Empiema Fix
Empiema Fix
Oleh :
FAKULTAS KEPERAWATAN
UNIVERSITAS ANDALAS
2017
LAPORAN PENDAHULUAN EMPIEMA
3. Manifestasi Klinis
Empiema dibagi menjadi dua stadium yaitu :
1. Empiema Akut
Terjadi sekunder akibat infeksi tempat lain, bukan primer dari
pleura. Pada permulaan, gejala-gejalanya mirip dengan pneumonia, yaitu
panas tinggi dan nyeri pada dada pleuritik. Pada pemeriksaan fisik
didapatkan adanya tanda-tanda cairan dalam rongga pleura. Bila stadium
ini dibiarkan sampai beberapa minggu maka akan timbul toksemia,
anemia, dan clubbing finger. Jika nanah tidak segera dikeluarkan akan
timbul fistel bronkopleura. Adanya fistel ditandai dengan batuk yang
makin produktif, bercampur nanah dan darah masif, serta kadang-kadang
bisa timbul sufokasi (mati lemas). Pada kasus empiema karena
pneumotoraks pneumonia, timbulnya cairan adalah setelah keadaan
pneumonianya membaik. Sebaliknya pada Streptococcus pneumonia,
empiema timbul sewaktu masih akut. Pneumonia karena baksil gram
negatif seperti E. coli atau Bakterioids sering kali menimbulkan
empiema.
2. Empiema Kronis
Batas yang tegas antara empiema akut dan kronis sukar ditentukan.
Disebut kronis jika empiema berlangsung selama lebih dari tiga bulan.
Penderita mengeluh badannya terasa lemas, kesehatan makin menurun,
pucat, clubbing fingers, dada datar, dan adanya tanda-tanda cairan pleura.
Bila terjadi fibrotoraks, trakea , dan jantung akan tertarik ke sisi yang
sakit.
Tanda-tanda empiema :
1. Demam dan keluar keringat malam.
2. Nyeri pleura.
3. Dispnea.
4. Anoreksia dan penurunan berat badan.
5. Pada auskultasi dada ditemukan penurunan suara napas.
6. Pada perkusi dada ditemukan suara flatness.
7. Pada palpasi ditemukan penurunan fremitus.
1. Demam
2. Keringat malam
3. Nyeri pleural
4. Dispnea
5. Anoreksia dan penurunan berat badan
6. Auskultasi dada, ditemukan penurunan suara napas
7. Perkusi dada, suara flatness
8. Palpasi , ditemukan penurunan fremitus
Tanda gejala empiema berdasarkan klasifikasi empiema akut dan
empiema kronis
a. Emphiema akut:
1. Panas tinggi dan nyeri pleuritik.
2. Adanya tanda-tanda cairan dalam rongga pleura.
3. Bila dibiarkan sampai beberapa minggu akan menimbulkan
toksemia, anemia, dan clubbing finger.
4. Nanah yang tidak segera dikeluarkan akan menimbulkan
fistel bronco-pleural.
5. Gejala adanya fistel ditandai dengan batuk produktif
bercampur dengan darah dan nanah banyak sekali.
b. Emphiema kronis:
1. Disebut kronis karena lebih dari 3 bulan.
2. Badan lemah, kesehatan semakin menurun.
3. Pucat, clubbing finger.
4. Dada datar karena adanya tanda-tanda cairan pleura.
5. Terjadi fibrothorak trakea dan jantung tertarik kearah yang
sakit.
5. Penatalaksanaan
1. Pengosongan Nanah
Prinsip ini seperti umumnya yang dilakukan pada abses, untuk mencegah
efek toksisnya.
2. Closed drainage – toracostomy water sealed drainage dengan indikasi :
Nanah sangat kental dan sukar diaspirasi
Nanah terus terbentuk setelah dua minggu
Terjadinya piopneumotoraks
Upaya WSD juga dapat dibantu dengan pengisapan negative sebesar 10-
20 cmH2O. Jika setelah 3-4 minggu tidak ada kemajuan, harus ditempuh
cara lain seperti pada empiema kronis.
3. Drainase terbuka (open drainage)
Karena menggunakan kateter karet yang besar, maka perlu disertai juga
dengan reseksi tulang iga. Open drainage ini dikerjakan pada empiema
kronis, hal ini bisa terjadi akibat pengobatan yang terlambat atau tidak
adekuat misalnya aspirasi yang terlambat atau tidak adekuat, drainase
tidak adekuat sehingga harus seing mengganti atau membersihkan drain.
4. Antibiotic
Mengingat kematian sebagai akibat utama dari sepsis, maka antibiotic
memegang peranan penting. Antibiotic harus segera diberikan begitu
diagnosis ditegakkan dan dosisnya harus tepat. Pemilihan antibiotic
didasarkan pada hasil pengecatan gram dan apusan nanah. Pengobatan
selanjutnya tergantung pada hasil kultur dan sensitivitasnya. Antibiotic
dapat diberikan secara sistematik atau tropical. Biasanya diberikan
penisilin.
5. Penutupan Rongga Empiema
Pada empiema menahun sering kali rongga empiema tidak menutup
karena penebalan dan kekakuan pleura. Pada keadaan demikian dilkukan
pembedahan (dekortikasi) atau torakoplasti.
6. Dekortikasi
Tindakan ini termasuk operasi besar, dengan indikasi :
Drain tidak berjalan baik karena banyak kantung-kantung.
Letak empiema sukar dicapai oleh drain.
Empiema totalis yang mengalami organisasi pada pleura
visceralis.
7. Torakoplasti
Jika empiema tidak mau sembuh karena adanya fistel
bronkopleura atau tidak mungkin dilakukan dekortikasi. Pada
pembedahan ini, segmen dari tulang iga dipotong subperiosteal,
dengan demikian dinding toraks jatuh ke dalam rongga pleura
karena tekanan atmosfer.
8. Pengobatan Kausal
Misalnya subfrenik abses dengan drainase subdiafragmatika,
terapi spesifik pada amoeboiasis, dan sebagainya.
9. Pengobatan Tambahan
Perbaiki keadaan umum lalu fisioterapi untuk membebaskan jalan napas.
Penanggulangan empiema tergantung dari fase empiema, yaitu :
1. Fase I (Fase Eksudat)
Dilakukan drainase tertutup (WSD) dan dengan WSD dapat dicapai
tujuan diagnostik terapi dan prevensi, diharapkan dengan pengeluaran
cairan tersebut dapat dicapai pengembangan paru yang sempurna.
2. Fase II (Fase Fibropurulen)
Pada fase ini penanggulangan harus lebih agresif lagi yaitu dilakukan
drainase terbuka (reseksi iga/ “open window”) . Dengan cara ini
nanah yang ada dapat dikeluarkan dan perawatan luka dapat
dipertahankan. Drainase terbuka juga bertujuan untuk menunggu
keadaan pasien lebih baik dan proses infeksi lebih tenang sehingga
intervensi bedah yang lebih besar dapat dilakukan. Pada fase II ini
VATS surgery sangat bermanfaat, dengan cara ini dapat dilakukan
empiemektomi dan/ atau dekortikasi.
3. Fase III (Fase Organisasi)
Dilakukan intervensi bedah berupa dekortikasi agar paru bebas
mengembang atau dilakukan obliterasi rongga empiema dengan cara
dinding dada dikolapskan (Torakoplasti) dengan mengangkat iga-iga
sesuai dengan besarnya rongga empiema, dapat juga rongga empiema
disumpel dengan periosteum tulang iga bagian dalam dan otot
interkostans (air plombage), dan disumpel dengan otot atau omentum
(muscle plombage atau omental plombage).
6. Komplikasi
Fibrosis pleura
Piopneumotorak
7. Patofisiologi
Empiema adalah adanya pus dalam rongga pleura. Penderita dengan
efusi parapneumonia yang tanpa disertai komplikasi ditangani dengan
antibiotika, cairan pleura dan fagosit akan resorbsi melalui sistem limfa di
subpleura, sedangkan membran mesotelial akan mengalami perbaikan. Jika
tidak ditangani dengan antibiotika, respons inflamasi dini tidak cukup untuk
mencegah penyebaran bakteri, dan efusi parapneumonia dapat terus berkembang
menjadi empiema dan berakhir ke stadium kronik. Selama empiema terus
berlanjut, akan terjadi perkembangan fibrosis pada ruang pleura. Adanya fibrosis
dalam ruang pleura menggambarkan suatu keadaan yang paling menyebabkan
kelemahan pada penderita empiema toraks. Bila fibrosis pleura terus berlanjut
akhirnya akan terjadi fibrotoraks. Mekanisme yang pasti terjadinya fibrosis
belum sepenuhnya dimengerti.
Membran pleura menghasilkan cairan pleura yang kemudian diserap
oleh saluran limfa yang terletak pada kedua lapisan pleura. Peningkatan produksi
cairan atau penurunan resorpsi cairan akan menyebabkan akumulasi cairan yang
patologis pada ruang pleura. Cairan pleura dapat berupa transudat, transudat
serofibrin, hemoragik, atau kilosa. Dengan pemeriksaan radiografi mungkin bisa
membedakan jenis-jenis cairan pleura. Pleurosentesis dapat dilakukan dibawah
petunjuk teknik pencitraan. Transudat pleura biasanya berwarna jernih,
kekuningan dan biasanya bilateral. Penyebab tersering adalah gagal jantung.
Penyebab lainnya dapat karena gagal ginjal, hipoproteinemia atau overtransfusi.
Eksudat dapat berwarna kuning kecoklatan atau purulen, dapat disebabkan oleh
tuberkulosis, infeksi paru atau pleura lainnya atau karena abses subfrenikus.
Penyebab lainnya adalah kanker paru dan penyakit jaringan ikat sistemik seperti
lupus eritematous sistemik atau rheumatoid arthritis.
Pada posisi tegak lurus, sedikit cairan akan berkumpul di sudut
kostofrenikus, pertama kali ke arah posterior kemudian ke lateral. Sepanjang
diafragma dan dada terisi dengan gambaran opak. Dimana selama volume cairan
terus bertambah maka secara bertahap akan semakin luas dan paru mengalami
perselubungan. jika tidak ditemukan kepastian antara cairan atau sisa infeksi
pleura yang mengalami pengentalan maka dapat diperjelas dengan pengambilan
film tambahan, yakni penderita dalam posisi dekubitus lateral, bila cairan maka
akan mengalir ke bawah mengikuti gravitasi. Cairan pleura dapat terkumpul
dalam kantong tertutup ( lokuli ) yang dibentuk oleh proses infeksi aktif dan
menghasilkan pus dalam jumlah yang besar, cairan pleura tidak hanya mengalir
secara pasif sepanjang dada pada batas cembung medial tapi juga menuju batas
cekung medial.
Hal ini mengarah kecurigaan pada empiema dimana dapat terjadi
hubungan antara pneumoni dengan abses paru. Empiema dapat menembus
pleura viseral dan terhubung dengan jaringan paru yang mengandung udara dan
cabang bronkial. Hubungan seperti ini dapat juga terjadi ketika suatu infeksi
pada paru menembus pleura.
B. LANDASAN TEORITIS ASUHAN KEPERAWATAN
1. Pengkajian
1. Identitas
a. Nama
b. Umur ( Terjadi pada segala umur, sering pada anak umur 2-9 tahun)
c. Suku/ bangsa
d. Agama
e. Alamat
f. Pendidikan
g. Pekerjaan
2. Riwayat kesehatan
3.Pola Gordon
5. Pemeriksaan penunjang
a) foto thorak
b) kultur darah
c) USG
d) Sampel sputum
e) Torakosenstesis
f) Pemeriksaan cairan Pleura
g) Hitung sel darah dan deferensiasi
h) Protein, LDH, glucose, dan pH
i) Kultur bakteri aerob dan an aerob, mikobakteri, fungi dan mikoplasma
DAFTAR PUSTAKA