Anda di halaman 1dari 12

Rinitis Alergi dan Penatalaksanaannya

Christy Cahya Resky Dampung


102014219
A3
Mahasiswi Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Krida Wacana
Alamat Korespondensi Jl.Arjuna Utara No.6 Jakarta Barat 11510
Email: CHRISTY.2014fk219@civitas.ukrida.ac.id

Pendahuluan
Rinitis didefinisikan sebagai radang selaput hidung dan ditandai dengan sebuah
kompleks gejala yang terdiri dari kombinasi dari: bersin, hidung tersumbat, gatal hidung,
rhinorrhea, dan juga gangguan pada mata, telinga, sinus, dan tenggorokan. Rinitis alergi
sendiri didefinisikan sebagai suatu gangguan hidung yang disebabkan oleh reaksi peradangan
mukosa hidung diperantarai oleh imunoglobulin E (IgE), setelah terjadi paparan alergen
(reaksi hipersensitivitas tipe I Gell dan Comb).1,2
Rinitis alergi semakin banyak muncul di masyarakat dalam beberapa tahun terakhir,
seperti penyakit alergi lainnya. Di Jerman, diperkirakan sekitar 20% populasi mengalami
gejala klinis hipersensitivitas pada hidung terhadap berbagai alergi. Prevalensi di Indonesia
belum diketahui secara pasti, namun data dari berbagai rumah sakit menunjukkan bahwa
rinitis alergi memiliki frekuensi berkisar 10-26%.2,3 Oleh sebab itu, pada makalah ini akan
dibahas lebih lanjut lagi tentang ritnitis alergi.

Anamnesis
Anamnesis merupakan wawancara medis yang merupakan tahap awal dari rangkaian
pemeriksaan pasien, baik secara langsung pada pasien atau secara tidak langsung. Tujuan dari
anamnesis adalah mendapatkan informasi menyeluruh dari pasien yang bersangkutan.
Informasi yang dimaksud adalah data medis organobiologis, psikososial, dan lingkungan
pasien, selain itu tujuan yang tidak kalah penting adalah membina hubungan dokter pasien
yuang profesional dan optimal. 4
Anamnesis yang baik akan terdiri dari 5:
1. Identitas
2. Keluhan utama
3. Riwayat penyakit sekarang
4. Riwayat penyakit dahulu
 Penanganan yang pernah dijalani dan perkembangannya
 Penyakit yang pernah dialami
5. Riwayat penyakit dalam keluarga
6. Riwayat alergi
7. Riwayat pribadi dan sosial

Pemeriksaan Fisik
Sebelum melakukan pemeriksaan fisik, kita melakukan pemeriksaan keadaan umum
terlebih dahulu, dan lihat tampak sakitnya bagaimana, lalu setelah itu lakukan pemeriksaan
tanda – tanda vital, diantara mengukur suhu, denyut nadi, frekuensi pernafasan, dan tekanan
darah. Setelah selesai lakukan pemeriksaan fisik, pemeriksaan fisik ini diantara nya meliputi
seperti Inspeksi, palpasi, perkusi, dan aukultasi.6
Pada Pemeriksaan risnoskopi anterior rinitis alergi, tampak mukosa edema, basah,
berwarna pucat atau livid disertai adanya sekret encer yang banyak. Bila persisten, mukosa
inferior tampak hipertrofi. Gejala spesifik lain pada anak adalah terdapatnya bayangan gelap
di daerah bawah mata yang terjadi karena stasis vena sekunder akibat obstruksi hidung.
Gejala ini disebut allergic shiner.7 Selain dari itu sering juga tampak anak menggosok-gosok
hidung, karena gatal, dengan punggung tangan. Keadaan ini disebut sebagai allergic salute.
Keadaan menggosok ini lama kelamaan akan mengakibatkan timbulnya garis melintang di
dorsumnasi bagian sepertiga bawah, yang disebut sebagai allergic crease.7 Mulut sering
terbuka dengan lengkung langit-langit yang tinggi, sehingga akan menyebabkan gangguan
pertumbuhan gigi geligi (facies adenoid). Dinding posterior faring tampak granuler dan
edema (cobblestone appearance), serta dinding lateral faring menebal. Lidah tampak seperti
gambaran peta (geographic tongue).7
Sedangkan pada rinitis vasomotor tampak edema mukosa, konka berwarna merah
gelap atau merah tua, tetapi dapat pula pucat. Permukaan konka dapat licin atau berbenjol-
benjol (hipertrofi). Pada rongga hidung terdapat sekrek mukoid, biasanya sedikit.7
Pemeriksaan Penunjang
1. In vitro
Hitung eosinofil dalam darah tepi dapat normal atau meningkat. Demikian pula
pemeriksaan IgE total (prist-paper radio imunosorbent test) sering kali menunjukkan
nilai normal, kecuali bila tanda alergi pada pasien lebih dari satu macam penyakit,
misalnya selain rinitis alergi juga menderita asma bronkial atau urtikaria. Pemeriksaan
ini berguna untuk prediksi kemungkinan alergi pada bayi atau anak kecil dari suatu
keluarga dengan derajat alergi yang tinggi. Lebih bermakna adalah dengan RAST (Radio
1
Immuno Sorbent Test) atau ELISA (Enzyme Linked Immuno SorbentAssay Test).
Pemeriksaan sitologi hidung, walaupun tidak dapat memastikan diagnosis, tetap berguna
sebagai pemeriksaan pelengkap. Ditemukannya eosinofil dalam jumlah banyak
menunjukkan kemungkinan alergi inhalan. Jika basofil (5 sel/lap) mungkin disebabkan
alergi makanan, sedangkan jika ditemukan sel PMN menunjukkan adanya infeksi
bakteri.7
2. In vivo
Alergen penyebab dapat dicari dengan cara pemeriksaan tes cukit kulit, uji intrakutan
atau intradermal yang tunggal atau berseri (Skin End-point Titration/SET). SET
dilakukan untuk alergen inhalan dengan menyuntikkan alergen dalam berbagai
konsentrasi yang bertingkat kepekatannya. Keuntungan SET, selain alergen penyebab
juga derajat alergi serta dosis inisial untuk desensitisasi dapat diketahui. 7
Untuk alergi makanan, uji kulit seperti tersebut diatas kurang dapat diandalkan.
Diagnosis biasanya ditegakkan dengan diet eliminasi dan provokasi (³Challenge Test´).1
Alergen ingestan secara tuntas lenyap dari tubuh dalam waktu lima hari. Karena itu pada
Challenge Test, makanan yang dicurigai diberikan pada pasien setelah berpantang
selama 5 hari, selanjutnya diamati reaksinya. Pada diet eliminasi, jenis makanan setiap
kali dihilangkan dari menu makanan sampai suatu ketika gejala menghilang dengan
meniadakan suatu jenis makanan. 7

Working Diagnosis
Rinitis alergi didefinisikan sebagai suatu gangguan hidung yang disebabkan oleh
reaksi peradangan mukosa hidung diperantarai oleh imunoglobulin E (IgE), setelah terjadi
paparan alergen (reaksi hipersensitivitas tipe I Gell dan Comb). Gangguan hidung dapat
berupa gejala gatalgatal pada hidung yang dapat meluas ke mata dan tenggorok, bersin-
bersin, beringus, dan hidung tersumbat.2
Rinitis alergi musiman adalah rinitis yang dipicu oleh alergen serbuk sari, spora lumut
selama musim semi, musim panas, maupun musim gugur. Rinitis alergi perenial
menunjukkan gejala hayfever sepanjang tahun yang dipicu oleh alergen dalam rumah, seperti:
debu rumah tangga, kecoa, spora lumut, bulu binatang, dan sebagainya. ARIA (Allergic
Rhinitis and its Impact on Asthma) membuat klasifikasi rinitis alergi berdasarkan lama dan
seringnya timbul gejala, dan berdasarkan gejala yang dialami pasien, bukan berdasarkan
penyebab.8
Klasifikasi baru membagi rinitis alergi menjadi 2 kategori, yaitu intermiten dan
persisten. Kategori intermiten adalah apabila gejala timbul kurang dari 4 hari per minggu atau
kurang dari 4 minggu, sedangkan kategori persisten adalah apabila gejala timbul lebih dari 4
hari dalam seminggu dan berlangsung lebih dari 4 minggu.8

Different Diagnosis
Rinitis vasomotor adalah inflamasi kronis lapisan mukosa hidung yang disebabkan
oleh terganggunya keseimbangan sistem saraf parasimpatis dan simpatis. Parasimpatis
menjadi lebih dominan sehingga terjadi pelebaran dan pembengkakan pembuluh darah di
hidung.9
Rinore yang hebat dan bersifat mukus atau serous sering dijumpai. Gejala hidung
tersumbat sangat bervariasi yang dapat bergantian dari satu sisi ke sisi yang lain, terutama
sewaktu perubahan posisi. Keluhan bersin-bersin tidak begitu nyata bila dibandingkan
dengan rinitis alergi dan tidak terdapat rasa gatal di hidung dan mata. Gejala dapat memburuk
pada pagi hari waktu bangun tidur oleh karena adanya perubahan suhu yang ekstrim, udara
lembab, dan juga oleh karena asap rokok dan sebagainya. Selain itu juga dapat dijumpai
keluhan adanya ingus yang jatuh ke tenggorok ( post nasal drip ).9

Anatomi Hidung
Hidung terdiri dari hidung bagian luar atau piramid hidung dan rongga hidung dengan
pendarahan serta persarafannya. Hidung luar berbentuk piramid dengan bagian-bagiannya
dari atas ke bawah: 7,10
 Pangkal hidung
 Dorsum nasi
 Puncak hidung
 Ala nasi
 Kolumela
 Lubang hidung (nares anterior).

Hidung luar dibentuk oleh kerangka tulang dan tulang rawan yang dilapisi kulit,
jaringan ikat dan beberapa otot kecil yang berfungsi untuk melebarkan atau menyempitkan
lubang hidung. Kerangka tulang terdiri dari:7,10
 Tulang hidung (os nasalis)
 Prosesus frontalis os maksila
 Prosesus nasalis os frontal.
Sedangkan kerangka tulang rawan terdiri dari:
 Sepasang kartilago nasalis lateralis superior
 Sepasang kartilago nasalis lateralis inferior (kartilago ala mayor)
 Beberapa pasang kartilago ala minor
 Tepi inferior kartilago septum.
Rongga hidung atau kavum nasi berbentuk terowongan dari depan ke belakang,
dipisahkan oleh septum nasi di bagian tengahnya menjadi kavum nasi kanan dan kiri. Pintu
atau lubang masuk kavum nasi di bagian depan disebut nares anterior dan lubang belakang
disebut nares posterior (koana) yang menghubungkan kavum nasi dengan nasofaring. 7,10,11
Septum bagian luar dilapisi oleh mukosa hidung. Bagian depan dinding hidung licin,
yang disebut agar nasi dan di belakangnya terdapat konka-konka yang mengisi sebagian besar
dinding lateral hidung.1Pada dinding lateral terdapat 4 konka, dari yang terbesar sampai yang
terkecil adalah konka inferior, konka media, konka superior, dan konka suprema. Konka
suprema ini biasanya rudimeter.7
Di antara konka-konka dan dinding laterla hidung terdapat rongga sepit yang disebut
meatus. Terdapat 3 meatus, yaitu meatus inferior, meatus media, dan meatus superior. Pada
meatus inferior terdapat muara (ostium) duktus nasolakrimaris, pada meatus media terdapat
muara sinus frontalis, sinus maksilaris, dan sinus etmoid anterior. Sedangkan pada meatus
superior bermuara sinus etmoid posterior dan sinus sfenoid.7,10,12
Pendarahan hidung berasal dari a. maksilaris interna (bagian bawah hidung), a.
fasialis (bagian depan hidung). Bagian depan anastomosis dari cabang a. sfenopalatina, a.
etmoid anterior, a. labialis superior, dan a. palatina mayor, yang disebut pleksus Kieselbach.
1 Vena-vena membentuk pleksus yang luas di dalam submucosa. Pleksus ini dialirkan oleh
vena-vena yang menyertai arteri.Persarafan hidung pada bagian depan dan atas, saraf sensoris
n. etmoid anterior (cabang n. nasolakrimalis, cabang N. oftalmikus). Rongga hidung lainnya
saraf sensoris n. maksila. Saraf vasomotor (autonom) melalui ganglion sfenopalatinum.7,10

Gambar 1: Anatomi External Hidung


Gambar 2: Anatomi Dinding Lateral Hidung
Mukosa hidung berdasar histologik dan fungsional dibagi atas mukosa pernapasan
dan mukosa penghidu (olfaktorius). Mukosa pernapasan terdapat pada sebagian besar rongga
hidung berupa epitel torak berlapis semu yang mempunyai silia dan di antaranya terdapat sel
goblet. Pada bagian yang lebih sering terkena aliran udara mukosanya lebih tebal dan kadang-
kadang berubah menjadi epitel skuamosa. 1 Dalam keadaan normal mukosa berwarna merah
muda dan selalu basah karena diliputi oleh palut lendir pada permukaannya yang dihasilkan
oleh kelenjar mukosa dan selsel goblet. Silia yang terdapat pada permukaan epitel
mempunyai arti penting dalam mobilisasi palut lendir di dalam kavum nasi yang didorong ke
arah nasofaring.7
Mukosa penghidu terdapat pada atap rongga hidung, konka superior dan sepertiga
bagian atas septum. Mukosa dilapisi oleh epitel torak berlapis semu yang tidak bersilia.
Mukosa sinus paranasal berhubungan langsung dengan mukosa rongga hidung di daerah
ostium. Mukosa sinus menyerupai mukosa hidung, hanya lebih tipis dan sedikit mengandung
pembuluh darah.7

Epidemiologi
Rinitis alergi semakin banyak muncul di masyarakat dalam beberapa tahun terakhir,
seperti penyakit alergi lainnya. Di Jerman, diperkirakan sekitar 20% populasi mengalami
gejala klinis hipersensitivitas pada hidung terhadap berbagai alergi.3 Rinitis alergi menjadi
masalah kesehatan global, yang mempengaruhi sekitar 10 hingga 25% populasi. Pada negara
maju prevalensi rinitis alergi lebih tinggi seperti di Inggris mencapai 29%, di Denmark
sebesar 31,5%, dan di Amerika berkisar 33,6%.3 Prevalensi di Indonesia belum diketahui
secara pasti, namun data dari berbagai rumah sakit menunjukkan bahwa rinitis alergi
memiliki frekuensi berkisar 10-26%. Rinitis alergi umumnya bukan penyakit yang fatal tetapi
gejalanya dapat mempengaruhi status kesehatan seseorang dan menurunkan kualitas hidup
penderita.2
Etiologi
Berdasarkan cara masuknya alergen dibagi atas:7,12,13
 Alergen inhalan, yang masuk bersama dengan udara pernapasan, misalnya tungau
deburumah, kecoa, serpihan epitel kulit binatang, rerumputan, serta jamur.
 Alergen ingestan yang masuk ke saluran cerna, berupa makanan, misalnya susu,
sapi,telur, coklat, ikan laut, udang kepiting, dan kacang-kacangan.
 Alergen injektan, yang masuk melalui suntikan atau tusukan, misalnya penisilin
dansengatan lebah.
 Alergen kontaktan, yang masuk melalui kontak kulit atau jaringan mukosa,
misalnya bahan kosmetik, perhiasan.

Patofisiologi
Pada kontak pertama dengan alergen atau tahap sensitisasi, makrofag atau monosit
yang berperan sebagai sel penyaji (Antigen Presenting Cell/APC) akan menangkap alergen
yang menempel di permukaan mukosa hidung.7
Setelah diproses, antigen akan membentuk fragmen pendek peptida dan bergabung
dengan molekul HLA kelas II membentuk komplek peptida MHC kelas II (Major
Histocompatibility Complex) yang kemudian dipresentasikan pada sel T helper (Th 0).
Kemudian sel penyaji akan melepas sitokin seperti interleukin 1 (IL 1) yang akan
mengaktifkan Th0 untuk berproliferasi menjadi Th1 dan Th 2. Th 2 akan menghasilkan
berbagai sitokin seperti IL 3, IL 4, IL 5, dan IL 13.7
IL 4 dan IL 13 dapat diikat oleh reseptornya di permukaan sel limfosit B, sehingga sel
limfosit B menjadi aktif dan akan memproduksi imunoglobulin E (IgE). IgE di sirkulasi darah
akan masuk ke jaringan dan diikat oleh reseptor IgE di permukaan sel mastosit atau basofil
(sel mediator) sehingga kedua sel ini menjadi aktif. Proses ini disebut sensitisasi yang
menghasilkan sel mediator yang tersensitisasi. Bila mukosa yang sudah tersensitisasi terpapar
alergen yang sama, maka kedua rantai IgE akan mengikat alergen spesifik dan terjadi
degranulasi (pecahnya dinding sel) mastosit dan basofil dengan akibat terlepasnya mediator
kimia yang sudah terbentuk (Performed Mediators) terutama histamin. Selain histamin juga
dikeluarkan Newly Formed Mediators antara lain prostaglandin D2 (PGD2), Leukotrien D4
(LT D4), Leukotrien C4 (LT C4), bradikinin, Platelet Activating Factor (PAF) dan berbagai
sitokin. (IL3, IL4, IL5, IL6,GM-CSF.7
Histamin akan merangsang reseptor H1 pada ujung saraf vidianus sehingga
menimbulkan rasa gatal pada hidung dan bersin-bersin. Histamin juga akan menyebabkan
kelenjar mukosa dan sel goblet mengalami hipersekresi dan permeabilitas kapiler meningkat
sehingga terjadi rinore. Gejala lain adalah hidung tersumbat akibat vasodilatasi sinusoid.
Selain histamin merangsang ujung saraf Vidianus, juga menyebabkan rangsangan pada
mukosa hidung sehingga terjadi pengeluaran Inter Cellular Adhesion Molecule 1(ICAM 1).7

Manifestasi Klinis
Manifestasi klinis rinitis alergi, yaitu:14
 Bersin patologis. Bersin yang berulang lebih 5 kali setiap serangan bersin.
 Rinore. Ingus yang keluar.
 Gangguan hidung. Hidung gatal dan rasa tersumbat. Hidung rasa tersumbat merupakan
gejala rinitis alergi yang paling sering kita temukan pada pasien anak-anak.
 Gangguan mata. Mata gatal dan mengeluarkan air mata (lakrimasi).

Tatalaksana
1. Terapi yang paling ideal adalah dengan menghindari kontak dengan allergen
penyebabnya (avoidance) dan eliminasi. 7
2. Medikamentosa
 Antihistamin
Antihistamin yang dipakai adalah antagonis histamine H-1, yang bekerja secara
inhibitor kompetitif pada reseptor H-1 sel target, dan merupakan preparat
farmakologik yang paling sering dipakai sebagai lini pertama pengobatan rhinitis
alergi. Pemberian dapat dalam kombinasi atau tanpa kombinasi dengan dekongestan
secara peroral. 7,14
Antihistamin dibagi dalam 2 golongan yaitu golongan antihistamin generasi 1
(klasik) dan generasi 2 (non-sedatif). Antihistamin generasi 1 bersifat lipofilik,
sehingga dapat menembus sawar darah otak (mempunyai efek pada SSP) dan
plasenta serta mempunyai efek kolinergik. Yang termasuk kelompok ini antara lain
adalah difenhidramin, klorfeniramin, prometasin, siproheptadin, sedangkan yang
dapat diberikan secara topical adalah azelastin. Antihistamin generasi 2 bersifat
lipofobik, sehingga sulit menembus sawar darah otak. Bersifat selektif mengikat
resptor H-1 perifer dan tidak mempunyai efek antikolinergik, antiadrenergik dan
pada efek pada SSP minimal (non-sedatif). 7,14
Antihistamin diabsorpsi secara oral dengan cepat dan mudah serta efektif untuk
mengatasi gejala obstruksi hidung pada fase lambat. Antihistamin non sedative dapat
dibagi menjadi dua golongan menurut keamananya. Kelompok pertama adalah
astemisol dan terfenadin yang mempunyai efek kardiotoksik. Toksisitas terhadap
jantung tersebut disebabkan repolarisasi jantung yang tertunda dan dapat
menyebabkan aritmia ventrikel, henti jantung dan bahkan kematia medadak (sudah
ditarik dari peredaran). Kelompok kedua adalah loratadin, setirisin, fexofenadin,
desloratadin, dan levosetirisin.7
Preparat simpatomimetik golongan agonis adrenergik alfa dipakai sebagai
dekongestan hidung oral dengan atau tanpa kombinasi dengan antihistamin atau
topikal. Namun pemakaian secara topikal hanya boleh untuk beberapa hari saja
untuk menghindari terjadinya rinitis medikamentosa. 7
 Dekongestan
Golongan obat ini tersedia dalam bentuk topikal maupun sistemik. Onset obat
topikal jauh lebih cepat daripada preparat sistemik., namun dapat menyebabkan
rhinitis medikamentosa bila digunakan dalam jangka waktu lama. Obat dekongestan
sistemik yang sering digunakan adalah pseudoephedrine HCl dan
Phenylpropanolamin HCl. Obat ini dapat menyebabkan vasokonstriksi pembuluh
darah. Dosis obat ini 15 mg untuk anak 2-5 tahun, 30 mg untuk anak 6-12 tahun, dan
60 mg untuk dewasa, diberikan setiap 6 jam. Efek samping dari obat-obatan ini yang
paling sering adalah insomnia dan iritabilitas. 14
 Antikolinergik
Preparat antikolinergik topikal adalah ipratropium bromide, bermanfaat untuk
mengatasi rinore, karena aktifitas inhibisi reseptor kolinergik pada permukaan sel
efektor.7
 Kortikosteroid
Preparat kortikosteroid dipilih bila gejala terutama sumbatan hidung akibat respon
fase lambat tidak berhasil diatasi dengan obat lain. Yang sering dipakai adalah
kortikosteroid topikal (beklometason, budesonid, flunisolid, flutikason, mometason,
furoat dan triamsinolon). Kortikosteroid topikal bekerja untuk mengurangi jumlah
sel mastosit pada mukosa hidung, mencegah pengeluaran protei n sitotoksik dari
eosinofil, mengurangi aktifitas limfosit, mencegah bocornya plasma. Hal ini
menyebabkan epitel hidung tidak hiperresponsif terhadap rangsangan allergen
(bekerja pada respon cepat dan lambat). Preparat sodium kromoglikat topikal
bekerja menstabilkan mastosit (mungkin menghambat ion kalsium) sehingga
pelepasan mediator dihambat. Pada respons fase lambat, obat ini juga menghambat
proses inflamasi dengan menghambat aktifasi sel netrofil, eosinofil dan monosit.
Hasil terbaik dapat dicapai bila diberikan sebagai profilaksis.7
 Lainnya
Pengobatan baru lainnya untuk riniris alergi adalah anti leukotrien
(zafirlukast/montelukast), anti IgE, DNA rekombinan.7
3. Operatif
Tindakan konkotomi parsial (pemotongan sebagian konka inferior), konkoplasti atau
multiple outfractured, inferior turbinoplasty perlu dipikirkan bila konka inferior
hipertrofi berat dan tidak berhasil dikecilkan dengan cara kaeuterisasi memakai AgNO3
25% atau triklor asetat7
4. Imunoterapi
Cara pengobatan ini dilakukan pada alergi inhalan dengan gejala yang berat dan sudah
berlangsung lama serta dengan pengobatan cara lain tidak memberikan hasil yang
memuaskan. Tujuan dari imunoterapi adalah pembentukkan IgG blocking antibody dan
penurunan IgE. Ada 2 metode imunoterapi yang umum dilakukan yaitu intradermal dan
sublingual. 7

Komplikasi7
 Polip hidung.
 Beberapa peneliti mendapatkan, bahwa alergi hidung merupakan salah satu faktor
penyebab terbentuknya polip hidung dan kekambuhan polip hidung.
 Otitis media yang sering residif, terutama pada anak-anak.
 Rinosinusitis

Prognosis
Kebanyakan gejala rintis alergi dapat diobati. Pada kasus yang lebih parah
dapatmemerlukan imunoterapi. Beberapa orang (terutama anak-anak) semakin dewasa
akansemakin kurang sensitif terhadap. Namun, sebagai aturan umum, jika suatu zat
menjadi penyebab alergi bagi seorang individu, maka zat tersebut dapat terus mempengaruhi
orangitu dalam jangka panjang.15

Kesimpulan

Daftar Pustaka
1. Jones AS. Intrinsic rhinitis. Dalam : Mackay IS, Bull TR, Ed. Rhinology. Scott-
Brown’s Otolaryngology. 6th ed. London : Butterworth-Heinemann, 1997.
2. Widuri A. Terapi Antibodi IgE pada Rinitis Alergi IgE Antibody Therapy in Alerrgic
Rhinitis. Mutiara Medika. Vol. 9 (1:63-68). Januari 2009
3. Nagel P, Gurkov R. Dasar-dasar ilmu THT. EGC: Jakarta. 2012; h.40
4. Pusat Penerbit Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia. Penuntun anamnesis dan pemeriksaan fisis. Jakarta; 2005
5. Sjamsuhidajat R, Jong WD, editor. Buku ajar ilmu bedah. Edisi ke-2. Jakarta: EGC;
2004
6. Gleadle, Jonathan. At a Glance Anamnesis dan pemeriksaan fisik. Jakarta: Erlangga;
2003. h.112-3
7. Soepardi EA, Iskandar N, Bashiruddin J. Restuti RD. Buku ajar ilmu kesehatan
telinga hidung teggorok kepala dan leher. Edisi 7. FKUI: Jakarta; 2016; h. 96-114
8. Harsono G, dkk. Faktor yang diduga menjadi resiko pada anak dengan rinitis alergi di
RSU dr. Cipto Mangunkusumo Jakarta. Jurnal Kedokteran Brawijaya, Vol. XXIII,
No.3,Desember 2007
9. Irawati N, Poerbonegoro NL, Kasakeyan E. Rinitis vasomotor. Dalam: Soepardi EA,
Iskandar N, Bashiruddin J, Restutia RD, editor. Buku kuliah ilmu kesehatan telinga
hidung tenggorok kepala dan leher. Edisi ke-6. Jakarta: Balai Penerbit FKUI;
2010.h.135-7
10. Snell, R S. Anatomi Klinik untuk Mahasiswa Kedokteran Edisi 6. Jakarta:EGC. 2006;
803-805
11. Adams, G., Boies, L R., Higler, P A. Penyakit Hidung. Dalam : Boies BukuAjar
Penyakit THT Edisi keenam. Jakarta: EGC; 1997; 210-218
12. Snow JB, Ballenger JJ. Allergic Rhinitis. In: Ballenger’sOtorhinolaryngology Head
and Neck Surgery Edition 9 Th.Spain:BC Decker; 2003;708-731
13. Sheikh, J. Allergic Rhinitis. Available from: http:// emedicine .medscape.
com/article/ 134825. (Accessed 2Maret 2017)
14. Higler AB. Buku Ajar Penyakit THT. Edisi 6. Penerbit Buku Kedokteran.1997
15. (Nasional library of medicine. Allergic rhinitis. Diunduh dari
http://www.nlm.nih.gov/medlineplus/ency/article/000813.htm (diakses 2 Maret 2017)

Anda mungkin juga menyukai