Anda di halaman 1dari 10

DAMPAK PENERAPAN FRACTIONAL RESERVE SYSTEM

PADA PERBANKAN SYARIAH


Oleh: Ardiansyah Rakhmadi

---------------------------------------------

Pada awal mulanya di masa Romawi dan Yunani Kuno, sistem perbankan yang berlaku adalah
sistem titipan. Artinya, Bank tidak pernah menyalurkan dana nasabah yang disimpan di Bank.
Sehingga kapanpun nasabah menghendaki, maka dengan mudah nasabah dapat mengambil
dananya. Demikian pula bagi bank. Bank sama sekali tidak terpapar risiko likuiditas, karena bank
tidak menyalurkan dana nasabah penabung. Sistem seperti ini, dikenal dengan istilah full reserve
system atau sistem pencadangan penuh.

Jesus Huerta De Soto dalam bukunya Money, Bank Credit and Economic Cycles, mengutip sebuah
dokumen kuno yang menyebutkan bahwa pada masa Yunani dan Romawi kuno, tindakan
menyalurkan dana tabungan nasabah oleh bank adalah tindakan yang ilegal yang dikategorikan
sebagai perbuatan fraud dan pelakunya mendapatkan hukuman dari pengadilan.

Motif apa (pada masa Yunani & Romawi kuno) yang membuat bank menyalurkan dana tabungan
nasabahnya? Mengutip pernyataan De Soto dalam bukunya, jawabannya adalah karena rasa tamak.
Saat itu, Bank melihat bahwa ternyata dana yang ditabung oleh para nasabahnya begitu banyak dan
tidak setiap hari para nasabah tersebut mengambil uang mereka. Kalaupun ada yang ditarik, jumlah
jumlahnya tidak besar. Akhirnya karena tergiur untung yang besar, secara diam-diam bank
menggunakan dana tabungan nasabah untuk dipinjamkan kepada orang lain dengan sistem bunga.
Untuk mengamankan sisi likuiditasnya, bank hanya menggunakan/ meminjamkan sebagian dari
dana tabungan nasabahnya. Sebagian yang lain digunakan sebagai cadangan apabila ada nasabah
yang akan mengambil dananya.

Singkat cerita, perbuatan yang dulunya ilegal bahkan dikategorikan sebagai perbuatan fraud oleh
pengadillan di masa Yunani dan Romawi kuno, akhirnya kemudian dilegalkan. Sejak saat itulah
sistem full reserve yang awalnya berlaku dalam perbankan berubah menjadi sistem fractional
reserve atau sistem dengan pencadangan sebagian. Di Indonesia, pemberlakuan sistem fractional
reserve, ditandai dengan adanya kebijakan GWM (Giro Wajib Minimum).

GWM adalah simpanan minimum (rupiah/valas) yang wajib dipelihara oleh bank dalam rekening
giro di BI yang besarannya ditetapkan dalam rasio terhadap dana pihak ketiga (DPK). Besaran
GWM pada November 2015 adalah rupiah 8,0% dan valas 8,0% (wartaekonomi, 2015).

Apa dampak dari penerapan fractional reserve dalam sistem perbankan?

Ada beberapa dampak yang muncul ketika bank menerapkan sistem fractional reserve.
Pertama, sistem fractional reserve menyebabkan adanya pengkaburan makna menabung dan
memunculkan ketidakseimbangan pada posisi keuangan bank.

Menabung adalah menyimpan uang untuk tidak dikonsumsi pada jangka waktu tertentu untuk
suatu keperluan dimasa yang akan datang. Keperluan tersebut bisa bersifat konsumtif ataupun
produktif dalam bentuk investasi atau modal kerja. Ketika bank menerapkan sistem fractional
reserve, berarti bank menggunakan sebagian dana tabungan nasabah untuk dipinjamkan. Bagi
nasabah, merelakan uangnya yang ditabung di bank untuk dipinjamkan kepada pihak lain, berarti
menyetujui adanya risiko bahwa terdapat kemungkinan dana yang ditabungkan tidak dapat ditarik
kembali. Risiko seperti ini sebenarnya hanya akan terjadi jika nasabah menginvestasikan uangnya
ke sektor usaha, bukan ketika menabung.

Kedua, penerapan sistem fractional reserve mengakibatkan adanya ketidakseimbangan dalam


neraca keuangan bank, antara sisi liabilitas dengan sisi aset. Dari sisi liabilitas, bank memiliki
kewajiban untuk mengembalikan dana nasabah kapanpun mereka ingin mengambilnya. Sementara
itu disisi aset, jangka waktu pengembalian uang yang dipinjam oleh nasabah peminjam bersifat
jangka panjang.

Dari ketidakseimbangan ini muncullah risiko ketidakmampuan bank untuk mengembalikan dana
tabungan jika terjadi penarikan dana secara besar-besaran dan bersamaan oleh para nasabah
(rush). Risiko ketidakmampuan bank untuk membayar dana tabungan akibat peminjaman dana
tabungan kepada nasabah lain ini disebut sebagai risiko likuiditas.

Salah satu strategi umum yang dilakukan oleh bank untuk mengelola risiko likuiditas adalah
dengan penambahan jumlah modal dan menerapkan regulasi yang sangat ketat dengan prinsip
more and more atau more of the same. Walaupun tidak ada yang keliru dengan prinsip tersebut
namun, terus menerus menambah modal dan memperketat regulasi yang ada, tidaklah
menyelesaikan problematika yang sesungguhnya di dalam perbankan (Garcia, Cibils dan Maino,
2004).

Ketiga, sistem fractional reserve menyebabkan terjadinya proses money creation dalam perbankan.
Apa itu money creation?

Apa itu money creation? Untuk mudahnya kita lihat ilustrasi berikut:

Seorang nasabah, sebut saja A, menabung di Bank senilai 1 juta rupiah. Maka bank akan mencatat
bahwa A memiliki dana tabungan senilai 1 juta rupiah.

Bagi bank, dana si A, merupakan sumber dana yang dapat disalurkan kembali dalam bentuk
pinjaman. Dana nasabah yang dapat disalurkan kembali, dicatat dalam pos keuangan bank yang
bernama liabilitas. Bagi bank, uang tunai yang ditabung oleh A, juga diakui sebagai harta kekayaan.
Oleh karena itu, bank juga mencatatnya sebagai aset yang berupa uang tunai (kas).
Cerita selanjutnya, datang si B, ke Bank. B hendak mengajukan pinjaman senilai 500 ribu. Setelah
disetujui, maka Bank akan mencairkan dana pinjaman ke B. Bagaimana cara bank memberikan
uang pinjamannya kepada B? Perhatikan, disinilah proses penciptaan uang dimulai!

Bank akan menyerahkan uang pinjaman kepada B melalui rekening tabungan B di Bank. Sekarang,
B mempunyai uang di tabungannya senilai 500 ribu. Dalam hal ini, A akan mengatakan bahwa ia
mempunyai uang ditabungan sebesar 1 juta dan B juga mengatakan bahwa ia memiliki uang di
tabungan senilai 500 ribu. Jika seandainya A dan B tidak segera menggunakan uangnya, maka bank
akan mengatakan bahwa ia mempunyai sumber dana senilai 1,5 juta untuk disalurkan! Sudahkah
anda lihat keajaibannya? Mari kita putar sekali lagi.

C datang kepada Bank untuk mengajukan pinjaman senilai 500 ribu. Kemudian bank memberikan
pinjamannya dengan memasukkan ke rekening tabungan C. Sekarang, C mengatakan bahw ia
memiliki uang di tabungannya senilai 500 ribu. Demikian pula B, ia mengatakan bahwa ia
mempunyai uang sebesar 500 ribu. A pun mengatakan bahwa ia mempunyai uang sebesar 1 juta!
Padahal, berapakah uang tunai yang dimiliki bank? Jika diasumsikan bank tidak mempunyai modal,
sesungguhnya bank hanya mempunyai uang tunai sebesar 1 juta yang berasal dari si A!

Dari ilustrasi diatas, kita melihat bagaimana bank bisa menggandakan uang dari 1 juta, menjadi 2
juta. Bahkan secara teorinya, bank bisa menggandakan suplai uang hingga 10 kali lipat!

Bagaimana jika A, B dan C mengambil uangnya secara bersamaan? Jawabannya, bank akan collapse
alias bangkrut. Karena sebenarnya ia hanya mempunyai sumber uang tunai sebesar 1 juta rupiah.
Inilah yang akan terjadi jika terjadi rush. Rush adalah penarikan uang besar-besaran oleh nasabah
secara bersamaan. How fragile our banking system is!

----------////---------

Ketika Bank syariah lahir, bank syariah dihadapkan pada situasi yang sulit karena harus
berhadapan dengan sistem bunga dan fractional reserve yang menjadi penggerak munculnya
proses money creation dalam sistem keuangan. Sementara masyarakat muslim di Indonesia
membutuhkan layanan keuangan syariah segera, untuk melepaskan diri dari jeratan riba.

Lalu apa pengaruh keduanya bagi bank syariah yang baru saja lahir saat itu?

Bagaimana perbankan konvensional yang berporos pada bunga dan fractional reserve memberikan
pengaruh terhadap bank syariah di saat bank syariah lahir?

Sebelum kita melihat bagaimana perbankan konvensional memberikan pengaruh terhadap bank
syariah di saat bank syariah lahir, ada baiknya kita flashback ke belakang sejenak.

Kemunculan sebuah bank dengan menyandang nama Islam diawal pendiriannya, menimbulkan
diskusi yang panjang diantara para ulama dan cendekiawan muslim. Diskusi-diskusi tersebut
bahkan belum terhenti dan masih berlangsung hingga sekarang. Antara pro dan kontra. Disamping
itu muncul pula pertanyaan-pertanyaan yang bersifat skeptis. Diantara pertanyaan-pertanyaan
skeptis yang muncul ialah, “Apakah bank bisa beroperasional sesuai dengan syariat Islam? Apakah
istilah bank tersebut relevan untuk digunakan? Tidakkah pendirian bank Islam hanya akan menjadi
kepanjangtanganan dari sistem kapitalis semata?” Dan masih banyak pertanyaan lainnya.

Kita perlu memahami bersama bahwa pada awal mulanya bank atau lembaga keuangan lain yang
sejenis adalah sebuah sistem keuangan yang dibuat dan lahir karena adanya kebutuhan manusia
terhadap jasa penyimpanan uang atau harta dan jasa pengiriman uang kepada pihak lain. Dua
kebutuhan ini tidak dipungkiri merupakan kebutuhan bagi semua orang, dibelahan dunia manapun
dan telah ada sejak dahulu, khususnya ketika era dimana uang sudah mulai digunakan. Termasuk
pula adanya kebutuhan seseorang atas bantuan keuangan dari pihak lain, merupakan kebutuhan
yang telah ada sejak lama.

Oleh karena itu jika kita melihat kepada sejarah peradaban di dunia Islam dan di luar Islam, akan
kita temukan bahwa lembaga keuangan atau pihak tertentu yang mempunyai kedua fungsi tersebut
diatas (penyimpanan & pengiriman uang) memiliki latar sejarahnya masing-masing. Permasalahan
timbul tatkala sistem keuangan di luar Islam yang berporos pada riba mendominasi.

Dalam sejarah Islam, praktek penitipan uang dan benda berharga lainnya kepada pihak lain serta
pengiriman uang, telah berlangsung sejak masa Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam. Bahkan
Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam, karena dikenal sebagai orang yang jujur dan terpercaya,
mempunyai banyak titipan barang berharga dari kaum Quraisy. Hal ini bisa kita ketahui bahwa
pada saat sebelum hijrah ke Madinah, Rasul memerintahkan Ali bin Abi Thalib untuk
mengembalikan semua titipan tersebut kepada para pemiliknya. Ibnu Ishaq meriwayatkan:

"…dan tidak ada seorang pun yang mengetahui saat Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wasallam keluar
(berangkat berhijrah) kecuali Ali bin Abi Thalib, Abu Bakar Ash-Shiddiq dan keluarganya. Saat itu
Ali diperintahkan untuk tetap tinggal dan mengembalikan seluruh harta benda yang dititipkan
kepadanya. Sebab saat itu semua orang di Mekah yang takut pada keamanan atas harta bendanya,
menitipkan hartanya kepada Rasul, karena kejujuran dan keamanahannya." (Ibnu Katsir, 1998).

Sementara dari kalangan sahabat Rasul, Zubair bin 'Awwam termasuk yang dikenal sebagai pihak
dimana orang-orang biasa menitipkan harta mereka kepadanya.

Dari riwayat Abdullah bin Zubair diketahui bahwa ketika Zubair wafat terbunuh ia meninggalkan
hutang. Hutang tersebut adalah berasal dari seseorang yang menitipkan uangnya kepada Zubair.
Zubair menerima titipan berupa uang dari pihak lain dengan syarat menjadikannya sebagai
pinjaman tanpa bunga dari orang tersebut kepada Zubair karena ia khawatir uang yang dititipkan
akan hilang (Al-Ashbahani, 1996).

-------------/////----------
Lembaga keuangan syariah, mengalami periode perkembangan yang pesat diantaranya pada
periode Abbasiyyah. Pada masa Abbasiyyah terjadi peningkatan besar-besaran pada volume
perdagangan antara Abbasiyyah dan negeri-negeri lain di timur dan Afrika. Aktivitas perdagangan
yang tinggi tersebut mendorong dibangunnya pelabuhan-pelabuhan Islam beserta lembaga
kepabean (jumrukiyyah) dan keuangan (mashrafiyyah) di dalamnya. Salah satu yang terbesar
adalah pelabuhan Iskandariyyah.

Mashrafiyyah dimanfaatkan oleh para pedagang untuk menyimpan uang mereka, menukar dan
sebagai perantara untuk kepentingan pembayaran atas transaksi yang dilakukan. Mashrafiyyah
dikelola oleh sekelompok orang yang disebut dengan Jahabidzah. Praktek mashrafiyyah ini diduga
telah dimulai sejak masa khalifah Al-Manshur dengan Kuffah sebagai kota yang dikenal memiliki
banyak mashrafiyyah. (Al-'Alam Al-Islami Fi Al-'Ashri Al-'Abbasi, Dr. Hasan Ahmad Mahmud & Dr.
Ahmad Ibrahim Asy-Syarif Hal. 211-214). Bahkan travelling check pun yang disebut suftajah, telah
dikenal pada masa Abbasiyyah.

Disamping itu, pada masa kekhalifahan, kaum muslimin telah menerapkan sistem pengamanan atas
harta yang mereka miliki dalam perjalanan dengan menggunakan batu mulia, disamping
penggunaan suftajah.

Kaum muslimin mulai banyak mengenal tentang batu mulia ketika mendapatkan banyak rampasan
perang dari Kerajaan Persia. Selain sebagai perhiasan, batu mulia tersebut juga dimanfaatkan
sebagai sarana pengaman dalam perjalanan jauh yang dilakukan oleh kaum muslimin saat itu.

Dalam buku Tarikh At-Tamaddun Al-Islami yang ditulis oleh Jarhi Zidan (1921) disebutkan:

"Banyak dari mereka (kaum muslimin) yang menggunakan batu-batu mulia sebagai ganti dari uang
dalam jumlah yang besar apabila mereka hendak melakukan perjalanan panjang yang
membutuhkan dana sebesar ribuan dinar misalnya. Maka sebagai ganti dari membawa uang emas
dan perak, mereka membawa batu-batu mulia karena lebih mudah membawanya didalam kantong.
Apabila telah sampai di negeri yang dituju, mereka menjual batu-batu permata itu (dengan
dinar/dirham) kemudian membelanjakannya sebagaimana orang-orang saat ini." (At-Tarikh At-
Tamaddun Jilid 5 Hal. 128).

-------------/////---------------

Dari pembahasan sebelumnya, kita dapat melihat bagaimana sistem perekonomian dalam
peradaban Islam dibangun atas dasar sistem ekonomi yang bebas dari riba, maysir dan gharar serta
hal-hal yang diharamkan lainnya. Disamping itu sepanjang sejarahnya, sebelum sistem perbankan
mulai masuk ke dalam masyarakat muslim, dalam sistem keuangan Islam tidak dikenal adanya
proses money creation.
Sebaliknya peradaban di luar Islam yang digerakkan oleh bangsa Romawi, Yunani dan Yahudi,
semuanya menjadikan riba sebagai poros ekonomi mereka. Sejarah mencatat bahwa kaum Yahudi
yang berada di Thaif dan Madinah merupakan kaum yang menyebarkan praktek riba di Jazirah
Arab (Yunus Al-Mashri, 2001).

Beberapa praktek riba yang sering dilakukan pada masa itu oleh kaum Yahudi diantaranya adalah:

1. Peminjaman uang dinar dan dirham dengan jangka waktu tertentu, dengan adanya kesepakatan
atas tambahan yang harus dibayarkan oleh peminjam sesuai kesepakatan (Al-Jashash, Ahkam Al-
Qur'an).

2. Peminjaman uang dimana si pemberi pinjaman akan mengambil tambahan berupa riba yang
harus dibayar setiap bulan oleh peminjam. Adapun pokok pinjaman dikembalikan oleh si peminjam
pada saat jatuh tempo. Jika pada saat jatuh tempo si peminjam tidak dapat mengembalikan
pokoknya, maka pemberi pinjaman akan menaikkan jumlah riba yang harus dibayar (Al-Jashash,
Ahkam Al Qur'an).

3. Peminjaman uang dimana apabila si peminjam tidak bisa mengembalikan pinjamannya saat
dilakukan penagihan, maka pemberi pinjaman akan melipatgandakan hutang yang harus dibayar
pada tahun berikutnya. Sehingga hutang 100 akan menjadi 200, jika penagihan berikutnya belum
mampu membayar, maka tahun berikutnya akan dinaikkan kembali dari 200 menjadi 400, dan
seterusnya (At-Thabari, 1980).

4. Peminjaman uang dimana si pemberi pinjaman akan mengatakan kepada orang yang meminjam
saat jatuh tempo: "tambahkan kepadaku riba, maka aku akan memperpanjang jangka waktu
pinjamanmu" (Ibnu Katsir, 1981).

Kegemaran orang Yahudi dalam mengambil riba seperti diatas, diabadikan di dalam Al-Qur'an surat
An-Nisa ayat 160 dan 161:

"Maka disebabkan kezaliman orang-orang Yahudi, kami haramkan atas (memakan makanan) yang
baik-baik (yang dahulunya) dihalalkan bagi mereka, dan karena mereka banyak menghalangi
(manusia) dari jalan Allah (160).

dan disebabkan mereka memakan riba, padahal sesungguhnya mereka telah dilarang daripadanya,
dan karena mereka memakan harta benda orang dengan jalan yang batil. Kami telah menyediakan
untuk orang-orang yang kafir di antara mereka itu siksa yang pedih. (161)"

Sementara itu dalam sejarah peradaban Yunani dan Romawi kuno, praktek riba juga lazim terjadi
dengan adanya bunga yang dikenakan pada setiap pinjaman. Bahkan kemudian – sebagaimana
telah dibahas sebelumnya – adanya penerapan bunga inilah yang telah mendorong para bankir saat
itu dengan secara diam-diam menyalurkan dana para nasabah yang menitipkan uangnya. Dalam
dokumen Trapezitica yang ditulis oleh Isocrates pada tahun 393 Sebelum Masehi, ia menjelaskan
bahwa seorang kliennya yang akan melakukan perjalanan jauh, menitipkan ke sebuah Bank yang
bernama Passio. Setelah menyelesaikan perjalanannya, ia kembali ke Bank tersebut untuk
mengambilnya. Sang klien dari Isocrates terkejut sebab Bank Passio memberitahukan kepadanya
bahwa dana sedang tidak tersedia di Bank. Saat itulah ia mengetahui bahwa bank secara diam-diam
telah menggunakan dananya untuk dipinjamkan kepada pihak lain. Bahkan, saat itu Bank Passio
juga meminta kepada klien dari Isocrates untuk tidak melaporkan perbuatannya ke pengadilan
dengan tuduhan berbuat fraud. Bank berjanji akan segera mengembalikan dana yang telah
digunakan (De Soto, Money, Bank Credit & Economic Cycles).

Sistem perbankan mendapatkan momentumnya ketika negara-negara di Eropa, menggunakan bank


untuk membiayai kebutuhan mereka dalam berperang. Dan pada saat itu, sistem fractional reserve
telah menjadi sistem yang legal dalam praktek dunia perbankan. Bank mulai mendapatkan
bentuknya, sejak kemunculan Bank of Venice (sekarang di Italia), lebih dari 700 tahun yang lalu.
Ketika itu pemerintah setempat terlibat peperangan dan mengalami kekurangan dana. Untuk
memenuhi kebutuhannya, pemerintah menggunakan instrumen bank untuk mengumpulkan dana
nasabah sebagai sumber pinjaman. Setelah itu, berdirilah bank yang sejenis di Genoa, Barcelona di
awal abad ke-15, Amsterdam dan Hamburg di awal abad ke-17 (The History of Banks, Richard
Hildreth, 2001). Adapun prototype dari perbankan modern dimotori oleh Bank of England yang
berdiri tahun 1694.

Pada perkembangan selanjutnya, hampir seluruh penghimpunan, perputaran dan pengiriman uang
dalam berbagai macam bentuknya, dikuasai oleh perbankan. Termasuk peminjaman uang dengan
riba. Diketahui bahwa salah satu penyebab runtuhnya Kekhilafahan Turki Usmani adalah lilitan
hutang ribawi akibat penerbitan obligasi internasional oleh Turki Usmani dengan bantuan para
bankir Yunani (Minoglou, Greek Diaspora Bankers of Constantinople and Ottoman State Finance).
Pada tahun 1881 Turki Usmani mengumumkan kebangkrutannya dan dengan terpaksa menerima
campur tangan pihak luar atas penyelesaian hutang-hutangnya (Gormez, Banking in Turkey).

Persinggungan dengan negara-negara eropa telah membuat Turki Usmani membuka kesempatan
bagi pendirian bank-bank konvensional di sebuah wilayah bernama Galata. Pendirian bank-bank
konvensial tersebut, tidak lepas dari pengaruh hadirnya para bankir Yunani di wilayah Galata
(Gormez, Banking in Turkey).

------------////--------------

Ditengah sistem perbankan ribawi yang sudah begitu mengakar di dalam tatanan sistem keuangan
dunia, perbankan syariah kemudian dilahirkan dengan sebuah harapan yang sangat besar: mampu
menjadi solusi bagi masyarakat muslim untuk keluar dari jeratan transaksi ribawi. Karena harus
diakui bahwa hampir seluruh orang saat ini tidak bisa melepaskan diri dari melakukan transaksi di
perbankan. Paling tidak, hanya untuk kebutuhan mentransfer uang kepada pihak lain. Secara
konsep, bank syariah di desain untuk mampu melakukan transaksi yang sesuai dengan koridor
syariat. Khususnya di Indonesia, UU Perbankan Syariah No. 21 tahun 2008 dengan tegas
menyatakan:
Pasal 2:

"Perbankan Syariah dalam melakukan kegiatan usahanya berasaskan Prinsip Syariah, demokrasi
ekonomi, dan prinsip kehati-hatian."

Pasal 24:

Bank Umum Syariah/ UUS dilarang: "melakukan kegiatan usaha yang bertentangan dengan Prinsip
Syariah."

Namun demikian, sistem fractional reserve yang berlaku pada dunia perbankan nampaknya
memiliki pengaruh yang sangat kuat. Bagi perbankan syariah, fractional reserve telah
menyebabkan perbankan syariah secara umum menerapkan kebijakan sebagai berikut:

1. Bank Syariah menggunakan dana tabungan wadiah untuk disalurkan kepada para nasabah
pembiayaan. Pada saat yang sama nasabah penabung dapat menarik dana titipannya tersebut
sewaktu-waktu sesuai yang dikehendaki. Demikian pula untuk produk tabungan mudharabah
(bahkan deposito mudharabah), nasabah dapat sewaktu-waktu menarik dana investasinya tersebut
sesuai yang dikehendaki. Hal ini sesuai dengan prinsip fractional reserve dimana antara aset dan
liabilitas tidak memiliki ketersambungan. Disatu sisi nasabah penabung merasa dirinya sebagai
penyimpan (bukan sebagai pihak yang meminjamkan uang kepada bank untuk disalurkan), akan
tetapi sebaliknya bank tidak merasa dirinya sebagai sebagai penerima titipan namun lebih sebagai
peminjam dana nasabah untuk disalurkan. Akibatnya, dalam konteks perbankan syariah, nasabah
penabung dan deposan yang berakad mudharabah dengan bank syariah, tidak bisa merasakan
posisinya sebagai investor atau shahibul mal. Ditambah lagi dengan adanya kebijakan pool of fund
yang diterapkan oleh bank syariah. Dengan menerapkan sistem pool of fund, bank syariah
mencampurkan seluruh dana nasabah penabung dan deposan yang ada di liabilitas (tanpa melihat
jenis akad dan jangka waktu investasi) ke dalam satu wadah/ tempat.

2. Kondisi pertama diatas, membuat bank menetapkan jangka waktu penempatan dana investasi
dengan akad mudharabah lebih pendek daripada jangka waktu pembiayaan. Walhasil bank syariah
terpapar risiko likuiditas. Adanya risiko ini seringkali membuat nasabah besar menekan bank
syariah untuk memberikan nisbah spesial kepadanya atau bahkan imbal hasil yang berdasarkan
rate tertentu sebagaimana halnya bunga. Jika tidak, maka ia akan menarik dananya.

Sebaliknya, terkadang bank syariah tergiur untuk menawarkan nisbah spesial atau bahkan rate
tertentu sebagaimana halnya bunga untuk secara cepat membesarkan liabilitas dan asetnya kepada
nasabah potensial demi menghindari dari risiko likuiditas atau hanya agar terlihat cantik di akhir
tahun.

Maka kita melihat bagaimana terjadinya tarik menarik dana dari bank konven ke syariah, syariah
ke konven atau antar bank syariah hanya untuk me-make up dirinya di akhir tahun. Hal ini secara
terus menerus berulang setiap tahunnya sehingga menyeret bank syariah ke dalam lingkaran setan
yang tidak pernah berhenti.
3. Pencairan dana pembiayaan mudharabah/ musyarakah ke dalam rekening nasabah yang diakui
oleh bank sebagai bagian dari likuiditasnya kembali.

Sistem fractional reserve mempunyai prinsip bahwa semua dana yang berada di liabilitas, dapat
diakui sebagai sumber dana pinjaman. Karena pengaruh ini, bank syariah belum memisahkan
antara rekening pencairan dana pembiayaan mudharabah atau musyarakah dari liabilitasnya.
Dampaknya, bisa menyebabkan terjadinya penyalagunaan dana dan kekacauan dalam pembukuan
bank.

Mari kita ambil contoh. A membuka tabungan mudharabah senilai 100 juta. Pada posisi ini, A
sebagai shahibul mal (pemilik dana) dan bank sebagai mudharib (pengelola). Kemudian A
mengajukan pembiayaan mudharabah sebesar 50 juta. Setelah disetujui dan berakad, bank
mencairkan dana pembiayaan mudharabah sebesar 50 juta sehingga dana di rekening tabungan
mudharabah A bertambah menjadi 150 juta. Sampai disini, dapatkah anda jelaskan siapa yang
menjadi shahibul atas dana 50 juta yang ada di rekening tabungan mudharabah nasabah?

Problem lainnya adalah, penerapan kebijakan sebagaimana disebutkan pada poin 1 dan 2 diatas
menimbulkan permasalahan paradigma. Baik paradigma dari manajemen dan karyawan bank
ataupun paradigma dari para nasabah.

Dunia perbankan konvensional/ribawi yang menerapkan pola fractional reserve, mempunyai


paradigma khas yang telah terbentuk secara terstandar dan sama di dalam pikiran masing-masing
pelaku atau praktisi (karyawan) serta orang-orang yang biasa bersinggungan dengan lembaga
keuangan tersebut, dalam hal ini adalah para nasabah.

Paradigma yang telah terbentuk pada perbankan konvensional adalah paradigma bahwa bank
hanyalah sebagai lembaga perantara (intermediary institution) yang digerakkan oleh bunga
sebagai generator utama untuk menghasilkan suatu keuntungan. Paradigma ini pada akhirnya
sangat berpengaruh terhadap bentuk dan mekanisme operasional bank.

Dengan cara pandang diatas, paradigma yang terbentuk pada dunia perbankan menjadi
berlawanan dengan paradigma yang terbentuk pada dunia sektor riil.
Dalam sektor riil, untuk mendapatkan keuntungan, seorang developer harus bersusah payah
terlebih dahulu untuk mengurus seluruh perizinan dan surat-surat legalitas yang diperlukan.
Setelah itu, ia harus membangun rumah atau bangunan yang tentu membutuhkan waktu yang tidak
sebentar. Barulah setelah rumah selesai, ia bisa menjualnya. Kalaupun ia mulai memasarkan pada
saat rumah belum berdiri, tugas dan tanggungjawabnya belum selesai sampai ia menyelesaikan
pembangunan rumahnya.

Jika dilihat, berapa jumlah developer saat ini yang ada di Indonesia? Tentu jawabannya adalah
sangat banyak. Mengapa banyak orang mau menjadi developer padahal apabila dilihat dari
prosesnya, waktu yang dibutuhkan oleh seorang developer untuk mendapatkan keuntungan
sangatlah panjang dan membutuhkan pekerjaan yang tidak sedikit. Jawabannya adalah karena
memang seperti itulah pekerjaan seorang developer. Apakah hal itu merugikan? Bila merugikan,
tidak akan ada orang yang mau menjadi developer.

Ketika orang akan terjun ke dunia developer, dia menyiapkan dirinya dengan paradigma yang
sesuai, yaitu paradigma yang sama yang ada di benak setiap developer.

Secara konsep, bank syariah merupakan bank yang dalam operasionalnya berdasarkan prinsip-
prinsip sektor riil sebagaimana ketentuan yang telah ditetapkan di dalam fatwa majelis ulama.
Dengan demikian bank syariah dituntut memiliki perangkat operasional dan manajemen serta
paradigma yang berbeda dengan bank konvensional.

Jadi untuk memperbaiki semuanya ini, Bank syariah mau tidak mau harus kembali pada konsep full
reserve system.

Anda mungkin juga menyukai