Anda di halaman 1dari 23

BAB III

TINJAUAN PUSTAKA

3.1 Preeklamsia
3.1.1 Definisi Preklamsia
Preeklampsia adalah suatu kondisi spesifik pada kehamilan yang ditandai

dengan adanya disfungsi plasenta dan respon maternal terhadap adanya inflamasi

sistemik dengan aktivasi endotel dan koagulasi. Diagnosis preeklampsia

ditegakkan berdasarkan adanya hipertensi spesifik yang disebabkan kehamilan

disertai dengan gangguan sistem organ lainnya pada usia kehamilan diatas 20

minggu. Sebelumnya, preeklamsia didefinisikan dengan adanya hipertensi dan

proteinuri yang baru terjadi pada kehamilan (new onset hypertension with

proteinuria). Walaupun kedua kriteria ini masih menjadi definisi klasik

preeklampsia, beberapa wanita lain menunjukkan adanya hipertensi disertai

gangguan multsistem lain yang menunjukkan adanya kondisi berat dari

preeklampsia meskipun pasien tersebut tidak mengalami proteinuri. Sedangkan,

untuk edema tidak lagi dipakai sebagai kriteria diagnostik karena sangat banyak

ditemukan pada wanita dengan kehamilan normal.7

3.1.2 Faktor Risiko Preeklampsia


Ada banyak faktor risiko untuk terjadinya hipertensi dalam kehamilan,

misalnya primigravida, primipaternitas, hiperplasentosis (mola hidatidosa,

kehamilan multipel, diabetes mellitus, bayi besar), umur yang ekstrim, riwayat

keluarga pernah preeklamsia atau eklampsia, penyakit-penyakit ginjal dan

hipertensi yang sudah ada sebelum hamil, dan obesitas.8

Faktor risiko yang dapat dinilai pada kunjungan antenatal pertama

berdasarkan anamnesis adalah umur > 40 tahun, nulipara, multipara dengan

riwayat preeklampsia sebelumnya, multipara dengan kehamilan oleh pasangan

15
16

baru, multipara yang jarak kehamilan sebelumnya 10 tahun atau lebih, riwayat

preeklampsia pada ibu atau saudara perempuan, kehamilan multiple, IDDM

(Insulin Dependent Diabetes Melitus), hipertensi kronik, penyakit ginjal, Sindrom

Antifosfolipid (APS), kehamilan dengan inseminasi donor sperma, oosit atau

embrio, obesitas sebelum hamil.

Pemeriksaan fisik yang dapat menjadi faktor risiko saat kunjungan antenatal

care trimester awal adalah indeks masa tubuh > 35, tekanan darah diastolik > 80

mmHg, proteinuria (dipstick > +l pada 2 kali pemeriksaan berjarak 6 jam atau

secara kuantitatif 300 mg/24 jam).

Berdasarkan faktor-faktor risiko tersebut, maka pada kunjungan pertama

antenatal care, seorang tenaga kesehatan dapat mengelompokkannya menjadi

kehamilan dengan resiko tinggi dan risiko sedang.

Tabel 4. Klasifikasi Faktor Risiko Preeklamsia7

Risiko Tinggi Risiko Sedang


- Riwayat preeclampsia - Nulipara
- Kehamilan multipel - Obesitas (Indeks masa tubuh
- Hipertensi kronis > 30 kg/m2)
- Diabetes Mellitus tipe 1 atau 2 - Riwayat preeklampsia pada
- Penyakit ginjal ibu atau saudara perempuan
- Penyakit autoimun (contoh: - Usia ≥ 35 tahun
systemic lupus erythematous, - Riwayat khusus pasien
antiphospholipid syndrome) (interval kehamilan > 10
tahun)

3.1.3 Epidemiologi Preeklampsia


Prevalensi preeklampsia di negara maju adalah 1,3% - 6%, sedangkan di

Negara berkembang adalah 1,8% - 18%. Insiden preeklampsia di Indonesia

sendiri adalah 128.273 tiap tahun atau sekitar 5,3%. Preeklampsia-eklampsia

sebagai salah satu penyakit hipertensi dalam kehamilan yang menjadi penyebab

mortalitas dan morbiditas tertinggi pada ibu hamil. Angka kejadian preeklampsia
17

berkisar antara 5-15% dari seluruh kehamilan di seluruh dunia. Di Indonesia

angka kejadian preeklampsia cukup tinggi, seperti di Rumah Sakit Cipto

Mangunkusumo ditemukan 400 -500 kasus/4000-5000 persalinan per tahun.7

3.1.4 Patofisiologi Preeklamsia


Penyebab hipertensi dalam kehamilan hingga saat ini belum diketahui

secara jelas. Terdapat banyak teori yang telah dikemukakan tentang terjadinya

hipertensi dalam kehamilan.8

3.1.4.1 Teori Kelainan Vaskularisasi Plasenta


Pada kehamilan normal, dengan sebab yang belum jelas, terjadi invasi

trofoblas ke dalam lapisan otot arteria spiralis, yang menimbulkan degenerasi

lapisan otot tersebut sehingga terjadi dilatasi arteri spiralis. Invasi trofoblas juga

memasuki jaringan sekitar arteri spiralis, sehingga jaringan matriks menjadi

gembur dan memudahkan lumen arteri spiralis mengalami distensi dan dilatasi.

Distensi dan vasodilatasi lumen arteri spiralis ini memberi dampak penurunan

tekanan darah, penurunan resistensi vaskular, dan peningkatan aliran darah pada

daerah uteroplasenta. Akibatnya, aliran darah ke janin cukup banyak dan perfusi

jaringan juga meningkat, sehingga dapat menjamin pertumbuhan janin dengan

baik. Proses ini dinamakan “remodeling arteri spiralis”.8

Pada hiperetensi dalam kehamilan tidak terjadi invasi sel-sel trofoblas pada

lapisan otot arteri spiralis dan jaringan matriks sekitarnya. Lapisan otot arteri

spiralis menjadi tetap kaku dan keras sehingga lumen arteri spiralis tidak

memungkinkan mengalami distensi dan vasodilatasi. Akibatnya, arteri spiralis

relatif mengalami vasokonstriksi, dan terjadi kegagalan “remodeling arteri

spiralis”, sehingga aliran darah uteroplasenta menurun, dan terjadilah hipoksia


18

dan iskemia plasenta. Dampak iskemia plasenta akan menimbulkan perubahan-

perubahan yang dapat menjelaskan pathogenesis hipertensi dalam kehamilan

selanjutnya.8

3.1.4.2 Teori Iskemia Plasenta, Radikal Bebas, dan Disfungsi Endotel


Pada teori invasi trofoblas, hipertensi dalam kehamilan merupakan terjadi

kegagalan remodeling arteri spiralis, akibat plasenta mengalami iskemia. Plasenta

yang mengalami iskemia dan hipoksia akan menghasilkan oksidan (disebut juga

radikal bebas). Salah satu oksidan penting yang dihasilkan plasenta iskemia

adalah radikal hidroksil yang sangat toksis, khususnya terhadap memberan sel

endotel pembuluh darah. Pada dasarnya produksi oksidan pada manusia adalah

suatu proses normal, karena oksidan memang dibutuhkan untuk perlindungan

tubuh. Adanya radikal hidroksil dalam darah dahulu dianggap sebagai bahan

toksin yang beredar dalam darah, maka dulu hipertensi dalam kehamilan disebut

“toxaemia”. Radikal hidroksil akan merusak membran sel, yang mengandung

banyak asam lemak tidak jenuh menjadi peroksida lemak. Peroksida lemak selain

akan merusak membran sel, juga akan merusak nukleus, dan protein sel endotel.

Pada hipertensi dalam kehamilan telah terbukti bahwa kadar oksidan,

khususnya peroksida lemak meningkat, sebagai antioksidan, misal vitamin E pada

hipertensi dalam kehamilan menurun, sehingga terjadi dominasi kadar oksidan

peroksida lemak yang relatif tinggi. Peroksida lemak sebagai oksidan/radikal

bebas yang sangat toksis ini akan beredar ke seluruh tubuh dalam aliran darah dan

akan merusak membran sel endotel.

Membran sel endotel lebih mudah mengalami kerusakan oleh peroksida

lemak, karena letaknya langsung berhubungan dengan aliran darah dan


19

mengandung banyak asam lemak tidak jenuh. Asam lemak tidak jenuh sangat

rentan terhadap oksidan radikal hidroksil, yang akan berubah menjadi peroksida

lemak. Akibat sel endotel terpapar terhadap peroksida lemak, maka terjadi

kerusakan sel endotel, yang kerusakannya dimulai dari membran sel endotel.

Kerusakan membran sel endotel mengakibatkan terganggunya fungsi endotel,

bahkan rusaknya seluruh struktur sel endotel. Keadaan ini disebut disfungsi

endotel (endothelia dysfunction). Pada waktu terjadi kerusakan sel endotel yang

mengakibatkan disfungsi sel endotel terjadi beberapa proses, yaitu:

a. Gangguan metabolism prostaglandin, diamana salah satu fungsi sel endotel

adalah memproduksi prostaglandin. Terjadi penurunan produksi prostasiklin

(PGE2), yang merupakan suatu vasodilator kuat.

b. Agregasi sel-sel trombosit pada daerah endotel yang mengalami kerusakan.

Agregasi sel trombosit ini adalah untuk menutup tempat-tempat di lapisan

endotel yang mengalami kerusakan. Agregasi trombosit memproduksi

tromboxan (TXA2), suatu vasokonstriktor kuat. Dalam keadaan normal

perbandingan kadar prostasiklin/tromboksan lebih tinggi kadar prostasiklin,

sehingga terjadi vasokonstriksi, dengan terjadi kenaikan tekanan darah.

c. Perubahan khas pada sel endotel kapilar glomerulus (glomerular endotheliosis)

d. Peningkatan permeabilitas kapilar

e. Peningkatan produksi bahan-bahan vasopressor, yaitu endothelin. Kadar NO

(vasodilator) menurun, sedangkan endotelin (vasokonstriktor) meningkat

f. Peningkatan faktor koagulasi8


20

3.1.4.3 Teori Intoleransi Imunologik antara Ibu dan Janin


Pada perempuan hamil normal, respon imun tidak menolak adanya “hasil

konsepsi” yang bersifat asing. Hal ini disebabkan adanya human leukocyte

antigen protein G (HLA-G), yang berperan penting dalam modulasi respons imun,

sehingga ibu tidak menolak hasil konsepsi (plasenta). Adanya HLA-G pada

plasenta dapat melindungi trofoblas janin dari lisis oleh sel Natural Killer (NK).

Selain itu, adanya HLA-G akan mempermudah invasi sel trofoblas ke dalam

jaringan desidua ibu. Jadi HLA-G merupakan prakondisi untuk terjadinya invasi

trofoblas ke dalam jaringan desidua ibu, disamping untuk menghadapi sel NK.

Pada plasenta hipertensi pada kehamilan, terjadi penurunan ekspresi HLA-G.

bekurangnya HLA-G desidua di daerah plasenta, menghambat invasi trofoblas ke

desidua. Invasi trofoblas sangta penting agar jaringan desidua menjadi lunak, dan

gembur sehingga memudahkan terjadinya dilatasi arteri spiralis. HLA-G juga

merangsang produksi sitokin, sehingga memudahkan terjadinya inflamasi.

Kemungkinan terjadi immune maladaption pada preeklamsia.

3.1.4.4 Teori Adaptasi Kardiovaskular


Pada kehamilan normal, pembuluh darah refrakter terhadap bahan-bahan

vasopressor. Refreakter, berarti pembuluh darah tidak peka terhadap rangsangan

vasopressor, atau dibutuhkan kadar vasopressor yang tinggi untuk menimbulkan

respons vasokonstriksi. Pada kehamilan normal terjadinya refrakter pembuluh

darah terhadap bahan vasopressor adalah akibat dilindungi oleh adanya sintesis

prostaglandin pada sel endotel pembuluh darah. Hal ini dibuktikan bahwa daya

refrakter terhadap bahan vasopressor akan hilang bilang diberi prostaglandin

sintesa inhibitor. Prostaglandin ini di kemudian hari ternyata adalah prostasiklin.


21

Pada hipertensi dalam kehamilan kehilangan daya refrakter terhadap bahan

vasokonstriktor, dan ternyata terjadi peningkatan kepekaan terhadap bahan-bahan

vasokonstriktor. Artinya, daya refrakter pembuluh darah terhadap bahan

vasopressor hilang hingga pembuluh darah menjadi sangat peka terhadap bahan

vasopressor. Banyak penelitian telah membuktikan bahwa peningkatan kepekaan

terhadap bahan-bahan vasopressor pada hipertensi dalam kehamilan sudah terjadi

pada trimester pertama.8

3.1.4.5 Teori Genetik


Terdapat faktor keturunan dan familial dengan model gen tunggal.

Genotype ibu lebih menentukan terjadinya hipertensi dalam kehamilan secara

familial jika dibandingkan dengan genotype janin. Telah terbukti bahwa pada ibu

yang mengalami preeklamsia, 26% anak perempuannya akan mengalami

preeklamsia pula, sedangkan hanya 8% anak menantu mengalami preeklamsia.8

3.1.4.6 Teori Defisiensi Gizi (Teori Diet)


Beberapa hasil penelitian menunjukkan bahwa kekurangan gizi berperan

dalam terjadnya hipertensi dalam kehamilan. Penelitian yang penting yang pernah

dilakukan di Inggris adalah penelitian tentang pengaruh diet pada preeklamsia

beberapa waktu sebelum pecahnya Perang Dunia II. Suasana serba sulit mendapat

gizi yang cukup dalam persiapan perang menimbulkan kenaikan insiden

hipertensi dalam kehamilan.8

Penelitian terakhir membuktikan bahwa konsumsi minyak ikan dapat

mengurangi resiko preeklamsia. Minyak ikan mengandung banyak asam lemak

tidak jenuh yang dapat menghambat produksi tromboksan, menghambat aktivasi

trombosit, dan mencegah vasokonstriksi pembuluh darah. Beberapa peneliti telah


22

mencoba melakukan uji klinik untuk memakai konsumsi minyak ikan atau bahan

yang mengandung asam lemak tak jenuh dalam mencegah preeklamsia. Hal

sementara menunjukkan bahwa penelitian ini berhasil baik dan mungkin dapat

dipakai sebagai alternatif pemberian aspirin.8

Beberapa peneliti juga menganggap bahwa defisiensi kalsium pada diet

perempuan hamil mengakibatkan risiko terjadinya preeklamsia/eklamsia.

Penelitian di negara Equador Andes dengan metode uji klinik, ganda tersamar,

dengan membandingkan pemberian kalsium dan placebo. Hasil penelitian

menunjukkan bahwa ibu hamil yang diberi suplemen kalsium cukup, kasus yang

mengalami preeklamsia adalah 14%, sedangkan yang diberi glukosa 17%.8

3.1.4.7 Teori Stimulus Inflamasi


Teori ini berdasarkan fakta bahwa lepasnya debris trofoblas di dalam

sirkulasi merupakan rangsangan utama terjadinya proses inflamasi. Pada

kehamilan normal, plasenta juga melepaskan debris trofoblas, sebagai sisa-sisa

proses apoptosis dan nekrotik trofoblas, akibat reaksi stress oksidatif.8

Bahan-bahan ini sebagai bahan asing yang kemudian merangsang timbulnya

proses inflamasi. Pada kehamilan normal, jumlah debris trofoblas masih dalam

batas wajar, sehingga reaksi inflamasi juga dalam batas normal. Berbeda pada

proses apoptosis pada preeklamsia, dimana pada preeklamsia terjadi peningkatan

stres oksidatif, sehingga produksi debris apoptosis dan nekrosis trofoblas juga

meningkat. Makin banyak sel trofoblas plasenta, misalnya pada plasenta besar,

hamil ganda, maka reaksi stress oksidatif akan sangat meningkat, sehingga sisa

debris trofoblas juga makin meningkat. Keadaan ini menimbulkan beban reaksi

inflamasi dalam darah ibu menjadi jauh lebih besar, dibanding reaksi inflamasi
23

pada kehamilan normal. Respons inflamasi ini akan mengaktifkan sel endotel dan

sel-sel makrofag/granulosit, yang lebih besar pula, sehingga terjadi reaksi

inflamasi sistemik yang menimbulkan gejala-gejala preeklamsia pada ibu.8

3.1.5 Penegakan Diagnosis Preeklamsia


Preeklampsia didefinisikan sebagai hipertensi yang baru terjadi pada

kehamilan/diatas usia kehamilan 20 minggu disertai adanya gangguan organ. Jika

hanya didapatkan hipertensi saja, kondisi tersebut tidak dapat disamakan dengan

peeklampsia, harus didapatkan gangguan organ spesifik akibat preeklampsia

tersebut. Kebanyakan kasus preeklampsia ditegakkan dengan adanya protein urin,

namun jika protein urin tidak didapatkan, salah satu gejala dan gangguan lain

dapat digunakan untuk menegakkan diagnosis preeklampsia, yaitu: 9,10,11

1. Trombositopenia : trombosit < 100.000 / mikroliter.

2. Gangguan ginjal : kreatinin serum >1,1 mg/dL atau didapatkan

peningkatan kadar kreatinin serum pada kondisi dimana tidak ada kelainan

ginjal lainnya.

3. Gangguan liver : terjadi peningkatan konsentrasi transaminase 2 kali

normal dan atau adanya nyeri di daerah epigastrik / regio kanan atas

abdomen.

4. Edema Paru

5. Didapatkan gejala neurologis : stroke, nyeri kepala, gangguan visus.

6. Gangguan pertumbuhan janin yang menjadi tanda gangguan sirkulasi

uteroplasenta : Oligohidramnion, Fetal Growth Restriction (FGR) atau

didapatkan adanya absent or reversed end diastolic velocity (ARDV).


24

Beberapa gejala klinis meningkatkan morbiditas dan mortalitas pada

preeklampsia, dan jika gejala tersebut didapatkan, akan dikategorikan menjadi

kondisi pemberatan preeklampsia atau disebut dengan preeklampsia berat. Kriteria

gejala dan kondisi yang menunjukkan kondisi pemberatan preeklampsia atau

preklampsia berat adalah salah satu dibawah ini: 9,10

1. Tekanan darah sekurang-kurangnya 160 mmHg sistolik atau 110 mmHg

diastolic pada dua kali pemeriksaan berjarak 15 menit menggunakan

lengan yang sama.

2. Trombositopenia: trombosit < 100.000/microliter

3. Gangguan ginjal: kreatinin serum >1,1 mg/dL atau didapatkan

peningkatan kadar kreatinin serum pada kondisi dimana tidak ada kelainan

ginjal lainnya

4. Gangguan liver: peningkatan konsentrasi transaminase 2 kali normal dan

atau adanya nyeri di daerah epigastrik / regio kanan atas abdomen

5. Edema Paru

6. Didapatkan gejala neurologis: stroke, nyeri kepala, gangguan visus

7. Gangguan pertumbuhan janin menjadi tanda gangguan sirkulasi

uteroplasenta: Oligohidramnion, Fetal Growth Restriction (FGR) atau

didapatkan absent or reversed end diastolic velocity (ARDV)

3.1.6 Manifestasi Klinis Preeklamsia


Manifestasi klinis preeklamsia bisa bervariasi, sehingga menegakkan

diagnosis preeklamsia terkadang tidak mudah. Secara umum, klinisi terkadang

harus menangani wanita dengan hipertensi gestasional seperti tatalaksana

preeklamsia karena diagnosis hipertensi gestasional hanya bisa didapatkan


25

retrospektif. Sebagai tambahan, jika ibu sedang menderita penyakit ginjal atau

kardivaskuler, diagnosis preeklamsia belum bisa ditegakkan hingga penyakit

bertambah parah.

Preeklamsia pada kehamilan sebelumnya memiliki tingkat rekurensi yang

cukup tinggi pada kehamilan berikutnya. Riwayat hipertensi gestasional atau

preeklamsia akan meningkatkan kewaspadaan pada kehamilan berikutnya.

Preeklamsia dengan gejala klinis berat menunjukkan gangguan organ berat dan

dapat mengeluhkan gejala seperti nyeri kepala, gangguan pengelihatan (rabun,

scintillating, skotoma), gangguan status mental, kebutaan (bisa kortikal atau

retinal), dispneu, edema, nyeri epigastrik atau kuadran kanan atas, lemah dan

malaise (bisa jadi tanda anemia hemolitik).

Edema bisa terjadi pada sebagian besar wanita hamil, namun edema yang

terjadi tiba-tiba atau facial edema patut dicurigai sebagai manifestasi klinis

preeklamsia. Edema pada preeklamsia memiliki mekanisme yang mirip dengan

angioedema.

Keterlibatan hepar terjadi pada 10% wanita dengan preeklamsia berat.

Keluhan nyeri perut epigastrik atau kuadran kanan atas seringkali disertai dengan

peningkatan kadar enzim transaminase hepar.

Studi yang dilakukan Cooray dkk menunjukkan gejala klinis yang paling

sering mendahului kejang eklamsia adalah gejala neurologis seperti nyeri kepala,

dengan atau tanpa gangguan pengelihatan, tanpa melihat derajat keparahan

hipertensi. Oleh karena itu harus dilakukan monitoring pasien dengan gejala

tersebut untuk mengamati early warning eklamsia.


26

3.1.7 Pencegahan Preeklamsia


Secara umum dapat dilakukan pencegahan primer, sekunder, dan tersier.

Pencegahan primer artinya menghindari terjadinya penyakit. Pencegahan

sekunder dalam konteks preeklampsia berarti memutus proses terjadinya penyakit

yang sedang berlangsung sebelum timbul gejala atau kedaruratan klinis karena

penyakit tersebut. Pencegahan tersier berarti pencegahan dari komplikasi yang

disebabkan oleh proses penyakit, sehingga pencegahan ini juga merupakan

tatalaksana.7

3.1.7.1 Pencegahan Primer


Secara umum terdapat pencegahan primer, sekunder, dan tersier.

Pencegahan primer artinya menghindari terjadinya penyakit. Pencegahan

sekunder dalam konteks preeklampsia berarti memutus proses terjadinya penyakit

yang sedang berlangsung sebelum timbul gejala atau kedaruratan klinis karena

penyakit tersebut. Pencegahan tersier berarti pencegahan dari komplikasi yang

disebabkan oleh proses penyakit, sehingga pencegahan ini juga merupakan

tatalaksana.7

3.1.7.2 Pencegahan Sekunder


a. Istirahat (tirah baring)
Berdasarkan telaah 2 studi kecil yang dilakukan di Cochrane, istirahat di

rumah 4 jam/hari bermakna menurunkan risiko preeklampsia dibandingkan tanpa

pembatasan aktivitas. Istirahat dirumah 15 menit 2x/hari ditambah suplementasi

nutrisi juga menurunkan risiko preeklampsia.7

b. Aspirin dosis rendah

Randomized Controlled Trial (RCT) menyelidiki efek penggunaan aspirin

dosis rendah (60-80 mg) dalam mencegah terjadinya preeklampsia. Beberapa


27

studi menunjukkan hasil penurunan kejadian preeklampsia pada kelompok yang

mendapat aspirin. Penggunaan aspirin dosis rendah untuk pencegahan primer

berhubungan dengan penurunan risiko preeklampsia, persalinan preterm,

kematian janin atau neonatus dan bayi kecil masa kehamilan, sedangkan untuk

pencegahan sekunder berhubungan dengan penurunan risiko preeklampsia,

persalinan preterm < 37 minggu dan berat badan lahir <2500 g.7

c. Suplementasi Kalsium

Pemberian suplementasi kalsium berhubungan dengan penurunan kejadian

hipertensi dan preeklampsia, terutama pada populasi dengan risiko tinggi untuk

mengalami preeklampsia dan yang memiliki diet asupan rendah kalsium.

Suplementasi kalsium minimal 1 gr/hari direkomendasikan terutama pada wanita

dengan asupan kalsium yang rendah. Penggunaan aspirin dosis rendah dan

suplemen kalsium (minimal 1gr/hari) direkomendasikan sebagai prevensi

preeklampsia pada wanita dengan risiko tinggi terjadinya preeklamsia.7

3.1.7.3 Pencegahan Tersier/Penatalaksanaan


Manajemen optimal preeklamsia tergantung pada usia kehamilan dan

tingkat keparahan penyakit. Klinisi harus meminimalisir risiko pada ibu

disamping memaksimalkan maturitas janin, karena satu-satunya pengobatan bagi

preeklamsia adalah melahirkan. Oleh karenanya, jika memenuhi kriteria tertentu,

dapat dilakukan manajemen ekspektatif. 7

a. Manajemen Ekspektatif

Manajemen ekspektatif tidak meningkatkan kejadian morbiditas maternal

seperti gagal ginjal, sindrom HELLP, angka seksio sesar, atau solusio plasenta.

Sebaliknya dapat memperpanjang usia kehamilan, serta mengurangi morbiditas


28

perinatal seperti penyakit membran hialin, necrotizing enterocolitis, kebutuhan

perawatan intensif dan ventilator serta lama perawatan. Berat lahir bayi rata – rata

lebih besar pada manajemen ekspektatif, namun insiden pertumbuhan janin

terhambat juga lebih banyak. Selain itu pemberian kortikosteroid pada manajemen

ekspektatif mengurangi kejadian sindrom gawat napas, perdarahan

intraventrikular, infeksi neonatal serta kematian neonatal.7

Manajemen ekspektatif direkomendasikan pada kasus preeklampsia tanpa

gejala berat denganusia kehamilan kurang dari 37 minggu dengan evaluasi

maternal dan janin yang lebih ketat. Perawatan poliklinis secara ketat dapat

dilakukan pada kasus preeklampsia tanpa gejala berat. Evaluasi ketat yang

dilakukan adalah, evaluasi gejala maternal dan gerakan janin setiap hari oleh

pasien, evaluasi tekanan darah 2 kali dalam seminggu secara poliklinis, evaluasi

jumlah trombosit dan fungsi liver setiap minggu, evaluasi USG dan kesejahteraan

janin secara berkala (dianjurkan 2 kali dalam seminggu). Jika didapatkan tanda

pertumbuhan janin terhambat, evaluasi menggunakan Doppler velocimetry

terhadap arteri umbilikal.7


29

Gambar 1. Manajemen Ekspektatif Preeklamsia tanpa Gejala Berat7

Pada preeklamsia berat, manajemen ekspektatif direkomendasikan pada

kasus preeklampsia berat dengan usia kehamilan kurang dari 34 minggu dengan

syarat kondisi ibu dan janin stabil. Manajemen ekspektatif pada preeklampsia

berat juga direkomendasikan untuk melakukan perawatan di fasilitas kesehatan

yang adekuat dengan tersedia perawatan intensif bagi maternal dan neonatal.

Pasien dengan preeklampsia berat direkomendasikan untuk melakukan rawat inap

selama melakukan perawatan ekspektatif.7

Bagi wanita yang melakukan perawatan ekspektatif preekklamsia berat,

pemberian kortikosteroid direkomendasikan untuk membantu pematangan paru

janin.
30

Gambar 2. Manajemen Ekspektatif Preeklamsia Berat7

Tabel 5. Kriteria Terminasi Kehamilan pada Preeklamsia Berat

Terminasi Kehamilan
Data Maternal Data Janin
Hipertensi berat yang tidak terkontrol Usia kehamilan 34 minggu
Gejala preeklampsia berat yang tidak Pertumbuhan janin terhambat
berkurang (nyeri Oligohidramnion persisten
kepala, pandangan kabur, dsbnya) Profil biofisik < 4
Penuruan fungsi ginjal progresif Deselerasi variabel dan lambat pada
Trombositopenia persisten atau HELLP NST
Syndrome Doppler a. umbilikalis: reversed end
Edema paru diastolic flow
Eklampsia Kematian janin
Solusio Plasenta
Persalinan atau ketuban pecah
31

b. Pemberian Magnesium Sulfat untuk Mencegah Kejang

Sejak tahun 1920-an, magnesium sulfat sudah digunakan untuk eklampsia di

Eropa dan Amerika Serikat. Tujuan utama pemberian magnesium sulfat pada

preeklampsia adalah untuk mencegah dan mengurangi angka kejadian eklampsia,

serta mengurangi morbiditas dan mortalitas maternal serta perinatal.7

Cara kerja magnesium sulfat belum dapat dimengerti sepenuhnya. Salah

satu mekanisme kerjanya adalah menyebabkan vasodilatasi melalui relaksasi dari

otot polos, termasuk pembuluh darah perifer dan uterus, sehingga selain sebagai

antikonvulsan, magnesium sulfat juga berguna sebagai antihipertensi dan

tokolitik. Magnesium sulfat juga berperan dalam menghambat reseptor N-metil-

D-aspartat (NMDA) di otak, yang apabila teraktivasi akibat asfiksia, dapat

menyebabkan masuknya kalsium ke dalam neuron, yang mengakibatkan

kerusakan sel dan dapat terjadi kejang.7

Cara pemberian magnesium sulfat adalah sebagai berikut:

1. Dosis awal

4 gram larutan MgSO4 (10 ml larutan MgSO4 40%) dilarutkan dengan 10

ml aquades, lalu diberikan secara perlahan IV selama 20 menit. Jika akses

intravena sulit, dapat diberikan masing-masing 5 gram MgSO4 (12,5 ml

larutan MgSO4 40%) IM di bokong kiri dan kanan.7

2. Dosis rumatan

6 gram MgSO4 (15 ml larutan MgSO4 40%) dilarutkan dalam 500 ml

larutan Ringer Laktat/Ringer Asetat, lalu diberikan secara IV dengan

kecepatan 28 tetes/menit selama 6 jam, dan diulang hingga 24 jam setelah

persalinan atau kejang berakhir (bila eklampsia).7


32

Syarat pemberian MgSO4 adalah, harus tersedia Ca glukonas 10%, adanya

refleks patella, dan urine output minimal 0,5 ml/kgBB/jam. Jika terjadi depresi

nafas, maka diberikan Ca glukonas 1 gram IV (10 ml larutan 10%) bolus dalam

10 menit sebagai antidotumnya. Selain itu juga perlu dilakukan pemeriksaan fisik

tiap jam, meliputi tekanan darah, frekuensi nadi, frekuensi pernapasan, refleks

patella, dan jumlah urin. Bila frekuensi pernapasan < 16 x/menit, dan/atau tidak

didapatkan refleks tendon patella, dan/atau terdapat oliguria (produksi urin <0,5

ml/kg BB/jam), maka pemberian MgSO4 harus segera diberhentikan.7

Selama ibu dengan preeklampsia dan eklampsia dirujuk, harus tau dan

nilai adanya perburukan preeklampsia. Apabila terjadi eklampsia, lakukan

penilaian awal dan tatalaksana kegawatdaruratan. Berikan kembali MgSO4 2

gram IV perlahan (15-20 menit). Bila setelah pemberian MgSO4 ulangan masih

terdapat kejang, dapat dipertimbangkan pemberian diazepam 10 mg IV selama 2

menit.7

c. Pemberian Obat Antihipertensi

Keuntungan dan risiko pemberian antihipertensi pada hipertensi ringan-

sedang (tekanan darah 140 – 169 mmHg/90 – 109 mmHg), masih kontroversial.

European Society of Cardiology (ESC) guidelines 2010 merekomendasikan

pemberian antihipertensi pada tekanan darah sistolik ≥ 140 mmHg atau diastolik ≥

90 mmHg pada wanita dengan hipertensi gestasional (dengan atau tanpa

proteinuria), hipertensi kronik superimposed, hipertensi gestasional, hipertensi

dengan gejala atau kerusakan organ subklinis pada usia kehamilan berapa pun.
33

Tabel 6. Pilihan Obat Antihipertensi7

Nama Obat Dosis Keterangan


Nifedipin 4 x 10-30 mg per oral (short acting) Dapat menyebabkan
1 x 20-30 mg per oral (long acting) hipoperfusi pada ibu dan
janin bila diberikan
sublingual
Nikardipin 5 mg/jam, dapat dititrasi 2,5 mg/jam
tiap 5 menit hingga maksimum 10
mg/jam
Metildopa 2 x 250-500 mg per oral (dosis
maksimum 2000 mg/hari)

3.1.8 Komplikasi
Hipertensi gestasional dan preklampsia/eklampsia berhubungan dengan

risiko hipertensi dan penyakit kardiovaskular pada masa yang akan datang.

Wanita dengan riwayat preeklampsia memiliki risiko penyakit kardiovaskular, 4x

peningkatan risiko hipertensi dan 2x risiko penyakit jantung iskemik, stroke dan

DVT di masa yang akan datang. Selain itu, risiko kematian pada wanita dengan

riwayat preeklampsia lebih tinggi, termasuk yang disebabkan oleh penyakit

serebrovaskular.7

3.1.9 Prognosis
Secara umum, preeklampsia dan eklamsia diperkirakan bertanggungjawab

dalam sekitar 14% kematian ibu per tahun (50.000 - 75.000). Morbiditas dan

mortalitas preeklamsia dan eklamsia berkaitan dengan kondisi-kondisi seperti

disfungsi endotel sistemik, vasospasme dan trombosis pembuluh darah kecil yang

menyebabkan iskemia organ dan jaringan, kejang, stroke, perdarahan, acute

tubular necrosis, koagulopati, dan abrupsi plasenta pada ibu.7

Selain itu juga terdapat risiko rekurensi preeklamsia. Secara umum, risiko

rekurensi preeklamsia pada wanita yang kehamilan mendekati aterm sebelumnya

adalah 10%. Sedangkan jika pada kehamilan sebelumnya menderita preeklamsia


34

dengan gejala berat (HELLP syndrome atau eklamsia), maka risiko untuk kembali

menderita preeklamsia pada kehamilan berikutnya adalah 20%.7

Jika pada kehamilan sebelumnya menderita HELLP syndrome atau

eklamsia, tingkat rekurensi HELLP syndrome adalah 5% dan eklamsia 2%. Jika

preeklamsia muncul sebelum usia kehamilan 30 minggu, kemungkinan untuk

rekuren dapat mencapai 40%.7

3.2 Intrauterine Fetal Death (IUFD)


3.2.1 Definisi Intrauterine Fetal Death (IUFD)
Intrauterine Fetal Death (IUFD) yaitu kematian janin dalam rahim pada

usia kehamilan 20 minggu dan berat janin > 500 gram. Kematian janin merupakan

hasil akhir dari gangguan pertumbuhan janin, gawat janin, atau infeksi.12

3.2.2 Etiologi Intrauterine Fetal Death (IUFD)


Intrauterine Fetal Death (IUFD) dapat disebabkan oleh faktor maternal,

fetal, atau kelainan patologik plasenta.

a. Faktor maternal diantaranya adalah post term (> 42 minggu), ibu dengan

diabetes melitus tidak terkontrol, sistemik lupus erimatosus, infeksi,

hipertensi, preeklamsia, eklamsia, hemoglobinipati, umur ibu tua, penyakit

rhesus, ruptur uteri, antifosfolipid sindrom (APS), ibu dengan hipotensi

akut, ibu meninggal.

b. Faktor fetal diantaranya adalah gemelli atau hamil kembar, terlambatnya

pertumbuhan janin, adanya kelainan kongenital, kelainan genetik dan

infeksi pada kehamilan.

c. Faktor plasental diantaranya adalah karena adanya kelainan pada talu

pusat, lepasnya plasenta, ketuban pecah dini, plasenta previa.


35

Faktor risiko Intrauterine Fetal Death (IUFD) akan meningkat pada ibu usia

> 40 tahun, pada ibu yang infertil sebelumnya, riwayat bayi dengan berat badan

bayi rendah, infeksi pada ibu, kegemukan dan ayah berusia lanjut.12

3.2.3 Diagnosis Intrauterine Fetal Death (IUFD)


Untuk mendiagnosis adanya Intrauterine Fetal Death (IUFD) dilakukan

anamnesa dan pemeriksaan fisik pada ibu dan janin. Umumnya ibu mengeluhkan

gerakan janin mulai berkurang atau sudah tidak ada gerakan. Pada pemeriksaan

fisik Denyut Jantung Janin (DJJ) sulit untuk dievaluasi. Diagnosis pasti dapat

ditegakkan dengan pemeriksaan ultrasound, dimana tidak tampak adanya gerakan

jantung janin lagi.12

Untuk diagnosis pasti penyebab kematian janin dapat dilakukan otopsi janin

dan pemeriksaan selapt serta plasentanya, termasuk analisis kromosom dan

mencari tahu kemungkinan adanya infeksi guna mengantisipasi kehamilan

berikutnya. 12

3.2.4 Patologi Anatomi Intrauterine Fetal Death (IUFD)


Janin yang meninggan intrauterin umumnya lahir dalam kondisi maserasi.

Kulitnya mengelupas dan terdapat binti-bintikmerah kecoklatan oleh karena

absorbsi pigmen darah. Seluruh tubuhnya lemah atau lunak dan bertekstur. Tulang

kranialnya sudah longgar dan dapat digerakkan dengan sangat mudah satu dengan

yang lainnya. Cairan amnion dan cairan yang ada dalam rongga mengandung

pigmen darah. Maserasi dapat terjadi cepat dan meningkat dalam waktu 24 jam

dari kematian janin. Dengan kata lain, patologi yang terjadi pada IUFD dapat

terjadi perubahan sebagai berikut :13


36

a. Rigor mortis (tegang mati)

Berlangsung 2,5 jam setelah mati, kemudian janin menjadi lemas sekali.

b. Stadium maserasi I

Timbul lepuh-lepuh pada kulit, lepuh – lepuh ini mula – mula berisi cairan

jernih kemudian mejadi merah. Berlangsung sampai 48 jam setelah janin mati.

c. Stadium maserasi II

Lepuh – lepuh pecah dan mewarnai air ketuban menjadi coklat. Terjadi setelah

48 jam janin mati

d. Stadium maserasi III

Terjadi kira – kira 3 minggu setelah janin mati. Badan janin sangat lemas dan

hubungan antar tulang sangat longgar. Terdapat edema dibawah kulit.

3.2.5 Klasifikasi Kematian Janin


Kematian janin dapat dibagi menjadi 4 golongan, yaitu:13

1. Golongan I : kematian sebelum masa kehamilan mencapai 20 minggu

penuh.

2. Golongan II : kematian sesudah ibu hamil 20-28 minggu.

3. Golongan III : kematian sesudah masa kehamilan >28 minggu (late fetal

death)

4. Golongan IV : kematian yang tidak dapat digolongkan pada ketiga

golongan diatas.

3.2.6 Penatalaksanaan Intrauterine Fetal Death (IUFD)


Apabila diagnosis Intrauterine Fetal Death (IUFD) sudah tegak, maka ibu

beserta keluarganya harus diberikan informasi mengenai kedaan janinnya dan

menjelaskan langkah apa yang akan diambil selanjutnya. Apabila kematian janin
37

sudah lebih dari 3-4 minggu kadar fibrinogen akan menurun dan cenderung akan

terjadi koagulopati.12

Persalinan pervaginan dapat ditunggu lahir spontan setelah 2 minggu,

umumnya tanpa komplikasi. Persalinan dapat dilakukan dengan induksi oksitosin

atau misoprostol. Pada kematian janin 24-28 minggu dapat dgunakan misoprostol

50-100 µg tiap 4-6 jam dan diinduksi oksitosin. Pada kehamilan diatas 28 minggu

dosis misoprostol 25 µg pervaginam tiap 6 jam.12

3.2.7 Pencegahan
Menyarankan ibu untuk rutin antenatal care, apabila ibu mengeluh gerakan

janinnya menurun, tidak bergerak atau gerakan janin terlalu aktif maka diperlukan

pemeriksaan ultrasonografi.12

3.3 Hubungan Preeklamsia Berat dan Intrauterine Fetal Death (IUFD)


Pada preeklamsi terjadi vasospasme dalam pembuluh darah ibu disertai

dengan retensi garam dan air. Apabila semua artiola dalam tubuh ibu mengalami

spasme, maka akan terjadi peningkatan curah jantung yang bermakna sehingga

tekanan darah akan naik. Sebagai kompensasi untuk mengatasi kenaikan tekanan

perifer agar oksigen dalam jaringan tercukupi, maka aliran darah yang menuju ke

plasenta akan menurun. apabila keadaan ini terus dibiarkan, maka akan

mengganggu perfusi utero-plasenta sehingga menyebabkan hipoksia janin yang

nantinya akan menyebabkan gangguan pertumbuhan janin dan karena kekurangan

oksigen terjadi gawat janin dan berakibat pada kematian janin (IUFD).14

Anda mungkin juga menyukai

  • Kolom Tambahan TTD PKJ
    Kolom Tambahan TTD PKJ
    Dokumen1 halaman
    Kolom Tambahan TTD PKJ
    Laila Vie VieLa
    Belum ada peringkat
  • BAB I Milier
    BAB I Milier
    Dokumen3 halaman
    BAB I Milier
    Laila Vie VieLa
    Belum ada peringkat
  • Lampiran Pakaian Dinas
    Lampiran Pakaian Dinas
    Dokumen51 halaman
    Lampiran Pakaian Dinas
    Laila Vie VieLa
    Belum ada peringkat
  • TB Milier
    TB Milier
    Dokumen27 halaman
    TB Milier
    Laila Vie VieLa
    Belum ada peringkat
  • BAB V CKD
    BAB V CKD
    Dokumen1 halaman
    BAB V CKD
    Laila Vie VieLa
    Belum ada peringkat
  • BAB I Pendahuluan
    BAB I Pendahuluan
    Dokumen2 halaman
    BAB I Pendahuluan
    Laila Vie VieLa
    Belum ada peringkat
  • Bab Iii
    Bab Iii
    Dokumen1 halaman
    Bab Iii
    Laila Vie VieLa
    Belum ada peringkat
  • RIFAMPISIN REVIEW
    RIFAMPISIN REVIEW
    Dokumen6 halaman
    RIFAMPISIN REVIEW
    Laila Vie VieLa
    Belum ada peringkat
  • Bab V
    Bab V
    Dokumen1 halaman
    Bab V
    Laila Vie VieLa
    Belum ada peringkat
  • Bab Iii MK
    Bab Iii MK
    Dokumen1 halaman
    Bab Iii MK
    Laila Vie VieLa
    Belum ada peringkat
  • BAB V Infark
    BAB V Infark
    Dokumen2 halaman
    BAB V Infark
    Laila Vie VieLa
    Belum ada peringkat
  • Bab I MK
    Bab I MK
    Dokumen1 halaman
    Bab I MK
    Laila Vie VieLa
    Belum ada peringkat
  • Bab I
    Bab I
    Dokumen1 halaman
    Bab I
    Laila Vie VieLa
    Belum ada peringkat
  • BAB V Infark
    BAB V Infark
    Dokumen2 halaman
    BAB V Infark
    Laila Vie VieLa
    Belum ada peringkat
  • Bab I Cil
    Bab I Cil
    Dokumen3 halaman
    Bab I Cil
    Laila Vie VieLa
    Belum ada peringkat
  • Bab I Iufd
    Bab I Iufd
    Dokumen3 halaman
    Bab I Iufd
    Laila Vie VieLa
    Belum ada peringkat
  • Tugas Lapsus 2
    Tugas Lapsus 2
    Dokumen12 halaman
    Tugas Lapsus 2
    Laila Vie VieLa
    Belum ada peringkat
  • Bab I Sa
    Bab I Sa
    Dokumen2 halaman
    Bab I Sa
    Laila Vie VieLa
    Belum ada peringkat
  • Syok Kardiogenik Dan Syok Obstruktif
    Syok Kardiogenik Dan Syok Obstruktif
    Dokumen17 halaman
    Syok Kardiogenik Dan Syok Obstruktif
    Laila Vie VieLa
    100% (1)
  • Nama, Pemeriksaan, Dan Interpretasi Posisi Bola Mata
    Nama, Pemeriksaan, Dan Interpretasi Posisi Bola Mata
    Dokumen10 halaman
    Nama, Pemeriksaan, Dan Interpretasi Posisi Bola Mata
    Laila Vie VieLa
    Belum ada peringkat
  • Bab I Iufd
    Bab I Iufd
    Dokumen3 halaman
    Bab I Iufd
    Laila Vie VieLa
    Belum ada peringkat
  • Status Gigi
    Status Gigi
    Dokumen5 halaman
    Status Gigi
    Laila Vie VieLa
    Belum ada peringkat
  • Daftar Pustaka Gea
    Daftar Pustaka Gea
    Dokumen1 halaman
    Daftar Pustaka Gea
    Laila Vie VieLa
    Belum ada peringkat
  • Piki Ran
    Piki Ran
    Dokumen9 halaman
    Piki Ran
    Laila Vie VieLa
    Belum ada peringkat
  • Halitosis
    Halitosis
    Dokumen2 halaman
    Halitosis
    Laila Vie VieLa
    Belum ada peringkat
  • BAB I CKD
    BAB I CKD
    Dokumen3 halaman
    BAB I CKD
    Laila Vie VieLa
    Belum ada peringkat
  • Bab V
    Bab V
    Dokumen1 halaman
    Bab V
    Laila Vie VieLa
    Belum ada peringkat
  • BAB V Gea
    BAB V Gea
    Dokumen1 halaman
    BAB V Gea
    Laila Vie VieLa
    Belum ada peringkat
  • Bab I
    Bab I
    Dokumen2 halaman
    Bab I
    Laila Vie VieLa
    Belum ada peringkat