Anda di halaman 1dari 7

Teologi moral

KONSEP-KONSEP FUNDAMENTAL
TEOLOGI MORAL KATOLIK
OKTOBER 21, 2011TINGGALKAN KOMENTAR

BOOK’S REPORT
FUNDAMENTAL CONCEPTS OF MORAL THEOLOGY
1. Pendahuluan
Dokter Moralikus, seorang dokter ahli bedah yang beragama Katolik, menghadapi sebuah dilema. Ia dihadapkan
pada situasi yang tidak mudah, yaitu diminta untuk mengoperasi seorang ibu yang mengandung dengan usia
kandungan dua bulan, karena menderita kanker rahim stadium tiga. Di satu sisi ia ingin menyelamatkan nyawa sang
ibu, namun sebagai seorang katolik, mengimani bahwa tindakannya itu akan membunuh “seorang yang tak berdaya”
meski usianya masih dua bulan. Dia bingung dan tidak mampu mengambil keputusan yang tegas dan pasti. Apa
yang harus ia pilih dan perbuat?
Kasus di atas merupakan kasus yang umum di jaman ini. Kasus ini tidak mudah untuk diselesaikan karena
menyangkut hal-hal mendasar dalam moral. Pertimbangan-pertimbangan moral menurut Gereja Katolik harus dibuat
sehingga apa yang akan diputuskan merupakan sesuatu yang paling baik, di antara kemungkinan-kemungkinan yang
terburuk (minus malum). Lantas pertimbangan-pertimbangan seperti apa yang mesti dibuat?
Buku “Fundamental Concepts of Moral Theology” karangan Franz Bockle memberikan panduan yang cukup
praktis, sederhana namun sistematis-mendalam, sehingga membantu orang-orang katolik untuk membuat
pertimbangan moral dan mengambil keputusan moral yang tepat dari sudut pandang Katolik.

2. Mengenai Pengarang
Franz Bockle adalah seorang Teolog Moral Katolik yang lahir di Glarus, Swiss pada 18 April 1921. Setelah
menyelesaikan studi menengahnya pada tahun 1941, ia melanjutkan studi teologi di Seminari St. Luzi (sekarang
Sekolah Teologi Churchill). Tahun 1944 ia meraih gelar Ph.D melalui karyanya “The Idea of Fertility in the Letters
of Paul”. Setelah perang dunia kedua berakhir, dia ditahbiskan oleh Uskup Caminada di Chur. Tugas pertamanya
adalah di Zurich. Di sana ia bertemu dengan seorang teolog sistematik Katolik yaitu Hans Urs von Balthasar, yang
bersamanya ia bertukar pikiran mengenai pemikiran Teolog Protestan modern Karl Barth.
Selanjutnya, ia memperdalam studinya mengenai Teologi Protestan dalam sebuah kelompok ekumenis yang bekerja
bersama dengan Fritz Blanke dan Otto Karrer. Pada periode itu, publikasinya mengenai “Hukum dan Suara Hati”
dengan empat esai yang terkenal dengan sebutan “Teologi Kontroversial”. Tahun 1950-1952, ia menyelesaikan studi
lanjutnya di Roma dan selanjutnya menjadi Profesor Teologi Moral di seminari St. Luzi. Pada tahun 1963 ia pindah
ke Bonn dan menggantikan teolog Moral Werner Schollgen di Rheinische Friedrich-Wilhelms-Bonn University dan
menjadi rektor tahun 1983-1985. Dia wafat pada Juli 1991 di tanah kelahirannya Glarus setelah menderita kanker.
Ada banyak karya yang telah diterbitkan. Namun yang paling terkenal adalah “Fundamental Morals,” salah satu
karya yang paling luas dari 30 volume tulisan yang berjudul “Christian Faith in Modern Society”, yang ia kerjakan
bersama Franz-Xaver Kaufmann and Karl Rahner.

3. Isi Buku
3.1 Teologi Moral Katolik
Pada bagian ini, Bockle membuka gagasannya mengenai Teologi Moral Katolik, dengan menguraikan dasar dan
fungsi Teologi Moral Katolik. Pada dasarnya Teologi Moral mempelajari tingkah laku manusia dalam terang
Kebenaran Keselamatan. Teologi moral juga merupakan bagian teologi yang fungsinya mencari norma-norma
perilaku manusia yang bebas dalam terang pewahyuan.
3.2 Konsep Kristen tentang Manusia
a. Manusia sebagai Citra Allah
Dalam buku ini dijelaskan bahwa Teologi Katolik mengenal dalam diri manusia dua lapis citra Allah, yaitu karena
ciptaan (citra natural) dan karena penebusan dalam Kristus (citra supranatural).
Citra Natural Allah
Pandangan bahwa manusia adalah citra natural/dasariah Allah seperti yang diajarkan dalam Kej 1:26, di mana Allah
menciptakan manusia itu menurut gambar-Nya dan menjadikannya “superior” atas segala ciptaan lainnya. Oleh
karena itu, sifat dasar manusia hanya dapat dimengerti dalam relasinya yang spesial dengan Allah.
Selanjutnya, Böckle melihat dua sisi manusia yaitu sifat rohani manusia dan sifat jasmani manusia. Karena jiwa
spriritualnya, manusia diserupakan dengan Allah sang Roh Murni dan karena akal budinya manusia
mentransendensikan seluruh ciptaan yang tak-dapat dipikirkan. Dan jiwa spiritual itu merasuk ke dalam bentuk
manusia yang utuh. Manusia yang utuh merupakan kesatuan jiwa dan badan (rohani-jasmani) yang diciptakan
menurut gambar Allah, dan di hadapan Allah kesatuan Jiwa-badan itu dapat dipertanggungjawabkan. Kesatuan itu
selanjutnya membentuk sebuah manusia utuh yang dinamakan “Pribadi”.
Dalam etika modern, gagasan mengenai ”pribadi” dan “kepribadian” memainkan peran yang cukup penting.
Pertama, kepribadian manusia menyatakan secara tidak langsung otonomi dan intrinsik manusia, dan
ketidaktergantungan manusia yang radikal. Kedua, kepribadian manusia menyatakan secara tidak langsung
pencapaian diri (eksistensi diri). Ketiga, kepribadian manusia menyatakan secara tidak langsung tanggungjawab.

Citra Supernatural Allah


Sejak Allah telah menjadi manusia untuk menarik manusia kepadaNya, setiap manusia harus berpusat pada Kristus
dan bertindak melalui Dia kepada Allah. Kristus, sebagai Sabda yang berinkarnasi, adalah manusia yang unggul, dan
melalui diriNyalah Cinta Allah memanggil manusia “untuk untuk menjadi serupa dengan gambaran Anak-Nya”
(Rom 8:29). Dan oleh Kristus pula, manusia menjadi ciptaan baru yang diciptakan seturut citra Allah. Dengan kata
lain, Citra Allah dalam rahmat merupakan citra Kristus. Implikasi gagasan ini termuat dalam Perjanjian baru dan
refleksi teologis.
Dalam perjanjian Baru, Paulus menyebut Gambaran citra Allah sebagai sebuah penciptaan baru atau new creation
(bdk. 2 Kor 5:17) yang dilahirkan kembali dari situasi kedosaan menuju hidup kesucian dan dibenarkan. Yohanes
juga menggunakan istilah kelahiran baru, dilahirkan kembali (bdk. Yoh 3: 3,8) atau dilahirkan dari Allah (1Yoh
2:29) untuk menyebut manusia sebagai Citra Allah.

b. Manusia sebagai Rekan Kerja Allah (Partner of God)


Selain sebagai Citra Allah, manusia juga adalah rekan kerjaNya. Sebagai rekan kerjaNya, manusia dipanggil sebagai
seorang pribadi oleh pribadi Allah untuk sebuah sharing hidup dan aktivitas melalui kewajiban-kewajiban moral dan
Kebebasan Kristiani.
Dalam rangka melaksanakan perannya sebagai Rekan kerja Allah, manusia mengemban apa yang dinamakan
Kewajiban Moral. Dasar kewajiban moral adalah Karya penebusan Kristus. Oleh karena kematian Kristus, manusia
dibebaskan dari dunia yang jahat. Meski manusia telah ditebus dari dunia yang jahat namun manusia belum
mencapai “kesatuan iman dan pengetahuan yang benar tentang Anak Allah, kedewasaan penuh, dan tingkat
pertumbuhan yang sesuai dengan kepenuhan Kristus” (bdk. Ef 4:13). Manusia hidup dalam tegangan penebusan
yang baru saja terjadi dan penebusan akhir. Inilah dasar perintah moral. Di satu sisi, manusia telah ditebus dari
perbudakan dosa oleh Kristus (bdk. Rom 6:12-14), namun di sisi lain manusia juga harus melaksanakan
penyelamatannya sendiri di hadapan Allah (2 Kor 5:19). Caranya, meletakkan dirinya pada Kristus dengan
mengikuti jejak Kristus (Imitation of Christ) atau menjadi Kristus yang lain.
Bockle juga berbicara tentang Kebebasan Manusia Kristiani. Kebebasan kristiani atau juga kebebasan anak-anak
Allah, dibagi menjadi dua bentuk menurut Perjanjian Baru: Pertama, Bebas “dari…” yaitu bebas dari dosa atau dari
hamartia (bdk. Rom: 6: 18-23), bebas dari hukum atau dari nomos (bdk. Rom 6:15), dan bebas dari kematian atau
dari thanatos (Rom 6: 21). Kedua, Bebas “untuk…” Oleh karena Kristus, manusia dibebaskan ancaman dari dosa,
hukum, dan kematian, sehingga manusia mampu bebas untuk mengambil keputusan bagi Allah dalam cinta.

3.3 Esensi dan sumber-sumber Moralitas


a. Tindakan Manusiawi
Esensi tindakan manusiawi perlu dibedakan antara tindakan manusia (actus hominis) dan tindakan manusiawi (actus
humanus). Tindakan manusia (actus hominis) merupakan tindakan yang nampak sebagai sebuah tindakan yang
bersifat spontan, sedangkan tindakan manusiawi (actus humanis) merupakan tindakan yang sepenuhnya dikehendaki
secara bebas (voluntarium) sehingga tindakan itu bisa dikatakan sebagai tindakan yang sengaja/dikehendaki.
Ada beberapa hambatan-hambatan tindakan manusia. Hambatan khusus tindakan manusia yang menyebabkan
manusia tidak memiliki tanggungjawab moral atasnya berupa kekurangperhatian (inattention) ketidaktahuan
(ignorance), kekuatan kebiasaan (the power of habit) dan paksaan secara fisik dan batin (physical and psychic
force).
b. Tingkah laku Moral
Esensi moralitas
Selanjutnya ia berbicara mengenai esensi moralitas. Sebuah tindakan secara moral baik, bila sesuai dengan
normanya. Norma itu adalah menetapkan perintah untuk bertindak, tentu saja bukan keberadaan manusia yang
terpisah, tetapi dalam relasi esensialnya, yaitu manusia sebagai ciptaan dan anak-anak Allah. Ada norma yang tidak
dinormakan oleh tingkah laku manusia yaitu Allah sendiri. Allahlah Norma yang tidak dinormakan namun
menormakan, lantaran exemplaritasnya (causa exemplar) meninggalkan jejaknya pada setiap ciptaan, dan membuat
manusia citraNya dan manusia yang dibaptis menjadi anakNya.
Selain itu, esensi Moralitas menunjuk pada sebuah “keharusan”. Apa yang baik secara moral tidak hanya hal itu
dikehendaki secara bebas, namun lebih sesuatu itu harus dikehendaki. Namun dalam arti ini keharusan tidak
meniadakan unsur kebebasan. Kewajiban Moral berbeda dengan paksaan, karena kewajiban moral berasal dari
kehendak ilahi.
Sumber-sumber moralitas
Setidaknya ada tiga sumber atau komponen yang masuk ke dalam pertimbangan/keputusan moral sebuah tindakan,
yaitu Obyek dari sebuah tindakan, Keadaan-keadaan (sekitar), dan Intensi dari pribadi yang bertindak.
Intensi seseorang di sini berarti alasan untuk bertindak. Tujuan sebuah tindakan (finis operis-atau akhir dari sebuah
tindakan khusus) disebut sebagai tujuan Objektif karena serupa dengan objek sebuah tindakan: dan tujuan bertindak
(finis operantis- tujuan seseorang bertindak) disebut sebagai tujuan subjektif karena berada seluruhnya dengan
subjek. Sebagai contoh, tujuan objektif dari memberi sedekah -tidak dapat dibagi dari tindakan tanpa mengubah
mengubah dasarnya- adalah mengurangi kebutuhan.
Bockle juga berbicara mengenai Tindakan-tindakan moral dan akibat-akibatnya. Dalam segala tindakan moral
manusia, selalu ada akibat-akibat yang ditimbulkan. Akibat-akibat itu menentukan tanggungjawab yang harus
diemban oleh pelaku. Paling tidak ada tiga hal yang perlu diperhatikan untuk menentukan tanggungjawab dari hasil
tindakan bebas manusia. Pertama, untuk akibat tindakan yang dikehendaki secara langsung, pelaku
bertanggungjawab moral secara penuh. Kedua, untuk akibat buruk yang dikehendaki secara tidak langsung, pelaku
bertanggung jawab hanya jika dia meramalkan sekurang-kurangnya secara samar-samar, akibat buruk itu, jika dia
dapat menghindari akibat buruk itu, misalnya dengan tindakan pencegahan yang tepat, dan jika dia seharusnya telah
mencegahnya namun lalai. Ketiga, sebuah tindakan memiliki efek ganda, satu sisi baik, di satu sisi jahat misalnya,
operasi kanker rahim dapat membunuh janin. Dalam kerangka ini, tindakan itu dibenarkan bila: tindakan itu pada
dirinya tidak jahat; akibat baik (menyelamatkan nyawa ibu) tidak boleh dicapai dengan alasan akibat buruk
(membunuh janin, namun dipertimbangkan kesetaraan akibat itu, mana yang lebih baik; akibat jahat tidak boleh
dikehendaki, tetapi hanya ditoleransi; dan alasan baik tindakan harus lebih kuat dari yang jahat.

3.4 Norma-norma Moralitas


a. Norma Obyektif: Hukum Moral
Hukum moral adalah ungkapan kehendak Allah, di mana pada tingkat perintah moral individu dan universal,
mengarahkan kegiatan bebas manusia. ia membedakan menjadi dua yaitu Hukum Ilahi dan hukum Manusiawi yang
saling berhubungan.
Hukum ilahi
Hukum ilahi atau hukum abadi (lex aeterna) berlaku secara universal di seluruh dunia. Menurut Thomas Aquinas,
hukum ilahi merupakan rencana kebijaksanaan ilahi, sejauh hukum itu mengarahkan semua tindakan dan semua
perubahan menuju pada tujuan akhir. Hukum ini akhirnya didasarkan pada keberadaan Allah. Hukum ini menjadi
sumber segala hukum, dasar dari semua wibawa moral. Ada dua jenis hukum ilahi. Pertama, Hukum Moral Kodrati.
Santo Thomas Aquinas memberikan definisi sederhana mengenai hukum kodrat ini sebagai bentuk partisipasi
makluk rasional dalam hukum ilahi. Hokum moral kodrati merupakan hukum akal budi. Hal ini didasarkan pada
kenyataan bahwa manusia sebagai makluk berakal budi, tidak diarahkan secara paksa untuk tujuannya, namun
tujuan itu harus dicapai secara bebas dan bertanggungjawab. Oleh karena itu, hukum moral kodrati, menentukan
dalam diri manusia- citra Allah, pribadi yang berdimensi rasional dan spiritual- sebuah kewajiban definitif untuk
bertindak dalam sebuah cara yang sesuai dengan sifat dasarnya.
Kedua, Hukum positif ilahi yang dinyatakan secara langsung dan ajaib oleh Allah kepada manusia. Allah
memanifestasikan kehendakNya melalui hukum dan para Nabi yaitu dalam Perjanjian Lama dan dalam Perjanjian
Baru “Ia telah berbicara kepada kita dengan perantaraan Anak-Nya, yang telah Ia tetapkan sebagai yang berhak
menerima segala yang ada. Oleh Dia Allah telah menjadikan alam semesta” (Ibr 1:1-2). Hukum positif ilahi dalam
Perjanjian Lama (lex vetus) diberikan kepada Israel melalui Musa yang disebut Pentateukh (artinya Lima kitab
hukum Musa). Kitab hukum ini merupakan perjanjian yang diikat oleh YHWH dan bangsa Israel, di mana YHWH
menjadi Allah Israel dan Israel adalah bangsa yang terpilih oleh YHWH. Sedangkan Hukum Perjanjian Baru (lex
nova) adalah hukum Kristus. Aspek terpenting dalam hukum Perjanjian Baru bukanlah sebuah hukum tertulis
namun sebuah kekuatan hidup dinamis yang ditempatkan Allah dalam jiwa manusia.
Hukum Manusiawi
Bagi Bockle, Hukum manusiawi merupakan perwujudan konkret dari hukum ilahi untuk mengatur individu maupun
komunitas. Semua hukum manusia tergantung pada hukum ilahi karena sifatnya wajib. Hukum manusiawi dapat
menjelaskan isi dari ajaran ilahi dan menambahkan hukuman pada setiap pelanggarannya.

b. Norma Subyektif: Suara Hati


Setelah berbicara mengenai hukum sebagai norma obyektif dari perilaku moral, Bockle melanjutkannya pada norma
subyektif yang datang dari kedalaman manusia. dalam diri manusia ada fakultas yang sesuai dengan panggilan
hukum, yang mendengarkan panggilan itu dan mengarahkan manusia untuk bertindak moral konkret, yaitu Suara
Hati.
Paulus menggunakan istilah suara hati dalam dua pengertian yang berbeda: pada saat tertentu, Suara hati sesuai
dengan hukum kodrat yang tertulis dalam hati manusia, dan di saat lain, mengartikan suara hati sebagai keputusan
moral atas dasar iman. Namun yang pasti, dia memahami suara hati dalam sebuah pengertian religius yaitu dalam
hubungannya dengan Allah.
Lantas, Bagaimana suara hati bekerja? Ada dua cara suara hati itu bekerja. Pertama, berupa pengetahuan secara
spontan dari prinsip-prinsip moral pertama (synderesis). Synderesis, adalah sebuah insting natural dari kepribadian
manusia yang berorientasi pada apa yang secara obyektif benar dan baik, dan akhirnya pada Allah. Namun
pembawaan dasar mencintai sesuatu yang baik itu dapat menjadi buta atau salah jika tidak dikombinasikan dengan
pengetahuan dan diarahkan pada keutamaan sejati. Maka kekuatan utama dari suara hati itu terletak pada kesatuan
intelektual dan sifat dasar kehendak rohani manusia.
Kedua, berupa pengetahuan moral. Meskipun mempunyai orientasi spontan pada kebaikan dan kebenaran, namun
pemahaman akan kebaikan moral dan bentuk-bentuk yang lebih tepat, serta kategori-kategori moral, hanya dapat
dibangun secara bertahap dalam pikiran dari sebuah hasil pengalaman dan pendidikan; sehingga suara hati makin
memperoleh karakter yang mengikat kuat.
Ada tiga suara hati, pertama sebagai yang mendahului suara hati, di mana suara hati memberikan pertimbangan
pilihan untuk bertindak mengenai apa hasil yang akan diterima jika manusia memutuskan sesuatu yang berbeda.
Pada tahap ini, kebijaksanaan seseorang merupakan hal yang penting. Kedua, keputusan aktual dari suara hati, dan
manusia bertanggungjawab atas tindakannya. Ketiga, konsekuensi suara hati. Suara hati yang baik, mengafirmasi
keputusan yang diambil, yang diwujudkan dalam rasa damai atau sebaliknya jika keputusan itu salah menimbulkan
penyesalan yang mendalam.
Selanjutnya, ada dua karakteristik keputusan suara hati yaitu Kebenaran (rectitudo) jika sesuai dengan norma moral
obyektif dan Kepastian (certitudo) yang menunjuk pada kepastian keputusan tentang sebuah nilai atau obyek.

3.5 Pendosa, Dosa dan Berdosa


Hal fundamental lain yang perlu dipahami dalam teologi moral adalah konsep mengenai dosa. Bockle menerangkan
konsep dosa
a. Dosa Asal
Dosa dalam ajaran kitab suci
Dalam Perjanjian Lama, bab-bab awal dalam kitab Kejadian (3-11), menunjukkan apa itu dosa. Dosa manusia
pertama, adalah “ ingin sama seperti Allah tahu tentang yang baik dan yang jahat” (Kej 3:3). Dalam arti ini bukan
berarti manusia ingin mengetahui segala sesuatu seperti Allah, namun lebih pada kemampuan untuk memutuskan
apa yang baik dan yang jahat, dan hidup berdasarkan keputusan itu. Selanjutnya, dosa juga diartikan sebagai
pemberontakan terhadap YHWH (Bil: 14:9; Ul 28: 15-44), menolak Allah (2 Sam 12: 10), dan ketidaktaatan dan
perzinahan (Yes 24:5; Hos 3:1). Adapun akar dan sumber dosa adalah kehendak bebas manusia dan selalu sebagai
tindakan dan keputusan personal (Kej 6:5; Mzm 51:12). Intinya, konsep dosa Perjanjian Lama masih terkait dengan
sejarah keselamatan di mana dosa ditafsirkan sebagai ketidaksetiaan dan pengkhianatan Israel pada Allah perjanjian.
Dalam Perjanjian Baru, dosa dimengerti bukan dalam terang Allah perjanjian lagi, namun pada terang Inkarnasi
Allah dalam Kristus. Kristus menebus manusia dari dosa. Kedatangan Kristus pertama-tama adalah memberi
pengertian akan keselamatan pada umatNya melalui pengampunan dosa mereka (Luk 1:77). Dia datang bukan untuk
memanggil orang yang benar tetapi para pendosa, untuk menyelamatkan yang hilang (Mat 9:13). Paulus dalam
berbagai tulisannya menegaskan ada dua hal berkaitan dengan dosa: di satu sisi ada keyakinan bahwa manusia
adalah tuan atas segala keputusan dan tindakannya sehingga tetap bertanggungjawab atas tindakan itu dan menerima
pembalasan atasnya, namun, faktanya tindakan manusia sebagai pribadi dan dosa kolektif memberikan sebuah
solidaritas yang misterius dalam rasa bersalah. Inilah situasi di mana hanya dengan berbagi dalam tindakan
penebusan Kristuslah, dapat menyelamatkan manusia.
Dosa sebagaimana dimengerti dalam teologi
Secara teologis, dosa dilihat selalu sebagai keputusan manusia yang bebas dan radikal menolak Allah. Namun,
masalahnya adalah, kebebasan dapat ditemukan pada Allah, dan hanya mungkin ada tergantung pada Allah.
Bagaimana mungkin sesuatu ada kebebasan yang dari Allah justru menolak Allah?
b. Jenis-jenis Dosa
Secara teologis, dosa dibedakan menjadi dua jenis yaitu dosa berat dan dosa ringan. Keduanya berbeda bukan saja
dalam tingkatan dosa. Secara esensi dosa berat (mortal sin), menghancurkan kehidupan rahmat atau kematian
spiritual, sedangkan dosa ringan (venial sin) tidak. Dosa dikatakan berat atau mortal jika memilih untuk menolak
orientasi fundamental manusia kepada Allah atau cinta. Dalam dosa ringan manusia tidak menolak cinta Allah,
namun tidak meletakkannya sebagai keputusan final. Dosa berat merupakan ketidaktaatan penuh atau sempurna
kepada Allah, sedangkan dosa ringan adalah ketaatan yang tidak sempurna.
c. Sumber-sumber Dosa
Godaan dari ketiadaan yaitu Iblis dan “Dunia”. Ada banyak pengertian Iblis dalam Kitab suci baik dalam Perjanjian
Lama dan Perjanjian Baru. Dan “dunia” yang gelap merupakan tempat di mana Iblis itu berada yang membenci
kegelapan kebenaran (bdk Yoh 3:19). Seperti Allah dan dunia bertentangan, demikian pula anak-anak dunia dengan
anak-anak terang (bdk. Luk 16:30). Kata “dunia” lebih menunjuk pada “kesempatan untuk berdosa”.
Namun, iblis dan “dunia” tidak dapat memaksa seseorang untuk berdosa. Tidak ada pilihan, maka tidak ada dosa.
Kebebasan manusia untuk memilih yang jahatlah, yang menyebabkan orang berdosa. Sumber dosa yang paling
berbahaya adalah kecenderungan terdalam dalam diri manusia untuk memilih yang jahat.

d. Mengatasi Dosa
Status dosa tidaklah selesai dengan tindakan manusia, namun akibat dosa manusia berada dalam situasi dosa
(peccatum habituale) yang mengikuti perbuatan dosa itu (peccatum actuale). Tindakan bersalah menjadi disposisi
bersalah, jika manusia tidak kembali kepada Allah. Kedua, dosa itu menjadi beban. Dosa yang serius melibatkan
penolakan untuk memuliakan Allah dan menarik pelayanannya pada Tuhan, serta memutuskan ikatan cinta rahmat
dan persahabatan ilahi sehingga menciptakan sebuah situasi bersalah yang tidak dapat dilepaskan manusia oleh
dirinya sendiri. Hanya Rahmat Allah yang mampu membebaskan manusia dari situasi bersalah itu.
Selanjutnya, dosa menyebabkan manusia hidup dalam beban hukuman. Dosa berat (mortal sin) mengakibatkan
manusia mengalami kematian rohani, kehilangan hidup yang kekal secara permanen, karena manusia secara bebas
memutus hubungan dengan Allah sang sumber cinta dan keselamatan. Sedangkan dosa ringan mengakibatkan
manusia mengalami penundaan atau bertambahnya kesulitan untuk mencapai tujuannya.
Pertobatan
Satu-satunya jalan untuk membebaskan dari situasi dosa adalah bertobat. Panggilan manusia untuk bertobat
(metanoia) adalah salah satu tantangan dalam Perjanjian Baru. Saat yang telah ditetapkan Allah untuk
menyempurnakan telah dekat dengan menggemakan pesan keselamatanNya melalui Kristus “Waktunya telah genap;
Kerajaan Allah sudah dekat. Bertobatlah dan percayalah kepada Inji” (Mrk 1: 15). Bagi para pendosa, panggilan
Kristus untuk bertobat ini pada dasarnya adalah sebuah pesan sukacita, karena para pendosa merasakan
kesengsaraan dosa mereka dan siap untuk meraih keselamatan yang telah ditawarkan.
Kristus selanjutnya mengakhiri karya mesianiknya di bumi dengan memberikan kuasa kepada para rasul untuk
mengajarkan penebusan dan pengampunan dosa bagi semua orang (Mrk 16: 15-18).
Maka pertobatan berarti berbalik dari dosa untuk kembali memulihkan hubungan manusia dengan Allah sehingga
dapat kembali dari tanah asing menuju kerajaan Allah. Inilah unsur Eskatologis dari pertobatan.
Selain itu, Pertobatan juga berdimensi Eklesiologis dan Sakramental. Pertobatan selalu dihubungkan dengan Gereja,
karena kerajaan Allah di dunia ditemukan dalam realitas yang konkret dalam Gereja Kristus. Bagi orang yang telah
dibaptis, dosa tidak hanya menghina Allah namun selalu melemahkan dan menghancurkan komunitas juga. Oleh
karena itu, berdamai dengan Allah mengadaikan juga perdamaian dengan seluruh Gereja. Selain itu, relasi
pertobatan dengan Gereja diungkapkan dalam ajaran Gereja pada sakramen-sakramen suci, khususnya dalam
sakramen baptis (prima iustificatio) dan pengampunan dosa (secunda iustificatio). Karena Gereja Kristus adalah
satu-satunya komunitas keselamatan, dan tidak ada keselamatan di luar Kristus tidak ada keselamatan, maka tidak
ada pertobatan yang menyelamatkan tanpa adanya orientasi menuju Gereja.
Selanjutnya, Pertobatan adalah karya Allah sekaligus karya manusia. bukan berarti Allah mengerjakan satu bagian,
dan manusia mengerjakan yang lain. Namun lebih pada Allah yang menciptakan segala karya dan manusia yang
mengerjakan semua karya. Allah berkarya sebagai Allah, dan manusia sebagai ciptaan.

Pengakuan
Akhirnya, mengenai Pengakuan (confession) di hadapan Allah. Yang perlu diingat bahwa bukanlah Allah yang
memerlukan pengakuan manusia, namun adalah manusia sendiri. Pengakuan yang mendalam merupakan dimensi
esensial dalam gerakan cinta menuju hati terdalam Allah. Hanya pengakuan kita yang mendalam di hadapan Allah
dapat memampukan kita untuk mencintai Allah. Pengakuan kita harus dibuat di hadapan Kristus yang hidup dalam
GerejaNya. Dalam misteri Gereja, Kristus datang kepada kita dan mengatakan “dosamu telah diampuni”. Dalam
sakramen Pengampunan dosa, percampuran tindakan manusia (opus operantis) dan rahmat ilahi (opus operantum)
menemukan kepenuhannya.

4. Penutup: Catatan kritis


Setelah membaca seluruh buku “Fundamental Concepts of Moral Theology”, ada beberapa hal dapat disimpulkan
sebagai sebuah catatan:
Pertama, buku ini cukup representatif dan memadai sehingga menghantar orang untuk memasuki konsep-konsep
fundamental dari teologi Moral Katolik. Buku ini menyediakan pengenalan yang vital dan sudut pandang baru
mengenai teologi moral Gereja Katolik. Buku ini cocok untuk menjadi semacam handout yang memberi pemahaman
sederhana mengenai apa yang baik dan yang salah, mana yang dosa dan mana yang berupa keutamaan. Bockle
meletakkan semua gagasannya dalam kerangka pemikiran Gereja Katolik namun menggunakan pendekatan ilmiah
dan disiplin ilmu yang lain sehingga semakin kontekstual.
Kedua, bahasa dan logika pemikiran penulis dalam menyusun buku ini sederhana namun sistematis, sehingga
konsep-konsep fundamental Teologi Moral Katolik seperti Hukum Kodrat, Hukum Ilahi, Suara Hati, dan sebagainya
mudah ditangkap dan dimengerti.
Ketiga, unsur biblis untuk menyusun buku ini begitu kental. Kutipan-kutipan kitab suci khususnya perjanjian baru
tampak dominan untuk mendukung gagasannya mengenai Teologi Moral Katolik.
Keempat, bahasa Inggris yang digunakan dalam penulisan buku ini cukup sederhana, sehingga gagasan yang
disampaikan mudah ditangkap dan dipahami. Selain itu, buku setebal 111 halaman, tidaklah terlalu tebal, cukup
singkat namun padat untuk memberikan penjelasan mengenai konsep-konsep Fundamental Teologi Moral.
Kelima, dilihat dari gagasan yang disampaikan, buku ini masih dipengaruhi konsep Eklesiosetris dan Kristosentris.
Bagi Bockle, Gereja Kristus adalah satu-satunya komunitas keselamatan, dan tidak ada keselamatan di luar Kristus
tidak ada keselamatan, maka tidak ada pertobatan yang menyelamatkan tanpa adanya orientasi menuju Gereja (hal.
106). Hal ini bisa dipahami karena buku ini diterbitkan tahun 1967, tak lama setelah bergulirnya pembaharuan
teologi pasca Konsili Vatikan II, sehingga konsep gagasan teologi pra Konsili Vatikan II masih kentara.

DAFTAR PUSTAKA
Bockle, Franz
1967 Fundamental Concepts of Moral Theology (terj. William Jerman), Paulist Press Exploration Book, New York

Anda mungkin juga menyukai