Anda di halaman 1dari 16

BAB I

PENDAHULUAN

Pneumonia merupakan penyebab utama kematian balita di dunia. Pneumonia


menyebabkan kematian lebih dari 2 juta balita setiap tahunnya. Pneumonia
disebabkan oleh peradangan paru yang membuat napas menjadi sakit dan asupan
oksigen sedikit. Tingginya angka kematian balita akibat pneumonia mengakibatkan
target MDG’s (Millennium Development Goals) ke-4 yang bertujuan menurunkan
angka kematian anak sebesar 2/3 dari tahun 1990 sampai 2014 tidak tercapai.
WHO memperkirakan pada tahun 2013, ada 935.000 balita meninggal karena
pneumonia. Kematian balita karena pneumonia sebagian besar diakibatkan oleh
pneumonia berat berkisar antara 7%-13%. Berdasarkan penelitian Wulandari, dkk
pada tahun 2014, menyatakan bahwa orang yang terkena pneumonia berat berisiko
20,274% mengalami kematian. Selain itu pneumonia lebih banyak terjadi di negara
berkembang (82%) dibandingkan negara maju (0,05%). Menurut WHO, kematian
pneumonia di Indonesia pada tahun 2013 berada pada urutan ke-8 setelah India
(174.000), Nigeria (121.000), Pakistan (71.000), DRC (48.000), Ethiopia (35.000),
China (33.000), Angola (26.000), dan Indonesia (22.000).
Pneumonia merupakan penyebab kematian balita ke-2 di Indonesia setelah
diare. Jumlah penderita pneumonia di Indonesia pada tahun 2013 berkisar antara
23%-27% dan kematian akibat pneumonia sebesar 1,19% berdasarkan data kemenkes
RI pada tahun 2014.
Pneumonia di negara berkembang dipengaruhi oleh beberapa faktor intrinsik

maupun ekstrinsik. Menurut penelitian Mokoginta pada tahun 2013, menyebutkan

bahwa faktor intrinsik penyebab pneumonia seperti pemberian ASI eksklusif

(OR=4,47) dan status gizi (OR=1,18), sedangkan faktor ekstrinsik penyebab

pneumonia antara lain jenis lantai (OR=3,21), kondisi lantai (OR=1,97), dan ventilasi

rumah (OR=2,03). Berdasarkan penelitian Sarmia dan Suhartatik (2014),

menyimpulkan bahwa faktor dominan penyebab pneumonia berasal dari faktor

intrinsik seperti status gizi (p=0,002), imunisasi lengkap (p=0,004) dan riwayat BBLR

(p=0,001) dengan kejadian pneumonia pada balita. Maka mengingat segala


komplikasi yang dapat terjadi dan masih tingginya angka kejadian penyakit ini,

penulis merasa perlu membuat referat tentang pneumonia pada anak untuk

mengetahui gambaran umum, cara menegakkan diagnosis maupun

penatalaksanaannya.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Definisi
Pneumonia adalah infeksi akut yang mengenai jaringan paru-paru
(alveoli) dan mempunyai gejala batuk, sesak nafas, ronki, dan infiltrat pada
foto rontgen. Terjadinya pneumonia pada anak sering kali bersamaan dengan
terjadinya proses infeksi akut disebut bronkopneumonia. Dalam pelaksanaan
pengendalian penyakit ISPA semua bentuk pneumonia (baik pneumonia
maupun bronkopneumonia), disebut “Pneumonia” saja.

2.2. Epidemiologi
Pneumonia merupakan penyebab kematian balita ke-2 di Indonesia
setelah diare. Jumlah penderita pneumonia di Indonesia pada tahun 2013
berkisar antara 23%-27% dan kematian akibat pneumonia sebesar 1,19%
(Kemenkes RI, 2014). Data 10 besar penyakit terbanyak pada pasien rawat
jalan Rumah Sakit di Indonesia tahun 2009, menempatkan infeksi saluran
napas bagian atas pada urutan pertama dengan total kasus sebanyak 488.794.
Pneumonia merupakan salah satu penyebab tertinggi kematian balita di
dunia maupun di Indonesia. Menurut laporan UNICEF tahun 2013, pneumonia
membunuh lebih dari 3.000 anak balita setiap harinya di tahun 2012 yang
berarti pneumonia adalah pembunuh terbesar balita dan merupakan penyebab
kematian utama penyakit infeksi pada balita. Pneumonia juga tercatat
menyumbang 17% dari seluruh kematian balita, sebagian diantaranya kurang
dari 2 tahun. Pada tahun 2015, berdasarkan data yang dirilis oleh Direktorat
Jenderal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan (Ditjen P2PL)
Kemenkes RI, diperkirakan sekitar 16% (944.000) dari seluruh kematian balita
(5,9 juta) di dunia diakibatkan penyakit pneumonia. Sedangkan pada tahun
2016 berdasarkan laporan WHO, angka kematian akibat Pneumonia di seluruh
dunia pada anak dengan usia di bawah 5 tahun adalah sebesar 15%.

2.3. Etiologi
Pneumonia dapat disebabkan oleh berbagai agen infeksius, termasuk virus
bakteri dan jamur. Yang tersering adalah:
 Streptococcus pneumoniae merupakan bakteri penyebab pneumonia
yang tersering pada anak.
 Haemophilus influenzae type b (Hib) merupakan bakteri tersering
setelah Streptococcus pneumoniae
 Respiratory syncytial virus (RSV) merupakan golongan virus yang
paling sering menyebabkan pneumonia
 Pada anak dengan HIV, Pneumocystis jiroveci adalah penyebab
tersering yang meyebabkan pneumonia, dan bertanggung terhadap
kematian penderita pneumonia dengan HIV pada anak, paling tidak
setengah dari seluruh penderita.
Bakteri dan virus tersebut biasanya menyebar melalui hidung atau
tenggorok anak, kemudian dapat menginfeksi paru-paru saat mereka
terhirup. Bakteri dan virus tersebut juga dapat menyebar melalui droplet
udara, terutama selama atau setelah kelahiran.
Beberapa bakteri dan virus yang merupakan penyebab tersering
berdasarkan usia:

Tabel 1. Bakteri dan virus penyebab tersering pneumonia pada anak


2.4. Klasifikasi
WHO merekomendasikan penggunaan peningkatan frekuensi napas dan
retraksi subkosta untuk mengklasifikasikan pneumonia di negara berkembang.
Namun demikian, kriteria tersebut mempunyai sensitivitas yang buruk untuk
anak malnutrisi dan sering overlapping dengan gejala malaria. Klasifikasi
pneumonia berdasarkan WHO dijelaskan pada tabel berikut :

Tabel 2. Klasifikasi pneumonia pada anak berdasarkan WHO


Klasifikasi Anak usia < 2 bulan Anak usia 2 bulan – 5 tahun
Pneumonia  Kesadaran menurun, letargi  Kesadaran menurun, letargi
sangat berat  Tidak mau menyusu/minum  Tidak mau minum
 Kejang  Kejang
 Demam atau hipotermi  Sianosis
 Bradipnea atau pernapasan  Malnutrisi
ireguler
Pneumonia  Napas cepat  Retraksi (+)
berat  Retraksi yang berat  Masih dapat minum
 Sianosis (-)
Pneumonia  Takipnea
ringan  Retraksi (-)

Sedangkan klasifikasi klinis pneumonia berdasarkan Depkes RI adalah


sebagai berikut:

Table 3. klasifikasi klinis pneumonia berdasarkan Depkes RI


Kelompok Umur Kriteria Pneumonia Gejala Klinis
2 bulan - < 5 tahun Batuk bukan pneumonia Tidak ada nafas cepat dan
tidak ada tarikan dinding
dada ke dalam
Pneumonia Adanya nafas cepat dan
tidak ada tarikan dinding
dada ke dalam
Pneumonia berat Adanya tarikan dinding
dada ke dalam
< 2 bulan Bukan pneumonia Tarikan nafas cepat dan
tidak ada tarikan dinding
ke dalam yang kuat
Pneumonia berat Adanya nafas cepat dan
tarikan dinding dada ke
dalam yang kuat

Klasifikasi pneumonia berdasarkan predileksi infeksi:


a. Pneumonia lobaris. Sering pada pneumonia bakterial, jarang pada bayi
dan orang tua. Pneumonia yang terjadi pada satu lobus atau segmen
kemungkinan sekunder disebabkan oleh obstruksi bronkus misalnya :
pada aspirasi benda asing atau proses keganasan.
b. Bronkopneumonia. Ditandai dengan bercak-bercak infiltrat pada lapangan
paru. Dapat disebabkan oleh bakteria maupun virus. Sering pada bayi dan
orang tua. Jarang dihubungkan dengan obstruksi bronkus 

c. Pneumonia interstisial, proses inflamasi yang terjadi di dalalm dinding
alveolar (interstisium) dan jaringan peribronkial serta interlobular.

2.5. Patofisiologi
Proses patogenesis pneumonia terkait 3 faktor yaitu keadaan (imunitas)
inang, mikroorganisme yang menyerang pasien dan lingkungan yang
berinteraksi satu sama lain. Interaksi ini akan menentukan klasifikasi dan
bentuk manifestasi dari pneumonia, berat ringannya penyakit, diagnosis
empirik, rencana terapi seara empiris serta prognosis dari pasien.
Di antara semua pneumonia bakteri, patogenesis dari pneumonia akibat
dari bakteri pneumokokus merupakan yang paling banyak diselidiki.
Pneumokokus umumnya mencapai alveoli lewat percikan mukus atau saliva.
Lobus bagian bawah paru-paru paling sering terkena karena efek gravitasi.
Setelah mencapai alveoli, maka pneumokokus menimbulkan respon yang khas
terdiri dari 4 tahap yang berurutan :
1. Kongesti (24 jam pertama) : Merupakan stadium pertama, eksudat yang
kaya protein keluar masuk ke dalam alveolar melalui pembuluh darah yang
berdilatasi dan bocor, disertai kongesti vena. Paru menjadi berat,
edematosa dan berwarna merah.
2. Hepatisasi merah (48 jam berikutnya) : Terjadi pada stadium kedua, yang
berakhir setelah beberapa hari. Ditemukan akumulasi yang masif dalam
ruang alveolar, bersama-sama dengan limfosit dan magkrofag. Banyak sel
darah merah juga dikeluarkan dari kapiler yang meregang. Pleura yang
menutupi diselimuti eksudat fibrinosa, paru-paru tampak berwarna
kemerahan, padat tanpa mengandung udara, disertai konsistensi mirip hati
yang masih segar dan bergranula (hepatisasi = seperti hepar).
3. Hepatisasi kelabu (3-8 hari) : Pada stadium ketiga menunjukkan akumulasi
fibrin yang berlanjut disertai penghancuran sel darah putih dan sel darah
merah. Paru-paru tampak kelabu coklat dan padat karena leukosit dan
fibrin mengalami konsolidasi di dalam alveoli yang terserang.
4. Resolusi (8-11 hari) : Pada stadium keempat ini, eksudat mengalami lisis
dan direabsorbsi oleh makrofag dan pencernaan kotoran inflamasi, dengan
mempertahankan arsitektur dinding alveolus di bawahnya, sehingga
jaringan kembali pada strukturnya semula.

2.6. Gejala Klinis


Gejala yang sering terlihat pada anak yang menderita pneumonia
adalah demam, batuk, kesulitan bernafas, terlihat adanya retraksi interkostal,
nyeri dada, penurunan bunyi nafas, pernafasan cuping hidung, sianosis, batuk
kering kemudian berlanjut ke batuk produktif dengan adanya ronkhi basah,
frekuensi nafas > 50 kali per menit.
Berikut tabel kriteria distres pernapasan pada anak dengan pneumonia:
Tabel 4. Tanda distres pernapasan pada anak dengan pneumonia
Penghitungan frekuensi nafas cepat dilakukan dalam satu menit penuh
pada waktu anak dala keadaan tenang. Nafas sesak ditentukan dengan melihat
adanya cekungan dinding dada bagian bawah waktu menarik nafas (adanya
retraksi epigastrium atau retraksi subkosta), sianosis dideteksi dengan melihat
warna kebiruan di sekitar mulut atau puncak hidung anak

2.7. Diagnosis
Diagnosis pneumonia yang terbaik adalah berdasarkan etiologi, yaitu
dengan pemeriksaan mikrobiologik. Sayangnya pemeriksaan ini banyak sekali
kendalanya, baik dari segi teknis maupun biaya. Bahkan dalam penelitianpun
kuman penyebab spesifik hanya dapat diidentifikasi pada kurang dari 50%
kasus. Dengan demikian diagnosis pneumonia terutama berdasarkan
manifestasi klinis, dibantu pemeriksaan penunjang lain. Tanpa pemeriksaan
mikrobiologik, kesulitan yang lebih besar adalah membedakan kuman
penyebab; bakteri, virus, atau kuman lain. Berikut merupakan pedoman klinis
untuk membedakan penyebab pneumonia oleh bakteri dan virus:

Tabel 5. Pedoman klinis untuk membedakan penyebab pneumonia

Gambaran radiologis
Foto toraks


Pemeriksaan penunjang utama untuk menegakkan diagnosis adalah
dengan pemeriksaan radiologi. Gambaran radiologis dapat berupa infiltrat
sampai konsolidasi dengan "air broncogram", penyebab bronkogenik dan
interstisial serta gambaran kaviti. Foto toraks saja tidak dapat secara khas
menentukan penyebab pneumonia, hanya merupakan petunjuk ke arah
diagnosis etiologi, misalnya gambaran pneumonia lobaris tersering disebabkan
oleh Steptococcus pneumoniae, Pseudomonas aeruginosa sering
memperlihatkan infiltrat bilateral atau gambaran bronkopneumonia sedangkan
Klebsiela pneumonia sering menunjukkan konsolidasi yang terjadi pada lobus
atas kanan meskipun dapat mengenai beberapa lobus.

Gambar1. Tampak infiltrat alveoler di lobus kanan bawah ec. S pneumoniae

Secara umum gambaran foto toraks terdiri dari:


 Infiltrat interstisial, ditandai dengan peningkatan corakan

bronkovaskular, peribronchial cuffing dan hiperaerasi 

 Infiltrat alveolar, merupakan konsolidasi paru dengan air bronchogram.

Konsolidasi dapat mengenai satu lobus disebut dengan pneumonia
lobaris atau terlihat sebagai lesi tunggal yang biasanya cukup besar,
berbentuk sferis, berbatas yang tidak terlalu tegas dan menyerupai lesi
tumor paru disebut sebagai round pneumonia 

 Bronkopneumonia ditandai dengan gambaran difus merata pada kedua
paru berupa bercak-bercak infiltrat yang dapat meluas hingga daerah
perifer paru disertai dengan peningkatan corakan peribronkial.

Gambaran foto rontgen toraks dapat membantu mengarahkan
kecenderungan etiologi. Penebalan peribronkial, infiltrat interstitial merata
dan hiperinflasi cenderung terlihat pada pneumonia virus. Infiltrat alveolar
berupa konsolidasi segmen atau lobar, bronkopneumonia dan air
bronchogram sangat mungkin disebabkan oleh bakteri. 


Pemeriksaan labolatorium

Pada pemeriksaan labolatorium terdapat peningkatan jumlah leukosit,
biasanya lebih dari 10.000/ul kadang-kadang mencapai 30.000/ul, dan pada
hitungan jenis leukosit terdapat pergeseran ke kiri serta terjadi peningkatan
LED. Untuk menentukan diagnosis etiologi diperlukan pemeriksaan dahak,
kultur darah dan serologi. Kultur darah dapat positif pada 20-25% penderita
yang tidak diobati. Analisis gas darah menunjukkan hipoksemia dan hikarbia,
pada stadium lanjut dapat terjadi asidosis respiratorik.

2.8. Diagnosis Banding


Beberapa diagnosis banding anak yang datang dengan keluhan batuk
dan atau kesulitan bernafas :

Tabel 6. Diagnosis banding pneumonia pada anak

2.8. Tatalaksana
Sebagian besar pneumonia pada anak tidak perlu dirawat inap. Indikasi
perawatan terutama berdasarkan berat-ringannya penyakit. Neonatus dan bayi
kecil dengan kemungkinan klinis pneumonia harus dirawat inap.
Tabel 7. Kriteria rawat inap pasien pneumonia pada bayi dan anak
Bayi Anak
Saturasi oksigen ≤ 92%, sianosis Saturasi oksigen <92%, sianosis
Frekuensi pernapasan >60x/menit Frekuensi pernapasan >50x/menit
Distres pernapasan, apnea intermiten, Distress pernapasan
atau grunting
Tidak mau minum/menetek Grunting
Keluarga tidak bisa merawat di rumah Keluarga tidak bisa merawat di rumah

Dasar tatalaksana pneumonia rawat inap adalah pengobatan kausal


dengan antibiotik yang sesuai, serta tindakan suportif. Pengobatan suportif
meliputi pemberian cairan intravena, terapi oksigen, koreksi terhadap
gangguan keseimbangan asam-basa, elektrolit dan gula darah.
Pada pneumonia rawat inap dapat diberikan ampisilin/amoksisilin (25-
50 mg/kgBB/kali IV atau IM setiap 6 jam), harus dipantau 24 jam selama 72
jam pertama. Bila anak memberikan respons yang baik maka diberikan selama
5 hari. Selanjutnya terapi dilanjutkan di rumah atau di rumah sakit dengan
amoksisilin oral (15mg/kgBB/kali diberikan 3 kali sehari) untuk 5 hari
berikutnya.
Bila keadaan klinis memburuk sebelum 48 jam atau terdapat keadaan
yang berat (tidak dapat menyusu atau minum/makan, ata memuntahkan
semuanya, kejang, letargis atau tidak sadar, sianosis, distress pernapasan
berat) maka ditambahkan kloramfenikol (25 mg/kgBB/kali IM atau IV setiap 8
jam).
Bila pasien datang dengan keadaan klinis berat, segera berikan oksigen
dan pengobatan kombinasi ampisilin-kloramfenikol atau ampisilin-gentamisin.
Sebagai alternatif, beri seftriakson (80-100 mg/kgBB IM atau IV sekali
sehari).
Apabila diduga pneumonia stafilokokal, ganti antibiotik dengan
gentamisin (7,5 mg/kgBB IM sekali sehari) dan kloksasiklin (50 mg/kgBB IM
atau IV setiap 6 jam) atau klindamisin (15 mg/kgBB/hari-3 kali pemberian).
Bila keadaan anak membaik, lanjutkan klosasiklin (atau diklosasiklin) secara
oral 4 kali sehari sampai secara keseluruhan mencapai 3 minggu, atau
klindamisin secara oral selama 2 minggu.
Pada pasien rawat inap dapat diperbolehkan pulang dengan kriteria
sebagai berikut:
 Gejala dan tanda pneumonia menghilang
 Asupan peroral adekuat

 Pemberian antibiotik dapat diteruskan dirumah (peroral)

 Keluarga mengerti dan setuju untuk pemberian terapi dan rencana kontrol
dan kondisi rumah memungkinkan untuk perawatan lanjutan dirumah.

Tatalaksana yang dapat dilakukan berdasarkan klasifikasi 2 kelompok


umur balita pneumonia, sebagai berikut :
1. Pneumonia sangat berat pada anak umur 2 Bulan s.d 59 Bulan dengan
tanda bahaya, seperti tidak bisa minum, kejang, kesadaran menurun,
stridor pada waktu anak tenang, gizi buruk, tampak biru (sianosis), ujung
tangan dan kaki pucat dan dingin.
 Rujuk segera ke Rumah Sakit
 Beri 1 dosis antibiotik suntikan/oral
 Obati demam (Jika ada)
 Bila sedang kejang beri diazepam
 Bila ada stidor, sianosis, dan ujung tangan dan kaki pucat dan dingin
berikan oksigen
 Cegah agar gula darah tidak menurun
 Jaga anak tetap hangat
2. Pneumonia berat pada anak umur 2 bulan s.d 59 bulan dengan
tanda/gejala, seperti tarikan dinding dada ke dalam (TDDK) atau saturasi
oksigen <90.
 Beri oksigen maksimal 2-3 liter per menit
 Berikan dosis pertama antibiotik yang sesuai
 Beri pengobatan pra rujukan seperti pemberian antibiotik, atasi
demam, wheezing, kejang, dan sebagainya).
 Rujuk segera ke Rumah Sakit
3. Pneumonia pada anak berumur 2 bulan s.d 59 bulan dengan tanda/gejala yakni
adanya napas cepat (50 x/menit atau lebih).
 Berikan amoksisilin oral dosis tinggi 2 kali perhari untuk 3 hari
 Beri pelega tenggorokan dan pereda batuk yang aman
 Apabila batuk > 14 hari rujuk
 Apabila wheezing berulang rujuk
 Nasehati ibu untuk memberikan obat sesuai anjuran petugas kesehatan
dan bawa kembali jika keadaan anak bertambah buruk serta jelaskan cara
pemberian antibiotik
 Kunjungan ulang dalam 3 hari
 Obati wheezing bila ada
4. Pneumonia berat pada bayi umur < 2 bulan yang ditandai, seperti tarikan
dinding dada yang kuat atau adanya napas cepat 60x/menit atau lebih.
Tindakan yang dilakukan, sebagai berikut:
 Rujuk segera ke RS
 Sebelum meninggalkan Puskesmas, beri pengobatan pra rujukan seperti
pemberian antibiotik, atasi demam, wheezing, kejang, dan sebagainya).
 Berikan 1 kali dosis antibiotik sebelum anak di rujuk
 Anjurkan ibunya untuk tetap memberikan ASI.
 Jaga bayi tetap hangat dengan menyelimuti bayi dan tetap menempelkan
ke tubuh ibunya.
 Jika tidak dapat dirujuk, lakukan pengobatan di Puskesmas.

Obat-obatan
1. Antibiotik
Antibiotik oral pilihan pertama amoksisilin. Obat ini dipilih karena
sangat efektif, cara pemberiannya mudah dan murah. Antibiotik pilihan kedua
eritromisin.

Tabel 8. Dosis amoksisilin dan eritromisin sesuai dengan umur dan berat badan
Tindakan Prarujukan:
Anak-anak berusia 2 - < 60 bulan dengan
pneumonia berat harus ditangani dengan ampisilin parenteral (atau penisilin)
dan gentamisin sebagai pengobatan lini pertama.
- Ampisilin : 50 mg/kg BB IM diberikan hanya 1 kali suntikan dan 

- Gentamisin : 7,5 mg/kg BB IM diberikan hanya 1 kali suntikan 

Pada bayi berumur <2 bulan pemberian antibiotik oral merupakan
tindakan prarujukan dan diberikan jika bayi masih bisa minum. Jika bayi tidak
bisa minum maka diberikan dengan injeksi intramuskular . 


2. Antipiretik
Demam sangat umum terjadi pada infeksi saluran pernapasan akut.
Penatalaksanaan demam tergantung dari apakah demam itu tinggi atau rendah.
Jika demam tidak tinggi (<38,5°C) maka menyarankan kepada ibu untuk
memberikan cairan lebih banyak dan tidak diperlukan pemberian paracetamol.
Sedangkan pada bayi dengan demam tinggi (≥38,5°C) diberikan paracetamol
setiap 6 jam dengan dosis yang sesuai serta beritahukan kepada ibu untuk
memberikan pakaian yang ringan dan tidak berlapis kepada anaknya.

Tabel 9. Dosis parasetamol pada anak dengan pneumonia

3. Pengobatan mengi (Wheezing)


 Bronkodilator kerja cepat
 Salbutamol nebulisasi 2,5 mg/2,5 ml
 Salbutamo dengan MDI (Metered-Dose Inhaler)
 Jika keduanya tidak tersedia berikan epinefrin 0,01 ml/kgBB dalam
larutan 1:1000 (dosis maksimum 0,3 ml) secara subkutan
DAFTAR PUSTAKA

 Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. 2015. Pedoman tatalaksana


pneumonia balita. Direktorat Jenderal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan
Lingkungan
 Grouzard V, Rigal J, Sutton M. 2016. Clinical guidelines diagnosis and treatment
manual 2016 edition. Médecins Sans Frontières
 Chalmers JD et al. 2014. ERS: Community-Acquired Pneumonia. European
Respiratory Society

 Ditjen P2PL, 2012, Modul Tatalaksana Standar Pneumonia, Kementrian
Kesehatan RI, Jakarta.
 Rahajoe, Nastini.N., dkk. 2008. Buku Ajar Respirologi, Edisi 1. Jakarta : IDAI 

 Bradley JS, Byington CL, Shah SS, Alverson B, Carter ER, Harrison C, et al. The
management of community-acquired pneumonia in infants and children older than
3 months of age : clinical practice guidelines by the pediatric infectious diseases
society and the infectious diseases society of America. Clin Infect Dis. 2011; 53
(7):617-30.
 World Health organization (WHO). 2014. Revised WHO classification and
treatment of childhood pneumonia at health facilities evidence summaries
 Kementrian Kesehatan RI. 2014. Profil Kesehatan Republik Indonesia 2013.
Jakarta: Kementrian Kesehatan RI.Arikunto, S. 2013. Prosedur Penelitian Suatu
Pendekatan Praktis. Jakarta: Rineka Cipta.
 Mokoginta D., Arsin A., Sidik D. 2013. Faktor Risiko Kejadian Pnemonia Pada
Anak Balita Di Wilayah Kerja Puskesmas Sudiang Kota Makassar. Makasar:
Universitas Hasanudin.
 WHO Media Center. 2013. Pneumonia. Fact Sheet N
331http://www.who.int/mediacentre/fac tsheets/fs331/en/. Diakses tanggal 18
Maret 2018 pukul 17.00 WIB.
 WHO.2014. Media Center. Countries vow to combat malnutrition through firm
policies and actions.Diakses tanggal 21 April 2015 pukul 10.00 WIB.
 Wulandari D.A, Sudarwati S, Suwardi A.U, Ghrahani R, Kartasasmitra C.B,.
2014. Kematian Akibat Pneumonia Berat pada Anak Balita. Jurnal. Fakultas
Kesehatan, universitas Hasanudin. Vol. 45 no 1 tahun 2013.

Anda mungkin juga menyukai