas Ulama’ Terhadap Pengembangan Hukum Islam


Beberapa ulama’ bangkit menawarkan ide-ide pembaharuan (Reformasi) pemikiran
dengan gerakannya masing-masing. Secara garis besar ada dua kecendrungan atau trend
pembaharuan yang muncul pada saat ini. Pertama, trend Salafiah yaitu gerakan pembaruan yang
berbijak atas dasar Salafi. Gerakan ini berkecendrungan menghubungkan otoritas ulama’ abad
pertengahan (abad 2H) dan menyerukan perlunya kembali pada al-Qur’an dan Hadits (back to
Qaran and hadith) sebagai rujukan utama dalam perumusan hukum Islam.
Gerakan ini mucul di daerah Arabia yang di komandani olek Syekh Muhammad bin
Abdullah bin Adul Wahhab (1115-1206) gerakan ini di ilhami oleh ide-ide pemikirannya Ibnu
Taimiyah. Setelah mengalami pengembaraan panjang, ia mendakwahkan selogan baru “madzhab
al-Muwahhidun/Purifikasi”. Gerakan ini muncul sebagai reaksi terhadap paham tauhid yang
menurut mereka sudah banyak diselewengkan oleh umat sehingga banyak bercampur dengan
aliran dinamisme dan animisme yang mempercayai adanya kekuatan ghaib selain Allah yang
mengarah kepada tahayyul, bid’ah, dan churafat (TBC).
Di India, muncul seorang tokoh yang terkenal dengan pemikirannya yang radikal
yaitu Syekh Waliullah al-Dahlawi. Melalui karya monomentalnya “hujatu al-Bhalighah” ia
menyerukan perluya pembaruan hukum Islam melalui menyesuaian (adaptasi) ajaran Islam
dengan budaya lokal. Menurutnya, bahwa Islam mampu baradaptasi dengan situasi setempat dan
tuntutan zaman. Hal yang perlu dipegang dan dipertahankan adalah ajaran dasarnya yang
universal. Sedangkan interpretasi dan aplikasinya dapat berbeda-beda sesuai dengan situasi dan
kondisi. Di antara ide-ide yang ditawarkan adalah menterjemahkan al-Qur’an dengan bahasa
Persia.
Kedua, Trend Reformis, gerakan ini berupaya untuk melakukan pengkajian ulang
(renterpretasi) dan adaptasi hukum Islam dengan perkembangan dunia modern. Tokoh gerakan
ini antara lain, Jamaluddin al-Afghani (Istambul 1824-1897)dengan idenya “Pan Islamisme”
(persatuan seluruh Islam) dan pembaraan ilmu pengetahuan dengan memperluas kurikulum
lembaga-lembaga pendidikan. Menurun al-Afghani, bahwa mundur dan lemahnya umat Islam
disebabkan karena umat Islam tidak bersatu.1[4]
Gagasan lain yang tidak kalah penting adalah statemennya bahwa “ijtihad terbuka
kembali”. Ide pembaruan yang ditawarkan oleh al-Afghani mendapat sambutan yang positif dari
Muhammad Abduh di Mesir (1849) dan Rasyid Ridla di Libanon (1865).
Dalam bayak hal ide Muhammad Abduh inilah yang banyak diambil sebagai model
gerakan Keislaman di Indonesia, seperti pesis, muhammadiyah, dan al-Wasiliyah. Sebagaimana
Muhammad Abduh, Syekh Isma’il at-Taimi juga mengangkat ide-ide segar di Tunisia (awal abad
19M). dia mengajak kaum musliin di Tunisia untuk keluar dari jebakan keterasingan dan
kebuntuan. Semangat kebangkitan untuk keluar dari kejumudan dan kebekuan terus terkobar dari
masa kemasa, baik geakan yang cendrung salafiah maupum modern.
Musthafa Ahmad az-Zarqa mengemukakan bahwa, paling tidak, ada tiga cirri yang
mewarnai perkembangan pada periode ini.
1. Munculnya upaya pengkodivikasian fiqih sesuai dengan tuntunan situasi dan zaman
2. Upaya pengkodivikasian semakin luas, bukan saja di wilayah yurisdiksi kerajaan Turki Usmani,
tetapi juga diwilayah-wilayah yang ditak tunduk pada yurisdiksi Turki Usmani, seperti Suriah,
Palestina, dan Irak. Pengkodivikasian hokum tersebut tidak terbatas pada hokum perdata saja,
tetapi juga hokum perdana dan hokum administrasi Negara.
3. Munculnya upaya pengkodivikasian berbagai hokum fikih yang tidak terikat sama sekali dengan
mazhab fiqih tertentu. Hal ini didasarkan atas kesadaran ulama fiqih bahwa sesuatu yang terdapat
dalam suatu mazhab belum tentu dapat mengayomi permasalahan yang dihadapi ketika itu.

3.Pola Gerakan Ulama’ pada Masa Kebangkitan


Dalam pola gerakan ulama’ pasca kebangkitan ini terdapat empat pola utama yang
menonjol. Adapun empat pola utama tersebut yaitu: pertama, tradisionalism atau salafiyah. Ibnu
Taimiyah, as-Syaukani, Abdul Wahab, dan Ibnu Qoyim. Pendukung pola ini menekankan
keharusan kembali kepada al-Qur’an dan Sunnah mereka mengecam takhlid dan mendakwahkan
keharusan mengikuti para ulama’ salaf (sahabat dan thabi’in). karakteristik dari pola ini adalah
keteguhannya dalam memegang Sunnah dan pandangannya yang sangat literalis terhadap nash-
nash al-Qur’an. Gerakan ini menolak terhadap statemen bahwa ikhtilaf adalah ramat.

1[4] Ibid, hal.117


Penelitian yang dilakukan oleh pendukung pola ini membuktikan bahwa hadits Rasul
yang menyebutkan “ikhtilaf umatku adalah rahmat” dinyatakan maudlu’ dan tidak punya dasar.
Karena itu semua ikhtilaf harus dikembalikan pada al-Qur’an dan hadits, bukan pada pendapat
para fuqaha’. Kedua, Modernisme. Pola pemikiran ini dipelopori oleh sejumlah pemikir dan
sarjana muslim yang sebagian besar terdidik dalam alam pendidikan sekuler. Pendukung pola ini
mendakwahkan bahwa fiqih Islam tidak lagi mampu merespon berbagai perkembangan baru
yang mncul dan multidimensi kebutuhan kepentingan manusia.2[5] Ketiga, Survivalisme.
Pendukung pola ini bercita-cita membangun pemikiran fiqih yang sudah ada. Keluasan tsarwah
fiqhiyah harus dikembangkan dan bukan malah dikorbankan. Keempat, Neo-survivalisme.
Gerakan ini menawarkan fiqih perkembangan dengan mengadakan pendekatan transvormatif
yaitu menggabungkan pemahaman sejarah hukum Islam dengan sosiologi hukum. Menurut
pendukung pola ini, kegagalan fuqaha’ selama ini karena mereka kurang memperhatikan
perubaha yang terjadi masyarakat dengan kondisi hukum, sehingga terjadi kesenjangan antara
fiqih secara teoritis dengan realita di masyarakat secara praktis.

2[5] Ibid,hal.118

Anda mungkin juga menyukai