Anda di halaman 1dari 3

PERMASALAHAN MANAJEMEN PENDIDIKAN DI INDONESIA

Nama:SYAFI’IN

NIM:13140109

Berbicara mengenai pendidikan di Negara kita, tentu tidak terlepas dari berbagai macam persoalan yang
selalu menderanya mulai dari Negara ini diproklamirkan hingga di penghujung hari jadinya yang ke 65 tahun.
Masalah klasik yang timbul diantaranya harga buku mata pelajaran yang mahal, gedung sekolah yang hampir
ambruk, mahalnya biaya pendidikan baik biaya masuk maupuan SPP, terutama di sekolah swasta., penyimpangan
dana Bantuan Operasional Sekolah ( BOS ) oleh oknum pejabat sekolah, pembebanan biaya pendidikan kepada
siswa baru walaupun sekolah mendapatkan dana BOS dari pemerintah.

Apabila dicermati, semua permasalahan diatas timbul karena tidak berjalannya fungsi manajemen baik di
tingkat pemerintah, dalam hal ini Departemen Pendidikan Nasional maupun lembaga penyelenggara pendidikan,
yakni sekolah baik negeri maupun swasta.

Indonesia merupkan Negara yang menganut sistem sratifikasi ( pelapisan ) lembaga penyelenggara
pendidikan, yakni sekolah negeri dan swasta. Kebijakan ini tentu saja menimbulkan permasalahan yang berbeda
dan akan menciptakan jurang pemisah ( gap ) antara sekolah negeri dan sekolah swasta yang menerapkan standar
International dengan tarif Internasional. Hal ini secara langsung atau tidak langsung menciptakan pelapisan (
Stratifikasi ) sosial masyarakat berdasarkan hak memperoleh pendidikan. Tidak ayalnya, praktek penyelenggaraan
pendidikan pada zaman kolonial. Saat itu kita kita mengenal sekolah khusus diperuntukkan bagi orang belanda,
eropa dan bangsawan Indonesia. Seperti HBS, HIS, MULO. Tetapi sekolah khusus bagi rakyat biasa ( jelata ) yang
menempati strata terendah adalah SR ( Sekolah Rakyat ).

Mengenai masalah ini, penulis akan mengkaji dan menguraikan permasalahan yang timbul di lembaga
penyelenggara pendidikan ( Sekolah ) baik negeri maupun swasta, terkait pelaksanaan ( implementasi ) fungsi
manajemen di masing – masing lembaga dan bagaimana cara meyelesaikan masalahnya.

Permasalahan manajemen pendidikan di sekolah negeri :

1.Garis komando, pengendali, pengawasan diterapkan sistem hierarki ( bertingkat ). Mulai dari pemerintah melalui
Departemen Pendidikan Nasional, Direktorat Jenderal, Sekretariat Jenderal, Dinas Pedidikan daerah dan kepala
sekolah sebagai pemangku jabatan “ Top Management “ di tingkat penyelenggara pendidikan ( sekolah ) yang
bersinggungan langsung dengan pekerja ( guru ). Dalam hal ini, kepala sekolah tidak memiliki wewenang untuk
memberikan sanksi langsung kepada guru yang tidak melaksanakan tugas dan kewajiban dengan baik.
Kewenangan memberikan sanksi tegas kepada guru yang indisipliner dilakukan oleh BKD ( Badan Kepegawaian
Daerah ). Yang notabene secara struktur organisasi tidak berda langsung di bawah Kementrian Pendidikan
Nasional. Hal ini tidak relevans sebab BKD berada di bawah kewenangan pemerintah daerah.

2. Setiap lembaga penyelenggara pendidikan dari tingkat SD dan SMP, mendapatkan dana BOS untuk
menyelenggarakan proses pendidikan bagi seluruh siswa.jadi, seluruh siswa di sekolah – sekolah nusantara berhak
mendpatkan pendidikan cuma – cuma ( gratis ), baik biaya pendidikan masuk dan SPP dan buku mata pelajaran.
Ironisnya, banyak sekolah – sekolah negeri tetap memungut biaya awal pendidikan dengan mengatasnamakan “
Biaya Sukarela “. Disinyalir pula, sekolah – sekolah berperan sebagai “ Book Dealer Store “,yang berfungsi
sebagai pendistribusi buku – buku LKS ( Lembar Kerja Siswa ) penerbit kepada siswa dengan mematok harga
diluar harga resmi penerbit, hal ini ditenggarai sebagai praktek komersialisasi sekolah yang berorientasi pada
keuntungan ( profit ).

2. Dikotomi kewenangan manajemen di sekolah – sekolah negeri berbasis prinsip keagamaan, yaitu Madrasah
Ibtidaiyah ( MI ), Madrasah Tsanawiyah ( MTs ) dan Madrasah aliyah ( MA ). Hendaknya dihilangkan dan
dikembalikan kepada fungsi manajemen yang sebenarnya.

Permasalahan manajemen pendidikan di sekolah swasta :

1. Kepala sekolah sebagi pemangku jabatan “ Top Management “ di sekolah langsung bertanggung jawab kepada
pemilik sekolah ( Yayasan ). Ketika kepala sekolah mendapatkan guru tidak disiplin di dalam melaksanakan tugas
dan kewajibanya, maka kepala sekolah memiliki wewenag untuk meberikan sanksi tanpa meminta keputusan
kepada atasannya ( Yayasan ).

2. Dengan menerapkan klasifikasi swasta pada lembaga penyelenggara pendidikan ( sekolah ). Membuat sekolah –
sekolah swasta menolak menerima dana BOS, dengan alas an mereka dapat mandiri dan mampu untuk
menyelenggarakan proses pendidikan dari pungutan ( Uang pangkal dan SPP ) kepada siswa. Sehingga banyak
sekolah swasta, dengan dalih mengklaim sebagai “ Market Label “ mereka. Menjadi sekolah Intenational, sekolah
National plus, sekolah National, sekolah Terpadu ( Integrated School ), dengan seenaknya membandrol biaya
pendidikan ( biaya masuk, SPP dan Buku Pelajaran ) dengan tarif mahal. Dan untuk sekolah – sekolah yang
bertarif mahal ini hanya dapat dinikmati oleh masyarakat kalangan menengah ke atas ( middle-up society ). Hal ini
tentu saja akan menimbulkan kesenjangan sosial dan akan menimbulkan istilah sekolah kaya ( swasta ) dan sekolah
miskin ( negeri ).

3. Peneyelenggaraan pendidikan sekolah MI, MTs dan MA dengan kualifikasi sekolah swasta, menurut penilaian
masyarakat merupakan lembaga penyelenggara pendidikan yang berada pada stratifikasi ( lapisan ) terendah,
karena rendahnya kualitas SDM ( guru ) dan peserta didik yang mayoritas berasal dari golongan masyarakat kelas
bawah.

Terlepas dari output ( jebolan lulusan ) yang dihasilkan oleh penyelenggara pendidikan ( sekolah ) negeri atau
swasta, apakah berkualitas atau memiliki daya guna dan saing untuk menghadapi era globalisasi dan teknologi ini.
Seyogyanya pemerintah dengan tegas melalui Departemen Pendidikan Nasional mengembalikan dan
menjalankan fungsi manajemen kependidikan yang berbasis kualitas yang optimal ( TQM = Total Quality
Management ) dan harus diejawantahkan ( implementasikan )

Pada lembaga penyelenggara tingkat pendidikan ( sekolah ) baik negeri, swasta maupun berbasis
keagamaan. Berpijak dari keharusan bahwa seluruh masyarakat Indonesia berhak mengenyam pendidikan dasar
dan hingga sekolah lanjutan tingkat atas ( SMA, SMK dan MA ), sebagaimana termaktub dalam pasal 31 UUD
1945, “ Setiap warga Negara berhak mendapatkan pengajaran ( pendidikan ) “. Sehingga tujuan dan cita – cita
mulia untuk menciptakan masyarakat Indonesia yang memiliki sumber daya yang unggul dan tangguh dengan
berlandaskan penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi akan terwujud.

Adapun langkah – langkah kongkret yang harus diimplementasikan oleh Departemen Pendidikan Nasional, selaku
lembaga pemegang kewenangan dalam proses penyelenggaraan pendidikan adalah, sbb :

1. Mengambil alih tugas dan wewenang penyelenggaraan pendidikan di sekolah – sekolah berbasis keagamaan (
MI, MTs dan MA ) dari Departemen Agama. Agar terciptanya sinkronisasi dan relevansi tugas dan kewenangan
yang berasal dari satu lembaga penyelenggara pendidikan. Sehingga tidak terjadi benturan kepentingan dan konflik
yang berpotensi menimbulkan kerancuan dan keraguan dalam hal penerapan kebijakan.
2. Menghilangkan Stratifikasi ( Pelapisan ) istilah sekolah swasta dan negeri. Dengan mengganti istilah dengan
sekolah berprestasi,unggulan dan rintisan unggulan. Agar penempatan siswa pada sekolah – sekolah berdasarkan
prestasi akademik maupun non- akademik ( bakat dan minat ) akan tepat sasaran ( match and link ). Sehingga
langkah ini akan menghilangkan istilah sekolah kaya dan miskin. Karena dengan kebijakan ini, berpotensi akan
menempatkan siswa – siswa dari berbagai latar belakang ekonomi dan sosial yang berbeda, berkumpul dalam satu
sekolah yang sama.

3. Pemerintah melalui Departemen Pendidikan Nasional harus berani dan tegas untuk memaksakan sekolah –
sekolah swasta yang berbasis International, National Plus, National dan Terpadu untuk menerima dana Bantuan
Operasional Sekolah ( BOS ) tanpa terkecuali. Dan apabila sekolah – sekolah tersebut tidak mau menerima dana
BOS tersebut, maka pemerintah melalui Kementrian Depdiknas berhak memberikan sanksi dengan mencabut ijin
operasional sekolah tersebut.

4. Pemerintah harus memberlakukan pendidikan gratis untuk seluruh sekolah dan tingkatanserta berbasis apapun,
hingga tingkat SMA, SMK dan MA. Seluruh biaya penyelenggaraan pendidikan, seperti biaya masuk ( uang
pangkal ), SPP, buku pelajaran dan lembar kerja siswa ( LKS ), seragam harus bebas biaya tanpa dipungut
sepeserpun dan tanpa dalih apapun. Apabila pihak sekolah yang melanggar kebijakan ini. Maka, Departemen
Pendidikan Nasional melalui Badan Kepegawaian Penegakkan Kebijakan dan Displin yang bertanggunjawab
langsung dibawah Kementrian DEPDIKNAS, berhak memberikan sanksi berat dan tegas kepada pelaku ( oknum )
pelanggar.

5. Memberikan wewenang yang luas kepada Kepala Sekolah, sebagai “Top Management “ di sekolah. Untuk
memberikan sanksi berat dan tegas kepada guru dan pegawai yang melanggar aturan ( indispliner ).

Demikian segelintir harapan ini, semoga dapat memberikan pencerahan dan bahan kontemplasi (
perenungan ) untuk dapat dipertimbangkan sebagai langkah terbaik di dalam meniti cita – cita para pendiri bangsa (
Founder Nation ), untuk menjadikan Negara ini mandiri dan memiliki martabat di kancah Internasional.

Anda mungkin juga menyukai