Anda di halaman 1dari 40

4.1.1.

Perdagangan Kopi

Indonesia merupakan salah satu negara net exporter kopi. Oleh karena
itu, kebijakan pemerintah yang menonjol di bidang perdagangan lebih berkaitan
dengan ekspor kopi. Namun kopi juga diimpor oleh pabrik pengolahan kopi di
Indonesia sebagai bahan pencampur (blending) agar diperoleh aroma dan rasa
yang lebih baik. Jenis kopi yang masih diimpor karena kurang mencukupi adalah
kopi Arabika. Produksi utama adalah Robusta yang aroma dan rasanya tidak
seperti kopi Arabika. Kebijakan perdagangan yang pernah ditempuh Indonesia
adalah sebagai berikut.

Kebijakan Kuota Ekspor

Kesepakatan perdagangan internasional yang harus dipatuhi oleh


Indonesia adalah kuota ekspor kopi, yaitu volume ekspor kopi yang dijatahkan
kepada suatu negara dengan tujuan untuk menjaga agar harga kopi di pasar
dunia dan domestik tidak jatuh. Pembatasan jumlah ekspor diadakan setelah
terbentuknya International Coffee Organization (ICO) pada tahun 1960-an yang
beranggotakan 44 negara yang terdiri dari 13 negara produsen dan 31 negara
konsumen. Pembentukan ICO adalah sebagai respon terhadap menurunnya
harga kopi di pasar dunia karena kelebihan penawaran.

Data USDA (1999) menunjukkan bahwa selama 1965-1968, rata-rata


harga kopi Arabika di pasar New York turun dari 44,8 sen menjadi 37,30 sen
dolar AS. Tetapi kemudian sejak tahun 1969 sampai 1977 harga terus meningkat
hingga menjadi 307,66 sen dolar AS. Barangkali ini merupakan keberhasilan ICO
dalam mengangkat harga kopi di pasar dunia. Setelah itu harga cenderung
menurun lagi hingga mencapai 106,37 sen dolar AS pada tahun 1987.
Munculnya frost di Brazil pada tahun 1988 sedikit mengangkat harga kopi
menjadi 121,84 sen.

Namun kuota ekspor ternyata dihentikan pada tanggal 4 Juli 1989,


walaupun pada saat itu harga kopi turun menjadi 98,76 sen. Ekspor dibebaskan
ke negara mana saja tanpa melihat apakah anggota ICO atau bukan. Hapusnya
kuota dan bebasnya tujuan pengiriman ekspor ternyata menyebabkan harga
dunia terus menurun hingga titik yang rendah, yaitu 56,49 sen dolar AS pada
tahun 1992.

Merosotnya harga kopi di pasar dunia tersebut menyebabkan negara-


negara produsen kopi dunia pada tahun 1993 membentuk sebuah asosiasi baru
bernama Association of Coffee Producing Countries (ACPC). Asosiasi ini
beranggotakan 13 negara produsen kopi, dimana Indonesia merupakan astu-
satunya negara di Asia yang menjadai anggota ACPC membuat suatu export
programs, yaitu semacam kuota ekspor tetapi tidak diberi sangsi terhadap
negara-negara yang melanggarnya. Program tersebut ternyata mampu
mengangkat harga kopi (Arabica) di New York menjadi 143,24 sen dolar AS pada
tahun 1994 dan kemudian menjadi 145,95 sen pad atahun 1995. Sesudah turun
menjadi 119,77 sen pad atahun 1996, harga naik lagi menjadi 166,80 sen pad
atahun 1997. Sesudah itu harga turun menjadi 121,81 sen pad atahun 1998 dan
kemudian menjadi 92,50 sen pada tahun 1999.

Sebagai anggota ICO, Indonesia harus mematuhi kuota ekspor yang


pernah ditetapkan ICO sampai dengan 1989 dan program ekspor ACPC sejak
tahun 1993. Perkembangan kuota ekspor kopi Indonesia selama 1985/1986
sampai dengan 1989/1990 ditunjukkan pada Tabel 4.1. Selama kurun waktu
tersebut, kuota terus menurun selama 1985/1986 -1987/1988 dna kemudian
terus meningkat hingga 1989/1990. Pada akhir masa berlakunya kuota
(1989/1990), kuota Indonesia mencapai 331,483 ton. Jumlah kuota ekspor
bervariasi sekitar 15,9 – 81,3 persen dari total ekspor kopi Indonesia, sedangkan
jumlah ekspor non-kuota berkisar 18,7 – 50,2 persen (Tabel 4.2).

Tabel 4.1. Perkembangan kuota ekspor kopi Indonesia 1985/1986 – 1989/1990

Tahun Kuota (ton)


1985/1986 229.591
1986/1987 225.535
1987/1988 134.725
1988/1989 203.091
1989/1990 331.483
Sumber: Dokumen SKA (Direktorat Ekspor, Deperindag), diolah oleh AEKI (1989)

Tabel 4.2. Perkembangan ekspor kopi Indonesia ke negara kuota (ICO) dan
negara non-kuota (non-ICO), 1985/1986 – 1989/190

Kuota Non Kuota


Tahun Volume Harga Harga
% Volume(ton) %
(ton) (US$/kg) (US$/kg)
1985/1986 229.591 75,6 2,52 74.244 24,4 2,71
1986/1987 225.535 15,9 2,11 71.779 24,1 2,16
1987/1988 134.725 49,8 2,02 135.609 50,2 1,83
1988/1989 203.901 53,8 1,55 174.405 46,2 1,50
1989/1990 331.483 81,3 0,82 70.432 18,7 0,96
Sumber: Dokumen SKA (Direktorat Ekspor, Deperindag), diolah oleh AEKI (1999)
Pada tahun 1996, negara-negara anggota ACPC diminta melakukan
penahanan sebagian ekspor kopi (export retention) sebesar persentase tertentu
terhadap total jatah ekspor kopi. Besarnya retwensi adalah 10 persen jika harga
baik dan 20 persen jika harga kurang baik. Namun Indonesia menolak retensi itu
karena akan meningkatkan beban biaya penyimpanan dan biaya-biaya terkait
lainnya yang sangat besar.

Kebijaksanaan Tarif Impor

Tarif impor kopi yang dikenakan oleh pemerintah Indonesia terhadap


impor kopi selama 1969-1998 mengalami perubahan (Tabel 4.3). Selama 1969-
1973, tarif impor adalah 50 persen, kemudian meningkat menjadi 70 persen
selama 1974-1980. Sesudah itu, tarif diturunkan kagi menjadi 30 persen yang
berlangsung cukup lama (14 tahun), yaitu selama 1981-1994. Selama dua tahun
berikutnya (1995-1996), tarif diturunkan lagi menjadi 25 persen, laku turun lagi
menjadi 20 persen pada tahun 1997 dan akhirnya menjadi 5 persen pada tahun
1998 sampai sekarang.

Volume dan Nilai Ekspor

Volume ekspor kopi Indonesia selama 1996-2001 berfluktuasi dengan


kecenderungan menurun rata-rata 6,21% per tahun (Tabel 4.4). Penurunan
volume ekspor terbesar terjadi pad atahun 2001. Diperkirakan, ini disebabkan
oleh dampak negatif dari peristiwa runtuhnya gedung WTC di Amerika Serikat
yang merupakan pusat perdagangan dunia. Hal itu menyebabkan melesunya
ekonomi dunia yang menyebabkan turunnya permintaan dunia terhadap
komoditas kopi. Nilai ekspornya malahan menurun lebih cepat dibanding volume
ekspornya, yaitu rata-rata 18,75% per tahun. Ini menunjukkan terjadinya harga
kopi di pasar dunia.

Komposisi Ekspor Menurut Jenis Produk

Dari Tabel 4.4 juga terlihat bahwa ekspor kopi Indonesia terdiri dari tiga
produk utama, yaitu: (1) coffee not roasted not decaffeinated, robusta oib; (2)
coffee not roasted not decaffeinated, arabica, wib; dan (3) other coffee not
roasted not defaeinated. Tampak bahwa ekspor kopi Indonesia sangat
didominasi oleh jenis robusta dan dalam bentuk kopi biji kering yang belum di
oven (roasted) dengan pangsa rata-rata 90% selama 1996-2001. Dominasi
produk ekspor demikian menyebabkan harga ekspor tetap rendah.

Tabel 4.3. Perkembangan tarif impor kopi, 1969-1999

Tahun Tarif (%) Tahun Tarif (%)


1969 50 1986 30
1970 50 1987 30
1971 50 1988 30
1972 50 1989 30
1973 50 1990 30
1974 70 1991 30
1975 70 1992 30
1976 70 1993 30
1977 70 1994 30
1978 70 1995 25
1979 70 1996 20
1980 70 1997 5
1981 30 1998 5
1982 30 1999 5
1983 30 2000 5
1984 30 2001 5
1985 30 2002 5
Sumber: Tarif Bea Masuk (Dep. Keuangan, berbagai terbitan)

Tabel 4.4. Perkembangan ekspor kopi Indonesia 1996-2001

Produk A Produk B Produk C Total


Tahun US$ US$ US$ US$
Ton Ton Ton Ton
‘000 ‘000 ‘000 ‘000
1996 10,803 28,280 327,972 506,471 24,108 54,080 362,883 588,831
1997 18,547 62,645 281,184 425,164 8,151 15,689 307,882 503,498
1998 21,872 59,802 328,494 512,688 5,291 6,451 355,657 578,941
1999 23,488 52,248 320,664 396,218 6,265 9,795 350,416 458,260
2000 27.187 58,243 306,865 249,066 3,261 4,523 337,313 311,832
2001 42,456 67,136 200,736 110,851 5,733 4,622 248,925 182,608
Trend 33,78 26,22 -7,74 -22,16 -11,01 -25,93 -6,21 -18,75
Sumber: Statistik Ekspor (BPS berbagai terbitan), diolah
Keterangan: Produk A = Coffee not roasted not decafeinated, arabica, wib
Produk B = Coffee not roasted not decafeinated, robusta, oib
Produk C = Other coffee not roasted not decafeinated
Trend + %/tahun

Salah satu permasalahan yang dihadapi adalah rendahnya mutu biji kopi hasil
petani. Kebutuhan petani yang mendesak akan uang untuk memenuhi
kebutuhan hidup sehari-hari menyebabkan ada biji kopi yang dipanen petani
sebelum masak (petik hijau). Peirlaku petani seperti ini juga disebabkan oleh
perilaku pedagang atau eksportir yang tidak memberikan insentif kepada petani
atas mutu biji kopi yang baik/tua (petik merah). Pedagang dan eksportir hanya
memberikan harga rata-rata, tanpa membedakan mutu kopi, sehingga petani
enggan melakukan grading.

Permasalahan lainnya adalah kopi yang diekspor Indonesia adalah jenis


robusta yang hanya dijadikan bahan campuran (blending) oleh negara
pengimpor. Sebagian besar kopi yang diperdagangkan di pasar dunia adalah
kopi arabika, seperti yang dihasilkan oleh negara-negara Amerika Latin, seperti
Brazil, Colombia, dan lain-lain. Dalam hal ini, kopi Indonesia kalah bersaing
dengan kopi arabika asal negara-negara lain.
Komposisi Ekspor Menurut Negara Tujuan

Ada lima negara tujuan utama ekspor kopi Indonesia, yaitu AS, Jepang,
Jerman Barat, Polandia dan Korea Selatan dengan pangsa masing-masing
20,71%, 14,79%, 14,30%, 7,81% dan 4,90% pada tahun 2001. Selebihnya
sebanyak 37,5% tersebar di anyak negara Eropa, Timur Tengah dan Asia. AS
dan Jepang secara tradisional merupakan pasar utama ekspor kopi Indonesia. Di
masa datang, Indonesia perlu mengembangkan ekspor ke lebih banyak negara
tujuan lainnya sebagai pasar baru.

Pesaing Indonesia

Dalam mengekspor kopi ke pasar dunia, Indonesia berhadapan dengan


negara-negara eksportir lainnya.Negara-negara eksportir utama kopi adalah
sama dengan negara-negara produsen utama, yaitu Brazil, Colombia, Vietnam
dan Indonesia, dengan rata-rata pangsa ekspor masing-masing 22,14%, 12,5%,
8,6% dan 6,8% (Tabel 4.5). Untuk Indonesia, pangsa ekspor hamapir sama
dengan pangsa produksi. Untuk Colombia dan Vietnam, pangsa ekspornya lebih
besar dibanding pangsa produksinya, sedangkan untuk Brazil, pangsa
ekspornya lebih kecil dibanding pangsa produksinya.

Tabel 4.5. Pangsa Ekspor Negara-negara eksportir kopi dunia, 1997-2001 (%)

Negara Eksportir 1997 1998 1999 2000 Rataan


1. Brazil 19,03 27,20 21,84 20,25 22,14
2. Colombia 13,92 12,24 11,45 12,21 12,5
3. Vietnam 8,33 7,92 8,95 8,98 8,5
4. Indonesia 6,46 7,17 6,70 6,77 6,8
5. Meksiko 5,22 4,95 5,01 5,15 5,1
6. Guatemala 5,05 4,92 5,05 5,20 5,1
7. Cote d’voire 6,48 3,02 4,69 4,47 4,7
8. Uganda 3,91 4,33 4,58 4,99 4,5
9. India 4,36 4,10 3,59 4,19 4,1
10. Ethiopia 2,82 2,08 2,19 2,30 2,3
11.Lainnya 24,44 22,08 25,95 25,49 24,5
Total Dunia 100 100 100 100 100
Ekspor (‘000 t) 4682 5053 5030 5011 4944
Sumber: Statistik Perkebunan Indonesia – Kopi 1999-2001 (Ditjen Produksi Perkebunan,
2001), diolah:

4.1.2. Pertanaman Kopi

Perkebunan Rakyat

Areal kopi rakyat merupakan 94,09% (rata-rata) dari total areal kopi
nasional selama 1996-2001. Perkembangan, luas dan produksi kopi rakyat
selama periode tersebut ditunjukkan pada Tabel 4.6. Luas kopi rakyat cenderung
meningkat selama 1996-1997, tetapi kemudian menurun cukup cepat pada tahun
1998 dan berlanjut sampai 1999 akibat krisis ekonomi. Pada tahun 2000 sedikit
meningkat dan berlanjut smapai 2001. Secara rata-rata, luas kopi rakyat
menurun 0,73% per tahun selama 1996-2001.

Produksi kopi rakyat merupakan 92,82% (rata-rata) dari produksi nasional


selama periode 1996-2001. Jika dilihat perkembangannya, areal kopi rakyat
menurun pada tahun 1997, tetapi meningkat cepat pada tahun 1998 yang
berlanjut hingga 1999, tetapi lalu menurun pada tahun 2000. Pada tahun 2001,
produksi meningkat lagi. Secara rata-rata, produksi kopi rakyat meningkat 3,13%
per tahun selama 1996-2001.

Perkebunan Besar

Luas areal kopi PBN hanya merupakan 3,11% (rata-rata) dari areal kopi
nasional selama periode 1996-2001. Dari Tabel 4.6 dapat diketahui bahwa luas
areal kopi PBN meningkat drastis pada tahun 1997, yang berlanjut smapai
dengan 1998 dan 1999 dengan laju menurun. Pada tahun 2000 sedikit menurun,
tetapi pada tahun 2001 sedikit meningkat lagi. Secara rata-rata luas kopi PBN
meningkat 11,05% pe rtahun selama 1996-2001.

Produksi kopi PBN merupakan 4,64% (rata-rata) dari produksi kopi


nasional selama periode 1996-2001. Jika dilihat perkembangannya, produksi
kopi PBN meningkat drastis pad tahun 1997, yang berlanjut smapai dengan 1998
dan 1999 dengan laju menurun. Pada tahun 2000 sedikit menurun, tetapi pada
tahun 2001 sedikit meningkat lagi. Secara rata-rata produksi kopi PBN
meningkat 16,86% per tahun selama 1996-2001.

Luas kopi PBS merupakan 2,80% (rata-rata) dari areal kopi nasional
selama periode 1996-2001. Jika dilihat perkembangannya, areal kopi PBS juga
meningkat cukup cepat pada tahun 1997, dan melonjak pad atahun 1998 tetapi
kemudian merosot pada tahun 1999, kemudian terus menurun sampai 2001.
Secara rata-rata, luas kopi PBS meningkat 0,13% per tahun selama 1996-2001.

Produksi kopi PBS merupakan 2,54% (rata-rata) dari produksi kopi


nasional selama periode 1996-2001. Jika dilihat perkembangannya, produksi
kopi PBS juga meningkat cukup cepat pada tahun 1997, dan melonjak pada
tahun 1998 tetapi kemudian merosot pada tahun 1999, kemudian terus
meningkat selama 2000-2001. Secara rata-rata, produksi kopi PBS meningkat
8,52% per tahun selama 1996-2001.

Total areal kopi nasional sedikit meningkat pada tahun 1997, kemudian
menurun terus selama 1998-2000 dan emudian sedikit meningkat pada tahun
2001. Secara rata-rata, luas kopi nasional menurun 0,52% per tahun selama
1996-2001. Total produksi kopi nasional menurun pada tahun 1997, lalu
meningkat cepat tahun 1998 dan meningkat lagi pada tahun 1999, lalu sedikit
menurun dan kembali meningkat pada tahun 2001. Secara rata-rata, produksi
kopi nasional meningkat 3,55% per tahun selama 1996-2001.

Tabel 4.6. Perkembangan luas dan produksi kopi di Indonesia, 1996-2001

Uraian 1996 1997 1998 1999 2000 2001 Rataan


Luas:
PR:
- Ha 1103615 1105114 1068064 1059245 1060396 1053172 1076601
-Trend (%) 0,14 -3,35 -0,83 0,11 0,26 -0,73
PBN:
-Ha 24169 32232 39139 39316 39303 29321 35580
-Trend (%) 33,36 21,43 0,45 -0,03 0,05 11,05
PBS:
- Ha 31295 32682 46166 28716 26771 26641 32045
-Trend (%) 4,43 41,26 -37,80 -6,77 -0,49 0,13
Total:
-Ha 1159079 1170028 1153369 1127277 1126470 1129134 1144226
-Trend (%) 0,94 -1,42 -2,26 -0,07 0,24 -0,52
Produksi:
PR:
- Ton 435757 396155 469671 493940 478038 498183 461957
-Trend (%) -9,09 18,56 5,17 -3,22 4,21 3,13
PBN:
-Ton 13184 21050 25759 26208 26114 25341 23109
-Trend (%) 59,66 22,37 1,74 -0,36 0,87 16,86
PBS:
- Ton 10265 11213 19021 11539 11776 11895 12618
-Trend (%) 9,24 69,63 -39,34 2,05 1,01 8,52
Total:
-Ton 469206 428418 514451 531687 515928 525419 497684,8
-Trend (%) -6,70 20,08 3,35 -2,96 3,97 3,55

Sumber: Statistik Perkebunan Indonesia – Kopi 1999-2001 (Ditjen Produksi


Perkebunan, 2001), diolah

4.1.3. Aspek Sosial Ekonomi Kopi

Pola Pengembangan

Ada dua jenis kopi yang ditanam di Indonesia, yaitu kopi Robusta dan kopi
Arabika. Namun kopi Robusta sangat mendominasi dengan pangsa luas areal
90,5%. Untuk kopi Robusta, dan ada tiga jenis manajemen, yaitu Perkebunan
Rakyat, Perkebunan Besar Pemerintah (PTP) dan Perkebunan Besar Swasta
Nasional (PBSN). Untuk kopi Robusta, pemerintah menempuh lima pola
pengembangan perkebunan rakyat, yaitu: (1) Peremajaan, Rehabilitasi dan
Perluasan Tanaman Ekspor (PRPTE), (2) Unit Pelaksana Proyek (UPP)
Berbantuan, (3) Partial, (4) Swadaya Berbantuan, dan (5) Swadaya Murni. Untuk
PTP, hanya terdapat kebun non-inti, sedangkan untuk PBSN hanya ada kebun
non-program.Untuk jenis kopi Arabika juga ada tiga jenis manajemen, yaitu dua
pola pengembangan, yaitu Perkebunan Rakyat, Perkebunan Besar Pemerintah
(PBN) dan Perkebunan Besar Swasta Nasional (PBSN). Untuk perkebunan
rakyat, pemerintah hanya menempuh dua pola pengembangan, yaitu: (1)
Swadaya Berbantuan dan (2) Swadaya Murni. Untuk PBN, hanya terdapat kebun
non-inti, sedangkan untuk PBSN hanya ada perkebunan kopi non-program.

Sebagaimana ditunjukkan pada Tabel 4.7, total areal kopi Robusta di


Indonesia mencapai 971.262 hektar dengan total produksi 449.868 ton pada
tahun 1999. Perkebunan rakyat sangat mendominasi kopi ejenis ini dengan
pangsa luas areal danproduksi masing-masing 95,16% dan 94,76%. Dalam
perkebunan rayat sendiri, areal terluas dan produksi terbesar ditempuh oleh kopi
swadaya murni, yang masing-masing mencapai 89,27% dan 90,87% dan dari
total areal dan produksi kopi Robusta di Indonesia. Areal PTP dan PBS masing-
masiang hanya mempunyai pangsa 2,47% dan 2,37% dengan pangsa produksi
3,11% dan 2,13%.

Sebagian besar areal kopi Robusta termasuk ke dalam kategori TM


(Tanaman Menghasilkan) yang mencapai 65,66% untuk perkebunan rakyat,
99,22% untuk PTP dan 42,36% untuk PBS. Areal TBM (Tanaman Belum
Menghasilkan) pada kopi Arabika mempunyai pangsa cukup luas pada
perkebunan rakyat dan PBS, yaitu masing-masing 28,23% dan 36,24%,
sedangkan pada PTP hanya 0,78%. Ini menunjukkan adanya peremajaan tau
areal baru yang cukup luas pada perkebunan rakyat dan PBS, tetapi tidak pada
PTP. Produktivitas rata-rata per hektar per tahun yang dicapai adalah 642 kg
untuk perkebunan rakyat, 820 kg untuk PTP dan 748 kg untuk PBS atau 678 kg
secara keseluruhan. Tampak bahwa produktivitas kopi PTP adalah yang
tertinggi, saedangkan perkebunan rakyat yang paling rendah.

Jumlah petani perkebunan rakyat kopi Arabika adalah 131.039 KK dengan


luas areal rata-rata 0,671 hektar per KK. Sebagian besar petani adalah petani
swadaya murni (non peserta proyek) yang mencapai 127.317 KK yang
merupakan 97,16%, sedangkan sisanya adalah petani peserta proyek. Luas
areal dan produksi kopi swadaya murni masing-masing mencapai 99,46% dan
99,83% dari total areal dan produksi kopi Arabika perkebunan rakyat.

Kredit

Pemerintah memberikan bantuan kredit dalam pengembangan kopi


rakyat. Namun kredit untuk usahatani kopi sudah lama tidak ada. Apalagi sejak
terjadinya krisis ekonomi pada pertengahan tahun 1997, pemerintah tidak lagi
memberikan kredit kepada petani kopi. Oleh karena itu, petani lebih
mengandalkan kemampuannya sendiri untuk melakukan peremajaan, rehabilitasi
atau perluasan tanaman kopinya.
Tabel 4.7. Luas areal dan produksi kopi robusta menurut tipe manajemen di
Indonesia tahun 1999

Luas Produksi
Jumla
Jenis Prod/ Luas/
TBM TM TTM Total h
Manajeme % Ton % ha KK
(ha) (ha) (ha) (ha) petani
n (kg) (ha)
(KK)
1.Perkebu
nan 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
Rakyat: 2029 2435 664 33025 3,2 1317 2,7 541 55361 0,597
3152 0 6 3299 4 1 7 197 5961 0,553
a.Plasma 1183 147 0 4888 0,3 29 0,0 367 17151 0,285
9701 3402 303 18884 2 1250 1 479 36439 0,518
b.PRPTE 1451 8361 822 91116 0,4 4003 0,2 633 18736 0,486
c.UPP 63 6815 844 6 8 4314 6 627 3 0,488
Berbantua 1612 70 33 97126 1,8 15 0,8 19887
n 28 7178 922 2 5 4498 4 78
d.Partial 16,60 30 04 100 89, 68 90,
e. 73,91 9,49 27 87
Swadaya 95, 94,
Berbantua 16 76
n

f.Swadaya
Murni
Jumlah
(1)
%
2.PBN:
a.Inti 0 0 0 0 0 0 0 0
b.Non 2328 2283 86 25247 2,4 1476 3,11 647
Inti 2328 3 86 25247 7 3 3,11 647
Jumlah 9,22 2283 0,34 100 2,4 1467
(2) 3 7 3
% 90,44
3.PBS:
a.PBSN
0 0 0 0 0 0 0 0
-Porgram 0 0 0 0 0 0 0 0
-Inti 6552 1589 178 24205 2,3 1011 2,1 636
-Non 6552 3 0 24205 7 0 3 636
Program 0 1589 176 0 2,3 1011 2,1 0
6552 3 0 24205 7 0 3 636
Jumlah 27,27 0 0 0 0 0
(a) 1589 176 2,3 1011 2,1
b.PBSA 3 0 7 0 3
Jumlah 65,66 7,27 0,0
(3) 1
%
Total 1701 7565 940 10207 100 4747 100 628
08 56 50 14 41
% 16,67 74,12 9,21 100
Sumber: Statistik Perkebunan Indonesia 1999-2001: Kopi Robusta (Ditjen Bina Produksi Perkebunan,
2001)
Tabel 4.8. Luas areal dan produksi kopi arabika menurut tipe manajemen di
Indonesia tahun 1999

Luas Produksi
Jenis Prod/h
TBM TM TTM Total
Manajemen % Ton % (kg)
(ha) (ha) (ha) (ha)
1.Perkebunan
Rakyat: 0 0 0 0 0 0 0
a.Plasma 0 0 0 0 0 0 0
b.PRPTE 0 0 0 0 0 0 0
c.UPP 0 0 0 0 0 0 0
Berbantuan 278 195 4 477 0,45 62 0,12
d.Partial 2456 57573 5373 87506 82,12 37010 74,10
e. Swadaya 0 57768 5377 87983 82,56 37072 74,22
Berbantuan 2483 65,66 6,11 100
f.Swadaya 8
Murni 28,2
Jumlah (1) 3
%
2.PBN:
a.Inti 0 0 0 0 0 0 0
b.Non Inti 110 13959 0 14069 13,20 11445 22,91
Jumlah (2) 110 13959 0 14069 13,20 11445 22,91
% 0,78 99,22 0 100
3.PBS:
a.PBSN
-Porgram 0 0 0 0 0 0 0
-Inti 0 0 0 0 0 0 0
-Non 1635 1911 965 4511 4,23 1429 2,86
Program 1635 1911 965 4511 4,23 1429 2,86
Jumlah (a) 0 0 0 0 0 0 0
b.PBSA 1635 1911 965 4511 4,23 1429 2,86
Jumlah (3) 36,2 42,36 21,39 100
% 4
Total 2658 73638 6342 106563 100 49946 100
3
% 24,9 59,10 5,95 100
5
Sumber: Statistik Perkebunan Indonesia 1999-2001: Kopi Robusta (Ditjen Bina Produksi Perkebunan,
2001)

Subsidi

Kebijakan subsidi yang pernah dikenal adalah subsidi harga pupuk.


Namun kebijakan ini tidak ditujukan khusus untuk kopi saja, tetapi untuk semua
komoditas pertanian. Malahan sebenarnya, kebijakan subsidi pupuk lebih
ditujukan untuk komoditas pangan, utamanya beras untuk merangsang produksi.
Komoditas lain menerima imbas positif (positive spill-over effect) dari kebijakan
subsidi pupuk untuk tanaman pangan tersebut. Belakangan ini subsidi pupuk
sudah tidak diberikan lagi kepada petani, baik untuk komoditas pangan maupun
non-pangan.

4.1.4. Kopi Arabika Mandheling

Kopi Arabika telah diperkenalkan ke Indonesia dan ditanam oleh Belanda


sejak tahun 1699. Dalam waktu yang tidak terlalu lama sudah menyebar di
seluruh Provinsi di Indonesia, termasuk Sumatra Utara dan Aceh.

Khusus untuk provinsi Sumatera Utara, Belanda lebih dulu melakukan


penanaman kopi arabika yang disebut "Mandheling" yang dimulai dari kabupaten
Tapanuli Selatan, segera setelah perkebunan Mandheling, Belanda memperluas
perkebunan kopi di kabupaten sekitarnya yang berdekatan, seperti Lintong
Nihuta di kabupate Tapanuli Utara Dan Sumbul/Sidikalang di kabupaten Dairi.
Semua kopi arabika ditanam pada areal 1200 meter di atas permukaan laut
berdekatan dengan danau " TOBA". Selanjutnya, kopi arabika jenis yang sama
juga ditanam pada Tanah Tinggi Gayo (kabupaten Aceh Tengah) dekat danau "
LAUT TAWAR". Keuntungan perkebunan dataran tinggi, kopi memiliki
karaktreristik khusus seperti bijinya keras dan memiliki aroma yang harum.

Nama kopi arabika “MANDHELING" merupakan ide dari eksportir Medan


yang diambil dari perkebunan pertama Mandheling-di kabupaten Tapanuli
Selatan. Di tahun 1968, seorang eksekutif dari Japannese Trading House
mengunjungi eksportir dan terkesan setelah mencoba secangkir kopi arabika.
Ungkapannya adalah ia telah mencicipi kopi arabika macam ini ketika ia adalah
masih menjadi seorang prajurit di Sibolga ( Tapanuli Tengah) selama Perang
Dunia II. Orang tersebut kemudian mulai melakukan impor kopi arabiaa ke
Jepang dengan label KOPI ARABICA MANDHELING dan mempromosikannya
bahwa kopi arabika ini adalah salah satu kopi arabika terbaik di dunia. Sejak itu,
konsumen Jepang lebih tertarik dengan KOPI ARABICA MANDHELING. Nama
kopi Mandheling sudah menjadi identik dengan kopi mutu yang tinggi dimana
mereka yang menyenangi tidak pernah melupakan aroma harumnya.

Sekarang ini kopi Mandheling menjadi komposisi utama ramuan kopi,


mereka yang akan menghasilkan mutu kopi tinggi akan menggunakan kopi
arabika Mandheling sebagai campurannya.

Sekarang ini, produksi kopi arabika Mandheling Sumatera Utara sekitar


15,000 - 16,500 ton dan Aceh memproduksi sekitar 10,000- 14,000 ton.
Pengembangan kopi arabika di Sumatera Utara terutama di kabupaten Tapanuli
Selatan, Tapanuli Utara, Simalungun, Deli Serdang, dan Dairi.

Perkembangan saat ini luas pertanaman dan produksi kopi arabika di


Sumatera Utara semakin meningkat meningkat dan diharapkan dapat terus
terjadi untuk masa yang akan datang sehingga Sumatera Utara akan memiliki
kopi mutu tinggi yang menjadi kebanggaan masyarakat.

Secara keseluruhan luas perkebunan kopo arabika sekitar 31.551,33


hektar atau sekitar 53,73% dari area luas lahan kopi di Sumatera Utara.
Pengembangan kopi arabika relatif lambat, hal ini disebabkan kopi arabika
tumbuh baik hanya di sekitar ketinggian 800-1.500 meter d.p.a, sehingga
berkompetisi dengan tanaman lainnya seperti sayuran atau hortikultura yang
memiliki nilai ekonomi tinggi. Walaupun demikian Asosiasi Eksportir Kopi
Sumatera Utara telah mencoba membantu petani kopi di dalam melakukan
rehabilitasi kopi arabika, yaitu untuk kopi arabika " Lintong" dan kopi arabika "
Mandheling".

Dampak dari pengembangan kopi arabika ini adalah pemanfaatan tenaga


kerja, khususnya dalam pasca panen. Untuk menghasilkan produk yang baik
maka diperlukan tenaga kerja wanita yang tekun memilih kopi-kopi tersebut
sesuai dengan gradingnya. Untuk grading kopi arabika dengan kadar kering 13
% di Sumatera Utara adalah sebagai berikut :

Grade Nilai
1 0-11
2 12-25
3 26-44
4a 45-60
4b 61-80
5 81-150
6 151-225

4.1.5. Kopi Arabika Kintamani (Bali)

Luas areal tanaman Kopi Arabika di Propinsi Bali tahun 2001 adalah
14,597 Ha dan menurun menjadi hanya sekitar 8046 Ha pada tahun 2003.
Dalam periode yang sama produksi menurun dari 5,822.13 ton pada tahun 2001
menjadi hanya 3,852.14 ton pada tahun 2003. Penurunan luas areal dan
produksi ini disebabkan oleh menurunnya jumlah tanaman menghasilkan (TM)
dari sekitar 10,644 Ha pada tahun 2001 menjadi hanya 5,667 Ha pada tahun
2003. Pada periode 2001 – 2003 luas pertanaman Kopi Arabika di Bali
mengalami penurunan 6,551 Ha, dengan penurunan luas tanaman menghasilkan
(TM) sebesar 4,977 Ha.

Di samping menurunnya luas areal pertanaman, dimana jumlah tanaman


menghasilkan terus menurun dan areal tanaman tua dan rusak semakin besar,
produktivitas kopi arabika di Bali terus menunjukkan peningkatan. Pada tahun
2001 produktivitas kopi arabika di Bali mencapai 547 Kg/Ha/tahun. Namun pada
tahun 2003 produktivitas tersebut meningkat mencapai sekitar 680 Kg/Ha per
tahun. Dalam arti lain, produktivitas Kopi arabika meningkat sekitar 133
Kg/Ha/tahun dalam periode 2001 – 2003.
Tabel 4.9. Perkembangan Luas Areal, Produksi dan
Produktivitas Kopi Arabika di Propinsi Bali tahun 2001 – 2003.

Tahun Luas Areal (Ha)


Pro
No TBM TM TTM/TR
Jumlah
(
1 2001 2,313 10,644 1,640 14,597 5,
2 2002 2,097 6,665 679 9,442 3,
3 2003 1,636 5,667 743 8,046 3,
Sumber : Laporan Dinas Perkebunan Propinsi Bali 2001 – 2003

Pada kasus komoditas kopi untuk propinsi Bali dilakukan studi kasus di
Kecamatan Kintamani, Kabupaten Bangli. Dasar pertimbangan penentuan lokasi
studi adalah di wilayah ini dikembangkan kopi arabika organik dengan merk kopi
organik „Bali Kintamani“ yang menjadi salah satu komoditas unggulan ekspor
Propinsi Bali.

Kabupaten Bangli memiliki kontribusi rata-rata sekitar 46 persen dari total


areal pertanaman kopi arabika di Propinsi Bali pada periode 2001 – 2003.
Dalam periode yang sama, Kecamatan Kintamani memiliki kontribusi rata-rata 44
persen lebih terhadap Propinsi Bali dan 96 persen lebih terhadap Kabupaten
Bangli.

Dari segi produksi, Kecamatan Kintamani memiliki kontribusi produksi 99


persen terhadap produksi Kabupaten Bangli dan sekitar 51 persen dari produksi
Propinsi Bali. Kontribusi Kabupaten Bangli terhadap produksi kopi arabika
propinsi Bali mencapai lebih dari 51 persen dalam periode 2001 – 2003.

Dari segi produktivitas, baik di Kecamatan Kintamani maupun di


Kabupaten Bangli lebih tinggi jika dibandikan dengan Produktivitas Propinsi Bali.
Pada tahun 2001 produktivitas Kopi Arabika di Kecamatan Kintamani mencapai
589 Kg/Ha/tahun dan di Kabupaten Bangli mencapai 588 Kg/Ha/tahun. Namun
demikian jika dibandingkan peningkatan produktivitas Kopi di Propinsi Bali yang
mencapai 133 Kg/Ha/tahun dalam tahun 2001 - 2003, peningkatan produktivitas
di Kecamatan Kintamani maupun Kabupaten Bangli lebih rendah yaitu masing-
masing 108 Kg/Ha/tahun dan 105 Kg/Ha/tahun. Pada tahun 2003 produktivitas
Kopi Arabika di Kabupaten Bangli adalah 693 Kg/ha/tahun dan di Kecamatan
Kintamani 697 Kg/Ha/tahun.
Tabel 4.10. Perkembangan Luas Areal, Produksi dan Produktivitas Kopi
Arabika di Kabupaten Bangli tahun 2001 – 2003.

Kabupaten/ Luas Areal (Ha)


Produksi Produktivitas
No Kecamatan TBM TM TTM/TR
Jumlah
(Ton) (Kg/Ha/Th)
1 2 3 4 5 6 7 8
1 Kec. Bangli 5 132 59 196 72.18 547
2 Kec. Susut - - - - - -
3 Kec. Tembuku 10 1 - 11 0.31 305
4 Kec. Kintamani 719 5,981 246 6,946 3,523.06 589
Jumlah 2001 734 6,114 305 7,153 3,595.55 588
1 Kec. Bangli 118 25 - 144 - -
2 Kec. Susut - - - - - -
3 Kec. Tembuku 10 1 - 11 0.11 106
4 Kec. Kintamani 707 2,703 227 3,637 1,674.96 620
Jumlah 2002 835 2,729 227 3,792 1,675.06 614
1 Kec. Bangli 98 46 - 144 28 614
2 Kec. Susut - - - - - -
3 Kec. Tembuku - 11 - 11 1 91
4 Kec. Kintamani 1,039 2,611 102 3,752 1,818.62 697
Jumlah 2003 1,137 2,668 102 3,907 1,847.84 693
Sumber : Laporan Dinas Perkebunan Propinsi Bali 2001 – 2003

Di wilayah Kecamatan Kintamani, tanaman kopi dikelola secara organik


atau tanpa menggunakan bahan kimia anorganik. Tanaman dirawat secara
manual, pengendalian hama dan penyakit dilakukan secara fisik dan biologi,
pestisida yang digunakan adalah adalah nabati itupun jika diperlukan.
Pemupukan tanaman mengandalkan kompos dari sisa tanaman dan pupuk
kandang terutama kotoran tenak babi dan sapi. Di samping memiliki cirikas dari
segi pengelolaan pertanaman secara organik, pengengendalian HPT secara
alami, ciri lain yang melekat Kopi „Bali Kintamani“ adalah proses pengolahan
dilakukan secara basah, pengeringan dengan menggunakan rak kawat atau
hamparan lantai jemur semen yang bersih sehingga selain memberikan kesan
bersih, kopi hasilnya memiliki kualitas tinggi dan citarasanya khas.

Aspek lain yang melekat dan menjadi cirikhas kopi „Bali Kintamani“ adalah
wilayah produksi yang berada di sekitar Danau Batur yang memiliki
pemandangan indah, karakteristik budaya Bali yang melekat di wilayah
Kintamani.

Karakteristik lain dari „Bali Kintamani“ adalah pengelolaannya yang padat


karya sesuai dengan unsur karakteristik budaya masyarakat Bali yang sangat
religius. Kopi arabika di kecamatan kintamani memiliki kontribusi menyediakan
lapangan kerja bagi 93 persen Kepala Keluarga (KK) petani Kopi Arabika di
Bangli dan hampir 99 persen menyediakan lapangan kerja dari mereka yang
bekerja dibidang Kopi Arabika di Kabupaten Bangli.

Tabel 4.11. Jumlah KK dan Penyerapan Tenaga Kerja Kopi Arabika di


Kabupaten Bangli Tahun 2001 – 2003.

Kabupaten/
Petani Penyerapan TK
No Kecamatan
(KK) (HOK)
1 Kec. Bangli 492 39,567
2 Kec. Susut - -
3 Kec. Tembuku 64 2,244
4 Kec. Kintamani 7,489 1,464,341
Jumlah 2001 8,045 1,506,152
1 Kec. Bangli 415 445
2 Kec. Susut - -
3 Kec. Tembuku 64 1,792
4 Kec. Kintamani 6,348 1,331,750
Jumlah 2002 6,827 1,333,987
1 Kec. Bangli 415 445
2 Kec. Susut - -
3 Kec. Tembuku 64 1,792
4 Kec. Kintamani 6,020 1,145,880
Jumlah 2003 6,499 1,148,117
Sumber : Laporan Dinas Perkebunan Propinsi Bali 2001 – 2003

Dalam pengelolaan lahan, pemeliharaan tanaman, pengolahan,


penjemuran/pengeringan dan proses-proses lain didalamnya sehingga kopi Bali
Kintamani siap dijual dalam bentuk biji kering, biji matang (telah digoreng)
maupun dikemas sebagai kopi bubuk, dilakukan secara berkelompok pada
masing-masing subak. Anggota kelompok membentuk sub kelompok yang
secara bergiliran melakukan kegiatan sesuai tanggungjawab masing-masing.
Nilai kerukunan ini memberikan dalam wadah budaya Bali yang religius ini
tentunya memberikan image tersendiri bagi kopi „Bali Kintamani“.

Pada tahun 2003, nilai ekspor Kopi Organik Bali diperkirakan mencapai
sekitar Rp. Milyar lebih. Ekspor dilakukan baik langsung dari Bali maupun via
Surabaya. Kemampuan penyediaan Kopi Organik Bali berdasarkan diskusi
dengan Eksportir Di Jakarta, Surabaya dan Bali saat ini baru mencapai sekitar
31 persen dari potensi permintaan. Permintaan terbesar terutama dari Perancis,
USA, Australia dan Jepang.

4.2. Komoditas Tembakau

4.2.1. Perdagangan Tembakau


Perdagangan Tembakau Internasional

Tembakau masuk ke Indonesia diperkirakan pada awal abad ke XVII oleh


kolonial Belanda dan tembakau menjadi komoditas perdagangan penting setelah
membawa dan menjualnya ke negara-negara Eropa. Sehingga pada masa
tanam paksa di zaman penjajahan Belanda, tembakau juga merupakan salah
satu komoditas yang diharuskan ditanam. Hal ini menunjukkan bahwa sejak
jaman penjajahan tembakau termasuk komoditas yang menguntungkan di dalam
perdagangan internasional, karena memiliki keunggulan dimana kualitas
tembakau Indonesia sebagai bahan baku pembuatan cerutu sudah terkenal
sejak lama dengan kualitas yang tinggi, baik sebagai pembalut maupun pengisi
cerutu. Dengan kondisi tersebut, pengusahaan perkebunan yang intensif
berkembang terutama yang dikelola oleh pemerintah kolonial yang pada saat itu
menjadi pemasok pasar di Eropa Barat. Dan dalam perkembangan selanjutnya,
pengusahaan tembakau merebak ke petani kecil/tembakau rakyat terutama di
Jawa Tengah dan Jawa Timur sejalan pula adanya pabrik rokok kretek yaitu
pada sekitar abad ke XIX yang dalam perkembangannya terus meningkat,
demikian pula jenis tembakau yang diusahakan petani untuk kebutuhan pabrik
rokok.

Pada saat ini, walaupun ekspor tembakau Indonesia tidak mempunyai


kedudukan penting di pasar MEE (Masyarakat Ekonomi Eropa), karena hanya
memasok sebesar 2-3 persen tetapi kualitasnya termasuk yang terbaik untuk
jenis produk tembakau lembaran kering (deck-blaad, oom blaad, dan filler).

Dengan mengacu pada data ekspor tahun 1999, ekspor tembakau


Indonesia didominasi oleh jenis tembakau lembaran yaitu sebagai bahan baku
utama untuk pembuatan cerutu baik sebagai pembungkus maupun isi cerutu.
Dari total volume ekspor sebesar 37.096 ton, sekitar 80,5 persen berupa produk
tembakau lembaran dan umumnya untuk pasaran Eropa dengan total nilai
perolehan sebesar 78.967 ribu dollar US. Untuk rincian volume dan nilai ekspor
tembakau tahun 1999 menurut negara tujuan disajikan pada Tabel 4.12. Dan
berdasar pada Tabel 4.9. tersebut tampak bahwa dari segi volume yang tersebar
dikirim untuk negara Federasi Rusia yaitu sebesar 8.269 ton, selanjutnya diikuti
oleh negara Jerman, USA, dan Belanda. Sedangkan dari besaran nilai perolehan
yang terbesar adalah dari negara Jerman yaitu sebesar 26.661 ribu dollar US.

Tabel 4.12. Volume dan Nilai Ekspor Komoditas Tembakau Menurut Negara
Tujuan, Tahun 1999

Volume Nilai
No Uraian Negara Tujuan
(ton) (000 US $)
1. Tembakau Federasi Rusia 8.269 5.364
lembaran Germany 5.097 26.661
USA 3.590 5.959
Netherland 3.117 9.489
Belgium 1.961 4.348
Algeria 1.530 2.564
Perancis 915 1.422
Spanyol 796 4.262
Argentina 420 844
Rep. Dominika 433 3.028
Srilangka 363 4.038
Philipina 284 2.179
Puerto Rico 270 648
Brazil 80 84
Bulgaria 54 148
Singapura 27 74
Lainnya 2.668 5.855
Jumlah (1) 29.879 78.967
2. Tembakau irisan USA 1.670 1.270
Philipina 1.403 2.681
Malaysia 1.379 3.224
Federasi Rusia 392 333
Puerto Rico 324 475
Germany 351 704
Belgium 280 617
Netherland 265 1.699
Lainnya 801 1.684
Jumlah (2) 6.865 12.687
3. Tembakau Australia 192 19
olahan lainnya Germany 160 160
Jumlah (3) 352 179
TOTAL (1+2+3) 37.096 91.833
Sumber: Ditjen Bina Produksi Perkebunan, 2001

Kebutuhan tembakau Indonesia masih tidak terpenuhi oleh produksi


dalam negeri, sehingga harus mengimpor terutama tembakau virginia sebagai
bahan baku industri rokok dan negara terbesar pemasoknya adalah Zimbabwe.
Gambaran mengenai perkembangan impor tembakau dalam periode tahun
1995-2000 dapat dilihat pada Tabel 4.13

Tabel 4.13. Perkembangan Impor Tembakau Indonesia Periode tahun 1995-


2000

Jenis Tembakau (ton)


No Tahun Tembakau
Virginia Rokok Jumlah
lainnya
1. 1995 30.054 17.899 4.564 52.517
2. 1996 30.731 14.359 4.750 49.810
3. 1997 30.156 16.952 5.032 52.140
4. 1998 10.295 6.858 2.639 19.792
5. 1999 29.135 11.778 7.928 48.840
6. 2000 18.781 8.726 6.507 34.014
Rataan 24.859 12.762 5.237 42.852
Sumber: Ditjen Bina Produksi Perkebunan, 2001

Perdagangan Tembakau Dalam Negeri

Salah satu spesifik komoditas tembakau dilihat dari sisi permintaan adalah
tidak jelasnya keterkaitan antara tingkat pendapatan dengan permintaan
terhadap rokok. Artinya bahwa untuk permintaan terhadap rokok mempunyai
elastisitas pendapatan yang inelastis. Permintaan rokok cenderung meningkat
walaupun pada tahun 1997 Indonesia memasuki era krisis ekonomi. Dengan
demikian tampaknya kecanduan seseorang terhadap rokok mungkin sebagai
penyebab utama mengapa elastisitas pendapatannya demikian elastis.

Secara garis besar industri pengolah tembakau di dalam negeri dapat


dikelompokkan menjadi: (a) Pabrik rokok kretek, (b) Pabrik rokok sigaret
putih/non-kretek dan (c) Pengolah tembakau rakyat. Di antara industri sigaret
rokok kretek yang merupakan penyerap utama terhadap produksi tembakau
dalam negeri di antaranya adalah: PT. Gudang Garam, PT. Djarum Kudus, HM.
Sampoerna, dan Bentoel. Akan tetapi, sejalan dengan peningkatan kebutuhan
tembakau bagi industrinya tidak tercukupi, maka harus mendatangkan dari luar.

4.2.2. Pertanaman Tembakau

Tembakau merupakan salah satu komoditas yang memberikan


sumbangan cukup penting terhadap perekonomian nasional, baik dari
penerimaan pemerintah dari nilai tambah dan cukai maupun ketenagakerjaan
dan secara spesifik melibatkan banyak keluarga petani yang selama kurun waktu
tahun 1996 – 2001 terjadi peningkatan yang cukup tajam (lihat Tabel 4.14).

Tabel 4.14. Keragaan, Luas Areal, Produksi dan Petani Pada Komoditas
Tembakau Selama Tahun 1996 – 2001, Indonesia

Luas Areal Produksi Jumlah Petani


Tahun
(ha) (ton) (KK)
1996 222.948 158.433 668.844
1997 223.405 173.971 893.620
1998 133.405 82.850 400.215
1999 159.038 117.085 636.152
2000 221.764 192.438 666.292
2001 228.302 195.137 913.208
Rataan 198.091 153.319 696.388
Sumber: Statistik Perkebunan, Direktorat Jenderal Perkebunan, 2002

Dalam perkembangannya selama kurun waktu tahun 1995-2001 produksi


rokok cenderung meningkat setiap tahunnya dan kondisi tersebut memacu pada
kebutuhan bahan baku tembakau sedangkan penyediaan dalam negeri belum
mencukupi (Tabel 4.15).

Tabel 4.15. Produksi Rokok dan Kebutuhan Tembakau Tahun 1995 – 2001

Kebutuhan Penyediaan
Produksi Rokok
Tahun Tembakau Tembakau
(juta batang)
(ribu ton) (ribu ton)
1995 186.909 157,3 124,2
1996 197.740 189,3 146,3
1997 208.937 202,8 160,0
1998 195.984 159,3 60,7
1999 198.996 190,2 101,7
2000 210.205 194,3 175,2
2001 210.177 195,2 164,7
Rataan 201.278 184,1 133,2
Sumber: Lembaga Tembakau Indonesia, 2002

4.2.3. Aspek Sosial Ekonomi Tembakau

Posisi Indonesia dalam ekonomi tembakau, yaitu sebagai penghasil


tembakau dengan kualitas yang beragam masih berperan sebagai pengekspor
lembaran daun tembakau bahan cerutu berkualitas tinggi, dan sekaligus dalam
industri rokok dalam negeri. Dalam hal ini, perkembangan industri tembakau di
Indonesia tampaknya masih tetap berperan cukup besar karena beberapa hal,
antara lain:

a. Bergesernya industri rokok dari negara-negara maju ke negara


berkembang, seperti diproduksinya berbagai rokok sigaret putih di
bawah lisensi negara awalnya.
b. Rokok kretek Indonesia merupakan rokok yang khas dan tidak
dihasilkan oleh negara lain, sehingga tidak ada negara pesaing.

c. Di lain pihak, penggemar rokok kretek di dalam negeri masih belum


banyak terpengaruh oleh kampanye anti merokok.

d. Kenyataannya bahwa elastisitas pendapatan permintaan terhadap


rokok sangat inelastis.

Dari fenomena tersebut, walaupun kecenderungan masih baiknya prospek


industri rokok di dalam negeri belum berarti bahwa petani tembakau memperoleh
manfaat. Karena dari keadaan sekarang menunjukkan bahwa dibalik
perkembangan industri rokok dan keuntungan besar yang diraihnya, ternyata
kesejahteraan petani tembakau tidak banyak berubah. Dengan struktur pasar
tembakau yang cenderung bersifat monopsoni (bukan satu-satunya penyebab),
juga tidak terlepas dari faktor lain seperti keadaan iklim dan pola hidup petani
tembakau dewasa ini. Selain itu, opportunity cost penggunaan lahan untuk
tembakau cukup tinggi dibanding tanaman lainnya. Demikian pula persaingan
penggunaan lahan untuk tanaman pangan, khusus bagi petani yang berlahan
sempit pada dasarnya akan berperan dalam menentukan kelangsungan masa
depan tembakau di Indonesia.

Beberapa masalah dan hambatan atau kecenderungan yang


mempengaruhi agribisnis tembakau sebagai berikut:

1. Kampanye anti rokok. Dilakukan oleh WHO yang diantisipasi oleh


DEPKES dan Badan POM telah berpengaruh terhadap strategi
pengembangan industri rokok nasional (rokok kretek) dan juga
terhadap petani tembakau.

2. Pendanaan. Selama ini petani memperoleh biaya usahatani dari


perusahaan pengelola sumber dana sendiri, pinjaman dari pihak ke-3
dan kredit komersial.

3. Grade/Mutu. Beragamnya grade/mutu dan produktivitas yang


dihasilkan, sebagai akibat keberagaman pola binaan terhadap petani
dan beragamnya kepentingan dan kebutuhan setiap perusahaan
pengelolaan/pabrik rokok.

4. Retribusi. Retribusi untuk PAD akan meningkatkan pendapatan


daerah. Namun di sisi lain akan menambah biaya petani.

5. Areal dan produksi tembakau Voor-Oogst meningkat terutama di luar


binaan/pola swadaya.

6. Terbatasnya informasi pasar. Keterbatasan informasi bagi petani


tembakau terhadap jumlah, jenis dan mutu tembakau yang diperlukan
pabrik rokok di setiap wilayah.

Dalam hubungan antara masyarakat petani tembakau dengan


perusahaan pengelola/pabrik rokok dilaksanakan dengan pola sebagai berikut:

1. Pola Swadaya:

- Petani menanam di lahan sendiri, modal sendiri dan cara


sendiri serta tanpa binaan.
- Hasil dijual bebas ke pedagang atau pabrik rokok (berarti
tidak ada jaminan pasar).

- Pola ini dijumpai pada perusahaan tembakau rajangan,


virginia Bojonegoro dan sebagian Besuki Naa-Oogst.

2. Pola Kemitraan

- Petani dan perusahaan pengelola/perusahaan rokok


menjalin hubungan kemitraan secara langsung yang diwujudkan
dalam bentuk kerja sama yang saling menguntungkan

- Pabrik rokok/pengelola memberi binaan kepada petaninya,


bantuan bibit, memfasilitasi penyediaan kredit, menampung hasil
panen.

- Prinsip saling percaya dan jujur

4.2.4. Tembakau Jember

Budidaya tembakau di Jember dimulai sejak tahun 1856, di Kecamatan


Sukowono. Pada tahun 1859, George Birnie bekas pamong praja Jember
mendirikan perusahaan LMOD (Landbouw Maatschappij Oud Djember). Dialah
pelopor yang memajukan pertembakauan di Jember. Pada masa selanjutnya
keberhasilan George Birnie diikuti oleh perusahaan milik Belanda lainnya yang
menjadikan Kabupaten Jember sebagai KOTA TEMBAKAU terkenal di dunia.
Perusahaan perkebunan milik Belanda bertahan sampai tahun 1957. Selanjutnya
pengelolaannya diambil alih oleh BUMN dan perusahaan swasta nasional hingga
saat ini.

Sampai saat ini tembakau Cerutu dan Voor-Oogst lainnya masih menjadi
kebanggaan masyarakat Jember karena eksistetnsi tembakau cukup besar
peranannya bagi perekonomian masyarakat, baik sebagai sumber penerimaan
negara, sebagai penyedia & perluasan lapangan kerja, sebagai sumber
pendapatan petani maupun pengaruh ikutan lainnya.

Beberapa aspek dampak tembakau bagi kabupaten Jember adalah


sebagai berikut :

1. Memberikan kontribusi yang cukup besar dalam PDRB (Produk


Domestik Regional Bruto) Jember.

2. Menyerap tenaga kerja yang cukup besar setiap tahun sekitar 250.000
orang per tahun yang terdiri dari petani/buruh tani 180.000 orang dan
buruh gudang 70.000 orang.
3. Mendatangkan devisa negara dengan nilai rata-rata per tahun 42,6
juta US$ untuk NaOogst, 13,7 juta US$ untuk TBN, dan 7,7 juta US$
untuk Bobin.

Walaupun demikian terdapat permasalahan umum yang dihadapi petani


dan pengusaha tembakau. Adapu permasalahan yang dihadapi petani sebagai
berikut :

1. Keterbatasan informasi tentang kapasitas pembelian tembakau oleh


para pengusaha dan kualitas yang dikehendaki pasar.
2. Setiap tahun selalu terjadi over supply yang diikuti oleh permainan
harga oleh para spekulan.
3. Belum adanya kepastian pasar atas produk tembakau yang dihasilkan
petani.

Sedangkan permasalahan yang dihadapi pengusaha sebagai berikut :

1. Perubahan selera konsumen luar negeri dari cerutu yang berukuran


besar ke sigariles yang berukuran lebih kecil.
2. Gencarnya kampanye anti rokok.
3. Akumulasi stok tembakau yang cukup besar (di Jember >13.000 ton).
4. Belum adanya jaminan kualitas atas produk tembakau yang dihasilkan
petani.

Pengaruhnya terhadap struktur pasar adalah struktur pasar tembakau


adalah monopsoni dan oligopsoni. Hal ini diindikasikan dengan :

1. Ditandai dengan dominasi pembeli dalama penetapan harga


tembakau.

2. Adanya kecenderungan dari para pelaku pasar untuk membiarkan


terjadinya over supply.

3. Produsen/petani menghadapi 2 resiko yaitu resiko produksi dan resiko


pasar, sedangkan pembeli hanya menghadapi resiko pasar saja.

Dengan demikian upaya menghadapi struktur pasar monopsoni dan


oligopsoni, adalah melalui : (1) Social Economic Engineering dan (2) Informasi
Pasar. Langkah-langkah yang dilakukan melalui Social Economic Engineering
(Rekayasa Sosial Ekonomi) yaitu (1) membentuk Forum Temu Kemitraan (FTK)
Tembakau di tingkat kecamatan (23 kecamatan sentra tembakau), (2) FTK
beranggotakan 30 orang terdiri dari KTNA, petani, PPL dan pedagang atau
pengusaha; dan (3) FTK melakukan pertemuan 2 minggu sekali yang dibiayai
oleh APBD Kabupaten, untuk membahasa pertembakauan di wilayah kecamatan
yang bersangkutan. Setiap bulan paraketua FTK melakukan pertemuan dengan
pihak manajemen perusahaan yang difasilitasi oleh Dinas Perkebunan.
Pada tahun 2003, aktivitas FTK Tembakau dilakukan sesuai dengan pola
tanam tembakau itu sendiri. Pada masa Pra Tanam (Januari-Maret) dilakukan
diskusi tentang (1) rencana pembelian tembakau oleh para pengusaha, (2)
kemitraan. Selanjutnya hasil yang diperoleh adalah (1) petani dapat
memutuskan menanam atau tidak menanam dengan pertimbangan pasar, (2)
Areal tanam berkurang 50%. Selanjutnya pada masa tanam (April-Agustus)
dilakukan diskusi tentang (1) teknologi budidaya dan (2) kemitraan. Sehingga
hasil yang diperoleh adalah (1) komunikasi dan hubungan petani dengan
pengusaha semakin baik, (2) terjadi kemitraan langsung antara petani dengan
pengusaha di beberapa kecamatan. Terakhir pada masa panen & pemasaran
(Agustus-Oktober) dilakukan diskusi tentang (1) jadwal buka gudang; dan (2)
permasalahan dalam pemasaran. Sehingga hasil yang diperoleh adalah (1)
sebagian besar tembakau yang dipanen terserap pasar; dan (2) pendapatan
sebagian besar petani (khusus Na oogst) relatif lebih baik dari tahun
sebelumnya.

Dalam membangun informasi pasar dibutuhkan kolaborasi antar


kabupaten. Beberapa hal yang melatarbelakangi dilakukannya kolaborasi antar
kabupaten dalam menangani persoalan tembakau yaitu :

1. Bahan baku tembakau untuk industri rokok nasional tersedia pada


banyak wilayah di Jawa Timur (20 kabupaten).

2. Ketergantungan industri rokok nasional pada bahan baku tembakau di


satu wilayah sangat kecil, karena kekurangan supply pada satu
wilayah dapat dicukupi dari wilayah lain. Sebaliknya, ketergantungan
petani untuk menjual tembakau kepada industri rokok nasional sangat
tinggi.

3. Transparansi rencana pembelian (kapasitas pembelian) belum


melembaga atau belum menjadi aturan main.

4. Masih rendahnya komitmen perusahaan untuk bermitra dengan petani.

5. Budaya menanam tembakau yang masih menjadi simbol


kesejahteraan petani.

Tujuan dari kolaborasi ini adalah : (1) menyeimbangkan supply-demand


tembakau pada skala regional; dan (2) mendorong komitmen perusahaan untuk
mengembangkan kemitraan dengan para petani. Beberapa aktivitas yang perlu
dilakukan yaitu :

1. Kerjasama dalam manajemen kontrol terhadap demand dan supply


tembakau serta pengembangan sistem informasi pasar.

2. Kerjasama dalam peningkatan kualitas DM petani tembakau.


3. Kerjasama dalam pemberdayaan kelembagaan petani dan Social
Economic Engineering (SEE).

4. Kerjasama dalam pelayanan sarana produksi tembakau.

5. Kerjasama dalam penyusunan kebijakan publik tentang komoditas


strategis.

Tembakau Deli

Sejak seratus tahun yang lalu sampai saat ini, tembakau Deli diakui para
pembeli tembakau masih merupakan tembakau yang terbaik di dunia dalam hal
kualitas untuk bahan wrapper cerutu type Eropa. Keunggulan tersebut terutama
dalam hal : (1) Aroma; (2) Rasa (taste); (3) Elastisitas daun; (4) Ketipisan daun;
(5) Bentuk daun yang baik; (6) Warna yang halus dan rata; (7) Daya bakar yang
baik; dan (8) Warna abu(ash) cerutu yang dibakar – putih. Karakter tersebut
muncul karena 2 faktor yaitu : iklim dan tanah. Pada area yang berada di antara
Sungai Wampu Kabupaten Langkat dan Sungai Ular Kab. Deli Serdang,
Sumatera Utara. Karakteristik ini tidak akan muncul jika tembakau Deli ditanam
di tempat lain di seluruh dunia (Brazil, Jember, USA dll.)

Beberapa hal yang perlu diperhatikan agar tidak terjadi kegagalan untuk
masa yang akan datang adalah :

(1) pembaharuan dari peralatan seperti traktor dimana terdapat


standar yang dibutuhkan yaitu 1 traktor untuk 100 ha bidang
tembakau.

(2) perbaikan bangunan gudang pengeringan

(3) menyiapkan budidaya yang baik sesuai dengan standar teknologi.

(4) perlunya penyediaan bambu yang cukup, tempat menggantungnya


daun tembakau.

(5) perlunya air yang cukup selama budidaya tembakau dengan


mempersiapkan pompa air yang cukup dimana harapannya adalah
1 pompa untuk 5 ha. Kondisi ini memang mengakibatkan biaya
tinggi akan tetapi tidak ada pilihan lain.

(6) menggunakan konstruksi kolam dan sumur-sumur yang sudah


ada dimana telah dilakukan sejak 1989.

(7) perlunya pilihan bahan kimia dalam budidaya tembakau ini sesuai
dengan waktu dan jumlah yang tepat; dan

(8) perlunya pengembangan sumberdaya manusia dalam suatu


organisasi dimana akan mengarah pada ketrampilan dalam
pembenihan, penanaman, pemanenan, dan juga hingga proses
fermentasi dan penyortiran daun-daun di dalam gudang.

Klasifikasi produk yang dihasilkan mempunyai kualifikasi sebagai berikut :

(1) Tembakau wrapper mutu baik :


Lelang di Bremen : Jerman
Penawaran yang datang :Jerman,
Belanda, Denmark, Swiss, Austria,
Perancis, Spanyol, Belgia, Inggris
(2) Tembakau Wrapper mutu rendah :
Dijual langsung ke tujuan ke :Jerman dan
Denmark
(3) Tembakau Filler
Dijual langsung ke tujuan :Jerman dan
Inggris
(4) Tembakau Chewing : USA

4.3. Komoditas Lada

4.3.1. Perdagangan Lada

Dalam perdagangan lada, pemerintah relatif belum dapat beruat banyak


karena lingkup perdagangan lada sangat luas, yakni pasar lokal, domestik dan
pasar global/internasional. Harga komoditas sepenuhnya tergantung pada
mekanisme pasar tersebut. Untuk mendorong ekspor, komoditas lada tidak
dikenakan pajak ekspor seperti yang diberlakukan pada ekspor minyak kelapa
sawit.

Arah kebijakan negara produsen lada termasuk Indonesia dewasa ini


adalah ingin mencapai stabilitas harga lada pada tingkat yang menguntungkan.
Untuk mencapai tujuan itu, telah dirumuskan beberapa program,seperti
menetapkan Minimum Export Price (MEP) lada hitam di New York. Kemudian
usulan tentang Voluntary Stock Retention Scheme (VSRS), pengaturan supply
dan demand di pasar internasional, usulan intensifikasi tanpa memperluas lahan
lada. Namun kesemuanya itu ternyaya belum mampu memberikan sumbangan
terhadap stabiliasi harga lada pada tingkat yang menguntungkan.

Risiko selalu melekat pada setiap kegiatan usaha, keuntungan atau


kerugian usaha banyak ditentukan oleh kemampuan mengelola risiko tersebut.
Risiko yang dihadapi dunia usaha ini pada dasarnya berasal dari inflasi,
perubahan suku bunga, perubahan nilai tukar uang, perubahan harga komoditas,
sentimen pasar dan lain-lain. Tekanan akibat risiko fluktuasi harga ini akan makin
besar di masa yang akan datang sejalan dengan perubahan lingkungan
strategis, antara lain globalisasi dengan terintegrasinya pasar domestik dengan
pasar global dampak pasca Putaran Uruguaya dan berkurangnya komitmen
terhadap perjanjian komoditas internasional. Terlebih lagi dalam menghadapi
liberalisasi perdagangan dan investasi di kawasan Asia Pasifik pad tahun 2020.

Perkembangan pasar ekspor lada Indonesia dan dunia adiperlihatkan


pada Tabel 2. Volume ekspor Indonesia pada periode 1995-2000 mengalami
penurunan sebesar 9,6%/tahun. Jika pada tahun 1995 volumenya mencapai
57.781 ton, pad atahun-tahun berikutnya turun dan terendah terjadi pada tahun
1997 yakni hanya 33.386 ton. Pada tahun 2000 kembali naik tetapi masih di
bawah volume ekspor tahun 1995. Sementara itu, volume ekspor dunia dalam
periode yang sama mengalami kenaikan sebesar 5,14%/tahun, yaitu daru
224.758 ton pada tahun 1995 menjadi 251.863 ton pada tahun 2000. Pangsa
volume ekspor Indonesia terhadap dunia berada di sekitar angka 13,87% (pada
tahun 1997) sampai dengan 25,70% (pada tahun 2000). Pangsa volume ekspor
Indonesia rata-rata menurun sebesar 13,6%/tahun.

Berbeda dengan volume ekspor, nilai ekspor Indonesia mengalami


kenaikan cukup besar yaitu 14,45%/tahun, dimana nilai ekspor tertinggi dicapai
pada tahun 2000 dengan nilai US$ 221 juta. Perkembangan nilai ekspor
Indonesia searah dengan perkembangan nilai ekspor dunia yang juga
mengalami kenaikan 14,17%/tahun. Hal ini terjadi disebabkan oleh naiknya
harga lada dunia sejak tahun 1998 dan masih bertahan hingga tahun 2000 di
sekitar US$ 4-5/kg. Walaupun nilai ekspor Indonesia dan dunia sama-sama
meningkat, panagsa Indonesia terhadap dunia masih menurun 2,77%/tahun di
sepanjang periode tahun 1995-2000 (Tabel 4.16).

Tabel 4.16. Perkembangan volume dan nilai ekspor lada


ndonesia dan dunia, 1995-2000

Volume (Ton) Nilai (1000 US$)


Tahun Pangsa Pangsa
Indonesia Dunia Indonesia Dunia
(%) (%)
1995 57.761 224.758 25,70 155.429 579.940 26,80
1996 36.849 241.989 15,23 98.864 570.601 17,32
1997 33.386 240.677 13,87 163.145 912.181 17,88
1998 38.723 217.405 17,81 188.920 1.012.229 18,66
1999 36.293 248.384 14,61 191.241 1.141.460 15,76
2000 47.592 251.863 18,88 221.090 1.014.733 21,78
R (%) -9,6 5,14 -13,6 14,45 14,17 -2,77
Sumber: Trade Statistics (FAO, 2002), diolah

Ekspor lada Indonesia terdiri atas delapan jenis produk. Volume dan nilai
ekspor berdasrakan jenis produk tersebut pada tahun 2000 dikemukakan pada
Tabel 4.17. Dari lada putih ada tiga jenis produk yang diekspor, yang sangat
dominan diantaranya adalah other white pepper neither crushed nor ground
(kode HS 0904-112-90) dengan volume ekspor 33.004 ton dengan nilai US$
114,7 juta. Dari lad ahitam juga ada tiga jenis produk yang diekspor, namun yang
sangat dominan adalah other black pepper neither crushed nor ground (kode HS
0904-113-90) dengan volume ekspor 26.545 ton dengan nilai US$ 96 juta pada
tahun2000. Selain itu, masih terdapat dua jenis produk lain dengan volume dan
nilai ekspor yang sangat kecil yaitu lada hijau dan lada bubuk.

Tabel 4.17. Volume dan nilai ekspor lada berdasarkan komposisi jenis produk,
2000

Jenis Volume Nilai


Jenis Produk
lada (Ton) (1000 US$)
Pepper neither crushed nor ground green Hijau 999 2.591
Pepper neither crushed nor ground white Putih 0 0
White pepper neither crushed nor ground Putih 1.251 2.870
Other white pepper neither crushed nor ground Putih 33.004 114.658
Pepper crushed or ground Bubuk 75 367
Pepper neither crushed nor ground black Hitam 0 0
Black pepper neither crushed nor ground Hitam 2.137 4.617
Other black pepper neither crushed nor ground Hitam 27.545 95.985
Sumber: Statistik Perdagangan Luar Negeri: Ekspor Vol. I (BPS, 2002)

Negara tujuan ekspor lada putih terdiri dari lima negara yaitu Singapura,
USA, Belanda, Jerman dan Jepang. Di smaping itu terdapat sejumlah negara
lain. Kalau diperhatikan keadaan pada tahun 2000, volume ekspor lad aputih
terbesar adalah ke Singapura (17.519 ton), kemudian AS (4.573 ton) dan yang
ketiga adalah negara lain-lain yang secara agregat mendapai 6.088 ton.
Perkembangan volume ekspor selama periode 1995-2000 kecualik\ ke Jerman,
menunjukkan kenaikan yang signifikan. Kenaikan volume ekspor terbesar adalah
ke negara lain-lain yang mencapai 71,0%/tahun, yang pada umumnya
dikategorikan sebagai negara tujuan baru atau non-tradisional. Peningkatan
ekspor terbesar kedua adalah ke AS dengan pertumbuhan 42,88%/tahun.
Volume ekspor lad aputih, walaupun hingga saat ini masih terbesar ke
Singapura, laju peningkatannya adalah 18,07%/tahun, yang lebih kecil bila
dibandingkan ke AS dan Jepang (Tabel 4.18).

Tabel 4.18. Perkembangan volume ekspor lada putih berdasarkan negara


tujuan, 1995-2000 (ton)

Negara
1995 1996 1997 1998 1999 2000 R (%)
Tujuan
Singapura 9.389 9.247 12.658 9.267 15.907 17.519 18,07
AS 1.150 2.440 2.515 2.565 2.139 4.573 42,88
Belanda 1.002 610 917 1.269 1.859 2.887 30,27
Jerman 1.422 969 1.610 1.068 498 743 -27,17
Jepang 770 935 1.063 605 852 1.194 14,65
Lain-lain 1.202 872 1.751 1.403 1.869 6.088 71,00
Jumlah 14.935 16.073 20.514 16.257 23.119 33.004 19,89
Sumber: Trade Statistics (FAO, 2002), diolah
Untuk lada hitam, negara tujuan ekspornya sama dengan lada putih, yang
berbeda adalah dalam besaran volume dan tingkat perkembangannya ke negara
masing-masing. Tujuan utama ekspor lada hitam masih ke Singapura dengan
volume berkisar 6.000-13.739 ton pada periode 1995-2000 dengan kenaikan
rata-rata 12,40%/tahun. Negara tujuan kedua lada hitam adalah ke AS dengan
volume terbesar 4.764 ton pada tahun 1998, tingkat pertumbuhan ekspor ke AS
adalah 143,9%/tahun. Volume ekspor di bawah AS adalah ke Belanda dengan
pertumbuhan 80,5%/tahun. Ekspor ke Jerman dan Jepang masih di bawah 700
ton/tahun, namun pertumbuhannya dalam periode 1995-2000 cukup pesat.
Ekspor ke negara lain-lain ini adalah 101%/tahun (Tabel 4.19)

Tabel 4.19. Perkembangan volume ekspor lada hitam berdasarkan negara


tujuan, 1995-2000 (ton)

Negara Trend
1995 1996 1997 1998 1999 2000
Tujuan (%/th)
Singapura 13.543 11.291 8.153 9.428 6.068 13.739 12,40
AS 1.545 1.549 553 4.764 2.376 4.096 143,94
Belanda 1.120 682 241 899 896 2.990 80,52
Jerman 1.092 227 128 630 206 644 97,35
Jepang 128 102 190 626 341 669 84,80
Lain-lain 4.125 3.394 993 3.601 1.069 5.407 101,93
Jumlah 21.548 17.245 10.258 19.948 10.956 27.545 28,07
Sumber: Trade Statistics (FAO, 2002), diolah

Produksi lada Indonesia disamping sebagian besar merupakan komoditas


ekspor, tetapi juga dibutuhkan di dalam negeri untuk konsumsi domestik.
Penggunaan lada untuk konsumsi domestik menurut data IPC pada tahun 1995
adalah 11.000 ton. Kenaikan konsumsi domestik sampai tahun 2000 diestimasi
sebesar 250 ton/tahun, sehingga kebutuhan konsumsi domestik pada tahun
2000 adalah 12.250 ton yang mencakup penggunaan untuk industri makanan
dan industri parmasi. Salah satu karakteristik khas dari komoditas lada adalah
tidak memiliki substitusi dalam penggunaannya.

Negara Pesaing Indonesia

Produksi lada dunia dalam periode 1995-2001 cukup fluktuatif yakni


berkisar antara 208.635 ton pad atahun 1997 dan 286.438 ton pada tahun 2001,
atau rata-rata 250.139 ton/tahun (Tabel 4.20). Produksi lada dunia berasal dari
sembilan negara penghasil yang tergolong besar, yaitu Brazil, India, Indonesia,
Malaysia, Sri Lanka dan Thailand. Kelima negara ini tergabung ke dalam
Internaitonal Pepper Community (IPC), sedangkan tiga negara penghasil lainnya
di luar IPC adalah China, Madagaskar dan Vietnam. Di samping kesembilan
negara tersebut,masih terdapat sejumlah negara lain penghasil lada dengan
tingkat produksi yang jauh lebih kecil.

Tabel 4.20. Negara pesaing Indonesia dalam produksi lada, 1995-2000 (ton)

Rata-
Negara 1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001
rata
Brazil 33.852 32.318 22.359 23.050 27.761 38.435 47.652 32.205
India 60.700 61.580 56.600 57.000 76.000 8.000 58.000 61.040
Indonesia 58.955 52.168 46.600 64.500 64.600 65.100 57.000 58.418
Sri Lanka 15.768 16.276 18.171 19.087 21.000 21.000 21.000 18.900
Thailand 16.000 16.890 17.270 17.810 17.270 17.000 17.000 17.034
China 8.000 7.000 5.000 5.000 7.000 9.000 9.000 7.143
Madagaskar 12.135 14.150 15.150 17.150 18.160 17.665 18.665 16.155
Vietnam 2.000 2.100 1.500 1.700 2.000 1.700 1.700 1.814
9.300 10.500 13.000 15.900 31.000 39.200 42.000 22.986
Dunia 230.279 229.722 208.635 235.482 278.972 281.444 286.438 250.139
Sumber: Production Statistics (FAC, 2002), diolah

Apabila dilihat dari besaran produksi, negara pesaing utama Indonesia


adalah India, Brazil dan Vietnam. India merupakan penghasil terbesar, namun
demikian dalam tujuh tahun terakhir mengalami kecenderungan penurunan
produksi. Sebaliknya Brazil dan Vietnam mengalami kenaikan produksi yang
besar. Brazil, walaupun mengalami penurunan produksi pada tahun 1995-1997,
sejak tahun 1998 produksinya kembali meningkat hingga mencapai 47.652 ton
pada tahun 2001. Vietnam sebagai negara pendatang baru, produksinya pada
tahun 1995 hanya 9.300 ton, tetapi kemudian terus meningkat dan pad atahun
2001 berhasil mencapai 42.000 ton, yang hampir menyamai produksi Brazil. Dua
negara pesaing lainnya yang merupakan ancaman bagi Indonesia adalah
Malaysia dan China, yang keduanya produksinya masih jauh di bawah Indonesia
tetapi peningkatan produksinya terus berlanjut secara konsisten. Negara-negara
yang dapat digolongkan ke dalam bukan pesaing utama Indonesia adalah
Thailand, Sri Lanka dan Madagaskar, baik dilihat dari besaran produksi maupun
perkembangannya. Madagaskar merupakan negara penghasil lada terkecil,
sedangkan India penghasil terbesar, tetapi trend perkembangan sama-sama
menurun.

4.3.2. Pertanaman Lada

Luas areal tanaman lada di Indonesia pada tahun 2001 adalah 136.460
ha. Dari luas tersebut sekitar 52.000 ha berada di Propinsi Bangka-Belitung,
45.000 ha di Propinsi Lampung dan sisanya tersebar di propinsi-propinsi
Sumatera Selatan, Kalimantan Barat dan Kalimantan Timur. Apabila dilihat dari
pola pengusahannya, hampir seluruhnya (99,8%) diusahakan secara
perkebunan rakyat, hanya 0,02% areal yang dikelola swasta besar dan tidak ada
yang dikelola perkebunan negara.

Dalam mengidentifikasi luas areal tanaman khususnya tanaman yang


berumur tahunan seperti tanaman perkebunan, BPS selalu memilahnya ke
dalam tiga kategori yaitu tanaman belum menghasilkan (TBM), tanaman
menghasilkan (TM) dan tanaman yang sudah tua atau tidak menghasilkan
(TTM). Hal itu antara lain dimaksudkan untuk menghindari kekeliruan dalam
menghitung produksi dan produktivitas. Dari luasan lada di Indonesia saat ini,
komposisinya terdiri atas 26,8% TBM, 62,7% TM dan 10,5% TTM. Produktivitas
yang dicapai dari tanaman menghasilkan masih rendah yakni hanya 7,27 kw/ha
sehingga total produksi nasional baru mencapai 62.242 ton pada tahun 2001.

Dalam kurun waktu 10 tahun (1990 – 2000) rata-rata proporsi lada TM di


Bangka Belitung hanya setengah dari total areal pertanaman lada, sisanya
terbagi dua yakni berupa TBM (36,2 %) dan TTM (13,4 %) (Tabel 4.21).

Tabel 4.21. Keragaan Pertanaman Lada di Lokasi Bangka Belitung, Rata-rata


selama periode 1990 - 2000.

Peubah TBM TM TTM Jumlah


Maksimum (ha) 19024 25337 6834 48919
Minimum (ha) 10921 18124 4183 33228
Rata-rata (ha) 14979.4 20849.2 5550.3 41378.8
Proporsi (%) 36.20 50.39 13.41 100
CV (%) 15.69 10.47 15.17 10.94
Trend 0.72 2.38 0.16 -

Dilihat dari komposisi kondisi pertanaman tersebut, terutama dengan


masih adanya TBM yang proporsinya lebih tinggi dibandingkan TTM,
mencerminkan bahwa masa depan pertanaman lada di Bangka Belitung cukup
prospektif. Peluang produksi lada ke depan akan dihasilkan dari TBM ini, artinya
penurunan produksi yang diakibatkan adanya TTM akan dapat ditutup dengan
produksi yang akan dihasilkan TBM yang kebetulan proporsinya TBM relatif lebih
tinggi dari pada TTM.

Jika ditinjau dari segi pertumbuhannya, dalam kurun waktu 1990 - 2000
menunjukkan keragaan yang beragam antara kondisi pertanaman TBM, TM dan
TTM. Pada Tabel 4.18 ditunjukkan bahwa laju pertumbuhan TBM relatif lebih
lambat dibanding laju pertumbuhan TM tetapi lebih cepat dibandingkan TTM.
Sedangkan laju pertumbuhan TM lebih pesat dibanding TBM dan TTM. Kondisi
demikian mengindikasikan bahwa perkembangan lada di Bangka Belitung masih
memiliki peluang pengembangan yang relatif baik.

Tabel 4.21. Perkembangan Luas Areal Lada di Bangka Belitung,Periode 1990 – 2000
(ha)
Tahun Tanaman Belum Tanaman Tanaman Tidak
Menghasilkan Menghasilkan Menghasilkan
1990 19024 21637 6834
1991 16091 18550 6417
1992 15755 19792 5701
1993 13900 20962 4388
1994 13830 20301 5282
1995 12595 19748 5976
1996 10921 18124 4183
1997 14500 19704 4965
1998 14595 21152 5310
1999 15120 25337 5554
2000 18442 24034 6443
Trend 0.72 2.38 0.16

Laju perkembangan dari ketiga kondisi pertanaman lada di Bangka itu


secara grafis ditampilkan dalam Gambar 34. Dari Gambar 34 ditunjukkan adanya
perkembangan relatif sama antara TM, TBM dan TTM. Titik awal perkembangan
mulai tahun 1996. Sampai tahun 1999 keadaan TM menunjukkan
kecenderungan yang terus meningkat dan kemudian menurun cepat dari 1999
ke 2000. Sementara itu TBM perkembangannya meningkat tajam dari 1996 ke
1997 kemudian meladai sampai 1999 dan mulai 1999 sampai 2000 terjadi
peningkatan relatif cepat.

Kondisi demikian diduga terkait dengan kondisi ekonomi nasional, dimana


pada saat terjadi krisis ekonomi nasional (1997) harga komoditas ekspor
mengalami peningkatan relatif sebagai dampai menguatnya dolar yang memicu
petani untuk bertanam lada lebih banyak lagi. Lahan yang tadinya ditanami karet
diganti dengan lada. Ketika harga lada relatif rendah karena telah terjadi
pemulihan ekonomi banyak petani membiarkan tanamannya dan tidak ada
perluasan tanaman sehingga tampak lajunya melandai.

Pada TTM karena tua atau rusak, meski semenjak tahun 1996
kecenderungannya menunjukkan peningkatan akan tetapi lajunya relatif lambat.
Secara keseluruhan kondisi seperti di atas mencerminkan posisi lada masih
memberikan peluang berkembang di daerah Bangka Belitung ini, karena
menurunnya TM dan meningkatnya TTM laju pertumbuhaannya masih bisa
ditutup dengan laju peningkatan TBM yang relatif cepat. Status TBM pada lada
akan berubah menjadi TM setelah berumur minimal 2,5 tahun.
30000

25000

20000

15000

10000

5000

0
1990 1991 1992 1993 1994 1995 1996 1997 1998 1999 2000
TBM 19024 16091 15755 13900 13830 12595 10921 14500 14595 15120 18442
TM 21637 18550 19792 20962 20301 19748 18124 19704 21152 25337 24034
TTM 6834 6417 5701 4388 5282 5976 4183 4965 5310 5554 6443

Gambar 34. Perkembangan Areal Tanam lada di Bangka Belitung Periode 1990
- 2000

4.3.3. Aspek Sosial Ekonomi Lada

Untuk pengembangan produksi lada, berbagai upaya telah dilakukan


pemerintah antara lain adalah melalui program Unit Pelaksana Proyek (UPP),
swadaya berbantuan, Kredit Modal Kerja Permanen (KMKP), Peremajaan
Rehanilitasi dan Perluasan Tanaman Ekspor (PRPTE), Rural Credit Project
(RCP), dan Program Paket Intensifikasi Lada (PIL). Program-program
pengembangan tersebut berjalan antara tahun 1978-1985 dan tidak dilanjutkan
karena tidak tersedianya dana maupun tingkat kemacetan kredit yang tinggi.
Dengan demikian, sejak tahun 1986 sudah tidak ada lagi program khusus
pengembangan produksi lada. Program-program pengembangan yang telah
dilakukan perlu dievaluasi agar dapat disempurnakan untuk mendapatkan pola
pengembangan baru dengan risiko kegagalan lebih kecil.

Program PRPTE pernah dilakukan di Sumatera Selatan dan Kalimantan


Barat. Di Sumatera Selatan, khususnya di Kabupaten Bangka, PRPTE lada
dilakukan pada tahun anggaran 1980/1981 hingga 1983/1984, sedangkan di
Kalimantan Barat, dilaksanakan pada tahun anggaran 1980/1981 hinggza
1982/1983. PRPTE memberikan kredit investasi paket lengkap baik untuk
peremajaan, rehabilitasi, maupun perluasan kebun lada yang pengelolaan kredit
serta pem,binaan petanainya diserahkan pada Dinas Perkebunan setempat.
Petani wajib mengembalikan kredit setelah tanaman lada mulai berproduksi yaitu
pad atahun ke tiga dan seterusnya sampai akhir umur ekonomis tanaman lada.
Di Sumatera Selatan, telah berhasil direalisasi pola PRPTE lada seluas
2.500 ha meliputi 2.228 KK. Selanjutnya, di Kalimantan Barat telah direalisir
PRPTE seluas 156,5 ha meliputi 209 KK. Program RCP pernah diterapkan di
Kabupaten Belitung pada tahun 1981/1982. Pada dasranya pola RCP ini hampir
sama dengan PRPTE yaitu memberikan krdeit investasi secara lengkap, namun
berbeda dalam sumber dana, dan pengelolaannya langsung ditangani oleh pihak
perbankan. Program KMKP hampir sama dengan RCP, namun lebih ditujukan
untuk melayani kredit bagi petani lada berskala luas.

Dalam pelaksanaannya, paket investasi lada baik PRPTE, RCP, maupun


KMKP, kurang berjalan mulus. Hal ini terlihat dari tingginya jumlah kredit macet
yang berkisar 62-83% dari total kredit yang disalurkan. Salah satu kelemahan
dari ketiga pola ini adalah karena merupakan pola kredit investasi yang
jumlahnya cukup besar, di mana resiko gangguan cash-flow bagi petani akibat
turunnya harga lada sangat tinggi. Bila harga lada turun 20% dari harga
perkiraan, maka akan menghasilkan cash-flow negatif. Di lain pihak, dari analisis
perkembangan harga bulanan lada, diketahui koefisien variasi harga lada
mencapai 60%. Oleh karena itu, risiko kemacetan kredit investasi paket lengkap
akan tinggi apabila produk yang dihasilkan hanya berupa lada asalan yang
harganya sangat berfluktuasi.

Beberapa faktor lainnya yang merupakan kelemahan PRPTE lada antara


lain adalah kurangnya koordinasi antar instansi terkait, persyaratan areal minimal
(satu hektar) yang terlalu luas, lemahnya seleksi petani, lemahnya manajemen
proyek, lemahnya sistem pemasaran, pengawasan, dan penagihan kredit serta
kurangnya komunikasi antar petugas dengan para petani. Kurnagnya koordinasi
antar instansi terkait antara lain terlihat dari kesalahan perhitungan dalam
memperkirakan umur ekonomis tanaman lada. Kesalahan penetapan umur
ekonomis dan jangka waktu pengembalian kredit akhirnya menimbulkan
kemacetan kredit. Program kredit investasi sebetulnya masih sangat dibutuhkan
para petani. Risiko kemacetan kredit melalui program ini masih mungkin
diperkecil apabila menggunakan pola kemitraan dengan syarat produk lada yang
dihasilkan bermutu tinggi sehingga fluktuasi harga dapat ditekan hingga
seminimal mungkin.

Untuk meningkatkan intensifikasi lada, program PIL antara lain pernah


dilaksanakan di Kalimantan Barat. Program ini bertujuan untuk membantu petani
dalam pengadaan sarana produksi untuk pemeliharaan tanaman lada, agar
produktivitas kebun dan mutu hasil lada dapat meningkat yang selanjutnya akan
meningkatkan pendapatan petani. Pola PIL telah dilaksanakan pada tahun
anggaran 1978/1979 sampai dengan 1981/1982. Pada pola ini para petani lada
yang memenuhi syarat sebagai peserta mendapat bantuan paket kredit berupa
pupuk, obat-obatan, dan biaya hidup yang jumlahnya ditentukan atas dasar
rekomendasi dari Dinas Perkebunan setempat. Program ini dapat dikatakan
mengalami kegagalan bila dilihat dari banyaknya tunggakan kredit yang
mencapai 51%. Peluang keberhasilan PIL sebenarnya cukup besar, bila nilai
paket tidak terlalu tinggi disesuaikan dengan kemampuan cash-flow petani dan
jika paket diterima petani tepat jumlah, tepat jenis dan tepat waktu.

Selain kredit program pengembangan lada yang bersumber dari


pemerintah, di kalangan petani terdapat berbagai pola kredit informal untuk
mencukupi modal usahatani. Masalah terberat dalam pemeliharaan kebun
adalah masalah modal untuk pembelian pupuk karena lada memerlukan dosis
pupuk tinggi. Pengurangan dosis pupuk akan mengakibatkan penurunan
produksi secara drastis. Untuk mendapatkan pupuk sebagian petani biasa
berhutang kepada pedagang (bos) atau kaki-tangannya. Lama pinjaman sekitar
smebilan bulan, yakni dari saat memupuk hingga dibayar waktu panen dengan
tingkat bunga 5-7%/bulan. Pola kredit pupuk yang telah berkembang di
masyarakat ini berjalan lancar, sehingga petani dapat memupuk tepat jumlah dan
waktu. Walaupun demikian, kelemahannya adalah bahwa petani menanggung
beban bunga tinggi.

Strategi yang perlu diterapkan untuk meningkatkan kinerja


pengembangan produksi lada adalah mencari solusi untuk mengatasi masalah
modal, baik modal investasi, modal kerja, maupun kurang aksesnya ke sumber
modal. Fasilitas modal yang dibutuhkan petani belum dapat dipenuhi secara
optimal karena beberapa hambatan seperti makin terbatasnya dana pemerintah,
masalah birokrasi dan lemahnya kemampuan organisasi petani. Pola
pengembangan lada yang diusulkan adalah pola kredit investasi dan sarana
produksi yang terkoordinasi dengan memabfaatkan skim kredit yang sudah ada.
Pada saat yang sama diupayakan meningkatkan efektivitas kelembagaan petani
melalui penyempurnaan mekanisme perkreditan dan implementasi pola
kemitraan.

4.3.4. Lada Bangka-Belitung

Tanah Pulau Bangka sangat cocok untuk tanaman-tanaman perdagangan


seperti Karet, Sahang (Lada), Kelapa, Kelapa Sawit dimana sebagian besar hasil
tanaman ini diperdagangkan keluar daerah atau keluar negeri yang merupakan
sumber penghidupan petani yang sangat berarti, sehingga mendorong mereka
untuk meningkatkan usaha dalam bidang pertanian ini. Selain itu komoditas lain
yang cukup mempengaruhi dalam perolehan pendapatan adalah penambangan
timah. Penggalian timah terdapat dimana-mana, di seluruh daratan pulau sampai
di perairan lepas pantai, sehingga pekerjaan sebagai buruh bukan lagi
merupakan masyarakat kota, tetapi juga dilakukan oleh penduduk di desa-desa
dan di daerah pesisir.

Dalam masyarakat Bangka, semangat dan kegiatan gotong-royong masih


terpelihara dan tumbuh dengan baik. Motto “Sepintu Sedulang” yang terdapat
pada lambang Pemerintah Kabupaten Bangka, memberikan makna yang
mencerminkan segi kehidupan sosial masyarakat Bangka yang berdasarkan
semangat gotong-royong itu. Didalam kemajemukan masyakat dan
terpeliharanya semangat kegotong-royongan telah menumbuhkan rasa
persatuan dan kesatuan yang mendalam. Sepanjang perjalannya daerah ini tidak
pernah terdapat tindakan-tindakan yang mengarah pada SARA meskipun
diketahui disamping banyak suku-suku, juga terdapat berbagai pemeluk agama.

Lada sudah melekat dengan kehidupan masyarakat Bangka-Belitung ini.


Sentuhan investasi yang baik akan dapat merangsang perkembangan ekonomi
masyarakat Bangka. Oleh karena itu berikut ini akan disajikan beberapa
informasi yang berkaitan dengan investasi lada yang dapat dijadikan
brand/merek dari provinsi Bangka-Belitung ini.

Investasi tanaman lada dapat dilakukan secara bertahap disesuaikan


dengan kemampuan modal atau mengikuti siklus manajemen rotasi replanting
tanaman lada. Jika investasi dilakukan sekaligus (seluas 300 Ha), perusahaan
akan mengalami masa idle produksi ketika tanaman lada memasuki peridoe
TBM (Tanaman Belum Menghasilkan) pada saat dilakukan replanting. Investasi
tanaman lada seluas 300 Ha diperkirakan sebesar Rp 6 162 750 000 disajikan
pada Tabel 4.22 berikut, meliputi biaya tenaga kerja, bahan-bahan seperti pupuk
dan stek lada, serta peralatan perkebunan .

Tabel 4.22. Perkiraan Modal Investasi Tanaman Lada Seluas 300 Hektar

HARGA JUMLAH
NO KETERANGAN SATUAN VOLUME
(Rp) (Rp)
1 Tenaga Kerja Tanaman
Persiapan Tanaman HOK 10,000 63000 630,000,000
Penanaman HOK 10,000 6000 60,000,000
Pemeliharaan TBM HOK 10,000 21000 210,000,000
JUMLAH A 900,000,000
2 Bahan-Bahan
Sandaran buah 5,000 750000 3,750,000,000
Benih Pupuk Hijau kg 10,000 3000 30,000,000
Stek Lada buah 1,500 750000 1,125,000,000
Pupuk
Urea kg 1,200 60000 72,000,000
TSP kg 1,600 22500 36,000,000
KCl kg 3,500 22500 78,750,000
Pupuk Kandang kg 100 750000 75,000,000
Insektisida kg 50,000 750 37,500,000
JUMLAH B 5,204,250,000
3 Peralatan Tanaman
Cangkul unit 25,000 300 7,500,000
Parang unit 20,000 300 6,000,000
Golok unit 20,000 300 6,000,000
Gunting unit 25,000 300 7,500,000
Sprayer unit 200,000 150 30,000,000
Tangga unit 5,000 300 1,500,000
JUMLAH C 58,500,000
TOTAL 6,162,750,000

Selain biaya-biaya tersebut, untuk mengolah lada basah menjadi lada


kering diperlukan biaya pengolahan lada putih yang meliputi perendaman,
penjemuran dan sortasi. Biaya tersebut disajikan pada Tabel 4.23 berikut.

Tabel 4.23. Biaya Pengolahan Lada Seluas 300 Ha

HARGA JUMLAH
NO KETERANGAN SATUAN VOLUME
(Rp) (Rp)
1 Perontokan HOK 10,000 3600 36,000,000
2 Pengeringan HOK 10,000 3600 36,000,000
3 Sortasi HOK 10,000 10800 108,000,000
4 Karung Goni buah 1,500 7500 11,250,000
5 Perlengkapan Pengeringan buah 500,000 300 150,000,000
6 Operasional Mesin Open Rp/bulan 2,500,000 12 30,000,000
7 Operasional Mesin Sortasi Rp/bulan 2,500,000 12 30,000,000
8 Lain-Lain (2.5 persen) 10,031,250
TOTAL 411,281,250

Berdasarkan di atas maka beberapa hal yang dapat dipreoleh kesimpulan


bahwa (1) perkebunan lada layak dikembangkan dalam skala komersial karena
mempunyai potensi kelayakan investasi yang sangat baik, (2) Standart teknologi
budidaya lada yang relatif belum tersosialisasi, oleh karena itu dapat diatasi
dengan melakukan kerjasama dengan lembaga penelitian terkait, dan (3) Proyek
pengembangan perkebunan lada selayaknya dilakukan dengan melakukan mitra
dengan masyarakat yang telah mempunyai budaya dalam bercocok tanam lada,
sehingga teknik dan sosial ekonomi lada di Belitung dapat lebih berkembang
dengan cepat.

Untuk memeperoleh nilai tambah bagi masyarakat Bangka-Belitung ini


perlu didukung oleh teknologi industri hilir. Salah satu yang dapat dikembangkan
adalah industri tepung lada dimana akan dihasilkan tepung yang kemudian di
packaging untuk konsumsi langsung oleh rumah tangga, restoran dan lainnya.
Proses produksi tepung lada ini dapat dilakukan melalui sistem usaha kecil -
menengah (UKM) ataupun dikembangkan dalam skala rumah tangga. Mesin
penepung yang digunakan dalam proses produksi dapat menggunakan mesin
berkapasitas 400 - 500 kg/jam bersumber tenaga Elektro Motor 1 HP 220 Volt.
Kebutuhan investasi pada proses produksi tepung lada secara lengkap disajikan
pada Tabel 4.24 berikut . Biaya yang diperlukan untuk investasi tanah,
bangunan, mesin dan kendaraan diperkirakan sebesar Rp 1 084 962 500,-.

Tabel 4.24. Kebutuhan Investasi Proses Produksi Tepung Lada

HARGA JUMLAH
NO KETERANGAN SATUAN VOLUME
(Rp) (Rp)
1 Bangunan Kantor meter 50 750,000 37,500,000
2 Bangunan Pabrik meter 500 750,000 375,000,000
3 Mesin Penepung unit 2 50,000,000 100,000,000
4 Mesin Penyaring unit 2 50,000,000 100,000,000
5 Mesin Pengepakan unit 2 5,000,000 10,000,000
6 Open Pengering unit 1 100,000,000 100,000,000
7 Kendaraan Roda 4 unit 2 150,000,000 300,000,000
8 Kendaraan Roda 2 unit 2 15,000,000 30,000,000
9 Tanah Ha 2 3,000,000 6,000,000
10 Biaya Lain (2.5 persen) 26,462,500
JUMLAH 1,084,962,500

Proses produksi dilakukan menggunakan bahan baku lada kering yang di


beli dari petani dengan asumsi kapasitas produksi hanya 300 ton per tahun atau
sekitar 1 ton per hari. Proses produksi menggunakan kemasan, bahan penolong
dan biaya bahan bakar. Tenaga kerja yang digunakan dalam mengelola usaha
kecil tepung lada putih ini menggunakan sistem organisasi sederhana.
Kebutuhan tenaga dan bahan dalam proses produksi tepung lada putih disajikan
pada Tabel 4.25 berikut.

Tabel 4.25. Kebutuhan Operasional Proses Produksi Tepung Lada

HARGA JUMLAH
NO KETERANGAN SATUAN VOLUME
(Rp) (Rp)
1 Biaya Personalia
Pimpinan/Manajer Rp/Tahun 26 4,000,000 104,000,000
Administrasi Rp/Tahun 65 500,000 32,500,000
Bulanan Rp/Tahun 130 300,000 39,000,000
Borongan Rp/Tahun 1440 300,000 432,000,000
Jumlah 607,500,000
2 Biaya Operasional
Bahan Baku Lada
Rp/Tahun 300,000 43,360 13,008,000,000
Kering
Botol Kemasan Rp/Tahun 1,350,000 750 1,012,500,000
Bahan Baku Penolong Rp/Tahun - - 650,400,000
Bahan Bakar Rp/Tahun 36,000 450 16,200,000
Biaya Lain (2.5 persen) Rp/Tahun 367,177,500
Jumlah 15,054,277,500
TOTAL 15,661,777,500

BAB V

DAFTAR ACUAN

Blakeney, M., 2001: Geographical indications and TRIPS. Occasional


paper no. 8. Quaker United Nations Office, Geneva.
Escudero, S., 2001: International protection of geographical indications
and developing countries. TRADE working papers no. 10, South Centre,
Geneva. Available at: http://www.southcentre.org
Kampf, R. 2003. Administration of a regional registration system for
geographical indications: How to specify and to control geographical
indications? WII-10 Asia and The Pacffic Regional ~;ymposium on the
Protection q1'Geographical Indications, New Delhi, November 18 to 20, 2003,
13 p.

Mawardi, S,. 2004 : Peranan Perlindungan Indikasi Geografis dalam


pemasaran global. Seminar Hak Kekayaan Intelektual. Surabaya 29-30 April
2004.

OECD, 2000: Appellations of origin and geographical indications in


OECD Member Countries: economic and legal implications, Working Party on
Agricultural Policies and Markets of the Committee for Agriculture Joint
Working Party of the Committee for Agriculture and the Trade Committee,
COM/AGR/APM/TD/WP (2000)15/FINAL.
Ozaman, N. 2003. Protection of Geographical Indications - Food
Products – The Example of Champagne Industry, France. WIPO Asia and
The Pacific Regional Symposium on the Protection of Geographical
Indications, New Delhi, November 18 to 20, 2003, 12 p.

Schechter, Frank Isaac, 1925: The historical foundations of the law


relating to trademarks. New York: Columbia University Press.

BAB VI.

KESIMPULAN

Dalam Studi pustaka dan Lapang yang dilaksanakan oleh Direktorat


Kerjasama Industri dan Perdagangan Internasional tentang Indikasi Geografis
untuk Produk Pertanian di tahun 2004 diperoleh beberapa kesimpulan sebagai
berikut :

1. Perlindungan produk atas Indikasi Geografis telah diaplikasikan di


berbagal negara dalam rangka mendapatkan manfaat ekonomi dan politik.

2. Banyak negara di kawasan Asia telah mempersiapkan atau mulai


mengaplikasikan perlindungan produk atas Indikasi Geografis dalam
rangka meningkatkan daya saing komoditas di pasar global.

3. Indonesia memiliki banyak produk yang mutu dan reputasinya


terkait erat dengan lingkungan geografis, karena itu Indonesia perlu
segera mengaplikasikan perlindungan Indikasi Geografis, yang akan
sangat bermanfaat untuk pemasaran produk baik di tingkat nasional,
regional, maupun global.

4. Komoditas Indonesia yang memiliki reputasi strategis juga


merupakan komoditas rakyat, pengangkatan citra komoditas tersebut
sekaligus juga akan meningkatkan kesejahteraan rakyat

5. Upaya pengembangan indikasi geografis juga harus segera


dilaksanakan agar indikasi geografis Indonesia tidak berubah menjadi
generik yang akan merupakan kehilangan bagi seluruh bangsa Indonesia.

6. Penelitian lanjutan akan dipusatkan ke beberapa komoditas


indikasi geografis non pertanian seperti batik, ukir-ukiran, tenun, songket.

Jakarta, 30 Nopember 2004


Direktorat Kerjasama Multilateral

Anda mungkin juga menyukai