Jelajahi eBook
Kategori
Jelajahi Buku audio
Kategori
Jelajahi Majalah
Kategori
Jelajahi Dokumen
Kategori
Disusun oleh:
Kelompok 5
Sebagai insan yang penuh dengan kekurangan dan keterbatasan, tak lupa penulis
memanjatkan puji dan syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa, karena atas berkat dan
karunia-Nya lah, maka penulis dapat menyelesaikan makalah dengan judul Asuhan
Keperawatan Kritis pada Klien dengan Sepsis, ARDS, dan AKI
Selain itu, penulis juga mengucapkan terima kasih kepada kepada semua pihak
yang memberikan dukungan, terutama dosen fasilitator yang telah meluangkan
waktunya untuk memberikan bimbingan dalam pembuatan makalah ini.
Penulis menyadari bahwa penulisan makalah ini masih jauh dari kesempurnaan,
oleh karena itu kritik dan saran dari pembaca akan penulis terima sebagai bahan
masukkan guna penyempurnaan makalah ini.
Penulis
i
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR.......................................................................................................i
DAFTAR ISI....................................................................................................................ii
BAB I PENDAHULUAN................................................................................................1
1.3 Tujuan.................................................................................................................3
2.1 Sepsis.................................................................................................................5
2.1.1 Definisi............................................................................................................5
2.1.2 Etiologi............................................................................................................5
2.1.4 Klasifikasi.......................................................................................................8
2.1.5 Patofisiologi..................................................................................................10
2.1.7 Komplikasi....................................................................................................11
2.1.10 Penatalaksaan..............................................................................................15
2.2.1 Definisi..........................................................................................................20
2.2.2 Etiologi..........................................................................................................22
ii
2.2.3 Tanda dan Gejala...........................................................................................23
2.2.4 Patogenesis....................................................................................................24
2.2.5 Patofisiologi..................................................................................................26
2.2.8 Komplikasi....................................................................................................30
2.2.9 Penatalaksanaan............................................................................................31
2.3.1 Definisi..........................................................................................................33
2.3.2 Etiologi..........................................................................................................33
2.3.5 Patofisiologi..................................................................................................36
2.3.6 Patofisiologi..................................................................................................37
2.3.7 Patofisiologi..................................................................................................38
2.3.8 Pengkajian.....................................................................................................39
3.1 Kesimpulan......................................................................................................53
3.2 Saran.................................................................................................................54
DAFTAR PUSTAKA......................................................................................................55
iii
DAFTAR GAMBAR
Gambar 2. 2 Keadaan alveoli normal dan alveoli yang mengalami kerusakan saat fase 25
ii
DAFTAR TABEL
ii
BAB 1
PENDAHULUAN
1
Respon imunologik yang menyebabkan sepsis adalah respon inflamasi
sistemik yang menyebabkan teraktivasinya jalur inflamasi dan koagulasi.
Teraktivasinya jalur inflamasi pada sepsis diawali respon inflamasi yang
menyebabkan kerusakan jaringan yang luas. Aspek koagulasi dari sepsis adalah
terjadinya gangguan keseimbangan antara aktivasi koagulasi dan antikoagulasi,
yaitu meningkatnya faktor prokoagulasi dan menurunnya faktor antikoagulasi.
Secara umum respon pejamu dapat dikategorikan menjadi respon imun
nonspesifik dan respon imun spesifik (Russel J.A, 2006).
Sepsis masih merupakan salah satu utama kematian pada kasus kritis di
Indonesia. Laporan WHO pada tahun 2015 Angka kematian diakibatkan oleh
sepsis dan penyakit infeksi di Indonesia yaitu 1,8 per 1000 KH. Dengan
2
penatalaksanaan yang cepat dan tepat. menurut penelitian NHS England (2015),
diperkiraan dapat menghindari 10.000 kejadian kematian per tahun akibat sepsis.
Selain itu, sepsis juga merupakan penyebab utama dari ARDS (Susanto
& Sari 2012), dan juga AKI (Sinto & Nainggolan 2010).
3
Berdasarkan data diatas, tentu kita sebagai perawat harus selalu
meningkatkan kompetensi kita baik dalam hal teori maupun praktik di lapangan,
agar pemberian asuhan keperawatan lebih maksimal sehingga dapat membantu
berkurangnya angka morbiditas dan mortalitas dari sepsis, ARDS dan AKI.
Selain itu kita juga perlu mengetahui tentang apa itu ARDS? Bagaimana
pengertian, etiologi, tanda gejala, patogenesis, patofisiologi, diagnosa klinis,
pemeriksaan penunjang, komplikasi dan penatalaksanaannya? Serta mengetahui
apa itu AKI? Bagaimana etiologi, manifestasi klinis, klasifikasi, tahapan,
patofisiologi, evaluasi diagnosis, dan penatalaksanaannya?
1.3 Tujuan
4
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Sepsis
2.1.1 Definisi
5
Gambar 1. Hubungan antara infeksi, SIRS, dan sepsis (Widodo & Govinda, 2006)
2.1.2 Etiologi
6
2) Flu (influenza)
3) Apendisitis
Setelah operasi:
7
Staph. aureus, E. coli,
Wound infection anaerobes(tergantung lokasinya)
8
>2 SD dibawah kisaran normal sesuai usia),saturasi oksigen vena
campuran <70%, cardiac index >3,5 liter/menit).
Variable disfungsi organ :
Hipoksemia arteri (PaO₂/FiO₂ <300) oliguria akut output urine <0,5
mL/kg/jam selama ≥2 jam), kreatinin >176,8 mmol/L, kelainan
koagulasi (INR >1,5 atau aPTT >60 detik),ileus paralitik (tidak ada
bising usus), trombisitopenia (trombosit <100.000 μL),
hiperbilirubinemia (plasma bilirubin total>34,2 mmol/L).
Variable perfusi jaringan :
Hiperlaktemia (laktat >1 mmol/L) dan penurunan waktu pengisian
ulang kapiler.
Pada pemeriksaan fisik ditemukan manifestasi klinis yaitu :
a. Sepsis :
b. Sepsis berat :
Penurunan trombosit
Masalah pernafasan
Menggigil
Tidak sadar
Kelemahan hebat
9
(Dosen Keperawatan Medikal-Bedah Indonesia 2017).
10
2.1.4 Klasifikasi
Neonatal Sepsis Sepsis yang terjadi pada bayi baru lahir (biasanya
4 minggu setelah klahiran
a. Sirs
b. Sepsis
11
Adalah sindroma klinis dimana terdapat kejadian infeksi
disertai SIRS.
c. Severe Sepsis
d. Septik Shock
2.1.5 Patofisiologi
12
Reaksi tubuh (host) terhadap infeksi pada saat pathogen masuk ke
dalam tubuh akan mengikat bakteri yang masuk dengan tool-like reseptors
(TLRs). Tool-like reseptors (TLRs) adalah protein transmembran yang
mengikat protein kinase ketika diaktifkan dan tool-like reseptors (TLRs)
berbeda-beda jenis untuk jamur,virus dan bakteri. Tool-like reseptors
(TLRs) banyak terdapat pada leukosit,makrofag dan sel endotel.
Kemudian,setelah berikatan dengan tool-like reseptors (TLRs) tubuh akan
melepaskan mediator kimia sitokin seperti tumor necrosis factor (TNF-
α),interleukin (1 IL-1) dan interleukin 6,histamin,komplemen,leukotriene,
dan radikal bebas,nitric oksida (NO),protease, dan factor aktivasi
trombosit.
Telampir
13
2.1.7 Komplikasi
14
miokardium, terutama pada pasien usia lanjut. Dengan demikian
obat inotropik dan vasopressor (yang paling sering menyebabkan
takikardia) harus digunakan dengan berhati-hati bilamana perlu,
tetapi jangan diberikan bila tidak dianjurkan.
4) Gangguan fungsi hati
Gangguan fungsi hati biasanya manifest sebagai ikterus
kolestatik, dengan peningkatan bilirubin, aminotransferase, dan
alkali fosfatase. Fungsi sintetik biasanya tidak berpengaruh kecuali
pasien mempunyai status hemodinamik yang tidak stabil dalam
waktu yang lama.
5) Gagal ginjal
Hipoperfusi tampaknya merupakan mekanisme yang utama
terjadinya gagal ginjal pada keadaan sepsis, yang dimanifestasikan
sebagai oliguria, azotemia, dan sel-sel peradangan pada urinalisis.
Jika gagal ginjal berlangsung berat atau ginjal tidak mendapatkan
perfusi yang memadai, maka selanjutnya terapi penggantian fungsi
ginjal (misalnya hemodialisis) diindikasikan.
6) Sindroma disfungsi multiorgan
Disfungsi dua sistem organ atau lebih sehingga intervensi
diperlukan untuk mempertahankan homeostasis.
a. Primer, dimana gangguan fungsi organ disebabkanlangsung oleh
infeksi atau trauma pada organ-organ tersebut. Misal, gangguan
fungsi jantung/paru pada keadaan pneumonia yang berat.
b. Sekunder, dimana gangguan fungsi organ disebabkanoleh respons
peradangan yang menyeluruh terhadap serangan. Misal, ALI atau
ARDS pada keadaan urosepsis.
15
dengan potensi tinggi untuk menjadi kritis. Meskipun pasien telah
memenuhi kriteria SIRS, ini sendiri hanya mampu memberikan sedikit
prediksi dalam menentukan tingkat keparahan penyakit dan mortalitas.
Angka Mortalitas di Emergency Department Sepsis (MEDS) telah
membuat skor sebagai metode untuk mengelompokkan resiko
mortalitas pasien dengan sepsis. Skor total dapat digunakan untuk
menilai risiko kematian. Jadi, semakin besar jumlah faktor risiko,
semakin besar kemungkinan pasien meninggal selama di ICU/UPI
(Shapiro et.al, 2010). Shapiro, N.I., Zimmer, G.D., and Barkin, A.Z.,
2010. Sepsis Syndromes. In: Marx et al., ed. Rosen’s Emergency
Medicine Concepts and Clinical Practice. 7th ed. Philadelphia: Mosby
Elsevier, 1869-1879.
16
2.1.9 Pemeriksaan Penunjang
a. Laboratorium
17
Gas darah arteri: Dapat terjadi alkalosis respiratori dini dan
hipoksemia. Pada selanjutnya, hipoksemia,asidosis respiratori, dan
asidosis metabolic dan laktat terjadi karena gangguan mekanisme
kompensasi.
b. Pencitraan
c. Prosedur Diagnostik
2.1.10 Penatalaksaan
18
b. Infeksi bakteri sekunder yang mengarah ke sepsis merupakan
komplikasi yang dari influenza (flu), khususnya di kelompok berisiko.
Vaksinasi flu pada kelompok sasaran akan mengurangi resiko sepsis
pada kelompok yang menderita influenza. Ekstensi dari program
imunisasi flu nasional saat ini yaitu untuk memasukkan anak-anak
sekolah pada tahun pertama dan kedua serta anak-anak berusia 2, 3 dan
4 tahun. Ini akan melindungi anak-anak dan juga membantu untuk
mengurangi penyebaran infeksi dari mereka yang berisiko ke populasi
yang sehat.
c. Vaksinasi telah membuat kontribusi besar untuk pencegahan sepsis.
Cakupan tinggi vaksinasi masa kanak-kanak untuk Haemophilus
influenzae tipe B, meningokokus serogrup C dan infeksi pneumokokus
tidak hanya melindungi anak-anak yang divaksinasi tetapi juga telah
mengurangi sirkulasi organisme ini di masyarakat yang dapat
menyebabkan sepsis. Vaksinasi terhadap infeksi virus - termasuk
campak dan influenza secara besar-besaran juga dapat mengurangi
risiko infeksi bakteri sekunder (NHS England 2015).
Sepsis
19
c. Segera setelah darah ,urine, dan sputum didapatkan untuk pemeriksaan
kultur,terapi antibiotic IV spectrum luas empiric mulai diberikan.
d. Protein C yang di aktifkan (droctrecogin alfa) terbukti dapat
menurunkan mortalitas pada pasien yang sakit berat dengan sepsis.
e. Jika kelainan ini menimbulkan komplikasi anemia, transfusi dengan
packed red blood cells di indikasikan untuk mendapatkan hematocrit
>30 dengan maksud untuk meningkatkan. (Jeffrey and Scott, 2012)
20
g. Pertimbangkan pemberian Activated Protein C (Rh APC) pada
penderita dengan sepsis berat dan resiko kematian tinggi. Dengan
APACHE II >25 atau multiple organ failure,serta tidak ada kontra
indikasi pemberian Rh APC (meningkatmya resiko perdarahan). Kontra
indikasi pemberian Rh APC:
Internal bleeding active, Stroke hemoragik (dalam 3 bulan).
Pembedahan intracranial/spinal,trauma lkepala berat (2 bulan
terakhir).
Terpasang epidural kateter, Tumor otak.
Alergi terhadap Rh APC.
h. Pemberian insulin theraphy bila ada hiperglikemia pada penderita
Diabetes Melitus
i. Setelah regulasi awal dari kadar gula,pada penderita sepsis berat yang
di rawat di ICU di anjurkan penggunaan insulin IV untuk menurunkan
kadar gulanya (target sekitar <150 mg/dl).
j. Di anjurkan penderita yang mendapat insulin IV juga mendapat sumber
energy yang berasal dari glukosa, dan dimonitor 1-2 jam,setelah kadar
gula stabil monitor dilanjutkan per 4 jam. Paket terapi ini sebaiknya
dilaksanakan secara lengkap dalam waktu sekitar 6 jam sejak awal
diagnosis sepsis ditegakan (Perhimpunan Dokter Spesialis Penyakit
Dalam Indonesia 2010).
21
NIC :
Pemantauan Pernafasan :
Independen
Pertahankan jalan nafas klien. Tempatkan klien pada posisi nyaman
dengan kepala tempat tidur dinaikkan 30 ̊ - 43 ̊
Pantau frekuensi dan kedalaman pernafasan,catat pemakaian otot
tambahan atau upaya pernafasan.
Auskultasi bunyi nafas. Catat roncki kasar,mengi dan daerah
penurunan atau tidak ada ventilasi.
Catat adanya sianosis sirkumonal
Selidiki perubahan sensorium agitasi, kebingungan, perubahan
kepribadian,delirium,stupor dan koma.
Catat batuk dan produksi sputum purulent.
Reposisi dengan sering. Dorong latihan batuk dan nafas dalam.
Pengisafan ,sesuai indikasi.
Terapi Oksigen :
Kolaboratif
Pantau GDA dan nadi oksimetri
Kaji ulang sinar X dada serial
Beri oksigen tambahan lewat rute yang tepat,kanula hidung,masker
atau masker pernafasan aliran-tinggi.
Beri sel darah merah sesuai indikasi.
b. Hipertermia b/d proses penyakit (infeksi). [SDKI – D.0130]
NOC :
Termoregulasi :
Menunjukan suhu dalam rentang normal dan bebas dari mengigil.
Tidak mengalami komplikasi terkait
NIC :
Pengobatan Demam :
Independen
Pantau suhu klien—derajat dan pola. Catat menggigil atau diaphoresis
amat berat.
22
Pantau suhu lingkungan. Batasi atau tambah selimut.
Kolaboratif
Beri antipiretik,seperti asam asetilsalisilat (ASA) atau asetaminofen.
Beri selimut penyejuk atau terapi hipotermia,sesuai indikasi.
c. Risiko Syok b/d factor risiko sepsis. [D.0039]
NOC :
Keparahan Syok : Sepsis
Memperhatikan perfusi yang memadai yang di tandai dengan tanda vital
stabil,nadi perifer teraba,kulit hangat dan kering,level mental biasa,haluran
urune perorangan yang biasa dan bising usus aktif.
NIC :
Pencegahan Syok :
Independen
Pantau kecenderungan tekanan,khususnya perhatikan hipotensi
progresif dan pelebaran tekanan nadi.
Pantau prekuensi dan irama jantung. Catat disritmia.
Catat kualitas dan kekuatan nadi perifer.
Kaji frekuensi pernafasan,kedalaman dan kualitas. Catat awitan
dipsnea berat.
Selidiki perubahan sensorium—kabut mental ,agitasi, gelisah,
perubahan kepribadian, delirium, stupor, koma.
Kaji kulit apakah ada perubahan warna,suhu dan kelembaban.
Catat haluran urine perjamdan berat jenis.
Auskultasi bising usus.
Pemeriksaan darah pada sekresi lambung dan feses apakah ada darah
samar.
Evaluasi ekstremitas bawah apakah ada pembengkakan jaringan
setempat, eritema, dan tanda Homan positif.
Pertahankan alat kompresi sekuensial,sesuai indikasi.
23
Pantau adanya tanda perdarahan; perembesan dari tempat tusukan atau
garis jahitan,petekia,ekimosis,hematuria,epistaksis,hemoptysis dan
hemaptemesis.
Catat apakah ada efek obat-obatan dan pantau apakah ada keracunan.
Kolaboratif
Beri cairan parenteral
Beri obat-obatan sesuai indikasi,misalnya :
Pantau pemeriksaan laboratorium,seperti GDA dan kadar laktat.
Beri oksigen tambahan.
Pertahankan suhu tubuh stabil,menggunakan alat bantu tambahan
sesuai kebutuhan.
Siap untuk dan pemindahan ke tatanan asuhan kritis sesuai indikasi.
24
(Dosen Keperawatan Medikal-Bedah Indonesia 2017).
25
WOC Sepsis
Infeksi jamur dan virus Bakteri gram negatif (pseudomonas Bakteri gram positif
(dengue, herpes viruses) auriginosa, klebsiella, proteus) (pneumokokus, stretokokus)
26
Kegagalan kontrol aliran Prostaglandin
Respiration Rate MK : Penurunan Curah
darah lokal memengaruhi pusat
Jantung termoregulasi di
MK : Ketidakefektifan hipotalamus
↓ Saturasi oksigen
Pola Napas
Hipotalamus set poin
suhu
Pelepasan nitrit oksida
Limfosit T mengeluarkan
Suhu tubuh diatas
substansi Th1 dan Th2
kisaran normal
Vasodilatasi kapiler
Adhesi neutrofil dengan endotel
Maldistribusi volume MK : Hipertermi
darah Dinding endotel lisis
Hipoperfusi jaringan
Kerusakan endotel pembuluh
darah
MK : Ketidakefekifan
perfusi jaringan perifer Cairan intravaskular keluar ke
interstisial
Hipoperfusi perifer
27
MK : Resiko Syok
2.2 Acute Respiratory Distress Syndrome (ARDS)
2.2.1 Definisi
Selanjutnya definisi ARDS direvisi lebih jauh pada tahun 2012 oleh
panel ahli yang menyatakan klasifikasi baru ARDS; PaO2 /rasio FiO2
≤300 dan > 200 adalah ARDS ringan; rasio PaO2 / FiO2 100-200 adalah
ARDS moderat; PaO2 / FiO2 rasio <100 adalah ARDS parah. Dalam
kriteria baru ini, tingkat minimum PEEP diperlukan untuk mendiagnosis
28
ARDS adalah 5cmH2O. Nilai ini tidak termasuk hipoksemia disebabkan
oleh atelectasis (Amin & Amanda 2017).
29
Penyakit paru kronis seperti fibrosis paru interstitial, sarcoidosis dan
penyakit-penyakit lain dapat saja memenuhi kriteria diatas kecuali onset
kejadian yang akut. Kriteria untuk menegakkan dan membedakan ALI dan
ARDS dapat dilihat pada tabel 2.4.
2.2.2 Etiologi
Namun pada studi yang lain, diantara faktor risiko umum untuk
ARDS seperti pneumonia, sepsis, aspirasi lambung, trauma, pankreatitis,
cedera inhalasi, luka bakar, syok non-kardiogenik, overdosis obat, cedera
paru akut berikut tranfusi besar (TRALI) dan drowning, dinyatakan bahwa
Pneumonia merupakan penyebab utama dari terjadinya ARDS (Umbrello
et al. 2017).
30
Tabel 2. 6 Mikroorganisme penyebab ARDS
31
abu kebiruan karena tingkat berkurang oksigen dalam darah (National
Organization for Rare Disorder 2017).
2.2.4 Patogenesis
32
Gambar 2. 2 Keadaan alveoli normal dan alveoli yang mengalami kerusakan saat fase
33
dan menurunnya KRF, semua ini akan menyebabkan terjadinya
hipoksemia berat dan progresivitas yang ditandai dengan pernapasan cepat
dan dalam. Shunting intrapulmoner menyebabkan curah jantung akan
menurun 40% (Gordon 2012).
2.2.5 Patofisiologi
34
melewati endotel dan ruang intertisial adalah selisih tekanan osmotik
protein dan hidrostatik :
Q = K (Pc-Pt) – D (c-t)
K : koefisien filtrasi
D : koefisien refleksi
35
KRF, semua ini akan menyebabkan terjadinya hipoksemia berat dan
progresivitas yang ditandai dengan pernapasan cepat dan dalam. Shunting
intrapulmoner menyebabkan curah jantung akan menurun 40%.
Hipoksemia diikuti asidemia, mulanya karena pengumpulan asam laktat
selanjutnya merupakan pencerminan gabungan dari unsur metabolik
maupun respiratorik akibat gangguan pertukaran gas. Penderita yang
sembuh dapat menunjukan kelainan faal paru berupa penurunan volume
paru, kecepatan aliran udara dan khususnya menurunkan kapasitas difusi.
36
WOC ARDS
37
2.2.7 Pemeriksaan Penunjang
a. Laboratorium
b. Radiologi
Pada awal proses, dari foto thoraks bisa ditemukan lapangan paru
yang relatif jernih, namun pada foto serial berikutnya tampak bayangan
radio-opak yang difus atau patchy bilateral dan diikuti pada foto serial
berikutnya tampak gambaran confluent tanpa gambaran kongesti atau
pembesaran jantung. Dari CT scan tampak pola heterogen, predominan
limfosit pada area dorsal paru (foto supine).
2.2.8 Komplikasi
38
mortalitas 50%-70% dapat menimbulkan gejala sisa pada penyembuhan,
prognosis jangka panjang baik. Abnormalitas fisiologik dari ringan sampai
sedang yaitu abnormalitas obstruktif terbatas (keterbatasan aliran udara),
defek difusi sedang dan hipoksemia selama latihan. Hasil positif pada
pasien yang sembuh dari ARDS paling mungkin fungsi tiga dari
kemampuan tim kesehatan untuk melindungi paru dari kerusakan lebih
lanjut selama periode pemberian dukungan hidup, pencegahan toksisitas
oksigen dan perhatian terhadap penurunan sepsis.
2.2.9 Penatalaksanaan
Tujuan terapi:
Farmakologi
Non-farmakologi
39
b. Pembatasan cairan dan pemberian surfaktan tidak dianjurkan secara
rutin.
40
2.3 Acute kidney injury (AKI)
2.3.1 Definisi
2.3.2 Etiologi
a. Prarenal
b. Intrarenal
41
proses prarenal yang menimbulkan iskemia ginjal) ; nekrosis tubular
akut (acute tubular necrosis, ATN) merupakan tipe gagal intrarenal.
c. Pascarenal
42
ginjal yang ditandai dengan penurunan karbon dioksida dan pH darah.
Asidosis metabolik menyertai gagal ginjal.
h. Abnormalitas Ca++ dan PO4. Peningkatan konsentrasi serum fosfat
mungkin terjadi. Serum kalsium mungkin menurun sebagai respons
terhadap penuruanan absorpsi kalsium diusus dan sebagai mekanisme
kompensasi terhadap peningkatan kadar serum fosfat.
i. Anemia terjadi akibat penurunan produksi eritropoietin, lesi saluran
pencernaan, penurunan usia sel darah merah, dan kehilangan darah
(biasanya dari saluran pencernaan).
c. Fase diuretik dimulai ketikan dalam waktu 24 jam volume urine yang
keluar mencapai 500 ml dan berakhir ketika BUN serta serum kretainin
tidak bertambah lagi.
43
d. Fase penyembuhan, biasanya dalam beberapa bulan (tiga bulan sampai
satu tahun). Kadang-kadang terjadi jaringan parut, tetapi kehilangan
fungsi tidak selalu berkaitan dengan gejal klinis.
2.3.5 Patofisiologi
44
Selanjutnya, bila status hipoperfusi diobati lebih tepat dan spesifik dengan
penggantian volume, peningkatan curah jantung, perbaikan irama jantung,
atau pemberian dopamin dosis rendah, perubahan perfusi ginjal akan
dimanifestasikan sebagai peningkatan volume urine dan penurunan berat
jenis urine.
2.3.6 Patofisiologi
45
2.3.7 Patofisiologi
a. Pencegahan :
Monitor pengeluaran urine dan tekanan vena pusat perjam pada pasien
kritis untuk mendeteksi kejadian gagal ginjal.
Berikan perhatian khusus selama proses irigasi luka, luka bakar dan
sebagainya.
b. Dialisis untuk mencegah komplikasi gagal ginjal akut yang serius seperti
hiperkalemia, perikarditis, dan kejang. Dapat dilakukan pada pasien
46
dengan kadar kalsium tinggi dan meningkat (dialisis peritoneum dan
hemofiltrasi segera).
e. Koreksi asidosis dan peningkatan kadar fosfat. Jika asidosis berat terjadi,
gas darah arteri harus dipantau, intervensi ventilasi harus dilakukan jika
terjadi masalah pernapasan, dan pasien perlu diterapi dengan natrium
bikarbonat atau dialisis.
f. Pantau selama fase pemulihan. Fase oliguri GGA berlangsung selama 10-
20 hari dan diikuti fase diuretik, dimana haluaran urine meningkat (fungsi
ginjal telah membaik). Lakukan evaluasi kimia darah (natrium dan kalium)
dan cairan.
2.3.8 Pengkajian
47
b. Kaji adanya paparan dengan obat yang berpotensi meracuni ginjal
(antibiotik, nonsteroid anti-inflamasi –NSAID , zat kontras, dan benda cair
lainnya).
DS : Melaporkan demam.
48
DO : BB 20% kurang dari BB ideal, konjungtiva dan membran pucat,
serta tidak mampu mencerna makanan.
DS : Melaporkan lupa
49
BAB 1
ASUHAN KEPERAWATAN
3.1 Pengkajian
Umur : 35 Tahun
Suku/bangsa : Jawa/Indonesia
Agama : Islam
Pekerjaan : Swasta
Pendidikan : SMA
a. Keluhan utama
Klien mengeluh demamnya tidak turun selama 2 hari yang lalu dan
tidak turun-turun disertai dengan sesak nafas.
b. Riwayat kesehatan sekarang
Sebelumnya dirawat di RS X diduga DHF & sakit Liver, saat dirawat
klien demam tinggi terus menerus, batuk lalu sesak napas kemudian dirujuk
ke RS Y. Ketika masih di IGD RS Y, sesak napas klien tambah berat dan
50
kemudian dirawat di ICU. Klien menggunakan alat bantu napas ventilator
mekanik (respirator).
c. Riwayat kesehatan dahulu
Sebelumnya seminggu yang lalu klien dirawat di RS X diduga DHF &
sakit Liver, saat dirawat klien demam tinggi terus menerus, batuk lalu sesak
napas. Klien tidak memiliki riwayat penyakit jantung, dan DM.
d. Riwayat kesehatan keluarga
Saat ini keluarga tidak sedang menderita penyakit seperti yang
dikeluhkan oleh klien.
a. Keadaan umum
Klien sadar, pucat, lemah dan imoblisasi total karena terpasang infus,
ventilator, dower kateter, NG tube. TB= 147 cm, BB= 45 kg.
T : 150/100 mmHg
Suhu : 38,5° C
a. Pernapasan (B1)
51
b. Kardiovaskuler (B2)
c. Persarafan (B3)
Untuk makan dan minum dibantu dengan susu per NG tube dan infus.
BAB 1 kali sehari.
a. Pola pikir dan persepsi: klien merasa terganggu dengan adanya pipa ETT
mesin respirator yg terpasang dimulutnya.
b. Persepsi diri: klien khawatir dan takut dengan adanya pipa & bunyi mesin
respirator yg terpasang.
c. Suasana hati: klien merasa takut & khawatir dengan kondisinya apakah ia
dapat berkumpul kembali dengan ketiga anaknya.
52
d. Hubungan/komunikasi: klien mudah diberikan penjelasan dan cepat
memahami maksud dan tujuan dari penjelasan tersebut walaupun dengan
tulisan atau isyarat.
e. Kehidupan keluarga:
Adat istiadat yang dianut: Jawa. Pembuat keputusan dalam keluarga: Suami
klien.
g. Keuangan: BJPS.
h. Ibadah sholat saat sakit tidak bisa dilakukan hanya berdoa saja.
53
pH : 7,49 HCO3 : 22 mmol/L
pCO2 : 27,9 mmHg BE : - 6,9 mmol/L
pO2 : 52,6 mmHg ctCO2 : 18,5 mmol/L
O2 Sat. : 88,4 %
USG Abdomen
3.7 Terapi
Respirator Biggler :
Oral hygiene
54
3.8 Diagnosa Keperawatan
Analisa Data
DATA ETIOLOGI MASALAH
S: Klien gelisah,pucat & berkeringat Perubahan membrane Gangguan pertukaran
dingin alveolar-kapiler, gas
ketidakseimbangan
O: RR=26 x/mnt, Nadi=114 x/mnt, ventilasi-perfusi
retraksi dada, per-napasan dibantu
Respirator,foto Thorax AP = Oede-
ma paru, BGA:
pH:7,41 HCO3: 17,6 mmol/L pCO2 :
27,9 mmHg
BE: - 6,9 mmol/L
pO2: 52,6 mmHg
O2 sat. : 88,4 %
ctCO2: 18,5 mmol/L
55
No Diagnosa Keperawatan Tujuan Dan Kriteria Hasil Intervensi
56
Kebingungan
Dyspnoe
nasal faring Respiratory Monitoring
AGD Normal
Monitor rata – rata, kedalaman, irama dan usaha
Sianosis
respirasi
warna kulit abnormal (pucat,
kehitaman) Catat pergerakan dada, amati kesimetrisan,
Hipoksemia penggunaan otot tambahan, retraksi otot
Hiperkarbia supraclavicular dan intercostal
sakit kepala ketika bangun
Frekuensi dan kedalaman nafas Monitor suara nafas, seperti dengkur
abnormal
Monitor pola nafas : bradipena, takipenia, kussmaul,
Faktor faktor yang berhubungan : hiperventilasi, cheyne stokes, biot
57
mengetahui hasilnya
2. Ketidakefektifan bersihan jalan nafas b/dNOC : NIC :
eksudat dalam alveoli (Domain 11; Kelas Respiratory status :Airway suction
2; 00031). ventilation Pastikan kebutuhan oral / tracheal suctioning
Respiratory status : Airway Auskultasi suara nafas sebelum dan sesudah
Definisi : Ketidakmampuan untuk
patency suctioning.
membersihkan sekresi atau obstruksi dari
Aspiration Control Informasikan pada klien dan keluarga tentang
saluran pernafasan untuk
suctioning
mempertahankan kebersihan jalan nafas.
Kriteria Hasil : Gunakan alat yang steril setiap melakukan tindakan
Menunjukkan jalan nafas Monitor status oksigen pasien
Batasan Karakteristik :
yang paten (klien tidak
Dispneu, Penurunan suara nafas
merasa tercekik, iramaAirway Management
Orthopneu
nafas, frekuensi pernafasan Posisikan pasien untuk memaksimalkan ventilasi
Cyanosis
dalam rentang normal, tidak Lakukan fisioterapi dada jika perlu
Kelainan suara nafas (rales,
ada suara nafas abnormal) Keluarkan sekret suction
wheezing)
Mampu mengidentifikasikan Auskultasi suara nafas, catat adanya suara tambahan
Kesulitan berbicara
dan mencegah faktor yang Lakukan suction pada mayo
Batuk, tidak efektif atau tidak ada
dapat menghambat jalan Berikan pelembab udara kassa basah NaCl lembab
Mata melebar
nafas Atur intake untuk cairan mengoptimalkan
Produksi sputum
keseimbangan.
Gelisah
Monitor respirasi dan status O2
58
Perubahan frekuensi dan irama nafas
59
Definisi: Respiratory status : Airway Tingkatkan asupan cairan yang adekuat dan asupan
patency nutrisi
Rentan mengalami invasi dan multipikasi
Risk control: infection Monitor banyaknya secret pulmonar, warnannya dan
organisme patogenik yng dapat
process konsistensinya secara teratur, dokumentasikan
mengganggu kesehatan.
hasilnya
Faktor risiko: Kriteria hasil: Berikan oral hygine
Tidak terjadi Kolaborasi dengan dokter dalam pemberian anti
Stasis cairan tubuh
komplikasi/infeksi biotik
Terpasang ventilator nosocomial
Penyakit kronis
Malnutrisi
60
BAB 4
KESIMPULAN DAN SARAN
4.1 Kesimpulan
Gagal ginjal akut (GGA) mengacu pada kehilangan fungsi ginjal yang
tiba-tiba (beberapa jam sampai beberapa hari) yang ditandai dengen peningkatan
nitrogen urea darah (BUN) dan kreatinin serum. Meskipun tak ada batas pasti
untuk BUN dan kreatinin yang dapat ditentukan, peningkatan BUN dan
kreatinin yang dapat ditentukan, peningkatan BUN dari 15 sampai 30 mg/dl dan
peningkatan kreatinin dari 1 sampai 2 mg/dl mengisyaratkan GGA pada pasien
yang sebelumnya mempunyai fungsi ginjal normal. (Hudak & Gallo 2004).
61
4.2 Saran
Penulisan makalah ini tentu jauh dari sempurna, baik dari penyajian, cara
penulisan maupun pengutipan dari berbagai sumber pustaka. Untuk itu penulis
sangat mengharapkan saran yang membangun dari pembaca sekalian, agar kelak
makalah ini semakin baik.
62
DAFTAR PUSTAKA
Amin, Z. & Amanda, A.P., 2017. Comparison of New ARDS Criteria ( Berlin ) with Old
Criteria ( AECC ) and its Application in Country with Limited Facilities. , 2(1),
pp.2–4.
Centers for Disease Control and Prevention, 2016. Making Health Care Safer Think
Sepsis. Time matter. , (August).
Fanelli, V. et al., 2013. Review Article Acute respiratory distress syndrome : new
definition , current and future therapeutic options. , (7).
Gordon, F., 2012. Acute Respiratory Distress Syndrome: Diagnosis and Management.
Haro, C. De et al., 2013. Acute respiratory distress syndrome : prevention and early
recognition. , pp.1–7.
Hudak, C.M. & Gallo, B.M., 2004. Keperawatan Kritis, Pendekatan Holistik 6th ed.,
Jakarta: EGC.
63
National Organization for Rare Disorder, 2017. Signs & Symptoms. , pp.1–6.
NHS England, 2015. Improving Outcomes for Patients with Sepsis A Cross-System
Action Plan,
Nursalam, 2009. Askep Pada Pasien dengan Gangguan Sistem Perkemihan, Jakarta:
Salemba Medika.
Sinto, R. & Nainggolan, G., 2010. Acute Kidney Injury : Pendekatan Klinis dan Tata
Laksana. , pp.81–88.
Smeltzer, S.C. & Bare, B.G., 2002. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah Volume 2
8th ed., Jakarta: EGC.
Stillwell, S.B., 2011. Pedoman Keperawatan Kritis 3rd ed., Jakarta: EGC.
Susanto, Y.S. & Sari, F.R., 2012. Penggunaan Ventilasi Mekanis Invasif Pada Acute
Respiratory Distress Syndrome ( ARDS ). Jurnal Respirasi Indonesia, 32(1),
pp.44–52.
64