Anda di halaman 1dari 8

Etika dalam Bisnis Global

Untuk Keperluan Mata Kuliah Etika Bisnis

Oleh:
Siwi Nurjayanti 155020301111028
Dilia Angela 155020301111037
Nastiti Kartika Dewi 155020307111057

JURUSAN AKUNTANSI
FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS
UNIVERSITAS BRAWIJAYA
2018
A. Etika dalam Bisnis Internasional
Dilihat dari perspektif sejarah, perdagangan merupakan faktor penting dalam pergaulan
antar bangsa-bangsa. Sejarawan besar dari Skotlandia, William Roberson (1721-1793)
menegaskan bahwa perdagangan memperlunak dan memperhalus cara pergaulan manusia.
Begitupun menurut filsuf dan ahli ilmu politik Perancis, Montesquieu (1689-1755) yaitu
hampir menjadi gejala umum bahwa di mana adat istiadat bersifat halus, di situ ada
perdagangan, dan dimana ada perdagangan di situ adat istiadat bersifat halus. Yang pasti
perdagangan sanggup menjembatani jarak jauh dan menjalin komunikasi serta hubungan baik
antara manusia.
Hubungan yang sudah memiliki tradisi lama itu kini tampak dengan cara baru. Dengan
sarana transportasi dan komunikasi yang dimiliki sekarang bisnis menjadi lebih penting lagi.
Namun gejala globalisasi ekonomi jika dipandang dari sudut moral memiliki sisi negatif dan
positif. Di satu pihak meningkatkan rasa persaudaraan dan kesetiakawanan antara bangsa-
bangsa dan demikian melanjutkan tradisi perdagangan internasional sejak dulu. Di lain pihak
bisa berakhir dalam suasana konfrontasi dan permusuhan karena mengakibatkan pertentangan
ekonomi dan perang dagang melihat kepentingan-kepentingan raksasa yang dipertaruhkan di
situ. Berikut beberapa masalah moral yang khusus berkaitan dengan bisnis pada taraf
internasional :
1. Norma-Norma Moral yang Umum pada Taraf Internasional
Salah satu masalah besar yang sudah lama disoroti serta didiskusikan dalam etika
filosofis adalah relatif tidaknya norma-norma moral. Richard De George membicarakan 3
jawaban atas masalah itu. Tiga-tiganya ada benarnya dan ada salahnya, tapi secara
menyeluruh tidak bisa diterima. Berikut ketiga jawaban :
a. Menyesuaikan diri
Untuk menunjukan sikap yang tampak dalam pandangan pertama bahasa
Indonesia menggunakan peribahasa “Di mana bumi berpijak, disana langit
dijunjung”. Maksudnya kalau sedang mengadakan kegiatan di tempat lain, bisnis
harus menyesuaikan diri dengan norma-norma yang berlaku di tempat itu.
Kebenaran yang terkandung dalam pandangan ini maksudnya norma-norma
moral yang penting berlaku di seluruh dunia. Sedangkan norma-norma non-moral
untuk perilaku manusia bisa berbeda diberbagai tempat. Sehingga memperhatikan
situasi yang berbeda turut mempengaruhi keputusan etis.
b. Rigorisme moral
Pandangan ini dapat disebut rigorisme moral karena mau mempertahankan
kemurnian etika yang sama seperti di negerinya sendiri. Mereka mengatakan
bahwa perusahaan di luar negeri hanya boleh melakukan apa yang boleh dilakukan
di negaranya sendiri dan justru tidak boleh menyesuaikan diri dengan norma etis
yang berbeda di tempat lain.
Mereka berpendapat bahwa apa yang dianggap baik di negerinya sendiri, tidak
mungkin menjadi kurang baik di tempat lain. Kebenaran yang dapat ditemukan
dalam pandangan ini adalah bahwa kita harus konsisten dalam perilaku moral kita.
Norma-norma etis memang bersifat umum. Yang buruk di suatu tempat tidak
mungkin menjadi baik dan terpuji di tempat lain.
c. Imoralisme naïf
Menurut pandangan ini dalam bisnis internasional tidak perlu berpegang pada
norma-norma etika. Memang harus memenuhi ketentuan-ketentuan hukum (sejauh
ketentuan itu ditegakan di negara bersangkutan) tetapi tidak terikat oleh norma-
norma moral.
Malah jika perusahaan terlalu memperhatikan etika, ia berada dalam posisi
merugikan karena daya saingnya akan terganggu. Perusahaan lain yang tidak
begitu scrupulous atau cermat dengan etika akan menduduki posisi yang lebih
menguntungkan.
2. Masalah Dumping dalam Bisnis Internasional
Dumping adalah menjual sebuah produk dalam kuantitas besar di suatu negara lain
dengan harga di bawah harga pasar dan kadang-kadang malah di bawah biaya produksi. Para
konsumen justru merasa beruntung sekurang-kurangnya dalam jangka pendek karena dapt
membeli produk dengan harga murah, sedangkan para produsen menderita kerugian karena
tidak sanggup menawarkan produk dengan harga semurah itu.
Dumping produk bisa terjadi karena si penjual mempunyai persediaan terlalu besar,
sehingga ia memutuskan untuk menjual produk bersangkutan di bawah harga saja. Motif
lebih jelek adalah berusaha untuk merebut monopoli dengan membanting harga. Sebenarnya
praktek dumping produk itu tidak etis karena melanggar etika pasar bebas. Kelompok bisnis
yang ingin terjun ke dalam bisnis internasional dengan sendirinya melibatkan diri untuk
menghormati keutuhan sistem pasar bebas.
Kriteria yang dipakai untuk menentukan ada tidaknya dumping, Kwik Kian Gie
menegaskan bahwa menekan harga ekspor dengan memberikan upah yang tidak adil
menurutnya tergolong dumping juga. Jika faktor penyusutan aktiva sepenuhnya dibebankan
kepada harga produk yang dijual di dalam negeri sedangkan faktor itu tidak dikalkulasikan
dalam harga ekspor, keadaan itu harus dinilai sebagai dumping. Dalam hal dumping satu
faktor biaya tertentu yaitu penyusutan aktiva tetap harus sama standarnya. Untuk standar
upah buruh harus ada batasan minimumnya.
Sulit memang menentukan adanya dumping. Bertumpu pada kesadaran tidaklah
cukup, dibutuhkan suatu pengertian jelas yang diterima secara internasional dan suatu
prosedur obyektif yang menerapkannya. Meskipun dalam organisasi perdagangan dunia
(WTO) telah dibuat sebuah dokumen tentang dumping, tetapi hanya sebagai model untuk
membuat peraturan hukum di negara-negara anggotanya.
3. Aspek-Aspek Etis dari Korporasi Multinasional
Fenomena yang agak baru di atas panggung bisnis dunia adalah korporasi
multinasional (multinational corporations) / korporasi transnasional (transnational
corporations). Yaitu perusahaan yang memiliki inventasi langsung dalam 2 negara / lebih.
Jadi, perusahaan yang mempunyai hubungan dagang dengan luar negeri tapi belum mencapai
status korporasi multinasional (KMN), namun perusahaan yang memiliki pabrik di beberapa
negara termasuk didalamnya. Bentuk pengorganisasian KMN bisa berbeda-beda. Biasanya
perusahaan di negara lain sekurang-kurangnya untuk sebagian dimiliki oleh orang setempat
sedangkan manajemen dan kebijakan bisnis yang umum ditanggung oleh pimpinan
perusahaan di negara asalnya. KMN pertama kali muncul tahun 1950-an dan mengalami
perkembangan pesat.
Karena memiliki kekuatan ekonomis yang sering kali sangat besar dan beroperasi di
berbagai tempat yang berbeda dan memiliki mobilitas tinggi KMN menimbulkan masalah
etis tersendiri. Terutama dipraktekan di negara berkembang yang sebagian lemah terhadap
yang kuat.
Negara berkembang sudah mengambil berbagai tindakan untuk melindungi dirinya. Misalnya
tidak mengizinkan masuk KMN yang bisa merusak / melemahkan suatu industri dalam
negeri. Mengizinkan jika mayoritas saham (sekurang-kurangnya 50,1 %), berada dalam
tangan warga negara setempat. Ada juga beberapa usaha internasional untuk membuat kode
etik bagi kegiatan korporasi multinasional di dunia ketiga seperti Guidelines for
Multinational Enterprises dari Organization for Economis Coorporations and Development
(OECD) (1976 direvisi 1984) dan aturan-aturan yang diusulkan oleh Commission on
Transnational Corporations dari PBB (1990). Tetapi peraturan itu hanya bersifat anjuran dan
belum dapat dipaksakan.
Karena kekosongan hukum pada taraf internasional itu, kesadaran etis bagi KMN lebih
mendesak lagi. De George telah berusaha menjawab konteks bisnis dengan negara-negara
berkembang. Ia merumuskan 10 aturan etis yang dianggap paling mendesak. Tujuh norma
pertama berlaku untuk semua KMN sedangkan 3 aturan terakhir terutama dirumuskan untuk
industri beresiko khusus seperti pabrik kimia / instalasi nuklir. Berikut usulan De George :
a. Koorporasi multinasional tidak boleh dengan sengaja mengakibatkan kerugian
langsung.
Dengan sengaja mengakibatkan kerugian bagi orang lain selalu merupakan tindakan
yang tidak etis. Norma pertama ini mengatakan bahwa suatu tindakan tidak etis, bila
KMN dengan tahu dan mau mengakibatkan kerugian bagi negara biarpun tidak
dengan sengaja atau langsung- menurut keadilan kompensatoris ia wajib memberi
ganti rugi.
b. Koorporasi multinasional harus menghasilkan lebih banyak manfaat daripada
kerugian bagi negara dimana mereka beroperasi.
Hampir semua kegiatan manusia mempunyai akibat jelek,bisnis tidak tekecuali.
Norma kedua menuntut secara menyeluruh akibat- akibat baik melebihi akibat- akibat
jelek. Norma ini tidak membatasi diri pada segi negatif, tapi memerintahkan sesuatu
yang positif da ditegasakan lagi bahwa yang positif harus melebihi yang negatif.
c. Dengan kegiatannya korporasi multinasional itu harus memberi kontribusi
kepada pembangunan negara dimana dia beroperasi.
KMN harus menyumbangkan juga pada pembangunan negara berkmbang. KMN
harus bersedia melakukan alih teknologi dan alih keahlian.
d. Korporasi multinasional harus menghormati HAM dari semua karyawannya.
KMN harus memperhatikan tentang upah dan kondisi kerja di negara berkembang.
e. Sejauh kebudayaan setempat tidak melanggar norma-norma etis, korporasi
multinasional harus menghormati kebudayaan lokal itu dan bekerja sama
dengannya, bukan menantangnya.
KMN akan merugikan negara dimana ia beroperasi, jika ia tidak menghormati
kebudayaan setempat.KMN harus menyesuaikan diri dengan nilai- nilai budaya
setempat dan tidak memaksakan nilai-nilainya sendiri.
f. Koorporasi multinasional harus membayar pajak yang “fair”
Setiap perusahaan multinasional harus membayar pajak menurut tarif yang telah
ditentukan dalam suatu negara. KMN akan mendukung dibuatnya dan
dilaksanakannnya peraturan internasional untuk menentukan pembayaran pajak oleh
perusahaan-perusahaan internasional.
g. Koorporasi multinasional harus bekerja sama dengan pemerintah setempat
dalam mengembangkan dan menegakkan “backgroud institutions” yang tepat
Yang dimaksud “background institutions” adalah lembaga- lembaga yang mengatur
serta memperkuat kegiatan ekonomi dan industri suatu negara.
h. Negara yang memiliki mayoritas saham sebuah perusahaan harus memikul
tanggung jawab moral atas kegiatan dan kegagalan perusahaan tersebut.
Norma ini mengatakan bahwa tanggung jawab moral harus dipikul oleh pemilik
mayoritas saham.
i. Jika suatu korporasi multinasional membangun pabrik yang berisiko tinggi, ia
wajib menjaga supaya pabrik itu aman dan dioperasikan dengan aman.
Yang membangun pabrik-pabrik berisiko tinggi harus juga merundingkan prosedur-
prosedur keamanan bagi mereka yang menjalankan pabrik tersebut. KMN
bertanggung jawab untuk membangun pabrik yang aman dan melatih serta membina
secara sebaik mungkin mereka yang akan mengoperasikan pabrik itu.
j. Dalam mengalihkan teknologi berisiko tinggi kepada negara berkembang,
korporasi multinasional wajib merancang kembali sebuah teknologi demikian
rupa, sehingga dapat dipakai dengan aman dalam negara yang belum
berpengalaman.
Menurut norma ini prioritas harus diberikan kepada keamanan. Kalau mungkin,
teknologi harus dirancang sesuai dengan kebudayaan dan kondisi stempat, sehingga
terjamin keamanan optimal.
Sepuluh norma yang diuraikan di atas bisa bermanfaat untuk menciptakan suatu
kerangka moral bagi kegiatan-kegiatan KMN yang melihat status internasionalnya sering kali
belum begitu terkait dengan peraturan-peraturan hukum. Akan lebih berguna lagi jika KMN-
KMN mengikat diri dengan kode etik yang relevan untuk bidang tertentu dengan berpegang
pada norma-norma itu.
4. Masalah Korupsi pada Taraf Internasional
Korupsi dalam bisnis tentu tidak hanya terjadi pada taraf internasional, namun
perhatian yang diberikan kepada masalah korupsi dalam literatur etika bisnis terutama
diarahkan pada konteks internasional. Justru masalah korupsi dapat menimbulkan kesulitan
moral besar bagi bisnis internasional, karena di suatu negara satu bisa saja dipraktekkan apa
yang tidak mungkin diterima di negara lain. Terkadang agar bisnis sukses, orang harus
menyesuaikan diri dengan kebudayaa di negara lain, apalagi kalau bisnisnys berada di negara
lain. Hal ini seperti peribahasa, when in rome, do as the romans do. Salah satu kasus yang
sudah biasa dibahas dalam literatur etika bisnis adalah kasus yang menyangkut perusahaan
pesawat terbang Lockheed.
Permasalahan korupsi juga kental sekali dengan adanya unsur uang suap seperti pada
contoh kasus pesawat Lockheed. Sebuah pemikiran dari De George menyebutkan empat
alasan kenapa praktek suap dianggap tidak bermoral,
 Praktek suap melanggar etika pasar
 Orang yang tidak berhak, mendapat imbalan juga
 Uang suap diberikan dalam keadaan kelangkaan
 Praktek suap mengundang untuk melakuan perbuatan tidak etis dan ilegal lainnya

B. Bisnis Berlangsung dalam Konteks Moral


Bisnis merupakan suatu unsur mutlak dalam masyarakat modern. Tetapi dalam suatu
fenomena sosial, bisnis tidak dapat dilepaskan dari aturan-aturan main yang selalu harus
diterima dalam pergaulan sosial, termasuk juga aturan-aturan moral. Namun demikian, sering
diragukannya kehadiran etika dalam bisnis.
1. Mitos mengenai bisnis amoral
Seringkali beredar di masyarakat bahwa moralitas menjadi urusan individu,
kegiatan bisnis sendiri tidak berkaitan langsung dengan etika. Moralitas tidak
mempunyai relevansi bagi bisnis, dan bisnis itu amoral.
Bisnis netral terhadap moralitas, jadi amoral merupakan suatu mitos yaitu
tidak benar adanya. Menurut De George, mitos sekarang mulai ditinggalkan. Terdapat
3 gejala yang mensiratkan sirnanya mitos tersebut:
1) Bisnis sekarang ini disoroti tajam oleh masyarakat. Masyarakat tidak ragu
dalam mengaitkan bisnis dengan moralitas.
2) Bisnis diamati dan dikritik oleh semakin banyak LSM, terutama LSM
konsumen dan LSM pecinta lingkungan hidup yang jelas berkonotasi etika.
3) Bisnis mulai prihatin dengan dimensi etis dalam kegiatannya.
Bisnis tidak terlepas dari segi-segi moral. Bisnis tidak saja berurusan dengan
angka penjualan atau adanya profit pada akhir tahun anggaran. Good Bussines
memiliki suatu makna moral.
2. Mengapa bisnis harus berlaku etis ?
Terdapat 3 jawaban mengenai alasan bisnis harus berlaku etis yaitu:
1) Tuhan adalah hakim kita
Pandangan ini didasarkan atas iman kepercayaan dan karena
itutermasuk prespektif teologis, bukan prespektif filosofis. Tugas
agama mengajak pemeluknya untuk tetap berpegang pada motivasi
moral ini.
2) Kontrak sosial
Pandangan ini melihat perilaku manusia dalam perspektif
sosial. Setiap kegiatan yang dilakukan bersama-sama dalam
masyarakat menuntut adanya norma-norma dan nilai-nilai moral yang
disepakati bersama.
Filosof modern menganggap sebagai dasar moralitas apa yang
mereka sebut dengan “kontrak sosial”. Umat manusia seolah-olah
pernah mengadakan kontrak dan mewajibkan setiap anggotanya untuk
berpegang pada norma-norma moral.
Di bidang bisnis juga berlaku bahwa perbuatan imoral hanya
mungkin dan bisa berhasil karena semua orang menyetujui berpegang
pada norma-norma moral. Moralitas merupakan syarat mutlak yang
harus diakui oleh semua orang, jika ingin terjun dalam dunia bisnis.
3) Keutamaan
Terminologi modern merumuskan bahwa orang bisnis juga
harus mempunyai integritas. Dalam pekerjaannya, kita mengetahui
bahwa pembisnis memang mencari untung. Perusahaan memang
organisasi for profit. Akan tetapi perusahaan atau pembisnis tidak
mempunyai integritas jika mereka mengumpulkan kekayaan tanpa
pertimbangan moral.

Anda mungkin juga menyukai