Teologi Moral
Teologi Moral
KONSEP-KONSEP FUNDAMENTAL
TEOLOGI MORAL KATOLIK
OKTOBER 21, 2011TINGGALKAN KOMENTAR
BOOK’S REPORT
FUNDAMENTAL CONCEPTS OF MORAL THEOLOGY
1. Pendahuluan
Dokter Moralikus, seorang dokter ahli bedah yang beragama Katolik, menghadapi sebuah dilema. Ia dihadapkan
pada situasi yang tidak mudah, yaitu diminta untuk mengoperasi seorang ibu yang mengandung dengan usia
kandungan dua bulan, karena menderita kanker rahim stadium tiga. Di satu sisi ia ingin menyelamatkan nyawa sang
ibu, namun sebagai seorang katolik, mengimani bahwa tindakannya itu akan membunuh “seorang yang tak berdaya”
meski usianya masih dua bulan. Dia bingung dan tidak mampu mengambil keputusan yang tegas dan pasti. Apa
yang harus ia pilih dan perbuat?
Kasus di atas merupakan kasus yang umum di jaman ini. Kasus ini tidak mudah untuk diselesaikan karena
menyangkut hal-hal mendasar dalam moral. Pertimbangan-pertimbangan moral menurut Gereja Katolik harus dibuat
sehingga apa yang akan diputuskan merupakan sesuatu yang paling baik, di antara kemungkinan-kemungkinan yang
terburuk (minus malum). Lantas pertimbangan-pertimbangan seperti apa yang mesti dibuat?
Buku “Fundamental Concepts of Moral Theology” karangan Franz Bockle memberikan panduan yang cukup
praktis, sederhana namun sistematis-mendalam, sehingga membantu orang-orang katolik untuk membuat
pertimbangan moral dan mengambil keputusan moral yang tepat dari sudut pandang Katolik.
2. Mengenai Pengarang
Franz Bockle adalah seorang Teolog Moral Katolik yang lahir di Glarus, Swiss pada 18 April 1921. Setelah
menyelesaikan studi menengahnya pada tahun 1941, ia melanjutkan studi teologi di Seminari St. Luzi (sekarang
Sekolah Teologi Churchill). Tahun 1944 ia meraih gelar Ph.D melalui karyanya “The Idea of Fertility in the Letters
of Paul”. Setelah perang dunia kedua berakhir, dia ditahbiskan oleh Uskup Caminada di Chur. Tugas pertamanya
adalah di Zurich. Di sana ia bertemu dengan seorang teolog sistematik Katolik yaitu Hans Urs von Balthasar, yang
bersamanya ia bertukar pikiran mengenai pemikiran Teolog Protestan modern Karl Barth.
Selanjutnya, ia memperdalam studinya mengenai Teologi Protestan dalam sebuah kelompok ekumenis yang bekerja
bersama dengan Fritz Blanke dan Otto Karrer. Pada periode itu, publikasinya mengenai “Hukum dan Suara Hati”
dengan empat esai yang terkenal dengan sebutan “Teologi Kontroversial”. Tahun 1950-1952, ia menyelesaikan studi
lanjutnya di Roma dan selanjutnya menjadi Profesor Teologi Moral di seminari St. Luzi. Pada tahun 1963 ia pindah
ke Bonn dan menggantikan teolog Moral Werner Schollgen di Rheinische Friedrich-Wilhelms-Bonn University dan
menjadi rektor tahun 1983-1985. Dia wafat pada Juli 1991 di tanah kelahirannya Glarus setelah menderita kanker.
Ada banyak karya yang telah diterbitkan. Namun yang paling terkenal adalah “Fundamental Morals,” salah satu
karya yang paling luas dari 30 volume tulisan yang berjudul “Christian Faith in Modern Society”, yang ia kerjakan
bersama Franz-Xaver Kaufmann and Karl Rahner.
3. Isi Buku
3.1 Teologi Moral Katolik
Pada bagian ini, Bockle membuka gagasannya mengenai Teologi Moral Katolik, dengan menguraikan dasar dan
fungsi Teologi Moral Katolik. Pada dasarnya Teologi Moral mempelajari tingkah laku manusia dalam terang
Kebenaran Keselamatan. Teologi moral juga merupakan bagian teologi yang fungsinya mencari norma-norma
perilaku manusia yang bebas dalam terang pewahyuan.
3.2 Konsep Kristen tentang Manusia
a. Manusia sebagai Citra Allah
Dalam buku ini dijelaskan bahwa Teologi Katolik mengenal dalam diri manusia dua lapis citra Allah, yaitu karena
ciptaan (citra natural) dan karena penebusan dalam Kristus (citra supranatural).
Citra Natural Allah
Pandangan bahwa manusia adalah citra natural/dasariah Allah seperti yang diajarkan dalam Kej 1:26, di mana Allah
menciptakan manusia itu menurut gambar-Nya dan menjadikannya “superior” atas segala ciptaan lainnya. Oleh
karena itu, sifat dasar manusia hanya dapat dimengerti dalam relasinya yang spesial dengan Allah.
Selanjutnya, Böckle melihat dua sisi manusia yaitu sifat rohani manusia dan sifat jasmani manusia. Karena jiwa
spriritualnya, manusia diserupakan dengan Allah sang Roh Murni dan karena akal budinya manusia
mentransendensikan seluruh ciptaan yang tak-dapat dipikirkan. Dan jiwa spiritual itu merasuk ke dalam bentuk
manusia yang utuh. Manusia yang utuh merupakan kesatuan jiwa dan badan (rohani-jasmani) yang diciptakan
menurut gambar Allah, dan di hadapan Allah kesatuan Jiwa-badan itu dapat dipertanggungjawabkan. Kesatuan itu
selanjutnya membentuk sebuah manusia utuh yang dinamakan “Pribadi”.
Dalam etika modern, gagasan mengenai ”pribadi” dan “kepribadian” memainkan peran yang cukup penting.
Pertama, kepribadian manusia menyatakan secara tidak langsung otonomi dan intrinsik manusia, dan
ketidaktergantungan manusia yang radikal. Kedua, kepribadian manusia menyatakan secara tidak langsung
pencapaian diri (eksistensi diri). Ketiga, kepribadian manusia menyatakan secara tidak langsung tanggungjawab.
d. Mengatasi Dosa
Status dosa tidaklah selesai dengan tindakan manusia, namun akibat dosa manusia berada dalam situasi dosa
(peccatum habituale) yang mengikuti perbuatan dosa itu (peccatum actuale). Tindakan bersalah menjadi disposisi
bersalah, jika manusia tidak kembali kepada Allah. Kedua, dosa itu menjadi beban. Dosa yang serius melibatkan
penolakan untuk memuliakan Allah dan menarik pelayanannya pada Tuhan, serta memutuskan ikatan cinta rahmat
dan persahabatan ilahi sehingga menciptakan sebuah situasi bersalah yang tidak dapat dilepaskan manusia oleh
dirinya sendiri. Hanya Rahmat Allah yang mampu membebaskan manusia dari situasi bersalah itu.
Selanjutnya, dosa menyebabkan manusia hidup dalam beban hukuman. Dosa berat (mortal sin) mengakibatkan
manusia mengalami kematian rohani, kehilangan hidup yang kekal secara permanen, karena manusia secara bebas
memutus hubungan dengan Allah sang sumber cinta dan keselamatan. Sedangkan dosa ringan mengakibatkan
manusia mengalami penundaan atau bertambahnya kesulitan untuk mencapai tujuannya.
Pertobatan
Satu-satunya jalan untuk membebaskan dari situasi dosa adalah bertobat. Panggilan manusia untuk bertobat
(metanoia) adalah salah satu tantangan dalam Perjanjian Baru. Saat yang telah ditetapkan Allah untuk
menyempurnakan telah dekat dengan menggemakan pesan keselamatanNya melalui Kristus “Waktunya telah genap;
Kerajaan Allah sudah dekat. Bertobatlah dan percayalah kepada Inji” (Mrk 1: 15). Bagi para pendosa, panggilan
Kristus untuk bertobat ini pada dasarnya adalah sebuah pesan sukacita, karena para pendosa merasakan
kesengsaraan dosa mereka dan siap untuk meraih keselamatan yang telah ditawarkan.
Kristus selanjutnya mengakhiri karya mesianiknya di bumi dengan memberikan kuasa kepada para rasul untuk
mengajarkan penebusan dan pengampunan dosa bagi semua orang (Mrk 16: 15-18).
Maka pertobatan berarti berbalik dari dosa untuk kembali memulihkan hubungan manusia dengan Allah sehingga
dapat kembali dari tanah asing menuju kerajaan Allah. Inilah unsur Eskatologis dari pertobatan.
Selain itu, Pertobatan juga berdimensi Eklesiologis dan Sakramental. Pertobatan selalu dihubungkan dengan Gereja,
karena kerajaan Allah di dunia ditemukan dalam realitas yang konkret dalam Gereja Kristus. Bagi orang yang telah
dibaptis, dosa tidak hanya menghina Allah namun selalu melemahkan dan menghancurkan komunitas juga. Oleh
karena itu, berdamai dengan Allah mengadaikan juga perdamaian dengan seluruh Gereja. Selain itu, relasi
pertobatan dengan Gereja diungkapkan dalam ajaran Gereja pada sakramen-sakramen suci, khususnya dalam
sakramen baptis (prima iustificatio) dan pengampunan dosa (secunda iustificatio). Karena Gereja Kristus adalah
satu-satunya komunitas keselamatan, dan tidak ada keselamatan di luar Kristus tidak ada keselamatan, maka tidak
ada pertobatan yang menyelamatkan tanpa adanya orientasi menuju Gereja.
Selanjutnya, Pertobatan adalah karya Allah sekaligus karya manusia. bukan berarti Allah mengerjakan satu bagian,
dan manusia mengerjakan yang lain. Namun lebih pada Allah yang menciptakan segala karya dan manusia yang
mengerjakan semua karya. Allah berkarya sebagai Allah, dan manusia sebagai ciptaan.
Pengakuan
Akhirnya, mengenai Pengakuan (confession) di hadapan Allah. Yang perlu diingat bahwa bukanlah Allah yang
memerlukan pengakuan manusia, namun adalah manusia sendiri. Pengakuan yang mendalam merupakan dimensi
esensial dalam gerakan cinta menuju hati terdalam Allah. Hanya pengakuan kita yang mendalam di hadapan Allah
dapat memampukan kita untuk mencintai Allah. Pengakuan kita harus dibuat di hadapan Kristus yang hidup dalam
GerejaNya. Dalam misteri Gereja, Kristus datang kepada kita dan mengatakan “dosamu telah diampuni”. Dalam
sakramen Pengampunan dosa, percampuran tindakan manusia (opus operantis) dan rahmat ilahi (opus operantum)
menemukan kepenuhannya.
DAFTAR PUSTAKA
Bockle, Franz
1967 Fundamental Concepts of Moral Theology (terj. William Jerman), Paulist Press Exploration Book, New York