Anda di halaman 1dari 22

DEMAM TIFOID

Oleh:
Andini Dita Utami 173202075
Adelina Siregar 173202077

PROGRAM STUDI PROFESI APOTEKER


FAKULTAS FARMASI
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
2018
1. DEFENISI

Demam tifoid disebut juga dengan Typus Abdominalis atau Typhoid fever. Demam tifoid ialah
penyakit infeksi akut yang biasanya terdapat pada saluran pencernaan (usus halus) dengan
gejala demam satu minggu atau lebih disertai gangguan pada saluran pencernaan dan dengan
atau tanpa gangguan kesadaran.

2. ETIOLOGI

Salmonella typhi adalah bakteri gram negatif, yang mempunyai flagella, tidak berkapsul, tidak
membentuk spora fakultatif anaerob. Salmonella typhi mempunyai 3 macam antigen, yaitu :

 Antigen O (Antigen somatik), yaitu terletak pada lapisan luar dari tubuh kuman.
Bagian ini mempunyai struktur kimia lipopolisakarida atau disebut juga endotoksin.
Antigen ini tahan terhadap panas dan alkohol tetapi tidak tahan terhadap formaldehid.
 Antigen H (Antigen Flagella), yang terletak pada flagella, fimbriae atau fili dari
kuman. Antigen ini mempunyai struktur kimia suatu protein dan tahan terhadap
formaldehid tetapi tidak tahan terhadap panas di atas 60ºC, asam dan alkohol.
 Antigen Vi adalah polimer polisakarida yang bersifat asam yang terletak pada kapsul
(envelope) dari kuman yang dapat melindungi kuman terhadap fagositosis.

3. EPIDEMIOLOGI

Dalam empat dekade terakhir, demam tifoid telah menjadi masalah kesehatan global bagi
masyarakat dunia. Diperkirakan angka kejadian penyakit ini mencapai 16 juta kasus di Asia
tenggara dengan angka kematian mencapai 600.000 jiwa per tahun. Prevalensi demam tifoid di
Indonesia mencapai 1,7%. Distribusi prevalensi tertinggi adalah pada usia 5–14 tahun (1,9%), usia 1–4
tahun (1,6%), usia 15–24 tahun (1,5%) dan usia <1 tahun (0,8%), sekitar 1100 kasus per 100.000
penduduk per tahunnya dengan angka kematian 3,1-10,4% (Riskesdas, 2007).
4. PATOFISIOLOGI

Salmonella typhi dan Salmonella paratyphi masuk kedalam tubuh manusia melalui makanan dan
minuman yang terkontaminasi kuman. Sebagian kuman dimusnahkan oleh asam lambung dan
sebagian lagi masuk ke usus halus dan berkembang biak. Menurut penelitian dibutuhkan kuman
jumlah tertentu yaitu 106-109 untuk dapat menimbulkan penyakit. Bila respon imunitas humoral
mukosa IgA usus kurang baik maka kuman akan menembus sel-sel epitel terutama sel M dan
selanjutnya ke lamina propia. Di lamina propia kuman berkembang biak dan difagosit oleh sel-
sel fagosit terutama oleh makrofag.

Kuman dapat hidup dan berkembang biak di dalam makrofag dan selanjutnya dibawa ke
Plaque Peyeri Ileum distal dan kemudian ke kelenjar getah bening mesenterika. Selanjutnya
melalui duktus torasikus kuman yang terdapat di dalam makrofag ini masuk ke dalam sirkulasi
darah (mengakibatkan bakterimia pertama yang asimtomatik). Bekterimia pertama terjadi 24-
72 jam setelah kuman tertelan dan biasanya tanpa gejala karena jumlah kuman tidak cukup
banyak untuk dapat menimbulkan gejala, dan kuman segera tertangkap oleh sel-sel sistem
retikuloendotelial tubuh terutama hati, limpa dan sumsum tulang . Di organ-organ ini kuman
meninggalkan sel-sel fagosit dan kemudian berkembang biak di luar sel atau ruang sinusoid
dan selanjutnya masuk ke dalam sirkulasi darah lagi yang mengakibatkan bakterimia yang
kedua kalinya dengan disertai tanda-tanda dan gejala penyakit infeksi sistemik.

Didalam hati, kuman masuk kedalam kandung empedu, berkembang biak, dan bersama cairan
empedu diekskresikan secara intermitten kedalam lumen usus. Sebagain kuman dikeluarkan
melalui feses dan sebagian masuk lagi kedalam sirkulasi setelah menembus usus. Proses yang
sama terulang kembali, berhubung makrofag telah teraktivasi dan hiperaktif maka saat
fagositosis kuman salmonella terjadi pelepasan beberapa mediator inflamasi yang selanjutnya
akan menimbulkan gejala reaksi inflamsi sistemik seperti demam, malaise, mialgia, sakit
perut, sakit kepala, instabilitas vascular, gangguan mental dan koagulasi.
a. Aspek Imunologik

Seperti halnya mekanisme tubuh terhadap penyakit infeksi umumnya, mekanisme pertahanan
tubuh terhadap masuknya kuman Salmonella typhi pada manusia dapat timbul segera, yang di
periksa oleh mekanisme imunologik non spesifik dan selanjutnya diikuti dengan mekanisme
pertahanan imunologik spesifik yang terdiri atas respon imunitas humoral dan seluler.

Asam lambung sebagian dari sistem pertahanan non spesifik, merupakan salah satu barier
utama yang dapat mematikan mayoritas kuman penyebab infesksi saluran cerna. Adanya
penurunan keasaman lambung akan menyebabkan lebih banyak kuman mencapai usus halus.
Sebagian kuman Salmonella typhi masih dapat bertahan dan tetap hidup dalam asam lambung.
Selanjutnya kuman dapat menembus epitel mukosa epitel usus halus dan berhadapan dengan
membrane basalis, yang fungsi pertahananya sudah berkurang, akibat destruksi epitel dan
proses radang. Sehingga kuman dapat mencapai lapisan subepitel. Di dalam lapisan subepitel,
kuman akan mendapatkan perlawanan dari 3 mekanisme pertahanan yang terdiri dari cairan
jaringan, sistem jaringan limfoid, dan sel fagosit. Pada infeksi Salmonella typhi biasanya
terjadi hiperplasi sistem retikuloendotelial, yang juga terjadi pada jaringan limfoid seperti
plaques, kelenjar, limfe lain ( hati,limpa dengan aktivitas fagositosis yang meningkat ).

Mekanisme pertahanan imunologik spesisfik biasanya menyangkut antibodi, lomfosit B dan T


dan komplemen yang terbagi atas imunitas seluler dan imunitas humoral. Respon imunitas
seluler sangat penting dalam penyembuhan penyakit demam tifoid, yang merupakan interaksi
antara sel limfosit T dan fagosit mononuklear, untuk membunuh mikroorganisme yang tidak
dapat diatasi oleh mekanisme mikrobial humoral dan fagosit polimorfonuklear. Adanya
antigen kuman akan merangsang limfosit T untuk membentuk faktor aktivasi makrofag,
sehingga akan berkumpul pada tempat terjadinya invasi kuman.

Limfosit B sangat berperan dalam respon imunitas humoral. Akibat stimulasi antigen kuman ,
sel akan berubah menjadi sel plasma dan mensintesa immunoglobulin. Imuniglobulin G dan M
adalah immunoglobulin yang di bentuk paling banyak. Peningkatan titer terjadi mulai minggu
pertama kemudian meningkat pada minggu-minggu berikutnya , sedangkan imunoglobulin A
meningkat pada minggu kedua. Immunoglobulin M adalah antibodi pertama yang dibentuk
dalam respon imun. Karena itu kadar IgM yang tinggi merupakan petunjuk adanya infeksi
dini. Adanya antibodi humoral ini bisanya dipakai sebagai dasar berbagai pemeriksaan
laboratorium.

Gambar 1. Sensitifitas Tubex TF vs Profil Respon Antibodi Salmonella typhi Periode Fase
Demam.

5. GEJALA KLINIS

Gejala klinis demam tifoid pada anak biasanya lebih ringan jika dibanding dengan penderita
dewasa. Masa inkubasi demam tifoid 3 sampai 60 hari dengan rata-rata antara 10 sampai 14
hari. Gejala klinis demam tifoid sangat bervariasi, dari gejala klinis ringan dan tidak
memerlukan perawatan khusus sampai dengan berat sehingga harus dirawat. Setelah masa
inkubasi maka ditemukan gejala prodromal, yaitu perasaan tidak enak badan, lesu, nyeri
kepala, pusing dan tidak bersemangat.

Kemudian menyusul gejala klinis yang biasa ditemukan, yaitu :


a. Demam
Pada kasus-kasus yang khas, demam berlangsung 3 minggu. Bersifat febris remiten dan suhu
tidak berapa tinggi. Selama minggu pertama, suhu tubuh berangsur-angsur meningkat setiap
hari, biasanya menurun pada pagi hari dan meningkat lagi pada sore dan malam hari. Dalam
minggu kedua, penderita terus berada dalam keadaan demam. Dalam minggu ketiga suhu
tubuh beraangsur-angsur turun dan normal kembali pada akhir minggu ketiga.

b. Gangguan Pada Saluran Pencernaan


Pada mulut terdapat nafas berbau tidak sedap. Bibir kering dan pecah-pecah (ragaden) . Lidah
ditutupi selaput putih kotor di bagian tengahnya (coated tongue) dengan ujung dan tepi
lidahnya kemerahan, jarang disertai tremor. Pada abdomen mungkin ditemukan keadaan perut
kembung (meteorismus). Hati dan limpa membesar disertai nyeri pada perabaan. Biasanya
didapatkan konstipasi, akan tetapi mungkin pula normal bahkan dapat terjadi diare.

c. Gangguan Kesadaran
Umumnya kesadaran penderita menurun, yaitu apatis sampai somnolen. Jarang terjadi sopor,
koma atau gelisah.

d. Gejala Lain
Rose spot dapat dijumpai pada penderita tifoid, yaitu suatu ruam makulopapular yang
berwarna merah dengan ukuran 2 sampai 4 um seringkali dijumpai pada daerah abdomen,
toraks, ekstremitas dan punggung pada orang kulit putih, jarang terjadi pada anak Indonesia.
Kadang-kadang ditemukan bradikardi pada anak dan mungkin pula ditemukan epistaksis.

Tabel 1. Skala penilaian klinis demam tifoid menurut Nelwan RHH.


No Gejala Klinis Skor
1 Demam < 1 minggu 1
2 Sakit kepala 1
3 Lemah 1
4 Mual 1
5 Nyeri perut 1
6 Anoreksia 1
7 Muntah 1
8 Gangguan motilitas 1
9 Imsomnia 1
10 Hepatomegali 1
11 Splenomegali 1
12 Demam > 1 minggu 2
13 Bradikardi relative 2
14 Lidah tifoid 2
15 Melena 2
16 Gangguan kesadaran 2

Skor 1-20, semakin tinggi skor semakin mendukung demam tifoid. Penilaian klinis suspek
demam tifoid bila skor ≥8 .

Gambar 2. Perjalanan Penyakit Demam Tifoid

6. PEMERIKSAAN LABORATORIUM

Pemeriksaan laboratorium untuk membantu menegakan diagnosis demam tifoid dibagi dalam
empat kelompok, yaitu : (a) pemeriksaaan darah tepi; (b) pemeriksaan bakteriologis dengan
isolasi dan biakan kuman; (c) uji serologi; dan (d) pemeriksaan kuman secara molekuler.
a. Pemeriksaan Darah Tepi
Pada penderita demam tifoid bisa didapatkan anemia, jumlah leukosit normal, bisa menurun
atau meningkat, mungkin didapatkan trombositopenia dan hitung jenis biasanya normal atau
sedikit bergeser ke kiri, mungkin didapatkan aneosinofilia dan limfositosis relatif, terutama
pada fase lanjut. Penelitian oleh beberapa ilmuwan mendapatkan bahwa hitung jumlah dan
jenis leukosit serta laju endap darah tidak mempunyai nilai sensitivitas, spesifisitas dan nilai
ramal yang cukup tinggi untuk dipakai dalam membedakan antara penderita demam tifoid
atau bukan, akan tetapi adanya leukopenia dan limfositosis relatif menjadi dugaan kuat
diagnosis demam tifoid. Penelitian oleh Darmowandowo (1998) di RSU Dr.Soetomo
Surabaya mendapatkan hasil pemeriksaan darah penderita demam tifoid berupa anemia
(31%), leukositosis (12.5%) dan leukosit normal (65.9%).

b. Identifikasi Kuman Melalui Isolasi / Biakan


Diagnosis pasti demam tifoid dapat ditegakkan bila ditemukan bakteri Salmonella typhi dalam
biakan dari darah, urine, feses, sumsum tulang, cairan duodenum atau dari rose spots.
Berkaitan dengan patogenesis penyakit, maka bakteri akan lebih mudah ditemukan dalam
darah dan sumsum tulang pada awal penyakit, sedangkan pada stadium berikutnya di dalam
urine dan feses.

Hasil biakan yang positif memastikan demam tifoid akan tetapi hasil negatif tidak
menyingkirkan demam tifoid, karena hasilnya tergantung pada beberapa faktor. Faktor-faktor
yang mempengaruhi hasil biakan meliputi (1) jumlah darah yang diambil; (2) perbandingan
volume darah dari media empedu; dan (3) waktu pengambilan darah. Volume 10-15 mL
dianjurkan untuk dewasa, sedangkan pada anak kecil dibutuhkan 2-3 mL. Sedangkan volume
sumsum tulang yang dibutuhkan untuk kultur hanya sekitar 0.5-1 mL. Bakteri dalam sumsum
tulang ini juga lebih sedikit dipengaruhi oleh antibiotika daripada bakteri dalam darah. Hal ini
dapat menjelaskan teori bahwa kultur sumsum tulang lebih tinggi hasil positifnya bila
dibandingkan dengan darah walaupun dengan volume sampel yang lebih sedikit dan sudah
mendapatkan terapi antibiotika sebelumnya. Media pembiakan yang direkomendasikan untuk
Salmonella typhi adalah media empedu (gall) dari sapi dimana dikatakan media Gall ini dapat
meningkatkan positivitas hasil karena hanya Salmonella typhi dan Salmonella paratyphi yang
dapat tumbuh pada media tersebut.

Biakan darah terhadap Salmonella juga tergantung dari saat pengambilan pada perjalanan
penyakit. Beberapa peneliti melaporkan biakan darah positif 40-80% atau 70-90% dari
penderita pada minggu pertama sakit dan positif 10-50% pada akhir minggu ketiga.
Sensitivitasnya akan menurun pada sampel penderita yang telah mendapatkan antibiotika dan
meningkat sesuai dengan volume darah dan rasio darah dengan media kultur yang dipakai.
Bakteri dalam feses ditemukan meningkat dari minggu pertama (10-15%) hingga minggu
ketiga (75%) dan turun secara perlahan. Biakan urine positif setelah minggu pertama. Biakan
sumsum tulang merupakan metode baku emas karena mempunyai sensitivitas paling tinggi
dengan hasil positif didapat pada 80-95% kasus dan sering tetap positif selama perjalanan
penyakit dan menghilang pada fase penyembuhan. Metode ini terutama bermanfaat untuk
penderita yang sudah pernah mendapatkan terapi atau dengan kultur darah negatif
sebelumnya. Prosedur terakhir ini sangat invasif sehingga tidak dipakai dalam praktek sehari-
hari. Pada keadaan tertentu dapat dilakukan kultur pada spesimen empedu yang diambil dari
duodenum dan memberikan hasil yang cukup baik akan tetapi tidak digunakan secara luas
3,6,18
karena adanya risiko aspirasi terutama pada anak. Salah satu penelitian pada anak
menunjukkan bahwa sensitivitas kombinasi kultur darah dan duodenum hampir sama dengan
kultur sumsum tulang.

Kegagalan dalam isolasi/biakan dapat disebabkan oleh keterbatasan media yang digunakan,
adanya penggunaan antibiotika, jumlah bakteri yang sangat minimal dalam darah, volume
spesimen yang tidak mencukupi, dan waktu pengambilan spesimen yang tidak tepat.
Walaupun spesifisitasnya tinggi, pemeriksaan kultur mempunyai sensitivitas yang rendah dan
adanya kendala berupa lamanya waktu yang dibutuhkan (5-7 hari) serta peralatan yang lebih
canggih untuk identifikasi bakteri sehingga tidak praktis dan tidak tepat untuk dipakai sebagai
metode diagnosis baku dalam pelayanan penderita.

c. Identifikasi Kuman Melalui Uji Serologis


Uji serologis digunakan untuk membantu menegakkan diagnosis demam tifoid dengan
mendeteksi antibodi spesifik terhadap komponen antigen Salmonella typhi maupun
mendeteksi antigen itu sendiri. Volume darah yang diperlukan untuk uji serologis ini adalah 1-
3 mL yang diinokulasikan ke dalam tabung tanpa antikoagulan.3 Beberapa uji serologis yang
dapat digunakan pada demam tifoid ini meliputi : (1) uji Widal; (2) tes Tubex TF; (3) metode
enzyme immunoassay (EIA); (4) metode enzyme-linked immunosorbent assay (ELISA); dan
(5) pemeriksaan dipstik.

Metode pemeriksaan serologis imunologis ini dikatakan mempunyai nilai penting dalam
proses diagnostik demam tifoid. Akan tetapi masih didapatkan adanya variasi yang luas dalam
sensitivitas dan spesifisitas pada deteksi antigen spesifik Salmonella typhi oleh karena
tergantung pada jenis antigen, jenis spesimen yang diperiksa, teknik yang dipakai untuk
melacak antigen tersebut, jenis antibodi yang digunakan dalam uji (poliklonal atau
monoklonal) dan waktu pengambilan spesimen (stadium dini atau lanjut dalam perjalanan
penyakit).

 Uji Widal
Uji Widal merupakan suatu metode serologi baku dan rutin digunakan sejak tahun 1896.
Prinsip uji Widal adalah memeriksa reaksi antara antibodi aglutinin dalam serum penderita
yang telah mengalami pengenceran berbeda-beda terhadap antigen somatic (O) dan flagela
(H) yang ditambahkan dalam jumlah yang sama sehingga terjadi aglutinasi. Pengenceran
tertinggi yang masih menimbulkan aglutinasi menunjukkan titer antibodi dalam serum.

Teknik aglutinasi ini dapat dilakukan dengan menggunakan uji hapusan (slide test) atau uji
tabung (tube test). Uji hapusan dapat dilakukan secara cepat dan digunakan dalam prosedur
penapisan sedangkan uji tabung membutuhkan teknik yang lebih rumit tetapi dapat digunakan
untuk konfirmasi hasil dari uji hapusan.

Penelitian pada anak oleh Choo dkk (1990) mendapatkan sensitivitas dan spesifisitas masing-
masing sebesar 89% pada titer O atau H >1/40 dengan nilai prediksi positif sebesar 34.2% dan
nilai prediksi negatif sebesar 99.2%.23 Beberapa penelitian pada kasus demam tifoid anak
dengan hasil biakan positif, ternyata hanya didapatkan sensitivitas uji Widal sebesar 64-74%
dan spesifisitas sebesar 76-83%. Interpretasi dari uji Widal ini harus memperhatikan beberapa
faktor antara lain sensitivitas, spesifisitas, stadium penyakit; faktor penderita seperti status
imunitas dan status gizi yang dapat mempengaruhi pembentukan antibodi; gambaran
imunologis dari masyarakat setempat (daerah endemis atau non-endemis); faktor antigen;
teknik serta reagen yang digunakan.

Kelemahan uji Widal yaitu rendahnya sensitivitas dan spesifisitas serta sulitnya melakukan
interpretasi hasil membatasi penggunaannya dalam penatalaksanaan penderita demam tifoid
akan tetapi hasil uji Widal yang positif akan memperkuat dugaan pada tersangka penderita
demam tifoid (penanda infeksi). Saat ini walaupun telah digunakan secara luas di seluruh
dunia, manfaatnya masih diperdebatkan dan sulit dijadikan pegangan karena belum ada
kesepakatan akan nilai standar aglutinasi (cut-off point). Untuk mencari standar titer uji Widal
seharusnya ditentukan titer dasar (baseline titer) pada anak sehat di populasi dimana pada
daerah endemis seperti Indonesia akan didapatkan peningkatan titer antibodi O dan H pada
anak-anak sehat. Penelitian oleh Darmowandowo di RSU Dr.Soetomo Surabaya (1998)
mendapatkan hasil uji Widal dengan titer >1/200 pada 89% penderita.

 Tes Tubex TF
Tes Tubex TF merupakan tes aglutinasi kompetitif semi kuantitatif yang sederhana dan cepat
(kurang lebih 2 menit) dengan menggunakan partikel yang berwarna untuk meningkatkan
sensitivitas. Spesifisitas ditingkatkan dengan menggunakan antigen O9 yang benar-benar
spesifik yang hanya ditemukan pada Salmonella serogrup D. Tes ini sangat akurat dalam
diagnosis infeksi akut karena hanya mendeteksi adanya antibodi IgM dan tidak mendeteksi
antibodi IgG dalam waktu beberapa menit.

Walaupun belum banyak penelitian yang menggunakan tes Tubex TF ini, beberapa penelitian
pendahuluan menyimpulkan bahwa tes ini mempunyai sensitivitas dan spesifisitas yang lebih
baik daripada uji Widal.3 Penelitian oleh Lim dkk (2002) mendapatkan hasil sensitivitas 100%
dan spesifisitas 100%.12 Penelitian lain mendapatkan sensitivitas sebesar 78% dan spesifisitas
sebesar 89%.17 Tes ini dapat menjadi pemeriksaan yang ideal, dapat digunakan untuk
pemeriksaan secara rutin karena cepat, mudah dan sederhana, terutama di negara berkembang.

Gambar 3. Mekanisme Reaksi Negatif dan Mekanisme Reaksi Positif Pada Pemeriksaan
Tubex TF.

 Metode Enzyme Immunoassay (EAI) Dot


Uji serologi ini didasarkan pada metode untuk melacak antibodi spesifik IgM dan IgG
terhadap antigen OMP 50 kD Salmonella typhi. Deteksi terhadap IgM menunjukkan fase awal
infeksi pada demam tifoid akut sedangkan deteksi terhadap IgM dan IgG menunjukkan
demam tifoid pada fase pertengahan infeksi. Pada daerah endemis dimana didapatkan tingkat
transmisi demam tifoid yang tinggi akan terjadi peningkatan deteksi IgG spesifik akan tetapi
tidak dapat membedakan antara kasus akut, konvalesen dan reinfeksi. Pada metode Typhidot-
M® yang merupakan modifikasi dari metode Typhidot® telah dilakukan inaktivasi dari IgG
total sehingga menghilangkan pengikatan kompetitif dan memungkinkan pengikatan antigen
terhadap Ig M spesifik.

Penelitian oleh Purwaningsih dkk (2001) terhadap 207 kasus demam tifoid bahwa spesifisitas
uji ini sebesar 76.74% dengan sensitivitas sebesar 93.16%, nilai prediksi positif sebesar
85.06% dan nilai prediksi negatif sebesar 91.66%.23 Sedangkan penelitian oleh
Gopalakhrisnan dkk (2002) pada 144 kasus demam tifoid mendapatkan sensitivitas uji ini
sebesar 98%, spesifisitas sebesar 76.6% dan efisiensi uji sebesar 84%. Penelitian lain
mendapatkan sensitivitas sebesar 79% dan spesifisitas sebesar 89%. Uji dot EIA tidak
mengadakan reaksi silang dengan salmonellosis non-tifoid bila dibandingkan dengan Widal.
Dengan demikian bila dibandingkan dengan uji Widal, sensitivitas uji dot EIA lebih tinggi
oleh karena kultur positif yang bermakna tidak selalu diikuti dengan uji Widal positif.
Dikatakan bahwa Typhidot-M® ini dapat menggantikan uji Widal bila digunakan bersama
dengan kultur untuk mendapatkan diagnosis demam tifoid akut yang cepat dan akurat.

Beberapa keuntungan metode ini adalah memberikan sensitivitas dan spesifisitas yang tinggi
dengan kecil kemungkinan untuk terjadinya reaksi silang dengan penyakit demam lain, murah
(karena menggunakan antigen dan membran nitroselulosa sedikit), tidak menggunakan alat
yang khusus sehingga dapat digunakan secara luas di tempat yang hanya mempunyai fasilitas
kesehatan sederhana dan belum tersedia sarana biakan kuman. Keuntungan lain adalah bahwa
antigen pada membran lempengan nitroselulosa yang belum ditandai dan diblok dapat tetap
stabil selama 6 bulan bila disimpan pada suhu 4°C dan bila hasil didapatkan dalam waktu 3
jam setelah penerimaan serum pasien.

Metode Enzyme-linked Immunosorbent Assay (ELISA)


Uji Enzyme-Linked Immunosorbent Assay (ELISA) dipakai untuk melacak antibodi IgG, IgM
dan IgA terhadap antigen LPS O9, antibodi IgG terhadap antigen flagella d (Hd) dan antibodi
terhadap antigen Vi Salmonella typhi. Uji ELISA yang sering dipakai untuk mendeteksi
adanya antigen Salmonella typhi dalam spesimen klinis adalah double antibody sandwich
ELISA. Chaicumpa dkk (1992) mendapatkan sensitivitas uji ini sebesar 95% pada sampel
darah, 73% pada sampel feses dan 40% pada sampel sumsum tulang. Pada penderita yang
didapatkan Salmonella typhi pada darahnya, uji ELISA pada sampel urine didapatkan
sensitivitas 65% pada satu kali pemeriksaan dan 95% pada pemeriksaan serial serta
spesifisitas 100%.26 Penelitian oleh Fadeel dkk (2004) terhadap sampel urine penderita
demam tifoid mendapatkan sensitivitas uji ini sebesar 100% pada deteksi antigen Vi serta
masing-masing 44% pada deteksi antigen O9 dan antigen Hd. Pemeriksaan terhadap antigen
Vi urine ini masih memerlukan penelitian lebih lanjut akan tetapi tampaknya cukup
menjanjikan, terutama bila dilakukan pada minggu pertama sesudah panas timbul, namun juga
perlu diperhitungkan adanya nilai positif juga pada kasus dengan Brucellosis.
Pemeriksaan Dipstik
Uji serologis dengan pemeriksaan dipstik dikembangkan di Belanda dimana mendeteksi
antibodi IgM spesifik terhadap antigen LPS Salmonella typhi dengan menggunakan membran
nitroselulosa yang mengandung antigen Salmonella typhi sebagai pita pendeteksi dan antibodi
IgM anti-human immobilized sebagai reagen kontrol. Pemeriksaan ini menggunakan
komponen yang sudah distabilkan, tidak memerlukan alat yang spesifik dan dapat digunakan
di tempat yang tidak mempunyai fasilitas laboratorium yang lengkap.

Penelitian oleh Gasem dkk (2002) mendapatkan sensitivitas uji ini sebesar 69.8% bila
dibandingkan dengan kultur sumsum tulang dan 86.5% bila dibandingkan dengan kultur darah
dengan spesifisitas sebesar 88.9% dan nilai prediksi positif sebesar 94.6%.28 Penelitian lain
oleh Ismail dkk (2002) terhadap 30 penderita demam tifoid mendapatkan sensitivitas uji ini
sebesar 90% dan spesifisitas sebesar 96%.29 Penelitian oleh Hatta dkk (2002) mendapatkan
rerata sensitivitas sebesar 65.3% yang makin meningkat pada pemeriksaan serial yang
menunjukkan adanya serokonversi pada penderita demam tifoid.30 Uji ini terbukti mudah
dilakukan, hasilnya cepat dan dapat diandalkan dan mungkin lebih besar manfaatnya pada
penderita yang menunjukkan gambaran klinis tifoid dengan hasil kultur negatif atau di tempat
dimana penggunaan antibiotika tinggi dan tidak tersedia perangkat pemeriksaan kultur secara
luas.

 Identifikasi Kuman Secara Molekuler


Metode lain untuk identifikasi bakteri Salmonella typhi yang akurat adalah mendeteksi DNA
(asam nukleat) gen flagellin bakteri Salmonella typhi dalam darah dengan teknik hibridisasi
asam nukleat atau amplifikasi DNA dengan cara polymerase chain reaction (PCR) melalui
identifikasi antigen Vi yang spesifik untuk Salmonella typhi.

Penelitian oleh Haque dkk (1999) mendapatkan spesifisitas PCR sebesar 100% dengan
sensitivitas yang 10 kali lebih baik daripada penelitian sebelumnya dimana mampu
mendeteksi 1-5 bakteri/mL darah. Penelitian lain oleh Massi dkk (2003) mendapatkan
sensitivitas sebesar 63% bila dibandingkan dengan kultur darah (13.7%) dan uji Widal
(35.6%). Kendala yang sering dihadapi pada penggunaan metode PCR ini meliputi risiko
kontaminasi yang menyebabkan hasil positif palsu yang terjadi bila prosedur teknis tidak
dilakukan secara cermat, adanya bahan-bahan dalam spesimen yang bisa menghambat proses
PCR (hemoglobin dan heparin dalam spesimen darah serta bilirubin dan garam empedu dalam
spesimen feses), biaya yang cukup tinggi dan teknis yang relatif rumit. Usaha untuk melacak
DNA dari spesimen klinis masih belum memberikan hasil yang memuaskan sehingga saat ini
penggunaannya masih terbatas dalam laboratorium penelitian.

7. KOMPLIKASI

a. Komplikasi Intestinal
 Perdarahan Usus
Pada plak peyeri usus yang terinfeksi (terutama ileum terminalis) dapat terbentuk tukak/luka
berbentuk lonjong dan memanjang terhadap sumbu usus. Bila luka menembus limen usus dan
mengenai pembuluh darah maka terjadi perdarahan. Selanjutnya bias tukak menembus dinding
usus maka perforasi dapat terjadi. Sekitar 25% penderita demam tifoid dapat mengalami
perdarahan minor yang tidak membutuhkan transfusi darah.
 Perforasi Usus
Terjadi pada sekitar 3% dari penderita yang dirawat. Biasanya timbul pada minggu ketiga
namun dapat pula terjadi pada minggu pertama. Penderita demam tifoid dengan perforasi
mengeluh nyeri perut yang hebat terutama di daerah kuadran kanan bawah yang kemudian
meyebar ke seluruh perut di sertai dengan tanda-tanda ileus.

b. Komplikasi Ekstraintestinal
 Hepatitis Tifosa
Hepatitis tifosa asimtomatik dapat dijumpai pada kasus demam tifoid dengan ditandai
peningkatan kadar transaminase yang tidak mencolok. Ikterus dengan atau tanpa disertai
kenaikan kadar transaminase, maupun kolesistitis akut juga dapat dijumpai, sedang kolesistitis
kronik yang terjadi pada penderita setelah mengalami demam tifoid dapat dikaitkan dengan
adanya batu empedu dan fenomena pembawa kuman.
 Miokarditis
Miokarditis dapat timbul dengan manifestasi klinis berupa aritmia, perubahan gelombang ST
dan gelombang T pada pemeriksaan elektrokardiografi (EKG), syok kardiogenik, infiltrasi
lemak maupun nekrosis pada jantung.
 Neuropsikiatri.
Dilaporkan pada kasus dengan komplikasi neuropsikiatri. Sebagian besar bermanifestasi
gangguan kesadaran, disorientasi, delirium, obtundasi, stupor bahkan koma. Beberapa penulis
mengaitkan manifestasi klinis neuropsikiatri dengan prognosis buruk.

8. SUMBER PENULARAN (RESERVOIR)


Penularan penyakit demam tifoid oleh basil Salmonella typhi ke manusia melalui makanan
dan minuman yang telah tercemar oleh feses atau urin dari penderita tifoid.
Ada dua sumber penularan Salmonella typhi, yaitu :

1. Penderita Demam Tifoid


Yang menjadi sumber utama infeksi adalah manusia yang selalu mengeluarkan
mikroorganisme penyebab penyakit, baik ketika ia sedang menderita sakit maupun yang
sedang dalam penyembuhan. Pada masa penyembuhan penderita pada umumnya masih
mengandung bibit penyakit di dalam kandung empedu dan ginjalnya. Sehingga penderita
seperti ini masih dapat menjadi sumber penularan bagi orang lain yang sehat.

2. Karier Demam Tifoid.


Penderita tifoid karier adalah seseorang yang kotorannya (feses atau urin) mengandung
Salmonella typhi setelah satu tahun pasca demam tifoid, tanpa disertai gejala klinis. Pada
penderita demam tifoid yang telah sembuh setelah 2 sampai 3 bulan masih dapat ditemukan
kuman Salmonella typhi di feces atau urin. Penderita ini disebut karier pasca penyembuhan.
Pada demam tifoid sumber infeksi dari karier kronis adalah kandung empedu dan ginjal
(infeksi kronis, batu atau kelainan anatomi). Oleh karena itu apabila terapi medika-mentosa
dengan obat anti tifoid gagal, harus dilakukan operasi untuk menghilangkan batu atau
memperbaiki kelainan anatominya.
9. PENCEGAHAN
- Higiene peorangan dan lingkungan
Demam tifoid ditularkan melalui rute fekal-oral, maka pencagahan utama memutuskan
rantai tersebut dengan meningkatkan higiene perorangan dan lingkungan, seperti mencuci
tangan sebelum makan, penyediaan air bersih, dan penanganan pembuangan limbah feses.

- Imunisasi
Imunisasi aktif terutama diberikan bila terjadi kontak dengan pasien demam tifoid, terjadi
kejadian luar biasa dan untuk turis yang bepergian ke daerah endemik.
o Vaksin polisakarida (capsular Vi polysacharide), pada usia 2 tahun atau lebih diberikan
secara intramuscular dan diulang setiap 3 tahun.
o Vaksin tifoid oral , diberikan pada usia >6 tahun dengan interval selang sehari (hari 1,3 dan
5), ulangan setiap 3-5 tahun. Vaksin ini belum beredar di Indonesia, terutama
direkomendasikan untuk turis yang bepergian ke daerah endemik.

10. PROGNOSIS

Prognosis terhadap pasien demam tifoid bergantung kepada kecepatan penegakan


diagnosis dan ketepatan terapi antibiotik. Faktor lain yang mempengaruhi meliputi umur
pasien, status kesehatan dan nutrisi, serotype Salmonella dan munculnya komplikasi.
Meskipun terapi yang didapat tepat, 2-4% anak yang terinfeksi dapat kambuuh setelah
respon awal terapi. Individu yang mengekskresikan S.typhi ≥3bulan setelah infeksi
dianggap sebagai karier kronik. Bagaimanapun resiko untuk menjadi karier rendah pada
anak-anak dan meningkat dengan bertambahnya umur, namun secara umum < 2% dari
semua anak yang terinfeksi.

11. TATA LAKSANA PENGOBATAN DAN PERAWATAN

1. PERAWATAN UMUM DAN NUTRISI


Perawatan demam tifoid, dengan gambaran klinik jelas sebaiknya dirawat di rumah
sakit atau kesehatan lain yang ada fasilitas perawatan.
Tujuan perawatan adalah:
1. Optimalisasi pengobatan dan mempercepat penyembuhan
2. Observasi terhadap perjalanan penyakit
3. Minimalisasi komplikasi
4. Isolasi untuk menjamin pencegahan terhadap pencemaran dan atau kontaminasi

a. Tirah Baring
Penderita yang dirawat harus tirah baring dengan sempurna untuk mencegah
komplikasi, terutama perdarahan dan perforasi. Bila klinis berat, penderita harus
istirahat total. Bila terjadi penurunan kesadaran maka posisi tidur pasien harus diubah
ubah pada waktu tertentu untuk mencegah komplikasi pneumonia hipostatik dan
dekubitus. Penyakit membaik , maka dilakukan mobilisasi secara bertahap. Hindari
pemasangan kateter urin tetap, bila tidak benar indikasi.

b. Nutrisi
o Cairan
Penderita harus mendapat cairan yang cukup, baik secara oral maupun parenteral.
Cairan parenteral diindikasikan pada penderita sakit berat, ada komplikasi, penurunan
kesadaran serta sulit makan. Dosis cairan parenteral adalah sesuai dengan kebutuhan
harian. Bila ada komplikasi dosis cairan disesuaikan dengan kebutuhan. Cairan harus
mengandung elektrolit dan kalori yang optimal.
o Diet
Diet harus mengandung kalori dan protein yang cukup. Sebaiknya rendah selulose
(rendah serat) untuk mencegah perdarahan dan perforasi. Diet untuk penderita tifoid,
biasanya diklasifikasikan atas: diet cair, bubur lunak, tim dan nasi biasa. Bila
keadaan penderita baik, diet dapat dimulai dengan diet padat atau tim. Tapi bila
penderita dengan klinis berat sebaiknya dimulai dengan bubur atau diet cair yang
selanjutnya dirubah secara bertahap sampai padat sesuai tingkat kesembuhan
penderita. Penderita dengan kesadaran menurun diberi diet secara enteral melalui
pipa lambung. Diet parenteral dipertimbangkan bila ada tanda-tanda komplikasi
perdarahan dan atau perforasi.
o Terapi Simptomatik
Terapi simptomatik dapat diberikan dengan pertimbangan untuk perbaikan
keadaan umum penderita:
- Roboransia/ vitamin
- Antipiretik. Antipiretik untuk kenyamanan penderita, terutama untuk anak-
anak.
- Antiemetik. Antiemetik diperlukan bila penderita muntah hebat.

c. Kontrol dan Monitor dalam Perawatan


Kontrol dan monitor yang baik harus dilakukan untuk mengetahui keberhasilan
pengobatan. hal-hal yang menjadi prioritas untuk dimonitor adalah:
1. Suhu tubuh (status demam) serta petanda vital lain.
Petanda vital (suhu, nadi, nafas, tekanan darah) harus diukur secara serial. kurva
suhu harus dibuat secara sempurna pada lembaran rekam medik.
2. Keseimbangan cairan.
Cairan yang masuk (infus atau minum) dan cairan yang keluar (urine, feses) harus
seimbang.
3. Deteksi dini terhadap timbulnya komplikasi
4. Adanya koinfeksi dan atau komorbid dengan penyakit lain
5. Efek samping dan atau efek toksik obat
6. Resistensi antimikroba
7. Kemajuan pengobatan secara umum

2. ANTI MIKROBA
o Kebijakan Dasar Pemberian Anti Mikroba
 Anti mikroba segera diberikan bila diagnosis klinis demam tifoid telah dapat
ditegakkan, baik dalam bentuk diagnosis konfirmasi, probable maupun suspek.
 Sebelum antimikroba diberikan, harus diambil spesimen darah atau sumsung
tulang lebih dulu, untuk pemeriksaan biakan kuman Salmonella (biakan gaal).
 Antimikroba yang dipilih harus mempertimbangkan
- Telah dikenal sensitif dan potensial untuk tifoid
- Mempunyai sifat farmakokinetik yang dapat berpenetrasi dengan baik ke
jaringan serta mempunyai afinitas yang tinggi menuju organ sasaran
- Berspektrum sempit
- Cara pemberian yang mudah dan dapat ditoleransi dengan baik oleh
penderita termasuk anak dan wanita hamil
- Efek samping yang minimal
- Tidak mudah resisten dan efektif mencegah karier

o Pilihan Antimikroba untuk Demam Tifoid


o Strategi Pemberian Antimikroba untuk Tifoid
- Antimikroba segera diberikan bila diagnosis telah dibuat
- Antimikroba yang diberikan sebagai terapi awal adalah dari kelompok lini
pertama untuk tifoid. Pilihan ini sesuai dengan antimikroba dengan
kepekaan tertinggi pada suatu daerah, karena lain daerah akan berbeda
tingkat kepekaan antimikroba. Sampai saat ini kloramfenikol masih
menjadi pilihan pertama, berdasarkan efikasi dan harga. kekurangannya
adalah jangka waktu pemberiannya yang lama, serta cukup sering
menimbulkan karier dan relaps. kejadian relaps dan karier pada anak
jarang dilaporkan.
- Antimikroba lini pertama untuk tifoid adalah
a. Kloramfenikol
b. Ampicillin atau Amoxcillin (aman untuk penderita yang sedang hamil)
c. Trimetoprim-Sulfametoksazol
Bila pemberian salah satu antimikroba lini pertama, dinilai tidak
efektif, dapat diganti dengan anti mikroba yang lain atau dipilih
antimikroba lini kedua.
- Antimikroba lini kedua untuk tifoid adalah
a. Seftriakson (diberikan untuk dewasa dan anak)
b. Sefiksim (efektif untuk anak)
c. Kuinolon (tidak dianjurkan untuk anak < 18 tahun, karena dinilai
mengganggu pertumbuhan tulang)
- Bila penderita dengan klinis berat sampai toksik atau syok septik,
antimikroba yang efektif adalah pemberian parenteral dan ganda
- Bila penderita dengan riwayat pernah mendapat tifoid serta memiliki
predisposisi untuk carier, maka pengobatan pertama adalah golongan
kuinolon dan lihat terapi untuk karier
- Jangan memilih antimikroba yang dikenal tidak potensial untuk tifoid
walaupun hasil tes kepekaan dengan sensitifitas yang tinggi
- Setiap pemberian antimikroba untuk tifoid pertimbangkan secara matang
tentang efikasi, tingkat kepekaan pada masing-masing daerah, harga serta
efek samping yang ditimbulkan. karena itu setiap pasien harus dievaluasi
secara rinci terhadap faktor-faktor yang berhubungan dengan hal tersebut.

Anda mungkin juga menyukai