Selaku masyarakat yang sadar akan kekayaan budaya yang dimiliki, bangsa Indonesia
khususnya masyarakat yang berdomisili di belahan Selatan Pulau Sulawesi memiliki warisan
budaya yang menjelma dalam berbagai bentuk ritual budaya yang masih terjaga eksistensinya
hingga saat ini ditengah modernisasi dan teknologi yang tidak menutup kemungkinan akan
Salah satu ritual budaya masyarakat Sulawesi Selatan, terkhusus lagi bagi masyarakat
di Kabupaten Takalar adalah warisan budaya yang tercermin dalam pelaksanaan upacara adat
Je’ne’-Je’ne Sappara adalah istilah yang berasal dari bahasa setempat (bahasa
Jeneponto) untuk menyebutkan suatu pelaksanaan upacara adat yang dilaksanakan oleh
segi bahasa, Je’ne’-Je’ne Sappara itu sendiri berarti mandi-mandi di bulan safar.
Berdasarkan pengetian tersbut, kita dapat menangkap makna tersirat dari upacara tersebut
bahwa Je’ne’-Je’ne Sappara hadir sebagai ungkapan syukur masyarakat atas pencapaian
yang telah diperoleh selama kehidupannya yang tentunya tidak bisa lepas dari perjalanan
Safar dipenanggalan tahun Hijriah. Setiap tahunnya, kegiatan tersebut terlaksana dengan
kurun waktu selama satu pekan dan puncak acaranya bertepatan pada tanggal 14 Safar.
Sebagai upacara adat, tentunya kegiatan tersebut dipenuhi berbagai ritual yang menjadi
tradisi turun-temurun warga penganutnya dan tentunya memiliki nilai yang sangat penting
terdiri dari tiga dimensi, yaitu gunung, darat dan lautan yang lazim disebut Babana
Binangayya (Babana Tarowang). Wilayah ini dipimpin oleh seorang raja yang bergelar Kr.
Allu keturunan dari Cambang Gallung Ri Allu. Konon Cambang Gallung adalah manusia
berdarah putih dari tujuh bersaudara yang turun dari khayangan (Tumanurung Ri Allu).
Pada abad ke XV, Kerajaan Majapahit ingin menguasai kerajaan di semenanjung
Jazirah (Kerajaan Malaya) dan pernah menaklukkan Kerajaan Bali dan Bone di Sulawesi
Selatan. Bersamaan dengan itu pula, ia ingin menaklukkan kerajaan di Tanah Turatea yang
pada abad XV, terdapat perahu/kapal yang berlayar menuju pantai Tarowang lengkap dengan
perbagai peralatan perangnya. Namun pada saat itu, para nelayan setempat yang menyaksikan
kedatangan pasukan dari Kerajaan Majapahit tersebut, langsung menghadap kepada sang
Raja untuk melaporkan hal tersebut. Mendengar laporan tersebut, Kr. Allu seketika mengajak
rakyatnya menuju perkampungan nelayan di pesisir pantai yang diberi nama dengan Pao, dari
cahayanya. Ketika itu, para nelayan sedang memanen ikan balle-balle, salah satu spesies ikan
yang sangat familiar bagi nelayan setempat. Ikan ini merupakan spesies yang memiliki
bentuk yang memanjang menyerupai Mandau/Kalewang, yaitu benda tajam yang berupa
parang memanjang yang bisaa digunakan oleh masyarakat setempat. Karena sinar bulan
purnama yang terang, ikan balle-balle yang dipanen masyarakat ketika itu, laksana kalewang
yang berkilauan jika disaksikan dari kejauhan. Hal ini ternyata mengelabui para pasukan
sebagai Kr. Jawayya bersama bala tentaranya ternyata tertipu dengan kondisi yang mereka
saksikan dari kejauhan. Mereka menyangka bahwa kedatangan mereka untuk menyerang dan
menguasai kerajaan di Tanah Turatea telah disambut dengan kesiapan masyarakat setempat
yaitu dengan hadirnya pagar betis yang dilengkapi dengan kalewang di tangan masing-
masing.
Keinginan dan niat busuk dari pasukan Kerajaan Majapahit pun akhirnya reda bahkan
hilang sama sekali. Pasukan yang dipimpin Sultan Soul akhirnya tak bisa berkutik. Kondisi
tersebut semakin diperparah dengan pecahnya kapal yang ditumpangi oleh bala tentaranya
hingga mereka meyerah tanpa melakukan perlawanan. Kala itu, pasukan Kerajaan Majapahit
meyerah dengan meminta tempat agar para anak buah kerajaan dapat menaruh barang-barang
miliknya berupah tanah seluas gubangan kerbau. Namun sebelum barang-barang milik
mereka diturunkan, mereka ingin mengetahui kerajaan apa gerangan yang mereka akan
mengatakan taroangi baranna (turunkan barangnya). Hal itu sebagai pertanda bahwa ia
setuju dengan permintaan dari Sultan Soul. Mendengar perkataan dari Kr Allu, Sultan Soul
akhirnya salah faham dan menyangka bahwa kerajaan ini bernama Kerajaan Tarowang. Sejak
saat itulah, kerajaan Kr. Allu selaku Raja di beri gelar Kr. Tarowang, dan sebaliknya Sultan
Soul di gelar sebagai Kr. Jawayya, yang berarti raja dari Pulau Jawa.
Setelah Sultan Soul mengetahui bahwa permintaannya dikabulkan, mereka
mengambil sehelai kulit kerbau dan diiris-iris memanjang menyerupai tali, yang sekarang
disebut darrisi oleh masyarakat setempat. Darrisi itu kemudian dibentangkan sebagai batas
wilayahnya, tepatnya di sebelah Barat sebuah sungai bercabang tiga yang disebut pangkana.
Di tempat itulah mereka berdomisili dan menyusun strategi untuk mengadakan peperangan
Jawayya kembali ingin menguasai Kerajaan Tarowang karena mereka mengganggap dirinya
dapat menaklukkan negeri ini dengan mudah. Keinginan tersebut akhirnya diwujudkan
dengan mengirimkan pemberani sebagai perwakilan kerajaan untuk melawan Kerajaan
Tarowang. Setelah Sultan Soul mengirim tubarani (pemberani) ke Kerajaan Tarowang, Kr.
Tarowang justru menanggapi dengan dalih bahwa percuma saja mengadakan perlawanan
terhadap mereka. Sementara mereka itu adalah pasukan yang pernah meyerah dan takluk
dibawa kekuasaan Kr. Tarowang. Akan tetapi demi menghargai tawaran Sultan Soul, akhirnya
sang raja menerima tawaran tersebut dengan mengadakan pertunjukan berupa mengadu
tubarani dari masing-masing kerajaan, dan barang siapa yang dikalahkan, maka kerajaannya
dinyatakan kalah.
Waktu berjalan begitu cepat. Setelah persiapan yang sangat matang, pertarungan
tubarani dari kedua kerajaan akhirnya digelar tepatnya pada malam bulan purnama di
penanggalan 14 Safar. Kala itu, tubarani dari Tarowang menggunakan keris pendek dari
kuningan yang telah diolesi racun ular berbisa, hanya sarungan keris tersebutlah yang terlihat
panjang. Sementara tubarani dari Kr. Jawayya menggunakan keris besar, sehingga pada saat
mencabutnya mengalami kesulitan dan pada saat itu juga, ia ditikam oleh lawannya. Dengan
sekejap, ia terkapar karena reaksi dari bisa beracun yang sangat dahsyat tersebut. Kematian
tubarani dari pihak Kr. Jawayya, menandakan kemenangan diraih oleh Kr. Tarowang.
Berawal dari kemenangan yang diraih oleh Kerajaan Tarowang kala itu, hingga saat
ini diperingatilah moment bahagia tersebut oleh masyarakat dengan acara yang disebut
Je’ne’- je’ne sappara yang dilaksanakan tepatnya pada tanggal 14 safar dipenanggalan tahun
Hijriah tiap tahunnya. Pelaksanaan acara tersebut bermula dari kepemimpinan raja II di
B. Kerangka Konseptual
masyarakat maritim atau lebih akrab disebut sebagai masyarakat bahari, tak terkecuali
mereka yang berdomisili di wilayah pesisir kabupaten Je’neponto. Secara umum masyarakat
bahari dimaksudkan sebagai, mereka yang mendiami wilayah pesisir atau pulau-pulau dan
sosialnya dalam jangka waktu yang lama dan telah membentuk kehidupan bersama yang
serasi dan “rasa kita” (we -feeling) diantara mereka. We feeling itu terwujud dalam interaksi
mereka dalam mengambil peran (role-taking) secara teratur dan saling bergantung satu sama
Sebagai sebuah realita sosial, masyarakat bahari hadir dengan segala unsur yang
menjadi bagian hidup mereka, singkatnya dapat ditarik sebuah benang merah bahwa
masyarakat bahari merupakan suatu kesatuan yang lahir dengan identitas budaya tersendiri
Jika kita tarik kembali ke akar permasalahan, yang menjadi objek kajian dalam hal ini
adalah masyarakat bahari. Disadari atau tidak masyarakat bahari hadir dengan berbagai
khazanah kebudayaan yang menjadi bagian terpenting dalam kehidupan mereka. Kebudayaan
bahari dipahami segala segala sesuatu yang terdiri dari berbagai komponen yang saling
terkait yang menjadi bagian dari sistem budaya masyarakat bahari. Salah satu hal yang bisa
kita temukan dalam komunitas mereka adalah hadirnya sistem religi ataupun kepercayaan
masyarakat yang telah dianut dan menjadi bagian urgen dalam kehidupan mereka. Hal itu
tercermin dari berbagai tradisi masyarakat yang dilakukan demi melanggengkan sebuah
Hal ini telah dikemukakan oleh pemerhati budaya, Kontjaraningrat yang dilansir dari
masyarakat bahari tampak dari perayaan ritual adat maupun acara kebaharian dalam
komunitas mereka. Salah satu ritual yang ditemui pada masyarakat bahari khususnya di
pesisir Kab. Jeneponto adalah hadirnya acara je’ne’-je’ne’ sappara sebagai sebuah tradisi
bahari sebagai wujud dari sistem kepercayaan yang dianutnya, sebagaimana dikemukakan
atau kepercayaan masyarakat. Sebagai suatu bagian dari komponen kebudayaan, sistem
kepercayaan memegang peranan penting dalam masyarakatnya. Hal itulah yang menjadi
landasan mengapa masyarakat bgitu kuat mempertahankan eksistensi sebuah tradisi dan adat
mereka.
Khazanah budaya bahari yang tergambar dari acara je’ne’-je’ne’ sappara, merupakan
sebuah nilai tambah yang dapat dikategorikan sebagai eujud modal sosial bagi masyarakat
pesisir pantai Desa Baltar. Telah dipahami bahwa modal sosial merupakan pengetahuan yang
eksplisit yang muncul dari periode panjang yang berevolusi bersama-sama masyarakat dan
lingkungannya dalam sistem lokal yang sudah dialami bersama-sama. Proses evolusi yang
begitu panjang dan melekat dalam masyarakat dapat menjadikan modal sosial sebagai sumber
energi potensial dari sistem pengetahuan kolektif masyarakat untuk hidup bersama secara
ditimbulkan yang dapat dilihat dari fungsi pelaksanaan acara tersebut. Hal itu juga menjadi
alasan mengapa hingga saat ini acara je’ne’-je’ne’ sappara masih terus digaungkan di tengah
masyarakat bahari di pesisir Desa Baltar sekalipun masa telah membawa perubahan dalam
dunia teknologi dan sains yang semakin kompleks dan canggih, hal itu tak lantas meredam
dan menciutkan nyali dari masyarakat setempat untuk melanggengkan acara semacam itu
karena menurut mereka hal tersebut merupakan sebuah wujud social capital yang layak untuk
Upacara Tradisional Masyarakat Nelayan di Mamuju (2009), bahwa fungsi sosial dari sebuah
adat/tradisi masyarakat, pranata dan tingkah laku manusia dibedakan dalam tiga tingkat
abstraksi, yaitu : Fungsi sosial dari suatu adat, pranata sosial atau unsur kebudayaan pada
tingkat abstraksi pertama mengenai pengaruh atau efeknya terhadap adat, tingkah laku
lain untuk mencapai maksudnya, seperti yang dikonsepsikan oleh warga masyarakat yang
bersangkutan. Fungsi sosial dari suatu adat pranata sosial atau unsur kebudayaan pada tingkat
abstraksi kedua mengenai pengaruh dan efeknya terhadap kebutuhan mutlak untuk
menambah keterikatakan antara satu dengan yang lainnya. Selain itu perayaan acara tersebut
menjadi tolak ukur rasa syukur atas berkah yang diperoleh masyarakat setempat dan sebagai
pengharapan masyarakat agar ia dapat terhindar dari berbagai bencana selama menjalankan
kehidupannya sehari-hari.
Auguste Comte telah mengungkapkan di awal perkembangan sosiologi yang mencoba
menggambarkan tahap perkembangan manusia yang berawal dari tahap teologis, metafisik
dan postivistik. Dari uraian Comte, kita dapat mendeskripsikan secara singkat bahwa
masyarakat bahari yang berdiam di pesisir Desa Baltar ini belum mampu pada tahap berfikir
positif karena mereka masih menganut kuat kepercayaan-kepercayaan leluhur mereka, yakni
2010: 350).
Hal yang akan ditekankan disini adalah upacara ataupun ritual adat yang dianut oleh
sebuah komunitas terkhusus mereka yang menjadi bagian dari komunitas bahari tak serta
merta dapat dihilangkan begitu saja seiring perkembangan zaman, hal itu dikarenakan adanya
fungsi/dampak dan nilai yang diperoleh dari ritual semacam itu sebagai suatu khazanah
budaya yang akan dijaga eksistensinya di tengah masyarakat dan akan diwariskan kepada
anak cucu mereka kelak.Gambaran uraian di atas dapat diuraikan dalam sebuah skema
sebagai berikut:
MASYARAKAT BAHARI
METODOLOGI PENELITIAN
Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Februari hingga April tahun 2012 di Desa
Dasar penelitian yang dilaksanakan adalah studi kasus, yaitu penelitian yang
digunakan dan dilakukan secara intensif terperinci dan mendalam terhadap suatu objek,
dalam hal ini terkait dengan kearifan lokal masyarakat bahari yang terwujud dalam acara
gambaran secara jelas dan sistematis terkait dengan objek yang diteliti demi memberii
informasi dan data yang valid terkait dengan fakta dan fenomena yang ada di lapangan.
Penelitian ini adalah penelitian antropologi yang memakai pendekatan kualitatif, yaitu suatu
perwujudan satuan gejala dalam kehidupan manusia atau biasa dikenal dengan pola-pola3.
Pendekatan ini dipakai untuk memperoleh data tentang pelaksanaan upacara mandi syafar.
Penelitian ini tipe deskriptif analitik, yaitu berusaha menggali dan menjelaskan realitas yang
kompleks. Permasalahan penelitian dipahami dan digambarkan sesuai dengan makna yang
diberikan oleh subjek penelitian (para peserta yang melakukan ritual mandi syafar, tokoh adat
dan agama sebagai informan kunci dalam penelitian ini), sehubungan dengan itu maka teknik
penjaringan data yang utama adalah observasi (pengamatan) dan wawancara bebas serta
mendalam.
bagaimana seluk-beluk acara je’ne’-je’ne sappara tersebut, khususnya dalam hal struktur
sosial acara tersebut serta bagaimana interpretasi masyarakat terkait pelaksanaan acara
tersebut. Hal-hal tersebutlah yang menjadi fokus dan dikaji serta dianalisis secara deskriptif
C. Informan Penelitian
Informan adalah pihak yang ditentukan oleh peneliti yang akan memberiikan
informasi terkait obyek yang akan diteliti. Penentuan informan dalam penelitian ini dilakukan
dengan teknik snowball, atau dikenal dengan teknik bola salju, yaitu penentuan informan
dengan mencari tahu siapa tokoh yang memiliki pengetahuan yang mapan terkait masalah
yang diteliti, kemudian informan yang terpilih tersebut menunjuk pihak lain lagi untuk
dijadikan informan selanjutnya. Begitulah proses penentuan informan hingga mendapatkan
Pihak-pihak yang menjadi informan dalam penelitian ini ada 7 (tujuh) orang, antara
lain:
1) Kepala Desa setempat yang berinisial SD (46 tahun). Beliau dipilih karena merupakan
penduduk asli yang notabene adalah pimpinan di desa Baltar. Tak hanya itu, ia juga
merupakan pihak yang terlibat langsung dalam pelaksanaan acara je’ne’-je’ne sappara.
2) Tokoh adat setempat yang disebut dengan istilah Tabbika oleh masyarakat setempat.
seluk-beluk acara karena ia merupakan menjadi juru kunci dalam pelaksanaan acara
je’ne’-je’ne sappara.
3) Tokoh masyarakat yang merupakan pihak-pihak yang banyak mengetahui latar historis
pelaksanaan acara je’ne’-je’ne sappara karena mereka tak lain adalah keturunan darah
biru atau memiliki pertalian darah dengan Raja yang pernah berkuasa di Kerajaan
Tarowang. Informan ini antara lain AS (59 tahun) yang merupakan anak dari Raja
Tarowang dan AW (53 tahun), keturunan darah biru yang juga merupakan inisiator
4) Pelaksana acara je’ne’-je’ne sappara, yakni informan yang berinisial AP (59 tahun)
dan AG (44 tahun). Mereka merupakan pihak yang terlibat langsung dalam pelaksanaan
5) Penduduk asli yang mendiami lokasi penelitian yang berinisial HD (70 tahun).
Perempuan satu ini adalah informan yang tiap tahunnya menyaksikan secara langsung
dan data sekunder dengan teknik pengumpulan data yang berbeda. Berikut uraian teknik
Data Primer
1. Observasi (observation)
dan khazanah kekayaan social capital yang dimiliki oleh masyarakat di Desa Baltar,
sebenarnya di luar jadwal pelaksanaan penelitian. Karena pada saat acara tersebut
karena itu, observasi yang dilakukan peneliti ketika itu tidak didukung oleh
diselenggarakan dipesisir pantai desa setempat. Tak cukup sampai disitu, peneliti
satu pendukung terwujudnya validitas data yang diperoleh dari penelitian yang
dilakukan.
2. Wawancara Mendalam (indepth interview)
Demi memperoleh data dan informasi yang dibutuhkan, peneliti dalam hal ini
telah melakukan wawancara secara intens kepada informan yang telah ditentukan.
data yang relevan dalam penelitian ini, peneliti telah melakukan beberapa kali
proses wawancara secara intens kepada para informan antara lain kepada kepala
desa, tokoh masyarakat, pemuka adat, pelaksana acara ataupun kepada mereka yang
teknik snowball, selain didukung dengan adanya pedoman wawancara, peneliti juga
menggunakan alat bantu berupa alat perekam demi mengabadikan informasi yang
dengan beberapa hambatan mendasar. Hal-hal yang dinilai menjadi kendala atau
penghambat dalam mendapatkan informasi yang dibutuhkan oleh peneliti antara lain
keterbatasan peneliti dalam memahami beberapa kosa kata bahasa lokal yang
bahasa Indonesia. Hal tersebut dapat dilihat ketika peneliti diperhadapkan dengan
informan yang berinisial HD, seorang perempuan yang merupakan penduduk asli di
setiap tahunnya.
Kendala yang dihadapi peneliti tak hanya seputar kesulitan dalam memahami
bahasa lokal yang digunakan oleh informan. Peneliti pun terkendala dengan
keterbatasan yang dimiliki oleh salah satu informan yang merupakan tokoh penting
yang mampu memberii banyak informasi terkait masalah yang diteliti. Informan
yang berinisial KD yang notabene berprofesi sebagai seorang pemuka adat yang
indera pendengaran karena usianya yang telah beranjak senja. Hal tersebutlah yang
juga menjadi kendala bagi peneliti dalam menjalin komunikasi yang efektif dengan
informan tersebut.
Hambatan ataupun kendala yang ditempuh saat berada di lokasi penelitian tak
serta-merta menyurutkan niat dan kerja keras yang ditempuh oleh peneliti. Hal
tersebut justru menjadi tantangan tersendiri yang kian memicu adrenalin peneliti
untuk mencari alternatif sehingga hal tersebut tidak menjadi faktor yang akan
untuk mencari bantuan dari beberapa pihak khususnya kepada pemuda desa dan
kepada sanak keluarga yang sedikit banyaknya memahami bahasa lokal di desa
tersebut. dengan upaya seperti itu, akhirnya peneliti mampu melewati beberapa
diperhadapkan dengan kendala tersebut. Satu kendala yang juga menjadi catatan
mengharuskan mereka mesti ke luar kota. Misalnya untuk informan yang berinisial
AW (53 tahun), yang juga berprofesi sebagai seorang jurnalis yang memimpin
sebuah redaksi di luar kota, terkadang sulit untuk ditemui. Selain itu, SD yang
berperofesi sebagai Kepala Desa setempat, juga terkadang ke luar kota dalam
jangka waktu tertentu untuk melakukan perjalanan dinas dan lainnya. Kondisi
informan yang terkadang mendadak dan perlu untuk dihadiri sehingga mau tidak
satu hal yang menjadi kendala utama bagi peneliti adalah akses jarak yang terbilang
cukup jauh dari tempat peneliti berdomisili yakni di Kabupaten Bantaeng. Jadi bisa
para informan, peneliti mesti melalui jalur lintas kabupaten yang relatif cukup jauh
dan ditempuh kurang lebih 45 menit dari kediaman peneliti. Tak berhenti sampai
disitu, peneliti juga meski sabar dan berjuang untuk menaklukkan rasa lelah karena
mesti melalui jalur jalan raya yang kondisinya sangat memprihatinkan. Akses jalan
yang saat ini masih sementara berada dalam status perbaikan menjadi tantangan
kendala bagi pelaksanaan penelitian. Cuaca yang tak menentu, terkadang panas terik
yang seolah membakar kulit dan derasnya hujan yang mengguyur lokasi penelitian
menjadi tantangan tersendir yang kian menguji eksistensi peneliti. Namun dengan
tekad kuat, peneliti mampu melalui semua kendala tersebut dan menjadi satu catatan
Data Sekunder
Berangkat dari asumsi bahwa studi merupakan salah satu teknik pengumpulan
sappara.
Dalam hal ini, peneliti menggunakan berbagai sumber referensi berupa buku-
buku, laporan dari Badan Pusat Statistik Kabupaten Jeneponto tentang Jeneponto
Dalam Angka 2011 (Jeneponto In Figures 2011), laporan tentang Tarowang Dalam
Angka 2010 (Tarowang in Figures 2010), Profil Desa Baltar, artikel tentang upacara
adat, serta beberapa dokumen dan arsip yang berkaitan dengan masalah yang diteliti
seperti proposal kegiatan pesta adat je’ne’-je’ne sappara dan dokumen tentang
sejarah Kerajaan Tarowang yang merupakan arsip dari tokoh masyarakat yang
tahun ini yang diabadikan oleh peneliti sebagai data pendukung demi memperkuat
2) Internet Searching
mekanisme pengumpulan data yakni dengan mencari artikel dan materi-materi yang
terkait dengan masalah yang sedang di teliti dengan menggunakan media internet.
Teknik ini dilakukan peneliti khususnya dalam membantu peneliti untuk
memperkaya khazanah teoritis yang digunakan dalam penelitian ini. Oleh karena
itu, beberapa teori yang digunakan oleh peneliti dapat difahami dengan
mengunjungi berbagai situs ataupun website dan link yang terkait dengan masalah
yang dikaji.
Tekait dengan teknik yang satu ini, peneliti mengalami kendala berupa
langsung dengan masalah uapacara adat je’ne’-je’ne sappara, hal ini dikarenakan
acara tersebut merupakan sebuah acara yang masih belum memperoleh publikasi
sebagaimana pesta adat yang ada di daerah lain yang sudah menjadi ajang
pembicaraan banyak orang terlebih dalam media internet sekalipun. Namun kendala
itu tak menjadi kerikil tajam yang melumpuhkan langkah peneliti dalam mencari
Teknik analisis data yang digunakan peneliti dalam penelitian ini adalah teknik
analisis deskriptif kualitatif, yaitu data yang diperoleh dari hasil penelitian dengan
menggunakan beberapa teknik pengumpulan data yang telah dikemukakan sebelumnya, akan
dianalisis dengan metode menyusun data yang diperoleh kemudian diinterpretasikan dan
Secara lebih rinci, berikut akan diuraikan bagaimana tahapan yang dilakukan oleh
Mengorganisasikan data
Dalam tahap ini, data yang diperoleh peneliti dengan menggunakan berbagai teknik
khususnya dari hasil wawancara mendalam yang dituliskan dan direkam oleh peneliti,
kemudian dibuat transkipnya dengan mengubah data berupa rekaman menjadi data yang
tertera dalam bentuk uraian tertulis. Data yang diperoleh peneliti terkait acara je’ne’- je’nes
sappara dari semua informan yang terpilih, kemudian dibaca berulang-ulang oleh peneliti
Pengelompokan data
Pada tahap ini dibutuhkan pengertian yang mendalam terhadap data, perhatian yang
penuh dan keterbukaan terhadap hal-hal yang muncul di luar apa yang ingin digali.
Berdasarkan kerangka teori dan pedoman wawancara, peneliti menyusun sebuah kerangka
awal analisis sebagai acuan dan pedoman dalam melakukan coding. Dengan pedoman ini,
peneliti kemudian membaca kembali transkrip wawancara dan melakukan coding, melakukan
pemilihan data yang relevan dengan pokok pembicaraan. Data yang relevan diberi kode dan
Jadi pada tahap ini, semua data yang diperoleh peneliti di lapangan melalui beberapa
teknik pengumpulan data yang digunakan, dikelompokkan berdasarkan tipe yang dibutuhkan
oleh peneliti. Hal ini ditempuh untuk menentukan apakah data yang telah didapatkan bisa
menjawab rumusan masalah tentang struktur sosial dan interpretasi masyarakat terhadap
acara je’ne’- je’nes sappara ataukah tidak. Sehingga tahap ini menjadi bagian penting dalam
analisis data.
Setelah kategori data telah tergambar dengan jelas, peneliti menguji data terhadap
asumsi yang dikembangkan dalam penelitian ini. Pada tahap ini, kategori yang telah didapat
melalui analisis ditinjau kembali berdasarkan tinjauan teori yang digunakan, sehingga dapat
diuji apakah ada kesamaan antara landasan teoritis dengan hasil yang diperoleh.
Jadi pada tahap ini, peneliti melihat dari data yang dikelompokkan, apakah data
tersebut sesuai dengan asumsi yang dikembangkan oleh peneliti tentang acara je’ne’- je’nes
Dalam tahap ini, peneliti melakukan penjelasan terkait data yang telah diperoleh. Tak
hanya itu, peneliti juga mencari alternatif penjelasan lain karena bisa saja ditemukan adanya
hal baru yang berbeda dengan kesimpulan awal yang didapatkan atau menyimpang dari
asumsi terkait acara je’ne’- je’nes sappara yang semula dikembangkan peneliti dan tidak
pernah terfikirkan sebelumnya. Tahap penjelasan ini dibantu dengan berbagai referensi
teoritis untuk memudahkan peneliti dalam menarik sebuah kesimpulan penelitian.
Pada tahap ini peneliti mulai menuliskan hasil penelitian yang didapatkan di lapangan
gambaran acara je’ne’- je’nes sappara tersebut, khususnya terkait struktur sosial serta