Anda di halaman 1dari 8

Kelenjar tiroid berada di inferior laring dan berbentuk seperti kupu-kupu.

Kelenjar tiroid
terdiri dari lobus lateral kanan dan kiri yang dihubungkan oleh isthmus yang terletak di
anterior trakea. Terdapat lobus berbentuk piramid berukuran kecil yang terkadang meluas
keatas dari isthmus. Berat tiroid normal adalah sekitar 30 g. Kelenjar tiroid memperoleh
asupan darah dalam jumlah besar dan menerima sekitar 80-12 mL darah setiap menitnya.1,2

Secara mikroskopis, terdapat kantung yang disebut tiroid folikel yang membentuk hampir
seluruh kelenjar tiroid. Dinding setiap folikel terdiri dari sel yang disebut sel folikular yang
meluas hingga ke lumen folikel. Membran dasar mengelilingi setiap folikel. Ketikel sel
folikular tidak aktif, bentuknya menjadi kuboid sampai skuamosa, tapi dengan rangsangan
dari TSG sel ini menjadi aktif menyekresi dan berubah menjadi kuboid sampai kolumnar. Sel
folikular memproduksi dua hormone, yaitu thyroxine yang disebut juga tetraiodothyronine
atau T4 karena terdiri dari 4 atom dan triiodothyronine atau T3 yang terdiri dari 3 atom iodine.
T3 dan T4 inilah yang disebut sebagai hormone tiroid. Beberapa sel yang disebut sel
parafolikular atau sel C berada diantara folikel. Sel-sel ini memproduksi hormon kalsitonin
yang membantu regulasi kalsium.1

Sintesis hormon tiroid distimulasi oleh thyrotropin-releasing hormone (TRH) dan thyroid-
stimulating hormone (TSH) yang diproduksi oleh kelenjar pituitari anterior. Jumlah T3 dan T4
di darah atau metabolisme yang rendah menstimulasi hipotalamus untuk menyekresi TRH.
TRH masuk ke vena porta hipofisis dan mengalir ke pituitari anterior yang menyekresi TSH.
TSH menstimulasi aktivitas sel folikular, yaitu pengambilan iodine, sintesis dan sekresi
hormone, dan pertumbuhan sel folikular. Sel folikular tiriod melepaskan T3 dan T4 ke darah
sampai tingkat metabolisme kembali ke normal. Peningkatan T3 menghambat pengeluaran
TRH dan TSH (umpan balik negatif). Kondisi yang meningkatkan kebutuhan ATP, seperti
lingkungan yang dingin, hipoglikemi, dataran tinggi, dan kehamilan, juga meningkatkan
sekresi hormon tiroid.1
Secara mikroskopis, terdapat kantung yang disebut tiroid folikel yang membentuk hampir seluruh
kelenjar tiroid. Dinding setiap folikel terdiri dari sel yang disebut sel folikular yang meluas hingga ke
lumen folikel. Membran dasar mengelilingi setiap folikel. Ketikel sel folikular tidak aktif, bentuknya
menjadi kuboid sampai skuamosa, tapi dengan rangsangan dari TSG sel ini menjadi aktif menyekresi
dan berubah menjadi kuboid sampai kolumnar. Sel folikular memproduksi dua hormone, yaitu
thyroxine yang disebut juga tetraiodothyronine atau T4 karena terdiri dari 4 atom dan
triiodothyronine atau T3 yang terdiri dari 3 atom iodine. T3 dan T4 inilah yang disebut sebagai
hormone tiroid. Beberapa sel yang disebut sel parafolikular atau sel C berada diantara folikel. Sel-sel
ini memproduksi hormon kalsitonin yang membantu regulasi kalsium.1

Sintesis hormon tiroid distimulasi oleh thyrotropin-releasing hormone (TRH) dan thyroid-stimulating
hormone (TSH) yang diproduksi oleh kelenjar pituitari anterior. Jumlah T3 dan T4 di darah atau
metabolisme yang rendah menstimulasi hipotalamus untuk menyekresi TRH. TRH masuk ke vena
porta hipofisis dan mengalir ke pituitari anterior yang menyekresi TSH. TSH menstimulasi aktivitas
sel folikular, yaitu pengambilan iodine, sintesis dan sekresi hormone, dan pertumbuhan sel folikular.
Sel folikular tiriod melepaskan T3 dan T4 ke darah sampai tingkat metabolisme kembali ke normal.
Peningkatan T3 menghambat pengeluaran TRH dan TSH (umpan balik negatif). Kondisi yang
meningkatkan kebutuhan ATP, seperti lingkungan yang dingin, hipoglikemi, dataran tinggi, dan
kehamilan, juga meningkatkan sekresi hormon tiroid.1
Evaluasi Massa Tiroid

Anamnesis

Dalam anamnesis, perlu ditanyakan riwayat keluarga mengenai keganasan tiroid jinak
maupun ganas. Penyakit terdahulu yang mengikutsertakan leher (iradiasi kepala
dan leher saat masa anak-anak), riwayat kehamilan, dan kecepatan onset dan tingkat
pertumbuhan benjolan di leher harus ditanyakan. Adanya benjolan di leher selama masa
kanak-kanak dan remaja harus diperhatikan karena memiliki kemungkinan keganasan tiga
sampai empat kali lebih besar daripada di orang dewasa. Risiko kanker tiroid juga meningkat
pada usia tua dan laki-laki.3,4

Pasien dengan nodul tiroid biasanya tidak terlalu tampak atau tidak bergejala. Seringkali,
tidak ada hubungan yang jelas antara gambaran histologist dengan gejala pada pasien. Pada
pasien dengan gejala, riwayat penyakit lengkap penting ditanyakan. Pertumbuhan benjolan
yang lambat tapi progresif (minggu sampai bulan) mengarahkan pada keganasan.3,4

Nyeri yang tiba-tiba biasanya diakibatkan perdarahan pada nodul kistik. Pasien dengan
pembesaran yang progresif disertai nyeri perlu dicurigai adanya limpoma primer atau
anaplastik karsinoma. Gejala seperti sensasi tersedak, leher tegang atau nyeri, disfagia, atau
suara serak dapat menyertai penyakit tiroid, tetapi seringkali diakibatkan oleh kelainan non-
tiorid. Gejala servikal dengan onset yang lambat dapat diakibatkan oleh penekanan struktur
vital leher dan rongga dada atas. Gejala ini muncul jika nodul tiroid tertanam dalam goiter
yang besar. Jika tidak terdapat goiter multinodular, gejala kompresi trakea (batuk dan
perubahan suara) dapat mengarahkan pada keganasan. Karsinoma tiroid terdiferensiasi jarang
menyebabkan obstruksi saluran napas, paralisis pita suara, ataupun gejala esofageal. Oleh
karena itu, ketidakadaan gejala lokal tidak menyingkirkan kemunhkinan tumor ganas.3

Pemeriksaan Fisik

Kanker tiroid terdiferensiasi yang berukuran kecil seringkali tidak memiliki karakteristik
yang mencurigakan pada pemeriksaan fisik. Namun, nodul tiroid baik yang keras ataupun
berbatas tegas, dominan maupun soliter yang dapat dibedakan dari kelenjar lainnya
meningkatkan kemungkinan keganasan. Oleh karena itu, penting untuk melakukan inspeksi
dan palpasi yang teliti dari kelenjar tiroid serta kompartemen anterior dan lateral nodul pada
leher.3

Pemeriksaan kelenjar tiroid secara umum terdiri dari inspeksi, palpasi, dan auskultasi. Pada
inspeksi perlu diperhatikan apakah terdapat pergeseran trakea. Untuk dapat melihat kelenjar
tiroid dengan jelas, pasien diminta untuk sedikit mendangak, kemudian perhatikan daerah
dibawah kartilago krikoid. Minta pasien untuk menelan, perhatikan gerakan ke atas kelenjar
tiroid, simetrisitas, dan konturnya. Palpasi kelenjar tiroid dilakukan dengan pemeriksa berdiri
di belakang pasien. Pasien diminta mendangak. Jari-jari kedua tangan diletakan di leher
pasien tepat dibawah kartilago krikoid. Minta pasien untuk menelan, rasakan gerakan isthmus
yang naik ke atas, tetapi tidak selalu teraba. Geser trakea ke kanan dnegan jari-jari tangan
kiri. Jari-jari tangan kanan meraba lobus kanan pada ruang diantara trakea dan sternomastoid.
Temukan lateral margin. Dengan cara yang sama, periksa lobus kiri.5 Pada massa di tiroid
pelaporan terdiri dari adalah lokasi, konsistensi, ukuran nodul, ketegangan leher, nyeri, dan
adenopati servikal.3,5
Pemeriksaan Penunjang

1. Laboratorium

Kadar TSH (Thyroid Stimulating Hormone) yang rendah dihubungkan dengan berkurangnya
kemungkinan keganasan sehingga tidak perlu dilakukan pemeriksaan sitologi karena insiden
keganasan sangat rendah.3

1.1. Pencitraan

Ultrasonografi resolusi tinggi merupakan tes yang paling sensitif untuk mendeteksi lesi tiroid,
mengetahui dimensi, struktur, dan mengevaluasi perubahan difus pada kelenjar tiroid. Jika
hasil palpasi normal, ultrasonografi hanya dilakukan jikan ada faktor risiko keganasan. Jika
ditemukan pada pemeriksaan fisik adenopati leher yang mencurigakan, perlu dilakukan
ultrasonografi kedua nodus limfa dan kelenjar tiroid karena terdapat risiko metastasis dari
mikrokarsinoma papiler yang tidak disadari sebelumnya.3

Pada semua pasien dengan nodul tiroid dan multinodular stroma teraba, ultrasonografi perlu
dilakukan untuk membantu diagnosis, mencari koinsidental nodul tiroid atau perubahan
kelenjar tiroid difus, mendeteksi keganasan dan lesi untuk dilakukan FNAB, memilih panjang
jarum biopsi, mendapatkan pengukuran objektif volume kelenjar tiroid dan lesi yang akan
dilakukan follow-up. Pelaporan ultrasonografi mencakup posisi, bentuk, ukuran, batas, isi,
dan ekogenik serta gambaran vaskular pada nodul. Gambaran ultrasonografi yang mengarah
pada keganasan diantaranya hipoekogenitas, mikrokalsifikasi (kecil, intranodular, punktata,
titik hiperekoik dengan posterior acoustic shadow minim atau tidak ada), batas irregular atau
microlobulated , dan gambaran vaskularisasi intranodular yang berantakan. Tumor berukuran
besar dengan perubahan degeneratif dan beberapa area yang terisi cairan kadang ditemukan
pada mikrokarsinoma. Walaupun kebanyakan nodul tiroid dengan dominasi komponen cairan
bersifat jinak, ultrasonografi tetap harus dilaukan karena karsinoma tiroid papiler sebagian
dapat berbentuk kistik. Lesi hipoekoik yang melebar hingga ke kapsul, menginvasi otot
pretiroid, dan menginfiltraasi saraf laring jarang ditemukan tetapi memerlukan pemeriksaan
sitologi segera. Adanya pembesaran kelenjar limfa tanpa hilum, perubahan kistik, dan
mikrokalsifikasi meningkatkan kemungkinan ke arah keganasan. Gambaran melingkar dan
hipervaskularisasi yang berantakan lebih sering ditemukan, tetapi tidak spesifik.3

1.2 Fine Needle Aspiration Biopsy (FNAB)

FNAB pada nodul tiroid lebih baik jika dikombinasikan dengan guided ultrasonografi. Hasil
FNAB ini digunakan untuk pemeriksaan sitologi. Hasil dari FNAB dikategorikan menjadi
diagnostik dan non-diagnostik. Dikatakan diagnostik bila terdiri dari minimal 6 grup sel
epitelial tiroid yang baik dan setiap grup terdiri dari 10 sel. Klasifikasi hasil pemeriksaan
sitologi dibagi menjadi lima, yaitu nondiagnostik, jinak, lesi folikular, mencurigakan, dan
ganas.3,6
Struma
Struma disebut juga goiter adalah suatu pembengkakan pada leher oleh karena pembesaran
kelenjar tiroid akibat kelainan glandula tiroid dapat berupa gangguan fungsi atau perubahan
susunan kelenjar dan morfologinya.

Dampak struma terhadap tubuh terletak pada pembesaran kelenjar tiroid yang dapat
mempengaruhi kedudukan organ-organ di sekitarnya. Di bagian posterior medial kelenjar
tiroid terdapat trakea dan esophagus. Struma dapat mengarah ke dalam sehingga mendorong
trakea, esophagus dan pita suara sehingga terjadi kesulitan bernapas dan disfagia. Hal
tersebut akan berdampak terhadap gangguan pemenuhan oksigen, nutrisi serta cairan dan
elektrolit. Bila pembesaran keluar maka akan memberi bentuk leher yang besar dapat
asimetris atau tidak, jarang disertai kesulitan bernapas dan disfagia.7

Struma dapat terjadi akibat kekurangan yodium yang dapat menghambat pembentukan
hormon tiroid oleh kelenjar tiroid sehingga terjadi pula penghambatan dalam pembentukan
TSH oleh hipofisis anterior. Hal tersebut memungkinkan hipofisis mensekresikan TSH dalam
jumlah yang berlebihan. TSH kemudian menyebabkan sel-sel tiroid mensekresikan
tiroglobulin dalam jumlah yang besar (kolid) ke dalam folikel, dan kelenjar tumbuh makin
lama makin bertambah besar. Akibat kekurangan yodium maka tidak terjadi peningkatan
pembentukan T4 dan T3, ukuran folikel menjadi lebih besar dan kelenjar tiroid dapat
bertambah berat sekitar 300-500 gram.7

Selain itu, struma dapat disebabkan kelainan metabolik kongenital yang menghambat sintesa
hormon tiroid, penghambatan sintesa hormon oleh zat kimia (goitrogenic agent), proses
peradangan atau gangguan autoimun, seperti penyakit Graves. Pembesaran yang didasari oleh
suatu tumor atau neoplasma dan penghambatan sintesa hormon tiroid oleh obat-obatan
misalnya thiocarbamide, sulfonylurea dan litium, gangguan metabolik, misalnya struma
koloid dan struma non toksik (struma endemik).7

a. Klasifikasi Struma

1. Berdasarkan Fisiologisnya7,8

Berdasakan fisiologisnya struma dapat diklasifikasikan menjadi eutiroidisme, hipotiroidisme,


dan hipertiroidisme. Hipotiroidisme dapat disebabkan kelainan pada hipotalamus, kerusakan
hipofisis, defisiensi iodium, penggunaan antitiroid, dan tiroiditis. Terdapat pula keadaan yang
dikenal sebagai hipotiroidisme iatrogenik yang terjadi pascatiroidektomi atau
pascapengobatan iodium radioaktif.

Hipertiroidisme dapat terjadi pada struma difus toksik (penyakit Graves), struma nodosa
toksik, pengobatan berlebihan dengan tiroksin, permulaan tiroiditis, struma ovarium, dan
pada metastasis ekstensif karsinoma tiroid berdiferensiasi baik. Gejala hipertiroidisme berupa
berat badan menurun, nafsu makan meningkat, keringat berlebihan, kelelahan, leboh suka
udara dingin, sesak napas. Selain itu juga terdapat gejala jantung berdebar-debar, tremor pada
tungkai bagian atas, mata melotot (eksoftalamus), diare, haid tidak teratur, rambut rontok,
dan atrofi otot.

2. Berdasarkan Klinisnya

Secara klinis pemeriksaan klinis struma toksik dapat dibedakan menjadi:

A. Struma Toksik 7,8

Struma toksik dapat dibedakan atas dua yaitu struma difus toksik dan struma nodusa toksik.
Istilah difus dan nodusa lebih mengarah kepada perubahan bentuk anatomi dimana struma
difus toksik akan menyebar luas ke jaringan lain. Jika tidak diberikan tindakan medis
sementara nodusa akan memperlihatkan benjolan yang secara klinik teraba satu atau lebih
benjolan (struma multinoduler toksik).

Struma difus toksik (tiroktosikosis) menunjukkan gejala hipermetabolisme karena jaringan


tubuh dipengaruhi oleh hormon tiroid yang berlebihan dalam darah. Penyebab tersering
adalah penyakit Graves.

B. Struma Non Toksik7,8

Struma non toksik sama halnya dengan struma toksik yang dibagi menjadi struma difus
nontoksik dan struma nodusa nontoksik. Struma nontoksik disebabkan oleh kekurangan
iodium yang kronik. Struma ini disebut sebagai simple goiter, struma endemik, atau goiter
koloid yang sering ditemukan di daerah yang air minumya kurang sekali mengandung iodium
atau terpapar goitrogen yang bisa menghambat sintesa hormon.

Struma Nodusa Nontoksik7,8


Apabila dalam pemeriksaan kelenjar tiroid teraba suatu nodul, maka pembesaran ini disebut
struma nodusa. Struma nodusa tanpa disertai tanda-tanda hipertiroidisme dan hipotiroidisme
disebut struma nodusa nontoksik. Biasanya tiroid sudah mulai membesar pada usia muda,
awalnya difus, dan berkembang menjadi multinodular.

Struma multinodosa biasanya terjadi pada wanita berusia lanjut dan perubahan yang terdapat
pada kelenjar berupa kombinasi bagian yang hiperplasia dan berinvolusi. Pada awalnya,
sebagian struma multinodosa dapat dihambat pertumbuhannya dengan pemberian hormon
tiroksin.

Biasanya penderita struma nodosa tidak mempunyai keluhan karena tidak mengalami hipo-
atau hipertiroidisme. Degenerasi jaringan menyebabkan terbentuknya kista atau adenoma.
Karena pertumbuhan terjadi secara perlahan, struma dapat membesar tanpa memberikan
gejala selain adanya benjolan di leher, yang dikeluhkan terutama alasan kosmetik.

Walaupun sebagian besar struma nodosa tidak mengganggu pernapasan karena


pertumbuhannya ke arah lateral atau ke anterior, sebagian lain dapat menyebabkan
penyempitan trakea jika pembesarannya bilateral. Struma nodosa unilateral dapat
menyebabkan pendorongan trakea ke arah kontralateral tanpa menimbulkan gangguan akibat
obstruksi pernapasan. Penyempitan yang hebat dapat menyebabkan gangguan pernapasan
dengan gejala stridor inspiratoar. Secara umum, struma adenomatosa benigna hanya
menimbulkan keluhan rasa berat di leher, adanya benjolan yang bergerak naik turun waktu
menelan, dan alasan kosmetik. Jarang terjadi hipertiroidisme pada struma adenomatosa.

Sekitar 5% struma nodosa mengalami degenerasi maligna. Berbagai tanda keganasan yang
dapat dievaluasi meliputi perubahan bentuk, pertumbuhan lebih cepat, dan tanda infiltrasi
pada kulit dan jaringan sekitar. Dapat terjadi penekanan pada nervus rekurens, trakea, atau
esofagus. Adanya nodul tunggal harus tetap mendapat perhatian karena dapat merupakan
nodul koloid, kistik, adenoma tiroid, atau suatu karsinoma tiroid. Nodul maligna sering
ditemukan pada pria usia muda dan lanjut.
Struma nodosa yang berlangsung lama biasanya tidak dapat lagi dipengaruhi oleh pengobatan
supresi hormon atau pemberian hormon tiroid. Penanganan struma lama adalah dengan
tiroidektomi subtotal atas indikasi yang tepat (kosmetik, eksisi nodulus tunggal suspek ganas,
struma multinodular yang berat, struma yang menyebabkan kompresi laring atau struktur
leher lain, struma retrosternal yang mengompresi trakea).

Struma dapat meluas sampai ke mediastinum anterior superior, terutama pada bentuk nodulus
yang disebut struma retrosternum. Umumnya, struma retrosternum tidak turun naik pada
gerakan menelan karena apertura toraks terlalu sempit. Seringkali struma ini berlangsung
lama dan bersifat asimptomatik, sampai terjadi penekanan pada organ atau struktur
sekitarnya. Penekanan ini akan memberikan gejala dan tanda penekanan trakea atau esofagus.
Diagnosis ditegakkan dengan pemeriksaan foto rontgen atau iodium radioaktif. Biasanya
pembedahan struma retrosternum dapat dilakukan melalui insisi di leher dan tidak
memerlukan torakotomi karena perdarahan berpangkal pada pembuluh di leher. Jika letaknya
di dorsal arteri subklavia, pembedahan dilakukan dengan cara torakotomi.

Diagnosis banding struma nodosa ialah tumor mediastinum anterior, superior, seperti
timoma, limfoma, tumor dermoid, dan metastasi keganasan paru pada kelenjar getah bening.

Daftar Pustaka

1. Tortora G J, Bryan D. Principles of anatomy and physiology. 12th. River street: John
Wiley & Sons Inc; 2009.p.658-61.
2. Marieb E N, Hoehn K. Human anatomy & physiology. 7th ed. Boston: Benjamin-
Cummings Publishing Company; 2007. [e-book]
3. Gharib H, Papini E, Paschke R, Duick D S, Valcavi E, Hegediis L, et al. Association
medical guidelines for clinical practice for the diagnosis and management of thyroid
nodules. Endocr Pract. 2006; 12 (1): 63-102.
4. Cooper D S, Doherty G M, Haugen B R, Kloos R T, Lee S L, Mandel S J, et al.
Revised American thyroid association management guidelines for patients with
thyroid nodules and differentiated thryroid cancer. Thyroid. 2009; 19 (1): 1-48.
5. Bickley L S. Bate’s guide to physical examination and history taking. 11 ed.
Philadelphia:Lippincott Williams & Wilkins; 2013. P.252-3.
6. British thyroid association. Guidelines for the management of thyroid cancer. 2nd ed.
Report of the thyroid cancer guidelines update group. London: Royal Collage of
Physicians, 2007.
7. R. Sjamsuhidajat, Karnadihardja W, Prasetyono TOH, Rudiman R. Buku Ajar Ilmu
Bedah. 1st. Jakarta: EGC; 2012.p807-11.
8. Acosta J, et al. Sabiston Textbook of Surgery. 18th. USA: Elsevier Saunders;
2007.chap.36.

Anda mungkin juga menyukai