Ensefalopati
Ensefalopati
Ensefalopati metabolik terdiri dari serangkaian gangguan neurologis yang disebabkan oleh
kelainan struktural primer, namun juga akibat penyakit sistemik seperti diabetes mellitus,
gagal ginjal, dan gagal jantung. Ensefalopati metabolik biasanya timbul dalam bentuk akut
maupun subakut serta bersifat reversibel jika gangguan sistemik yang mendasari ditangani
dengan baik. Apabila penyakit sistemik yang mendasari tidak mendapatkan penanganan
yang adekuat, akan menimbulkan kelainan struktural sekunder pada otak (Bates, 2003).
Angka kejadian ensefalopati belum banyak diteliti. Penelitian yang dilakukan di London,
menunjukkan bahwa angka kejadian ensefalopati hipoksik iskemik mencapai 150 per
57.000 kelahiran hidup atau berkisar 2,64%. Sedangkan penelitian yang dilakukan di
Australia Timur menunjukkan angka yang lebih tinggi yaitu 164 per 43.000 kelahiran hidup
atau berkisar 3,8%. Diperkirakan berkisar 30% kasus ensefalopati hipoksik pada negara
maju dan naik menjadi 60% pada negara berkembang berkaitan dengan kejadian hipoksik
iskemik intrapartum. Tidak ada data akurat terkait dengan angka kejadian ensefalopati
hepatikum (Kurinczuk, White-Koning, & Badawi, 2010).
2.3 Etiologi dan Faktor Risiko Etiologi terjadinya ensefalopati metabolik dapat dilihat pada
tabel
2.1. Secara umum, penyebab ensefalopati metabolik dibagi menjadi intoksikasi obat atau
ketergantungan obat, abnormalitas elektrolit dan glukosa, disfungsi organ mayor (seperti
hepar, ginjal, paru, dan endokrin), defisiensi nutrisi, terpapar terhadap toksin,sindrom
paraneoplastik (Varelas & Graffagrino, 2013).
Tabel 2.1
Etiologi Ensefalopati Metabolik (Suspanc, Vargek-solter, & Demarin, 2003)
Anemia
Penyakit Paru
Hipoventilasi alveolar Iskemia
Penyakit kardiovaskuler (termasuk cardiac arrest)
Aritmia
Penyakit mikrovaskular
Hipotensi
Hipertensi Penyakit Sitemik
Penyakit hepar
Penyait ginjal
Penyait pankreatikus
Malnutrisi (defisiensi vitamin)
Disfungsi endokrin (hipoglikemia atau hiperglikemia dan keadaan hiperosmolar)
Gangguan keseimbangan cairan, asam basa, dan elektrolit
Vaskulitis
Infeksi dan sepsis
Keganasan (Sindrom paraneoplastik)
Agen Toksik
Alkohol, sedatif (barbiturat, narkotik, da obat penenang)
Pengobatan psikiatri (antidepresan trisiklik, obat-obat antikolinergik, Fenotiazin,
MAO Inhibitor)
Logam berat
Organofosfat, bensin
Obat-obat lain (Kortikosteroid, penisilin, anti konvulsan)
Selain itu, terdapat beberapa faktor risiko yang berhubugan dengan terjadinya ensefalopati
metabolik, antara lain (Varelas & Graffagrino, 2013):
a. Usia tua (> 70 tahun)
b. Jenis kelamin laki-laki
c. Status fungsional buruk
d. Malnutrisi
e. Penyalahgunaan zat kimia
f. Kondisi kesehatan pre-morbid atau gangguan kognitif
g. Polypharmacy termasuk pengobatan yang berefek terhadap neurootransmitter (seperti
antikolinergik atau dopaminergik)
h. Kondisi fisik terbatas
i. Gangguan penglihatan atau pendengaran
j. Riwayat delirium sebelumnya
2.4 Patofisiologi
Berbagai mekanisme dapat berkontribusi terhadap terjadinya ensefalopati, namun faktor
toksik, anoksik, dan metabolik merupakan mekanisme tersering dan signifikan.
a. Hipoksia
Neuron membutuhkan suplai oksigen dan glukosa untuk mempertahankan gradien
neurotransmitter dan ion. Tekanan oksigen tidak merata pada seluruh jaringan otak.
Tekanan tersebut lebih tinggi pada substansia grisea dibandingkan substansia alba,
demikian pula halnya dengan aliran darah dan penggunaan glukosa. Adapun efek
pertama dari efek hipoksia serebral adalah peningkatan pH intraseluler. Selanjutnya,
kandungan kalsium inraselulaer meningkat sebagai konsekuensi pelepasan kalsium
dari retikulum endoplasmik. Konsentrasi ATP mulai jatuh, dan ketika sebanyak 50-
70% ATP neuronal hilang, pompa sodium gagal sehingga saluran ion bervoltase
terbuka, maka menyebabkan penurunan konsentrasi gradient Na+, K+, Ca++, dan Cl-
serta melepaskan cadangan neurotransmitter. Kemudian air akan memasuki sel
sehingga terjadi peingkatan osmolalitas dan sel membengkak. Konsentrasi kalsium
intraselular neuronal dapat meningkat hingga empat kali lipat. Konsentrasi kalsium
intraselular tersebut selanjutnya mengaktifkan lipase, protease, dan enzim katabolik
lainnya (Suspanc, Vargek-solter, & Demarin, 2003). Perubahan tekanan oksigen
memiliki efek yang cepat dan langsung pada saluran ion membran yang sebagian
terkait dengan fosforilasi. Beberapa saluran ion mengalami down regulation untuk
mengurangi saluran ion dan mengurangi kebutuhan energi selular. Beberapa saluran
ion mengalami up regulation yang menimbulkan depolarisasi dan kematian sel.
Hipoksia juga merangsang terbentuknya molekul hypoxia-inducible factor (HIF).
Pembentukan molekul ini terjadi setelah terjadi efek hipoksia terhadap saluran ion.
Molekul ini mengaktifkan transkripsi gen untuk eriropoietin, gen untuk enzim
glikolitik dan gen yang terlibat dalam angiogenesis (Teresa & Chua, 2010).
b. Hiperkapnia dan hipokapnia
Patogenesis terjadinya kelainan neurologis terkait dengan hiperkapnia belum
dimengerti dengan jelas. Hiperkapnia dapat menyebabkan vasodilatasi serebral dan
peningkatan tekanan cairan serebrospinal. Sedangkan hipokapnia yang terjadi
akibat hiperventilasi dapat menimbulkan vasokonstriksi serebral, penurunan
ketersediaan oksigen, dan perubahan keseimbangan ion kalsium. Hal ini dapat
menyebabkan penurunan kesadaran, tremor, gangguan penglihatan dan palpitasi.
Adapun kondisi-kondisi yang dapat menyebabkan terjadi hiperventilasi diantaranya
koma hepatikum, lesi batang otak, dan penyait kardiopulmoner tertentu (Teresa &
Chua, 2010).
e. Gangguan metabolisme asam-basa Fungsi dan eksitabilitas otak sangat sensitif terhadap
pH. pH cairan tubuh diatur dengan sangat ketat. Barrier permeabilitas memisahkan sistem
saraf pusat dengan cairan tubuh. Cairan ekstraselular otak mengandung lebih banyak
proton dan ion magnesium, namun lbih sedikit pottasium. Lingkungan ekstraselular otak
diatur atau diprogram untuk mengandung lebih banyak H+. Banyak saluran ion bervoltase
pada sistem saraf sensitif terhadap perubahan pH. Asidosis (penurunan pH) menghambat
saluran ion bervoltase dan saluran ion yang diaktivasi oleh glutamat. Karena channel
sodium dan kalsium lebih sensitif terhadap perubahan pH dibandingkan channel
pottasium, maka peningkatan pH (alkalosis) akan meningkatkan entri kalsium dan sodium
ke dalam sel neuron, membuat neuron tersebut lebih mudah tereksitasi. Seringkali
menyebabkan kejang dan gangguan kesadaran (Teresa & Chua, 2010). Normalnya cairan
ekstraselular otak adalah isotonik dengan plasma. Jika osmolaritas plasma berubah dengan
cepat maka otak akan bertindak sebagai osmometer, otak akan membengkak jika
osmolaritas plasma menurun dan mengkerut jika osmolaritas plasma meningkat akibat
kehilangan cairan. Kondisi hiponatremia maupun hipernatremia dapat mengganggu CNS
dengan cara mengubah osmolalitas sel-sel otak. Adapun gejala neurologis hiponatremia
adalah sakit kepla, mual, inkoordinasi, delirium, dan akhirnya kejang fokal atau generalisata
dengan apneu. Peningkatan konsentrasi sodium dalam cairan tubuh akan meningkatkan
osmolalitas cairan dan menginduksi manifestasi serebral berat. Gejala neurologis yang
terjadi tanpa adanya perubahan struktural pada otak, kemungkinan merupakan akibat
langsung dari hiperosmolalitas. Keluhan dan gejala muncul akibat edema serebral. Hal ini
khususnya terjadi dengan rehidrasi yang cepat dan disebabkan oleh karena peningkatan
klorida dan pottasium pada otak (Teresa & Chua, 2010). Konsentrasi pottasium
ekstraselular otak memiliki efek besar terhadap eksitabilitas serebral, tetapi gangguan
serebral amat jarang pada pasien hiperkalemia ataupun hipokalemia. Deplesi pottasium
dapat mengakibatkan kelemahan otot. Pada kasus yang berat, kelemahan otot mengalami
progresi menjadi kuadripegia, gagal nafas mirip dengan Guillan Barre syndrome. Adapun
hiperkalemia dapat ditemukan pada pasien dengan hemolisis sel darah merah (Teresa &
Chua, 2010). Hipokloremia merupakan sindrom yang ditandai dengan anoreksia, gagal
tumbuh, letargi, kelemahan otot, dan alkalosis metabolik hipokalemik yang dapat
ditemukan pada bayi-bayi yang mengonsumsi formula yang dapat mengurangi klorida
selama 1 bulan atau lebih. Kondisi ini dapat menimbulkan gangguan pertumbuhan lingkar
kepala, keterlambatan bahasa, dan defisit visual motor (Teresa & Chua, 2010). Kalsium
merupakan kation ekstraselular utama. Kadar kalsium serum baik rendah maupun tinggi
dapat menimbulkan gangguan neurologis. Terdapat 3 bentuk kalsium dalam serum yaitu
terikat protein, chelated, dan terionisasi. Secara umum gejala neurologis berhubungan
dengan kadar kalsium terionisasi dengan jumlah 2,5 mg/dl atau kurang. Hiperkalsemia
dapat terjadi akibat hiperparatiroidisme, menyertai penyait maligna seperti leukimia, dan
pasien dengan gagal ginjal stadium akhir (Teresa & Chua, 2010). f. Hepatic encephalopathy
Kerusakan hati baik akut maupun kronik aka menginisisasi terjadinya serangkaian keluhan
neuropsikiatrik yang disebut dengan ensefalopati hepatik. Pada gagal hati akut, perubahan
morfologi pada otak didominasi oleh perubahan astrositik, terutama pembengkakan
astrositik, dan edema otak sitotoksik. Seiring dengan progresivitas edema otak, tekanan
intrakranial meningkat dan menghasilkan herniasi serebral. Pada gagal hati kronik,
kelainan mikroskopik prinsipal diantaranya aalah pembesaran dan peningkatan jumlah
astrosit protoplasmik. Sel-sel ini merupakan astrosit dengan nukleus yang membesar,
pucat, dan penyusutan pada protein asidik fibrilari glial. Sel-sel tersebut dapat ditemukan
pada korteks serebral, basal ganglia, nuklei batang otak, dan lapisan purkinje serebelum.
Hal ini juga dapat ditemukan pada ensefalopati HIV. Terdapat 2 faktor terpenting pada
patogenesis ensefalopati yakni peningkatan konsentrasi amonia pada plasma maupun otak.
Di otak, amonia akan diubah menjadi glutamine yang siklusnya berjalan dari astrosit
sampai neuron, dan selanjutnya akan diubah menjadi glutamate. Setelah pelepasan
glutamate ke celah sinaptik, reuptake terjadi pada astrosit. Penurunan konsumsi oksigen
dan metabolisme glukosa terjadi secara sekunder pada ensefalopati hepatikum (Suspanc,
Vargek-solter, & Demarin, 2003). g. Gagal ginjal Dasar molekuar ensefalopati uremikum
masih kompleks dan belum dimengerti dengan baik. Sejauh ini, ensefalopati tersebut bisa
muncul akibat uremia. Terjadi akumulasi asam organik toksik pada sistem saraf pusat.
Asam-asam yang memasuki otak ini akan mengubah fungsi pompa ion sodium natrium.
Aliran darah serebral juga menunjukkan defek pada penggunaan oksigen. Defek ini
mungkin muncul karena peningkatan permeabilitas otak dan gangguan fungsi membran
sehingga memungkinkan produk-produk toksik memasuki jaringan otak (Suspanc, Vargek-
solter, & Demarin, 2003).
6. Pupil Pada pasien dengan koma dalam, keadaan pupil menjadi kriteria klinis yang
paling penting dan mampu membedakan antara kerusakan struktural dengan
penyakit metabolik. Adanya refleks cahaya pupil yang tetap terjaga, walaupun
disertai dengan depresi pernapasan, kekakuan deserebrasi atau flasiditas motorik
tetap mengindikasikan ensefalopati metabolik. Ketiadaan refleks cahaya pupil
mengimplikasikan adanya penyakit struktural dibanding metabolik (Bates, 2003).
2.6 Diagnosis
Adanya gangguan kesadaran, gangguan atensi, fluktuasi gejala dan keparahan dari waktu ke
waktu, adanya halusinasi, disorientasi atau distorsi persepsi, proses pemikiran yang tidak
terorganisir dengan baik (bicara inkoheren atau gangguan memori) seharusnya menjadi
tanda peringatan bagi dokter. Penting untuk mengetahui riwayat kesehatan pasien
sebelumnya berdasarkan data dari rumah sakit/klinik berobat pasien sebelumnya.
Pemeriksaan klinis juga akan menunjukkan lokasi kelainan neurologis ketika terdapat lesi
pada otak, namun kebanyakan kasus menunjukkan adanya gangguan pada tanda vital
(takikardia, hipotensi, hipertensi, takipnea).
Pemeriksaan neurologis yang lengkap dan sistematik juga menunjukkan penyebab spesifik
terjadinya ensefalopati. Sebagai contoh, ekstremitas basah dan pucat pada syok hipotensi,
ikterik pada ensefalopati hepatikum, nafas berbau keton pada ketoasidosis diabetikum
(Varelas & Graffagrino, 2013).
Pemeriksaan laboratorium dapat membantu menunjukkan penyebab yang mendasari
terjadinya ensefalopati. Pemeriksaan tersebut antara lain pemeriksaan darah lengkap;
kadar elektrolit serum, ureum, kreatinin, kadar gula darah; evaluasi hormon thyroid,
parathyroid, dan horon adrenal lainnya; tes fungsi hepar, amilase, lipase, dan amonia; Kadar
troponin; analisa gas darah; evaluasi cairan serebrospinal; kultur cairan tubuh (darah, urin,
feses, sputum); serta toksikologi serum dan urin termasuk kadar obat-obatan anti epileptik
dan logam berat (Varelas & Graffagrino, 2013).
2.7 Penatalaksanaan
Penanganan ensefalopati meliputi menstabilkan pasien dan cepat mengobati kondisi yang
mendasari yang menyebabkan terjadinya ensefalopati dan memberikan perawatan
suportif. Pada pasien dalam keadaan koma, maka diperlukan tindakan emergensi umum
meliputi (Bates,2003; Sumantri, 2009):
1. Menjaga jalan napas (airway)
2. Amankan oksigenasi Pasien koma idealnya harus mempertahankan PaO2 lebih tinggi
dari 100mmHg dan PaCO2 antara 35 dan 40mmHg.
3. Pertahankan sirkulasi Pertahankan tekanan darah arterial rerata (mean arterial
pressure/MAP; 1/3 sistolik + 2/3 diastolik) antara 70 dan 80mmHG dengan
mempergunankan obat-obatan hipertensif dan atau hipotensif seperlunya. Secara umum,
hipertensi tidak boleh diterapi langsung kecuali tekanan diastolik di atas 120mmHg. Pada
pasien lansia dengan riwayat hipertensi kronik, tekanan darah tidak boleh diturunkan
melebihi level dasar pasien tersebut, oleh karena hipotensi relatif dapat menyebabkan
hipoksia serebral. Pada pasien muda dan sebelumnya sehat, tekanan sistolik di atas 70 atau
80 mmHg biasanya cukup
4. Ukur kadar glukosa Kadar glukosa harus dipertahankan secara ketat antara 80 dan
110mg/dL, bahkan setelah episode hipoglikemia yang diterapi dengan glukosa prinsiip
kehati-hatian harus diterapkan untuk mencegah hipoglikemia ulangan. Infus glukosa dan
air (dekstrosa 5% atau 10%) sangat disarankan untuk diberikan sampai situasi stabil.
5. Pemberian tiamin, pada pasien stupor atau koma dengan riwayat alkoholisme kronik dan
atau malnutrisi. Pada pasien-pasien seperti di atas, loading glukosa dapat
mempresipitasikan ensefalopati Wernicke akut, oleh karena itu disarankan untuk
memberikan 50 sampai 100mg tiamin pada saat atau setelah pemberian glukosa.
6. Hentikan kejang Kejang berulang dengan etiologi apapun dapat menyebabkan kerusakan
otak dan harus dihentikan. Kejang umum dapat diterapi dengan lorazepam (sampai
0,1mg/kg) atau diazepam (0,1-0,3mg/kg) intravena.
7. Perbaiki keseimbangan asam basa Pada keadaan asidosis atau alkalosis metabolik, kadar
pH biasanya akan kembali ke keadaan normal dengan memperbaiki penyebabnya sesegera
mungkin karena asidosis metabolik dapat menekan fungsi jantung dan alkalosis metabolik
dapat mengganggu fungsi pernapasan. Asidosis respiratorik mendahului kegagalan napas,
sehingga harus menjadi peringatan kepada klinisi bahwa bantuan ventilator mekanis
mungkin diperlukan. Peningkatan kadar CO2 juga dapat menaikkan tekanan intrakranial,
sehingga harus di jaga dalam kadar senormal mungkin. Alkalosis respiratorik dapat
menyebabkan aritmia jantung dan menghambat upaya penyapihan dari dukungan
ventilator.
8. Sesuaikan suhu tubuh Hipertermia merupakan keadaan yang berbahaya karena
meningkatkan kebutuhan metabolisme serebral, bahkan pada tingkat yang ekstrim dapat
mendenaturasi protein selular otak. Suhu tubuh di atas 38,5AÂ °C pada pasien hipertermia
harus diturunkan dengan menggunakan antipiretik dan bila diperlukan dapat digunakan
pendinginan fisik (eq. selimut pendingin). Hipotermia signifikan (di bawah 34AÂ °C) dapat
menyebabkan pneumonia, aritmia jantung, kelainan elektrolit, hipovolemia, asidosis
metabolik, gangguan koagulasi, trombositopenia dan leukopenia. Pasien harus dihangatkan
secara bertahap untuk mempertahankan suhu tubuh di atas 35AÂ °C.
9. Pemberian antidotum spesifik Banyak pasien datang ke unit gawat darurat dalam
keadaan koma yang disebabkan oleh overdosis obat-obatan. Salah satu diantara sekian
banyak obat-obatan sedatif, alkohol, opioid, penenang, opioid dan halusinogen dapat
dikonsumsi tunggal atau dengan kombinasi. Kebanyakan kasus overdosis dapat diobati
hanya dengan penatalaksaan suportif, bahkan karena banyak dari pasien ini menggunakan
obat secara kombinasi pemberian antidotum spesifik sering tidak membantu. Pemberian
koktail koma (campuran dekstrosa, tiamin, naloksone dan flumazenil) jarang sekali
membantu dan dapat membahayakan pasien. Meskipun demikian, pada saat ada
kecurigaan kuat bahwa ada zat spesifik yang telah dikonsumsi, maka beberapa antagonis
yang secara spesifik membalikkan efek obat-obatan penyebab koma dapat berguna Tabel
2.2 Antidotum dan indikasi pemakaian (Sumantri, 2009) Antidotum Indikasi Nalokson
Overdosis opioid Flumazenill Overdosis benzodiazepine Fisostigmin Overdosis
antikolinergik (gamma-hidroksibutirat) Fomepizol Keracunan metanol, etilen glikol
Glukagon Overdosis trisiklik Hidroksokobalamin Overdosis sianida Okreotid Hipoglikemia
karena sulfonilurea
10. Kendalikan agitasi Obat-obatan dengan dosis sedatif harus dihindarkan sampai dapat
diperoleh diagnosis yang jelas dan pasti bahwa permasalahan yang terjadi adalah
metabolik bukan struktural. Agitasi dapat dikendalikan dengan merawat pasien di dalam
ruangan bercahaya dan ditemani oleh keluarga atau anggota staff keperawatan serta
berbicara dengan nada yang menenangkan kepada pasien. Dosis kecil lorazepam (0,5
sampai 1,0mg per oral) dapat diberikan dengan dosis tambahan setiap 4 jam sejauh yang
diperlukan dapat digunakan untuk mengendalikan agitasi. Apabila ternyata tidak
mencukupi, maka dapat diberikan haloperidol 0,5 sampai 1,0mg per oral atau
intramuskular dua kali sehari, dosis tambahan setiap 4 jam dapat diberikan sesuai dengan
keperluan. Pada pasien yang telah mengkonsumsi alkohol atau obat-obatan sedatif secara
rutin, dosis yang lebih besar dapat diperlukan oleh karena adanya toleransi silang.
Penelitian terbaru menunjukkan valproat, benzodiazepine, dan atau antipsikotik dapat
meredakan agitasi pada saat obat-obatan primer telah gagal. Untuk sedasi jangka waktu
sangat pendek, seperti yang diperlukan untuk melakukan CT-scan, maka sedasi intravena
dengan menggunakan propofol atau midazolam dapat digunakan, oleh karena obat-obatan
ini mempunyai masa kerja singkat dan midazolam dapat dibalikkan efeknya setelah
prosedur selesai. Pengekang fisik harus dihindari sebisa mungkin, namun terkadang
mereka diperlukan untuk pasien dengan agitasi yang berat. Prinsip kehati-hatian harus
diterapkan untuk memastikan pengekang tubuh tidak mengganggu pernapasan dan
pengekang tungkai tidak menghambat peredaran darah atau merusak persarafan perifer.
Pengekang harus dilepas sesegera setelah agitasi dapat dikendalikan.
11. Lindungi mata Erosi kornea dapat timbul dalam jangka waktu empat sampai enam jam
bila mata pasien koma terbuka baik secara penuh atau sebagian. Keratitis akibat paparan
dapat menyebabkan terjadinya ulserasi kornea bakterial sekunder. Pencegahan terhadap
keadaan di atas dapat diperoleh dengan meneteskan air mata buatan setiap empat jam atau
dengan menggunakan balut korneal polietilen. Memeriksa refleks kornea dengan kapas
berulang-ulang juga dapat merusak kornea, teknik yang lebih aman digunakan adalah
dengan meneteskan tetes mata saline dari jarak 10-15 cm.
BAB III KESIMPULAN Ensefalopati metabolik merupakan kelainan fungsi otak yang
menyebabkan gangguan neurologis yang disebabkan oleh kelainan zat-zat metabolit,
toksin, atau kegagalan organ. Klasifikasi ensefalopati dapat berdasarkan penyebabnya yaitu
ensefalopati metabolik primer yang diakibatkan oleh disfungsi substansia alba maupun
grisea pada otak dan ensefalopati metabolik sekunder yang diakibatkan oleh berbagai
macam faktor yang diantaranya adalah kekurangan glukosa dan zat-at yang diperlukan
untuk metabolisme sel serta ketidakseimbangan ion dan cairan tubuh. Diagnosa
ensefalopati metabolik harus diambil secara cepat dan tepat sehingga dapat dengan segera
ditangani karena komplikasi yang ditimbulkannya sangat berat yaitu dapat menyebabkan
disfungsi neurologis bahkan kematian.
DAFTAR PUSTAKA
Bates, D. (2003). Medical coma. 4.(Neurologic emergencies). Dorland, W. N. (2010). Kamus
Kedokteran Dorland (20 ed.). Jakarta: ECG.
Kurinczuk, J., White-Koning, M., & Badawi, N. (2010). Epidemiology of Neonatal
Encephalopathy and Hypoxic Ischemi Encephalopathy. 86, 329-338.
Mardjono, M., & Priguna, S. (1989). Neurologi Klinis Dasar. Jakarta: Dian Rakyat.
Sumantri, S. (2009). Pendekatan Diagnostik dan Tatalaksana Penurunan Kesadaran.
Surabaya: Universitas Brawijaya.
Suspanc, V., Vargek-solter, V., & Demarin, V. (2003). Metabolic Encephalopathies. 42.
Teresa, P., & Chua, C. (2010). Encephalopathies. UERMMCI College of Medicine.
Varelas, P. N., & Graffagrino, C. (2013). Metabolic encephalopathies and delirium.