Pelopor
Henk Sneevliet
Sebuah organisasi awal yang penting didirikan oleh sosialis Belanda Henk Sneevliet
dan Sosialis Hindia lain yang pada dasarnya membentuk tenaga kerja di pelabuhan pada
tahun 1914, dibawah nama Indies Social Democratic Association, dalam bahasa Belanda:
Indische Sociaal Democratische Vereeniging (ISDV). ISDV pada dasarnya dibentuk oleh
85 anggota dari dua partai sosialis Belanda, SDAP dan Partai Sosialis Belanda yang
kemudian menjadi SDP komunis, yang berada dalam kepemimpinan Hindia Belanda. Para
anggota Belanda dari ISDV memperkenalkan ide-ide Marxis untuk mengedukasi orang-
orang Indonesia mencari cara untuk menentang kekuasaan kolonial.
Pada Oktober 1915 ISDV mulai aktif dalam penerbitan surat kabar berbahasa
Belanda, "Het Vrije Woord" (Kata yang Merdeka). Editornya adalah Adolf Baars. Pada saat
pembentukannya, ISDV tidak menuntut kemerdekaan untuk Indonesia. Pada saat itu, ISDV
mempunyai sekitar 100 orang anggota, dan dari semuanya itu hanya tiga orang yang
merupakan warga pribumi Indonesia. Namun, partai ini dengan cepat berkembang menjadi
radikal dan anti kapitalis. Tapi berubah ketika Sneevliet memindahkan markas mereka dari
Surabaya ke Semarang dan menarik banyak penduduk asli dari berbagai elemen seperti
agama, nasionalis dan aktivis gerakan lainnya yang akhir-akhir ini tumbuh di Hindia
Belanda sejak tahun 1900. Di bawah pimpinan Sneevliet partai ini merasa tidak puas
dengan kepemimpinan SDAP di Belanda, dan yang menjauhkan diri dari ISDV dan
menolak untuk bekerjasama dengan pemerintah karena menolak "berpura-pura" menjadi
Dewan Masyarakat (Volksraad Volksraad (Hindia Belanda). Pada tahun 1917 kelompok
reformis dari ISDV memisahkan diri, dan membentuk partai sendiri dengan nama Partai
Demokrat Sosial Hindia. Pada tahun 1917 ISDV meluncurkan sendiri publikasi pertama
berbahasa Indonesia, Soeara Merdeka.
ISDV terus bekerja secara klandestin. Meluncurkan publikasi lain, Soeara Rakyat.
Setelah kepergian paksa beberapa kader Belanda, dalam kombinasi dengan pekerjaan di
dalam Sarekat Islam, keanggotaan telah berpindah dari mayoritas Belanda ke mayoritas
Indonesia. Pada tahun 1919 hanya memiliki 25 anggota Belanda, dari total anggota yang
kurang dari 400.
Pada Kongres ISDV di Semarang (Mei 1920), nama organisasi ini diubah menjadi
Perserikatan Komunis di Hindia (PKH). Semaun adalah ketua partai dan Darsono
menjabat sebagai wakil ketua. Sekretaris, bendahara, dan tiga dari lima anggota komite
adalah orang Belanda. PKH adalah partai komunis Asia pertama yang menjadi bagian dari
Komunis Internasional. Henk Sneevliet mewakili partai pada kongres kedua Komunis
Internasional 1921.
Pada periode menjelang kongres keenam Sarekat Islam pada tahun 1921, anggota
menyadari strategi Sneevliet dan mengambil langkah untuk menghentikannya. Agus Salim,
sekretaris organisasi, memperkenalkan sebuah gerakan untuk melarang anggota SI
memegang keanggotaan dan gelar ganda dari pihak lain di kancah perjuangan pergerakan
indonesia. Keputusan tersebut tentu saja membuat para anggot komunis kecewa dan keluar
dari partai, seperti oposisi dari Tan Malaka dan Semaun yang juga keluar dari gerakan
karena kecewa untuk kemudian mengubah taktik dalam perjuangan pergerakan indonesia.
Pada saat yang sama, pemerintah kolonial Belanda menyerukan tentang pembatasan
kegiatan politik, dan Sarekat Islam memutuskan untuk lebih fokus pada urusan agama,
meninggalkan komunis sebagai satu-satunya organisasi nasionalis yang aktif.
Bersama Semaun yang berada jauh di Moskow untuk menghadiri Far Eastern Labor
Conference pada awal 1922, Tan Malaka mencoba untuk mengubah pemogokan terhadap
pekerja pegadaian pemerintah menjadi pemogokan nasional untuk mencakup semua serikat
buruh Indonesia. Hal ini ternyata gagal, Tan Malaka ditangkap dan diberi pilihan antara
pengasingan internal atau eksternal. Dia memilih yang terakhir dan berangkat ke Rusia.
Pada Mei 1922, Semaun kembali setelah tujuh bulan di Rusia dan mulai mengatur
semua serikat buruh dalam satu organisasi. Pada tanggal 22 September, Serikat Organisasi
Pekerja Seluruh Indonesia (Persatuan Vakbonded Hindia) dibentuk.
Pada kongres Komintern kelima pada tahun 1924, ia menekankan bahwa "prioritas
utama dari partai-partai komunis adalah untuk mendapatkan kontrol dari persatuan buruh"
karena tidak mungkin ada revolusi yang sukses tanpa persatuan kelas buruh ini
Pada 1924 nama partai ini sekali lagi diubah, kali ini adalah menjadi Partai
Komunis Indonesia (PKI).
Pemberontakan 1926
Rencana pemberontakan itu sendiri sudah dirancang sejak lama. Yakni di dalam
perundingan rahasia aktivis PKI di Prambanan. Rencana itu ditolak tegas oleh Tan Malaka,
salah satu tokoh utama PKI yang mempunyai banyak massa terutama di Sumatra. Tan
Malaka memprediksi bahwa pemberontakan akan gagal, karena menurutnya basis kaum
proletar Indonesia adalah rakyat petani bukan buruh seperti di Uni Soviet. Penolakan
tersebut membuat Tan Malaka di cap sebagai pengikut Leon Trotsky yang juga sebagai
tokoh sentral perjuangan Revolusi Rusia. Walau begitu, beberapa aksi PKI justru terjadi
setelah pemberontakan di Jawa terjadi. Semisal Pemberontakan Silungkang di Sumatra.
Pada masa awal pelarangan ini, PKI berusaha untuk tidak menonjolkan diri, terutama
karena banyak dari pemimpinnya yang dipenjarakan. Pada 1935 pemimpin PKI Musso
kembali dari pengasingan di Moskwa, Uni Soviet, untuk menata kembali PKI dalam
gerakannya di bawah tanah. Namun Musso hanya tinggal sebentar di Indonesia. Kemudian
PKI bergerak di berbagai front, seperti misalnya Gerindo dan serikat-serikat buruh. Di
Belanda, PKI mulai bergerak di antara mahasiswa-mahasiswa Indonesia di kalangan
organisasi nasionalis, Perhimpoenan Indonesia , yang tak lama kemudian berpihak pada
PKI [10].
Kebangkitan pasca-perang
PKI muncul kembali di panggung politik setelah Jepang menyerah pada tahun 1945, dan
secara aktif mengambil bagian dalam perjuangan kemerdekaan dari Belanda. Banyak unit
bersenjata berada di bawah kontrol atau pengaruh PKI. Meskipun milisi PKI memainkan
peran penting dalam memerangi Belanda, Presiden Soekarno khawatir bahwa semakin
kuatnya pengaruh PKI akhirnya akan mengancam posisinya. Selain itu, pertumbuhan PKI
bermasalah sektor sayap kanan lebih dari pemerintahan Indonesia serta beberapa kekuatan
asing, khususnya semangat penuh anti-komunis dari Amerika Serikat. Dengan demikian
hubungan antara PKI dan kekuatan lain yang juga berjuang untuk kemerdekaan pada
umumnya berjalan sengit.
Pada Februari 1948 PKI dan Partai Sosialis membentuk front bersama, yaitu Front
Demokrasi Rakyat. Front ini tidak bertahan lama, namun Partai Sosialis kemudian
bergabung dengan PKI. Pada saat itu milisi Pesindo berada di bawah kendali PKI.
Pada tanggal 11 Agustus 1948 Musso kembali ke Jakarta setelah dua belas tahun di Uni
Soviet. Politibiro PKI direkonstruksi, termasuk D.N. Aidit, M.H. Lukman dan Njoto. Pada 5
September 1948 dia memberikan pidato anjuran agar Indonesia merapat kepada Uni Soviet.
Dan anjuran itu berujung pada peristiwa pemberontakan PKI di Madiun, Jawa Timur.
Bangkit kembali
Pada Agustus 1951, PKI memimpin serangkaian pemogokan-pemogokan, yang diikuti oleh
tindakan-tindakan tegas oleh kubu yang menentang PKI di Medan dan Jakarta. Akibatnya,
para pemimpin PKI kembali bergerak di bawah tanah untuk sementara waktu.
Pada Februari 1958 sebuah upaya kudeta yang dilakukan oleh kekuatan pro-AS antara
militer dan politik sayap kanan. Para pemberontak, yang berbasis di Sumatera dan Sulawesi,
memproklamasikan Pemerintah Revolusioner Republik Indonesia pada tanggal 15 Februari.
Pemerintah Revolusioner yang terbentuk ini segera mulai menangkapi ribuan anggota PKI
di daerah di bawah kendali mereka. PKI mendukung upaya Soekarno untuk memadamkan
pemberontakan, termasuk pemberlakuan hukum darurat militer. Pemberontakan itu
akhirnya dikalahkan.
Pada bulan Agustus 1959 terjadi upaya atas nama militer untuk mencegah penyelenggaraan
kongres PKI. Namun kongres digelar sesuai jadwal, dan ditangani oleh Sukarno sendiri.
Pada tahun 1960 Sukarno meluncurkan slogan Nasakom, singkatan dari Nasionalisme,
Agama, Komunisme. Dengan demikian peran PKI sebagai mitra junior dalam pemerintahan
Sukarno resmi dilembagakan. PKI menyambut baik peluncuran konsep Nasakom,
melihatnya dari segi front persatuan multikelas.
Pemilu 1955
Pemimpin DN Aidit bersama Sukarno di acara perayaan ulang tahun Partai Komunis
Indonesia
Sebelum pemilihan 1955, PKI disukai Sukarno untuk rencana 'demokrasi terpimpin' dan
merupakan pendukung aktif Sukarno.[12] Pada Pemilu 1955, PKI menempati tempat ke
empat dengan 16% dari keseluruhan suara. Partai ini memperoleh 39 kursi (dari 257 kursi
yang diperebutkan) dan 80 dari 514 kursi di Konstituante.
Pada Juli 1957, kantor PKI di Jakarta diserang dengan granat. Pada bulan yang sama PKI
memperoleh banyak kemajuan dalam pemilihan-pemilihan di beberapa kota. Pada
September 1957, Masjumi yang merasa tersaingi oleh PKI secara terbuka menuntut supaya
PKI dilarang [13].
Pada 3 Desember 1957, serikat-serikat buruh yang pada umumnya berada di bawah
pengaruh PKI, mulai menguasai perusahaan-perusahaan milik Belanda. Penguasaan ini
merintis nasionalisasi atas perusahaan-perusahaan yang dimiliki oleh asing. Perjuangan
melawan para kapitalis asing memberikan PKI kesempatan untuk menampilkan diri sebagai
sebuah partai nasional.
Pada Februari 1958 terjadi sebuah upaya koreksi terhadap kebijakan Sukarno yang mulai
condong ke timur di kalangan militer dan politik sayap kanan. Mereka juga menuntut agar
pemerintah pusat konsisten dalam melaksanakan UUDS 1950, selain itu pembagian hasil
bumi yang tidak merata antara pusat dan daerah menjadi pemicu. Gerakan yang berbasis di
Sumatera dan Sulawesi, mengumumkan pada 15 Februari 1958 telah terbentuk Pemerintah
Revolusioner Republik Indonesia (PRRI). Pemerintahan yang disebut revolusioner ini
segera menangkapi ribuan kader PKI di wilayah-wilayah yang berada di bawah kontrol
mereka. PKI mendukung upaya-upaya Soekarno untuk memadamkan gerakan ini, termasuk
pemberlakuan Undang-Undang Darurat. Gerakan ini pada akhirnya berhasil dipadamkan.
Dipa Nusantara Aidit (kiri) dan Revang dalam kongres kelima Partai Persatuan Sosialis
Jerman, Berlin Timur, 11 Juli 1958
Meskipun PKI mendukung Sukarno, ia tidak kehilangan otonomi politiknya. Pada bulan
Maret 1960, PKI mengecam penanganan demokratis anggaran oleh Sukarno. Pada tanggal 8
Juli, Harian Rakyat menerbitkan sebuah artikel yang mengkritik kebijakan pemerintah.
Pemimpin PKI sempat ditangkap oleh militer, namun kemudian dibebaskan atas perintah
dari Sukarno.
Ketika gagasan tentang Malaysia berkembang, PKI maupun Partai Komunis Malaya
menolaknya, dan baik PKI maupun Partai Komunis Malaya menganggap pembentukan
Malaysia sebagai proyek neo-kolonialisme dan neo-imperialisme Inggris dan sekutunya.
Dengan berkembangnya dukungan dan keanggotaan yang mencapai 3 juta orang pada 1965,
PKI menjadi partai komunis terkuat di luar Uni Soviet dan RRT. Partai itu mempunyai basis
yang kuat dalam sejumlah organisasi massa, seperti SOBSI (Sentral Organisasi Buruh
Seluruh Indonesia), Pemuda Rakjat, Gerwani, Barisan Tani Indonesia (BTI), Lembaga
Kebudajaan Rakjat (Lekra) dan Himpunan Sardjana Indonesia (HSI). Menurut perkiraan
seluruh anggota partai dan organisasi-organisasi yang berada di bawah payungnya mungkin
mencapai seperlima dari seluruh rakyat Indonesia.
Pada Maret 1962, PKI bergabung dengan pemerintah. Para pemimpin PKI, Aidit dan Njoto,
diangkat menjadi menteri penasihat. Pada bulan April 1962, PKI menyelenggarakan
kongres partainya. Pada 1963, pemerintah Malaysia, Indonesia dan Filipina terlibat dalam
pembahasan tentang pertikaian wilayah dan kemungkinan tentang pembentukan sebuah
Konfederasi Maphilindo, sebuah gagasan yang dikemukakan oleh presiden Filipina,
Diosdado Macapagal. PKI menolak gagasan pembentukan Maphilindo dan federasi
Malaysia. Para anggota PKI yang militan menyeberang masuk ke Malaysia dan terlibat
dalam pertempuran-pertempuran dengan pasukan-pasukan Inggris dan Australia. Sebagian
kelompok berhasil mencapai Semenanjung Malaysia lalu bergabung dalam perjuangan di
sana. Namun kebanyakan dari mereka ditangkap begitu tiba. Sebagian satuan tempur PKI
aktif di wilayah perbatasan Kalimantan.
Salah satu hal yang dilakukan PKI setelah masuk kedalam pemerintahan Orde Lama adalah
dengan diusulkannya Angkatan ke-5 yang terdiri dari buruh dan petani, Pimpinan PKI
bermaksud dengan dibentuknya angkatan kelima ini diharapkan dapat mendukung
mobilisasi massa untuk menuntaskan Operasi Dwikora dalam menghadapi Malaysia.
Namun, hal ini membuat TNI AD merasa khawatir takut adanya penyelewengan senjata
yang dilakukan PKI.
Pada Januari 1964 PKI mulai menyita properti Inggris yang dimiliki oleh perusahaan-
perusahaan Inggris di Indonesia.
Sukarno bersikap seimbang terhadap PKI. Para militer, faksi nasionalis, dan kelompok-
kelompok Islam terancam oleh pertumbuhan dan dukungan rakyat terhadap PKI.
Pertumbuhan dan pengaruh PKI fokus terhadap Amerika Serikat sebagai anti-komunis dan
kekuatan anti-komunis Barat lainnya. Karena situasi politik dan ekonomi pada saat itu
menjadi lebih tidak stabil; inflasi tahunan mencapai lebih dari 600 persen dan kondisi hidup
bagi masyarakat Indonesia memburuk.
PKI dirasakan oleh kalangan politik, beberapa bulan menjelang Peristiwa G30S, makin
kuat. Sehingga para pesaing PKI mulai khawatir PKI akan memenangkan pemilu
berikutnya. Gerakan-gerakan untuk menentang PKI mulai bermunculan, dan dipelopori oleh
Angkatan Darat. Pada Desember 1964, Chaerul Saleh dari Partai Murba (dibentuk oleh
mantan pemimpin PKI Tan Malaka) menyatakan bahwa PKI sedang mempersiapkan
kudeta. PKI menuntut larangan Partai Murba, tuntutan itu dipaksakan kepada Soekarno
pada awal 1965. Dalam konteks Konfrontasi dengan Malaysia, PKI menyerukan untuk
'mempersenjatai rakyat'. Sebagian besar pihak dari tentara Angkatan Darat melarang hal ini.
Sikap Soekarno tetap secara resmi untuk tidak terlalu mengambil komitmen atas hal
tersebut karena dalam konteks Konfrontasi dengan Malaysia seperti PKI. Pada bulan Juli
sekitar 2000 anggota PKI mulai menggelar pelatihan militer di dekat pangkalan udara
Halim. Terutama dalam konsep 'mempersenjatai rakyat' yang telah memenangkan banyak
dukungan di antara kalangan militer Angkatan Udara dan Angkatan Laut. Pada tanggal 8
September demonstran PKI memulai untuk pengepungan selama dua hari di Konsulat AS di
Surabaya. Pada tanggal 14 September, Aidit mengalamatkan kepada gerilyawan PKI untuk
mendesak anggota agar waspada dari hal-hal yang akan datang. Pada 30 September Pemuda
Rakyat dan Gerwani, kedua organisasi PKI terkait menggelar unjuk rasa massal di Jakarta
terhadap krisis inflasi yang melanda.
Soeharto menghadiri pemakaman jenderal-jenderal yang dibunuh pada tanggal 5 Oktober
1965. (Gambar oleh Departemen Penerangan Indonesia)
Pada malam 30 September dan 1 Oktober 1965, enam jenderal senior Indonesia dibunuh
dan mayat mereka dibuang ke dalam sumur. Pembunuh para jenderal mengumumkan
keesokan harinya bahwa Dewan Revolusi baru telah merebut kekuasaan, yang menyebut
diri mereka "Gerakan 30 September ("G30S"). Dengan banyaknya jendral tentara senior
yang mati atau hilang, Jenderal Suharto mengambil alih kepemimpinan tentara dan
menyatakan kudeta yang gagal pada 2 Oktober. Tentara dengan cepat menyalahkan upaya
kudeta PKI dan menghasut dengan kampanye propaganda anti-Komunis di seluruh
Indonesia. Bukti yang mengaitkan PKI untuk pembunuhan para jenderal tidak meyakinkan,
yang mengarah ke spekulasi bahwa keterlibatan mereka sangat terbatas, atau bahwa Suharto
mengorganisir peristiwa, secara keseluruhan atau sebagian, dan mengkambinghitamkan
kepada komunis.[butuh rujukan] Dalam pembersihan anti-komunis melalui kekerasan
berikutnya, diperkirakan 500.000 komunis (atau dicurigai) dibunuh, dan PKI secara efektif
dihilangkan (lihat Pembantaian di Indonesia 1965–1966). Jenderal Suharto kemudian
mengalahkan Sukarno secara politik dan diangkat menjadi presiden pada tahun 1968,
karena mengkonsolidasikan pengaruhnya atas militer dan pemerintah.
Pada tanggal 2 Oktober basis Halim berhasil ditangkap oleh pihak tentara. Harian Rakyat
mengambil isu pada sebuah artikel yang berisi untuk mendukung kudeta G30S, tetapi
spekulasi kemudian bangkit mengenai apakah itu benar-benar mewakili pendapat dari
PKI.[siapa?] Sebaliknya pernyataan resmi PKI pada saat itu adalah bahwa upaya G30S
merupakan urusan internal di dalam angkatan bersenjata mereka. Pada tanggal 6 Oktober
kabinet Sukarno mengadakan pertemuan pertama sejak 30 September. Menteri PKI hadir.
Sebuah resolusi mengecam G30S disahkan. Njoto ditangkap langsung setelah pertemuan
itu.
Presiden Soekarno berkali-kali melakukan pembelaan bahwa PKI tidak terlibat dalam
peristiwa sebagai partai melainkan karena adanya sejumlah tokoh partai yang bertindak di
luar kontrol dan terpancing oleh insinuasi Barat, dan karena itu Soekarno tidak akan
membubarkan PKI. Kemudian, pimpinan dan sejumlah perwira Angkatan Darat memberi
versi keterlibatan PKI sepenuhnya, dalam penculikan dan pembunuhan enam jenderal dan
seorang perwira pertama Angkatan Darat pada tengah malam 30 September menuju dinihari
1 Oktober 1965. Versi ini segera diterima secara umum sesuai fakta kasat mata yang
terhidang dan ditopang pengalaman buruk bersama PKI dalam kehidupan sosial dan politik
pada tahun-tahun terakhir. Hanya saja harus diakui bahwa sejumlah perwira penerangan
telah menambahkan dramatisasi artifisial terhadap kekejaman, melebihi peristiwa
sesungguhnya (in factum). Penculikan dan kemudian pembunuhan para jenderal menurut
fakta memang sudah kejam, tetapi dramatisasi dengan pemaparan yang hiperbolis dalam
penyajian, telah memberikan efek mengerikan melampaui batas yang mampu dibayangkan
semula. Dan akhirnya, mengundang pembalasan yang juga tiada taranya dalam penumpasan
berdarah antar manusia di Indonesia.
Manifestasi besar diadakan di Jakarta dua hari kemudian, menuntut pelarangan PKI. Kantor
utama milik PKI dibakar. Pada tanggal 13 Oktober organisasi Islam Ansor mengadakan aksi
unjuk rasa anti-PKI di seluruh Jawa. Pada tanggal 18 Oktober sekitar seratus PKI dibunuh
oleh pihak Ansor. Pemusnahan secara sistematis untuk partai telah dimulai.
Antara 300.000 sampai satu juta orang Indonesia dibunuh dalam pembunuhan massal yang
digelar.[15] [4] Para korban termasuk juga non-komunis yang dibunuh karena kesalahan
identitas atau "kesalahan oleh asosiasi". Namun, kurangnya informasi menjadi tidak
mungkin untuk menentukan angka pasti dari jumlah korban yang dibunuh. Banyak para
peneliti hari ini menjelaskan korban yang dibunuh antara 200.000 sampai 500.000 orang.[16]
Sebuah studi dari CIA tentang peristiwa di Indonesia ini menilai bahwa "Dalam hal jumlah
korban pembantaian oleh anti-PKI, Indonesia masuk dalam salah satu peringkat
pembunuhan massal terburuk di abad ke-20 ...".[17]
Ketika dua pria sedang menanti kematiannya, seroang tentara di belakang mereka
menusukkan bayonetnya ke mayat-mayat di bawah kakinya.
Time menyajikan berita berikut pada tanggal 17 Desember 1966:
Komunis, simpatisan merah dan keluarga mereka dibantai yang mencapai ribuan. Unit
tentara dilaporkan telah mengeksekusi ribuan komunis setelah diinterogasi di penjara-
penjara terpencil. Berbekal pisau berbilah lebar yang disebut parang, kelompok Muslim
merayap di malam hari ke rumah-rumah komunis, membunuh seluruh keluarga dan
mengubur mayat mereka di kuburan dangkal.
Kampanye pembunuhan ini sangatlah kejam di beberapa daerah pedesaan di Jawa Timur,
para milisi Islam menancapkan kepala korban pada tiang dan mereka mengarak melalui
desa-desa. Pembunuhan telah pada skala tinggi sehingga pembuangan mayat telah
menciptakan masalah sanitasi yang serius di Jawa Timur dan Sumatera Utara di mana udara
lembab penuh bau busuk daging. Pengunjung dari daerah tersebut mengatakan sungai kecil
dan besar yang telah benar-benar tersumbat dengan mayat tubuh.
Di antara daerah-daerah yang terkena dampak terburuk adalah pulau Bali, di mana PKI
telah berkembang pesat sebelum tindakan kerasasan. Pada tanggal 11 November bentrokan
meletus antara PKI dan PNI, yang berakhir dengan pembantaian terhadap anggota dan
simpatisan yang dituduh PKI. Jika banyak dari pogrom anti-PKI di seluruh daerah lain itu
dilakukan oleh organisasi-organisasi politik Islam, pembunuhan di Bali dilakukan atas nama
Hindu. Bali berdiri sebagai satu-satunya tempat di negara di mana tentara lokal dalam
beberapa cara intervensi untuk mengurangi pembantaian tersebut.
Pada bulan Desember militer menyatakan bahwa Aceh telah dibersihkan dari komunis.
Bersamaan, khusus Pengadilan Militer yang dibentuk untuk mengadili dan memenjarakan
para anggota PKI. Pada 12 Maret, partai PKI secara resmi dilarang oleh Suharto, dan serikat
buruh pro-PKI SOBSI dilarang pada bulan April.
Penjara-penjara di Jakarta begitu penuh, hampir seluruh penjara digunakan untuk menahan
anggota PKI. Banyak tahanan politik ditahan tanpa dasar yang jelas. Sejak saat itu, identitas
banga Indonesia berubah total sesudah 1965. Semangat anti-kolonialisme hilang dan anti-
komunisme menjadi dasar identitas bangsa. Kebencian terhadap sesama orang Indonesia
menjadi basis untuk menentukan siapa warganegara yang jahat dan baik.[19]
Beberapa peristiwa yang menggemparkan itu dituangkan dalam novel fiksi populer dan
difilmkan dengan judul yang sama yaitu The Year of Living Dangerously (1982).
Perkembangan pasca-1965
Meskipun mendapat perlawanan secara sporadis, PKI berdiri dengan lumpuh setelah
pembunuhan 1965-1966. Sebagai hasil dari pembunuhan massal ini, kepemimpinan partai
lumpuh di semua tingkat, meninggalkan banyak mantan pendukung dan kekecewaan
simpatisan, tanpa pemimpin lagi, dan tidak terorganisir. Pada bulan September 1966, sisa-
sisa partai politbiro mengeluarkan pernyataan kritik diri, mengkritik kerjasama sebelumnya
dengan rezim Sukarno. Setelah pembunuhan Aidit dan Njoto, Sudisman, pemimpin PKI di
tingkat keempat sebelum Oktober 1963, mengambil alih kepemimpinan partai. Dia berusaha
untuk membangun kembali partai atas dasar saling keterkaitan tiga kelompok anggota,
namun hanya berdampak sedikit kemajuan sebelum akhirnya ia ditangkap pada Desember
1966 [20]. Pada tahun 1967 ia dijatuhi hukuman mati.
Beberapa kader PKI telah mengungsi di sebuah wilayah terpencil di selatan Blitar, Jawa
Timur menyusul tindakan kekerasan terhadap partai. Di antara para pemimpin yang hadir di
Blitar adalah anggota Politbiro Rewang, teoretikus partai Oloan Hutapea, dan pemimpin
Jawa Timur Ruslan Widjajasastra. Blitar merupakan daerah tertinggal dengan PKI yang
memiliki dukungan kuat di kalangan kaum tani. Pihak militer tidak menyadari bahwa PKI
telah mampu mengkonsolidasikan dirinya di sana. Para pemimpin PKI ini bergabung
dengan Letkol Pratomo, mantan komandan Distrik Militer Pandeglang di Jawa Barat, yang
membantu memberikan pelatihan militer untuk Komunis lokal di Blitar. Namun pada Maret
1968 kekerasan meletus di Blitar, petani lokal menyerang para pemimpin dan kader
Nahdatul Ulama, sebagai balasan atas Nahdatul Ulama yang telah memainkan peran dalam
penganiayaan antikomunis. Sekitar 60 kader NU tewas. Namun ilmuwan politik Australia
Harold Crouch berpendapat bahwa itu tidak mungkin bahwa pembunuhan kader NU di
Blitar telah dilakukan atas perintah dari para pemimpin PKI di Blitar. Militer menyadari
daerah kantong PKI di Blitar tersebut dan menghancurkannya pada pertengahan tahun
1968.[21]
Beberapa kader partai yang sementara di luar Indonesia pada saat peristiwa 30 September.
Terutama delegasi yang cukup besar melakukan perjalanan ke Republik Rakyat Tiongkok
untuk berpartisipasi dalam perayaan ulang tahun Revolusi Cina. Sedangkan yang lainnya
telah meninggalkan Indonesia untuk melanjutkan studi di Eropa Timur. Dalam pengasingan,
aparatur partai terus berfungsi. Bagaimanapun, sebagian besar dari mereka terisolasi dari
perkembangan politik di dalam Indonesia. Di Jawa, beberapa desa yang dikenal sebagai
tempat perlindungan bagi anggota atau simpatisan yang telah diidentifikasi oleh pihak
berwenang, dan dilindungi di bawah pengawasan secara hati-hati untuk waktu yang cukup.
Sampai tahun 2004, mantan anggota PKI masih dilarang dan masuk daftar hitam dari
banyak pekerjaan termasuk apabila ingin bekerja di pemerintahan, sebagaimana kebijakan
rezim Soeharto yang telah dijalankan sejak pembersihan PKI tahun 1965. Selama masa
presiden Abdurrahman Wahid, ia mengundang mantan buangan PKI untuk kembali ke
Indonesia pada tahun 1999, dan mengusulkan menghilangkan pembatasan diskusi terbuka
atas ideologi komunis. Dalam berdebat untuk penghapusan larangan itu, Wahid mengutip
dari UUD 1945 Indonesia, yang tidak melarang atau bahkan secara khusus menyebutkan
komunisme. Usulan Wahid itu ditentang oleh beberapa kelompok masyarakat Indonesia,
khususnya kelompok Islam konservatif. Dalam sebuah protes pada April 2000, sebuah
kelompok yang disebut Front Islam Indonesia berjumlah sepuluh ribu orang datang ke
Jakarta terkait usulan Wahid. Tentara tidak segera menolak proposal tersebut, namun
menjanjikan "studi komprehensif dan teliti" terhadap ide tersebut.[22]